1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebudayaan 2.1.1. Definisi

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kebudayaan
2.1.1.
Definisi Budaya
Menurut Hofstede (1994), budaya/culture merupakan keseluruhan pola
pemikiran, perasaan dan tindakan dari suatu kelompok sosial, yang membedakan
dengan kelompok sosial yang lain. Istilah the collective mental programming atau
software of mind digunakan untuk menyebutkan keseluruhan pola dalam kajian
budaya. Budaya suatu kelompok terbentuk oleh lingkungan sosial, (seperti negara,
daerah, tempat kerja, sekolah dan rumah tangga) dan kejadian-kejadian yang dialami
dalam kehidupan para anggota kelompok yang bersangkutan. Kemudian proses
terbentuknya pola pikir, perasaan dan perbuatan tersebut dianalogikan dengan proses
penyusunan program dalam komputer. Budaya dapat dikelompokkan ke dalam
berbagai tingkatan antara lain: nasional, daerah, gender, generasi, kelas sosial,
organisasional atau perusahaan.
2.1.2. Definisi Kebudayaan
Menurut Pakpahan (2013) kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi
sistem ide gagasan yang terdapat didalam pikiran manusia, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan
kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk
yang berbudaya, brerupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya
pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi seni dan lain-lain
yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat.
2.2.
Lima Dimensi Kebudayaan Hofstede
Pada tahun 1980, peneliti dari Belanda yang bernama Geert Hofstede
pertama kali menerbitkan hasil studinya tentang lebih dari 100.000 karyawan
perusahaan multinasional IBM di 40 negara (Hofstede, 1980, 1983, 1984, 1991,
1997, 2001 dalam Jandt, 2007). Hofstede berusaha untuk menemukan dimensi nilainilai budaya yang beragam. Hofstede mengidentifikasi lima dimensi yang ia sebut
sebagai individualism, masculinity, power distance, uncertainty avoidance, dan long
15
16
term orientation (Jandt, 2007). Hasil penelitian Hofstede tersebut banyak menuai
beberapa kritik, namun berguna dalam memahami bahwa anggota masyarakat
cenderung berperilaku dengan cara yang berbeda dalam situasi tertentu (Tamas,
2007).
Hasil penelitian Michael Bond dan mahasiswa di 23 negara membawanya
pada tahun 1991 untuk menambahkan dimensi ketima yang disebut dengan long
versus short term orientation. DImensi kelima ini mengatakan bahwa orang-orang
yang berada pada budaya ini pada umumnya memiliki pemikiran jangka panjang,
gigih, suka menabung untuk investasi masa depan, dan adaptasi pada perubahan
lingkungan.
2.2.1.
Definisi dan Kategori Empat Dimensi Kebudayaan Hofstede
2.2.1.1.
Individualism and collectivism
Individualisme berkaitan dengan kondisi di mana setiap orang
diharapkan untuk mengurus dirinya sendiri dan keluarga terdekat mereka.
Kolektivisme sebagai kondisi di mana mana orang-orang diintegrasikan ke
dalam kelompok yang kuat , ingroups kohesif , yang sepanjang hidup tidak
perlu diragukan lagi loyalitas terhadap kelompok (Hofstede, 1994).
Kebutuhan individu yang menempati posisi di atas kebutuhan
kelompok. Hofstede (1994) berpendapat bahwa dalam masyarakat kolektivis,
kepentingan kelompok berlaku di atas kepentingan individu. Kelompok (ingroup) merupakan sumber identitas seseorang dan para anggota kelompok
akan memandang diri sebagai ‘kami’. Kelompok menjadi tempat berlindung
