bab 2 tinjauan pustaka

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Organisasi
2.1.1 Definisi organisasi
Organisasi menurut Robbins (1990) merupakan sebuah entitas sosial yang
terkoordinasi secara sadar dengan ikatan yang relatif dapat diidentifikasi, yang memiliki
fungsi mendasar dari keanggotaannya yang bersifat berkelanjutan, untuk mencapai sebuah
tujuan umum atau seperangkat tujuan bersama. Dengan lebih rinci, Robbins menjelaskan
definisi tersebut menjadi sebagai berikut:
1. Entitas sosial berarti bahwa organisasi merupakan sebuah unit yang terdiri dari orangorang atau sekelompok orang yang saling berinteraksi satu sama lain. Karena
organisasi merupakan sebuah entitas sosial, maka pola interaksi yang berkembang
antaranggotanya haruslah terjalin dengan harmonis dan serasi untuk meminimalisir
hal-hal yang dapat mengacaukan organisasi. Implikasi paling penting dari definisi ini
adalah secara eksplisit adanya kebutuhan untuk menjalankan koordinasi sebagai pola
umum interaksi yang terjadi antaranggota organisasi.
2. Terkoordinasi secara sadar bermakna bahwa dalam sebuah organisasimemerlukan
sebuah manajemen atau pihak yang menjalankan fungsi manajerial.
3. Organisasi memiliki ikatan yang secara relatif dapat diidentifikasi. Hal ini berarti
ikatan dalam organisasi tersebut bisa saja berubah dari waktu ke waktu dan ada
kemungkinan tidak senantiasa jelas dalam perkembangannya. Namun hal yang harus
selalu jelas dalam ikatan ini adalah adanya ikatan yang secara definitif dapat
membedakan antara anggota organisasi dengan non-anggota organisasi.
4. Individu-individu dalam organisasi memiliki ikatan keanggotaan yang kontinyu. Ini
tidak berarti bahwa status keanggotaan dalam organisasi berlangsung seumur hidup.
Justru secara konstan, biasanya organisasi akan melakukan pergantian anggota,
meskipun besar kemungkinan tetap ada anggota organisasi yang bertahan menjadi
anggota, dengan derajat keanggotaan yang berubah.
5. Organisasi didirikan untuk mencapai sebuah tujuan bersama. Hal ini berarti bahwa
tujuan besar tersebut tidak dapat dicapai jika hanya diusahakan seorang diri. Adanya
kerja bersama dengan individu lain memungkinkan tujuan bersama yang ingin diraih,
dapat dicapai dengan lebih efisien.
2.1.2 Jenis organisasi
Schein (1980) membagi jenis-jenis organisasi berdasarkan sifat koordinasinya.
Berdasarkan hal tersebut, maka organisasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis.
1. Organisasi formal. Dalam organisasi jenis ini, terdapat tujuan dan hirarki kewenangan
yang jelas. Pola-pola koordinasi yang diterapkan pun bersifat rasional, dibagi sesuai
dengan fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
2. Organisasi sosial. Pada jenis organisasi ini, koordinasi yang muncul bersifat spontan
tanpa melibatkan pembagian tugas dan koordinasi yang rasional demi mencapai
tujuan bersama. Diantara jenis organisasi ini adalah hubungan teman atau peer group.
Dalam hubungan teman, mungkin saja terdapat kesepakatan bersama untuk
melakukan suatu aktivitas dan keinginan mencapai suatu tujuan bersama.
3. Organisasi informal, merupakan organisasi yang pola koordinasinya hadir diantara
para anggota organisasi formal yang sebenarnya tidak terdapat dalam cetak biru
organisasi.
Dalam sebuah organisasi, Munandar (2001) menyebutkan bahwa secara struktural
akan terdapat dua jenis kelompok kerja. Kelompok dalam organisasi ini dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yakni kelompok formal dan kelompok informal. Kelompok formal diberi
batasan oleh struktur organisasi yang berisi rincian tugas-tugas pekerjaan dan tanggung jawab
tertentu, yang pelaksanaannya diarahkan pada tercapainya tujuan organisasi. Kelompok
informal merupakan organisasi yang tidak diberi batasan oleh struktur organisasi dan terjadi
secara spontan antara sejumlah tenaga kerja sebagai jawaban terhadap kebutuhankebutuhan
tertentu.
