BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Organisasi 2.1.1 Definisi organisasi Organisasi menurut Robbins (1990) merupakan sebuah entitas sosial yang terkoordinasi secara sadar dengan ikatan yang relatif dapat diidentifikasi, yang memiliki fungsi mendasar dari keanggotaannya yang bersifat berkelanjutan, untuk mencapai sebuah tujuan umum atau seperangkat tujuan bersama. Dengan lebih rinci, Robbins menjelaskan definisi tersebut menjadi sebagai berikut: 1. Entitas sosial berarti bahwa organisasi merupakan sebuah unit yang terdiri dari orangorang atau sekelompok orang yang saling berinteraksi satu sama lain. Karena organisasi merupakan sebuah entitas sosial, maka pola interaksi yang berkembang antaranggotanya haruslah terjalin dengan harmonis dan serasi untuk meminimalisir hal-hal yang dapat mengacaukan organisasi. Implikasi paling penting dari definisi ini adalah secara eksplisit adanya kebutuhan untuk menjalankan koordinasi sebagai pola umum interaksi yang terjadi antaranggota organisasi. 2. Terkoordinasi secara sadar bermakna bahwa dalam sebuah organisasimemerlukan sebuah manajemen atau pihak yang menjalankan fungsi manajerial. 3. Organisasi memiliki ikatan yang secara relatif dapat diidentifikasi. Hal ini berarti ikatan dalam organisasi tersebut bisa saja berubah dari waktu ke waktu dan ada kemungkinan tidak senantiasa jelas dalam perkembangannya. Namun hal yang harus selalu jelas dalam ikatan ini adalah adanya ikatan yang secara definitif dapat membedakan antara anggota organisasi dengan non-anggota organisasi. 4. Individu-individu dalam organisasi memiliki ikatan keanggotaan yang kontinyu. Ini tidak berarti bahwa status keanggotaan dalam organisasi berlangsung seumur hidup. Justru secara konstan, biasanya organisasi akan melakukan pergantian anggota, meskipun besar kemungkinan tetap ada anggota organisasi yang bertahan menjadi anggota, dengan derajat keanggotaan yang berubah. 5. Organisasi didirikan untuk mencapai sebuah tujuan bersama. Hal ini berarti bahwa tujuan besar tersebut tidak dapat dicapai jika hanya diusahakan seorang diri. Adanya kerja bersama dengan individu lain memungkinkan tujuan bersama yang ingin diraih, dapat dicapai dengan lebih efisien. 2.1.2 Jenis organisasi Schein (1980) membagi jenis-jenis organisasi berdasarkan sifat koordinasinya. Berdasarkan hal tersebut, maka organisasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis. 1. Organisasi formal. Dalam organisasi jenis ini, terdapat tujuan dan hirarki kewenangan yang jelas. Pola-pola koordinasi yang diterapkan pun bersifat rasional, dibagi sesuai dengan fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. 2. Organisasi sosial. Pada jenis organisasi ini, koordinasi yang muncul bersifat spontan tanpa melibatkan pembagian tugas dan koordinasi yang rasional demi mencapai tujuan bersama. Diantara jenis organisasi ini adalah hubungan teman atau peer group. Dalam hubungan teman, mungkin saja terdapat kesepakatan bersama untuk melakukan suatu aktivitas dan keinginan mencapai suatu tujuan bersama. 3. Organisasi informal, merupakan organisasi yang pola koordinasinya hadir diantara para anggota organisasi formal yang sebenarnya tidak terdapat dalam cetak biru organisasi. Dalam sebuah organisasi, Munandar (2001) menyebutkan bahwa secara struktural akan terdapat dua jenis kelompok kerja. Kelompok dalam organisasi ini dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni kelompok formal dan kelompok informal. Kelompok formal diberi batasan oleh struktur organisasi yang berisi rincian tugas-tugas pekerjaan dan tanggung jawab tertentu, yang pelaksanaannya diarahkan pada tercapainya tujuan organisasi. Kelompok informal merupakan organisasi yang tidak diberi batasan oleh struktur organisasi dan terjadi secara spontan antara sejumlah tenaga kerja sebagai jawaban terhadap kebutuhankebutuhan tertentu. Kelompok formal dapat dibedakan menjadi kelompok komando dan kelompok tugas (Robbins, dalam Munandar (2001). Ciri khas pada kelompok komando adalah adanya sejumlah staf yang melapor secara langsung kepada seorang manajer tertentu. Sementara kelompok tugas