KERATON AMANTUBILLAH: SEJARAH DAN ARSITEKTURNYA THE PALACE OF AMANTUBILLAH: HISTORY AND ARCHITECTURE Poltak Johansen Balai Pelestarian Nilai Budaya Pontianak Jalan Letjen Sutoyo Pontianak Telepon (0561) 737906 Faksimile. (0561) 760707 Pos-el: [email protected] Diterima: 6 Februari 2014; Direvisi: 21 Maret 2014; Disetujui: 19 Mei 2014 ABSTRACT This study aims to describe the history and architecture of Amantubillah Palace. This study uses a descriptive qualitative method and the technique of collecting data is observation, interview and literature study. The result of this study shows that the Amantubillah Palace has a long history and unique. It was originally from Dayak kingdom, the kingdom of Bengkule Rajakng which was built by Patih Gumantar in the mountain of Sidiniang, then became an Islamic kingdom when was led by Opu Daeng Manambon from the Kingdom of Luwu- South Sulawesi, and then moved on to Mempawah. The Amantubillah Palace which is a Malay Islamic Kingdom has LWVRZQDUFKLWHFWXUDOFKDUDFWHULVWLFV7KHXQL¿FDWLRQRI0DOD\$UDEDQG%XJLQHVHFXOWXUHVLQÀXHQFHWRWKH VKDSHRIWKHEXLOGLQJRI$PDQWXELOODK3DODFH7KLVXQL¿FDWLRQFDQEHVHHQIURPVKDSHDQGGHFRUDWLRQRIWKH palace buildings. Therefore, this palace has a unique and special architecture that must be remained its wealth as an evidence of the nation cultural diversity. Keywords: Amantubillah Palace, West Kalimantan, history of palace. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan sejarah dan arsitektur Keraton Amantubillah. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitaif dan teknik pengumpulan data melalui pengamatan, wawancara dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa Keraton Amantubillah memiliki sejarah panjang dan unik. Keraton ini berawal dari sebuah kerajaan Dayak, Kerajaan Bengkule Rajakng, yang dibangun oleh Patih Gumantar di Pegunungan Sidiniang, kemudian menjadi kerajaan Islam ketika dipimpin oleh Opu Daeng Manambon yang berasal dari Kerajaan Luwu-Sulawesi Selatan, lalu berpindah ke wilayah Mempawah. Keraton Amantubillah yang merupakan Kerajaan Melayu Islam memiliki ciri arsitektur tersendiri. Perpaduan antarbudaya Melayu, Arab dan Bugis sangat berpengaruh terhadap bentuk bangunan Keraton Amantubillah. Perpaduan ini dapat dilihat dari bentuk dan ragam hias bangunan keraton. Dengan demikian, keraton ini memiliki arsitektur yang unik dan khas yang harus digali kekayaannya sebagai bukti keberagaman budaya bangsa. Kata kunci: Keraton Amantubillah, Kalimantan Barat, sejarah keraton. PENDAHULUAN Arsitektur dari suatu bangsa, suku bangsa, masyarakat, daerah pada suatu masa seringkali berbeda-beda, baik dalam hal bentuk maupun konsep-konsep yang melandasinya (https://www. studiomelayu-arsitekturmelayukalbar.blogspot. com). Hal ini tentu disebabkan adanya perbedaan kebudayaan dari suatu masyarakat atau bangsa itu sendiri. Setiap suku bangsa biasanya akan menunjukan identitas budayanya melalui bendabenda budaya yang mereka buat. Keberadaan unsur kebudayaan tersebut tersebar luas di berbagai daerah ataupun wilayah di Indonesia. Oleh karena itu usaha untuk pelestarian dan pengembangannya perlu tetap dilakukan sehingga unsur-unsur kebudayaan yang pernah tumbuh dan berkembang tidak hilang begitu saja, apalagi unsur kebudayaan tersebut merupakan sumber yang potensial dalam mewujudkan kebudayaan nasional. Beraneka ragam budaya yang ada dan semua memberikan corak yang monopluralistik, tetapi sesungguhnya tetap satu, 93 WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 93—104 seperti yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Salah satu unsur kebudayaan yang kini masih bertahan dan dijadikan sebagai tuntunan dan pedoman dalam kehidupan sehari-hari oleh suku-suku bangsa di Indonesia adalah arsitektur tradisional. Dalam bentuk karya arsitektur, manusia berusaha menciptakan berbagai bentuk dan menuangkannya dalam simbol-simbol serta konsep-konsep bangunan yang beragam. Kesemuanya itu untuk memenuhi kebutuhan identitas suatu masyarakat. Ramsyah (2009:1) mengatakan bahwa mengenai identitas dari hasil karya arsitektur, sebenarnya masih merupakan polemik yang tidak kunjung habisnya. Mungkin dalam pencarian identitas tersebut memang tidak pernah dicapai kata akhir dikarenakan sifat dari arsitektur (kebudayaan) itu sendiri yang selalu berubah dan berkembang. Di Indonesia, jati diri arsitektur masih dalam tahap penelitian dan merupakan hal yang sering dipermasalahkan. Demikian pula jati diri arsitektur di daerah-daerah, masih perlu dipertanyakan. Tidaklah mudah mengemukakan suatu jawaban mengenai bentuk arsitektur yang berciri khas. Tidak jarang perkembangan arsitektur di suatu daerah dimulai dari bentuk bangunan keraton ataupun istana. Merancang suatu bangunan yang dikehendaki dapat mewakili bentuk atau ciri daerah, misalnya pada gedung pemerintah, haruslah memandang budaya (adat) dan arsitektur setempat. Ini dapat dicapai dengan menggali sebanyak mungkin unsur-unsur yang membentuk ciri daerah tersebut. Sekarang ini, pengertian tentang arsitektur berbeda-beda, ada yang mengatakan arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan dan ada pula yang mengatakan arsitektur adalah bidang multi-disiplin (http://www.id.wiki pedia. org/wiki/ arsitektur). Namun, apabila dilihat perkembangannya, arsitektur ini telah ada sejak dahulu dan bahkan sekarang berkembang sesuai dengan keinginan dari masyarakat pendukungnya. Hal ini yang menjadi latar belakang tulisan ini untuk memahami bentuk arsitektur tradisional khususnya yang terdapat di Keraton Amantubillah. Arsitektur muncul dari kebutuhan masyarakat dan sering menggambarkan kondisi alam dan kehidupan sosial masyarakat pendukungnya. 