bagi anggota pada saat menghadapi kesulitan hidup. Oleh karena itu para
anggota akan senantiasa setia pada kelompok. Ketidaksetiaan dengan demikian
adalah suatu perilaku yang dipandang buruk. Di sisi lain, masyarakat
individualis akan menempatkan kepentingan individu di atas kepentingan
kelompok. Anggota kelompok memandang diri sebagai “aku”. Pada
masyarakat kolektivistik, individu dilahirkan dalam integrasinya dengan ingroup, disertai dengan kohesi sosial yang kuat, antara lain ditunjukkan dengan
adanya saling perlindungan di antara anggota in-group, serta adanya pertukaran
kesetiaan yang bersifat taken for granted/member tanpa mengharap imbalan.
17
2.2.1.2.
Power distance
Jarak kekuasaan dapat didefinisikan sebagai sejauh mana anggota
yang
kurang
kuat
mengharapkan
dan
menerima
bahwa
kekuasaan
didistribusikan tidak merata (Hofstede, 1994). Jarak kekuasaan didefinisikan
sebagai sejauh mana anggota yang kurang kuat dalam suatu negara
mengharapkan dan menerima bahwa kekuasaan didistribusikan tidak merata
Hofstede (1994) dalam Tamas (2007). Budaya dengan power distance tinggi
menunjukkan bahwa ketidaksetaraan kekuasaan dan kekayaan ada dalam
masyarakat, dan bahwa anggota yang kurang kuat masyarakat menerima
keadaan ini.
2.2.1.3.
Uncertainty avoidance
Penghindaran ketidakpastian dapat didefinisikan sebagai sejauh
mana para anggota suatu budaya merasa terancam oleh situasi yang tidak pasti
atau tidak diketahui dan mencoba untuk menghindari situasi seperti ini.
Perasaan ini, antara lain, yang dinyatakan melalui stress, kegugupan, dan
kebutuhan untuk prediktabilitas: kebutuhan untuk aturan tertulis maupun tidak
tertulis (Hofstede, 1994).
Ketidakpastian dirasakan dan dipelajari oleh seorang anggota budaya
dari warisan budaya yang dipindahkan serta digerakkan melalui institusi dasar,
seperti keluarga dan sekolah. Perasaan itu direfleksikan ke dalam nilai yang
dipegang secara kolektif oleh anggota masyarakat, serta kemudian menuntun
pola perilaku kolektif suatu masyarakat yang tidak mudah dipahami oleh
masyarakat lainnya. Para anggota budaya yang berderajat tinggi dalam
menghindari
ketidakpastian
memiliki
toleransi
yang
rendah
pada
ketidakpastian dan sesuatu yang sifatnya ambigu. Para anggota dari kelompok
budaya ini juga memiliki kebutuhan yang besar akan adanya peraturan formal
dan kebenaran mutlak. Selain itu juga kurang memberi toleransi pada ide atau
perilaku yang menyimpang dari peraturan formal. Sementara itu, orang dari
kelompok budaya yang memiliki derajat rendah dalam menghindari
ketidakpastian akan memiliki karakteristik yang berlawanan dengan orangorang yang memiliki derajat tinggi dalam menghindari ketidakpastian.
(Hofstede, 1994).
18
Indeks penghindarah ketidakpastian berfokus pada tingkat toleransi
untuk ketidakpastian dan ambiguitas dalam masyarakat. Uncertainty avoidance
tinggi menunjukkan toleransi yang rendah untuk ketidakpastian dan
ambiguitas. Uncertainty avoidance rendah menunjukkan negara memiliki
kurang perhatian tentang ambiguitas dan ketidakpastian dan memiliki toleransi
lebih untuk keragaman pendapat. Hal ini tercermin dalam masyarakat yang
lebih mudah menerima perubahan, dan mengambil lebih banyak risiko dan
lebih besar (Tamas, 2007).
2.2.1.4.
Masculine and feminine
Maskulinitas
menunjukkan
sejauh
mana
nilai-nilai
dominan
masyarakat yang maskulin (misalnya, tegas dan kompetitif). Maskulinitas
berkaitan dengan masyarakat di mana peran gender sosial jelas berbeda (yaitu,