merupakan kelompok dalam yang terdiri dari tenaga kerja yang bekerja bersama untuk menyelesaikan pekerjaan. Secara definitif, kelompok komando dapat juga dikategorikan sebagai kelompok tugas. Hal yang membedakan adalah pada kelompok tugas mungkin saja terdiri dari tenaga kerja yang berasal dari satuan-satuan kerja lain dalam organisasi dan bersifat sementara. Berdasarkan definisi di atas, Building Management yang akan diteliti termasuk dalam organisasi formal yang didalamnya terdapat kelompok formal. Hal ini dikarenakan dalam Building Management terdapat tujuan dan hirarki kewenangan yang jelas. Terdapat koordinasi dan dibagi sesuai dengan fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Building Management memiliki struktur dan tata kerja yang jelas serta terdapat kelompok formal yang diberi batasan oleh struktur organisasi yang berisi rincian tugas-tugas pekerjaan dan tanggung jawab tertentu, yang pelaksanaannya tentu diarahkan pada tercapainya tujuan organisasi. 2.2 Budaya Organisasi 2.2.1 Definisi budaya organisasi Menurut Robbins (2003) budaya organisasi merupakan sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh suatu organisasi. Budaya organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan mempersepsikan karakteristik dari suatu budaya organisasi, bukan dengan apakah para karyawan menyukai budaya atau tidak. Sementara itu, Schein (1992) mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi. Budaya organisasi merupakan saripati dari kesuksesan organisasi manapun (Schein, 1992). Organisasi dapat saja merubah produk, jasa pelayanan, dan kepemimpinan, tapi akan sangat sulit merubah budaya organisasi. Pembelajaran organisasi, perkembangan dan perubahan organisasi tidak dapat dipahami kecuali dengan memperhatikan budaya sebagai sumber utama resistensi perubahan. Schein (1992) mengungkapkan tiga tingkatan budaya organisasi, yaitu: 1. Artifacts Adalah tingkat permukaan budaya yang dapat dilihat, seperti lingkungan fisik, gaya berpakaian, bahasa dan perilaku anggota organisasi. 2. Espoused Values Lebih dalam dari artifacts, yang berupa strategi, tujuan dan filosofi organisasi. Semua hal tersebut merefleksikan nilai-nilai yang dibagikan dalam organisasi dalam merancang suatu pemecahan masalah. Nilai-nilai tersebut akan menjadi keyakinan anggota kelompok dalam berhubungan satu sama lain, menjalankan tugas dan kewenangan, serta merumuskan apa yang ideal. 3. Basic Assumption Values Inti dari budaya dan sulit dimengerti karena berada dalam level bawah sadar. Asumsi dasar menjadi kunci dalam memahami kenapa seseorang melakukan sesuatu. Asumsi dasar akan menjadi pemandu dalam perilaku anggota organisasi dan menyatakan kepada kelompok bagaimana seharusnya melihat, memikirkan dan merasakan sesuatu. Sejalan dengan Schein, Parsons (dalam Hofstede, 1980) mendefinisikan budaya organisasi sebagai isi dari pola nilai-nilai, ide-ide, dan sistem simbolis yang bermakna yang diwariskan dan dibentuk, sebagai faktor dalam membentuk perilaku manusia dan bendabenda (hasil karya) yang mereka hasilkan melalui perilaku. Sedangkan Hofstede (1980) mendefinisikan budaya organisasi sebagai program dari pikiran yang bersifat kolektif (bersama) yang membedakan anggota dari suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Dengan kata lain, budaya terbentuk karena pola cara berpikir, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan yang akan diteruskan biasanya dengan symbol, merupakan pencapaian khusus bagi sekelompok manusia meliputi perwujudan mereka dalam benda-benda hasil karya mereka, inti yang paling penting dari budaya yaitu terdiri dari ide-ide tradisional (yaitu yang menurut sejarah didapatkan dan dipilih) dan khususnya nilai-nilai yang melekat pada mereka (Nasrul, 2009). Disamping itu, Hofstede (1980) mengatakan bahwa nilai merupakan dasar sebagai pembentuk budaya. Kuckhohn (dalam Hofstede, 1980) mengatakan bahwa nilai adalah sebuah konsepsi, eksplisit atau implisit, yang membedakan individual atau karakteristik dari sebuah grup, yang diinginkan dan memberikan pengaruh dalam seleksi dari modus, means dan tindakan akhir yang