bab ii perjanjian jual beli menurut kuh perdata

advertisement
BAB II
PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA
Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Dalam Pasal 1457 KUH Perdata pengertian jual beli adalah suatu
persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu
barang/benda (zaak), dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri
berjanji untuk membayar harga. 22
Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undangundang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara
khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang Hukum
Dagang.
A. Pengertian Perjanjian Jual Beli
Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih. dalam membuat perjanjian, kedudukan antara para
pihak yang mengadakan perjanjian sama dan sederajat.23
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
juga mengatur mengenai
pengertian jual beli yaitu suatu perjanjian bertimbal-balik dalam mana pihak
yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang,
22
23
M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, Hal.181
R.Subekti, Op.Cit , hal 282
Universitas Sumatera Utara
sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang
terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
Perkataan jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan
dinamakan menjual. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal
balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang
menjuga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu “verkoopt”
(menjual) sedang yang lainnya “koopt” (membeli). Dalam bahasa inggris
jual-beli disebut dengan hanya “sale” saja yang berarti “penjualan” (hanya
dilihat dari sudutnya si penjual), begitu pula dalam bahasa Perancis disebut
hanya dengan “vente” yang juga berarti “penjualan”, sedangkan dalam
bahasa Jerman dipakainya perkataan “Kauf” yang berarti “pembelian”. 24
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana
antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang
menjadi objek jual beli. 25 Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua
belah pihak telah setuju tentang harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian
jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang berbunyi “ jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak
seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga,
meskipun barang ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar ”. 26
Kemudian didalam Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Perdata mengatur juga tentang saat terjadinya jual beli, yaitu :
“Jual Beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika
setelah orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan
harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum
dibayar”.27
24
R. Subekti. S.H., Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal.1
Ibid, hal.2
26
Ibid
27
R.Subekti, Op.Cit, hal.305
25
Universitas Sumatera Utara
Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal
lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual
beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para
pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para
pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku
dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual.
Menurut Wiryono Prodjodikoro, jual beli suatu barang adalah “Suatu
penyerahan barang oleh penjual kepada pembeli dengan maksud memindahkan
hak milik atas barang tersebut dan dengan syarat pembayaran harga tertentu
berupa uang pembeli kepada penjual”. 28
Oleh beberapa sarjana lainnya memberikan pengertian jual beli adalah
sebagai berikut :
“Jual Beli ialah perjanjian atau persetujuan atau kontrak dimana satu pihak
(penjual) mengikat diri untuk menyerahkan hak milik atas benda atau barang
kepada pihak lainnya (pembeli) yang mengikat dirinya untuk membayar harganya
berupa uang kepada penjual.” 29
Menurut Salim H.S., perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang
dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli. Di dalam perjanjian itu pihak
penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan
28
Wirjono Prodjodikoro, Rancangan Undang-undang Tentang Peraturan Hukum
Perjanjian, Bab II Pasal 16, (Selanjutnya disebut sebagai Wirjono Prodjodikoro II)
29
R.M. Suryodiningrat, Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung,
1982, hal.14
Universitas Sumatera Utara
berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan
berhak menerima objek tersebut. 30
Unsur yang terkandung dalam defenisi tersebut adalah :
a. Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli
b. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga
c. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli
B. Syarat Sahnya Perjanjian Jual Beli
Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan syarat sahnya perjanjian jual
beli dimana perjanjian jual beli merupakan salah satu jenis dari perjanjian. Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa syarat dari
sahnya perjanjian adalah :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu
kesepakatan atau konsensus pada para pihak. Yang dimaksud dengan
kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara para pihak dalam
perjanjian. Jadi dalam hal ini tidak boleh adanya unsur pemaksaan
kehendak dari salah satu pihak pada pihak lainnya. Sepakat juga
dinamakan suatu perizinan, terjadi oleh karena kedua belah pihak sama
sama setuju mengenai hal-hal yang pokok dari suatu perjanjian yang
diadakan. Dalam hal ini kedua belah pihak menghendaki sesuatu yang
30
Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar
Grafika, 2003, hlm. 49.