94 Melalui bentuk, model dan ornamen yang melekat pada arsitektur tradisional erat hubungannya dengan makna-makna simbolis (Cassier yang dikutip Ahmad, 2002:22; Purba, 2010:10). Sistem kepercayaan masyarakat setempat, sehingga dapat dikatakan bahwa arsitektur tradisional tersebut memberi citra dan sekaligus sebagai identitas kesukuan (ethnic identity) bagi masyarakat pendukung kebudayaan . Demikian halnya dengan Keraton Amantubillah yang terdapat di Mempawah juga memiliki identitas dan makna dalam simbolsimbol yang diberikannya. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang dari kerajaan tersebut. Walaupun tradisi arsitektur yang terdapat di keraton sekarang ini sudah mengalami perubahan, baik bahan dan penataan ruangan dan bentuknya, sehingga dengan adanya perubahan tersebut maka secara otomatis nilai dan keunikan yang melekat pada bangunan berubah. Dari uraian di atas yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana sejarah dari Keraton Amantubillah dan bagaimana bentuk serta makna ragam hias yang terdapat pada bangunan Keraton Amantubillah. Sedang tujuan dari penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk ragam hias dan makna yang terkandung pada bagunan KeratonAmantubillah serta memahami sejarah Keraton tersebut. METODE Pendekatan yang dilakukan mengunakan adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif dengan permasalahan yang berkaitan dengan kebudayaan. Pendekatan deskriptif ini berusaha untuk mendeskripsikan tentang arsitektur Keraton Amantubillah yang menjadi objek penelitian, tujuannya tidak untuk menguji hipotesa tetapi menghasilkan suatu pemahaman tentang arsitektur tradisional yang pernah ada dan tetap berkembang dalam masyarakat Melayu di Kabupaten Pontianak.Teknik pengumpulan data yang dilakukan pengamatan (observasi), wawancara, dan studi kepustakaan. Analisis merupakan tahap akhir yang dilakukan setelah data berhasil dikumpulkan mulai dari penentuan lokasi, pengamatan dan wawancara serta dari sumber bacaan. Hasil Keraton Amantubillah: Sejarah... Poltak Johansen tersebut diolah dan disusun sehingga menjadi laporan dan merupakan rangkaian suatu tulisan ilmiah. PEMBAHASAN Sejarah Keraton Amantubillah Mempawah adalah ibu kota Kabupaten Pontianak dan yang masuk dalam wilayah Provinsi di Kalimantan Barat. Mempawah merupakan salah satu pusat kerajaan yang terdapat di daerah ini. Kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan tersebar di beberapa daerah pedalaman Kalimantan Barat antara lain: Tanjungpura, Sukadana, Simpang, Matan, Mempawah, Sambas, Landak, Tayan, Meliau, Sanggau, Sekadau, Sintang, Kubu, dan Pontianak. Masing-masing dari kerajaan tersebut memiliki peninggalan sebagai bukti sejarah dari keberadaan kerajaan tersebut. Bentuk peninggalan dari kerajaan-kerajaan tersebut seperti; keraton, masjid, bangunan musyawarah, rumah tinggal dan sebagainya masih utuh sampai saat ini. Kata Mempawah berasal dari kata “Nam Pawah” yaitu bahasa Cina yang artinya “Arah Selatan” dengan latar belakang sejarah orangorang Cina yang pernah datang ke pesisir pantai ke Kalimantan Barat, dimulai pada pertengahan abad ke-16 (Saron, 2001:35). Hal ini kemungkinan besar dapat diterima karena jika kita lihat pada saat ini bangunan Keraton Mempawah menghadap ke arah Selatan. Pendapat lain mengatakan bahwa nama Mempawah diambil dari istilah “mempauh”, yaitu nama pohon yang tumbuh di hulu sungai, kemudian juga dikenal dengan nama Sungai Mempawah (Lontaan, 1975:125). Pada perkembangannya, Mempawah menjadi lekat sebagai nama salah satu kerajaan/ kesultanan yang berkembang di Kalimantan Barat. Riwayat pemerintahan adat Mempawah sendiri terbagi atas dua periode, yakni pemerintahan kerajaan Suku Dayak yang berdasarkan ajaran Hindu dan masa pengaruh Islam (kesultanan). Kerajaan Mempawah berawal dari sebuah pemerintahan Kerajaan Dayak, yang disebut Kerajaan Bengkule, yang dibangun oleh Patih Gumantar di pegunungan Sidiniang, dan menjadi kerajaan Islam ketika dipimpin oleh Opu Daeng Manambon (Andrew WP, dkk, 2008:137) Istana Amantubillah merupakan nama istana dari Kerajaan Mempawah. Nama Amantubillahh berasal dari bahasa Arab, yang berarti “Aku beriman kepada Allah”. Istana yang didominasi oleh warna hijau ini terletak di Jalan Adiwijaya RT.04 RW.12 Kelurahan Pulau Pedalaman, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Istana Amantubillah dibangun pada masa pemerintahan Gusti Jamiril pada tahun 1761. Setelah Gusti Jamiril dinobatkan menjadi raja di Kerajaan Mempawah untuk menggantikan ayahandanya yang bernama Upu Alinu Malinu Daeng Menambon yang kelak ketika menjadi raja bergelar Pangeran Mas Surya Negara. Saat Gusti Jamiril diangkat menjadi raja, beliau menyandang gelar sebagai Panembahan Adiwijaya Kesuma Jaya yang berkuasa atas seluruh rakyat yang berada di daerah Kerajaan Mempawah. Belum berapa lama usai Gusti Jamiril dinobatkan