LAPORAN PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL TAHUN ANGGARAN 2009 PENGEMBANGAN PROFESI GURU SECARA BERKESINAMBUNGAN SEBAGAI STRATEGI NASIONAL PENDUKUNG SERTIFIKASI GURU OLEH: PROF. SUKAMTO, MSc.PhD., dkk FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA TAHUN 2009 DIBIAYAI OLEH DIPA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA SESUAI DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN PENELITIAN NOMOR 135/H34.21/PL-STRANAS/2009 TANGGAL 6 APRIL 2009 HALAMAN PENGESAHAN 1. Judul Penelitian : PENGEMBANGAN PROFESI GURU SECARA BERKESINAMBUNGAN SEBAGAI STRATEGI NASIONAL PENDUKUNG SERTIFIKASI GURU 2. Bidang Penelitian : Pendidikan Nasional / Bidang Strategis: Profesionalisme Guru 3. Lokasi Penelitian : 3 Propinsi (DIY, Bali, Sulawesi Selatan ) 4. Waktu Penelitian : 10 bulan (Maret 2009 – Desember 2009) 5..Ketua Peneliti a. Nama lengkap : Prof. Sukamto, MSc.PhD. b. Jenis kelamin : Laki-laki c. NIP : 130 367 414 d. Jabatan struktural : Tidak ada e. Jabatan fungsional : Guru Besar / IV d f. Fakultas/Jurusan : Fak. Teknik/Pend. Teknik Mesin g. Lembaga Penelitian : Lembaga Penelitian UNY h. Alamat : Kampus Karangmalang, Yogyakarta 55281 i. Telpon/Fax. : 0274 550839 / 0274 518617 j. Alamat Rumah : Perum UNY Jln.Deresan III/!2 Santren, Caturtunggal, Depok, Sleman 55281 Yogyakarta k. Telpon/Fax/HP/e-mail : Telp/Fax : 0274 562068 HP: +628129662847 e-mail : [email protected] 3. Jangka waktu penelitian : 1 tahun (masa efektif = 10 bulan) 4. Pembiayaan Jumlah biaya yang diajukan ke Lemlit : Rp 98.500.000 Mengetahui, Dekan Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta ( Wardan Suyanto, Ed.D) NIP 19540810 197803 1 001 Yogyakarta, 8 Desember 2009 Ketua Peneliti, (Prof.Sukamto, MSc.PhD NIP 19470225 197303 1 001 Menyetujui Ketua Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta (Prof. Sukardi, PhD.) NIP 19530519 197811 1 001 2 DAFTAR ISI Cover/Sampul Depan Halaman Pengesahan Daftar Isi Daftar Tabel dan Daftar Gambar Abstrak BAB I 2 3 4 5 PENDAHULUAN A. Road map ke arah Sertifikasi guru B.Guru dan Faktor-Faktor Penunjang Profesi Guru C.Pendidikan Profesi dan Sertifikasi Guru D. Identifikasi Masalah E. Formulasi Permasalahan Penelitian 7 8 9 11 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Tuntutan Kualifikasi Lulusan Abad 21 2. Tinjauan Teoritik Profesi Guru 3. Sertifikasi Kompetensi Guru 4. Dampak sertifikasi tehadap Kinerja Guru 5.Peningkatan Profesionalisme Guru B. Kajian Penelitian yang Relevan 14 14 16 18 24 26 29 BAB III. METODE PENELITIAN A. Populasi dan Sampel Penelitian B. Instrumen Penelitian C. Teknik Pengumpulan Data D. Teknik Analisis Data E. Strategi Pengembangan 31 31 32 32 32 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Umum Responden B. Persepsi Guru tentang Program Sertifikasi C. Implementasi dan Dampak Program Sertifikasi D. Dukungan Kepala Sekolah 33 34 35 38 BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan B. Implikasi C. Saran 40 40 41 DAFTAR PUSTAKA 42 LAMPIRAN-LAMPIRAN 45 3 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Road map untuk peningkatan mutu dan kesejahteraan guru 7 Gambar 2. Alur Sertifikasi Guru 24 DAFTAR TABEL Tabel 1 Jumlah Responden yang Terlibat Dalam Penelitian 33 Tabel 2 Rerata Sekor Tiga Kelompok Guru di Tiga Propinsi 34 Tabel 3 Hasil Analisis Varians Tiga Kelompok Guru Antar Tiga Propinsi 35 Tabel 4 Perbandingan Rerata Ketiga Kelompok Guru di Ketiga Propinsi Tentang Implementasi dan Dampak Sertifikasi 36 Tabel 5 Perbandingan Rerata Ketiga Kelompok Guru di Ketiga Propinsi Tentang Dukungan Kepala Sekolah 37 4 PENGEMBANGAN PROFESI GURU SECARA BERKESINAMBUNGAN SEBAGAI STRATEGI NASIONAL PENDUKUNG SERTIFIKASI GURU Oleh: Sukamto, dkk. ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan untuk mengidentifikasi beberapa kelemahan program sertifikasi guru dan pengembangan program teachers’ continuing professional development (TCPD). UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya program sertifikasi guru telah mulai dilaksanakan sejak 2007. Dari berbagai kalangan yang mencermatinya, program sertifikasi guru ditengarai dengan munculnya berbagai ekses yang kalau tidak segera diatasi akan menggeser tujuan peningkatan mutu guru ke peningkataan kesejahteraan guru. Dari beberapa kasus penilaian portofolio yang diajukan oleh guru, sudah ada kecenderungan guru menghalalkan segala cara untuk lolos sertifikasi. Desakan dari pihak luar yang semakin menguat adalah untuk memberikan sertifikat pendidik kepada sebanyak mungkin guru agar tunjangan profesi pendidik segera dapat dinikmati. Pemalsuan sertifikat/piagam yang menjadi komponen portofolio guru mulai muncul di kalangan para guru. Penelitian ini bertujuan mengembalikan program sertifikasi ke rel yang sejak semula memang dicanangkan, yaitu sebagai kebijakan nasional untuk peningkatan mutu dan kesejahteraan guru secara simultan. Secara metodologis, penelitian ini termasuk dalam kategori R&D (research and development) yang akan memotret profesionalisme guru yang belum dan yang sudah menjalani penilaian portfolio, untuk kemudian dapat menyimpulkan secara komparatif perbedaan kedua kelompok. Dari rumusan temuan di lapangan kemudian akan dijabarkan menjadi 3 jenis program pengembangan profesionalisme guru yaitu: (a) program yang harus diikuti guru yang akan mengajukan portofolio untuk mendapat sertifikat pendidik, (b) program yang harus diikuti guru yang tidak lolos sertifikasi, dan (c) program pengembangan profesi secara berkesinambungan bagi guru yang sudah mengantongi sertifikat pendidik untuk menjaga (maintenance) kemampuan profesionalnya. Dalam hal ini program akan diwujudkan dalam modul-modul yang dapat dipelajari guru sendiri di waktu luangnya, sehingga terhindarlah praktek penyelenggaraan seminar yang mahal dan tidak ada kaitan langsung dengan peningkatan profesionalisme guru. Populasi penelitian ini adalah seluruh guru SMA yang saat ini sedang hangat-hangatnya menyikapi masalah sertifikasi, baik yang sudah lulus, yang belum lulus maupun yang segera diusulkan untuk sertifikasi memenuhi kuota tahun 2010.Sampel penelitian ini terdiri dari 450 guru SMA dari tiga kelompok di tiga propinsi, yaitu DIY, Bali dan Sulawesi Selatan. Teknik pengumpulan data menggunakan angket yang kemudian diverifikasi dengan wawancara terhadap Kepala Sekolah, FGD (foccused group discussion) dan angket terhadap siswa yang mendapat pelajaran dari guru yang sudah ikut dan yang belum ikut program sertifikasi. Semua instrumen penelitian telah diujicobakan dan memenuhi kriteria kelayakan baik reliabilitas, keterbacaan dan pemahaman calon responden terhadap isi instrumen. Karena sifat dan karakteristik data yang diperoleh, maka teknik analisis datanya memanfaatkan statistik deskriptif dan komparatif, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hasil penelitian mengungkapkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok guru yang sudah lolos sertifikasi dengan kelompok guru yang baru akan diusulkan untuk kuota 2010, baik dalam hal persepsi terhadap sertifikasi, sikap mereka tentang implementasi kebijakan sertifikasi dan evaluasi mereka tentang dampak sertifikasi untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Bahkan antara 3 propinsi yang ditelitipun juga tidak ada perbedaan signifikan dalam kaitannya dengan persepsi, sikap dan evaluasi tentang dampak program sertifikasi. Diperoleh kesan kuat bahwa guru dan organisasi keguruan saat ini masih sangat mementingkan sertifikasi sebagai program peningkatan kesejahteraan guru dibandingkan dengan peningkatan kualitas profesional 5 mereka sebagai guru. Meskipun secara kuantitatif ada perbedaan rerata antar kelompok guru atau ditinjau dari daerah penugasan guru, namun perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik. Pendalaman lebih lanjut melalui wawancara dan FGD mengungkapkan bahwa para guru antara lain menyatakan bahwa persyaratan seorang guru pofesional harus bertugas 24 jam per minggu adalah terlalu berat untuk dipenuhi. Hampir semua kepala Sekolah dan guru yang diwawancarai mengkhawatirkan proses sertifikasi yang kompleks dan berbelit-belit akan menyibukkan para guru dan mengalihkan perhatian mereka ke aspek-aspek non-teaching sehingga aspek pembelajaran akan terbengkalai. Juga terungkap dari jawaban guru terhadap angket terbuka bahwa mereka banyak yang menganggap proses sertifikasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan guru, bahkan sebahagian mereka berpendapat bahwa tanpa uji sertifikasipun apabila pemerintah memperbaiki kesejahteraan guru maka otomatis akan meningkatkan mutu pendidikan. Secara akademis, kegiatan yang dirasakan masih lemah namun dinyatakan sebagai kegiatan yang membantu guru secara profesional adalah penelitian tindakan kelas dan kegiatan penulisan karya ilmiah. Kelompok guru di Singaraja, Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutkan beberapa hal yang mereka nyatakan sebagai kebutuhan pelatihan bagi semua guru, yatu: pengembangan inovasi dalam pembuatan media pembelajaran, aplikasi berbagai metode pembelajaran, pemanfaatan ICT dalam pembelajaran, menjalin hubungan sekolah dengan masyarakat, termasuk hubungan yang efektif dengan orangtua siswa, pelaksanaan konsep supervisi teman sejawat (peer supervision) dan partisipasi dalam kegiatan ilmiah melalui berbagai organisasi sosial kependidikan. Dari tanggapan para siswa terungkap bahwa kecuali di Makassar, uji-t yang dilakukan antara kelompok guru yang sudah dan yang belum mengikuti sertifikasi menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam hal kinerja guru (p=0.048 di Makassar, p=0,124 di DIY dan p=0,163 di Singaraja, Bali). Keywords: teacher continuing professional development; teachers certification. 6 BAB I PENDAHULUAN Dalam ketentuan umum UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dinyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada berbagai jenjang dan jenis pendidikan formal. Selanjutnya untuk menjamin keterlaksanaan tugasnya yang utama tersebut, Pasal 8 undang-undang yang sama mensyaratkan guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Untuk itu dilaksanakanlah program peningkatan kualifikasi dan sertifikasi guru sejak tahun 2006/2007 di semua jenjang dan jenis pendidikan formal. Terlepas dari ekses negatif yang muncul, kedua program tersebut merupakan komponen penting dalam road map kebijakan menuju profesionalisme guru, yang juga diikuti dengan beberapa penelitian yang terkait. A. Track record dan Road Map ke arah Sertifikasi Guru Adapun rekam jejak (track record) penelitian yang relevan oleh peneliti di waktu yang lalu dan road map yang menunjukkan kesinambungan pemikiran dapat divisualisasikan sebagai berikut: Sukamto (1993).Mengapa guru sulit diajak melakukan pembaharuan ? Sukamto, et al. (1998) Policy Study on Primary School Teacher Effectiveness Sukamto, dkk.(1999) Studi Pengembangan Akreditasi Guru SMU USULAN :Pengembangan Profesi guru LPTK IJAZAH S1/D-IV PROGRAM SERTIFIKASI Sukamto, sbg. Direktur Ditnaga, Ditjen Dikti PENINGKATAN KUALIFIKASI AKADEMIK DAN SERTIFIKASI PENDIDIK secara berkelanjutan sebagai strategi pendamping sertifikasi guru GURU S1 ATAU D-IV DAN PENDIDIK PROFESIONAL Sukamto (1999). Orientasi Dunia Kerja dalam Proses dan Status Akreditasi SMK Gambar 1. Road map untuk peningkatan mutu dan kesejahteraan guru Dari sekumpulan hasil-hasil penelitian tersebut di atas dan tugas pokok dan fungsi direktur di Direktorat Ketenagaan yang menyiapkan kebijakan teknis tentang sertifikasi guru dan terlibat langsung dalam penetapan LPTK yang ditugasi meningkatkan kualifikasi guru yang belum sarjana (S1 atau D-IV) dapat ditemukan benang merah alur kebijakan dan road map ke arah upaya peningkatan mutu yang sekaligus juga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan guru melalui penerimaan tunjangan profesi pendidik. Dari road map di atas nampak alur pemikiran dan kegiatan penelitian yang saat ini diusulkan 7 merupakan kelanjutan dari penelitian yang sudah pernah dilakukan. Perlu disampaikan di sini bahwa disamping penelitian yang dilakukan oleh peneliti sendiri, banyak juga topik atau judul penelitian yang dilakukan oleh para peneliti lainnya (termasuk anggota tim) yang nanti perlu dikaji relevansinya. B. Guru dan Faktor-Faktor Penunjang Profesi Guru Kalau dilihat faktor apa saja yang menyebabkan turun atau naiknya mutu pendidikan, maka akan sulit sekali menentukan urutan antara kurikulum, guru, sarana dan fasilitas, serta anggaran pembiayaan yang memadai. Keempat faktor utama itu seharusnya secara optimal tersedia unuk menjamin tingginya mutu pendidikan. Namun jika dipandang sekali lagi bahwa di antara empat faktor tersebut maka yang dapat diubah secara drastis sehingga mampu mendorong ketiga faktor lainnya untuk berubah adalah faktor guru. Melalui pendidikan yang tepat dan pelatihan yang berasaskan manfaat maka guru dapat menjalankan kurikulum pendidikan dan memutakhirkan isinya terhadap kemajuan IPTEK; guru dapat memanfaatkan dan akhirnya guru yang baik akan berusaha mengoptimalkan ketersediaan dana atau anggaran yang ada untuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran secara lebih efektif dan efisien. Oleh karena itu, sudah sangat tepat apabila pemerintah menaruh perhatian yang serius terhadap kualitas guru dan segala variabel yang terkait dengan kemampuan guru. Seperti pada profesi yang lain, misalnya kedokteran, hukum dan keteknikan, proses standarisasi kompetensipun berjalan seiring dengan tuntutan kompetensi dari pemakai lulusan atau jasa keprofesian mereka, Darling Hammond dan Bransford (2005) menyebut kesamaan ini sebagai inti pengetahuan keprofesian: These shared understandings and practices in other professions evolved from a consensus about what