Kelompok formal dapat dibedakan menjadi kelompok komando dan kelompok
tugas (Robbins, dalam Munandar (2001). Ciri khas pada kelompok komando
adalah adanya sejumlah staf yang melapor secara langsung kepada seorang
manajer tertentu. Sementara kelompok tugas merupakan kelompok dalam yang
terdiri dari tenaga kerja yang bekerja bersama untuk menyelesaikan pekerjaan.
Secara definitif, kelompok komando dapat juga dikategorikan sebagai kelompok
tugas. Hal yang membedakan adalah pada kelompok tugas mungkin saja terdiri
dari tenaga kerja yang berasal dari satuan-satuan kerja lain dalam organisasi dan
bersifat sementara.
Berdasarkan definisi di atas, Building Management yang akan diteliti termasuk dalam
organisasi formal yang didalamnya terdapat kelompok formal. Hal ini dikarenakan dalam
Building Management terdapat tujuan dan hirarki kewenangan yang jelas. Terdapat
koordinasi dan dibagi sesuai dengan fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai tujuan organisasi
yang telah ditetapkan. Building Management memiliki struktur dan tata kerja yang jelas serta
terdapat kelompok formal yang diberi batasan oleh struktur organisasi yang berisi rincian
tugas-tugas pekerjaan dan tanggung jawab tertentu, yang pelaksanaannya tentu diarahkan
pada tercapainya tujuan organisasi.
2.2
Budaya Organisasi
2.2.1 Definisi budaya organisasi
Menurut Robbins (2003) budaya organisasi merupakan sistem makna bersama yang
dianut oleh anggota-anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi lain. Sistem
makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik
utama yang dihargai oleh suatu organisasi. Budaya organisasi berkaitan dengan bagaimana
karyawan mempersepsikan karakteristik dari suatu budaya organisasi, bukan dengan apakah
para karyawan menyukai budaya atau tidak.
Sementara itu, Schein (1992) mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola dasar
yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk
karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota
organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai
suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.
Budaya organisasi merupakan saripati dari kesuksesan organisasi manapun (Schein, 1992).
Organisasi dapat saja merubah produk, jasa pelayanan, dan kepemimpinan, tapi akan sangat
sulit merubah budaya organisasi. Pembelajaran organisasi, perkembangan dan perubahan
organisasi tidak dapat dipahami kecuali dengan memperhatikan budaya sebagai sumber
utama resistensi perubahan.
Schein (1992) mengungkapkan tiga tingkatan budaya organisasi, yaitu:
1. Artifacts
Adalah tingkat permukaan budaya yang dapat dilihat, seperti lingkungan fisik, gaya
berpakaian, bahasa dan perilaku anggota organisasi.
2. Espoused Values
Lebih dalam dari artifacts, yang berupa strategi, tujuan dan filosofi organisasi. Semua
hal tersebut merefleksikan nilai-nilai yang dibagikan dalam organisasi dalam
merancang suatu pemecahan masalah. Nilai-nilai tersebut akan menjadi keyakinan
anggota kelompok dalam berhubungan satu sama lain, menjalankan tugas dan
kewenangan, serta merumuskan apa yang ideal.
3. Basic Assumption Values
Inti dari budaya dan sulit dimengerti karena berada dalam level bawah sadar. Asumsi
dasar menjadi kunci dalam memahami kenapa seseorang melakukan sesuatu. Asumsi
dasar akan menjadi pemandu dalam perilaku anggota organisasi dan menyatakan
kepada kelompok bagaimana seharusnya melihat, memikirkan dan merasakan sesuatu.
