BAB I

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang Masalah
Class action adalah prosedur pengajuan gugatan keperdataan yang
lebih dahulu dikenal dalam negara-negara dengan sistem hukum common law
sekitar tahun 1700-an (Indro Sugianto, 2005:24). E. Sundari menjelaskan
bahwa dalam sistem hukum civil law tidak dikenal prosedur class action,
namun karena mempunyai banyak manfaat kemudahan yang efisien dan
ekonomis, prosedur pengajuan gugatan class action ini semakin berkembang
dan diadopsi oleh negara-negara lain penganut sistem hukum civil law
termasuk di Indonesia (E. Sundari, 2002:v).
Class action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait
dengan permintaan injunction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh
sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak misalnya satu atau dua
orang) sebagai perwakilan kelas (class representatives) mewakili kepentingan
mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya
yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut
diistilahkan dengan class members (Mas Achmad Santosa, 1997:10).
Sebelum PERMA Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok diundangkan, beberapa peraturan perundang-undangan
telah memberi pengakuan dan menjadi landasan hukum bagi penerapan class
action di Indonesia. Antara lain dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi, tetapi didalam praktek penerapan gugatan class
action seringkali dihadang oleh berbagai macam kendala. Kendala tersebut
antara lain adalah belum adanya ketentuan yang mengatur acara memeriksa
mengadili dan memutuskan gugatan class action yang diajukan ke pengadilan.
1
2
Dalam praktek peradilan sampai dengan tahun 2001, prosedur class
action dalam beberapa kasus sudah mulai dipergunakan. Misalnya dalam
kasus RO Tambunan yang menggugat Bentoel Remaja, perusahaan Iklan dan
Radio Swasta Niaga Prambors (1997), gugatan yang diajukan oleh yayasan
LBH Riau mewakili diri sendiri maupun atas nama enam ratus ribu jiwa
masyarakat Kota Pekanbaru terhadap empat perusahaan perkebunan di Riau
dalam kasus pembakaran lahan (2000) serta gugatan sembilan konsumen gas
elpiji sebagai perwakilan konsumen elpiji se-Jabotabek terhadap PT Pertamina
atas kenaikan harga gas elpiji di PN Jakarta Pusat (2000) (Indro Sugianto,
2005:2-3). Selain itu juga gugatan yang diajukan oleh Didik Hadiyanto dan
kawan-kawan melawan Saleh Ismailo Iskandar, S.H., (anggota DPRD Jawa
Timur) dalam kasus pernyataan Surabaya kota Pelacur, kota Sampah, dan kota
Banjir dengan nomor perkara 210/pdt.G/2001/PN.SBY, (Emerson Yuntho, 6
Oktober 2005). Sambil menunggu peraturan perundang-undangan yang
mengatur acara gugatan perwakilan kelompok dan sesuai dengan wewenang
Mahkamah Agung apabila belum ada aturannya maka Mahkamah Agung
dapat membuat peraturan untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, maka
diterbitkanlah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2002
Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Di dalam kasus-kasus pencemaran lingkungan seringkali masyarakat
mempercayakan perkaranya untuk ditangani oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Keabsahan yuridis LSM untuk bertindak sebagai wakil
kelompok yang menggugat dalam class action sangat diragukan. Oleh karena
itu tidak sedikit pengadilan yang menolak gugatan yang diwakili oleh LSM.
LSM seringkali hanya bertindak sebagai pengawas/ penjaga jalannya
persidangan yang bersih dan adil.
Alasan yang dapat dikemukakan pengadilan adalah LSM tidak
memiliki kepentingan hukum secara langsung. Dengan kata lain, LSM tidak
menanggung kerugian yang nyata dan tidak tertutup kemungkinan apabila
LSM diberi hak gugat/ ius standi,maka akan ada campur tangan pihak asing
3
yang berkepentingan sebagai penyandang dana. Meskipun demikian LSM
yang bergerak dalam bidang hukum misalnya Lembaga Bantuan Hukum
(LBH), tetap dapat melaksanakan gugatan class action dan bertindak sebagai
kuasa hukum dari kelompok yang bersengketa.