menjadi raja Mempawah, atas nasihat Mufti Kerajaan, Tuan Besar Habib Husain Alkadri, beliau memindahkan istana atau pusat pemerintahannya dari Sebukit Rama ke dekat Kampung Galahirang, di mana Sang Mufti bertempat tinggal. Di tempat itulah istana pertama dari Panembahan Adiwijaya Kesuma Jaya berdiri tegak. Sebagai bukti masih banyak terdapat kayu bekas tiang atau tonggak reruntuhan dari kerajaan tersebut. Selain itu terdapat juga benteng kerajaan pada saat itu sebagai pelindung istana dari serangan musuh (Nurcahyani, 1993/1994:38). Pada masa pemerintahan Panembahan Adijaya inilah Kerajaan Mempawah lebih dikenal. Oleh karena kerajaan ini juga merupakan sebuah bandar dagang yang ramai mendapat kunjungan pendatang, baik dari dalam maupun dari luar daerah, dan meninggalkan kesan sebuah kerajaan yang kuat. Hingga kini nama pelabuhan yang digunakan sebagai tempat memungut cukai masih digunakan sebagai nama kampung. Lubuk Batang adalah sebuah pelabuahn kecil yang terletak di Kampung Dalam tepi Sungai Mempawah pada jaman Panembahan Adijaya merupakan sebuah tempat menerima cukai dari rakyat yang datang dari hulu sungai dengan perahu. Demikian juga Kampung Lubuk Sauh dahulu kampung ini bertfungsi sebagai pelabuhan hubungan ke luar dari Mempawah melalui Kuala akan berlabuh dan menurunkan barang-barangnya di Lubuk Sauh. 95 WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 93—104 Nama kedua pelabuhan peninggalan sejarah ini tetap dipertahankan dan hingga kini menjadi nama kampung di wilayah Mempawah. Sejak kedatangan Belanda ke Mempawah ketika di bawah pemerintahan Gusti Jamiril (Pangeran Adiwijaya) dan berdasarkan Surat Besluit Gubernur Jenderal (Stbld, 1938:352), Mempawah menjadi onderafdeeling dari afdeeling Pontianak di bawah keresidenan Residentie Westerafdeeling van Borneo. Namun pada masa pendudukan Jepang Mempawah dipimpin oleh seorang Bun Kei Kasn Ri atau setingkat countroleur. Sampai berakhirnya kekuasaan Jepang di Kalimantan Barat, pemerintah Mempawah sebagai zelbestur yang dijalankan oleh bestuur commisie (dewan kerajaan) yang dipimpin Pangeran Wiranata Kusuma. Sistem pemerintahan ini berlangsung hingga tahun 1946 dan selanjutnya menjadi salah satu daerah swapraja yang tergabung dalam wilayah federasi Daerah Istimewa Kalimantan Barat (Rahmayani 2009:27). Berhubung Kerajaan Mempawah tidak mau takluk di bawah kekuasaan Belanda, maka dengan dalih untuk memulihkan ketentraman, Belanda menyerang Kota Mempawah pada tahun 1787 yang dipimpin Mayor Amral dan Katen Silviser atas nama Gubernur Jenderal di Batavia. Pada tahun 1880, Istana Amantubillah mengalami kebakaran ketika tampuk kekuasaan istana dipegang oleh Gusti Ibrahim, yang bergelar Panembahan Ibrahim 0RKDPPDG6\D¿XGGLQ6HWHODKLWX Istana Amantubillah mengalami beberapa kali rehabilitasi hingga Istana Amantubillah dapat berdiri kembali pada hari Kamis, 22 November SDGDPDVD3DQHPEDKDQ0RKDPPDG7DX¿N Akkamaddin. Arsitek bangunan Keraton/Istana Amantubillah tidak terlepas dari pengaruh tiga budaya yaitu Melayu, Arab dan Bugis. Sehingga membuat arsitektur Melayu yang ada di Kalimantan Barat memiliki beragam keunikan dan kekhasan yang masih harus terus digali kekayaannya sebagai bukti keberagaman budaya bangsa. Keberagaman dan perbedaan tersebut justru membawa keunikan dan membawa ciri khas masing-masing daerah. Pada tahun 1880 atau masa pemerintahan Panembahan Ibrahim Mohammad Syafiuddin, istana ini pernah terbakar. Keraton yang ada VHNDUDQJGLEDQJXQROHK*XVWL7DX¿NGHQJDQJHODU Panembahan Mohammad Taufik Akkamaddin 96 WDKXQ *XVWL 7DX¿N MXJD PHUXSDNDQ UDMD terakhir yang memerintah kerajaan itu. Sejak Republik Indonesia berdiri tahun 1945, Gusti H Jimmy Mohammad Ibrahim sebagai putra mahkota tidak berkuasa lagi karena kewenangan telah diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Kesultanan Mempawah mulai dikenal pasca kedatangan rombongan Opu Daeng Manambon sekitar tahun 1737 M dari Kerajaan Matan, Tanjungpura, ke Sebukit Rama. Eksistensinya kian diperhitungkan di kancah internasional setelah Opu Daeng Manambon dengan gelar Pangeran Mas Surya Negara naik tahta menggantikan Sultan Senggauk pada tahun 1740 M. Apalagi pada masa pemerintahannya, Habib Husein Alkadri, mantan hakim agama di Kerajaan Matan, pindah ke Kesultanan Mempawah. Itulah sebabnya, orang pun kemudian berbondong-bondong datang ke Mempawah tidak hanya untuk melakukan kontak dagang atau kontrak politik, tapi juga untuk mempelajari dan mendalami agama Islam. Menurut sejarah Istana Amantubillah sesungguhnya baru didirikan sekitar tahun 1761 M oleh Panembahan Adi Wijaya Kesuma yang berkuasa pada 1761 -1787, sultan ke-3 Kesultanan Mempawah. Namun apa hendak dikata, pada tahun 1880 M Istana Amantubillahh terbakar. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan 3DQHPEDKDQ ,EUDKLP 0XKDPPDG 6\D¿XGGLQ sultan ke-9 (1864-1891). Istana yang terlihat sekarang ini baru dibangun pada tahun 1922, NHWLND *XVWL7DX¿N \DQJ EHUJHODU 3DQHPEDKDQ 0RKDPPDG 7DX¿N$NNDPDGGLQ VXOWDQ NH QDLNWDKWD*XVWL0RKDPPDG7DX¿N$NKDPDGGLQ memerintah di Kesultanan Mempawah pada tahun1902–1943 (Patricia, 2011:1). Arsitektur Keraton Amantubillah a. Struktur dan Bentuk Bangunan Bentuk-bentuk bangunan di Kalimantan Barat pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: kepala, badan dan kaki. Atap dapat dianalogikan sebagai kepala, dinding atau badan bangunan sebagai badan, dan pondasi konstruksi panggung merupakan kaki. Perkembangan arsitektur di Kalimantan Barat sangat lambat. Bentuk-bentuk arsitektur di sana umumnya banyak dipengaruhi bentuk-bentuk dari luar dan Keraton Amantubillah: Sejarah... Poltak Johansen merupakan campuran dari berbagai arsitektur bangunan Melayu, dan Arab. Karakteristik hidup berdampingan secara akrab dan karakteristik lingkungan alam di sekitarnya terungkap pada pola perkampungan yang mengelompok padat memanjang sejajar atau tegak lurus arus sungai dan ada pula yang menyebar sepanjang jalan serta penggunaan bahan bangunan yang hampir keseluruhannya terbuat dari bahan kayu (Ramsyah, 2009:2). Bangunan keraton sebagai peninggalan kerajaan-kerajaan Melayu di Kalimantan Barat, umumnya berpola memusat, dengan istana raja sebagai pusatnya. Bangunan-bangunan keraton ini umumnya berukuran relatif besar, dengan bangunan-bangunan pendukung berada di sekelilingnya. Pada sekeliling keraton jarang ditemui pagar yang mengelilingi seluruh kompleks bangunan. Pagar misalnya hanya ditemui pada bagian depan halaman keraton berupa pagar kayu atau pagar tanaman. Di depan keraton terdapat tanah lapang yang digunakan untuk berbagai kegiatan. Keraton di Kalimantan Barat umumnya terletak di tepi sungai besar. Hal ini berkenaan dengan fungsi sungai sebagai sarana transportasi zaman dahulu. Pada perkampungan atau kota di pinggir sungai ini biasanya memiliki dermaga sebagai tempat berlabuhnya perahu-perahu penduduk. Bentuk bangunan umumnya simetris, dengan entrance bangunan yang cukup menonjol (Alqadrie, 2013:12-13). Pada beberapa keraton dilengkapi bangunan menara yang berfungsi sebagai tempat pengawasan. Beberapa dari keraton tersebut dilengkapi dengan serambi atas sebagai ruang atau tempat duduk. Fasilitas-fasilitas sosial seperti bidang-ekonomi, pendidikan, kesehatan, olahraga, kesenian, hiburan maupun keagamaan terletak atau berlokasi tidak mengikuti suatu aturan khusus seperti di utara atau di selatan atau di pinggir sungai. Keraton Amantubillah yang berarti aku beriman kepada Allah, lebih dikenal dengan Keraton Mempawah merupakan salah satu bangunan bersejarah dan memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Ini mencerminkan bahwa sultan dan masyarakat Kesultanan Mempawah sangat percaya kepada Allah dan sekaligus melambangkan betapa kuatnya ajaran agama Islam terpatri pada setiap diri orang Melayu. Bangunan keraton yang didominasi oleh warna hijau ini menempatkan tulisan “Mempawah Harus Maju, Malu dengan Adat” pada pintu gerbang istana. Kompleks Istana Amantubillah berdiri kokoh di Desa Pulau Pedalaman, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Kompleks bangunan Keraton Amantubillah terdiri dari tiga bagian, yaitu bangunan utama, bangunan sayap kanan, dan sayap kiri. Pada masa kerajaan, bangunan utama berfungsi sebagai singgasana raja bersama permaisuri dan tempat tinggal raja. Sedang untuk bangunan sayap kanan adalah tempat untuk mempersiapkan segala keperluan keluarga kerajaan serta untuk tempat jamuan makan keluarga istana. Bangunan sayap kiri merupakan aula atau ruang pertemuan dan tempat untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan. Bangunan sayap kanan berfungsi sebagai pendopo istana, sedangkan bangunan sayap kiri sebagai tempat tinggal para kerabat sultan atau raja. Foto 1: Bangunan Istana Amantubillah Sumber: Dokumentasi Pribadi Jika dilihat dari fungsi dan pemanfaatannya pada saat ini maka fungsi dari bangunan istana sudah mulai mengalami perubahan, bangunan utama kini berfungsi sebagai “museum” Kesultanan Mempawah. Di bangunan utama inilah tersimpan berbagai perlengkapan peninggalan Kesultanan Mempawah, seperti singgasana raja, foto-foto raja beserta keluarganya, keris, busana kebesaran, dan payung kerajaan, dan juga di kamar utama masih terdapat tempat tidur raja, dan benda-benda lain sebagai peninggalan dari Kerajaan/Kesultanan Mempawah. 97 WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 93—104 Foto 2: Bangunan sayap kanan keraton (pendopo) Sumber: Dokumentasi Pribadi Selain bangunan keraton, di lokasi kompleks istana terdapat kolam bekas permandian raja beserta keluarganya yang berada di belakang bangunan istana yang dikenal dengan nama kolam angsa. Kolam pemandian tersebut pada saat ini sudah tidak berfungsi lagi, karena pendangkalan dan tertutupnya saluran air yang menghubungkan kolam tersebut dengan anak Sungai Mempawah. Selain itu, terdapat juga sebuah bangunan berupa sejenis pendopo bekas tempat peristirahatan dan tempat bersantai (gazebo) raja beserta keluarganya, yang keberadaannya tak jauh dari kolam permandian tersebut. Letak dan batas dari Keraton Amantubillah adalah sebagai berikut: sebelah utara dibatasi benteng Kota Baru, di sebelah selatan dibatasi dengan Sungai Mempawah; di sebelah timur dibatasi dengan jalan Pulau Pedalaman dan di sebelah barat dibatasi dengan Sungai Asal Mempawah. Di bawah ini dapat dilihat denah dari Keraton Amantubillahh dalam pembagian ruang. Foto 3: Kolam Angsa dahulu sebagai tempat permadian permaisuri (Sumber: Kekunaan.blogspot.com/2012/11/istanaAmantubillah.html. Diunduh: tanggal 7 Nopomber 2013) 98 Ket.1. Bangunan Keraton2. Pendopo