TINJAUAN KRITIS UNDANG-UNDANG NO.23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (analisis penguatan peran masyarakat dan gugatan masyarakat) (Makalah) SOSIOLOGI HUKUM Dosen Pengampu: Moh. Jamin, SH., M.Hum Oleh; Eka Yuliastuti S330908004 PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 1 A. Latar Belakang Masalah Peradaban modern diakui telah mampu mengantarkan manusia pada tingkat kesuksesan kehidupan material yang luar biasa. Dimulai dengan bangkitnya semangat renaissance dan enlightment, masyarakat Barat menata kehidupan dengan menggunakan kemampuan akal pikirannya melalui upaya pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia modern, dengan kemampuannya, mampu menciptakan teknologi dan industrialisasi yang menjadikan segala persoalan menjadi mudah. Namun dibalik kesuksesan yang telah dicapai, manusia telah mengorbankan alam lingkungan, melalui praktek eksploitasi lingkungan secara membabi buta tanpa mengindahkan dampak yang ditimbulkan baik terhadap manusia sendiri maupun lingkungan hidup. Hukum lingkungan, yang ketentuan pokoknya diatur dalam undangundang lingkungan hidup, yaitu UU No. 4 Tahun 1982 yang diperbarui dengan UU No.23 tahun 1997 mengandung berbagai ketentuan aspek hukum, yakni Hukum Administrasi Negara (HAN), hukum Perdata, dan Hukum Pidana. Undang-undang tersebut sifatnya pokoksehingga dikenal sebagai ketentuan hukum yang memayungi ketentuan hukum lain yang mengatur masalah lingkungan. Dengan demikian undang-undang tersebut menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan ketentuan hukum lain yang mengatur masalah lingkungan hidup yang sudah ataupun yang akan diadakan. Masalah lingkungan tidak selesai dengan memberlakukan UndangUndang dan komitmen untuk melaksanakannya. Penetapan suatu UndangUndang yang mengandung instrumen hukum masih diuji dengan pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat. 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) mendasari kebijaksanaan lingkungan di Indonesia, karena Undang-Undang, peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya merupakan instrumen kebijaksanaan (instrumenten van beleid). Instrumen kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan dalam peraturan perundangundangan lingkungan dami kepastian hukum dan mencerminkan arti penting hukum bagi penyelesaian masalah lingkungan. Instrumen hukum kebijaksanaan lingkungan (juridische milieubeleidsinstrumenten) tetapkan oleh pemerintah melalui berbagai sarana yang bersifat pencegahan, atau setidak-tidaknya pemulihan, sampai tahap normal kualitas lingkungan. Kehadiran undang-undang No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak lepas dari berbagai kepentingan politik yang melatarbelakanginya. Dari setting sosio-politik menjelang runtuhnya orde baru sedang tumbuh spirit yang menginginkan munculnya masyarakat madani (civil society) di Indonesia. Sementara pada saat yang bersamaan kepentingan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, tergantung pada lembaga donor, dan mekanisme pasar, ternyata tidak cukup memberikan ruang yang proporsional. Sektor lingkungan sebagai integral dari pembangunan yang dilakukan seiring dengan semangat untuk memasukkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam agenda pembangunan di Indonesia. Rumusan materi yang di atur dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tidak lepas dari kepentingan antara wacana pemikiran yang menginginkan tumbuhnya masyarakat sipil, dan keinginan negara untuk tampil dominandalam penelenggaraan negara. Disinilah terdapat tarik menarik antara spirit penguatan masyarakat sipil seiring dengan tumbuhnya semangat demokratisasi, dan keinginan untuk tetap menempatkan negara sebagai kekuatan dominan dalam merumuskan dan melaksanakan agenda pembangunan. Pada saat bersamaan pemerintah sebagai penyelenggara negara tidak mampu untuk melepaskan ketergantungan dari kepentingan dunia usaha yang menginginkan adanya produk hukum dibidang lingkungan