professionals need to know and be able to do if they are to profit from profession-wide knowledge and if they are to have the diagnostic and strategic judgment to address the needs of those whom they serve. If teachers are to have access to the knowledge available to inform their practice, such consensus must become a reality for the teaching profesion as well. Untuk memajukan persiapan memasuki lapangan profesi, Shulman (1998) telah menemukenali 6 faktor yang diisajikan sebagai “six commonplaces” yang harus dilakukan oleh suatu profesi : 1. Service to the society, yang implikasinya berupa komitmen moral dan etika terhadap klien, 2. A body of scholarly knowledge, yang membentuk dasar-dasar menuju praksis keprofesian, 3. Engagement in practical action, yang mengarah ke penerapan ilmu pengetahuan untuk praktek, 4. Uncertainty, disebabkan kebutuhan klien yang berbeda sehingga perlu dikembangkan adanya kebijaksanaan (judgment) dalam penerapan ilmu pengetahuan 5. The importance of experience, dalam mengembangkan praksis berdasarkan refleksi kegiatan praktek dan hasilnya, dan 6. The development of professional community, khususnya dalam pengembangan kompetensi baku. 8 Dalam salah satu pengarahannya, Direktur Ketenagaan Ditjen Dikti pernah menyatakan bahwa keterkaitan antara guru dan mutu pendidikan adalah jika guru memiliki kompetensi bagus dan memperoleh penghasilan bagus barulah dapat diharapkan kinerja guru akan bagus, yang seterusnya dapat menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang bagus pula, yang pada akhirnya dapat mendongkrak mutu pendidikan ke arah yang lebih tinggi. Di sini ada kompetensi yang merupakan keluaran hasil kerja Permasalahan yang menyangkut pendidikan pada umumnya dan guru pada khususnya selalu LPTK, dan kinerja guru yang bagus yang diharapkan bisa terpantau dan dikembangkan melalui kebijakan sertifikasi guru. C. Pendidikan Profesi dan Sertifikasi Guru Dalam rangka melangkah ke kehidupan guru sebagai tenaga profesional, tentunya sangat tergantung kepada sistem pendidikan guru yang akan menghasilkan sosok guru di Indonesia. Untuk itu kurikulum pendidikan guru perlu dilihat dengan komponen-komponennya, sejalan dengan perkembangan dan dinamika profesi tersebut. Karena sebagian terbesar guru dihasilkan oleh LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) maka menjadi penting artinya untuk melihat bagaimana kurikulum di LPTK menyesuaikan dengan perubahan di lapangan, dalam hal ini tuntutan untuk menghasilkan anak didik yang siap memasuki kancah persaingan global. Semenjak LPTK diberi mandat yang lebih luas untuk juga mendidik tenaga non-kependidikan, ada sementara keraguan di masyarakat tentang siapa itu sebenarnya yang sekarang berhak disebut LPTK. Bahwa dulu LPTK menerima wider mandate dengan catatan melalui evaluasi yang ketat dan hanya LPTK yang memiliki excess baik sumberdaya manusia, alat/sarana praktikum dan lain-lain, ternyata dalam hiruk pikuknya perubahan dari institut menjadi universitas hanyalah sebatas proklamasi atau pernyataaan bahwa lPTK yang bersangkutan sudah masanya berganti nama menjadi universitas. Bahkan yang tadinya bernama Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pun dengan segala daya upaya memaksakan dirinya berubah menjadi Institut dan kemudian beberapa tahun kemudian berubah menjadi universitas. Hampir tanpa beban, mereka menjalankan business as usual seolah-olah perubahan status kelembagaan yang mereka alami dalam 10 tahun terakhir tidak ada perubahan yang mendasar. Padahal perubahan itu selayaknyalah diikuti dengan evaluasi terus menerus untuk melihat sejauh mana perubahan status kelembagaan itu ikut menentukan warna output, dalam hal ini guru, yang siap menjalankan tugasnya di sekolah. Yang lebih menyedihkan adalah penanganan program Akta Kependidikan, yang ini sebenarnya menjadi kunci utama yang membedakan jalur profesi guru dari profesi lainnya. Namun banyak sekali LPTK negeri lebih-lebh swasta yang memandang Akta Kependidikan ini kedudukannya sama dengan matakuliah 9 lainnya. Padahal program Akta Kependidikan inilah inti dari pendidikan guru yang seharusnya memiliki kurikulum dan proses pembelajaran yang mampu menghantarkan peserta didiknya ke pintu gerbang profesi keguruan. Kondisi obyektif yang sempat dipantau oleh Direktorat PPTK dan KPT (Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi) banyak sekali perguruan tinggi yang kurang memikirkan intake berupa jumlah calon mahasiswa sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dengan akibat pada bidang-bidang tertentu terjadi oversupply lulusan Akta Kependidikan ini. Suatu cvontoh konkrit bahwa penyelenggara kurang mengikuti dinamika pasar kerja sebagai guru nampak jelas dalam kenyataan bahwa kebanyakan penyelenggara program masih memberi label programnya dengan Akta IV, Akta III dan sebagainya,padahal dengan SK Mendikbud No. 13 Tahun 1998 eseharusnya hanya ada dua program akta, yaitu Akta mengajar sebagai Guru Kelas (untuk calon guru TK dan SD) dan Akta Mengajar Bidang Studi (untuk calon guru SMP dan SMU/SMK). Ketidaktahuan atau ketidakpedulian para penyelenggara program Akta Mengajar ini sudah barang tentu penyebabnya macam-macam. Ada yang menganggap bahwa programnya masih laku di masyarakat, sehingga tanpa mengubah namanyapun masih bisa menarik ratusan calon mahasiswa untuk memasukinya, dan ada pula yang tidak tahu sama sekali tentang perubahan kebijakan pemerintah tersebut, dan tidak segera tahu perubahan tersebut karena dari pihak yang menerima tenaga calon gurupun tidak ada yang mempermasalahkan jenis akta mengajar yang dimiliki oleh calon tenaga kerja keguruan ini. Adapun kurikulum LPTK yang selama 4 tahun diharapkan dapat mengubah sikap, perilaku dan melengkapinya dengan kemampuan mengajar bagi calon guru, telah mengalami perubahan-perubahan yang mendasar, misalnya dikenal Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang penyusunannya dipandu oleh Surat Keputusan Mendikbud No. 232 Tahun 2000 dan kemudian dilengkapi dengan SK Mendiknas No.045 Tahun 2002, yang pada intinya mendelegasikan wewenang menyusun kurikulum sampai pada level jurusan atau program studi. Secara realistis memang rasanya tidak mungkin 12 LPTK Negeri dan 200an LPTK Swasta di seluruh tanah air mempunyai kurikulum yang seragam. Kecuali pemenuhan persyaratan yang tidak sama, juga kesiapan masing-masing LPTK dan daya antisipasinya terhadap perubahan dunia persekolahan membuat pendelegasian wewenang penyusunan kurikulum ini mempunyai fleksibilitas dan adaptabilitas yang tinggi yang sebenarnya dapat meningkatkan relevansi kemampuan atau kompetensi lulusan dengan pengguna. Namun ada saja LPTK yang setengah hati dalam mengadopsi pengembangan kurikulum ini, yaitu mereka mengadakan workshop 2 atau 3 hari dan mengganti istilah yang dipakai pada pengelompokan matakuliah terdahulu dengan isilah-istilah KBK, namun tetap mempertahankan matakuliah lama yang namanya sudah disesuaikan dengan pola KBK. Dalam komunikasi internasional antar lembaga, pengertian kompetensi, standard dan beberapa istilah lainnya yang relevan dengan KBK mutlak diperlukan agar hubungan antara guru dengan murid, antar sekolah dan antar bangsa dapat mencapai pengetian yang sama. Di sini hanya akan disajikan kesepakatan 10 Unesco tentang rti kompetensi, standard dan indikator, tiga di antara sekian banyak istilah yang kalau tidak sama persepsinya bisa jadi tidak akan ada komunikasi lebih lanjut. Kesepakatan tersebut adalah sebagai berikut (UNESCO, 2003). KOMPETENSI : adalah pengetahuan atau skill yang spesifik, yang pendemonstrasiannya melalui kinerja atau pembuktian yang menunjukkan bahwa seorang individu telah mencapai standar untuk tingkatan tertentu.Assessmen tentang kompetensi haruslah berbasis kriteria, bukan normatif. Perbedaan kompetensi antar individu dapat dipetakan terhadap seperangkat standard atau pernyataan untuk memunculkan profil kapabilitas atau repertoire dari seseorang. STANDARDS : suatu derajat atau tingkat kecanggihan, atau pencapaian seperti suatu praksis atau produk yang secara luas diterapkan atau dikenal, khususnya karena tingkat kecanggihannya atau karena pranata moral. INDIKATOR : indicator adalah butir informasi yang digunakan dalam mengassess keluaran (outcomes) yang juga dipakai untuk mendokumentasikan dan mengukur kinerja. Indikator kinerja atau ”performance indicators” adalah butir-butir informasi yang dikumpulkan secara periodik untuk menilai prestasi suatu system atau institusi. Meskipun di bagian lain laporan ini mungkin dikembangkan rumusan definisi atau batasan istilah yang berbeda, namun perbedaan itu hanya karena komnteks, karena secara substantif tentunya definisi yang dikembangkan di level dunia selalu dapat mengakomodasi definisi di level nasional atapun lokal. D. Identifikasi Masalah Dari uraian di atas, maka dapatlah diidentifikasi beberapa permasalahan terkait dengan program sertifikasi guru di Indonesia, antara lain: 1. Bagaimanakah keterkaitan antara program sertifikasi nasional bagi guru dengan rumusan empat kompetensi guru yang menjadi salah satu standard yang dikembangkan di Indonesia? Bagaimana pula hal ini dalam persepsi guru yang lolos sertifikasi, yang tidak lolos dan yang belum diusulkan untuk ikut progam sertifikasi ? 2. Apakah sertifikasi guru secara nasional ini akan dapat secara simuiltan meningkatkan kualifikasi/mutu dan penghasilan guru secara riel? 3. apakah ada perbedaan yang nyata antara guru yang lolos dan yang belum diikutkan program sertifikasi nasional dalam hal perencanaan, implementasi dan evaluasi proses dan hasil pembelajaran? 4. bagaimanakah persepsi guru yang sudah lolos dan yang belum ikut program sertifikasi tentang konsep TCPD (teachers’ continuing professional development)? 11 D. Formulasi Permasalahan Penelitian Penelitian ini termasuk dalam kategori Research and Development (R & D), Pada aspek researchnya akan dicari jawaban terhadap pertanyaan penelitian yang sekaligus diidentifikasi dalam permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah bentuk persiapan guru dalam upaya mengikuti proses sertifikasi guru 2007 dan 2008 ? 2. Bagaimanakah persepsi guru yang sudah lolos sertifikasi dan atasan langsungnya mengenai keefektifan sertifikasi untuk meningkatkan mutu guru ? 3. Bagaimanakah persepsi sesama guru, Kepala Sekolah dan Siswa tentang dampak sertifikasi guru terhadap proses dan hasil pembelajaran di sekolah? 4. Adakah perbedaan yang signifikan dalam hal perencanaan, implementasi dan evaluasi program pembelajaran antara guru yang telah bersertifikat dengan guru yang belum bersertifikat? 5. Bagaimana persepsi guru secara keseluruhan terhadap pengembangan profesi guru secara berkelanjutan (TCPD = teachers’ continuing professional development) Pengembangan dari hasil penelitian ini akan mencari jawaban terhadap pertanyaan sebagai berikut: 6. Bagaimanakah persepsi kalangan pendidik secara umum terhadap konsep TCPD ? 7. Apa sajakah yang harus disiapkan seorang guru menghadapi sertifikasi ? (pengetahuan, skills, sikap) 8. Apa sajakah yang harus diperbaiki seseorang guru yang gagal dalam proses sertifikasi ? Bagaimana identifikasinya dan penyusunan modul remedialnya (pengetahuan, skills, sikap) ? 9. Bagaimanakah cara memelihara kompetensi dan selalu meningkatkannya bagi yang sudah lulus sertifikasi ? Bagaimanakah cara yang murah tetapi efektif untuk pemeliharaan kompetensi mereka? Sejalan dengan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengungkapkan persepsi ketiga kelompok guru tentang sertifikasi, tentang implementasi dan dampak program sertifikasi, 2. Mengungkapkan persepsi sesama guru, Kepala Sekolah dan Siswa tentang dampak sertifikasi guru terhadap proses dan hasil pembelajaran di sekolah, 3. Mengungkapkan persepsi guru dan atasan langsung tentang keefektifan program sertifikasi dalam peningkatan mutu pendidikan, 4. Mengungkapkan ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan antara guru yang bersertifikat dan yang belum dalam hal perencanaan, implementasi dan evaluasi pembelajaran, 12 5. Menggambarkan persepsi dan harapan guru tentang TCPD (teachers’ continuing professional development. Banyak manfaat yang diharapkan muncul dari temuan penelitian ini, antara lain: 1. Manfaat teoritik, yang berkenaan dengan definisi dan operasionalisasi sertifikasi guru dengan melihatnya pada konteks pendidikan di Indonesia, 2. Manfaat praktis, yang berkenaan dengan tanggapan responden tentang implementasi program sertifikasi di lapangan, 3. Manfaat bagi guru yaitu mengetahui tanggapan atau persepsi anak didik, sesama guru dan atasan /Kepala Sekolah tentang keefektifan sertifkasi bagi peningkatan mutu pendidikan, sehingga setiap guru dapat menyesuaikan diri dalam bersikap dan bertindak dalam kaitannya dengan proram sertifikasi, 4. Manfaat bagi LPTK yaitu dengan adanya informasi tentang kebutuhan diklat untuk mencapai sertifikasi pendidik / guru 5. Manfaat bagi pengambil kebijakan pendidikan guru khususnya dan pendidikan pada umumnya yang berupa informasi tentang kesulitan/keberatan guru di lapangan tentang kebijakan sertifikasi. 