Sejalan dengan Schein, Parsons (dalam Hofstede, 1980) mendefinisikan budaya
organisasi sebagai isi dari pola nilai-nilai, ide-ide, dan sistem simbolis yang bermakna yang
diwariskan dan dibentuk, sebagai faktor dalam membentuk perilaku manusia dan bendabenda (hasil karya) yang mereka hasilkan melalui perilaku. Sedangkan Hofstede (1980)
mendefinisikan budaya organisasi sebagai program dari pikiran yang bersifat kolektif
(bersama) yang membedakan anggota dari suatu kelompok dengan kelompok lainnya.
Dengan kata lain, budaya terbentuk karena pola cara berpikir, perasaan dan reaksi
yang diperoleh dan yang akan diteruskan biasanya dengan symbol, merupakan pencapaian
khusus bagi sekelompok manusia meliputi perwujudan mereka dalam benda-benda hasil
karya mereka, inti yang paling penting dari budaya yaitu terdiri dari ide-ide tradisional (yaitu
yang menurut sejarah didapatkan dan dipilih) dan khususnya nilai-nilai yang melekat pada
mereka (Nasrul, 2009).
Disamping itu, Hofstede (1980) mengatakan bahwa nilai merupakan dasar sebagai
pembentuk budaya. Kuckhohn (dalam Hofstede, 1980) mengatakan bahwa nilai adalah
sebuah konsepsi, eksplisit atau implisit, yang membedakan individual atau karakteristik dari
sebuah grup, yang diinginkan dan memberikan pengaruh dalam seleksi dari modus, means
dan tindakan akhir yang ada.
Hofstede (1980) berpendapat bahwa nilai merupakan kecenderungan yang luas untuk
memilih suatu hal atau keadaan dibandingkan pilihan lainnya. Definisi Hofstede tersebut
merupakan penyederhanaan dari Kluckhohn. Nilai merupakan program mental individu,
namun pada tingkat kolektif (bersama) terdapat sistem nilai yang terdapat dalam budaya
kelompok atau organisasi (Hofstede, 1980). Program mental dikembangkan oleh setiap
individu dan diperkuat dalam sekolah dan organisasi. Program mental akan terekspresikan
dalam nilai-nilai baik nilai individu maupun nilai kolektif (Hofstede, 1980).
Definisi-definisi di atas saling menguatkan satu dengan yang lain. Berdasarkan
definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan suatu
program kolektif berupa sikap, tingkah laku, dan simbol dalam pikiran suatu masyarakat yang
kemudian di share ke dalam organisasi tertentu dan dapat mempengaruhi cara hidup bersama,
sehingga membedakannya dengan organisasi lain. Budaya organisasi merupakan sesuatu
yang dipelajari dan bukan pembawaan sejak lahir individu. Budaya dapat diperoleh melalui
lingkungan sosial seseorang. Wujud budaya dapat berupa simbol, pahlawan, ritual dan nilai
(Hofstede, 1980). Budaya organisasi dalam hal ini merujuk pada sistem nilai, karena nilai
merupakan unsur dasar sebagai pembentuk suatu budaya, dan nilai merupakan
kecenderungan sekelompok orang sebagai hasil interaksi program mental individu dengan
lingkungan organisasinya yang digunakan untuk memberikan respon pada suatu
permasalahan (Hofstede, 1980).
2.2.2 Terbentuknya budaya organisasi
Terbentuknya budaya tentu saja tidak dalam waktu yang sekejap. Pembentukan suatu
budaya, memerlukan waktu bertahun-tahun, puluhan tahun, bahkan ratusan tahun lamanya
agar terbentuk suatu budaya, Ndraha T. (2004). Pembentukan budaya diawali melalui proses
sebagai berikut :
1. Seseorang memiliki gagasan untuk mendirikan sebuah organisasi atau perusahaan.
2. Ia mampu menggali dan mengerahkan sumber dengan orang-orang yang sepaham dan
setujuan dengannya (SDM), biaya, dan teknologi.