laki-laki seharusnya tegas, tangguh, dan terfokus pada kesuksesan materi
sedangkan wanita seharusnya lebih sederhana , lembut , dan peduli dengan
kualitas hidup. Femininitas merupakan kondisi untuk masyarakat di mana baik
pria maupun wanita seharusnya sederhana, lembut, dan peduli dengan kualitas
hidup. Karakteristik seperti laki-laki lebih asertif, keras, dan memiliki fokus
pada keberhasilan material, sementara perempuan yang cenderung rendah hati,
lembut, dan berfokus pada kualitas hidup (Hofstede, 1994).
2.2.1.5.
Long term orientation
Orientasi jangka pendek panjang mengacu pada apakah masyarakat
menunjukkan perspektif berorientasi masa depan pragmatis atau titik
bersejarah konvensional pandang . Orientasi jangka panjang menumbuhkan
kebajikan diarahkan pada masa depan khususnya , ketekunan dan penghematan
dan hubungan pemesanan melalui status. Orientasi jangka pendek mendorong
kebajikan yang berhubungan dengan masa lalu dan sekarang - khususnya ,
menghormati tradisi , dan kemantapan pribadi dan stabilitas. Individu dari
budaya orientasi jangka panjang budaya cenderung untuk condong pada
hubungan sesuai dengan status, yang dapat mempengaruhi bagaimana individu
dan pengasuh menanggapi diagnosis (Hofstede, 2011).
19
2.3.
Psikopati
Psikopat secara harfiah berarti sakit jiwa. Psikopat berasal dari kata
psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Pengidapnya juga
sering disebut sebagai sosiopat karena perilakunya yang antisosial dan
merugikan orang-orang terdekatnya. Psikopat tidak sama dengan gila atau
skizofrenia karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya.
Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati, pengidapnya seringkali
disebut orang gila tanpa gangguan mental. Menurut penelitian sekitar 1% dari
total populasi dunia mengidap psikopati. Pengidap ini sulit dideteksi karena
sebanyak 80% lebih banyak psikopat yang berkeliaran daripada yang
mendekam di dalam penjara atau di rumah sakit jiwa. Pengidap psikopati pada
umumnya sukar untuk disembuhkan (Levenson, Keihl, & Fitzpatrick, 1995;
Brinkley, Diamond, Magaletta, & Heigel, 2008; Sellbom, 2011).
Seorang ahli psikopati dunia yang menjadi guru besar di Universitas
British Columbia, Vancouver, Kanada bernama Robert D. Hare telah
melakukan penelitian psikopat sekitar 25 tahun. Ia berpendapat bahwa seorang
psikopat selalu membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta, menebar
fitnah, dan kebohongan untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan dirinya
sendiri.
Dalam kasus kriminal, psikopat dikenali sebagai pembunuh,
pemerkosa, dan koruptor. Namun, ini hanyalah 15-20 persen dari total psikopat.
Selebihnya adalah pribadi yang berpenampilan sempurna, pandai bertutur kata,
mempesona, mempunyai daya tarik luar biasa dan menyenangkan.
Psikopat memiliki 20 ciri-ciri umum. Namun ciri-ciri ini diharapkan
tidak membuat orang-orang mudah mengecap seseorang psikopat karena
diagnosis gejala ini membutuhkan pelatihan ketat dan hak menggunakan
pedoman penilaian formal, lagipula dibutuhkan wawancara mendalam dan
pengamatan-pengamatan lainnya. Mengecap seseorang dengan psikopat dengan
sembarangan beresiko buruk, dan setidaknya membuat nama seseorang itu
menjadi jelek.
2.3.1.
Ciri-ciri Psikopati
Ciri-ciri psikopati sebagai berikut (Levenson, Keihl, & Fitzpatrick, 1995;
Brinkley, Diamond, Magaletta, & Heigel, 2008; Sellbom, 2011):
20