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Tuntutan Kualifikasi Lulusan Abad 21 Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan struktur ketenagakerjaan di era global memerlukan kualitas SDM yang handal. Kualitas yang dimaksud adalah SDM yang mempunyai daya saing secara terbuka dengan negara lain, adaptif dan antisipatif terhadap berbagai perubahan dan kondisi baru, terbuka terhadap perubahan, mampu belajar bagaimana belajar (learning how to learn), multi-skilling, mudah dilatih ulang, serta memiliki dasar-dasar kemampuan luas, kuat, dan mendasar untuk berkembang di masa yang akan datang. Dalam masa perubahan yang begitu cepat dalam berbagai aspek kehidupan diperlukan seseorang yang tidak hanya memiliki kemampuan dalam bekerja saja namun juga memiliki daya suai terhadap berbagai perubahan, karena secara umum dunia kerja di masa datang akan ditandai oleh ketidakpastian, semakin cepat dan sering berubah, dan menuntut fleksibilitas yang lebih besar (Sukamto, 2001). Perubahan ini secara mendasar tidak hanya menuntut angkatan kerja yang memiliki kemampuan dasar yang semakin kuat, tetapi juga menuntut kemampuan mendemonstrasikan penguasaan kognitif yang lebih tinggi, disamping kemampuan memecahkan masalah dan ketrampilan sosial untuk berinteraksi dan bekerjasama. Selain ciri-ciri di atas, kualifikasi SDM yang dibutuhkan telah berkembang dan bertambah dalam bentuk kemampuan komunikasi, interpersonal, kepemimpinan, teamworking, analisis, academic discipline, IT/computing, fleksibilitas, dapat bekerja secara lintas kultural, memahami globalisasi, terlatih dan memiliki etika, dan kemampuan bahasa asing (Pardjono, dkk, 2003). Senada dengan hal tersebut Masrun (Mukhadis, 2004) menyatakan beberapa karakteristik sumberdaya manusia yang dibutuhkan di era pengetahuan yaitu memiliki (a) kemampuan mengembangkan diri dan berorientasi ke depan; (b) ketaatan pada nilai-nilai moral dan keagamaan; (c) sikap sosial dalam melaksanakan hubungan antarmanusia; (d) intuisi persatuan dan kesatuan kebangsaan; (e) efisiensi waktu, tenaga, dan biaya; (f) kepekaan dan kemandirian; dan (g) kemampuan pengedalian diri. Para peramal masa depan (futurist) menyatakan bahwa abad 21 merupakan abad pengetahuan karena pengetahuan akan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan (Trilling dan Hood, 1999). Abad pengetahuan merupakan suatu era dengan tuntutan yang lebih rumit dan menantang. Suatu era dengan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga 14 diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilainilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka. Seseorang baik sebagai individu, maupun kelompok (masyarakat, bangsa, atau negara) yang tidak menguasai pengetahuan dalam era ini akan menjadi pecundang dan tergeser atau terpinggirkan dalam kancah persaingan. Karakteristik era ini menempatkan pengetahuan sebagai modal keunggulan. Hal ini dipertegas oleh Bank Dunia (Mukhadis, 2004) dalam buku yang berjudul The Quality of Growth, bahwa aset paling penting saat ini (dalam era global) adalah human capital atau intelectual capital. Suatu bangsa yang memiliki keunggulan komparatif dalam sumberdaya alam, akan tidak banyak berbuat dalam kancah persaingan global tanpa didukung oleh keunggulan sumberdaya manusia. Kay (2008) menganalisis perkembangan yang akan terjadi di abad 21 dan mengidentifikasi kompetensi yang diperlukan dan menjadi tugas pendidikan untuk mempersiapkan warga negara dengan kompetensi tersebut. Kondisi atau konteks baru dalam kehidupan berbangsa, yang masing-masing memerlukan kompetensi tertentu tersebut antara lain: (a) kondisi kompetisi global yang memerlukan kesadaran global dan kemandirian; (b) kondisi kerjasama global yang memerlukan kesadaran global, kemampuan bekerjasama, dan penguasaan ITC; (c) pertumbuhan informasi yang memerlukan melek teknologi, critiacal thinking & pemecahan masalah; (d) perkembangan kerja dan karier yang memerlukan critiacal thinking & pemecahan masalah, innovasi & penyempurnaan, dan, fleksibilitas & adaptabilitas; (e) perkembangan ekonomi berbasis pelayanan jasa, knowledge economy yang memerlukan melek informasi, critiacal thinking dan pemecahan masalah. Jadi lembaga pendidikan harus mempersiapkan siswa dengan kemampuan: kesadaran global, watak kemandirian, kemampuan bekerjasama secara global, kemampuan menguasai ICT, kemampuan melek teknologi, kemampuan intelektual yang ditekankan pada critical thinking dan kemampuan memecahkan masalah, kemampuan untuk melakukan innovasi & menyempurnakan, dan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang bersifat fleksibel & adaptable Membicarakan kualitas sumberdaya manusia tidak akan dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang kualitas pendidikan, mengingat pendidikan masih mempunyai peran signifikan dan bahkan masih menjadi pranata utama dalam penyiapan SDM. Beberapa upaya peningkatan mutu pendidikan sudah dilakukan, namun demikian upaya ini belum berhasil secara optimal. Hal ini tampak dari beberapa indikator antara lain: (a) rendahnya indikator mutu, (b) banyaknya kritik yang terkait dengan masalah rendahnya kualitas, disiplin, kreativitas, moral serta sikap demokratis, (c) kemampuan guru yang bervariasi, (d) kondisi lingkungan sekolah yang tidak memadai (Indra Djati Sidhi dalam Atwi Suparman, 2003). 15 Rendahnya mutu pendidikan tersebut dapat dirunut dari aspek-aspek pendidikan seperti pengelolaan, kurikulum, sarana ptrasarana hingga ke pembelajaran. Dari sisi pembelajaran, studi yang dilakukan Blazelly pada tahun 1997 telah memberikan peringatan bahawa mutu akademik yang rendah mungkin diakibatkan oleh rendahnya mutu proses pembelajaran. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa : “Pembelajaran di Indonesia cenderung sangat teoritik dan tidak terkait dengan lingkungan dimana siswa berada. Akibatnya peserta didik tidak mampu menerapkan apa yang dipelajarinya di sekolah, guna memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan telah mencabut peserta didik dari lingkungannya sehingga mereka menjadi asing di dalam masyarakatnya sendiri” (Blazelly, 1997 dalam Hari Suderajat, 2003). Mencermati peringatan Blazelly tersebut dengan memperhatikan kualitas pendidikan saat ini, peningkatan kualitas pendidik dalam hal ini guru merupakan suatu keharusan. Pemberlakuan UndangUndang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) diikuti Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan merupakan wujud kesungguhan pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan khususnya guru dan dosen. Esensi dari UUGD tersebut adalah menempatkan guru sebagai profesi dengan berbagai atribut dan konskuensinya. Dengan langkah tersebut diharapkan guru sebagai ujung tombak dalam peningkatan kualitas pendidikan mampu berperan secara optimal. 2. Tinjauan Teoretik Profesi Guru Salah satu faktor mendasar yang menentukan ketercapaian tujuan pendidikan adalah guru. Peran guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran (Jones, Jenkin & Lord, 2006:1). Dari begitu banyak variabel yang menentukan pendidikan, muncul bukti-bukti bahwa kemampuan guru merupakan variabel terpenting atas kualitas hasil pembelajaran. Guru dituntut mampu memfasilitasi proses pembelajaran aktif yang mampu membangkitkan minat dan kemauan siswa dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Dalam konteks ini menjadi penting bagi seorang guru untuk memiliki kompetensi dan bertindak efektif sebagai salahsatu kunci keberhasilan pembelajaran Guru yang memiliki kinerja rendah tidak saja gagal memenuhi kriteria/standar kinerja namun juga akan memberikan pengaruh jelek kepada orang lain (Jones, Jenkin & Lord, 2006:2). Guru yang memiliki kinerja rendah dapat berdampak negatif dalam hal: (a) reputasi dan citra sekolah di masyarakat, (b) pencapaian kinerja sekolah, (c) kinerja guru lain, (d) kinerja staf pendukung, dan (e) kepemimpinan dan manajerial sekolah. 16 Studi tentang pendidikan guru diakhir abad ke 20 dan awal abad ke 21 menunjukkan fenomena yang semakin kuat menempatkan guru sebagai suatu profesi. Kondisi nyata kini memandang bahwa guru/keguruan sebagai sebuah profesi, bukan lagi dianggap sebagai suatu pekerjaan (vokasional) biasa yang memerlukan pendidikan tertentu. Kedudukan seperti ini setidaknya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi internal dan eksternal. Secara internal, terjadi penguatan dalam kedudukan sosial, proteksi jabatan, penghasilan, dan status hukum. Sebagai implikasi posisi ini, maka secara eksternal terjadi harapan dan tuntutan kualitas profesi keguruan, yang tidak hanya diukur berdasarkan kriteria lembaga penghasil (LPTK), tetapi juga menurut kriteria pengguna (users) antara lain asosiasi profesi, masyarakat, dan lembaga yang mengangkat dan memberikan penghasilan. Webster’s New World Dictionary mendefinsikan profesi sebagai “Suatu pekerjaan yang meminta pendidikan tinggi dalam liberal art atau science dan biasanya meliputi pekerjan mental, bukan pekerjaan manual”. Sedangkan Good’s Dictionary of education mendefinisikan sebagai “suatu pekerjaan yang meminta persiapan spesialisasi yang relatif lama di perguruan tinggi dan dikuasai oleh suatu kode etik khusus”. Menurut More (1970) profesi tampak dalam ciri-ciri sebagai berikut : (a) Seorang profesional menggunakan waktu penuh untuk menjalankan pekerjaannya; (b) Ia terikat oleh suatu panggilan hidup, dan dalam hal ini ia memperlakukan pekerjaannya sebagai separangkat norma kepatuhan dan perilaku; (c) Ia aggota organisasi profesional yang formal; (d) Ia menguasai pengetahuan yang berguna dan keterampilan atas dasar latihan spesialisasi atau pendidikan yang sangat khusus; (e) Ia terikat oleh syarat-syarat kompetensi, kesadaran pendidikan yang khusus; (f) Ia memperoleh otonomi berdasarkan spesialisasi teknis yang tinggi sekali. Uraian tersebut, memberikan penguatan bahwa profesi guru perlu adanya kekuatan pengakuan formal. Pengakuan tersebut dapat dilakukan melalui tahap registrasi; sertifikasi dan lisensi. Registrasi mengacu kepada suatu pengaturan di mana anggota diharuskan terdaftar namanya pada suatu badan atau lembaga. Sertifikasi adalah pemberian sertifikat yang menunjukkan kewenangan seseorang anggota seperti ijazah tertentu. Adapun lisensi adalah suatu pengaturan yang menetapkan seseorang memperoleh izin dari yang berwajib/berwenang untuk menjalankan pekerjaanya. Tuntutan tugas guru ke depan tidaklah ringan. Guru diharapkan mampu dan dapat menyelenggarakan proses pembelajaran yang bertumpu dan melaksanakan empat pilar belajar yang dianjurkan oleh Komisi Internasional UNESCO untuk Pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Jika dicermati keempat pilar tersebut menuntut sorang guru untuk kreatif, bekerja secara tekun dan harus mampu dan mau meningkatkan kemampuannya. Berdasarkan tuntutan tersebut seorang guru akhirnya dituntut untuk berperan lebih aktif dan lebih kreatif yang tampak dalam perilaku berikut: 17 a. Guru tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan sebagai produk, tetapi terutama sebagai proses. Dia harus memahami disiplin ilmu pengetahuan yang ia tekuni sebagai ways of knowing. Karena itu lebih dari sarjana pemakai ilmu pengetahuan tetapi harus menguasai epistimologi dari disiplin ilmu tersebut. b. Guru harus mengenal peserta didik dalam karakteristiknya sebagai pribadi yang sedang dalam proses perkembangan, baik cara pemikirannya, perkembangan sosial dan emosional, maupun perkembangan moralnya. c. Guru harus memahami pendidikan sebagai proses pembudayaan sehingga mampu memilih model belajar dan sistem evaluasi yang memungkinkan terjadinya proses sosialisasi berbagai kemampuan, nilai, sikap, dalam proses memperlajari berbagai disiplin ilmu. Guru adalah agen perubahan yang mampu mendorong terhadap pemahaman dan toleransi, dan tidak sekedar hanya mencerdaskan peserta didik tetapi mampu mengembangkan kepribadian yang utuh, berakhlak, dan berkarakter. Dalam kondisi riil apakah guru mampu menjalankan keempat pilar pendidikan tersebut? Kita perlu mengupayakan adanya profesionalisme guru dan tenaga kependidikan yang memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Dengan begitu diharapkan guru dapat melakukan tranformasi dan sekaligus merubah cara pikir, cara merasa, dan cara kinerja peserta didik pada tuntutan perkembangan dunia ke depan. 3. Sertifikasi Kompetensi Guru Permasalahan yang menyangkut pendidikan pada umumnya dan guru pada khususnya selalu menarik perhatian, terutama akhir-akhir ini. Semenjak diundangkannya UU no. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, maka wacana mengenai serifikasi guru mendominasi pemberitaan di media massa maupun diskusi dan seminar di dan untuk kalangan guru. Inti persoalannya tentu beragam, tetapi pada garis besarnya pembicaraan tentang keefektifan pemberian sertifikat dan tunjangan profesi menjadi topik yang hangat dibicarakan di masyarakat. Masalah yang menyangkut aspek yuridis tentunya bukan merupakan porsi utama karena hal itu sudah dipandang sebagai sesuatu yang “given” dan tidak bisa dibahas lagi tanpa melalui proses legislasi yang mahal dan alot. Untuk itu tinjauan pustaka akan difokuskan ke masalah teknis operasional sertifikasi guru serta prospek penyempurnaannya agar tujuan sertifikasi untuk peningkatan mutu guru dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Profesi guru mungkin merupakan suatu profesi yang dalam kesehariannya harus menghadapi berbagai persoalan pengambilan keputusan secara profesional. Pilihan untuk menggunakan strategi pembelajaran tertentu, alat atau media dan teknologi pendidikan yang sesuai dengan tujuan pokok bahasan tertentu, maupun menyesuaikan ritme mengajarnya dengan situasi atau kondisi peserta didiknya. 