lam4. Pendopo5. Halaman Keraton6. Gazebo atau Pendopo Denah Bangunan Keraton Amantubillah (Sumber: Andi Kraeng, 2012) b. Bentuk Bangunan Jika diperhatikan secara umum bentuk bangunan di Kalimantan Barat dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: kepala, badan dan kaki. Atap bangunan dapat dianalogikan sebagai kepala, sedang bangunan itu sendiri sebagai badan dan konstruksi atau pondasi tonggak-tonggak dari bangunan sebagai kaki (Ramsyah, 2009:2). Hal ini kemungkinan mengingat bentuk bangunan yang ada di Kalimantan Barat pada umumnya adalah konstruksi panggung. Sehingga tonggak-tonggak sebagai penyanggah bangunan dianggap sebagai kaki. Penggunaan pondasi tiang pancang ke dalam tanah membentuk sistem rumah panggung. Pada sistem rumah panggung biasanya ada beberapa macam tipe antara lain; tipe panggung tinggi, dan tipe panggung rendah. Demikian juga dengan bentuk bangunan keraton-keraton yang ada di Kalimantan Barat, pada umumnya masih berbentuk rumah panggung. Hal ini mengingat kondisi tanah yang pada umumnya berawah. Tipe panggung pada Keraton Mempawah dapat dikatakan sebagai tipe panggung rendah. Selain itu bentuk arsitektur bangunan keraton sedikit banyak telah mengalami perpaduan antara ciri Melayu, Arab dan Bugis. Ini dapat dilihat dari corak dan ragam hias yang terdapat pada bangunan tersebut. Hal tersebut tidak terlepas dari pendiri kerajaan itu, yakni Opu Daeng Manambon yang berasal dari Luwu, Sulawesi Selatan. Sedang untuk arah bangunan, umumnya tidaklah begitu dipersoalkan, tetapi sebagai prioritas utama dari suatu banguan adalah letaknya yang selalu dekat dengan sungai. Bangunan Keraton Amantubillah pada saat ini menghadap ke arah Keraton Amantubillah: Sejarah... Poltak Johansen selatan. Walaupun tidak ada ketentuan bagi masyarakat Melayu tentang arah suatu bangunan namun diusahakan arah tersebut memungkinkan adanya pencahayaan untuk masuk ke dalam ruangan. Foto 4: Bangunan Keraton Tampak Samping Sumber: Dokumentasi Pribadi Secara sepintas bahwa bangunan Istana Amantubillah atau yang dikenal sebagai Keraton Mempawah tidaklah jauh berbeda dengan ciriciri istana lainnya di Kalimantan Barat, yakni bercirikan khas arsitek Melayu, bangunan keraton didirikan berada di dekat sungai sebagai sarana transportasi dan selalu berdampingan dengan masjid sebagai pusat keagamaan, karena bercirikan Islam. Selain kedua bangunan itu bahwa dekat bangunan keraton selalu ada makam para raja dan para kerabat kerajaan. Sekilas bentuk bangunan dari Keraton Amantubillah tidaklah banyak istimewa, bahkan jika orang yang tidak mengetahuinya sekilas seperti rumah biasa, sebab keraton ini dahulunya hanyalah tempat tinggal sultan. Ini dapat dilihat dari bentuk, pembagian ruang dalam keraton. Pagar dan gerbang serta motif dan tulisan yang terdapat di pagar bangunan keraton yang dapat menunjukan bahwa bangunan tersebut sebuah keraton bekas istana raja. Sementara itu kondisi ¿VLN .HUDWRQ$PDQWXELOODK SDGD VDDW LQL WHODK banyak mengalami kerusakan mengingat usianya yang sudah tua. Ini tidak terlepas dari bahan bangunan yang digunakan yakni terbuat dari kayu. telah tertata rapi, dipagar dan memiliki gerbang. Sehingga menambah keindahan keraton dan tidak sembarangan orang dapat masuk ke dalam lingkungan keraton. Bentuk gerbang dari Keraton Amantubillah telah terbuat dari besi dan apabila pintu pagar tertutup tampak jelas simbol/lambang dari keraton. Demikian juga di samping kiri kanan gerbang tampak dengan jelas nama dan lambang dari keraton. Selain bentuk gerbang yang telah dibuat secara kokoh, untuk memperindah gerbang keraton di atas pintu gerbang tampak jelas lukisan/ ukiran bentuk mahkota raja. Bentuk dari ukiran atau gambar dari mahkota raja yang diletakkan di atas pintu gerbang sebagai simbol bahwa lokasi yang kita masuki adalah sebuah keraton atau istana raja. Selain itu, simbol mahkota juga melambangkan tentang kewibawaan dari orang yang tinggal di dalamnya. Foto 5: Pintu Gerbang masuk Keraton Amantubillah Sumber: Dokumentasi Pribadi Masih di sekitar gerbang keraton tepat di atas tiang kiri dan kanan dari pintu gerbang kita temui patung ayam jantan dalam posisi sedang bertarung. Hal ini melambangkan bahwa sultan adalah orang yang pemberani dan petarung yang ulung ketika menghadapi musuh, terlebih menjaga wilayah kekuasaannya. Selain itu patung ini juga melambangkan sebagai hobi dari sultan pada waktu itu. c. Susunan/Komposisi Ruangan Sebagaimana bangunan keraton, tentu memiliki pembagian-pembagian ruangan sesuai fungsi dan kegunaannya. Jika dilihat secara sekilas dari luar, bangunan Keraton Amantubillah Foto 6: Ukiran Mahkota yang terdapat di atas pintu gerbang keraton Sumber: Dokumentasi Pribadi 99 WALASUJI VOLUME 5, NO. 1, JUNI 2014: 93—104 Foto 7 & Foto 8: Patung ayam jantan yang terdapat di atas kanan dan kiri tiang pintu gerbang Istana Amantubillah (Sumber: Dokumentasi Pribadi) Selain patung ayam, pada dinding pagar NHUDWRQWHUGDSDWXNLUDQKDQ\DNHWLNDGLNRQ¿UPDVL tidak diketahui arti dan makna dari ukiran tersebut. Pada tiap-tiap tiang pagar di atasnya dibuat patung atau ukiran bunga teratai yang sedang mulai mekar. Menurut informasi yang diperoleh bahwa bunga teratai adalah bunga para dewa dan bunga ini melambangkan kesucian. Foto 9 dan Foto 10: Dinding pagar istana