TINDAKAN PEMERINTAH II MAKALAH Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara di Bawah Bimbingan Dosen Bapak EKO WAHYUDI, SH. Oleh : KELOMPOK VII KELAS C PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAWA TIMUR SURABAYA 2013 PENYUSUN HIBATUR RAHMAN TRI RAMADHAN (1171010038) MOCH ARIE TRIANSYAH (1171010128) KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan ridhoNya kita dapat senantiasa menjalani aktivitas dengan keadaan sehat jasmani dan rohani. Tak lupa kepada para dosen pengajar yang memberikan waktu untuk kami agar dapat menyelesaikan tugas yang di berikan dan pemberian materi yang bermanfaat untuk kelangsungan perkuliahan kami. Makalah ini adalah salah satu bentuk keseriusan kelompok kami dalam mengerjakan tugas struktural dibawah bimbingan Bapak Eko Wahyudi, SH. Selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Administrasi Negara, sehingga makalah ini dapat menjadi tolak ukur kemampuan kami dalam memahami materi yang di berikan oleh para dosen. Harapan kamia makalah ini dapat menjadi inspirasi bagi generasi berikutnnya dan membantu mahasiswa mendapatkan pengetahuan atau ilmu yang berhubungan dengan Hukum Administrasi Negara yang sesuai dengan isi makalah ini. Dalam pembuatan makalah ini kami akui belum sepenuhnya sempurna atau terperinci dan masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kami membutuhkan masukan berupa kritik dan saran yang dapat menjadikan koreksi untuk kesempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat berguna untuk kita semua. Surabaya, Oktober 2013 Penulis DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i PENYUSUN ....................................................................................................................... ii KATA PENGANTAR........................................................................................................ iii DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 1 1. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1 1.3. Tujuan Penuisan ………………………………………………………… 1 BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 2 .1. Syarat Keabsahan Tindakan Pemerintah................................................... 2 2.2. Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Pemerintahan....................................... 10 2.2.1. Tanggung Gugat Pemerintah Melalui Peradilan Umum .................. 10 2.2.2. Tanggung Gugat Pemerintahan Melalui PTUN .............................. 10 PENUTUP........................................ ............................................................... 11 Kesimpulan dan Saran ..................................................................................... 11 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 12 BAB III BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Didalam ilmu hukum bahwa suatu “keputusan” dikatakan sah menurut hukum ( rechsmatig ) apabila keputusan tersebut memenuhi persyaratan tertentu yang ditentukan oleh hukum. Dengan dipenuhinya persyaratan yang ditentukan oleh hukum maka keputusan tersebut mempunyai kekuatan hukum ( rechtskrach ) untuk dilaksanakan. sebaliknya apabila suatu keputusan tersebut tidak memenuhi persyaratan maka menurut hukum ketetapan atau keputusan tersebut menjadi “ tidak sah” yang berakibat hukum menjadi “ batal” ( nietig). 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa itu Syarat Keabsahan Tindakan Pemerintahan? 2. Bagaimana Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pemerintahan? 1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk dapat memenuhi tujuan-tujuan yang dapat bermanfaat bagi para remaja dalam pemahaman tentang Tindakan Pemerintah di Indonesia. Secara terperinci tujuan dari penulisan makalah ini adalah: 1. Syarat Keabsahan Tindakan Pemerintahan 2. Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pemerintahan BAB II PEMBAHASAN 2.1 Syarat Keabsahan Tindakan Pemerintahan Menurut Van der Pot, ada 4 syarat yang harus di penuhi agar ketetapam administrasi sebagai ketetapan sah dan apabila salah satunya tidak dipenuhi dapat menimbulkan akibat bahwa ketetapan administrasi tersebut menjadi ketetapan tidak sah: 1. bevoedgheid ( kewenangan ) organ administrasi yang membuat keputusan; 2. geen juridische gebreken in de wilsvorming ( tidak ada kekurangan yuridis dalam pembentukan kehendak ); 3. vorm dan procedure yakni keputusan dituangkan dalam bentuk yang telah diketapkan dan dibuat menurut tata cara yang telah ditetapkan; Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar Philipus M. Hadjon mengutarakan wewenang, prosedur dan substansi, ketiga aspek hukum merupakan landasan hukum untuk dapat dikatakan suatu ketetapan atau keputusan tersebut sah. Pertama, aspek wewenang dalam hal ini artinya bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan tersebut memang mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk itu; kedua, aspek prosedur, berarti bahwa ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan tatacara yang disyaratkan dan bertumpu kepada asas keterbukaan pemerintah; ketiga, aspek substansi, artinya menyangkut obyek ketetapan atau keputusan tidak ada “ Error in re”. Selanjutnya dijelaskan bahwa istilah keabsahan adalah terjemahan dari istilah Belanda “ rechtmatigheid” ( van bestuur). Rechtmatigheid = legalitas = legality. Ruang lingkup keabsahan meliputi : 1. wewenang; 2. prosedur; 3. Substansi. Butir 1 dan 2 ( wewenang dan substansi ) merupakan landasan bagi legalitas formal. Atas dasar legalitas formal lahirlah asas presumptio iustae causa. Atas dasar asas itulah ketentuan pasal 67 ayat (1) UU. No. 5 Th. 1986 menyatakan: Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Tata Usaha negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Sebaliknya Berdasarkan hukum suatu keputusan yang tidak memenuhi elemen atau syarat dapat dikatakan bahwa keputusan mengandung kekurangan juridis dalam pembuatannya, sehingga keputusan tersebut merupakan suatu keputusan menjadi tidak sah. E. Utrecht, mengatakan:suatu ketetapan yang mengandung kekurangan tidak selalu merupakan ketetapan atau keputusan yang tidak sah. Ada ketetapan yang mengandung kekurangan tetap merupakan ketetapan sah. Menurutnya pada umumnya tergantung pada hal apakah syarat yang tidak dipenuhi itu merupakan bestaansvoorwaarde atau tidak untuk adanya ketetapan itu. ( bestaansvoorwaarde= syarat yang harus dipenuhi agar sesuatu ada; kalau syarat tidak dipenuhi maka sesuatu itu (dianggap) tidak ada. Stelinga, mengatakan bahwa suatu ketetapan yang mengandung kekurangan masih dapat diterima sah oleh karena sah tidaknya sesuatu ketetapan yang mengandung kekurangan tergantung pada beratnya kekurangan itu. Menurut Soehino, bahwa yang disebut sebagai ketetapan yang tidak sah bila mengandung kekurangan syarat yang seharusnya dipenuhi dalam pembuatan ketetapan administrasi tersebut. Dengan adanya kekurangan syarat yang seharusnya dipenuhi dapat berakibat hukum batalnya ketetapan tersebut. Disamping batal atau dapat dibatalkan ketetapan tersebut dimungkinkan bahwa ketetapan tersebut dicabut oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan. Masih berkaitan dengan ketetapan yang mempunyai kekurangan yuridis, van der Wel, berpendapat agak berbeda sebagaimana yang dikutip oleh Bachsan Mustafa dalam bukunya: Suatu ketetapan yang menetapkan sesuatu yang sungguh-sungguh tidak mungkin dapat dilaksanakan dapat dianggap batal sama sekali. Mengenai ketetapan-ketetapan yang lainnya kita harus melihat apakah kekurangan yang bersangkutan adalah kekurangan “ esensial” atau kekurangan yang “ bukan esensial”, kekurangan yang bukan yang esensial tidak dapat mempengaruhi berlakunya ketetapan. Mengenai kekurangan esensial harus