18 Pengambilan keputusan secara profesional tersebut kadang terkendala oleh keterbatasan infrastruktur pendidikan, keberadaan aturan nasional maupun lokal (level sekolah) yang tidak memungkinkan guru untuk bertindak profesional. Goodlad (1999) menyatakan bahwa “….the educators’ processes derive not from predetermined scripts but from deep understanding of both students’ developmental circumstances and the reservoir of artifacts and concepts potentially relevant to further learning…” . Penelitian tentang guru dan proses pembelajaran yang dilakukannya sudah terdokumentasi antara lain di Wittrock (1998) yang menyunting penelitian beberapa pakar dalam bukunya yang klasik Handbook of Research on Teaching yang berisi berbagai aspek tentang guru, tugas profesinya, sekolah dan setting kulturalnya, dan berbagai dimensi tentang profesionalisme guru dan pengukurannya. Di antara bab-bab yang ada dalam buku ini adalah suatu sintesis penelitian tentang guru dan pembelajaran yang menggabungkan aspek pemahaman yang mendalam secara kualitatif dengan analisis kuantitatif yang mengarah ke kompilasi maupun komparasi dan uji konsistensinya. Hammod (1999) mereview secara kritis peran pendidikan tinggi keguruan, semacam LPTK di Indonesia, dalam mempersiapkan guru. Sykes (1999) mengemukakan bahwa tantangan kuantitas dan kualitas guru secara nasional sangat besar menyebabkan negara bagian melonggarkan sebagian besar persyaratan untuk memasuki profesi mengajar. Besarnya populasi sekolah di USA telah menyebabkan adanya kesulitan dalam menarik tenaga kerja yang bermutu ke dalam profesi mengajar, dan karena jumlah kebutuhan yang besar, juga kesulitan lain muncul yaitu kemampuan dalam memberikan gaji yang layak. Pada umumnya rasional untuk menerapkan sertifikasi guru menurut Sykes (1999) adalah untuk : a. melindungi masyarakat, dalam hal ini para siswa dari bahaya perilaku guru yang tidak kompeten, b. menjamin pembakuan standard antar daerah secara nasional, sehingga menjamin juga adanya c. keadilan (fairness) di kalangan masyarakat, dan d. untuk menjamin kepentingan negara bagian dalam mendidik warganya, karena hasil pendidikan ini sangatlah penting untuk negara bagian yang bersangkutan sehingga mereka punya interest yang besar terhadap pencapaian hasil pendidikan yang kualitasnya merata. Datanya menunjukkan 40 LPTK di Amerika Serikat sekarang ini tidak merasa diuntungkan dengan adanya aturan sertifikasi guru, dan untuk meningkatkan rekrutmen calon guru mereka berusaha mengembangkan model sertifikasi alternatif. Suara yang mencuat adalah untuk melakukan desain ulang keberadaan LPTK agar memperkuat basis keilmuan, mempertegas kaitan teori dengan praktek, dan peningkatan kapasitas perguruan tingi dalam mengembangkan pembelajaran yang semakin kuat. Di Indonesia, sebelum ada UU No. 14 tahun 2005 belum pernah ada sistem sertifikasi guru, dan satu-satunya pesyaratan untuk menjadi guru adalah lulus pendidikan guru di LPTK, baik D-II, D-III, Sarjana 19 Muda, Sarjana S-1, Magister S-2 atau Doktor S-3, dan menempuh ujian saringan CPNS yang sebenarnya dari isinya tes tersebut tidak ada yang terkait dengan pofesi keguruan. Dengan tanpa mempertimbangkan kualitas perguruan tinggi yang menghasilkan calon guru, setiap tahun ada formasi yang diperebutkan antara lulusan LPTK dengan variabilitas kualitas yang begitu lebar, untuk diangkat menjadi CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil). Meskipun gaji guru termasuk paling rendah di antara profesi untuk tingkat pendidikan yang sama, orang senantiasa mengaitkan CPNS dengan job security yang sangat terjamin. Dengan konteks yang begitu menjadi sangat menarik untuk melihat dampak diterapkannya UU No. 14 tahun 2005 tersebut, yang untuk tambahan tunjangan profesi guru konon menelan biaya ratusan milyar rupiah pada saat sekarang. Karena proses sertifikasi diharapkan selesai tahun 2014 dan keterbatasan dana pemerintah, maka untuk 2007 dan 2008 ditetapkan kuota sebanyak 200.000 guru dari berbagai jenjang dan jenis pendidikan , termasuk untuk guru yang diangkat oleh masyarakat (guru tetap yayasan) yang jumlahnya sampai sekarang belum terdata dengan pasti. Yang patut disesalkan adalah adanya beberapa oknum guru yang melakukan hal-hal yang tidak semestinya demi untuk ikut serta dalam pengajuan portfolio yang akan dinilai oleh para assesor untuk kelulusan sertifikasi. Meskipun di konteks Indonesia dikenal adanya pemalsuan ijasah dan sertifikat sebagai kejahatan, tetapi pemalsuan ijasah, akta mengajar, dan piagam kehadiran dalam suatu kegiatan demi keikutsertaan dalam sertifikasi adalah cukup merisaukan. Kalau tanggungjawab moral ini tidak segera mendapat perhatian dikhawatirkan proses sertifikasi secara umum akan gagal dalam mencapai tujuan utamanya peningkatan mutu tenaga guru. Dalam konteks seperti itu, ada klausul dalam Undang-Undang Guru dan Dosen yang menuntut keterlibatan guru selama enam jam per tahun untuk kesempatan meningkatkan kompetensinya (The World Bank, 2008, p.31). Juga dalam hal yang hampir sama, guru diharapkan secara terus menerus memperkuat dan mengembangkan kemampuan profesional mereka sejalan dengan perkembangan IPTEKS, bahkan memperbaharui sertifikat mengajar secara periodik dengan melalui tes kompetensi. Hal-hal inilah yang memberikan signal positif bahwa upaya-upaya untuk mensukseskan sertifikasi guru hendaknya dipikirkan sejak sekarang senyampang konsep masih mencari format yang sesuai antara tuntutan undang-undang, kebijakan nasional pendidikan, motivasi peserta dan prioritas institusionalnya. Upaya untuk meningkatkan mutu guru ini juga sudah dilakukan oleh Direktorat PPTK dan KPT Ditjen Dikti dengan pengembangan modul Peningkatan Kualitas Pembelajaran, yang untuk pertama kali diujicobakan di kalangan LPTK (Depdiknas, 2004). Usaha yang serupa dilakukan juga di Hongkong (Leung, 2005) yang mengkompilasi berbagai praksis yang dinilai baik untuk bahan pembelajaran di pendidikan gurunya. Sementara itu di Singapura yang tidak menerapkan proses sertifikasi guru secara tidak langsung telah membentuk CDTL (Centre for Development of Teaching and Learning) yang setiap tahun menerbitkan 20 hasil-hasil penelitian yang telah diolah sedemikian rupa menjadi modul pembelajaran untuk menjadi bahan pegangan bagi guru dan dosen dengan judul Ideas on teaching ( CDTL, 2003). Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan guru adalah pendidik profesional. Untuk itu, guru dipersyaratkan memiliki kualifikasi akademik minimal Sarjana atau Diploma IV (S1/D-IV) yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran. Sedangkan pemenuhan persyaratan penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Pada dasarnya kompetensi merupakan kebulatan penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang ditampilkan melalui unjuk kerja. Kepmendiknas No. 045/U/2002 menyebutkan kompetensi sebagai seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu. Jadi kompetensi guru dapat dimaknai sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang berwujud tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran. Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam UUGD No. 14/2005 pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Kompetensi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: a. Kompetensi Pedagogik Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Secara rinci setiap subkompetensi dijabarkan menjadi indikator esensial sebagai berikut. 1) Subkompetensi memahami peserta didik secara mendalam memiliki indikator esensial: memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif; memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian; dan mengidentifikasi bekal-ajar awal peserta didik. 2) Subkompetensi merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran yang memiliki indikator esensial: menerapkan teori belajar dan pembelajaran; menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, mengintegrasikan kompetensi yang ingin dicapai dengan lingkungan hidup, kecakapan hidup, dan materi ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih. 3) Subkompetensi melaksanakan pembelajaran memiliki indikator esensial: menata latar (setting) pembelajaran; dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif. 21 4) Subkompetensi merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran memiliki indikator esensial: merancang dan melaksanakan evaluasi (assessment) proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode; menganalisis hasil evaluasi proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery learning); dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum. 5) Subkompetensi mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan dan menyebarkanluaskan ilmu dan potensinya, memiliki indikator esensial: memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik dan nonakademik yang terkait dengan berbagai permasalahan nyata di lingkungan hidupnya. b. Kompetensi Kepribadian Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Secara rinci subkompetensi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. 1) Subkompetensi kepribadian yang mantap dan stabil memiliki indikator esensial: memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma: hukum, sosial, lingkungan hidup, dan kebanggaan sebagai guru, 2) Subkompetensi kepribadian yang dewasa memiliki indikator esensial: menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru. 3) Subkompetensi kepribadian yang arif memiliki indikator esensial: menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak. 4) Subkompetensi kepribadian yang berwibawa memiliki indikator esensial: memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan memiliki perilaku yang disegani. 5) Subkompetensi akhlak mulia dan dapat menjadi teladan memiliki indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma religius (iman dan taqwa, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik. c. Kompetensi Sosial Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungannya secara efektif: dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, masyarakat sekitar dan lingkungan hidup. Kompetensi ini memiliki subkompetensi dengan indikator esensial sebagai berikut. 1) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik. 22 2) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan, serta orang tua/wali peserta didik. 3) Mampu berinteraksi secara efektif dengan masyarakat dan lingkungan hidup di sekitarnya. 4) Mampu memahami dan mengembangkan jaringan kerja tingkat lokal, regional dan nasional untuk meningkatkan kompetensinya d. Kompetensi Profesional Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah, substansi keilmuan yang menaungi materinya, penguasaan terhadap stuktur dan metodologi keilmuannya serta keterkaitannya dengan kecakapan hidup dan lingkungan hidup. Setiap subkompetensi tersebut memiliki indikator esensial sebagai berikut : 1) Subkompetensi menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi memiliki indikator esensial: memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi atau koheren dengan materi ajar; memahami hubungan konsep antar mata pelajaran terkait dengan lingkungan hidup dan kecakapan hidup; dan menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari. 2) Subkompetensi menguasai struktur dan metode keilmuan memiliki indikator esensial menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan/materi bidang studi. Sertifikasi guru bertujuan untuk : (a) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (b) meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, dan (c) meningkatkan profesionalisme guru. Sedangkan manfaatnya antara lain adalah: (a) melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi guru, dan (b) melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan tidak profesional. Alur rekrutmen peserta sertifikasi guru dalam jabatan dapat dijelaskan sebagai berikut: Guru menyusun portofolio yang menggambarkan semua prestasi kerja terbaik dalam suatu dokumen untuk diberikan penilaian. Guru mengikuti seleksi internal yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota berdasarkan kriteria untuk menentukan guru yang diprioritaskan. Bagi kelompok guru yang mismatch, yang bersangkutan dapat memilih apakah akan mengikuti sertifikasi sebagai guru sesuai dengan latar belakangnya atau mata pelajaran yang diampu. Sertifikat profesi guru diberikan setelah lulus sertifikasi sesuai dengan pilihan sertifikasinya. Ini berarti yang bersangkutan harus mengasuh mata pelajaran sesuai dengan sertifikat profesi yang diterimanya. Alur sertifikasi guru selanjutnya dapat ditampilkan pada Gambar 2 berikut: 23 SERTIFIKAT PENDIDIK Lulus GURU DALAM JABATAN PENILAIAN PORTOFOLIO (PF) Tidak Lulus KEGIATAN TAMBAHAN LENGKAPI PF DIKLAT PROFESI Lulus UJIAN Lulus UJIAN ULANG Tidak Lulus BELAJAR MANDIRI Gambar 2. Alur Sertifikasi Guru Data Ditjen PMPTK (2006) menunjukkan bahwa saat ini terdapat guru pendidikan dasar dan menengah sebanyak 2.783.321 orang. Pemerintah dalam hal ini Depdiknas secara bertahap akan melakukan sertifikasi bagi semua guru dan diharapkan rampung pada tahun 2014. Khusus untuk tahun 2007, diprogramkan akan disertifikasi sebanyak 190.450 orang guru, sedangkan tahun 2008 dan 2009 masing-masing ditetapkan kuota @200.000 orang guru dari berbagai jenjang pendidikan. 4. Dampak Sertifikasi terhadap Kinerja Guru Pengertian tentang kinerja yang dikemukakan para ahli (Szilagyi & Wallace, 1983: 360; Stolovic & Keeps, 1992: 4; Cascio, 1992:267), pada dasarnya berkaitan dengan output (hasil kerja) dan pencapaian tujuan yang dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan pegawai/anggota organisasi. Byars & Rue (1991:250) mengungkapkan bahwa: kinerja selain berkenaan dengan penyelesaian (degree of accomplishment) dari tugas-tugas yang dicapai individu, juga merefleksikan seberapa baik individu itu telah memenuhi persyaratan tugas pekerjaan sehingga kinerja diukur dari aspek hasil. Sedangkan menurut Latham & Wexley (1981:11), kinerja merupakan beberapa keputusan atau penilaian yang mempengaruhi status pegawai dalam suatu organisasi untuk mengakui referensi, terminasi, promosi, demosi, transfer peningkatan gaji atau penambaha n frekuensi dan isi diklat. 