yang 3 sedemikian longgar dengan alasan untuk kepentingan kelanjutan pembangunan ekonomi. Berangkat dari back ground berbagai kepentingan seperti tersebut diatas, Undang-Undang No.23 Tahun 1997 melandaskan pada asas bahwa pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakn dengan asas tanggung jawab negara, berkelanjutan dan manfaat, dengan tujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dari rumusan asas dan tujuan tersebut tampak bahwa konsep pengelolaan lingkungan di Indonesia masih menempatkan peran negara yang posisi dominan dengan menempatkan konsep tanggung jawab negara dalam pengelolaan. Disamping itu asas berkelanjutan dan manfaat lebih mengandung muatan yang menempatkan posisi menguntungkan keberadaan dunia usaha (penguasa). Mereka menginginkan adanya asas berkelanjutan dan manfaat dalam rangka memberikan jaminan kelangsungan usahanya, melalui jaringan tersedianya sumber daya alam (SDA) secara berkelanjutan yang bermanfaat untuk kelangsungan usahanya. Akibatnya sektor lingkungan tidak ditempatkan sebagai bagian yang integral dalam pembangunan yang dilaksanakan pemerintah. Posisi masyarakat (manusia) ditempatkan hanya sebagai peran yang tidak begitu menguntungkan, tak lebih hanya sebagai obyek pembangunan. Keinginan untuk mewujudkan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi satu tujuan yang mengambang, karena ternyata dalam jabaran pasal demi pasal tidak ada rumusan yang mengatur tentang hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan dengan alam lingkungannya, dan tanggung jawab manusia yang harus dilakukan sebagai hamba (khalifatullah)1 untuk 1 Lihat Al-Quran Surat Al-Baqarah, ayat 31 4 memakmurkan dan mensejahterakan alam lingkungan. Semuanya dilakukan semata dalam rangka beribadah kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa.2 B. Rumusan masalah Berdasarkan dari judul dan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah yang akan penulis kemukakan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana peran masyarakat menurut UU No.37 Tahun 1997 2. Bagaimana gugatan masyarakat menurut UU No.23 Tahun 1997 C. Pembahasan 1. Peran masyarakat Membicarakan peran masyarakat dalam berbagai bentuk akan terkait dengan tradisi masyarakat (budaya) setempat, pemahaman norma/aturan dan kondisi sosio-politik. Dalam penegakan hukum lingkungan hidup, peran serta masyarakat dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik dalam tingkat pengambilan keputusan, pelaksanaan program-program dan pembelaan atau advokasi lingkungan hidup yang dilakukan dipengadilan maupun diluar pengadilan. Peran masyarakat dalam pengambilan keputusan merupakan bentuk pendemokrasian pengambilan keputusan, didalamnya terdapat akses atau partisipasi rakyat. Pelaksanaan program merupakan realisasi dari bentuk kepedulian masyarakat dalam penegakan lingkungan hidup. Dalam pembelaan atau advokasi dalam hal terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan merupakan konsekuensi yang harus dilakukan, sebagai upaya untuk menuntut hak-hak masyarakat yang telah dilanggar atau dirusak. Dilihat menurut ketentuan pengelompokan, peran masyarakat dapat didasarkan pada: 2 Lihat Al-Quran Surat Adz-Dzariyaat, ayat 56 5 Adat-istiadat, tradisi (commons), kebiasaan, kelaziman, dengan memperhatikan asal-usul lembaga, bentuk-bentuk asli unit sosial, keterkaitan lokal menurut culture area, dengan mengidentifikasikan peranan unsur-unsur budaya yang kuat. Hak-hak atas kekayaan alam tradisional (tanah, hasil hutan, hewan, obat-obatan) dan ketergantungannya pada sumberdaya alam tradisional. Keakraban sosial, identitas bersama atau komunitas ( pemuda dan wanita). Pengakuan dalam perundang-undangan (hukum agraria, pertambangan, tata guna air, hutan dan sebagainya). Kebiasaan dan kepatuhan internasional. Peran masyarakat yang dicantumkan dalam pasal 7 UU No.23 tahun 1997, menyebutkan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pelaksanaan ayat (1) dilakukan dengan cara: a. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan, b. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepoloporan masyarakat, c. Menumbuhkan ketanggap segeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial, d. Memberikan saran dan pendapat, e. Memberikan informasi dan/atau laporan. Harus diakui sekalipun UU No.23 tahun 1997 telah mengakomoir peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan secara lebih luas dan terperinci yang lahir sesuai dengan semangat dan wacana yang berkembang, yakni masyarakat yang madani (civil society) pada waktu itu. Ditandai dengan menguatnya peran LSM3 dalam memberikan opini dan konsep pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan yang dimasukkan dalam 3 Ketua ICEL, Mas Akhmad Santoso termasuk dalam TIM Perumus RUU yang akhirnya menjadi UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengolalaan Lingkungan Hidup 6 RUU Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun implikasi penjabarannya tidaklah mudah, sebab kalau dianalisis lebih dalam ternyata konsep penguatan peran masyarakat seluas-luasnya dalam pengelolaan lingkungan, tetapi tidak dalam hal peran masyarakat dalam melakukan gugatan pada waktu terjadi masalah atau sengketa lingkungan hidup. Bahkan terdapat pasal yang mengandung muatan pembatasan dan persyaratan yang teramat ketat bagi masyarakat yang akan melakukan gugatan. Adapun pentingnya peran masyarakat diluar yang telah disebutkan dalam pasal 7 adalah: a. Memberi informasi kepada pemerintah Peran serta masyarakat terutama dapat menambah perbendaharaan pengetahuan mengenai sesuatu aspek tertentu yang diperoleh dari pengetahuan khusus masyarakat itu sendiri maupun dari para ahli yang diminati pendapat oleh masyarakat. Peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk memberikan masukan kepada pemerintah tentang yang dapat ditimbulkan oleh sesuatu rencana tindakan pemerintah dengan berbagai konsekuensinya. Dengan demikian, pemerintah akan dapat mengetahui adanya berbagai kepentingan yang dapat terkena tindakan tersebut yang perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh. Pengetahuan tambahan dan pemahaman akan masalah-masalah yang mungkin timbul yang diperoleh sebagai masukan peran serta masyarakat bagi proses pengambilan keputusan pemerintah akan dapat meningkatkan kualitas keputusan tersebut. Dengan demikian peran serta tersebut akan dapat meningkatkan kualitas tindakan negara dengan lembaga-lembaganya untuk melindungi lingkungan hidup. b. Meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan Seorang warga masyarakat yang telah memperoleh kesempatan untuk berperan serta dalam proses pengambilan dan tidak dihadapkan pada suatu masalah fait accompli akan cenderung untuk memperlihatkan kemauan dan kesediaan yang lebih besar guna menerima dan menyesuaikan diri dengan keputusan yang telah diambil tersebut. 7 Pada pihak lain, peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan akan dapat banyak mengurangi kemungkinan timbulnya pertentangan antar anggota masyarakat, asal peran serta tersebut dilaksanakan pada saat yang tepat. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa suatu keputusan tidak pernah akan memuaskan semua kepentingan, golongan, atau semua warga masyarakat. Namun kesdiaan masyarakat untuk menerima keputusan pemerintah akan dapat ditingkatkan. c. Membantu perlindungan hukum Apabila sebuah keputusan akhir diambil dengan memperhatikan keberatan-keberatan yang dilakukan oleh masyarakat selama proses pengambilan keputusan berlangsung, maka dalam banyak hal tidak akan ada keperluan untuk mengajukan perkara kepengadilan. Sebuah perkara yang diajukan kepengadilan, lazimnya perkara tersebut memusatkan diri pada suatu kegiatan tertentu. Dengan demikian tidak dibuka kesempatan untuk menyarankan dan mempertimbangkan kegiatan alternatif lainnya.Sebaliknya dalam proses pengambilan keputusan, alternatif dapat dan memang dibicarakan, setidak-tidaknyan sampai sampai