Universitas Sumatera Utara
sama secara timbal balik. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak,
yaitu dengan : 31
a. Bahasa yang sempurna dan tertulis
b. Bahasa yang sempurna secara lisan
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan
dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak
lawannya.
d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya
e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya
kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis . Seseorang yang
melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan dengan akta
otentik maupun akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan adalah akta
yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang
membuat akta. Sedangkan akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau
dihadapan pejabat yang berwenang. Menurut pasal 1321 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, kata sepakat tidak didasarkan atas kemauan bebas
/ tidak sempurna apabila didasarkan :
a. Kekhilafan (dwaling)
b. Paksaan (geveld)
c. Penipuan (bedrog)
31
Ibid, hal. 33
Universitas Sumatera Utara
Dengan adanya kesepakatan, maka perjanjian tersebut telah ada dan
mengikat bagi kedua belah pihak serta dapat dilaksanakan.
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Cakap artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu
perbuatan hukum yang dalam hal ini adalah membuat suatu perjanjian.
Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat
hukum. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah
orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun
sesuai dengan pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam
pasal 1330 disebutkan bahwa orang yang tidak cakap untuk melakukan
perbuatan hukum adalah :
a. Orang yang belum dewasa
b. Orang yang dibawah pengampuan
c. Seorang istri. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui
Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963,
orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.
Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin
suaminya.32
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu disebut juga dengan objek perjanjian. Objek perjanjian
harus jelas dan ditentukan oleh para pihak yang dapat berupa barang
32
http://google/syarat-sah-perjanjian/ diakses pada tanggal 30 Februari 2013
Universitas Sumatera Utara
maupun jasa namun juga dapat berupa tidak berbuat sesuatu. Objek
Perjanjian juga biasa disebut dengan Prestasi. Prestasi terdiri atas : 33
a.
memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan
barang.
b.
berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak,
membangun rumah, melukis suatu lukisan yang dipesan.
c.
tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan
suatu
bangunan, perjanjian untuk tidak menggunakan merek
dagang tertentu.
Prestasi dalam suatu perikatan harus memenuhi syarat-syarat : 34
a.
Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau
sedikitnya dapat ditentuk 2an jenisnya. Misalnya : A menyerahkan
beras kepada B 1 kwintal.
b.
Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan. Tanpa suatu
kepentingan orang tidak dapat mengadakan tuntutan. Misalnya
Concurrentie Beding (syarat untuk tidak bersaingan).
Contoh: A membeli pabrik sepatu dari B dengan syarat bahwa B
tidak boleh mendirikan pabrik yang memproduksi sepatu pula.
Karena A menderita kerugian, maka pabrik sepatu diganti dengan
produk lain. Dalam hal ini B boleh mendirikan pabrik sepatu lagi,
karena antara A dan B sekarang tidak ada kepentingan lagi.
33
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2007, hal. 69.
34
Komariah, Hukum Perdata, Malang : UPT Penerbitan Universitas Muhamadiyah,
2008, hal, 148.
Universitas Sumatera Utara
d.
Prestasi harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum.
e.
Prestasi harus mungkin dilaksanakan.
4. Suatu sebab yang halal
Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum perdata tidak
dijelaskan pengertian sebab yang halal. Yang dimaksud dengan sebab yang
halal adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Syarat
pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena berkaitan dengan
subjek perjanjian dan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif
karena berkaitan dengan objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan
syarat kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat diminta
pembatalannya. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak
yang tidak cakap atau pihak yang memberikan ijinnya secara tidak bebas.35
Sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka
akibatnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum artinya perjanjian
tersebut dianggap tidak pernah ada sama sekali sehingga para pihak tidak
dapat menuntut apapun apabila terjadi masalah di kemudian hari.
Dua syarat yang pertama untuk syahnya perjanjian, yaitu adanya
kesepakatan dan kecakapan, dinamakan syarat subyektif, karena mengenai orangorangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat
yang terakhir dinamakan syarat obyektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri
35
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Jika salah satu syarat sahnya
dari suatu perjanjian tersebut tidak terpenuhi, perjanjian itu dapat dibatalkan atau
batal demi hukum.
a. Syarat Subyektif
Mengenai subyek yang disyaratkan, antara pihak yang mengikat
diri dan syarat tentang kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
disebut syarat subyektif. Dalam syarat subyektif, jika syarat itu tidak
dipenuhi perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu
pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu
dibatalkan. Pihak yang dapat menerima pembatalan itu adalah pihak
yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara
tidak bebas yaitu orangtua atau walinya ataupun dirinya sendiri
apabila kelak sudah menjadi cakap dan /atau pihak yang memberikan
izin atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Disini
perjanjian yang telah dibuat itu tetap mengikat, selama tidak
dibatalkan oleh hakim atas tuntutan pihak yang berhak meminta
pembatalan. Dengan demikian, kelanjutan perjanjian seperti itu
tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk
mentaatinya. Gugatan pembatalan itu dapat dilakukan selama lima
tahun.