24 Berdasarkan definisi kinerja tersebut, kinerja guru dapat didefinisikan sebagai hasil yang dicapai oleh guru dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu dengan output yang dihasilkan tercermin dari kuantitas maupun kualitasnya. Tinggi rendahnya kinerja guru dapat dicermati dari hasil pelaksanaan tugas yang dilakukan berdasarkan kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan sesuai dengan waktu yang tersedia. Sedangkan penilaian kinerja guru dapat dirumuskan sebagai proses penilaian untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan dan kontribusi guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya yang berguna untuk memperbaiki kinerja guru, memotivasi kerja guru, mengambil keputusan yang berkaitan dengan guru (perencanaan, seleksi, pengembangan karir, imbalan, kompensasi, kesejahteraan, hubungan internal) yang pada akhirnya mampu meningkatkan pencapaian tujuan organisasi/sekolah Menilai kinerja guru tidak dapat dilepaskan dari tugas dan fungsi yang diembannya. Martin, Wood & Stevens (1988:374) membedakan tugas guru menjadi lima yaitu: tugas akademik, tugas sosial, tugas manajerial, tugas legal, dan tugas organisasi. Sedangkan Bubb & Earley (2004:7), merumuskan beban kerja guru meliputi enam aspek yang meliputi: (a) mengajar, (b) persiapan mengajar, (c) hubungan non pembelajaran dengan masyarakat dan orangtua siswa, (d) manajemen sekolah, (e) tugas-tugas administratif, (6) pengembangan diri dan profesi. Meskipun dengan rumusan yang berbeda, ketiga pendapat tersebut memiliki kesaman bahwa kinerja guru pada hakekatnya meliputi tiga aspek yaitu: tugas pokok pembelajaran, tugas pendukung termasuk non akademik, dan tugas pengembangan diri. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39 ayat 2 menyatakan bahwa: ”Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”. Hal ini diperkuat dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa: ”Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan”. Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa: “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa penilaian kinerja guru pada dasarnya adalah menilai guru dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi peserta didik. 25 Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 84 tahun 1993 merumuskan empat bidang tugas guru yaitu: (a) tugas di bidang pendidikan, (b) tugas di bidang PBM dan bimbingan, (c) tugas di bidang pengembangan profesi, (4) tugas penunjang pendidikan. Sedangkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan, merumuskan bahwa kinerja guru dapat dijabarkan dalam komponen-komponen portofolio yang meliputi: (a) kualifikasi akademik, (b) pendidikan dan pelatihan, (c) pengalaman mengajar, (d) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran (RPP/SAP, buku ajar, handout, media, soal evaluasi, lembar kerja siswa), (e) penilaian dari atasan dan pengawas, (f) prestasi akademik, (g) karya pengembangan profesi (laporan penelitian, artikel ilmiah di jurnal, artikel ilmiah popular di media massa, makalah seminar, buku, diktat, modul, maupun karya terjemahan), (h) keikutsertaan dalam forum ilmiah (peserta atau pemakalah), (i) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (j) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Sepuluh aspek tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga unsur yaitu: unsur kualifikasi dan tugas pokok, unsur pengembangan profesi, dan unsur pendukung profesi. Di beberapa negara, institusi pendidikan dan sekolah telah melakukan upaya penilaian kinerja guru. Meskipun menggunakan berbagai macam rumusan baik secara umum maupun secara rinci, namun pada dasarnya terdapat persamaan kriteria yang digunakan dalam penilaian kinerja guru. Kriteria-kriteria penilaian kinerja tersebut pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga aspek yang meliputi: tersebut meliputi tiga aspek yaitu: pembelajaran (perencanaan, pelaksanaan, manajemen kelas, lingkungan belajar dan asesmen), komunikasi dan melaksanakan tugas non akademik, serta pengembangan profesionalisme (Wagiran, 2008:29-32). Dari berbagai rumusan kriteria maupun indikator penilaian kinerja di atas pada dasarnya kinerja guru dapat diungkap melalui tiga indikator yang meliputi: kinerja dalam melaksanakan tugas pokok, kinerja dalam melaksanakan tugas di luar tugas pokok/pendukung dan kinerja dalam peningkatan profesionalisme. Kinerja dalam melakukan tugas pokok meliputi tugas mengajar (merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, mengelola kelas, menilai hasil pembelajaran), mendidik, melatih, dan membimbing. Kinerja dalam melakukan tugas di luar tugas pokok meliputi tugas-tugas administratif, pengembangan sekolah, tugas tambahan maupun tugas non akademik lain yang mendukung tugas pokok. Sedangkan pengembangan profesionalisme menyangkut aspek pengembangan diri dan profesi yang meliputi: pendidikan dan pelatihan, penelitian maupun karya pengembangan profesi. 5. Peningkatan Profesionalisme Guru Pengembangan profesionalisme guru memiliki peran strategis dalam upaya mengantisipasi perkembangan, perubahan serta tuntutan profesi guru yang makin tinggi. Guru yang profesional tidak hanya 26 menguasai bidang ilmu, bahan ajar, menguasai metode yang tepat, mampu memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan. Guru yang profesional juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakekat manusia, dan masyarakat. Hakikat-hakikat ini akan melandasi pola pikir dan pola kerja guru dan loyalitasnya kepada profesi pendidikan. Juga dalam implementasi proses belajar mengajar guru harus mampu mengembangkan budaya organisasi kelas, dan iklim organisasi pengajaran yang bermakna, kreatif dan dinamis, bergairah, dialogis sehingga menyenangkan bagi peserta didik sesuai dengan tuntutan Undang-Undang Sisdiknas (UU No. 20 Tahun 2003 pasal 40 ayat 2 a). Untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (a) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (b) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (c) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (d) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (e) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya (Supriadi 1998). Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai; (a) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; (b) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; (c) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan; ini menuntut hubungan/relevansi antara kurikulum LPTK dengan praksis pendidikan. Dalam upaya mengembangkan profesionalisme guru dapat dilakukan dengan empat cara. Pertama, peningkatan profesionalisme guru dimulai dari Lembaga Pencetak Calon Guru yaitu LPTK. Hal ini menyiratkan bahwa LPTK sebagai pencetak calon guru perlu membekali lulusannya dengan perkembangan terbaru pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan perkembangan jaman dan sesuai dengan kebutuhan lapangan. Sementara ini masih terkesan LPTK terlambat dalam mengantisipasi hal tersebut. Apalagi saat ini telah terjadi pergeseran drastis paradigma pendidikan, karena terjadinya aliran informasi dan pengetahuan yang begitu cepat karena effisiensi teknologi informasi Internet yang memungkinkan tembusnya batas-batas dimensi ruang, birokrasi, kemapanan dan waktu. Sumber ilmu pengetahuan tidak lagi terpusat pada lembaga pendidikan formal. Sumber ilmu pengetahuan akan tersebar dimana-mana dan setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan. Paradigma ini dikenal sebagai 27 distributed intelligence (distributed knowledge). Fungsi guru/dosen/lembaga pendidikan akhirnya beralih dari sebuah sumber ilmu pengetahuan menjadi mediator dari ilmu pengetahuan. Cara kedua, peningkatan profesionalisme guru melalui program tugas belajar/ penyetaraan. Salah satu cara untuk meningkatkan profesionalisme guru adalah melalui standar minimal ijasah yang harus dimiliki guru yaitu tingkat S1. Setidaknya ada tiga hal yang dapat dicapai dengan pemberian tugas kepada guru baik itu tugas belajar untuk program penyetaraan maupun tugas belajar secara reguler, yaitu; (a) Meningkatkan kualifikasi formal guru sehingga sesuai dengan peraturan kepegawaian yang diberlakukan secara nasional maupun yayasan yang menaunginya, (b) Meningkatkan kemampuan profesional para guru dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendiidikan di sekolah, (c) Menumbuh kembangkan motivasi para pegawai sekolah dalam rangka meningkatkan kinerjanya. Cara ketiga, peningkatan profesionalisme guru melalui in-service training. Inservice training dalam bentuk pelatihan, atau pendidikan dan pelatihan, workshop dan semacamnya perlu mendapat perhatian. Kegiatan semacam ini terlalu mendapat sorotan karena sering kali dinilai tidak dan kurang tepat sasaran dan bahkan terkesan kegiatannya tidak tuntas. Evaluasi dan monitoring sering kali tidak dapat dilakukan. Jadi begitu selesai kegiatan tidak ada tindak lanjut. Sekan-akan semua terserah kepada peserta, mau apa setelah mengikuti pelatihan. Cara keempat, peningkatan profesionalisme guru melalui pengawasan/supervisi pendidikan. Pengawasan dan supervisi di sekolah dapat berfungsi untuk pengembangan, motivasi dan kontrol apabila dilaksakan dengan memegang prinsip-prinsip pengawasan dan supervisi pendidikan. Melalui supervisi dapat diciptakan hubugan kemanusiaan yang harmonis dan terbuka antar guru dengan pengawas. Melalui cara ini guru bisa dimotivasi untuk selalu meningkatkan kinerja dalam proses pembelajarannya. Baedlowi (2009: 7-15), merumuskan beberapa upaya peningkatan profesionalisme guru yang meliputi: sertifikasi guru, continuing professional development (CPD), asosiasi profesi, dan upaya lainnya (beasiswa, penghargaan, peningkatan kesejahteran). Continuing Professional Development (CPD) merupakan salahsatu upaya peningkatan mutu dan profesionalisme yang dilakukan melalui pendidikan, pelatihan-pelatihan singkat maupun berkesinambungan dengan memberdayakan berbagai elemen seperti Kelompok Kerja Guru, Musyawarah Guru Mata Pelajaran, Kelompok Kerja Kepala Sekolah, Musyawarah Kerja Kepala Sekolah, LPMP, P4TK, Perguruan Tinggi (PT/LPTK). Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengembangkan profesionalisme guru dalam usulan Pidarta (1999) antara lain: (a) belajar lebih lanjut, (b) menghimbau dan ikut mengusahakan sarana dan fasilitas sanggar-sanggar seperti Sanggar Pemantapan Kerja Guru, (c) ikut mencarikan jalan agar guru-guru mendapatkan kesempatan lebih besar mengikuti panataran-penataran pendidikan, (d) ikut memperluas 28 kesempatan agar guru-guru dapat mengikuti seminar-seminar pendidikan yang sesuai dengan minat dan bidang studi yang dipegang dalam usaha mengembangkan profesinya, (e) mengadakan diskusi-diskusi ilmiah secara berkala disekolah, (f) mengembangkan cara belajar berkelompok untuk guru-guru sebidang studi. Tujuan pembinaan dan pengembangan profesi guru adalah untuk meningkatkan kinerja dan dilakukan secara terus menerus sehingga mampu menciptakan kinerja sesuai dengan persyaratan yang diinginkan, disamping itu pembinaan harus sesuai arah dan tugas/fungsi yang bersangkutan dalam sekolah. Semakin sering profesi guru dikembangkan melalui berbagai kegiatan maka semakin mendekatkan guru pada pencapaian predikat guru yang profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga harapan kinerja guru yang lebih baik akan tercapai. B. Kajian Penelitian yang Relevan Guru memiliki peran signifikan dalam menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Namun demikian data di lapangan menunjukkan masih banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam upaya meningkatkan kualitas dan kinerja guru. Jika mengacu pada syarat yang ditetapkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, antara lain guru berkualitas harus berkualifikasi pendidikan D-IV/ S-1, maka terdapat 1,7 juta guru di Indonesia masih berpendidikan SMA-D-III. Kesejahteraan guru juga memprihatinkan. Masih banyak guru yang digaji sangat rendah per bulan. Adanya status kerja guru honor daerah dan guru honor sekolah menyebabkan posisi guru lemah dan sewaktu-waktu bisa dipecat tanpa menerima haknya (Kompas 4 Oktober 2008) Lutfiah Nurlaela (2008:847-854) dalam penelitian deskriptif tentang kinerja guru setelah sertifikasi menyimpukan bahwa: (1) Pada unsur kualifikasi dan tugas pokok, sebagian besar guru telah melaksanakan beban kerjanya sesuai dengan ketentuan (24 jam/minggu), namun hal-hal yang terkait dengan pembuatan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang berpusat pada siswa, dan penerapan penilaian alternatif, masih harus terus ditingkatkan, (2) Pada unsur pengembangan profesi, sebagian besar guru masih tetap mengikuti diklat peningkatan kompetensi, namun dalam hal penulisan karya tulis dan penelitian masih memprihatinkan, dan (3) Pada unsur pendukung profesi, kebanyakan guru jarang mengikuti forum ilmiah. Dalam hal ini beberapa pengamatan di lapangan nampaknya mendukung temuan yang menyatakan, bahkan merisaukan rendahnya pengetahuan dasar guru tentang kegiatan dan normanorma yang berlaku i penelitian khususnya dan forum-forum ilmiah pada umumnya. Berdasarkan berbagai temuan di atas tampak bahwa upaya peningkatan kualitas guru melalui berbagai macam strategi termasuk sertifikasi masih dihadapkan pada berbagai kendala. Berbagai upaya tersebut perlu dievaluasi untuk dapat diketemukan sebab musababnya serta solusi efektif dalam upaya meningkatkan kinerja guru. 29 Sementara itu di berbagai negara para pendidik sudah mulai melirik ilmu “mengajar” atau the science of teaching, yang sebenarnya sangat menarik untuk diteliti. Dimulai dari pengamatan praksis, kadang-kadang dari hasil mencermati apa yang dilakukan seorang guru dapat muncul butir-butir mutiara yang sangat indah dan yang terpenting dapat difungsikan sebagai pedoman rmengajar yang baik. Hasil refleksi diri maupun