suatu tingkatan tertentu. Apabila sebuah keputusan dapat mempunyai konsekwensi begitu jauh, maka sangatlah diharapkan bahwa setiap orang yang terkena akibat keputusan itu perlu memberitahukan dan diberi kesempatan untuk mengajukan keluhan dan keberatan-keberatannya sebelum keputusan itu diambil. d. Mendemokrasikan pengambilan keputusan Dalam hubungannya dengan peran serta masyarakat itu, adapendapat yang menyatakan bahwa dalam pemerintahan dengan sistem perwakilan (representative), maka hak untuk melaksanakan kekuasaan terdapat juga pada wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat sendiri. Dengan demikian tidak ada keharusan adanya bentuk-bentuk dari peran serta masyarakat, karena wakil-wakil rakyat itu bertindak untuk kepentingan rakyat yang telah mewakilkan. Dikemukakan pula argumentasi bahwa dalam sistem perwakilan peran serta masyarakat 8 dalam proses pengambilan keputusan administratif akan menimbulkan masalah keabsahan demokratis, karena warga masyarakat, kelompok atau organisasi yang turut serta dalam proses pengambilan keputusan tidaklah dipilih atau diangkat secara demokratis. Terhadap kritik-kritik tersebut diatas, Gundling mengemukakan tanggapannya, sebagai berikut: Bahwa demokrasi dengan sistem perwakilan adalah satu bentuk demokrasi, bukan satu-satunya. Bahwa sistem perwakilan tidak menutup bentuk-bentuk demokrasi langsung. Bahwa bukanlah warga masyarakat, sekelompok warga masyarakat atau organisasi yang sesungguhnya mengambil keputusan, mereka hanya berperan serta dalam tahap-tahap persiapan pengambilan keputusan. Monopoli negara dan lembaga-lembaganya untuk mengambil keputusan tidaklah dipersoalkan oleh adanya peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat dapat dipandang untuk membantu negara atau pemerintah dan lembaga-lembaga yang ada guna melaksanakan tugas dan fungsinya dengan cara yang lebih diterima dan berhasil digunakan oleh semua pihak. 2. Gugatan masyarakat Konsep gugatan masyarakat dalam UU No.23 tahun 1997 dikenal ada 3 macan gugatan masyarakat, yakni, pertama melalui gugatan perdata biasa, kedua, gugatan perwakilan (class action), dan ketiga gugatan organisasi lingkungan (legal standing). Berdasarkan data dilapangan berbagai penyelesaaian sengketa dipengadilan, sebelum dilakukan gugatan terlebih dahulu dilakukan musyawarah antara masyarakat dan LSM atau organisasi lingkungan untuk mensepakati gugatan yang paling memungkinkan dapat dilakukan, yakni tidak menggunakan gugatan perwakilan (class actions) atau 9 gugatan atas nama organisasi (legal standing), tetapi dengan menggunakan gugatan perdata biasa. Gugatan masyarakat dengan menggunakan gugatan perwakilan (class actions) dan legal satnding sebagaimana diatur dalam pasal 37 dan 38 UU No.23 tahun 1997, tidak pernah dapat dilaksanakan. Kedua model gugatan tersebut merupakan hasil adopsi dari model gugatan masyarakat anglo saxon. Pada awalnya model gugatan tersebut memberi harapan yang prospektif untuk diterapkan di Indonesia, namun dalam perkembangannya ternyat tidak pernah dapat digunakan. Rumusan class actions bermula dari usulan beberapa anggota DPR yang kemudian ditampung oleh pemerintah setelah mempertimbangkan berbagai masukan dari anggota Tim Ahli Hukum Menteri Lingkungan Hidup akhirnya diterima dan dimasukkan dalam pasal 37. Dikalangan aktifis LSM yang mempunyai kepedulian terhadap misi kemanusiaan dan lingkungan, ketentuan pasal tersebut dianggap telah membelenggu dan memasung ruang gerak LSM untuk melakukan upaya pembelaan dan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Undang-undang hanya memberi ruang gerak pada LSM untuk melakukan pembelaan dengan catatan tidak menuntut dengan ganti rugi, disamping itu LSM yang dimaksud sudah ditentukan dengan persyaratan yang begitu ketat dan terkesan mengada-ada. Pasal 37 dan 38 yang mengatur hak masyarakat dan organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan menyebutkan bahwa hak untuk mengajukan gugatan yang boleh dilakukan organisasi lingkungan hidup terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali untuk biaya atau pengeluaran riil. Pasal ini dinilai membatasi ruang gerak Ormas Lingkungan untuk melakukan pembelaan sengketa lingkungan. Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan, sekalipun LSM sebagai organisasi diharapkan dapat berbuat banyak untuk melakukan pembelaan masyarakat dalam sengketa lingkungan hidup, namun tampak bahwa keberadaan dan runag geraknya terasa dibatasi. Sebab banyak LSM, terutama 10 didaerah atau pedesaan yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan hidup, tetapi tidak mencantumkan anggaran dasar yang menyebutkan sebagaimana yang disyaratkan seperti dalam pasal 37 dan 38 UU No.23 Tahun 1997. Disamping itu banyak LSM yang aktifitasnya bersifat umum, dalam arti tidak hanya menangani masalah lingkungan hidup, tetapi masalahmasalah yang lain seperti melakukan pembinaan ekonomi masyarakat kecil. Tetapi seringkali mereka diminta masyarakat untuk menjadi kuasa untuk melakukan pembelaan (advokasi) dalam sengketa lingkungan hidup. Pilihan menggunakan gugatan perdata dapat berakibat pada kesulitan masyarakat untuk melakukan pembuktian. Karena hukum acara yang akan digunakan dipengadilan akan mendasarkan pada Hukum Acara Perdata sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata. Dalam mengajukan gugatan perdata dipengadilan, keberadaan LSM aatu organisasi lingkungan hidup dianggap bermasalah dengan pasal 1365 KUHPerdata yang mendasarkan pada asas “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” yang melahirkan doktrin “standing”. Hal ini berarti bahwa seseorang atau organisasi yang dikategorikan cakap atau berwenagn, dapatmenjadi penggugat apabila mampu membuktikan bahwa dirinya “penderita” suatu kerugian, atau kuasa mereka yang termasuk penderita. Pernyataan ini telah menjadi yurisprudensi MA No.294/K/SIP/1971, tanggal 7 juli 19714 . Doktrin hukum inilah yang dijadikan aparat penegak hukum untuk mempermasalahkan keberadan Lembaga Swadaya Masyarakat melakukan gugatan kepengadilan. Ketentuan tersebut menurut Mas Akhmad Santoso dianggap tidak relevan, karena itu perlu untuk dikaji kembali, dengan alasan sebagai berikut: 1. Berkaitan dengan sistem perlindungan lingkungan hidup yang sebaikbaiknya, yaitu mencegah timbulnya bahaya, ancaman, gangguan dan hambatan yang mungkin menimpanya. Kalau doktrin hukum perdata tersebut dipakai berarti penggugat harus terlebih dahulu membuktikan adanya kerugian yang konkrit. Hal ini tentunya sangat bertentangan 4 Mas Akhmad Santoso, Good Govermence dan hukum lingkungan, kementerian lingkungan hidup, jakarta, 2001, hal.291 11 secara diametral dengan perlindungan lingkungan hidup yang sebaikbaiknya tersebut. 2. Tidak seluruh masalah lingkungan disertai korban (manusia) secara langsung, sehingga apabila dituntut suatu pembuktian mengenai unsur hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan kerugian penderita, akan menimbulkan kesulitan siapa yang kelak akan tampil melakukan gugatan dipengadilan.5 Standarisasi LSM tersebut ditemukan dalam pasal 38 UU No.23 Tahun 19976, istilah LSM telah dirubah menjadi organisasi lingkungan, dan untuk dapat melakukan gugatan kepengadilan harus memenuhi syarat prosedural yang teramat ketat dan terkesan mengada-ada, seperti harus berbadan hukum, mempunyai anggaran dasar (AD) organisasi lingkungan yang menyebut dengan tegas aktivitasnya harus dibidang lingkungan, dan benar-benar sudah dilaksanakan dalam kegiatannya. Dengan demikian pembaruan undangundang lingkungan hidup justru telah mereduksi keberadaan LSM dan mempersulit ruang gerak LSM untuk melakukan gugatan masalah lingkungan. Emil Salim menawarkan konsep “keseimbangan” yang menempatkan pemerintah, pengusaha dan masyarakat madani. Antara ketiga kekuatan terdapat hubungan check and balance pada tingkat yang sama, sehingga kepentingan ketiga kekuatan tersebut bisa dipelihara keseimbangannya. Persoalan lingkungan dalam rangka pembangunan berkelanjutan, tidak lepas dari mekanisme pasar, yang tidak menagkap isyarat sosial dan lingkungan. Karena itu perlu mengoreksi kekurangannya untuk mengimbangi pembangunan sosil dan lingkungan dengan pembangunan ekonomi. 