Wakil kelompok dalam class action berasal dari kelompok yang
mempunyai kepentingan dan mengalami kerugian yang sama dengan
kelompok yang diwakilinya, sedangkan organisasi lingkungan, organisasi
kehutanan dan sebagainya bukan pihak yang mengalami kerugian atau
permasalahan secara nyata. Organisasi lingkungan hanyalah pihak yang
mempunyai kepentingan untuk melestarikan dan melindungi lingkungan dari
kerusakan atau pencemaran. Kerugian sebagai akibat rusaknya atau
tercemarnya lingkungan, yang dituntut oleh organisasi lingkungan didasarkan
pada pengertian bahwa lingkungan merupakan milik bersama (termasuk milik
organisasi lingkungan) yang menuntut pula tanggung jawab bersama
(termasuk tanggung jawab organisasi lingkungan) untuk melestarikan dan
melindunginya (E. Sundari, 2002:31-32).
Gugatan class action secara konseptual berbeda dengan konsep hak
gugat LSM/ organisasi lingkungan hidup (OLH). Menurut Mas Achmad
Santosa yang kemudian dibahas lebih lanjut oleh Indro Sugianto menjelaskan
bahwa class action terdiri dari unsur class representative dan class members,
dimana kedua-duanya adalah merupakan pihak-pihak korban atau yang
mengalami kerugian nyata, sedangkan dalam konsep hak gugat LSM, LSM
sebagai penggugat bukanlah pihak yang mengalami kerugian nyata. Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai penggugat dalam konteks lingkungan
sebagai pihak yang mewakili kepentingan perlindungan lingkungan hidup.
Atau dengan kata lain dasar kepentingan dari hak gugat LSM/ OLH adalah
fungsi pelestarian lingkungan hidup sedangkan dasar kepentingan class action
adalah kepentingan masyarakat/ publik yng menderita kerugian yang riil. Oleh
karena itu konsep “wakil” dalam class action bersifat riil berbeda dengan
konsep “wakil” dalam hak gugat LSM yang bersifat abstrak. Jadi apabila class
4
action bersifat commonality, maka LSM/ OLH, seperti legal standing adalah
pemberian hak oleh undang-undang (Indro Sugianto, 2005:66-67).
Perbedaan mendasar antara konsep gugatan class action dengan
konsep hak gugat LSM/ OLH (baik berupa legal standing, standing to sue
maupun ius standi) juga menyangkut aspek tuntutan. Tuntutan ganti kerugian
dalam konsep hak gugat LSM adalah merupakan sesuatu yang bukan
merupakan ruang lingkup yang dijamin undang-undang. Tuntutan ganti
kerugian yang diajukan dalam hak gugat LSM/ OLH tersebut berupa remedy/
pemulihan lingkungan yang merupakan kerugian nyata dalam konteks
pemeliharaan lingkungan. Oleh karena itu apabila dalam konsep gugatan class
action pada umumnya berujung pada tuntutan ganti kerugian, berbeda pada
gugatan yang diajukan LSM/OLH. Seperti yang juga diungkapkan oleh
Sudikno bahwa gugatan yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup tidak
dapat berupa tuntutan membayar ganti rugi (Sudikno Mertokusumo, 2002:67).
Gugatan yang dapat diajukan melalui prosedur class action adalah
pengajuan gugatan dengan jumlah pihak yang sedemikian besar, sehingga
lebih efektif dan efisien bersama-sama dalam satu gugatan, terdapat kesamaan
fakta dan kesamaan dasar hukum serta adanya kesamaan tuntutan yang
sejenis. Wakil kelompok dalam class action haruslah mempunyai kejujuran,
kesungguhan dan keadilan untuk melindungi anggota kelompok yang diwakili.