Untuk menghilangkan ancaman pembatalan, oleh undangundang kemudian diberi jalan keluarnya, suatu perjanjian dapat
dilakukan dengan penguatan oleh orangtua, wali atau mengampu
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Penguatan yang demikian itu, dapat terjadi secara tegas,
atau dapat terjadi secara diam-diam. Atau apabila orang yang dalam
suatu perjanjian telah memberikan sepakatnya secara tidak bebas,
dapat pula menguatkan perjanjian yang dibuatnya, baik secara tegas
maupun secara diam-diam. Oleh karena itu, dalam hal adanya
kekurangan
mengenai
syarat
subyektif,
undang-undang
menyerahkan kepada para pihak, untuk melakukan pembatalan
perjanjian atau tidak. Perjanjian yang demikian itu, tidak batal demi
hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan.
b. Syarat Obyektif
Syarat Obyektif adalah mengenai obyek yang diperjanjikan,
yaitu tentang syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Apabila yang tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian adalah syarat
obyektif, perjanjian tersebut batal demi hukum, karenanya tujuan
para pihak untuk membuat suatu perjanjian menjadi batal. Karena
obyek yang diperjanjikan batal, perjanjiannya otomatis batal demi
hukum . Dengan demikian, tidak ada dasar untuk saling menuntut di
depan hakim.
Jika para pihak yang membuat perjanjian adalah orang, orang
yang dianggap sebagai subyek hukum yang dapat melakukan
hubungan hukum dengan pihak lain, adalah orang-orang yang tidak
termasuk didalam ketentuan Pasal 1330 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1) Orang-orang yang belum dewasa
Kriteria mengenai orang yang belum dewasa menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, adalah mereka yang belum
mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan sebelumnya
belum kawin. Pengecualiannya, dalam membuat perjanjian
kerja, syarat kecakapan yang menjadi salah satu syarat sahnya
perjanjian, usia dewasa dianggap dewasa apabila berumur 18
tahun baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian,
mengenai cakap dalam membuat perjanjian kerja, untuk pekerja
dapat menyimpang dari Pasal 1330 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Pasal 1 butir 26 UUKK).
2) Mereka yang berada dibawah pengampunan
Orang-orang yang diletakkan dibawah pengampunan adalah
setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang
akal, sakit ingatan atau boros. Pembentuk undang-undang
memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari
tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk
mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada dibawah
pengampunan mengadakan perjanjian, yang mewakilinya adalah
orangtuanya atau pengampunnya (Pasal 433 Kitab UndangUndang Hukum Perdata).
Universitas Sumatera Utara
Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi
tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan
suatu perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampunan
dibawah pengampunan menurut hukum tidak dapat berbuat
bebas
dengan
pengawasan
harta
kekayaannya.
pengampun.
ia
Kedudukannya,
berada
sama
dibawah
dengan
seseorang anak yang belum dewasa harus diwakili oleh orang
tua atau walinya, seorang dewasa yang telah ditaruh dibawah
pengampunan harus diwakili oleh pengampun atau kuratornya.
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang
Awalnya, seorang perempuan yang bersuami, untuk
mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atas izin
tertulis dari suaminya. Tidak cakapnya seorang perempuan yang
bersuami berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
itu, di Negeri Belanda sendiri sudah dicabut, karena dianggap
tidak sesuai lagi dengan kemajuan jaman. Ketentuan tersebut di
Indonesia
juga
sudah
dihapuskan.
Mahkamah
Agung
menganggap Pasal 108 s/d 110 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan
perbuatan hukum dan untuk menghadap didepan pengadilan
tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi.
Kemudian sejak berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun
Universitas Sumatera Utara
1974 tentang Perkawinan, Ketentuan seperti disebutkan pada
Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut lebih
tegas lagi dinyatakan tidak berlaku. Undang-undang Perkawinan
menyebutkan, hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan
hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, masing-masing
pihak
berhak
untuk
melakukan
perbuatan
hukum
(SE
Mahkamah Agung Nomor 3/1963).
4) Orang yang dilarang undang-undang membuat perjanjian
Dalam kasus orang yang dilarang oleh Undang-undang,
dapat diambil contoh dari ketentuan Pasal 1601 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Dalam ketentuan itu diatur bahwa
perjanjian kerja antara suami istri adalah batal, dengan demikian
undang-undang melarang suami dan istri untuk membuat
perjanjian kerja.