5 6 Ibid, hal 294 Bandingkan dengan pasal 19 UU Lingkungan yang lama, yakni UU No.4 tahun 1982 12 Intervensi dapat dilakukan oleh lembaga segitiga, pemerintah pelaku usaha dan masyarakat yang sebangun dan seimbang.7 Agar ketiga kekuatan berfungsi seimbang diperlukan norma, kelakuan dan pengaturan yang memuat beberapa prinsip pokok, pertama, aturan hukum yang memungkinkan keterlibatan dan ketermasukan seluas mungkin anggota masyarakat berperan dalam pembangunan, kedua, aturan hukum yang memungkinkan pasar berfungsi sebaiknya membimbing masyarakat ketingkat efisien tinggi, ketiga, aturan hukum yang mengembangkan good governance (pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat) untuk mengoreksi kelemahan pasar, keempat, aturan hukum untuk mengelola mediasi dan konflik, dan kelima, aturan hukum mengembangkan transpansi sebagai perangkat ampuh mendorong keterbukaan untuk mencegah korupsi, kolusi dan nepotisme. Implikasinya dibutuhkan kerangka peraturan dan program yang jelas dalam melaksanakan amanat pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan semangat good governance, yang dilakukan oleh semua omponen dalam posisi yang seimbang, baik pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat. Amanat ini tampaknya baru direspon dalam bentuk wacana, dan belum menyentuh pada tataran yang bersifat operasional dalam pengelolaan lingkungan hidup. Termasuk dalam menyelesaikan sengketa lingkungan di Indonesia. 7 Emil Salim, Agenda Bangsa, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Badan Pembinaan hukum Nasional Departemen Hukum nasional, Bali14-18 Juli 2003,hal 3-4 13 D. Kesimpulan Harapan bahwa masyarakat dapat berperan dalam pengendalian lingkungan, karena masyarakat yang menjadi pelaku utama dalam pengembangan dari pedesaan sampai dikota-kota. Permasalahannya, secara formal pendidikan di pedesaan rata-rata rendah dan jauh dari akses informasi dan komunikasi. Ketersediaan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi juga terbatas. Secara substansial, masyarakat mempunyai segudang pengalaman berdasarkan pada teknologi-teknologi dan kearifan tradisional mereka (indigenous knowledge and technology), namun selama 1-3 dekade yang lalu, kekayaan pengalaman masyarakat desa banyak ditinggalkan karena dianggap tidak selaras dengan kemajuan teknologi dan wacana abad modern. Akibatnya, tatanan tradisional masyarakat desa di Indonesia tidak mendapatkan sentuhan pengembangan yang cocok 20. Banyak produk kebijakan baik di tingkat lokal (daerah) maupun nasional yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat desa. Pada masa Orde Baru, produk-produk kebijakan yang dihasilkan mengenai desa sangat kental dengan muatan dan nuansa penyeragaman, sementara kondisi obyektif desa-desa sangat beragam. Semangat intervensi dari pusat sangat kuat dirasakan dan sangat efektif, sehingga masyarakat desa kehilangan kemampuan dan keberanian untuk menciptakan aturan kebijakannya sendiri yang lain dari yang ditetapkan pemerintah pusat. Upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup sudah dilakukan jauhjauh hari. Namun, bersamaan dengan kesadaran untuk mengatasi persoalan lingkungan, semakin kuat pula perilaku eksploitatif yang menjadikan pronlem lingkungan semakin tidak berujung. Kondisi semacam ini semakin diperparah oleh watak kapitalis yang direprsentasikan melalui negara-negara industri yang tidak pernah mau sadar akan perilakunya merusak lingkungan secara berlebihan melalui penebangan hutan. Hukum telah menjadi pilihan bagi setiap langkah pemerintah dalam melakukan kontrol sosial atau lebih luas lagi rekayasa sosial. Tetapi sekaligus 14 dengan merebaknay penggunaan hukum untuk tujuan-tujuan penataan dan menggerakkan masyarakat, maka