pengalaman orang lain ini ternyata menjadi sumber inspirasi yang tidak pernah kering. Beberapa contoh refleksi diri tersebut dapat dijumpai di buku “Reflections on Teaching” yang dikompilasi dari pengalaman dan penelitian tindakan kelas (PTK), diterbitkan oleh NUS (National University of Singapore). Salah satunya adalah Basant Kapur yang menawarkan filsafat mengajarnya dalam 3C, yaiotu : Commitment, Capability and Creativity. Guru yang lain mempopulerkan 7T sebagai suatu checklist yang harus selalu dicermati dalam mengajar, yaitu : Thinking, Taching, Testing, Transmission of values, Technology usage, Tapping into reality, and Topping-up. Masing-masing T lalu diikuti denagn berbagai pertanyaan yang menggelitik. Misalnya untuk Tapping into Reality, seorang guru harus sering menanyakan, apakah dia cukup memberikan kesempatan kepada anak didiknya untuk menghubungkan apa yang dipelajari di kelas dengan dunia nyata di luar kelas? Kemudian untuk T yang kelima, yaitu Technology in Use, checklistnya berkembang menjadi empat pertanyaan : (1) Apakah sang guru sudah merasa “nyaman” dengan teknologi yang dipiilihnya ? (2) Apakah dia memiliki skills yang diperlukan untuk adopsi teknologi tersebut? (3) Apakah pemanfaatan teknologi tersbut memudahkan bagi anak didiknya, dan menyebakan meningkatnya efisiensi dan keefektifan pembelajaran? dan (4) Apakah sang guru selalu berusaha mencari tahu tentang perkembangan mutakhir teknologi tersebut? Dengan uraian di atas dimaksudkan bahwa sebagai seorang guru matapelajaran atau sebagai seorang yang berpengalaman mengajar tentunya memiliki segudang kiat-kiat baik yang khusus mengenai bidang yang ditekuni maupun yang umum sebagai seorang guru. Apabila hal-hal tersebut ditulis, tentunya akan dapat di’share” oleh guru-guru yang lain, untuk kemudian direfleksikan ke dalam pemikiran guru-guru yang lain tersebut. Dari pertukaran di tingkat filsafati sampai cara-cara operasional ini diyakini akan memperkaya “the science and arts of teaching” yang jika diyakini betul akan membantu para guru berkembang dalam profesi sebagai pengajar maupun pendidik. 30 BAB III METODE PENELITIAN A. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah semua guru yang sudah lolos sertifikasi dan yang tidak lolos, dan guru-guru yang akan diusulkan dalam program sertifikasi di tahun-tahun mendatang. Untuk mendapatkan sampel yang representatif, diambil lebih dahulu 3 propinsi (DIY, Bali dan Sulawes Selatan) dengan pertimbangan kemajuan dan prestasi pendidikannya dalam peta pendidikan nasional. Kemudian dari setiap propinsi diambil 150 guru dari ketiga kategori yang disebutkan di atas. Jumlah 450 guru ini bersesuaian dengan rumus Krecji dan Morgan (Isaac & Stephen, 1982) untuk sampel random sederhana dengan pengertian bahwa perhitungan yang akan dilakukan adalah perhitungan proporsi. Dalam tabel tersebut jelas bahwa untuk sampel representatif bisa diambil ukuran 382 ditambah masing-masing 10% untuk antisipasi non-return dan isian yang tidak lengkap, sehingga jumlah / ukuran sampel yang final adalah = 382 + 20%=450 guru. Sebagai sumber data untuk verifikasi melalui wawancara dan foccused group discussion dipilih 15 Kepala Sekolah dan teman sejawat, B. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian ini terdiri dari angket untuk guru yang sudah lolos sertifikasi, guru yang belum lolos sehingga harus mengambil mata pelatihan di PLPG, dan guru yang akan diprogramkan untuk ikut sertifikasi di tahun 2010. Angket ini terdiri dari 5 bagian : (a) pertanyaan tentang persepsi guru terhadap program sertifikasi (41 butir dengan jawaban pola skala Likert 4 pilihan); (b) 20 butir pertanyaan dengan pilihan 4 jawaban dan perluasannya dalam beberapa pertanyaan semi terbuka, (c) 22 butir pertanyaan tentang implementasi sertifikasi berupa kebutuhan diklat dengan pola 4 jawaban tentang pelatihan yang dibutuhkan guru, baik yang sifatnya pelatihan dasar, penyegaran, up-grading ke tingkatan yang lebih tinggi, ataupun pelatihan yang tidak diperlukan menurut persepsi para guru, (d) 22 butir pertanyaan tentang dampak sertifikasi guru dengan pola jawaban tertutup (sangat meningkat, meningkat, sama saja dan menurun) dan (e) 20 butir pertanyaan tentang dukungan kepala sekolah dan institusinya terhadap usaha guru untuk ikut dan lolos dalam program sertifikasi. Di samping instrumen utama ini, dibuat juga daftar pertanyaan wawancara dan foccused group discussion untuk kepala sekolah dan teman sejawat, yang isinya hampir sama tetapi teknik pengumpulan datanya berbeda. Perlu diutarakan di sini bahwa semua instrumen telah diujicobakan sebelum digunakan, dan proses ujicoba dan revisi butir-butir baik jumlah maupun isinya ada di lampiran, dengan hasil-hasil 31 sebagai berikut: reliabilitas (Cronbach’s Alpha) mencapai 0,886 (untuk persepsi terhadap program sertifikasi), 0,918 (untuk dampak sertifikasi) dan 0,940 (untuk dukungan Kepala Sekolah); di samping itu semua butir mempunyai tingkat communalities di atas 0,30 sehingga semua layak untuk dipakai. Untuk instrumen tanggapan siswa terhadap kineja guru diujicobakan kepada 21 siswa SMA 10 Yogakarta, mencapai hasil reliabilitas Alpha = 0,887, dengan butir yang tidak layak pakai 10 butir sehingga dari 47 butir dipakai sebanyak 37 butir pertanyaan. Untuk pedoman wawancara dan FGD ujicoba difokuskan kepada aspek pemahaman responden dan keterbacaan tentang maksud butirbutir pertanyaan sehingga nantinya di lapangan tidak lagi dijumpai kesulitan yan berarti. C. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan instrumen dan alat kelengkapan pengumpulan data, maka teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan pengisian angket oleh guru dan siswa, kemudian selang 2-3 minggu ditindaklanjuti dengan wawancara, dokumentasi dan foccused group discussion untuk maksud verifikasi isian guru. D. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dari lapangan dianalisis dengan teknik statistik deskriptif dan komparatif diperkaya dengan tabulasi dan paparan data kualitatif yang diperoleh dari verifikasi wawancara, dokumentasi dan diskusi kelompok terfokus. Apabila memungkinkan, telah dilakukan juga pengujian hipotesis, khususnya tentang perbedaan persepsi responden tentang program sertifikasi, kebijakan implementasinya, serta dampaknya bagi peningkatan kualitas pendidikan E. Strategi Pengembangan Didasarkan pada saran-saran yang diperoleh dari lapangan dan kenyataan yang didapat dari analisis data, maka strategi pengembangan dari temuan penelitian ini juga mengalami perubahan. Jika semula direncanakan penyusunan 3 modules, karena hasil analisis data menunjukkan ketiga kelompok guru tidak menunjukkan perbedaan signifikan, maka disarankan ketiga submodules disatukan saja dalam satu modul pengembangan, dan saran ini diterima. Dalam pengembangan modul yang sekarang ketiga submodules sudah dilihat kembali untuk disederhanakan struktur maupun isinya menjadi satu yang dapat memenuhi kebutuhan ketiga kelompok guru tersebut. 32 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Umum tentang Responden Dari sampel penelitian yang direncanakan sebanyak 450 orang guru, ada bebergapa orang guru yang tidak hadir dalam pengisian angket yaitu dari Daerah Istimewa Yogyakarta seorang dari kelompok yang lolos setifikasi, 28 orang dari kelompok yang tidak lolos sertifikasi dan menempuh PLPG, sedangkan dari yang belum pernah ikut sertifikasi seorang juga tidak ikut pengisian angket. Total jumlah yang hadir untuk ketiga propinsi disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 1 Jumlah Responden yang Terlibat Dalam Penelitian Kelompok DIY Bali Sulawesi Selatan Keterangan Rencana sampel Guru 150 150 150 Jumlah n = 450 orang guru Lolos Portfolio 49 50 50 Tidak Lolos 22 50 18 Belum Ikut 49 50 50 5 5 4 144 50 5 Kepala Sekolah (FGD dan Wawancara) Siswa Sulit sekali mencari orang yg.tdk lolos sertifikasi, khususnya di SMA Negeri Dari tabel dapat diketahui bahwa peneliti tidak berhasil mengumpulkan sejumlah guru dari kelompok yang tidak lolos sertifikasi dan kemudian harus mengikuti program PLPG sampai dinyatakan lulus. Ada dua kemungkinan di sini, yang pertama adalah memang sulit mencari guru yang tidak lolos sertifikasi dengan penilaian portfolio, sehingga dari rencana 50 orang, di DIY hanya berhasil dikumpulkan 22 orang dan di Makasar 18 orang. Kemungkinan kedua adalah ada semacam perasaan malu di kalangan guru yang tidak lolos penilaian portfolio, yang ini juga bisa menjelaskan ketidak-bersediaan mereka untuk dilibatkan sebagai sampel dalam penelitian ini. Namun dari jumlah ukuran sampel yang masih tersisa, yaitu 387 orang masih sangat memenuhi syarat untuk perhitungan proporsi. Apalagi kalau mengingat bahwa yang akan dikomparasikan adalah data tentang persepsi kelompok yang sudah lolos dan yang belum mengalami program sertifikasi, dalam hal ini jumlah isi keempat sel sangat berimbang. 33 B. Persepsi Guru tentang Program Sertifikasi Dalam bagian ini akan dipaparkan hasil penghitungan rerata untuk sekor ketiga kelompok guru di ketiga propinsi, yang secara deskriptif menunjukkan kedekatan nilai rerata tersebut antara satu dengan yang lain. Tabel 2 Rerata Sekor Tiga Kelompok Guru di Tiga Propinsi No Persepsi Guru DIY Bali Sulsel 1 Guru yg.Lolos Portfolio 3,06 3,01 3,04 2 Guru yg.Tidak Lolos Portfolio 2,85 2,95 2,96 3 Guru yg.Belum Ikut Sertifikasi 2,93 2,79 2,83 CATATAN: sekor maks.=4,00. ukuran sampel tidak merata karena di DIY dan Sulsel sangat sedikit dijumpai guru SMA yang tidak lolos penilian portofolionya. Tidak ada perbedaan antara dua rerata yang secara statistik mempunyai nilai signifikan. Pemaknaan yang mungkin dapat dilakukan adalah guru yang telah lolos portfolio mempunyai persepsi paling positif (ditunjukkan oleh tingginya rerata) tentang sertifikasi guru sebagai program pemerintah untuk lebih mendudukkan guru pada posisi yang wajar di masyarakat. Di Bali dan Sulawesi Selatan urutan sekor persepsi responden terhadap program sertifikasi guru adalah guru yang sudah lolos sertifikasi menempati urutan teratas, disusul kemudian oleh guru yang tidak lolos, baru kemudian guru yang diusulkan untuk mengisi kuota tahun 2010. Untuk kasus Yogyakarta ada perbedaan yaitu bahwa rerata sekor persepsi terhadap program sertifikasi adalah guru yang sudah lolos sertifikasi, diikuti oleh kelompok guru yang belum diusulkan untuk ikut program sertifikasi, baru kemudian kelompok guru yang tidak lolos sertifikasi periode atau angkatan 2009. Secara umum dari jawaban responden terhadap pertanyaan terbuka dalam angket dapat diungkapkan dalam penelitian ini bahwa ketiga kelompok guru tidak banyak berbeda dalam persepsi mereka tentang sertifikasi guru, antara lain; (a) semua kelompok secara sendiri-sendiri maupun dalam kelompoknya menyatakan bahwa seorang guru profesional diharuskan mengajar sebanyak 24 jam adalah terlalu berat, apalagi di daerah terpencil atau di kota kecil yang cenderung tidak terlalu banyak sekolah untuk memberi kesempatan memenuhi persyaratan tersebut; (b) Hampir semua guru dan juga Kepala Sekolah yang diwawancarai mengkhawatirkan prosedur sertifikasi yang rumit, berbelit-belit dan terlalu kompleks akan membuat guru terlalu sibuk mengurusi aspekaspek non-teaching sehingga proses pembelajaran akan menjadi agak terbengkalai. 34 (c) Mayoritas guru beranggapan bahwa program sertifikasi guru ini sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan guru, bahkan mereka berkata tanpa program sertifikasipun apabila kesejahteraan guru naik maka mutu pembelajaran dan juga mutu pendidikan secara otomatis akan ikut naik pula. Berikut ini disajikan tabel ringkasan hasil analisis komparatif antar kelompok dengan menggunakan analisis varians, yang secara ringkas menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan. Tabel 3 Hasil Analisis Varians Tiga Kelompok Guru di Tiga Propinsi No Variabel Guru Lolos Sertifikasi F Sig. Persepsi ttg. Sertifikasi 0,281 0,755 Levene 3,117 0,047 Implementasi dan Dampak 0,069 F Sig. 1,879 0,157 Tdk Homog en 2,494 0,087 0,934 Ho gagal ditolak 1,198 Levene 0,442 0,644 Homog en Dukungan Kep.Sekolah 0,069 0,934 Levene 0,442 0,644 1 2 3 Guru Tidak Lolos Sertifikasi Makna Ho gagal ditolak Makna Ho gagal ditolak Guru Belum Sertifikasi F Sig. Makna Ho gagal ditolak 1,642 0,197 Homog en 3,738 0,026 Tdk Homog en 0,305 Ho gagal ditolak 0,238 0,789 Ho gagal ditolak 1,533 0,220 Homog en 0,979 0,378 Homog en Ho gagal ditolak 0,999 0,371 Ho gagal ditolak 1,812 0,167 Ho gagal ditolak Homog en 1,960 0,146 Homog en 2,968 0,055 Homog en Sebagaimana nampak dari tabel di atas, sama sekali tidak ada perbedaan yang signifikan antar guru di ketiga daerah yang menjadi sampel penelitian ini, baik dalam persepsi terhadap sertifikasi, implementasi sertifikasi guru dan dampaknya, serta dalam hal dukungan kepala sekolah dan institusinya. Hal ini paling tidak dapat diartikan bahwa program sosialisasi yang terkait dengan sertifikasi guru ini telah berhasil dalam menyebarluaskan konsep-konsep sertifikasi, implementasinya dalam kegiatan yang berkaitan dengan penilaian portofolio guru beserta dampaknya, dan sejauh mana guru dapat mengharapkan dukungan kepala sekolah dan institusi sekolahnya, yang. C. Implementasi dan Dampak Program Sertifikasi Ungkapan yang agak merisaukan tetapi sudah dapat diduga sebelumnya adalah bahwa menurut guru-guru tersebut tidak ada perbedaan antara guru yang sudah lolos sertifikasi dengan guru yang tidak lolos maupun dengan guru yang belum pernah ikut program sertifikasi. Dengan kata lain dapat 35 diinferensikan bahwa guru yang berhasil lolos sertifikasi dan memperoleh sertifikat pendidik profesional belum tentu menunjukkan antusiasme maupun etos kerja yang tinggi dalam mengajar anak didiknya. Bahkan