3. Meletakkan dasar organisasi, berupa susunan organisasi dan tata kerja.
Budaya asli diturunkan dari filsafat pendirinya, selanjutnya budaya ini akan sangat
mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam mempekerjakan karyawan. Tindakan dari
manajemen puncak dewasa ini menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima
dan yang tidak. Bagaimana karyawan harus disosialisasikan akan bergantung, baik pada
tingkat kesukses yang dicapai dalam mencocokan nilai-nilai karyawan baru dengan nilai-nilai
organisasi dalam proses seleksi maupun pada preferensi manajemen puncak akan metodemetode sosialisasi.
2.2.3 Fungsi budaya organisasi
Robbins (2003) menyatakan bahwa budaya menjalankan sejumlah fungsi
di dalam sebuah organisasi, yaitu:
a. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, yang artinya budaya
menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi yang
lain.
b. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas dari pada
kepentingan pribadi seseorang.
d. Budaya memantapkan sistem sosial, yang artinya merupakan perekat sosial yang
membantu mempersatukan suatu organisasi dengan memberikan standar-standar yang
tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan.
e. Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu
dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
2.2.4 Tipe budaya organisasi
Kreitner dan Kinicki (2001) dalam Wibowo (2010: 30) mengemukakan adanya 3
(tiga) tipe umum budaya organisasi antara lain:
a. Budaya konstruktif (constructive culture) merupakan budaya di mana pekerja
didorong untuk berinteraksi dengan orang lain dan bekerja pada tugas dan proyek
dengan cara yang akan membantu mereka dalam memuaskan kebutuhannya untuk
tumbuh dan berkembang.
b. Budaya pasif-defensif (passive-defensive culture) mempunyai karakteristik menolak
keyakinan bahwa pekerja harus berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang tidak
menantang keamanan mereka sendiri.
c. Budaya agresif-defensif (aggressive-defensive culture) mendorong pekerja mendekati
tugas dengan cara memaksa dengan maksud melindungi status dan keamanan kerja
mereka.
2.2.5 Dimensi budaya organisasi
Hofstede mengungkapkan 7 dimensi budaya organisasi, yaitu : Power distance,
Uncertainty Avoidance, Individual vs Collectivism, Masculinity vs Femininity, Long Term vs
Short Term Orientation, Indulgence vs Restraint, dan Monumentalism vs Self-effacement,
Hofstede, dkk. (2008).
1. Power Distance
Hofstede (1980) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan power distance adalah
kondisi dimana individu-individu yang memiliki power ataupun kedudukan yang lebih
rendah dalam struktur suatu masyarakat ataupun organisasi menerima keadaan dimana
kekuasaan didistribusikan secara tidak merata. Pada negara-negara dimana power
distance rendah ditemukan kepercayaan bahwa setiap orang adalah sederajat dan harus
memiliki hak sama serta memiliki kesempatan yang sama untuk merubah status sosialnya
di masyarakat. Manajemen yang efektif pada masyarakat dengan power distance yang
tinggi adalah dengan hierarkhi yang jelas, pengambilan keputusan yang sentralistis dan
kepemimpinan yang otoriter (Punnett & Ricks, 1992). Di sisi lain, lanjut Punnett dan
Ricks (1992), struktur organisasi yang mendatar dengan hierarki yang lebih sedikit, lebih
sedikit pengawas dan gaya kepemimpinan yang demokratis akan lebih efektif jika
diterapkan pada negara-negara dengan power distance rendah.
Power distance merupakan suatu pengukuran yang dilakukan terhadap kewenangan
yang ada dalam hubungan antar pribadi, atau kewenangan untuk mempengaruhi yang
terjadi antara antasan dengan bawahan berdasarkan persepsi yang menjadi bawahan
(Hofstede, 1980). Hofstede menyatakan power distance antara seorang atasan dan
bawahan dalam suatu hirarkhi merupakan perbedaan antara taraf yang dimiliki atasan
yang dapat menentukan perilaku bawahan dengan taraf yang dimiliki bawahan yang dapat
menentukan perilaku atasan.
Dari hasil pengukuran terhadap power distance diperoleh indeks power distance, yang
bisa bersifat tinggi atau rendah, serta konsekuensi dari derajat indeks power distance
terhadap organisasi yang berkaitan erat dengan pola perilaku anggota-anggotanya
(Sukhirman, 1996).