Sering berbohong, fasih dan dangkal.

Egosentris dan menganggap dirinya hebat.

Tidak punya rasa sesal dan rasa bersalah. Meski kadang psikopat mengakui
perbuatannya namun ia sangat meremehkan atau menyangkal akibat
tindakannya dan tidak memiliki alasan untuk peduli.

Senang melakukan pelanggaran di waktu kecil.

Sikap acuh tak acuh terhadap masyarakat.

Kurang adanya rasa empati. Bagi psikopat, memotong kepala ayam dan
memotong kepala orang tidak ada bedanya.

Psikopat juga teguh dalam bertindak agresif, menantang nyali dan
perkelahian, jam tidur larut dan sering keluar rumah.

Impulsif dan sulit mengendalikan diri. Tidak ada waktu bagi seorang psikopat
untuk menimbang baik-buruknya tindakan yang akan mereka lakukan dan
mereka tidak peduli pada apa yang telah diperbuatnya atau memikirkan
tentang masa depan. Pengidap juga mudah terpicu amarahnya akan hal-hal
kecil, mudah bereaksi terhadap kekecewaan, kegagalan, kritik dan mudah
menyerang orang hanya karena hal sepele.

Tidak mampu bertanggung jawab dan melakukan hal-hal demi kesenangan
belaka.

Manipulatif dan curang. Psikopat juga sering menunjukkan emosi dramatis
walaupun sebenarnya mereka tidak sungguh-sungguh. Mereka juga tidak
memiliki tanggapan fisiologis yang secara normal diasosiasikan dengan rasa
takut seperti tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut kering, tegang,
ataupun gemetar. Pengidap psikopat tidak memiliki perasaan tersebut, karena
itu psikopat seringkali disebut dengan istilah “dingin”.

Hidup sebagai parasit karena memanfaatkan orang lain untuk kesenangan dan
kepuasan dirinya.

Biasanya sangat cerdas dan mungkin paling cerdas ketika dibandingkan
dengan anak-anak yang lain.

Biasanya banyak mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya dan marah jika
orang lain menyalahkannya (merasa paling benar, dan biasanya anggapanya
itu memang benar).
21

Mengetahui sesuatu yang tidak diketahui. Biasanya banyak yang benar dan
sangat sedikit sekali yang salah.