khususnya guru-guru di Bali sebagian berpendapat bahwa proses sertifikasi guru model penilaian portfolio yang sekarang diterapkan bukan merupakan cara yang tepat untuk pemberian sertifikat pendidik. Mereka bersikeras tentang perlunya semacam tes kinerja (performance test) untuk dapat mengevaluasi kemampuan guru secara lebih otentik. Jawaban guru terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya terbuka juga mengungkapkan bahwa guru-guru di ketiga propinsi sependapat tentang empat hal, yaitu: (a) Mereka sudah pernah mengikuti sosialisasi program sertifikasi, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (dalam hal ini Dinas Pendidikan tingkat propinsi) maupun organisasi yang peduli tentang kependidikan khususnya guru. (b) Selain Dinas Pendidikan dan organisasi massa lain, mereka juga mengikuti sosialisasi program sertifikasi ini melalui seminar atau talkshow di media elektronika, yang disenggarakan oleh perguruan tinggi setempat, organisasi profesi serta forum-forum KKG (Kelompok kerja Guru) dan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), dan guru-guru tersebut merasa sudah cukup mendapat penjelasan tentang seluk beluk program sertifikasi. (c) Buku-buku Panduan yang mereka peroleh telah secara jelas menerangkan tentang implementasi kebijakan sertifikasi, baik tentang maksudnya, penerapannya, dan dampak akhir yang diharapkan dari para guru yang mendapat sertifikat pendidik. (d) Sekolah tempat mereka mengajar mendukung sepenuhnya dan memberi bantuan kepada para guru untuk proses penyusunan portofolio, terutama yang dirasakan sulit oleh guru, seperti karya tulis ilmiah, inovasi pengembangan profesi, dan komponen-komponen penyumbang nilai yang besar sepertii masa kerja, sertifikat atau piagam kegiatan diklat-diklat kependidikan. Bantuan dan dukungan tersebut terutama dalam bentuk perijinan dan kesempatan untuk berpartisipasi. Tabel berikut memaparkan komparasi rerata ketiga kelompok guru di ketiga propinsi dalam variabel kedua yang diteliti yaitu dampak implementasi program sertifikasi.. Tabel 4 Perbandingan Rerata Ketiga Kelompok Guru di Ketiga Propinsi Tentang Implementasi dan Dampak Sertifikasi No 1 2 3 Kelompok Guru Sudah Lolos Portofolio Tidak Lolos Portofolio Belum Diusulkan Portofolio DIY 2,96 2,64 2,63 Bali 2,94 2,91 2,66 Sulsel 2,97 2,85 2,60 CATATAN: Ada perbedaan nyata antara guru yang sudah lolos dengan guru yang belum ikut sertifikasi, signifikan pada α=0,05. Sekor maksimum=4,00 36 Dari tabel di atas segera nampak bahwa perbedaan antara rerata kelompok yang sudah lolos sertifikasi dengan kelompok yang belum diusulkan untuk dinilai portofolionya relatif cukup besar di ketiga propinsi (0,33 untuk DIY, 0,28 untuk Bali dan 0,37 untuk Sulawesi Selatan). Rerata ini diperoleh dari 20 butir pertanyaan mengenai implementasi dan dampak sertifikasi guru, dengan sekor maksimum 4,00. Temuan ini sejalan dengan konteks program sertifikasi yang implementasinya diwarnai oleh nuansa otonomi daerah dan desentralisasi kebijakan pendidikan. Meskipun demikian, secara menyeluruh tidak ditemukan gejala perbedaan yang sangat mencolok dalam aspek implementasi dan dampak dari program sertifikasi guru. Agak menarik juga untuk melihat di bidang apa saja terdapat kesamaan dan ketidaksamaan antar daerah. Misalnya dari ungkapan para responden nampaknya ada kegiatan yang masih dirasakan rendah intensitasnya meskipun semua pihak menyatakan penting, yaitu melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) dan menulis karya ilmiah. Kelompok guru yang belum ikut sertifikasi di Bali dan Yogyakarta menambakan beberapa hal yang mereka pandang sebagai kebutuhan pelatihan bagi semua kelompok, antara lain: pengembangan inovasi dalam pembuatan media pembelajaran, aplikasi bebagai metode pembelajaran yang mereka dengar dari teman atau di seminar-seminar, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dalam pembelajaran, menjalin hubungan antara sekolah dan masyarakat, antara sekolah dengan orangtua siswa, penerapan supervisi oleh teman sejawat (peer supervision), dan partisipasi aktif dalam berbagai kegiatan ilmiah yang diselenggarakan oleh komunitas perguruan tinggi atau organisasi sosial kependidikan. Yang lebih ekstrim lagi yaitu kelompok guru yang belum ikut program sertifikasi tetapi berani menyatakan bahwa menurut penilaian mereka program sertifikasi guru belum sepenuhnya mampu meningkatkan kinerja guru. Dalam wawancara dengan kepala sekolah dan sebahagian guru di Singaraja terungkap juga bahwa kelompok guru yang sudah bersertifikat pendidik menunjukkan peningkatan yang nyata dalam hal presensi dan pemanfaatan ICT untuk pembelajaran, dan mereka cenderung melaksanakan diskusi kelas secara lebih intensif. Di Makassar diketemukan juga bahwa guru-guru belum sepenuhnya memahami pengetahuan tentang KTI (Karya Tulis Ilmiah), padahal banyak sekali penawaran kerjasama dan penelitian tentang KTI yang ditawarkan ke dosen perguruan tinggi dan penelitiannya dilaksanakan oleh sekolah. Satu kendala yang dihadapi para guru ialah penguasaan mereka tentang pelaporan hasil penelitian yang relatif rendah sehingga mempengaruhi posisi tawar mereka khususnya terhadap tawaran meneliti dari beberapa Pemerintah Daerah. Khususnya guru swasta yang sudah lolos masih kesulitan untuk mendapatkan dana yang berkelanjutan karena tidak ada kejelasan tentang pihak mana yang harus membayar. Untuk mengatasi persyaratan 24 jam mengajar maka sekolah atau guru bisa menggabungkan mata pelajaran contohnya 37 Pendidikan Kewarganegaraan, Budi Pekerti dengan menerapkan team teaching. Mereka sangat berharap penerimaan dana sertifikasi guru dapat dibayarkan pada waktu yang sama dengan gaji pokok, dan kelancaran penerimaan dana yang dijamin oleh pemerintah. Sebagian guru menganggap pemerintah bertindak setengah hati dalam meningkat profesionalisme guru, perbedaan guru dengan pegawai daerah adalah guru mengajar makhluk hidup sehingga harus dibedakan pemberian remunerasi atau imbalan sesuai dengan tanggung jawabnya. Responden juga memperingatkan adanya program akta empat yang dengan cara mudah menghasilkan guru dalam waktu singkat. Terkait dengan pendanaan yang menjadi hak guru yang bersertifikat seharusnya pemerintah meningkatkan terlebih dahulu profesionalisme guru baru memikirkan hak dan kewajiban. Guru-guru yang sudah bersertifikat justru merasa dibebani karena harus mengajar 24 jam, agar guru tidak terkesan dibebani maka harus diupayakan beban mengajar dengan jumlah siswa sedikit tetapi profesional. Sekarang guru tidak bertambah profesionalismenya karena harus mencari sekolah lain agar jam mengajarnya mencapai 24 jam. Khusus untuk guru yang tidak lulus sertifikasi mereka berharap diberi umpan balik atau feedback tentang apa kelemahannya dan meminta solusi tentang apa penyebabnya. Peningkatan profesionalisme guru akan berhasil apabila pemerintah terkait mendahulukan kesejahteraan guru dibandingkan dengan kewajiban. Para guru berharap dapat mendatangkan para ahli pendidikan untuk membantu mereka dalam hal pengembangan profesionalisme, antara lain mendatangkan para ahli pendidikan untuk memberikan penyegaran atau pembelajaran yang masih baru bagi mereka. D. Dukungan Kepala Sekolah Selanjutnya akan dipaparkan persepsi para guru dan harapan mereka tentang dukungan dari masingmasing Kepala Sekolah baik secara perorangan maupun atas nama skolah yang dipimpinnya. Tabel. 5. Data Dukungan Kepala Sekolah di Tiga Propinsi No 1 2 3 Dukungan Kep Sekolah Sudah Lolos Portofolio Tidak Lolos Portofolio Belum Diusulkan Portofolio DIY 2,73 2,57 2,82 Bali 2,84 2,92 2,63 Sulsel 2,84 2,89 2,88 CATATAN: Dilihat secara sepintas tidak ditemukan trend yang khusus meskipun nampaknya guru yang sudah lolos sertifikasi tidak terlalu mengapresiasi dukungan Kepala Sekolahnya. 38 Dari tabel di atas nampak bahwa penilaian guru-guru di ketiga propinsi relatif lebih rendah dari pada skor di dua tabel sebelumnya meskipun perbedaan di Tabel 5 tidak signifikan. Dari analisis terhadap hasil wawancara dan FGD diperoleh harapan guru untuk dukungan sekolah yang mengerucut ke tiga hal: a) ada pembimbingan oleh guru yang sudah lolos sertifikasi terhadap guru yang belum diusulkan untuk ikut sertifikasi, b) sekolah menyediakan bantuan finansial untuk peningkatan kompetensi guru, persiapan sertifikasi guru, penyusunan peta keahlian guru, dan penyusunan peta kesiapan sertifikasi guru. Kesemuanya ini dimungkinkan dengan adanya penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS), c) kebutuhan akan pelatihan guru ini juga mengemuka dalam jawaban mereka berada kemungkinan refresher courses ( program penyegaran) dalam berbagai aspek kemampuan mengajar guru. Dalam penelitian ini juga dilibatkan siswa sebagai upaya untuk verifikasi jawaban guru. Kepada para siswa ditanyakan apakah ada perbedaan yang mencolok dalam hal kinerja guru di mata siswa. Data menunjukkan bahwa secara menyeluruh tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kinerja guru. (Uji t menunjukkan p = 0, 048 di Makasar, 0, 124 di DIY, dan 0, 163 di Bali). Para siswa juga mengharapkan bahwa guru-guru mereka merujuk dan memutakhirkan bahan-bahan belajar dengan mengambil bahan dari internet, menyelipkan humor-humor segar dan menunjukkan semangat mengajar yang tinggi di depan para siswa. 39 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Dari data yang telah dikumpulkan dan dianalisis, dapat ditarik kesimpulan yang sekaligus merupakan jawaban terhadap pertanyaan penelitian ini, antara lain: 1. Guru yang akan mengikuti proses sertifikasi harus menyiapkan portofolio yang benar dan obyektif sehingga dapat diperoleh gambaran yang akurat. Sebelum mengikuti proses sertifikasi mereka harus yakin bahwa proses sertifikasi ini ditujukan untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan hidup mereka. 2. Data penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi guru dan kepala sekolah sebagai atasan langsung banyak yang berpendapat bahwa proses sertifikasi belum secara efektif meningkatkan mutu guru dan mutu pendidikan. 3. Guru, kepala sekolah, dan siswa dalam penelitian ini sependapat bahwa dampak sertifikasi guru terhadap proses dan hasil pembelajaran di sekolah belum efektif. 4. Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam hal perencanaan, implementasi dan evaluasi pembelajaran antara guru yang sudah bersertifikat dan yang belum. 5. Secara menyeluruh guru-guru sangat berharap dan kepala sekolah sangat mendukung adanya konsep TCPD (teachers, continuing, professional, development), sebagaimana tercermin dari pernyataan guru dan tanggapan siswa tentang kebutuhan pelatihan baik metode pembelajaran maupun bidang studinya. B. Implikasi Temuan penelitian di atas membawa implikasi sebagai berikut: 1. Perlu ditinjau ulang proses sertifikasi dengan penilaian portofolio karena banyak para guru dan kepala sekolah menyatakan ketidak puasan terhadap proses sertifikasi yang dilaksanakan tanpa adanya tes performance atau kinerja guru. 2. Pemerintah atau LPTK atau team sertifikasi guru masih harus bereksperimen untuk menjajagi alternatif proses sertifikasi untuk menjamin peningkatan mutu dan kesejahteraan guru. Jika perlu team sertifikasi guru dapat belajar ke luar negeri ke negara-negara yang mempunyai sistem akreditasi guru yang serupa. 40 3. Perlu dilakukan penelitian yang terus menerus untuk mendapatkan pola atau sistem akreditasi yang dapat secara efektif meningkatkan mutu guru dan mutu pendidikan. 4. Guru-guru sangat mendambakan program-program kelanjutan dalam pengembangan profesinya. Hal ini bisa ditempuh melalui modul-modul TCPD atau pelatihan-pelatihan penyegaran dan peningkatan kemampuan guru. C.Saran 1. Apabila program sertifikasi ini dilanjutkan maka diperlukan persiapan yang matang antara lain: a) tim sertifikasi guru harus mengusahakan agar portfolio guru diperiksa oleh asesor yang sebidang, b) guru yang akan disertifikasi memahami betul arti dan isi portfolio sehingga terhindar dari jebakan ketebalan portfolio tersebut, c) kepala sekolah disarankan untuk memetakan guru-guru di bawah koordinasinya sehingga tidak terjadi guru yang seharusnya sudah tersertifikasi belum mendapatkan giliran atau sebaliknya guru yang belum saatnya disertifikasi diikutkan dalam proses sertifikasi. 2. Disarankan perlunya para peneliti mengkaji kembali keefektifan program sertifikasi guru agar hanya guru-guru yang benar-benar baik yang mendapat sertifikat (tidak ada unsur pemerataan). 3. Disarankan agar penilaian portfolio lebih difokuskan lagi keaspek-aspek pembelajaran, sehingga guruguru yang terampil dalam pembelajaran mendapatkan sertifikat pendidik. Dalam hal ini sangat disarankan agar penilaian portfolio meliputi: tes kinerja guru, RPP, silabus, media dan teknologi pendidikan yang dibuat oleh guru. 4. Agar dilakukan kajian yang komprehensif tentang isi portfolio guru sehingga mempunyai discriminating power untuk memisahkan antara guru yang baik, sedang, dan kurang. 