2. Uncertainty Avoidance
Uncertainty avoidance diartikan sebagai besarnya perasaan terancam oleh situasi
yang ambigu atau tidak dikenal pada anggota kelompok budaya tertentu. Masyarakat
dengan tingkat uncertainty avoidance yang tinggi mengharapkan kepastian dan rasa aman
serta menghindari ketidakpastian. Sementara pada masyarakat dengan tingkat uncertainty
avoidance yang rendah menunjukkan bahwa masyarakat tersebut merasa nyaman pada
kondisi yang penuh ketidakpastian. Banyak masyarakat yang memandang kepastian
sebagai suatu kebutuhan sehingga masyarakat tersebut dapat melakukan fungsinya tanpa
khawatir dengan akibat-akibat dari ketidakpastian, namun juga terdapat masyarakat yang
memandang ketidakpastian sebagai suatu tantangan dan kesempatan bagi munculnya
inovasi dan perubahan.
Menurut Punnett & Ricks (1992) manajemen yang efektif pada negara-negara dengan
skor uncertainty avoidance tinggi adalah dengan memenuhi job security, wewenang dan
tanggung jawab yang jelas, dan berusaha mengurangi ketidakpastian sedangkan
kebalikannya pada negara-negara dengan uncertainty avoidance yang rendah maka job
security tidak terlalu mendapat perhatian, risks taking didukung dan didorong, keputusan
diambil dalam waktu relatif singkat dan dengan informasi yang relatif sedikit. Indonesia
memiliki skor 48 dari hasil penelitian Hofstede (1980). Hal itu berarti Indonesia termasuk
moderat dalam penghindaran ketidakpastian.
3. Individual vs Collectivism
Individualism adalah dimensi budaya ketiga yang dipilih Hofstede untuk
menggambarkan ciri suatu budaya. Individualism adalah kriteria yang menggambarkan
longgarnya ikatan antar anggota suatu masyarakat dimana seseorang hanya memikirkan
dirinya atau keluarga dekatnya semata sedangkan sebaliknya collectivism lebih
menekankan pada kekohesivan kelompok.
Hofstede mengukur dimensi budaya ketiga ini secara kontinum dengan individualism
pada satu sisi dan collectivism di sisi lainnya. Indonesia memiliki skor 14 dalam
penelitian Hofstede (1980) yang mengindikasikan nilai budaya yang dianggap penting
dalam Indonesia adalah collectivism.
Punnett dan Ricks (1992) menyarankan manajemen yang efektif pada negara dengan
budaya individualis adalah merancang kebijakan dan prosedur dimana seseorang dapat
berinisiatif, mengambil keputusan dan menyelesaikan pekerjaannya sendiri. Pada negaranegara yang kolektivis maka sebaliknya; keputusan kelompok, aktivitas kelompok, dan
pekerjaan kelompok.
4. Masculinity vs Femininity
Maskulinitas dalam hal ini mengacu dan menekankan pada nilai-nilai seperti assertif,
ambisi, kinerja, pencapaian dan materi. Sedangkan femininity lebih menekankan pada
kualitas hidup dan kepedulian terhadap lingkungan. Pada masyarakat dengan maskulinitas
yang rendah, baik wanita maupun pria, diharapkan untuk sederhana, berperilaku halus
dan peduli terhadap kualitas hidup.
Punnett dan Ricks (1992) menyarankan manajemen yang efektif pada masyarakat
dengan maskulinitas tinggi adalah memberikan deskripsi pekerjaan dan tanggung jawab,
menekankan pada pencapaian dan memberikan reward dalam bentuk uang pada yang
berprestasi baik. Pada masyarakat dengan maskulinitas rendah maka tekankan pada halhal yang mendukung kualitas pekerjaan seperti lingkungan pekerjaan yang kondusif dan
akrab serta mendasarkan reward selain dari faktor kinerja semata. Indonesia tergolong
menengah dalam maskulinitas dengan skor 48.