yang di beri motif Bentuk Bunga Teratai terdapat di atas tiap tiang pagar keraton Ketika hendak memasuki gerbang keraton, terlihat jelas Keraton Amantubillah yang asri di mana di sisi kanan dan kiri jalan menuju istana ditanami pepohonan membuat suasana sejuk dari lingkuangan istana. Selain ditanami dengan pepohonan juga dihiasi dengan meriam besi peninggalan masa pemerintahan Belanda di Kalimantan Barat yang disusun secara rapi berjajar di sisi kiri dan kanan menuju istana. Jalan dari gerbang istana menuju bangunan istana telah dibeton dan dilapisi dengan ubin, ini memperindah suasana dari bangunan keraton itu sendiri. Perlu diketahui bangunan Keraton Amantubillah yang ada pada saat ini memiliki luas 34,5 x 18,34 yang terdiri dari bangunan utama dan bangunan pendukung sebelah kiri dan kanan dari bangunan utama (Rahmayani, 2009: 36). Bangunan ini tidak dapat dipisahkan dengan bangunan utama mengingat fungsi dari kedua EDQJXQDQ LQL VHEDJDL SHQXQMDQJ GDUL DNWL¿WDV 100 maupun kegiatan dari keluarga kerajaan. Bentuk bangunan utama dari Keraton Amantubillah berbentuk rumah panggung seperti kebanyakan keraton-keraton di Kalimantan Barat, dibangun di atas tanah dengan menggunakan tiang penopang kayu yang ketinggiannya dari atas tanah sekitar setengah meter. Ini mengingat kondisi tanah dan letak banguanan yang dibangun di dekat sungai, sehingga bertujuan untuk menghindari air pasang. Sebelum memasuki bangunan keraton, terdapat anak tangga sebanyak tiga tingkatan yang terbuat dari kayu belian selebar 30 cm, tebal 4 cm. Perlu diketahui bagi masyarakat Melayu untuk jumlah anak tangga dalam arsitek tradisional selalu ganjil, 3, 5 dan seterusnya karena bagi kepercayaan Melayu angka ganjil dalam jumlah anak tangga menunjukan kehidupan. Jumlah anak tangga juga tergantung ketinggian jangkauan dari dasar tanah ke lantai bangunan atau tempat berpijak. Tangga dibuat dari kayu keras atau belian dengan lebar papan pada anak tangga selebar daun pintu dan apabila tangga tersebut sebagai tangga yang bisa langsung naik ke selasar, pelataran atau teras maka akan dibuat menyesuaikan dengan lebar teras atau sesuai dengan keperluan. Selasar atau teras bagian depan dengan lantai terbuat dari jenis kayu belian atau kayu ulin yang pemasangannya secara melintang. Selasar tidak hanya terdapat di depan, tetapi terdapat juga di sisi kiri dan kanan keraton yang terhubung dengan teras depan. Untuk menuju teras samping kiri dan kanan istana dapat juga dari dalam rumah melalui pintu sisi kiri dan sisi kanan istana. Tepat di depan pintu istana, di selasar atau teras terdapat sebuah meriam kecil berupa peninggalan zaman kolonial yang dirampas dan dijadikan simbol kesiapsiagaan istana dalam menghadapi musuh dan meriam ini tetap diletakan di tempat ini. Foto 11:Depan istana/Teras Istana Sumber: Dokumentasi Pribadi KERATON AMANTUBILLAH: SEJARAH... POLTAK JOHANSEN Pada bagian samping dan depan, kolong bangunan sengaja ditutup dengan papan yang disusun vertikal dan secara otomatis sekitar tangga juga menjadi tertutup, apabila kolong tertutup kelihatan rapi. Selain itu, kolong ditutup untuk mencegah agar binatang tidak dapat masuk ke dalam kolong rumah, hal ini menjaga jika binatang tersebut mati di kolong rumah sulit mengeluarkan bangkainya, yang menimbulkan bau hingga ke dalam rumah dan mengganggu kenyamanan penghuni rumah. Keraton Amantubillah memiliki pintu depan tiga buah untuk masuk ke ruang utama. Walaupun demikian sebagai pintu utama istana adalah pintu yang terdapat di tengah. Tidak diketahui pasti maksud mengapa harus ada tiga buah pintu depan, hanya bertujuan agar pencahayaan ke ruangan utama bisa lebih terang serta sirkulasi udara lebih terbuka hal ini disebabkan bentuk ruang utama yang berbentuk “L”, sehingga tidak berfokus pada satu pintu. Sedang untuk warna dinding dari bangunan keraton dominan berwarna hijau yakni sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran. Ruangan utama merupakan ruangan tempat singgasana raja yang dihiasi oleh pernak-pernik. Perlu diketahui bahwa Keraton Amantubillah tidak dijumpai kursi kerajaan (kursi raja) layaknya kerajaan-kerajaan lain. Pembagian ruang pada Keraton Amantubillah dapat dibagi sesuai dengan fungsi dari ruang tersebut. Jika diperhatikan pada sisi kari bangunan utama terdapat sebuah ruang yang dahulu digunakan sebagai kamar, namun pada saat ini telah digunakan sebagai tempat penyimpanan koleksi benda-benda peninggalan kerajaan. Pada ruangan ini terdapat sebuah pintu yang menghubungkan dengan ruangan lain yaitu tempat penyimpanan meriam yang disebut dengan ruangan meriam sigonda. Meriam sigonda adalah meriam asli yang dibawa Opu Daeng Manambon ketika tiba di Mempawah, dan meriam ini sangat disakralkan oleh para kerabat keraton. Setelah itu ada ruang belakang yang pada masa lalu digunakan sebagai ruang makan keluarga. Untuk menghubungkan antara ruang meriam sigonda dengan ruang keluarga terdapat pintu. Pintu yang menghubungkan kedua kamar ini disebut dengan pintu malim. Pintu malim adalah sebuah sebutan dalam adat istiadat Melayu, yaitu untuk menjaga kesopanan bagi anggota keluarga yang tinggal dalam rumah tersebut, jika ingin berhubungan atau memiliki keperluan dari satu kamar ke kamar lain tidak harus melewati ruang utama. d. Ragam Hias