Kehadiran PERMA Nomor 1 tahun 2002 memberikan angin baru bagi
kepastian penanganan terhadap gugatan class action. Ketentuan ini memuat
aturan-aturan gugatan class action yang mempunyai karakteristik yang
berbeda dari gugatan perdata biasa. Pada gugatan class action, para wakil
kelompok tidak memerlukan surat kuasa dari para anggota kelompok, tetapi
dalam HIR yang mengatur gugatan perdata biasa, pemberian kuasa dari para
wakil kelas kepada kuasa hukum tetap memerlukan surat kuasa khusus. Selain
itu dalam Pasal 5 PERMA Nomor 1 tahun 2002 menyebutkan tentang
pemeriksaan awal dan dalam Pasal 7 menyebutkan tentang pemberitahuan
5
yang keduanya tidak dikenal dalam gugatan perdata biasa. Dalam hal belum
ada aturannya, Pasal 10 PERMA tersebut menunjuk Hukum Acara Perdata
yang sedang berlaku di Indonesia.
Mas Achmad Santosa dan Wiwiek Amiarti dari Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL) mengakui PERMA No.1 Tahun 2002 mempunyai
arti penting karena akan memberikan kepastian penanganan terhadap gugatan
class action. Apalagi selama ini gugatan class action bisa diterima atau ditolak
oleh pengadilan dengan berbagai pertimbangan, bahkan tidak sedikit hakim
yang menanyakan surat kuasa dalam kasus gugatan perwakilan kelompok
(www.kompas.com/kompas-cetak , diakses tanggal 29 November 2005).
Dalam gugatan class action tidak diperlukan sifat kuasa seperti dalam
gugatan perdata biasa. Pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2002 menentukan bahwa
untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak
dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok, tetapi
apabila wakil kelompok sebagai penggugat aktif memberikan kuasa hukum
pada pengacara maka mereka harus memberikan surat kuasa.
Berdasarkan latar belakang tersebut, melalui serangkaian proses
penelitian penulis bermaksud untuk mengetahui dan memperoleh data
mengenai pelaksanaan prosedur class action dalam suatu kasus di Pengadilan
Negeri Surakarta sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 1 tahun 2002,
yang akan dituangkan dalam penulisan hukum dengan judul :
“Gugatan Class Action Dalam Sengketa Lingkungan Di Pengadilan Negeri
Surakarta (Analisis Proses Pemeriksaan Dan Pertimbangan Hakim Pada Kasus
Ismu Wardoyo Dan Slamet Suryanto)”.
B Perumusan Masalah
Sehubungan dengan kemungkinan terjadinya perluasan masalah dan
pembahasan masalah yang tidak sesuai dengan persoalan, maka diperlukan
6
adanya perumusan masalah adapun yang dimaksud dengan masalah adalah
setiap kesulitan yang menggerakkan manusia untuk memecahkannya. Agar
pembahasan lebih terarah dan mendalam sesuai sasaran yang ditentukan, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses pemeriksaan gugatan class action dalam sengketa
lingkungan di Pengadilan Negeri Surakarta pada kasus Ismu Wardoyo dan
Slamet Suryanto?
2. Bagaimana pertimbangan hakim pada putusan atas gugatan class action
yang diajukan oleh Ismu Wardoyo dan warga bantaran sungai Kali Anyar
terhadap Slamet Suryanto (mantan Walikota Surakarta)?
C Tujuan Penelitian
Suatu penelitian supaya terarah serta mengenai sasarannya maka harus
mempunyai tujuan. Berpangkal tolak dari permasalahan diatas, maka tujuantujuan yang ingin dicapai dengan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Tujuan Obyektif
a)
Untuk mengetahui prosedur dan tata cara proses pemeriksaan
gugatan class action sesuai dengan PERMA No.1 tahun 2002.
b)
Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus
perkara yang diajukan secara class action serta dalam memeriksa dan
mempertimbangkan
kriteria
class
action
menurut
Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok.
2. Tujuan Subyektif
a)
Untuk melatih kemampuan meneliti.
b)
Untuk menambah pengetahuan empiris.
7
D Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a)
Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai informasi pelengkap
pengembangan teori beracara gugatan class action.
b)
Memberikan masukan bagi pengetahuan hukum khususnya berkaitan
dengan permasalahan class action yang diajukan oleh masyarakat.