Memiliki perkiraan dengan akurasi yang tinggi (perkiraannya jarang salah
dan kebanyakan adalah benar atau benar semuanya).
2.3.2.
Dimensi Psikopati
Ada empat dimensi yang akan dioperasionalkan dalam Bab 3 yakni:
Egosentris, Tidak berperasaan, Antisosial (Levenson, Keihl, & Fitzpatrick,
1995; Brinkley, Diamond, Magaletta, & Heigel, 2008; Sellbom, 2011):
1. Egosentris,
yaitu
selalu
mementingkan
keinginan
dan
kebutuhannya pribadi.
2. Tidak berperasaan, yaitu perilaku yang menghalalkan segala cara
demi memenuhi keinginan dan kebutuhannya meskipun harus
menyakiti atau merugikan orang lain.
3. Antisosial, yaitu perilaku yang mengabaikan aturan, norma,
hukum yang berlaku di lingkungannya.
2.3.3
Faktor yang Mempengaruhi Psikopati
1. Faktor genetik. Taylor et al. (2003, dalam Kring et al. (2010)
mengungkapkan bahwa psikopat merupakan salah satu gangguan
kepribadian yanng bersifat hereditas atau diturunkan, dengan
estimasi 40-50%.
2. Faktor sosial, lingkungan keluarga dan kemiskinan. Faktor sosial dan
lingkungan keluarga berhubungan dengan perilaku seseorang dalm
bertindak. Seseorang yang tinggal dalam keluarga yang dingin,
negatif, dan didikan orang tua yang tidak konsisten antara ayah dan
ibi dapat memprediksikan seseorang untuk berperilaku antisosial
(Marshall & Cooke,1999; Reiss et al. 1995 dalam Kring (2010).
3. Emosi
dan
psikopati.
Seseorang
yang
memiliki
gangguan
psikopatologi tidak dapat belajar dari hukuman yang dialami di masa
lalu. Seseorang tidak bersedia untuk menghindari dari konsekuensi
negatf dari perilaku sosial yang tidak baik yang dilakukannya.
22
2.4.
Tendensi Korupsi
2.4.1.
Definisi Tendensi Korupsi
Peneliti mendefinisikan tendensi korupsi sebagai adanya perasaan malu dan
bersalah ketika melakukan suatu tindakan yang tidak etis.
2.4.2.
Definisi Rasa Malu dan Rasa Bersalah
Perasaan malu dan bersalah terjadi apabila terdapat stress yang muncul
sebagai dampak dari pelanggaran yang dilakukan (Cohen, Insko, Panter, Wolf,
2011). Tangney (2003) dalam Cohen, Insko, Panter, dan Wolf (2011) memaparkan
bahwa rasa malu dan bersalah merupakan emosi yang terjadi dari kesadaran diri
sebagai hasil dari refleksi dan evaluasi diri. Kedua emosi ini juga merupakan
pendorong munculnya regulasi diri. Akan tetapi, walau terlihat serupa, perlu diingat
bahwa kedua hal ini adalah variabel yang berbeda. Berdasarkan pandangan perilaku
diri (self-behavior) yang dikemukakan oleh Tracy dan Robins (2004) dalam Cohen,
Insko, Panter, dan Wolf (2011), perasaan bersalah terjadi ketika seseorang membuat
atribusi internal mengenai perilaku spesifik yang tidak sesuai dengan perilakunya
sehingga merujuk pada munculnya perasaan negatif mengenai perilaku yang
dilakukan. Di sisi lain, rasa malu muncul ketika seseorang membuat atribusi internal
yang bersifat stabil dan global mengenai dirinya sehingga merujuk pada perasaan
negatif mengenai diri secara global (Cohen, Insko, Panter, & Wolf, 2011).
Pandangan lainnya yang turut mengulas perbedaan mengenai rasa malu dan bersalah
adalah pandangan umum-pribadi (public-private) yang dikemukakan oleh Combs,
Campbell, Jackson, dan Smith (2010) dalam Cohen, Insko, Panter, dan Wolf (2011).
Pandangan ini melandaskan pandangan antropologi dalam pembahasannya. Menurut
pandangan ini, perasaan bersalah diasosiasikan dengan perasaan pribadi bahwa telah
melakukan hal yang salah dan bertentangan dengan hati nuraninya. Sebaliknya,
perasaan malu merupakan perasaan negatif yang muncul ketika seseorang melakukan
kesalahan dan kesalahannya dikemukakan di muka umum (Cohen, Insko, Panter,
Wolf, 2011).
2.4.3.
Faktor yang Menentukan Kecenderungan Rasa Malu dan Rasa
Bersalah
Tangney dan Dearing (2002) dalam Cohen, Insko, Panter, dan Wolf (2011),
memaparkan bahwa kepribadian merupakan salah satu aspek yang berpengaruh
23
terhadap kecenderungan munculnya rasa malu dan bersalah. Sebagai contoh,
rendahnya kepercayaan diri lebih merujuk pada kecenderungan akan perasaan malu
dibandingkan
bersalah.
Sebaliknya,
perasaan
empati
lebih
merujuk
pada
kecenderungan akan perasaan bersalah dibandingkan malu (Cohen, Insko, Panter,