dilihat beratnya kekurangan. Apabila kekurangan itu dirasakan begitu berat sehingga ketetapan yang bersangkutan sebetulnya tidak berupa ketetapan, maka ketetapan yang bersangkutan itu dapat dianggap batal sama sekali. Apabila kekurangan itu tidak begitu berat, maka ketetapan yang bersangkutan dapat dianggap batal terhadap subyek hukum yang mempunyai alat untuk menggugat berlakunya ketetapan itu ( misalnya dalam bandingan). E.Utrecht berkomentar bahwa dia dapat menerima pembagian kekurangan ketetapan kedalam kekurangan yang esensial ( inti) dan yang bukan yang esensial. Namun kandungan kekurangan tersebut harus dilihat secara kasuistis yang penting bahwa keputusan Administrasi negara adalah pemanfaatan / kegunaannya ( doelmatigheid) lebih penting dari pada sesuai tidaknya dengan hukum positif ( rechtsmatigheid). Untuk mengetahui suatu keputusan itu mempunyai kekurangan yang masuk dalam ranah kekurangan yang esensial atau yang bukan esensial, sehingga ketetapan tersebut menjadi sah atau tidak sah. Apabila mengikuti teorinya van der Pot, maka ada 4 syarat yakni: dibuat oleh Badan atau pejabat yang berwenang, tidak boleh adanya kekurangan yuridis, berhubungan dengan bentuk ( vorm) dan prosedur, serta isi dan tujuan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya. Atau sebagaimana disampaikan oleh Philipus M. Hadjon ada 3 aspek yang penting yakni: Wewenang, Prosedur dan substansi untuk dapat dikatakan sahnya ketetapan atau keputusan. Didalam Hukum Administrasi bahwa ketetapan tidak sah akan berakibat batal ketetapan tersebut, dapat dibedakan 3 ( tiga ) jenis pembatalan suatu ketetapan tidak sah yaitu: pertama, ketetapan yang batal karena hukum ( nietigheid van rechtswege); kedua, ketetapan yang batal ( nietig, juga: batal absolut, absoluut nietig); ketiga, ketetapan yang dapat dibatalkan ( vernietigbaar). Keputusan yang “ batal demi hukum” adalah suatu ketetapan yang isinya menetapkan adanya akibat suatu perbuatan itu untuk sebagian atau seluruhnya bagi hukum dianggap tidak ada, tanpa diperlukan keputusan pengadilan atau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang menyatakan batalnya ketetapan tersebut, jadi ketetapan itu batal sejak dikeluarkan.bagi hukum dianggap tidak ada ( dihapus ) tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintah lain yang berkompeten untuk menyatakan batalnya sebagian atau seluruhnya. Namun Utrecht sendiri menjelaskan dalam catatat kaki bukunya, bahwa hal ini jarang sekali terjadi namun ada atau dengan kata-kata “ satu dua hal”. yang maksudnya bahwa sebetulnya Utrecht mempunyai pendapat secara umum bahwa batal karena hukum suatu ketetapan tidak secara otomatis artinya diperlukan suatu tindakan pembatalan dari Pengadilan maupun Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Selanjutnya suatu ketetapan yang “Batal” ( nietig) merupakan suatu tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan yang berakibat suatu perbuatan dianggap tidak pernah ada yang disebut juga sebagai “ Absoluut nietig”. Selanjutnya pengertian “ dapat dibatalkan” ( vernietigbaar) merupakan suatu tindakan atau perbuatan hukum Badan atau Tata Usaha Negara yang dalam pengertian dapat dibatalkan karena diketahui perbuatan itu mengandung kekurangan. Perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berkompeten ( pembatalan diadakan karena pembuatan tersebut mengandung sesuatu kekurangan ). Bagi hukum, perbuatan tersebut ada sampai waktu pembatalannya, menjadi sah ( terkecuali dalam hal undang-undang menyebut beberapa bagian akibat itu tidak sah). Setelah pembatalan maka perbuatan itu tidak ada dan – bila mungkin – diusahakan supaya akibat yang telah terjadi itu semuanya atau sebagiannya hapus. Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan keputusan yang dapat dibatalkan ( vernietigbaar) yaitu Suatu keputusan baru dapat dinyatakan batal setelah pembatalan oleh hakim atau instansi yang berwenang membatalkan, dan pembatalan tidak berlaku surut. Jadi bagi hukum perbuatan dan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan dianggap sah sampai dikeluarkan keputusan pembatalan ( ex-nunc) kecuali undang-undang menentukan lain. Tabel perbedaan Batal ( Nietig), batal demi hukum ( van rechts wege nietig) dan dapat dibatalkan ( vernietigbaar). No URAIAN NIETIG VAN RECHTS VERNIETIGBAAR WEGE NIETIG 1. Sejak kapan batal Ex tunc* Ex tunc 2. Tindakan Dengan Tanpa perlu ada Mutlak pembatalan putusan/keputusanSifat putusan putusan/ keputusan Ex nunc* harus ada / putusan / keputusanSifat keputusan:Konstatering/ putusan/ deklaratif keputusan:Konstitutif Sumber: Philipus M. Hadjon, Pengertian dasar tentang tindak Pemerintahan, CopyPerc&stensil Jumali, Surabaya, 1985, h. 25. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan hukum adalah sebab atau alasan pembatalan atau batalnya suatu ketetapan atau keputusan yang diterbitkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sebagaimana diketahui bahwa dalam ajaran hukum bahwa suatu keputusan ( beschikking ) dikatakan sah apabila memenuhi beberapa syarat, seperti yang diajukan van der Pot ada 4 syarat fundamental: 1. Bevoedgheid ( kewenangan) organ Administrasi negara yang membuat keputusan; 2. Geen juridische gebreken in de wilsvorming ( tidak ada kekurangan yuridis dalam pembentukan kehendak ); 3. Vorm dan procedure yakni keputusan dituangkan dalam bentuk yang telah ditetapkan dan dibuat menurut tatacara yang telah ditetapkan; 4. Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar. Philipus M. Hadjon mengutarakan bahwa wewenang, prosedur dan substansi, ketiga aspek hukum tersebut merupakan landasan hukum untuk dapat dikatakan suatu ketetapan atau keputusan tersebut sah menurut hukum. Pertama, aspek wewenang dalam hal ini artinya bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan tersebut memang mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk itu; kedua, aspek prosedur, berarti bahwa ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan tatacara yang disyaratkan dan bertumpu kepada asas keterbukaan pemerintah; ketiga, aspek substansi, artinya menyangkut obyek ketetapan atau keputusan tidak ada “ Error in re”. Hal ini selaras dengan hukum Acara yang di atur didalam UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang selanjutnya diubah ( sebagian ) oleh UU No. 9 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat (1) UU No. 5 tahun 1986, menetapkan bahwa Seseorang atau Badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Adapun dasar alasan gugatan sebagaimana ditetapkan dalam ayat (2) nya, isinya menyatakan bahwa alasan gugatan yang digunakan adalah Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain adanya kesalahan bersifat kewenangan, prosedur dan substansi ( penjelasan pasal), penyalahgunaan wewenang ( de tournament de pouvoir) dan larangan berbuat sewenang-wenang. Adapun rumusan lengkapnya pasal 53 UU No. 5 Tahun 1986 sebagai berikut: (3) seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis pada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi; (4) alasan – alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah digunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud yang diberikannya wewenang tersebut; c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan atau tidak keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak keputusan tersebut. Dengan demikian bahwa dalam hukum acara pasal 53 ayat (2) UU. No. 5 Tahun 1986, merupakan dasar dari alasan untuk menggugat ( Beroepsgronden) seseorang atau badan hukum perdata dan sekaligus pengujian oleh hakim pengadilan terhadap keputusan Tata usaha Negara ( KTUN) sebagai berikut: Pertama, bahwa Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya bilama dicermati dalam penjelasan otentik dari pasal ini memberikan penjelasan tentang pengertian “ bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” yaitu: 1. Keputusan Tata Usaha Negara itu bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat procedural atau formal; 2. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat material atau substansi; 3. Bahwa keputusan Tata usaha Negara dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha yang tidak berwenang dan apabila tidak berwenang dikaitkan dengan kompetensi Jabatan maka dimungkinkan ada tiga macam bentuk tidak berwenang ( onbevoegdheid) yaitu: onbevoegdheid ratione materiae ( menyangkut kompetensi absolute), onbevoegdheid ratione loci ( kompetensi relative) dan onbevoegdheid ratione temporis ( tidak berwenang dari segi waktu). Kedua, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut yang dikenal dengan sebutan “ penyalahgunaan wewenang” ( de tournament de pouvoir). Menurut Philipus M. Hadjon, alasan yang dikemukakan dalam penjelasan otentik ini dalam prakteknya sulit di buktikan karenanya jarang digunakan. Oleh karena itu dalam gugatan sering menggunakan dasar seperti tersebut dalam butir 3. Ketiga, dalam penjelasan pasal ini menyatakan bahwa dasar pembatalan sering disebutkan “ larangan berbuat sewenang-wenang” ( willekeur) merupakan konsep yang sulit diukur. Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa: Larangan berbuat sewenang-wenang justru membuat rumusan yang operasional – terukur menjadi sulit / tidak terukur. Kalau kita bandingkan dengan ketentuan Wet AROB di Belanda, nampaknya disatu pihak ada kesamaan untuk huruf a,b,c, sedangkan huruf d tidak terdapat dalam pasal 53 ayat 2. Pasal 53 UU No. 5 Tahun 1986 ini diubah oleh UU No. 9 Tahun 2004, terutama dalam ayat (2) b dan c, yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang dan tindakan larangan berbuat sewenang – wenang, bagaimana diatur dalam pasal 53 UU No. 9 Tahun 2004, berbunyi: (1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis pada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi; (2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Tabel alasan menjadi dasar keputusan tidak sah / dibatalkan: Van der Pot Philipus M.Hadjon UU No 5 tahun Akibat 1986Pasal 53 (2), yo. UU hukum No. 9 tahun 2004 1. Bevoedgheid;2. geen 1. Aspek 1. Bertentangan dengan Tidak juridische gebreken in de wewenang;2. Aspek peraturan wilsvorming;3. Aspek undangan vorm dan prosedur;3. procedure; 4. isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar substansi sah perundang- atau batal berlaku: bersifat Wewenang, Prosedur, Substansi;2. bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik Sesuai dengan ajaran hukum dan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 53 ayat (2) UU No. 5 tahun 1986 yo. UU No. 9 tahun 2004, maka bilamana suatu keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat wewenang, prosedur dan substansi, keputusan Tata Usaha Negara tersebut yang ditemukan oleh Peradilan dalam pertimbangan hukumnya, menjadi dasar untuk putusan pengadilan menyatakan tidak sah atau batal keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Sesuai dengan konsep hukum/ ajaran hukum dan ketentuan pertanahan Keputusan Tata Usaha Negara merupakan sumber hukum dan alat bukti dari lahirnya sertifikat hak atas tanah yang berkarakter yang bersifat Konstitutif, dengan demikian maka bilamana terjadi persengketaan berkaitan dengan kepemilikan hak atas masuk dalam kompetensi absolut dari pengadilan tata usaha negara yang mana alat bukti keputusan Tata Usaha Negara tersebut terbitnya yang berkaitan dengan adanya cacat dalam aspek wewenang, prosedur dan substansi yang menjadi titik tolak dalam beracara dan tuntutan pembatalannya. Berbeda dengan sertifikat hak atas tanah yang berkarakter yuridis yang bersifat deklaratif, sesuai dengan sumber dasar hak kepemilikan atas tanah yang exsistensinya diakui oleh negara sehingga dalam proses persengketaan hukumnya berada diwilayah Peradilan umum, dimana bukti perolehan kepemilikan keperdataan dan obyek gugatannya yang ditimbulkan berkaitan dengan keabsahan dari aspek kesepakatan, kecakapan, obyek dan kausa tertentu yang menjadi dasar gugatan dan proses pembuktian di peradilan umum tersebut. 