Menurut ketentuan tersebut, mereka yang termasuk dalam
kriteria diatas tidak dapat membuat suatu perjanjian.
C. Asas-asas Hukum Dalam Suatu Perjanjian Jual Beli
Asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian umumnya terdapat dalam
perjanjian jual beli. Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas, namun secara
umum asas perjanjian ada lima yaitu : 36
36
Salim H.S.,Op.Cit, hal. 49
Universitas Sumatera Utara
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang berbunyi “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas
Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk : 37
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian,
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang paling penting di
dalam perjanjian karena di dalam asas ini tampak adanya ungkapan hak
asasi manusia dalam membuat suatu perjanjian serta memberi peluang
bagi perkembangan hukum perjanjian.
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat dilihat dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa
salah satu syarat adanya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan dari
kedua belah pihak.38 Asas konsensualisme mengandung pengertian bahwa
suatu perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal melainkan
cukup dengan kesepakatan antara kedua belah pihak saja. Kesepakatan
37
38
Ibid, hal.9
Ibid, Hal.10
Universitas Sumatera Utara
merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan dari kedua belah
pihak.
3. Asas mengikatnya suatu perjanjian
Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dimana suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi pembuatnya. Setiap orang yang membuat
kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak
tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut
mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.
4. Asas iktikad baik (Goede Trouw)
Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat
(3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Itikad baik ada dua yaitu : 39
a. Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.
Contoh, Si A melakukan perjanjian dengan si B membangun
rumah. Si A ingin memakai keramik cap gajah namun di pasaran
habis maka diganti cap semut oleh si B.
b. Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang. Contoh,
si A ingin membeli motor, kemudian datanglah si B (penampilan
preman) yang mau menjual motor tanpa surat-surat dengan harga
murah. Si A tidak mau membeli karena takut bukan barang halal
atau barang tidak legal.
39
Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Jakarta : Pustaka Yustisia, 2009, hal.
45
Universitas Sumatera Utara
5. Asas Kepribadian
Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian
kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat dalam Pasal 1317
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang janji untuk pihak ketiga.
Namun, menurut Mariam Darus ada 10 asas perjanjian, yaitu :
a.
Kebebasan mengadakan perjanjian
b.
Konsensualisme
c.
Kepercayaan
d.
Kekuatan Mengikat
e.
Persamaan Hukum
f.
Keseimbangan
g.
Kepastian Hukum
h.
Moral
i.
Kepatutan
j.
Kebiasaan
D. Sifat-sifat dan Cara Penyerahan Objek Perjanjian Jual Beli
Penyerahan barang dalam jual-beli, merupakan tindakan pemindahan
barang yang dijual kedalam kekuasaan dan pemilikan pembeli.
Dalam Pasal 1475 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan
bahwa agar pemilikan pembeli menjadi sempurna, pembeli harus menyelesaikan
penyerahan tersebut. Misalnya penjualan rumah atau tanah secara yuridis, dengan
Universitas Sumatera Utara
jalan melakukan akte balik nama (overschrijving) dari nama penjual kepada nama
pembeli.40
Saat terjadinya jual beli adalah seketika setelah tercapainya kesepakatan
dari kedua belah pihak atas benda dan harganya meskipun benda tersebut belum
diserahkan dan harganya belum dibayar. Ketentuan ini sebagaimana umumnya
perjanjian, maka jual-beli ini menganut asas konsensualisme.
Hak dari Penjual menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak
pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak. Sedangkan
kewajiban penjual adalah sebagai berikut :
1. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal tiga jenis benda yaitu
benda bergerak, benda tidak bergerak dan benda tidak bertubuh maka
penyerahan hak miliknya juga ada tiga macam yang berlaku untuk masingmasing barang tersebut yaitu : 41
a. Penyerahan Benda Bergerak
Mengenai Penyerahan benda bergerak terdapat dalam Pasal 612
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan penyerahan
kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan
penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik,
atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana
kebendaan itu berada. Mengenai Penyerahan benda bergerak terdapat
40
41
R. Subekti, Op.Cit, hal.305
Ahmad Miru, Op.Cit, hal. 128.
Universitas Sumatera Utara
dalam Pasal 612 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau akta
dibawah tangan yang harus diberitahukan kepada dibitur secara tertulis,
disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa
dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang
karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan
endosemen.
b. Penyerahan Benda Tidak Bergerak
Mengenai Penyerahan benda tidak bergerak diatur dalam Pasal 616620 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa
penyerahan barang tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Untuk
tanah dilakukan dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sedangkan
yang lain dilakukan dengan akta notaris.
c. Penyerahan Benda Tidak Bertubuh
Diatur dalam Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang menyebutkan penyerahan akan piutang atas nama dilakukan
dengan akta notaris
2. Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung
terhadap cacat-cacat tersembunyi.