Wolf, 2011).
2.4.4.
Dampak dari Kecenderungan Rasa Malu dan Rasa Bersalah
Peneliti mendefinisikan tendensi korupsi sebagai kecenderungan munculnya
perasaan malu dan bersalah pada individu. Munculnya perasaan bersalah akan lebih
terlihat bagi orang lain serta dampak dari munculnya perasaan ini lebih berfokus
pada orang lain. Berti, Garattoni, dan Ventruini (2000) dalam Eyre (2004)
berpendapat bahwa bentuk dari munculnya perasaan bersalah dapat terlihat dari
permohonan maaf setelah melakukan perbuatan yang kurang sesuai, melakukan
perbaikan untuk menyeimbangkan keadaan dan mengatasi kesalahan yang telah
dilakukan, menawarkan bantuan bagi yang membutuhkan, mengakui kesalahan, serta
berkomitmen untuk memperbaharui diri dan tidak mengulang kesalahan yang sama.
Studi yang dilakukan oleh Schmader dan Lickel (2006) dalam Cohen, Wolf, Panter,
dan Insko (2011) membuktikan bahwa sama seperti rasa bersalah, perasaan malu
juga dapat menimbulkan perbaikan perilaku, namun dapat juga menyebabkan
seseorang menjadi menarik diri.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Wolf, et all
(2010) dan Cohen (2010) dalam Cohen, Wolf, Panter, dan Insko (2011) mengenai
kecenderungan rasa malu dan bersalah, Cohen, Wolf, Panter, dan Insko (2011)
berargumen bahwa perasaan bersalah secara signifikan berkorelasi dengan perasaan
empati, pengambilan perspektif, moralitas konvensional, dan berorientasi dengan
pengembangan diri. Cohen, et all juga memaparkan bahwa dimensi ini berkorelasi
negatif dengan perilaku yang tidak etis dan antisosial. Di sisi lain, diperkirakan
bahwa kecenderungan perasaan malu secara signifikan berkorelasi dengan tekanan
personal, neurotisisme, kebencian, rasa harga diri yang rendah, dan rasa belas kasih
yang rendah.
2.4.5.
Dimensi Kecenderungan Perasaan Malu dan Bersalah
Variabel kecenderungan perasaan malu dan bersalah disusun oleh dua
dimensi utama, yaitu dimensi kecenderungan rasa malu dan dimensi kecenderungan
rasa bersalah (Cohen, Wolf, Panter, dan Insko, 2011). Setiap dimensi ini memiliki
24
masing-masing 2 indikator. Dimensi kecenderungan perasaan bersalah dapat
diindikasikan dengan adanya evaluasi perilaku negatif dan perbaikan diri. Korelasi
antara evaluasi terhadap perilaku negatif dan perbaikan diri berkorelasi dapat
dijelaskan bahwa individu yang memiliki kecenderungan untuk mengevaluasi
perilaku yang negatif akan memiliki kecenderungan untuk melakukan perbaikan diri.
Dimensi rasa malu memiliki dua indikator, yaitu menarik diri dan mengevaluasi diri
secara negatif. Indikator pengevaluasian diri secara negatif berkorelasi dengan kedua
indikator perasaan bersalah, yakni indikator perbaikan diri dan evaluasi perilaku
negatif. Sebaliknya, indikator menarik diri ditemukan berkorelasi dengan menyerang
lawan dan pelanggaran janji serta berkorelasi positif dengan kesalahpahaman.
2.5
Kerangka Berpikir
Collectivism
Power distance
Tendensi Korupsi
-
Uncertainty avoidance
Rasa Malu/shame
Evaluasi diri
negatif
Menarik diri
Masculinity
Long term orientation
duf
Psychopathy
-
Rasa Bersalah/guilt
Evaluasi perilaku
negatif
Perbaikan diri
Dimensi budaya individualism merupakan perlawanan dari collectivism.
Dalam hal ini collectivism individu dilekatkan pada kelompoknya, kohesivitas dalam
kelompok sangat tinggi. Pada karakter individualism maka hubungan antar individu
terlihat hilang, identifikasi terlihat pada diri pribadi baru. Suatu tindak korupsi
diasumsikan dapat terjadi di dalam lingkungan yang memiliki dimensi budaya yang
individualism dibandingkan pada lingkungan organisasi yang collectivism karena
kasus korupsi itu sendiri umumnya dilakukan para pelaku demi memperkaya diri dan
memenuhi kebutuhan pribadinya.
Individualisme dan kolektivisme. Dimensi ini mengacu pada bagaimana
orang mendefinisikan diri mereka dan hubungan mereka dengan orang lain. Dalam
25
budaya individualis, kepentingan individu menang atas kepentingan kelompok.
Dalam budaya kolektivis, kelompok lain diperhitungkan dengan cara yang besar
ketika tujuan yang ditetapkan. Semakin individualis semakin besar tendensi korupsi,