5. Long Term vs Short Term Orientation
Long Term Orientaton (LTO) merupakan masyarakat dengan orientasi jangka panjang
yang menumbuhkan nilai-nilai yang terkait dengan reward di masa depan, seperti
kegigihan, dan penghematan. Sedangkan Short Term Orientation adalah masyarakat yang
lebih menumbuhkan nilai-nilai yang terkait dengan masa lalu dan masa kini, seperti
penghormatan terhadap tradisi, menyelamatkan harga diri seseorang, dan memenuhi
kewajiban sosial.
Dalam penelitiannya, Hofstede mengatakan bahwa negara-negara yang memiliki skor
LTO yang tinggi, masyarakatnya cenderung merasa lebih puas apabila dibandingkan
dengan negara-negara yang memiliki skor LTO rendah. Dalam hal ini, Indonesia
mendapatkan skor 62, dan skor tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia
cenderung mengutamakan kejujuran, kemampuan beradaptasi serta kedisiplinan diri.
6. Indulgence vs Restraint
Indulgence merefleksikan masyarakat yang dalam tatanan sosialnya sangat
mentoleransi pengekspresian hasrat dan perasaan, terutama yang berkaitan dengan
pemanfaatan waktu luang, mencari hiburan bersama teman, pembelian barang, konsumsi,
dan hal-hal yang berbau seksual. Sedangkan Restraint merefleksikan masyarakat yang
menahan kesenangan-kesenangan yang disebutkan sebelumnya. Masyarakat yang masuk
dalam kategori ini cenderung kurang dapat menikmati hidup.
Menurut survey dalam penelitian yang dilakukan Hofstede, indonesia memiliki skor
rendah, yaitu 38. Skor tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat indonesia cenderung
memiliki kepribadian extrovert, memiliki keinginan untuk memiliki hubungan
pertemanan, serta memanfaatkan setiap peluang dan kesempatan.
7. Monumentalism vs Self-effacement
Monumentalism merefleksikan masyarakat yang secara metaforis “seperti monumen”
- tinggi menjulang (menunjukan kebanggaan) dan tidak tergoyahkan. Self-effacement,
menunjukan masyarakat yang menghargai kerendahan hati dan elektabilitas.
2.2.6 Cara mengukur nilai budaya organisasi
Budaya Organisasi dapat diukur dengan skala yang dikembangkan oleh Hofstede
yaitu Value Survey Module. Alat ukur ini merepresentasikan dimensi-dimensi nilai yang
dikemukakan oleh Hofstede, yaitu Power distance, Uncertainty Avoidance, Individual vs
Collectivism, Masculinity vs Femininity, Long Term vs Short Term Orientation, Indulgence vs
Restraint, dan Monumentalism vs Self-effacement. Skala ini berisikan item-item yang
mewakili masing-masing dimensi. Dari hasil pengukuran akan muncul mean skor total yang
menggambarkan nilai budaya organisasi pada karyawan.
2.2
Kepuasan Kerja
Dalam memahami permasalahan mengenai karyawan dalam setiap organisasi, dimulai
dari suatu kenyataan bahwa seorang karyawan adalah seorang manusia individual. Sebagai
seorang individu, karyawan itu memiliki hal-hal khusus yang menyangkut masalah sikap,
perilaku, dan kebiasaan yang tumbuh dan dibentuk berdasarkan keadaan lingkungan kerjanya
dan menjadi pendorong bagi para karyawan untuk mengarahkan perilakunya agar dapat
mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhannya. Jika tujuan atau kebutuhannya telah
terpenuhi, maka manusia akan merasa puas. Maka dalam organisasi, pencapaian tujuan harus
meliputi tujuan individu dan tujuan organisasi agar tercipta keharmonisan dalam lingkungan
kerja. Kepuasan kerja akan timbul apabila kebutuhan tujuan seorang karyawan dalam bekerja
terpenuhi.