kompleksitas keadaan yang mengikuti kemudian semakin tajam. Maksud kompleksitas disini adalah pertukaran yang tidak sederhana antara hukum dan masyarakat yang diaturnya (Satjipto Rahardj0, 1997:3). Dalam hal ini, secara sosiologis hukum itu dipahami tidak hanya berupa ketentuan aturan yang bersifat normatif tapi juga perilaku hukum yang dilakukan warga masyarakat dan aparat penegak hukum. Masyarakat yang berupa pelaku usaha (industriawan), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat yang terkena dampak negatif dari pembuangan limbah. Sementara penegak hukum berupa pejabat pemerintah, polisi, jaksa, pengacara dan hakim. Kelemahan lainnya, undang-undang ini juga belum dapat dikatakan demokratis karena belum memberikan kewenangan kepada masyarakat khususnya masyarakat adat sebagai subyek dalam memberikan persetujuan serta pertimbangan dalam proses pemberian ijin usaha dibidang kehutanan. Disamping itu keberadaan hak hukum adat hanya diakui oleh pemerintah sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Mewujudkan supremasi hukum melalui upaya penegakan hukum serta konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional. Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu : 15 1. Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara. 2. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata. 3. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana. E. Saran 1. Bahwa proses penegakan hukum yang dipengaruhi oleh berbagai faktor negatif diluar hukum dapat mengakibatkan terjadinya konflik sosial dan kehancuran lingkungan, oleh karena itu perlu dibuka akses untuk publik atas informasi, partisipasi, konpensasi keadilan. Adanya keinginan masyarakat melalui LSM lingkungan atau perorangan yang diinformasikan melalu media masa untuk membawa pelaku tindak kejahatan lingkungan ke pengadilan, makin memberi alasan agar pelaku tindak kejahatan terhadap lingkungan harus dibuat jera, agar diproses menurut ketentuan hukum yang ada. Masyarakat mempunyai fungsi ganda dalam melakukan peran sertanya, dapat sebagai subjek dimana dia menentukan, mengendalikan, melestarikan dan seterusnya, dan dapat pula sebagai obyek ekploitasi, dengan dimanfaatkan olehpihak lain untuk suatu kepetingan, dia (masyarakat) hanya turut sebagai saksi mata bagi pengrusakan lingkungan oleh orang-orang yang punya kekuasaan dan uang, dengan dalih pembangunan. 2. Untuk melakukan class actions atau gugatan perwakilan yang dilakukan organisasi lingkungan dalam sengketa lingkungan dapat dioptimalkan dengan bekerjasama dengan penyidik pegawai negeri sipil yang dalam hal ini diserahkan pada BAPEDAL daerah dan aparat Bapedal yang telah diberi jabatan fungsional sebagai pengawaslingkungan. Karena itu keberadaannya bukan berarti memangkas peran serta LSM dalam melakukan pembelaan masyarakat yang lingkungan hidupnya telah dicemari atau dirusak. Organisasi lingkungan masih punya hak untuk 16 mengajukan gugatan apabila memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam undang-undang lingkungan hidup. 17 DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan di Indonesia. Alumni, Bandung, 1986. Absori, Penegakan Hukum Lingkungan dan Antisipasi dalam Perdagangan Bebas. Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2000. Era Al-Quran, Depag, Jakarta, 1994. Emil Salim, Agenda Bangsa, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Badan Pembinaan hukum Nasional Departemen Hukum nasional, Bali14-18 Juli 2003. Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Arikha Media Cipta, jakarta, 1995. Hartiwiningsih, Hukum Lingkungan dalam Prespektif Kebijakan Hukum Pidana. Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2008. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjahmada University Press, Yogyakarta,2000. Mas Akhmad Santoso, Good Govermence dan Hukum Lingkungan, kementerian lingkungan hidup, jakarta, 2001. Undang-Undang No.23 Tahun 1997, Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 18