karena semakin mengedepankan kepentingan pribadi, sehingga seseorang cenderung
menarik diri dari lingkungannya ketika melakukan kesalahan atau perilaku yang
tidak etis.
Seseorang yang memiliki kebudayaan kolektivisme yang tinggi, maka
kecenderungannya untuk mengevaluasi perilaku negatifnya juga akan tinggi karena
orang yang memiliki buday akolektivisme yang tinggi cenderung memiliki citra diri
yang positif, maka ketika ia ingin pertindak atau berperilaku ia akan terlebih dahulu
memikirkan dampaknya bagi orang banya, bagi lingkungannya, termasuk ketika ia
akan melakukan perilaku tidak etis yang akan merugikan banyak orang, ia cenderung
akan menghindarainya.
Orang yang berada pada budaya kolektivisme yang tinggi cenderung akan
melakukan perbaikan diri yang tinggi karena seseorang yang lebih mementingkan
kelompoknya memiliki perasaan empati yang tinggi terhadap lingkungannya atau
kelompoknya. Sehingga, ketika melakukan perilaku tidak etis yang merugikan orang
lain, seseorang akan cenderung memperbaiki diri dari kesalahannya.
Budaya maskulin menempatkan nilai tinggi pada sifat ketegasan, kompetisi,
dan keberhasilan material. Karenanya semakin maskulin seseorang, diduga semakin
besar tendensi korupsi, karena desakan keberhasilan material dan sifat mengambil
risiko dapat membuat orang mengedepankannya untuk meraih kepentingan pribadi
dan menurunkan rasa malu dan rasa bersalah.
Semakin tinggi power distance yang dimiliki seseorang, maka semakin
rendah seseorang menarik diri. Seseorang yang memiliki jarak kekuasaan yang tinggi
cenderung egois atau mementingkan kebutuhan hidupnya sendiri, ia berusaha
mencapai kekayaan dan kebutuhan hidupnya sebanyak-banyaknya. Sehingga, untuk
ia melakukan kesalahan atau perilaku-perilaku tidak etis, seseorang akan menarik diri
dalam arah yang rendah, karena ia berusaha untuk mencapai pemenuhan hidupnya
yang lebih.
Begitu pula dengan seseorang yang memiliki budaya power distance yang
tinggi, maka semakin rendah evaluasi perilakunya secara negatif ketika ia melakukan
kesalahan-kesalahan yang melanggar norma-norma yang berlaku. Hal tersebut
dikarenakan apabila seseorang yang terbiasa hidup pada situasi dengan jarak
26
kekuasaan yang tinggi, mereka pada umumnya cenderung memiliki hubungan
interpersonal yang kurang baik dan toleransi serta sosialisasi terhadap orang-orang di
lingkungannya cenderung kurang baik karena selalu menganggap ia memiliki kuasa
lebih atas orang-orang di sekitarnya dan cenderung mengabaikan hak orang lain.
Oleh sebab itu, apabila ia melakukan perilaku tidak etis yang ia lakukan demi
memenuhi kepentingannya pribadi, maka ia tidak akan melihat hal tersebut sebagai
sebuah perilaku yang salah, apalagi untuk mengevaluasi perilakunya pun tidak akan
negatif.
Ketika seseorang cenderung memiliki kebudayaan power distance yang
tinggi, mengevaluasi perilakunya negatifnya rendah, sehingga perilaku untuk
memperbaiki diri ketika ia melakukan kesalahan pun juga akan rendah. Hal itu
karena kurangnya rasa toleransi terhadap orang lain, ia tidak memikirkan
kepentingan orang-orang di sekitarnya, ia hanya menganggap bahwa perilakunya
tidak salah dan semata-mata hanya untu memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena ia
lebih berkuasa, maka kebutuhannya harus lebih diutamakan dari pada orang-orang
yang ia anggap lebih rendah dari padanya.
Orang-orang yang yang berada pada penghindaran ketidakpastian yang
tinggi, cenderung akan memiliki sifat aktif, agresif, dan emosional. Namun, hal ini
dilakukan semata-mata untuk mendapat kepastian untuk hidupnya. Ia selalu ingin
hidup dalam kemapanan dan kebutuhan hidupnya ingin selalu terpenuhi. Sehingga
semakin tinggi pengindaran ketidakpastian/uncertainty avoidance seseorang, maka
semakin rendah evaluasi dirinya secara negatif.
Jarak kekuasaan/power distance berkaitan dengan sejauh mana anggota
kelompok mengharapkan dan menerima bahwa kekuasaan didistribusikan tidak
merata. Hofstede percaya bahwa jarak kekuasaan yang dipelajari sejak dini dalam
keluarga . Dalam budaya jarak kekuasaan tinggi, anak-anak diharapkan untuk taat