ada. Hofstede (1980) berpendapat bahwa nilai merupakan kecenderungan yang luas untuk memilih suatu hal atau keadaan dibandingkan pilihan lainnya. Definisi Hofstede tersebut merupakan penyederhanaan dari Kluckhohn. Nilai merupakan program mental individu, namun pada tingkat kolektif (bersama) terdapat sistem nilai yang terdapat dalam budaya kelompok atau organisasi (Hofstede, 1980). Program mental dikembangkan oleh setiap individu dan diperkuat dalam sekolah dan organisasi. Program mental akan terekspresikan dalam nilai-nilai baik nilai individu maupun nilai kolektif (Hofstede, 1980). Definisi-definisi di atas saling menguatkan satu dengan yang lain. Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan suatu program kolektif berupa sikap, tingkah laku, dan simbol dalam pikiran suatu masyarakat yang kemudian di share ke dalam organisasi tertentu dan dapat mempengaruhi cara hidup bersama, sehingga membedakannya dengan organisasi lain. Budaya organisasi merupakan sesuatu yang dipelajari dan bukan pembawaan sejak lahir individu. Budaya dapat diperoleh melalui lingkungan sosial seseorang. Wujud budaya dapat berupa simbol, pahlawan, ritual dan nilai (Hofstede, 1980). Budaya organisasi dalam hal ini merujuk pada sistem nilai, karena nilai merupakan unsur dasar sebagai pembentuk suatu budaya, dan nilai merupakan kecenderungan sekelompok orang sebagai hasil interaksi program mental individu dengan lingkungan organisasinya yang digunakan untuk memberikan respon pada suatu permasalahan (Hofstede, 1980). 2.2.2 Terbentuknya budaya organisasi Terbentuknya budaya tentu saja tidak dalam waktu yang sekejap. Pembentukan suatu budaya, memerlukan waktu bertahun-tahun, puluhan tahun, bahkan ratusan tahun lamanya agar terbentuk suatu budaya, Ndraha T. (2004). Pembentukan budaya diawali melalui proses sebagai berikut : 1. Seseorang memiliki gagasan untuk mendirikan sebuah organisasi atau perusahaan. 2. Ia mampu menggali dan mengerahkan sumber dengan orang-orang yang sepaham dan setujuan dengannya (SDM), biaya, dan teknologi. 3. Meletakkan dasar organisasi, berupa susunan organisasi dan tata kerja. Budaya asli diturunkan dari filsafat pendirinya, selanjutnya budaya ini akan sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam mempekerjakan karyawan. Tindakan dari manajemen puncak dewasa ini menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima dan yang tidak. Bagaimana karyawan harus disosialisasikan akan bergantung, baik pada tingkat kesukses yang dicapai dalam mencocokan nilai-nilai karyawan baru dengan nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi maupun pada preferensi manajemen puncak akan metodemetode sosialisasi. 2.2.3 Fungsi budaya organisasi Robbins (2003) menyatakan bahwa budaya menjalankan sejumlah fungsi di dalam sebuah organisasi, yaitu: a. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, yang artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi yang lain. b. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi. c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas dari pada kepentingan pribadi seseorang. d. Budaya memantapkan sistem sosial, yang artinya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan suatu organisasi dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan. e. Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan. 2.2.4 Tipe budaya organisasi Kreitner dan Kinicki (2001) dalam Wibowo (2010: 30) mengemukakan adanya 3 (tiga) tipe umum budaya organisasi antara lain: a. Budaya konstruktif (constructive culture) merupakan budaya di mana pekerja didorong untuk berinteraksi dengan orang lain dan bekerja pada tugas dan proyek dengan cara yang akan membantu mereka dalam memuaskan kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang. b. Budaya pasif-defensif (passive-defensive culture) mempunyai karakteristik menolak keyakinan bahwa pekerja harus berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang tidak menantang keamanan mereka sendiri. c. Budaya agresif-defensif (aggressive-defensive culture) mendorong pekerja mendekati tugas dengan cara memaksa dengan maksud melindungi status dan keamanan kerja mereka. 