Kepuasan kerja mencerminkan sikap karyawan terhadap pekerjaannya
(Wijono, 2006). Jika karyawan bersikap positif terhadap pekerjaannya, maka ia akan
memperoleh perasaan puas. Sebaliknya, jika karyawan bersiap negatif (tidak suka), maka ia
akan merasa tidak puas terhadap apa yang dikerjakannya.
2.2.1 Definisi kepuasan kerja
Kepuasan kerja adalah cara seseorang merasakan pekerjaan-pekerjaannya, Wexley
dan Yuki, (1977). Kepuasan kerja merupakan generalisasi sikap-sikap terhadap pekerjaannya
yang didasarkan atas aspek-aspek pekerjaan yang bermacam-macam. Manusia pada
hakekatnya selalu mencari kepuasan baik lahir maupun batin, dan kepuasan itu akan dapat
dicapai dengan segala usaha. Sejalan dengan penelitiannya, Kinicki & Carson, (2002) juga
mengatakan hal yang sama dalam penelitiannya, dimana kepuasan kerja adalah sesuatu yang
mengacu pada perasaan positif atau negatif terhadap pekerjaan dan perusahaan tempat
seseorang bekerja.
Kepuasan kerja merupakan sesuatu yang bersifat individual Kreitner & Kinicki,
(2003). Ia menjelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan respon karyawan terhadap berbagai
aspek pekerjaan. Respon tersebut dibentuk berdasarkan persepsi individu. Karena setiap
individu memiliki persepsi yang berbeda akan setiap kejadian, termasuk berbagai aspek
pekerjaan, maka sumber kepuasan yang dihasilkan juga akan berbeda-beda pula. Hal ini
menggambarkan bahwa kepuasan kerja tidak hanya berfokus pada satu aspek yang terdapat
pada pekerjaan. Seseorang bisa memiliki tingkat kepuasan yang tinggi pada suatu aspek
pekerjaan dan tingkat kepuasan kerja yang rendah pada aspek lain. Contoh lain, dua orang
yang memiliki pekerjaan, tugas serta kewajiban yang sama dapat memiliki tingkat kepuasan
kerja yang berbeda. Keadaan tersebut dikarenakan sumber kepuasan kerja setiap individu
yang berbeda-beda.
2.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja
Ada lima faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja menurut Kreitner dan
Kinicki, (2001) yaitu sebagai berikut :
1. Pemenuhan kebutuhan (Need fulfillment)
Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan
pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Perbedaan (Discrepancies)
Kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan
mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan apa yang diperoleh
individu dari pekerjaannya. Bila harapan lebih besar dari apa yang diterima, orang
akan tidak puas. Sebaliknya individu akan puas bila menerima manfaat diatas
harapan.
3. Pencapaian nilai (Value attainment)
Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai
kerja individual yang penting.
4. Keadilan (Equity)
Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja.
5. Komponen genetik (Genetic components)
Kepuasan kerja merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Hal ini
menyiratkan perbedaan sifat individu mempunyai arti penting untuk menjelaskan
kepuasan kerja disampng karakteristik lingkungan pekerjaan.
2.2.2. Faktor penentu kepuasan kerja
Menurut Robbins & Judge, (2013) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan
kerja, yaitu :
1. Work itself
Pekerjaan yang kurang menantang akan menimbulkan kebosanan, tetapi yang terlalu
menantang juga akan mengakibatkan stress dan perasaan gagal. Maka karyawan lebih
menyukai pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan
keterampilan serta kemampuan mereka dan menawarkan beraneka ragam tugas,
kebebasan, dan umpan balik dari apa yang telah mereka kerjakan.
2. Pay
Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijaksanaan promosi yang adil dan
sesuai dengan pengharapan mereka dari pekerjaan yang mereka lakukan.
3. Promotion
Kepuasan kerja dapat dikaitkan dengan masalah kenaikan pangkat atau jabatan,
kesempatan yang diberikan untuk maju, serta pengembangan karir.
4. Supervision
Perilaku atasan memiliki hubungan positif dan signifikan dengan kepuasan kerja.
Perilaku yang dimaksud meliputi hubungan antara karyawan dengan atasan,
pengawasan kerja dan kualitas kerja.