Sebuah bangunan atau rumah selalu mengutamakan keindahan baik dari bentuk maupun cat dan ragam hiasnya. Selain berfungsi sebagai hiasan, ragam hias yang dipergunakan juga berfungsi sebagai lambang identitas sosial. Berbagai jenis ragam hias, ada berbentuk pahatan, ukiran ataupun pada lukisan. Ragam hias ditempatkan pada atap, dinding, pintu, risplang dan lainnya. Motif ragam hias beraneka ragam, DGDEHQWXNEXQJDÀRUDELQDWDQJIDXQDDODP agama dan kepercayaan. Demikian halnya dengan bangunan Keraton Amantubillah, merupakan bangunan yang memiliki ragam hias berseni tinggi. Pada bangunan Keraton Amantubillah terdapat tiga budaya yaitu Arab, Melayu dan Bugis. Hal ini mengingat pengaruh ketiga budaya ini sangat kuat dan saling mempengaruhi. Arab mengingat keraton ini merupakan bercirikan Islam, budaya Bugis didapati karena pendiri dari Keraton Amantubillah adalah Opu Daeng Manambon yang berasal dari Sulawesi Selatan tepatnya keturunan dari Kerajaan Luwuk. Budaya Melayu merupakan budaya lokal setempat. Jika kita lihat pada bagian atap teras depan istana, terdapat beberapa corak ragam hias. Paling atas terdapat sepeti tonggak lurus mengarah ke atas sebagai simbol bahwa segala sesuatu bersumber dari yang “atas” (Tuhan Yang Maha Kuasa) sebagaiman yang diajarkan dalam Islam. Selain tonggak yang tegak berdiri, di atas bubungan terdapat motif ombak yang beriring. Motif ini memberi makna bahwa raja (sultan) merupakan seorang pelaut yang gagah berani mampu bertahan melawan ombak. Namun motif ini juga mengandung makna sebagai nilai kebersamaan sesuai dengan karakter dari ombak. Ragam hias yang terdapat di bawah risplang teras atap istana berupa motif bunga melati dan bunga pakis. Penggunaan corak ragam bemotif flora khususnya bunga biasanya digunakan sebagai lambang kedamaian dan kasih sayang. 101 WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 93—104 Ini sebagai karakter dari orang Melayu yang senantiasa menginginkan kedamaian dalam menjalani kehidupan. Motif ini juga memberi makna bahwa penghuni rumah (istana) merupakan raja yang senantiasa memberikan suasana damai bagi rakyatnya. Pada bagian atas teras juga kita jumpai lambang dua buah bintang delapan penjuru mata angin, tidak banyak diketahui mengenai makna dari lambang ini. Namun ada pendapat bahwa ini merupakan lambang dari kerajaan Opu Daeng Manambon (Rahmayani, 2009:41). Selain bentuk motif atau ragam hias pada dinding atas bangunan istana masih terlihat motif berupa bunga-bunga. Bentuk dari motif bunga yang banyak dipakai adalah motif bunga melati, pakis, kenanga, bunga walet dan bunga cengkeh (Djafar, 1997:23). Motif ini dianggap hanya sebagai kombinasi dan tidak diketahui makna dari motif tersebut. Pada tepi bangunan atap istana terdapat ragam hias dengan motif trisula. Trisula adalah tombak bermata tiga merupakan salah satu bentuk senjata yang digunakan oleh prajurit kesultanan pada saat itu. Hingga saat ini senjata trisula masih ada tersimpan di bangunan istana. Foto 13: Ukiran pada atap bangunan keraton Sumber: Dokumen Pribadi Foto 14: Ukiran kombinasi bunga-bunga Sumber: Dokumentasi Pribadi Foto 15 dan Foto 16: Ukiran bunga-bunga disudut tiang atas Motif bunga wallet Sumber: Dokumentasi Pribadi Ada dua bentuk corak ragam hias dari pagar lingkungan bangunan utama istana yakni motif padi bunting dan gadah (http://www.atayaya. com/2009/06/makna-dan-falsafah-ragam-motifmelayu). Motif padi bunting memiliki makna sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran. Foto 12: Bentuk atap teras Keraton Amantubillah Sumber: Dokumentasi Pribadi Pintu pada bangunan istana memiliki dua buah daun pintu demikian juga jendelanya. Pada atas bagian masing-masing pintu dan jendela keraton ada terdapat ukiran bunga walet. Sama halnya dengan motif bunga-bungaan yang terdapat di dinding atas istana, motif bunga walet yang terdapat di atas pintu dan jendela istana juga tidak memiliki makna khusus, hanya sebagai hiasan untuk memperindah bentuk pintu dan jendela bangunan istana. 102 Foto 17 dan Foto 18 Motif padi bunting Motif gadah Sumber: Dokumentasi Pribadi Motif padi bunting merupakan perpaduan dari beberapa simbol yang dipadukan menjadi satu, yakni ukiran layar, empat penjuru mata angin dan badik. Ukiran yang berbentuk segitiga merupakan lambang layar sebuah kapal, sebagai lambang bahwa raja adalah seorang pelaut ulung yang telah menaklukan samudra hingga dapat Keraton Amantubillah: Sejarah... Poltak Johansen tiba di Mempawah, sedang ukiran berbentuk lambang tambah merupakan lambang atau simbol dari empat penjuru mata angin. Ukiran ini juga terdapat bentuk dua buah badik yakni berupa senjata tradisional orang Bugis. Makna dari hiasan berupa bentuk senjata sebagai pelindung atau untuk menjaga diri bagi si pemiliknya dan selalu dibawa ke manapun serta menunjukan bahwa si pemilik adalah keturunan raja atau bangsawan. PENUTUP Istana adalah rumah raja, atau tempat para kaum kerabat raja bermukim. Dalam budaya Melayu, seni pembangunan rumah tradisional disebut dengan istilah Seni Bina. Rumah memiliki arti yang sangat penting bagi orang Melayu. Rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal di mana kegiatan kehidupan dilakukan dengan sebaik-baiknya. Tetapi juga menjadi lambang kesempurnaan hidup. Beberapa ungkapan