2.2.5 Dimensi budaya organisasi Hofstede mengungkapkan 7 dimensi budaya organisasi, yaitu : Power distance, Uncertainty Avoidance, Individual vs Collectivism, Masculinity vs Femininity, Long Term vs Short Term Orientation, Indulgence vs Restraint, dan Monumentalism vs Self-effacement, Hofstede, dkk. (2008). 1. Power Distance Hofstede (1980) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan power distance adalah kondisi dimana individu-individu yang memiliki power ataupun kedudukan yang lebih rendah dalam struktur suatu masyarakat ataupun organisasi menerima keadaan dimana kekuasaan didistribusikan secara tidak merata. Pada negara-negara dimana power distance rendah ditemukan kepercayaan bahwa setiap orang adalah sederajat dan harus memiliki hak sama serta memiliki kesempatan yang sama untuk merubah status sosialnya di masyarakat. Manajemen yang efektif pada masyarakat dengan power distance yang tinggi adalah dengan hierarkhi yang jelas, pengambilan keputusan yang sentralistis dan kepemimpinan yang otoriter (Punnett & Ricks, 1992). Di sisi lain, lanjut Punnett dan Ricks (1992), struktur organisasi yang mendatar dengan hierarki yang lebih sedikit, lebih sedikit pengawas dan gaya kepemimpinan yang demokratis akan lebih efektif jika diterapkan pada negara-negara dengan power distance rendah. Power distance merupakan suatu pengukuran yang dilakukan terhadap kewenangan yang ada dalam hubungan antar pribadi, atau kewenangan untuk mempengaruhi yang terjadi antara antasan dengan bawahan berdasarkan persepsi yang menjadi bawahan (Hofstede, 1980). Hofstede menyatakan power distance antara seorang atasan dan bawahan dalam suatu hirarkhi merupakan perbedaan antara taraf yang dimiliki atasan yang dapat menentukan perilaku bawahan dengan taraf yang dimiliki bawahan yang dapat menentukan perilaku atasan. Dari hasil pengukuran terhadap power distance diperoleh indeks power distance, yang bisa bersifat tinggi atau rendah, serta konsekuensi dari derajat indeks power distance terhadap organisasi yang berkaitan erat dengan pola perilaku anggota-anggotanya (Sukhirman, 1996). 2. Uncertainty Avoidance Uncertainty avoidance diartikan sebagai besarnya perasaan terancam oleh situasi yang ambigu atau tidak dikenal pada anggota kelompok budaya tertentu. Masyarakat dengan tingkat uncertainty avoidance yang tinggi mengharapkan kepastian dan rasa aman serta menghindari ketidakpastian. Sementara pada masyarakat dengan tingkat uncertainty avoidance yang rendah menunjukkan bahwa masyarakat tersebut merasa nyaman pada kondisi yang penuh ketidakpastian. Banyak masyarakat yang memandang kepastian sebagai suatu kebutuhan sehingga masyarakat tersebut dapat melakukan fungsinya tanpa khawatir dengan akibat-akibat dari ketidakpastian, namun juga terdapat masyarakat yang memandang ketidakpastian sebagai suatu tantangan dan kesempatan bagi munculnya inovasi dan perubahan. Menurut Punnett & Ricks (1992) manajemen yang efektif pada negara-negara dengan skor uncertainty avoidance tinggi adalah dengan memenuhi job security, wewenang dan tanggung jawab yang jelas, dan berusaha mengurangi ketidakpastian sedangkan kebalikannya pada negara-negara dengan uncertainty avoidance yang rendah maka job security tidak terlalu mendapat perhatian, risks taking didukung dan didorong, keputusan diambil dalam waktu relatif singkat dan dengan informasi yang relatif sedikit. Indonesia memiliki skor 48 dari hasil penelitian Hofstede (1980). Hal itu berarti Indonesia termasuk moderat dalam penghindaran ketidakpastian. 3. Individual vs Collectivism Individualism adalah dimensi budaya ketiga yang dipilih Hofstede untuk menggambarkan ciri suatu budaya. Individualism adalah kriteria yang menggambarkan longgarnya ikatan antar anggota suatu masyarakat dimana seseorang hanya memikirkan dirinya atau keluarga dekatnya semata sedangkan sebaliknya collectivism lebih menekankan pada kekohesivan kelompok. Hofstede mengukur dimensi budaya ketiga ini secara kontinum dengan individualism pada satu sisi dan collectivism di sisi lainnya. Indonesia memiliki skor 14 dalam penelitian Hofstede (1980) yang mengindikasikan nilai budaya yang dianggap penting dalam Indonesia adalah collectivism. Punnett dan Ricks (1992) menyarankan manajemen yang efektif pada negara dengan budaya individualis adalah merancang kebijakan dan prosedur dimana seseorang dapat berinisiatif, mengambil keputusan dan menyelesaikan pekerjaannya sendiri. Pada negaranegara yang kolektivis maka sebaliknya; keputusan kelompok, aktivitas kelompok, dan pekerjaan kelompok. 