2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kerang Pisau (Solen spp) Kerang pisau (Solen spp) merupakan anggota dari famili Solenidae, yang biasa disebut Razor clams. Kelompok kerang ini mempunyai katup yang membuka satu sama lain, biasanya memanjang. Kerang ini tersebar di dasar substrat hampir di semua perairan laut dan jenis dari famili ini dapat dimakan (Morris 1951). Spesies kerang pisau (Solen spp) disebut juga short razor, mempunyai panjang hanya 2 atau 3 inchi (5-7,5 cm) pada pertumbuhan maksimal. Kerang jenis ini berbentuk tipis, memanjang, dan tutupnya terbuka satu sama lain. Permukaannya halus dan agak mengkilap dengan kerutan konsentris sangat redup. Morfologi kerang pisau dapat dilihat pada Gambar 1. Klasifikasi kerang pisau (Solen spp) menurut Tuaycharoen dan Matsukuma (2001) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Mollusca Sub filum : Conchifera Kelas : Bivalva Ordo : Heterodonta Sub ordo : Veneroida Famili : Solenidae Genus : Solen Spesies : Solen spp Gambar 1. Morfologi kerang pisau Habitat kerang pisau berupa pasir berlumpur dengan arus air laut yang lemah. Seperti halnya razor clams yang lain, kelompok kecil ini bersembunyi atau menggali secara vertikal pada substrat berpasir dan sedikit keluar pada saat pasang surut. Kerang pisau banyak ditemukan di sepanjang perairan pantai selatan Pamekasan, Madura dengan ciri pantai yang landai dan datar sehingga jika air laut surut jarak air dengan garis pantai dapat mencapai 200-300 m (Nurjanah et al. 2008). 2.2 Komposisi Kimia Kerang Pisau (Solen spp) Kerang-kerangan merupakan makanan laut sumber protein hewani dengan kategori complete protein, karena kadar asam amino esensialnya tinggi dan sekitar 85%-95% mudah dicerna tubuh. Selain itu, kerang-kerangan adalah makanan sumber vitamin larut lemak dan air. Kerang-kerangan juga merupakan sumber utama mineral yang dibutuhkan tubuh seperti iodium, besi, seng, selenium, kalsium, fosfor, kalium, dan fluor (Andamari R 1991 diacu dalam Rusyadi 2006). Komposisi kimia kerang sangat beraneka ragam. Hal ini tergantung dari spesies, jenis kelamin, umur, musim, dan habitat. Kandungan gizi kerang pisau dapat dilihat pada Tabel 1 . Tabel 1 Kandungan gizi kerang pisau (Solen spp) Komponen Kandungan (%bb) Kadar air 82,31 Kadar abu 2,63 Kadar lemak 0,32 Kadar protein 9,79 Kadar karbohidrat 4,95 Sumber : Nurjanah et al. (2008) Kandungan (%bk) 0 14,87 1,82 55,34 27,98 2.3 Radikal Bebas Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya (Soeatmaji 1998 diacu dalam Winarsih 2007). Radikal bebas merupakan hasil samping dari proses oksidasi atau proses metabolisme organisme aerobik. Pada sistem pertahanan tubuh, radikal bebas berperan untuk melawan virus dan bakteri yang masuk ke dalam tubuh. Radikal bebas yang dihasilkan berlebihan, dapat mengakibatkan kerusakan karena sifat molekul ini sangat reaktif. Molekul radikal bebas sangat mudah bereaksi dengan molekul lain dengan cara mengoksidasi sehingga dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap tubuh antara lain mengakibatkan kerusakan lipida, protein, DNA dan membran sel. Kerusakan-kerusakan tersebut dapat memicu timbulnya penyakit degeneratif seperti kanker, aterosklerosis, diabetes, dan tekanan darah tinggi (Santoso et al. 2010). Radikal bebas memiliki reaktivitas yang sangat tinggi, hal ini ditunjukkan oleh sifatnya yang segera menarik atau menyerang elektron di sekelilingnya. Reaktivitas radikal bebas merupakan upaya untuk mencari pasangan elektron. Dampak dari kerja radikal bebas tersebut, akan terbentuk radikal bebas baru yang berasal dari atom atau molekul yang elektronnya diambil untuk berpasangan dengan radikal sebelumnya. Dua senyawa radikal bertemu, elektron-elektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya, bila senyawa radikal bebas bertemu dengan senyawa yang bukan radikal bebas akan terjadi tiga kemungkinan, yaitu (1) radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak berpasangan (reduktor) kepada senyawa bukan radikal