tradisional Melayu menyebutkan rumah sebagai “Cahaya Hidup di Bumi, Tempat Beradat Berketurunan, Tempat Berlabuh Kaum Kerabat. Letak Keraton Melayu pada zaman dahulu banyak menghadap ke arah matahari terbit. Ini berarti mengharapkan berkah dan rahmat seperti halnya matahari pagi yang bersinar cerah, namun pada saat ini masalah hadap keraton tidak lagi menjadi bagian yang penting. Dari segi keindahan, terlihat adanya ragam hias yang bermacam-macam bentuk dan coraknya, sehingga menunjukkan tingginya kebudayaan ukiran tradisional Melayu. Pada Keraton Amantubillah ragam hias memiliki perpaduan yakni Melayu, Bugis dan Arab. Ini tidak terlepas dari pengaruh dari pendiri dari Kesutanan Mempawah yang berasal dari Bugis Sulawesi Selatan. Demikian pula dengan susunan ruangan, semua ditata dengan mempertimbangan keharmonisan bangunan. Motif-motif ini sudah barang tentu telah disesuaikan dengan iklim, adat resam, dan syariat agama Islam. Demikian halnya dengan pemakaian motif ragam hias di Keraton Amantubillah dan warna yang digunakan pada bangunan keraton dapat diketahui karakter dari penghuni keraton. Berbeda dengan keraton lain di Kalimantan Barat, Keraton Amantubillah dominan menggunakan warna hijau. Bentuk Keraton Amantubillah, berbentuk rumah panggung selain untuk menjaga keselamatan penghuni dari ancaman binatang buas, juga dimaksudkan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan pemilik rumah. Banyaknya jendela dan lubang angin menjamin kesegaran dan kenyamanan orang yang menempati rumah. Letak jendela dan pintu yang tinggi membuat kedatangan tamu ataupun ancaman telah tampak dari jauh, sehingga persiapan penyambutan dapat dilakukan dengan baik. Hal penting yang harus diperhatikan dalam mewujudkan bangunan dan lambanglambangnya adalah musyawarah. Oleh karena itu ,langkah pertama sebelum mendirikan sebuah bangunan adalah melakukan musyawarah. Baik antarkeluarga ataupun dengan melibatkan anggota masyarakat lainnya. Di dalam musyawarah itu dibicarakan tentang jenis bangunan yang hendak didirikan, kegunaannya, bahan yang diperlukan, lokasi bangunan, tukang yang mengerjakannya, dan waktu dimulainya pekerjaan. Biasanya dalam musyawarah itu dijelaskan pula segala pantangan dan larangan, adat dan kebiasaan yang harus dijalankan dengan tertib. Pengerjaannya ditekankan pada asas gotong royong. Dahulu keraton berfungsi sebagai istana raja dan pusat pemerintahan, dan bahkan sebagai pusat kebudayaan dan penyebaran agama. Namun pada saat ini Keraton Amantubillah telah mulai mengalami perubahan fungsi. Hal ini mengingat fungsi pemerintah tidak lagi di tangan raja-raja atau sultan karena negara kita berbentuk Negara Kesatuan Repoblik Indonesia. Peninggalan arsitektur tradisional tidak dapat bertahan lama, karena bahan-bahan bangunannya tidak semuanya kuat, kecuali kayu besi atau kayu belian. Sedangkan untuk pemakaian warna dan motif sudah banyak mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Oleh karena itu, arsitektur tradisional sebagai warisan budaya masa lalu perlu dilestarikan dan diwariskan kepada generasi yang akan datang. DAFTAR PUSTAKA Ahmad R, M. 2002. “Studi Tentang Komunikasi dalam Masyarakat Dayak Kanayatn”. Tesis. Bandung: Program Pasca Sarjana 103 WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 93—104 Universitas Padjajaran. Alqadrie, Rossandra Dian Vieja. 2013 “Penyerbukan Silang Kebudayaan dalam Arsitektur Perkotaan Pontianak Sebagai Wujud Warisan dan Pewarisan Budaya”. Makalah. Disajikan Pada Kongres Kebudayaan Indonesia. Yogjakarta. Andrew WP, dkk. 2008. Peta Tematik Kebudayaan dan Sejarah Pemerintahan Kalimantan Barat. Pontianak: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak. Djafar, Said. 1997. “Catatan Ragam Hias Kalimantan Barat”. Penerbit Dekranasda Tingkat I Kalimantan Barat. Http://www studiomelayuarsitekturmelayukalbar.blogspot.com. Diunduh tanggal 12 Nopember 2013. Http://www.id.wiki pedia.org/wiki/ arsitektur . Diunduh tanggal 12 Nopember 2013. Http://www.atayaya.com/2009/06/makna-danfalsafah-ragam-motif-melayu. Diunduh tanggal 13 Nopember 2013. Lontaan, J.U, 1975. “Sejarah, Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat”. Pemda Tk.I. Kalimantan Barat. Pontianak. Karaen, Andi. 2012. “Revitalisasi Keraton Mempawah”. Pontianak. 104 Nurcahyani, Lisyawati. 1993/1994. “Pendataan Sejarah Keraton Mempawah dan Peninggalan Sejarahnya”. Laporan Penelitian. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak. Purba, Juniar. 2010. Inventarisasi Aspek-Aspek Tradisi: “Arsitektur Tradisional Suku Melayu Di Ketapang”. Laporan Penelitian Direktorat Tradisi, Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film. Jakarta. Rahmayani, Ani, 2009. “Arsitektur Melayu di Kabupaten Pontianak” dalam “Arsitektur Tradisional Daerah Kalimantan Barat”. Laporan Penelitian. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak. Ramsyah, Irwin. 2009. “Bentuk, Susunan, dan Pola Ruang Arsitektur Melayu Kalimantan Barat”. Makalah. Pontianak. Saron, Ellyas Suryani bin. 2001. “Sejarah Mempawah Dalam Cuplikan Tulisan”. Yayasan Penulis 66 Kalimantan Barat. Pontianak. Patricia, Tio Uli. 2011. “Istana Amantubillah Mempawah” (Online). Http://www. kebudayaankesenianindonesia.blogspot. com/…./istana-Amantubillah-mempawah. Diunduh tanggal 28 Oktober 2013