4. Masculinity vs Femininity Maskulinitas dalam hal ini mengacu dan menekankan pada nilai-nilai seperti assertif, ambisi, kinerja, pencapaian dan materi. Sedangkan femininity lebih menekankan pada kualitas hidup dan kepedulian terhadap lingkungan. Pada masyarakat dengan maskulinitas yang rendah, baik wanita maupun pria, diharapkan untuk sederhana, berperilaku halus dan peduli terhadap kualitas hidup. Punnett dan Ricks (1992) menyarankan manajemen yang efektif pada masyarakat dengan maskulinitas tinggi adalah memberikan deskripsi pekerjaan dan tanggung jawab, menekankan pada pencapaian dan memberikan reward dalam bentuk uang pada yang berprestasi baik. Pada masyarakat dengan maskulinitas rendah maka tekankan pada halhal yang mendukung kualitas pekerjaan seperti lingkungan pekerjaan yang kondusif dan akrab serta mendasarkan reward selain dari faktor kinerja semata. Indonesia tergolong menengah dalam maskulinitas dengan skor 48. 5. Long Term vs Short Term Orientation Long Term Orientaton (LTO) merupakan masyarakat dengan orientasi jangka panjang yang menumbuhkan nilai-nilai yang terkait dengan reward di masa depan, seperti kegigihan, dan penghematan. Sedangkan Short Term Orientation adalah masyarakat yang lebih menumbuhkan nilai-nilai yang terkait dengan masa lalu dan masa kini, seperti penghormatan terhadap tradisi, menyelamatkan harga diri seseorang, dan memenuhi kewajiban sosial. Dalam penelitiannya, Hofstede mengatakan bahwa negara-negara yang memiliki skor LTO yang tinggi, masyarakatnya cenderung merasa lebih puas apabila dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki skor LTO rendah. Dalam hal ini, Indonesia mendapatkan skor 62, dan skor tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia cenderung mengutamakan kejujuran, kemampuan beradaptasi serta kedisiplinan diri. 6. Indulgence vs Restraint Indulgence merefleksikan masyarakat yang dalam tatanan sosialnya sangat mentoleransi pengekspresian hasrat dan perasaan, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan waktu luang, mencari hiburan bersama teman, pembelian barang, konsumsi, dan hal-hal yang berbau seksual. Sedangkan Restraint merefleksikan masyarakat yang menahan kesenangan-kesenangan yang disebutkan sebelumnya. Masyarakat yang masuk dalam kategori ini cenderung kurang dapat menikmati hidup. Menurut survey dalam penelitian yang dilakukan Hofstede, indonesia memiliki skor rendah, yaitu 38. Skor tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat indonesia cenderung memiliki kepribadian extrovert, memiliki keinginan untuk memiliki hubungan pertemanan, serta memanfaatkan setiap peluang dan kesempatan. 7. Monumentalism vs Self-effacement Monumentalism merefleksikan masyarakat yang secara metaforis “seperti monumen” - tinggi menjulang (menunjukan kebanggaan) dan tidak tergoyahkan. Self-effacement, menunjukan masyarakat yang menghargai kerendahan hati dan elektabilitas. 2.2.6 Cara mengukur nilai budaya organisasi Budaya Organisasi dapat diukur dengan skala yang dikembangkan oleh Hofstede yaitu Value Survey Module. Alat ukur ini merepresentasikan dimensi-dimensi nilai yang dikemukakan oleh Hofstede, yaitu Power distance, Uncertainty Avoidance, Individual vs Collectivism, Masculinity vs Femininity, Long Term vs Short Term Orientation, Indulgence vs Restraint, dan Monumentalism vs Self-effacement. Skala ini berisikan item-item yang mewakili masing-masing dimensi. Dari hasil pengukuran akan muncul mean skor total yang menggambarkan nilai budaya organisasi pada karyawan. 