2. Manfaat Praktis
a)
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai panduan bagi teman
maupun
rekanan
yang
akan
mengajukan
gugatan
secara
berkelompok.
b)
Memberikan masukan dan sumbangan pengetahuan bagi hakim dan
penegak hukum dalam permasalahan yang berkaitan dengan class
action demi perkembangan hukum Indonesia.
E Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara kerja yang digunakan untuk dapat
memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan sebagai
usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu
pengetahuan. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah :
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan jenis penelitian
hukum empiris. Penelitian hukum empiris adalah penelitian dengan
pendekatan empiris, yaitu seperti yang dipaparkan Hilman Hadikusuma
sebagai suatu usaha mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum
yang nyata atau sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat
(Hilman Hadikusuma , 1995:61-62).
2. Sifat Penelitian
Sesuai dengan masalah yang diteliti, penelitian ini bersifat
penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang memberikan gambaran secara
8
sistematis terhadap obyek yang diteliti. Penelitian deskriptif pada
umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan
akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat,
karakteristik, atau faktor-faktor tertentu. Penelitian deskriptif ditempuh
dengan cara memusatkan diri pada pemecahan masalah yang ada. Mulamula data disusun dan dikumpulkan, dijelaskan, kemudian dianalisis
(Bambang Sunggono, 1996:36).
3. Jenis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis data yaitu :
a) Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung
dari lapangan berupa keterangan-keterangan dari staf bagian hukum
Pengadilan Negeri Surakarta serta pendapat-pendapat yang relevan
dalam hal ini adalah hakim yang ditunjuk Pengadilan Negeri Surakarta
yakni, Bapak Ganjar Susilo, S.H dan salah satu hakim pemeriksa
perkara yang diteliti yakni, Bapak Setyawan Hartono, S.H., mengenai
hal-hal yang terkait dengan masalah yang diteliti.
b) Data Sekunder
Data sekunder berupa studi kepustakaan, peraturan perundangundangan, putusan hakim, dan data lain yang ada hubungannya dengan
masalah yang diteliti. Data tersebut antara lain berkas perkara dan
putusan nomor : 32/Pdt.G/2002/PN.Ska., peraturan perundangan yang
menunjang class action, dan buku maupun catatan kuliah.
4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber dimana data
diperoleh. Berdasarkan jenis datanya, maka yang menjadi sumber data
dalam penelitian ini adalah :
a) Data Primer
Data primer merupakan data yang berupa hasil wawancara
sebagai data yang diperoleh dalam proses penelitian dari staf bagian
9
hukum Pengadilan Negeri Surakarta dan hakim yang ditunjuk
Pengadilan Negeri Surakarta yakni, Bapak Ganjar Susilo, S.H. dan
salah satu hakim pemeriksa perkara yang diteliti yakni, Bapak
Setyawan Hartono, S.H. , yang memberikan informasi dan pendapat
terhadap masalah yang diteliti.
b) Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang digunakan sebagai
penunjang terhadap data primer, meliputi berkas perkara nomor :
32/Pdt.G/2002/PN.Ska. dan putusan nomor : 32/Pdt.G/2002/PN.Ska.,
peraturan perundangan yang menunjang class action, dan buku
maupun catatan kuliah.
5. Teknik Pengumpulan Data
a) Data Primer, menggunakan wawancara (interview).
Istilah interview atau wawancara artinya tanya jawab dalam
bentuk komunikasi verbal (berhubungan dengan lisan), bertatap muka
antara interviewer (pewawancara) dengan para informan; atau
responden yang menjadi interviwi (interviewee) yaitu para anggota
masyarakatvyang diwawancara (Hilman Hadikusuma, 1995:78).
Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi
ynag dilakukan untuk memperoleh data atau keterangan terhadap
orang-orang yang dianggap mengetahui dan dimungkinkan diperoleh
data yang berguna dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalam hal ini penulis menggunakan teknik wawancara yang tidak
berstruktur yang dilakukan tanpa mengajukan daftar pertanyaan, tetapi
penulis menggunakan catatan-catatan pertanyaan sebagai pegangan
dalam mengajukan pertanyaan. Teknik wawancara tidak berstruktur
termasuk dalam wawancara tidak berencana yang merupakan suatu
teknik wawancara yang harus dipersiapkan terlebih dahulu sebelum
wawancara dilaksanakan (Hilman Hadikusuma, 1995:80).