5. Pengembangan dari temuan penelitian ini disarankan untuk digunakan dalam mengembangkan paketpaket atau modul dalam rangka TCPD. 41 DAFTAR PUSTAKA Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang, 25-26 Juli 2001. Atwi Suparman dan Amin Zuhairi (2003) Khasanah inovasi, difusi inovasi, dan implikasi inovasi terhadap kualitas pembelajaran. Makalah Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran Diselenggarakan oleh IPTPI di Hotel Inna Garuda Yogyakarta 22 – 23 Agustus 2003 Baedlowi (2009: 7-15) Tantangan pendidikan masa depan dan kiat menjadi guru profesional. Makalah Seminar Nasional dan Launching Klub Guru Indonesia Wilayah Yogyakarta di Yogyakarta 14 Juni 2009 Bubb, S., & Earley, P. (2004). Managing teacher workload. London: Paul Chapman Publishing. Byars, L., & Rue, L. W. (1991). Management (skills and application). Boston: Irwin McGraw Hill. Cascio, W.F. (1998). Applied psychology in human resource management (fifth edition). New Jersey: Prentice Hall. CDTL (2003) Ideas on Teaching. Singapore: National University of Singapore, Center for Development of Teaching and Learning. Dit PPTK dan KPT (2004). Modul Peningkatan Kualitas Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi. Dunia Desakkan Kualitas Guru. Serukan Perbaikan Kesejahteraan dan Kondisi Kerja Guru. (4 Oktober 2008). http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/04/ 01331841. Goodlad, John I. (1999).”Educating Teachers: Getting It Right the First Time” in Roth, R. (1999). The Role of the University in the Preparation of Teachers. Philadelphia: Falmer Press. Guru Kesulitan Memenuhi Kuota 24 Jam Mengajar. Kesulitan Peroleh Insentif Kesejahteraan Guru. (3 Oktober 2008). Kompas. http://cetak.kompas.com/r ead/xml/2008/ 10/03/02162058/ Hammond, L.D. and Bransford, J. (eds)(2005) Preparing Teachers for a Changing World. San Fransisco: Jossey Bas Hammond, L.D. (1999) “The Case for University-Based Teacher Education” in Roth, R. (1999). The Role of the University in the Preparation of Teachers. Philadelphia: Falmer Press Hari Suderajat (2004) Implementasi Competence Based Training. Bandung: CV Cekas Houle, C. (1980) Continuing Learning in the Professions, San Francisco: Jossey-Bass. Isaac, S. and Michael, W.B.(1981). Handbook in Research and Evaluation; For Education and Behavioral Sciences.Second Edition. San Diego, CA.: Edits Publisher. 42 Jones, J., Jenkin, M., & Lord, S. (2006). Developing effective teacher performance. London: Paul Chapman Publishing. Kay, K. (2008) “Preparing Every Child for the 21st Century”. APEC EdNet – Xi’an Symposium Xi’an China, January 17. Kepmenpan no 84 tahun 1993 tentang petunjuk teknis jabatan pungsonal guru. Jakarta: Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Jakarta: Depdiknas Komisi Ilmu-Ilmu Sosial, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Latham, G. P., & Wexley, K. N. (1981) Increasing productivity through performance appraisal. Michigan Styate University: Addison-Wesley Publishing Company. Leung, T.P. (2005) Education Quality Work: The Hongkong Experience. Hongkong: The Hongkong Institute of Education. Lutfiah Nurlaela (Juni 2008). Kinerja guru setelah sertifikasi. Makalah Seminar Internasional Revitalisasi Pendidikan Kejuruan dalam Pengembangan SDM Nasional. Diselenggarakan oleh FT UNP. Martin, R. E, Wood, G.H. & Stevens. E.W. (1988). An introduction to teaching. Boston: Allyn & Bacon Inc. Mukhadis (2004). Standar dan Sertifikasi Kompetensi. Representasi Penjaminan Mutu Profesionalisme Guru di Indonesia pada Abad Pengetahuan. Makalah Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia V di Surabaya tanggal 6 – 8 Oktober 2004 Pardjono, dkk. (2003) Pendidikan Kejuruan dengan kurikulum berbasis kompetensi berorientasi kecakapan hidup. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Pembelajaran dengan KBK Berorientasi Kecakapan Hidup. Tanggal 29 dan 30 April 2003 di FT UNY Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan. Jakarta: Depdiknas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Pidarta (1999) Pemikiran tentang supervisi pendidikan. Jakarta: PT. Bina Aksara Stolovic, H. D., & Keeps, E. J. (1992). Handbook of human performance technology A comprehensive guide for analysis and solving performance problems in organizations. San Fransdisco: Jossey-Bass Publisher. Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud. Sykes, Gary (1999).”No Standards or New Standards? The Future of Teacher Certification” in Roth, R. (1999). The Role of the University in the Preparation of Teachers. Philadelphia: Falmer Press Sukamto, et al.(1993). Mengapa Guru Sulit Diajak Melakukan Pembaharuan? Laporan penelitian DPPM tidak dipublikasikan.Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta _______, et al.(1998) Policy Study on Primary School Teacher Effectiveness. Laporan penelitian Dibiayai The World Bank tidak dipublikasikan.Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta 43 ________, (2001) Perubahan karakteristik dunia kerja dan revitalisasi pembelajaran dalam kurikulum pendidikan kejuruan. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Pendidikan Kejuruan pada Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta, tanggal 5 Mei 2001 ________, et al.(1999) Orientasi Dunia Kerja dalam Proses dan Status Akreditasi SMK. Laporan penelitian DPPM tidak dipublikasikan.Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta ________, et al.(1999) Studi Pengembangan Akreditasi Guru SMU. Laporan penelitian the Asian Development Bank lewat Dit SMU Depdiknas tidak dipublikasikan.Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta Szilagyi, A. D. & Wallace, J. M. Jr. (1983) Organizational behaviour and performance. USA: Scott, Foresman & Co. The World Bank (2008). Teacher Certification in Indonesia: A Strategy for Teacher Quality Improvement. Jakarta : The World Bank, Royal Netherlands Embassy, and Depdiknas. Tjondronegoro, Sediono M.P. (2005) Sistem Pendidikan di Indonesia: Tantangan dan Harapan. Yogyakarta: Trilling, B. dan Hood, P. 1999. Learning, Technology, and Education Reform in the Knowledge Age or “We’re Wired, Webbed, and Windowed, Now What”? Educational Technology May-June 1999. p. 5-18. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depdiknas. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depdiknas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas Unesco (2003). The Final Report of the Workshop on the Development of Guideline on Teacher Training in ICT Integration and Standards for Competency in ICT. Bangkok: Asia and Pacific Regional Bureau for Education. Wagiran (2008) Penilaian kinerja guru diberbagai negara. Laporan Peneitian. Yogyakarta: Lemlit Universitas Negeri Yogyakarta. Wittrock, M.C.(1999). Handbook of Research on Teaching. New York: MacMillan Publishing Company. 44 Lampiran 1 SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN PEMBAGIAN WAKTU KETUA DAN ANGGOTA TIM PENELITI No Nama dan NIP 1. Prof. Sukamto, MSc PhD. NIP 190 367 414 2. Dr. Suji Munadi MPd. NIP 190 681 036 3. Dr. Moh.Alip, MA NIP 130 530 821 4. Dr.Sri Wening, MPd. NIP 131 282 344 5 2 orang mahasiswa Pasca sarjana UNY Jabatan dalam Tim, Alokasi Waktu (jam/minggu) Rincian tugas dalam Penelitian Ketua Tim Peneliti, 24 jam/minggu Koordinator & penanggungjawab seluruh proses dan kegiatan operasional penelitian, kajian teori dan pustaka, review instrumen penelitian, penyusunan laporan penelitian dan pengembangan modul TCPD Anggota Tim; 18 jam / minggu Pengembangan desain dan operasionalisasi penelitian, penanggungjawab monev internal dan reviewer kajian pustaka dan kerangka teori Anggota Tim; 18 jam/minggu Pengembangan instrumen dan koordinasi uji lapangan, reviewer metodologi penelitian, khususnya teknik pengambilan sampel penelitian Anggota Tim; 20 jam/mingggu Koord. Lapangan untuk Ujicoba instrumen & pengumpulan data di lapangan, penghubung antara tim inti dengan tim teknis di masingmasing propinsi, penyiapan monev dan pelaporan hasil/temuan penelitian, pengembangan modul TCPD Anggota tidak tetap tim untuk hal-hal mendesak, seperti analisis data statistik, menyusun tabel-tabel analisis data, menyiapkan penggandaan instrument sebelum trerjun ke lapangan, administrasi perijinan, dll. 45 Lampiran 2 DAFTAR HADIR SEMINAR HASIL PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL DI LEMBAGA PENELITIAN UNY TANGGAL 23 NOPEMBER 2009 46 9. DAFTAR PUSTAKA CDTL (2003) Ideas on Teaching. Singapore: National University of Singapore, Center for Development of Teaching and Learning. Dit PPTK dan KPT (2004). Modul Peningkatan Kualitas Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi. Goodlad, John I. (1999).”Educating Teachers: Getting It Right the First Time” in Roth, R. (1999). The Role of the University in the Preparation of Teachers. Philadelphia: Falmer Press. Hammond, L.D. (1999) “The Case for University-Based Teacher Education” in Roth, R. (1999). The Role of the University in the Preparation of Teachers. Philadelphia: Falmer Press Isaac, S. and Michael, W.B.(1981). Handbook in Research and Evaluation; For Education and Behavioral Sciences. Second Edition. San Diego, CA: Edits Publisher. Leung, T.P. (2005) Education Quality Work: The Hongkong Experience. Hongkong: The Hongkong Institute of Education. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Sukamto, et al.(1993). Mengapa Guru Sulit Diajak Melakukan Pembaharuan? Laporan penelitian DPPM tidak dipublikasikan.Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta _______, et al.(1998) Policy Study on PrimarySchool Teacher Effectiveness. Laporan penelitian Dibiayai The World Bank tidak dipublikasikan.Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta ________, et al.(1999) Studi Pengembangan Akreditasi Guru SMU. Laporan penelitian the Asian Development Bank lewat Dit SMU Depdiknas tidak dipublikasikan.Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta ________, et al.(1999) Orientasi Dunia Kerja dalam Proses dan Status Akreditasi SMK. Laporan penelitian DPPM tidak dipublikasikan.Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta Sykes, Gary (1999).”No Standards or New Standards? The Future of Teacher Certification” in Roth, R. (1999). The Role of the University in the Preparation of Teachers. Philadelphia: Falmer Press The World Bank (2008). Teacher Certification in Indonesia: A Strategy for Teacher Quality Improvement. Jakarta : The World Bank, Royal Netherlands Embassy, and Depdiknas. 47 Tjondronegoro, Sediono M.P. (2005) Sistem Pendidikan di Indonesia: Tantangan dan Harapan. Yogyakarta: Komisi Ilmu-Ilmu Sosial, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depdiknas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas Wittrock, M.C.(1999). Handbook of Research on Teaching. New York: MacMillan Publishing Company. 48 Lampiran 1 SURAT REKOMENDASI Yang bertandatangan di bawah ini, Nama lengkap NIP Jabatan : Prof. Soenarto Saputro, PhD. : 130 515 026 : Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta dengan ini memberikan rekomendasi kepada : 1. Prof. Sukamto, MSc.PhD. 2. Dr. Sudji Munadi 3. Dr. Moh. Alip, MA 4. Dr. Sri Wening, MPd. NIP 130 367 414 NIP 130 681 036 NIP 130 530 821 NIP 131 282 344 untuk melaksanakan penelitian dengan judul :” PENGEMBANGAN PROFESI GURU SECARA BERKESINAMBUNGAN SEBAGAI STRATEGI NASIONAL PENDUKUNG SERTIFIKASI” Demikian surat rekomendasi ini dibuat utk dipergunakan sebagaimana mestinya. Yogyakarta, 5 Februari 2009 Pemberi rekomendasi, Prof. Soenarto Saputro, PhD. NIP 130 515 026 49 Lampiran 2 SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN PEMBAGIAN WAKTU KETUA DAN ANGGOTA TIM PENELITI No Nama dan NIP 1. Prof. Sukamto, MSc PhD. NIP 190 367 414 2. Dr. Suji Munadi MPd. NIP 190 681 036 3. Dr. Moh.Alip, MA NIP 130 530 821 4. Dr.Sri Wening, MPd. NIP 131 282 344 5 2 orang mahasiswa Pasca sarjana UNY Jabatan dalam Tim, Alokasi Waktu (jam/minggu) Rincian tugas dalam Penelitian Ketua Tim Peneliti, 24 jam/minggu Koordinator & penanggungjawab seluruh proses dan kegiatan operasional penelitian, kajian teori dan pustaka, review instrumen penelitian, penyusunan laporan penelitian dan pengembangan modul TCPD Anggota Tim; 18 jam / minggu Pengembangan desain dan operasionalisasi penelitian, penanggungjawab monev internal dan reviewer kajian pustaka dan kerangka teori Anggota Tim; 18 jam/minggu Pengembangan instrumen dan koordinasi uji lapangan, reviewer metodologi penelitian, khususnya teknik pengambilan sampel penelitian Anggota Tim; 20 jam/mingggu Koord. Lapangan untuk Ujicoba instrumen & pengumpulan data di lapangan, penghubung antara tim inti dengan tim teknis di masingmasing propinsi, penyiapan monev dan pelaporan hasil/temuan penelitian, pengembangan modul TCPD Anggota tidak tetap tim untuk hal-hal mendesak, seperti analisis data statistik, menyusun tabel-tabel analisis data, menyiapkan penggandaan instrument sebelum trerjun ke lapangan, administrasi perijinan, dll. 50 Lampiran 4 PERNYATAAN KESEDIAAN MELAKSANAKAN PENELITIAN DARI KETUA DAN ANGGOTA TIM PENELITI Dengan ini, saya menyatakan BERSEDIA untuk ikut serta dalam Tim Peneliti dengan tugas dan waktu sesuai seperti diuraikan dalam Lampiran 2. Apabila saya tidak memenuhi kesediaan ini, saya bersedia diberhentikan dari keanggotaan Tim Peneliti. No 1. 2. 3 4 Identitas Diri Nama : Prof.Sukamto, MSc.PhD. Tempat & Tgl lahir: Sleman, 23 Februari 1947 Program Studi : Pend. Teknik Mesin Alamat : Perum UNY Jln.Deresan III/12 Yogyakarta Status Akademik : ( X ) Aktif ( ) Non-aktif Nama Jabatan Struktural: tidak ada Nama : Dr. Suji Munadi. Tempat & Tgl lahir: Muara Enim, 10 Maret 1953 Program Studi : Pend. Teknik Mesin Alamat : Pugeran RT 8 RW 10 No.29 Maguwoharjo Depok, Sleman Yogyakarta Status Akademik : ( X ) Aktif ( ) Non-aktif Nama Jabatan Struktural: Pembantu Dekan I FT-UNY Nama : Dr. Moh.Alip, MA. Tempat & Tgl lahir: Kulonprogo, 14 Maret 1952 Program Studi : Pend. Teknik Mesin Alamat : Perum UNY, Jln.Gejayan CC X No.126 Status Akademik : ( X ) Aktif ( ) Non-aktif Nama Jabatan Struktural: tidak ada Nama : Dr.Sri Wening, MPd Tempat & Tgl lahir: Cimahi, 8 Juni 1957 Program Studi : Pend. Teknik Boga dan Busana Alamat : Jln.Lingkar Selatan 72A Gamping Kidul, Ambarketawang, Sleman, Yogyakarta Status Akademik : ( X ) Aktif ( ) Non-aktif Nama Jabatan Struktural: Ketua Jurusan PTBB FT-UNY 51 Tandatangan, Nama dan NIP Prof. Sukamto, MSc. PhD. NIP 190 367 414 Dr. Suji Munadi, MPd. NIP 190 681 036 Dr.Moh.Alip MA NIP 130 530 821 Dr. Sri Wening, MPd. NIP 131 282 344 52