2.2 Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Pemerintahan Secara konseptual ruang lingkup tanggung gugat Pemerintah dibagi menjadi dua : 1. Tanggung gugat bidang Hukum Perdata dalam bentuk perbuatan melanggar Hukum oleh penguasa melalui peradilan umum. 2. Tanggung gugat bidang Hukum Administrasi khusus tentang KTUN melalui peradilan TUN. 2.2.1 Tanggung Gugat Pemerintah Melalui Peradilan Umum Tanggung gugat Pemerintah di peradilan umum pada dasarnya berkaitan dengan tuntutan pembayaran ganti kerugian, gugat harus diajukan ke peradilan umum, dengan alasan gugatan perbuatan melanggar Hukum/ melawan Hukum oleh penguasa. Landasannya penjelasan umum UU No. 5/1986 sebagai berikut : Sengketa TUN lainnya yang menurut Undang-undang ini tidak menjadi wewenang PTUN diselesaikan melalui peradilan Umum. Dalam gugatan Perdata formulasinya ditujukan kepada Pemerintah RI dan untuk tingkat Daerah dirumuskan Pemerintah Daerah. 2.2.2 Tanggung Gugat Pemerintah Melalui PTUN Tujuan utama orang menggugat di PTUN adalah agar KTUN tersebut dibatalkan, dan dapat pula ditambahkan tuntutan ganti rugi dan tehabilitasi (Pasal 53 ayat 1 UU No. 9/2004) Dalam tanggung gugat bidang TUN, maka yang menjadi tergugat adalah pejabat, maka rumusnya adalah : Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, WaliKota. BAB III PENUTUP Kesimpulan dan Saran Setiap Keputusan Tata Usaha Negara rentan menimbulkan sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan orang atau badan hukum perdata. Agar sengketa Tata Usaha Negara tersebut dapat diselesaikan dengan baik, tentunya diperlukan pemahaman yang utuh dan menyeluruh tentang Peradilan Tata Usaha Negara termasuk bagaimana menjalankan proses beracara pada Pengadilan Tata Usaha Negara. Objek sengketa yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pasal 1 angka (9) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual, dan final disertai tindakan yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Berdasarkan Pasal 3 Undangundang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tentang sikap diam Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yaitu tidak mengeluarkan keputusan yang telah dimohonkan sedangkan hal itu telah menjadi kewajibannya, maka sikap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut disamakan dengan suatu keputusan Tata Usaha Negara sehingga dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara. Setiap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam melakukan tindakan hukum diwajibkan bersuaian dengan kewenangannya dan bertindak didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik DAFTAR PUSTAKA 1. Philipus M. Hadjon, Pengertian-pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan, Copy – Percetakan & stensil Djumali, Surabaya, 1985, h. 8-9; 2. Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Jogjakarta, 2005, h. 83 3. Philipus M. Hadjon, dalam makalah: Tolok Ukur Keabsahan Tindak Pemerintahan dan Keputusan Tata Usaha Negara, makalah yang disampaikan pada penyelenggaraan – House legal Training Hukum Administrasi dan PTUN, tanggal 19-29 Juli 2004, h. 1; lihat pula sebagaimana dikutip oleh Soehino, Asas-asas Hukum Tata Usaha Negara, Liberty, Bandung, h. 102-119. http://andruhk.blogspot.com/2012/07/hukum-administrasinegara.html#sthash.UlAm4S5h.dpuf http://ardianlovenajlalita.wordpress.com/2012/12/14/tolok-ukur-keabsahan-tindakpemerintahan-dan-keputusan-tata-usaha-negara/