2.2 Kepuasan Kerja Dalam memahami permasalahan mengenai karyawan dalam setiap organisasi, dimulai dari suatu kenyataan bahwa seorang karyawan adalah seorang manusia individual. Sebagai seorang individu, karyawan itu memiliki hal-hal khusus yang menyangkut masalah sikap, perilaku, dan kebiasaan yang tumbuh dan dibentuk berdasarkan keadaan lingkungan kerjanya dan menjadi pendorong bagi para karyawan untuk mengarahkan perilakunya agar dapat mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhannya. Jika tujuan atau kebutuhannya telah terpenuhi, maka manusia akan merasa puas. Maka dalam organisasi, pencapaian tujuan harus meliputi tujuan individu dan tujuan organisasi agar tercipta keharmonisan dalam lingkungan kerja. Kepuasan kerja akan timbul apabila kebutuhan tujuan seorang karyawan dalam bekerja terpenuhi. Kepuasan kerja mencerminkan sikap karyawan terhadap pekerjaannya (Wijono, 2006). Jika karyawan bersikap positif terhadap pekerjaannya, maka ia akan memperoleh perasaan puas. Sebaliknya, jika karyawan bersiap negatif (tidak suka), maka ia akan merasa tidak puas terhadap apa yang dikerjakannya. 2.2.1 Definisi kepuasan kerja Kepuasan kerja adalah cara seseorang merasakan pekerjaan-pekerjaannya, Wexley dan Yuki, (1977). Kepuasan kerja merupakan generalisasi sikap-sikap terhadap pekerjaannya yang didasarkan atas aspek-aspek pekerjaan yang bermacam-macam. Manusia pada hakekatnya selalu mencari kepuasan baik lahir maupun batin, dan kepuasan itu akan dapat dicapai dengan segala usaha. Sejalan dengan penelitiannya, Kinicki & Carson, (2002) juga mengatakan hal yang sama dalam penelitiannya, dimana kepuasan kerja adalah sesuatu yang mengacu pada perasaan positif atau negatif terhadap pekerjaan dan perusahaan tempat seseorang bekerja. Kepuasan kerja merupakan sesuatu yang bersifat individual Kreitner & Kinicki, (2003). Ia menjelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan respon karyawan terhadap berbagai aspek pekerjaan. Respon tersebut dibentuk berdasarkan persepsi individu. Karena setiap individu memiliki persepsi yang berbeda akan setiap kejadian, termasuk berbagai aspek pekerjaan, maka sumber kepuasan yang dihasilkan juga akan berbeda-beda pula. Hal ini menggambarkan bahwa kepuasan kerja tidak hanya berfokus pada satu aspek yang terdapat pada pekerjaan. Seseorang bisa memiliki tingkat kepuasan yang tinggi pada suatu aspek pekerjaan dan tingkat kepuasan kerja yang rendah pada aspek lain. Contoh lain, dua orang yang memiliki pekerjaan, tugas serta kewajiban yang sama dapat memiliki tingkat kepuasan kerja yang berbeda. Keadaan tersebut dikarenakan sumber kepuasan kerja setiap individu yang berbeda-beda. 2.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja Ada lima faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja menurut Kreitner dan Kinicki, (2001) yaitu sebagai berikut : 1. Pemenuhan kebutuhan (Need fulfillment) Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya. 2. Perbedaan (Discrepancies) Kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan apa yang diperoleh individu dari pekerjaannya. Bila harapan lebih besar dari apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya individu akan puas bila menerima manfaat diatas harapan. 3. Pencapaian nilai (Value attainment) Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting. 4. Keadilan (Equity) Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja. 5. Komponen genetik (Genetic components) Kepuasan kerja merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Hal ini menyiratkan perbedaan sifat individu mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja disampng karakteristik lingkungan pekerjaan. 2.2.2. Faktor penentu kepuasan kerja Menurut Robbins & Judge, (2013) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu : 1. Work itself Pekerjaan yang kurang menantang akan menimbulkan kebosanan, tetapi yang terlalu menantang juga akan mengakibatkan stress dan perasaan gagal. Maka karyawan lebih menyukai pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan serta kemampuan mereka dan menawarkan beraneka ragam tugas, kebebasan, dan umpan balik dari apa yang telah mereka kerjakan. 2. Pay Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijaksanaan promosi yang adil dan sesuai dengan pengharapan mereka dari pekerjaan yang mereka lakukan. 