10
Wawancara dilakukan dengan staf bagian hukum Pengadilan
Negeri Surakarta dan hakim Pengadilan Negeri Surakarta yang telah
ditunjuk yakni, Bapak Ganjar Susilo, S.H. dan salah satu hakim
pemeriksa perkara yang diteliti yakni, Bapak Setyawan Hartono, S.H.
b) Data Sekunder
Data Sekunder menggunakan cara studi dokumen, yaitu dengan
mengkaji berkas perkara dan putusan nomor : 32/Pdt.G/2002/PN.Ska.,
peraturan perundangan yang menunjang class action, dan buku
maupun catatan kuliah.
6. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat
ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang
disarankan oleh data (Lexy Moleong, 2000:103).
Menurut Soerjono Soekanto, analisis data kualitatif adalah cara
penelitian yang menggunakan dan menghasilkan data deskriptif analisis
yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis maupun lisan dan juga
perilaku nyata dari yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh
(Soerjono Soekanto, 1986:250).
Teknik analisis data yang dipergunakan penulis dalam penelitian
ini adalah teknik analisis kualitatif dengan model interaktif, yaitu :
a) Mereduksi data
b) Menyajikan data
c) Menarik kesimpulan.
Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan dalam sebuah bagan
sebagai berikut :
11
Pengumpulan
Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Penarikan
Kesimpulan
Data yang terkumpul kemudian direduksi melalui seleksi penyederhanaan
secara terus menerus selama penelitian, kemudian diambil kesimpulan.
Tahap ini tidak harus berurutan sebab jika data yang diperoleh sudah
lengkap, maka data tersebut dapat disajikan. Apabila ditemui kesulitan
dalam menarik kesimpulan karena kurang lengkapnya data, maka bisa
kembali ke tahap pengumpulan data sampai dat yang diperoleh dirasa
cukup. Jadi antara tahap 1 dan tahap lainnya harus berurutan, tetapi
berhubungan terus membentuk suatu siklus.
F Sistematika Skripsi
Pelaporan penelitian penulisan hukum terbagi dalam empat bab dan
masing-masing bab terbagi dalam sub-sub bab. Adapun sistematika yang
digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis menguraikan latar belakang masalah
yang terkait dengan pemilihan judul yang diteliti yakni mengenai
Gugatan Class Action, kemudian bagaimana permasalahan yang
hendak dibahas untuk menghindari perluasan masalah, tujuan
penelitian baik obyektif maupun subyektif, manfaat teoritis dan
praktis yang diperoleh dari penelitian, metode yang digunakan
dalam penelitian serta sistematika skripsi. Metode penelitian
12
hukum ini meliputi jenis penelitian, sifat penelitian, pendekatan
penelitian, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data dan
analisis data.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis akan menguraikan Kerangka Teori
dan Kerangka Pemikiran. Kerangka teori memuat tinjauan proses
pemeriksaan perkara perdata di peradilan umum yang meliputi
pengertian Hukum Acara Perdata, asas-asas Hukum Acara Perdata
yang seyogyanya tercermin dalam Hukum Acara Class Action,
para pihak yang berperkara, tuntutan hak dan jalannya persidangan.
Selain itu juga diuraikan tinjauan gugatan class action yang
meliputi pengertian class action, sejarah class action, manfaat
class action, landasan hukumnya, unsur-unsur dan syarat-syarat
class action beserta prosedurnya.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan hasil penelitian
yang telah dilakukan dan pembahasannya yakni tentang prosedur
pemeriksaan gugatan class action sesuai dengan PERMA Nomor 1
Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Penulis juga akan menyajikan suatu kasus gugatan class action dari
Pengadilan
Negeri
Surakarta
yang
kemudian
dianalisis
pertimbangan hakimnya dalam menjatuhkan putusan terhadap
kasus tersebut.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang kesimpulan yang
didapat dari penelitian dan saran bagi permasalahan yang ada.
Download