5. Cowokers
Hal ini terkait dengan hubungan antar karyawan. Rekan kerja yang kooperatif
merupakan sumber kepuasan kerja yang paling sederhana.
2.3
Kerangka Berpikir
Hasil wawancara dengan para kayawan Building Management menunjukkan bahwa
perilaku yang ditampilkan karyawan merupakan perilaku yang didasari oleh peraturan dan
nilai-nilai organisasi. Contohnya seperti adanya aturan-aturan organisasi yang harus dipatuhi
oleh seluruh karyawannya, yaitu kedisiplinan dalam waktu bekerja dan berpakaian,
membantu karyawan lain, berpatisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi karena
adanya dorongan dari rekan kerja yang menimbulkan inisiatif tersendiri dari masing-masing
individu. Menurut Social exchange theory sikap dan perilaku karyawan terhadap organisasi
ditentukan oleh persepsinya terhadap atasan dan organisasi Lee, Kim, & Kim, (2013).
Menurut penelitiannya, persepsi karyawan menilai hal-hal yang diberikan oleh organisasi
sebagai hal yang baik, maka menurut konsep timbal balik (reciprocity) social exchange
theory, karyawan tersebut akan memberikan respon positif yang dapat menguntungkan
organisasi, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, karyawan yang merasa nyaman dengan
budaya dalam organisasinya, tidak menutup kemungkinan akan merasa puas terhadap
pekerjaan yang dijalaninya. Persepsi tersebut akan mendorong karyawan untuk memberikan
imbalan positif kepada perusahaan, begitu juga sebaliknya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Marie (2004) yang menyatakan bahwa semakin
baik budaya yang diterapkan dalam suatu organisasi, maka semakin tinggi pula rasa puas
yang dirasakan oleh anggotanya. Karena dalam penelitian yang dilakukannya, ia
mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang cukup signifikan antara budaya organisasi
dengan kepuasan kerja karyawan.
Kajian teoritis, literatur, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya organisasi
memiliki hubungan dengan tingkat kepuasan kerja karyawan Dina, A. & Diah, A. (2012).
Untuk itu peneliti ingin mengetahui secara lebih mendalam, apakah budaya organisasi
memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja? Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat
dilihat pada bagan berikut.
2.4
Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan yang merupakan dugaan sementara mengenai masalah
yang sedang diteliti Nasution dalam Sarwono, (2006). Berdasarkan permasalahan yang telah
dikemukakan pada latar belakang serta didukung oleh teori-teori dan pendapat para ahli yang
terkait, maka hipotesis dalam penelitian ini, yaitu:
H01 :
Tidak ada hubungan dimensi power distance dengan kepuasan kerja.
H02 :
Tidak ada hubungan dimensi uncertainty avoidance dengan kepuasan kerja.
H03 :
Tidak ada hubungan dimensi individualism vs collectivism dengan kepuasan
kerja.
H04 :
Tidak ada hubungan dimensi masculinity vs femininity dengan kepuasan kerja.
H05 :
Tidak ada hubungan dimensi long term vs short term orientation dengan
kepuasan
kerja.
H06 :
Tidak ada hubungan dimensi indulgance vs restraint dengan kepuasan kerja.
H07 :
Tidak ada hubungan dimensi monumentalism vs self-effacement dengan
kepuasan
kerja
Ha1 :
Ada hubungan dimensi power distance dengan kepuasan kerja.
Ha2 :
Ada hubungan dimensi uncertainty avoidance dengan kepuasan kerja.
Ha3 :
Ada hubungan dimensi individualism vs collectivism dengan kepuasan kerja.
Ha4 :
Ada hubungan dimensi masculinity vs femininity dengan kepuasan kerja.
Ha5 :
Ada hubungan dimensi long term vs short term orientation dengan kepuasan
kerja.
Ha6 :
Ada pengaruh dimensi indulgance vs restraint dengan kepuasan kerja
Ha7 :
Ada pengaruh dimensi monumentalism vs self-effacement dengan kepuasan
kerja.
Download