Pasal 30 sampai dengan pasal 52 United Nations Convention on
Contract for the International Sale of Goods mengatur tentang kewajiban
pokok dari penjual yaitu sebagai berikut : 42
a. Menyerahkan barang
42
Salim H.S.,Op.Cit, hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
b. Menyerahterimakan dokumen
c. Memindahkan Hak Milik
Hak dari Pembeli adalah menerima barang yang telah dibelinya, baik
secara nyata maupun secara yuridis. Di dalam Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Penjualan barang-barang Internasional (United
Nations Convention on Contract for the International Sale of Goods) telah
diatur tentang kewajiban antara penjual dan pembeli. 43 Pasal 53 sampai 60
United Nations Convention on Contract for the International Sale of
Goods mengatur tentang kewajiban pembeli. Ada 3 kewajiban pokok
pembeli yaitu: 44
a. Memeriksa barang-barang yang dikirim oleh Penjual
b. Membayar harga barang sesuai dengan kontrak
c. Menerima penyerahan barang seperti disebut dalam kontrak
Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang termasuk tindakan
mengambil langkah-langkah dan melengkapi dengan formalitas yang mungkin
dituntut dalam kontrak atau oleh hukum dan peraturan untuk memungkinkan
pelaksanaan pembayaran. Tempat pembayaran di tempat yang disepakati kedua
belah pihak. Kewajiban Pihak Pembeli adalah :
1.
Membayar harga barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang telah
dibuat
2.
Memikul biaya yang ditimbulkan dalam jual beli, misalnya ongkos
antar, biaya akta dan sebagainya kecuali kalau diperjanjikan
43
44
Ibid, hal.57
Ibid, hal.58
Universitas Sumatera Utara
sebaliknya. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa kewajiban dari
pihak pembeli adalah merupakan hak bagi pihak penjual dan
sebaliknya kewajiban dari pihak penjual adalah merupakan hak bagi
pihak pembeli.
Mengenai tempat penyerahan menurut ketentuan Pasal 1393 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ada beberapa kemungkinan, yaitu :
1.
di tempat sebagai yang ditetapkan dalam perjanjian;
2.
di tempat barang itu berada pada saat terjadinya perjanjian;
3.
di tempat tinggal pembeli;
4.
di tempat tinggal penjual.
Perlu dingatkan bahwa istilah “pembayaran” yang disebutkan dalam Pasal
1393 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata harus diartikan setiap penunaian
kewajiban. Jadi, setiap penyerahan adalah pembayaran. 45
Mengenai waktu penyerahan tidak diatur dalam undang-undang, biasanya
hal demikian diatur dalam perjanjian yang bersangkutan.
Menurut Pasal 1474 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penjual
berkewajiban menyerahkan barang kepada pembeli, sedangkan penyerahan itu
harus menurut hukum (Pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Penyerahan menurut hukum itu ada dua jenis, yaitu :
1.
Penyerahan yuridis, dan
2.
Penyerahan nyata (feitelijk)
45
H.M.N.Purwosutjipto, Op.Cit, hal.15
Universitas Sumatera Utara
Menurut Pasal 612 dan 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ada
beberapa jenis penyerahan mengenai benda bergerak, yaitu :
1.
Penyerahan fisik, yakni penyerahan barang dari tangan ke tangan;
2.
Penyerahan kunci gudang, didalam mana benda bergerak yang
diserahkan itu tersimpan;
3.
Penyerahan akta sesi atau andosemen bagi benda bergerak tak
bertubuh;
4.
Penyerahan dokumen. Penyerahan semacam ini sudan menjadi
kebiasaan dalam jual beli perusahaan. Pemegang dokumen ini berhak
memiliki barang-barang yang disebut dalam dokumen itu. Dokumen
itu adalah surat berharga, yakni surat tanda bukti tuntutan utang,
mengandung hak dan mudah dijualbelikan. Untuk bersifat mudah
diperjualbelikan, dokumen itu harus berbentuk (aan order) atau atas
pembawa (aan tonder). Dokumen-dokumen itu mudah diserahkan
kepada orang lain, yakni dengan diserahkan secara fisik saja atau
andosemen.
Universitas Sumatera Utara
Download