kepada orang tua dibandingkan dirawat kurang lebih setara. Dalam budaya jarak
kekuasaan tinggi, orang diharapkan untuk menampilkan penghormatan bagi status
yang lebih tinggi. Jarak kekuasaan yang tinggi membawa pada tendensi korupsi
karena membuat orang melayani kekuasaan, atau sebaliknya menganggap remeh
control orang yang tidak berkuasa. Sehingga semakin tinggi power distance, maka
semakin rendah seseorang mengevaluasi diri negatif.
Penghindaran ketidakpastian merupakan kondisi sejauh mana orang dalam
budaya merasa terancam oleh situasi yang tidak pasti atau tidak diketahui . Hofstede
27
menjelaskan bahwa perasaan ini diungkapkan melalui kegugupan dan kebutuhan
untuk prediktabilitas atau kebutuhan untuk aturan tertulis maupun tidak tertulis
(Hofstede, 1997). Dalam budaya ini, situasi tersebut dihindari dengan menjaga ketat
perilaku dan keyakinan dalam kebenaran mutlak. Budaya yang kuat dalam
ketidakpastian penghindaran menunukkan sifat aktif, agresif, emosional, kompulsif,
mencari
keamanan, dan intolerant. Sedangkan, budaya dengan penghindaran
ketidakpastian lemah menunjukkan sifat kontemplatif, kurang agresif, emosional,
santai, menerima risiko pribadi, dan relatif toleran (Jandt, 2007). Penghindaran
ketidakpastian yang tinggi membuat orang lebih cenderung korupsi berdasarkan
sifat-sifat di atas untuk menanggulangi perasaan ketidakpastian tersebut.
Orientasi jangka panjang/long term orientation, yaitu mengacu pada apakah
masyarakat menunjukkan perspektif berorientasi masa depan pragmatis atau titik
bersejarah konvensional pandang. Orientasi jangka panjang menumbuhkan kebajikan
diarahkan pada masa depan khususnya , ketekunan dan penghematan dan hubungan
pemesanan melalui status. Orientasi jangka pendek mendorong kebajikan yang
berhubungan dengan masa lalu dan sekarang - khususnya , menghormati tradisi , dan
kemantapan pribadi dan stabilitas. Individu dari budaya orientasi jangka panjang
budaya cenderung untuk condong pada hubungan sesuai dengan status, yang dapat
mempengaruhi bagaimana individu dan pengasuh menanggapi diagnosis. Pada
umumnya orang-orang yang memiliki kebudayaan dengan orientasi jangka panjang
akan melihat segala sesuatu secara visioner, melihat dampak yang akan muncul dari
setiap keputusan yang diambilnya. Sehingga, orang-orang dengan orientasi jangka
panjang memiliki kecenderungan yang lebih rendah untuk melakukan perilaku tidak
etis seperti korupsi karena ia tahu meskipun korupsi bisa menyenangkan, namun
banyak pula resiko yang akan dihadapinya baik dari sisi internal maupun eksternal.
Orang-orang dengan budaya orientasi jangka panjang cenderung memilikirasa malu
dan rasa bersalah yang tinggi karena kuatnya nilai-nilai tradisi yang ia anut.
Psikopati diduga berkorelasi positif dengan tendensi korupsi karena
psikopati berkorelasi negatif dengan rasa bersalah. Individu dengan tingkat psikopati
yang tinggi cenderung tidak merasa malu dan bersalah atas kesalahan yang dilakukan
dan tidak merasa bahwa tindakan yang menyakiti atau merugikan orang lain adalah
tindakan yang salah.Nilai moral atas apa yang benar dan salah pada individu dengan
tingkat psikopati yang lebih tinggi juga cenderung lebih rendah.
28
Orang dengan kecenderungan psikopati yang tinggi akan cenderung untuk
mengevaluasi diri negatif, mengevaluasi perilaku negatif, memperbaiki diri, dan
menarik diri dari lingkungannya ketika melakukan kesalahan atau perilaku tidak etis
akan cenderung rendah. Hal itu dikarenakan orang dengan kecenderungan psikopati
yang tinggi, yang mana cenderung memiliki sifat egosentris, tidak berperasaan, dan
antisosoal yang tinggi akan mengabaikan norma-norma yang ada demi memenuhi
keinginan dan kebutuhannya, bahkan ia tidak segan-segan untuk menyakiti orang
lain demi memenuhi hal yang dicita-citakannya. Maka ketika dalam proses
pemenuhan dirinya dan ia harus melakukan kesalahan atau perilaku tidak etis ia tidak
akan mengevaluasi perilaku negatifnya dan dirinya secara buruk, sehingga
keinginannya untuk menarik diri dari lingkungan atau memperbaiki diri atas perilaku
tidak etisnya pun akan rendah.
Download