3. Promotion Kepuasan kerja dapat dikaitkan dengan masalah kenaikan pangkat atau jabatan, kesempatan yang diberikan untuk maju, serta pengembangan karir. 4. Supervision Perilaku atasan memiliki hubungan positif dan signifikan dengan kepuasan kerja. Perilaku yang dimaksud meliputi hubungan antara karyawan dengan atasan, pengawasan kerja dan kualitas kerja. 5. Cowokers Hal ini terkait dengan hubungan antar karyawan. Rekan kerja yang kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja yang paling sederhana. 2.3 Kerangka Berpikir Hasil wawancara dengan para kayawan Building Management menunjukkan bahwa perilaku yang ditampilkan karyawan merupakan perilaku yang didasari oleh peraturan dan nilai-nilai organisasi. Contohnya seperti adanya aturan-aturan organisasi yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawannya, yaitu kedisiplinan dalam waktu bekerja dan berpakaian, membantu karyawan lain, berpatisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi karena adanya dorongan dari rekan kerja yang menimbulkan inisiatif tersendiri dari masing-masing individu. Menurut Social exchange theory sikap dan perilaku karyawan terhadap organisasi ditentukan oleh persepsinya terhadap atasan dan organisasi Lee, Kim, & Kim, (2013). Menurut penelitiannya, persepsi karyawan menilai hal-hal yang diberikan oleh organisasi sebagai hal yang baik, maka menurut konsep timbal balik (reciprocity) social exchange theory, karyawan tersebut akan memberikan respon positif yang dapat menguntungkan organisasi, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, karyawan yang merasa nyaman dengan budaya dalam organisasinya, tidak menutup kemungkinan akan merasa puas terhadap pekerjaan yang dijalaninya. Persepsi tersebut akan mendorong karyawan untuk memberikan imbalan positif kepada perusahaan, begitu juga sebaliknya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Marie (2004) yang menyatakan bahwa semakin baik budaya yang diterapkan dalam suatu organisasi, maka semakin tinggi pula rasa puas yang dirasakan oleh anggotanya. Karena dalam penelitian yang dilakukannya, ia mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang cukup signifikan antara budaya organisasi dengan kepuasan kerja karyawan. Kajian teoritis, literatur, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya organisasi memiliki hubungan dengan tingkat kepuasan kerja karyawan Dina, A. & Diah, A. (2012). Untuk itu peneliti ingin mengetahui secara lebih mendalam, apakah budaya organisasi memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja? Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut. 2.4 Hipotesis Hipotesis adalah pernyataan yang merupakan dugaan sementara mengenai masalah yang sedang diteliti Nasution dalam Sarwono, (2006). Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan pada latar belakang serta didukung oleh teori-teori dan pendapat para ahli yang terkait, maka hipotesis dalam penelitian ini, yaitu: H01 : Tidak ada hubungan dimensi power distance dengan kepuasan kerja. H02 : Tidak ada hubungan dimensi uncertainty avoidance dengan kepuasan kerja. H03 : Tidak ada hubungan dimensi individualism vs collectivism dengan kepuasan kerja. H04 : Tidak ada hubungan dimensi masculinity vs femininity dengan kepuasan kerja. H05 : Tidak ada hubungan dimensi long term vs short term orientation dengan kepuasan kerja. H06 : Tidak ada hubungan dimensi indulgance vs restraint dengan kepuasan kerja. H07 : Tidak ada hubungan dimensi monumentalism vs self-effacement dengan kepuasan kerja Ha1 : Ada hubungan dimensi power distance dengan kepuasan kerja. Ha2 : Ada hubungan dimensi uncertainty avoidance dengan kepuasan kerja. Ha3 : Ada hubungan dimensi individualism vs collectivism dengan kepuasan kerja. Ha4 : Ada hubungan dimensi masculinity vs femininity dengan kepuasan kerja. Ha5 : Ada hubungan dimensi long term vs short term orientation dengan kepuasan kerja. Ha6 : Ada pengaruh dimensi indulgance vs restraint dengan kepuasan kerja Ha7 : Ada pengaruh dimensi monumentalism vs self-effacement dengan kepuasan kerja.