bebas, (2) radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas, (3) radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi 2007). Mekanisme reaksi radikal bebas digambarkan sebagai suatu deret reaksireaksi bertahap. Mekanisme reaksi tersebut dibagi menjadi tiga tahapan yaitu pembentukan awal radikal bebas (inisiasi), perambatan atau terbentuknya radikal baru (propagasi), dan tahap terakhir (terminasi), yaitu pemusnahan atau pengubahan menjadi radikal bebas stabil dan tak reaktif (Fessenden dan Fessenden1986). Radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu secara endogen (sebagai respon normal proses biokimia internal maupun eksternal) dan secara eksogen (berasal dari polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui injeksi) (Winarsi 2007). 2.4 Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif sehingga kerusakan sel akan dihambat (Winarsih 2007). Antioksidan mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya secara cuma-cuma kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali dan dapat memutuskan reaksi berantai dari radikal bebas (Kumalaningsih 2006). Senyawa antioksidan dapat berfungsi sebagai penangkap radikal bebas, pembentuk kompleks logam-logam prooksidan dan berfungsi sebagai senyawa pereduksi. Antioksidan dapat menangkap radikal bebas sehingga menghambat mekanisme oksidatif yang merupakan penyebab penyakit-penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, kanker, katarak, disfungsi otak, dan artritis (Sofia 2008). Antioksidan dibagi dalam dua kelompok berdasarkan sumbernya, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Ada beberapa antioksidan sintetik yang umum digunakan di seluruh dunia, yaitu butylatedhydroxytoluene (BHT), butylatedhydroxyanysole (BHA), propilgalat, tert-butyl hydroxy quinon (TBHQ), propylgallate (PG), nordihidroquairetic acid (NDGA) dan α- tokoferol. Butylatedhydroxytoluene dan butylatedhydroxyanysole merupakan antioksidan sintetik yang paling banyak digunakan, namun antioksidan tersebut bersifat karsinogen terhadap sistem reproduksi, dapat menyebabkan pembengkakan organ hati, mempengaruhi aktifitas enzim dalam hati dan metabolisme bahkan dalam jangka waktu lama tidak terjamin keamannnya (Hernani dan Rahardjo 2005). Antioksidan alami dalam makanan dapat berasal dari senyawa antioksidan yang telah ada dari satu atau dua komponen makanan, senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan dan senyawa antioksidan alami yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke dalam makanan sebagai tambahan pangan. Senyawa-senyawa yang umumnya terkandung dalam antioksidan alami adalah fenol, polifenol, dan yang paling umum adalah flavonoid (flavonol, isoflavon, flavon, katekin, flavonon), turunan asam sinamat, tokoferol, dan asam organik polifungsi. Saat ini tokoferol sudah diproduksi secara sintetik untuk tujuan komersil (Pratt dan Hudson 1990). Tubuh manusia secara alami memiliki sistem antioksidan untuk menangkal reaktivitas radikal bebas secara berkelanjutan. Apabila jumlah radikal bebas dalam tubuh berlebih maka dibutuhkan antioksidan tambahan yang diperoleh dari asupan bahan makanan seperti vitamin C, vitamin E, flavonoid, dan karotin (Erguder et al. 2007). Beberapa studi epidemiologi menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi antioksidan fenolik alami yang terdapat dalam buah, sayur mayur, dan tanaman serta produk-produknya mempunyai manfaat besar terhadap kesehatan yakni dapat mengurangi resiko terjadinya penyakit jantung koroner. Hal ini disebabkan karena adanya kandungan beberapa vitamin (A, C, E, dan folat), serat, dan kandungan kimia lain seperti polifenol yang mampu menangkap radikal bebas. Berbagai sumber nutrisi yang mengandung antioksidan diantaraya adalah semua biji-bijian, buah-buahan, sayuran, hati, tiram, unggas, kerang, ikan, susu, dan daging (Sofia 2008). 2.5 Mekanisme Antioksidan Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal bebas segera setelah senyawa tersebut terbentuk. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan oleh empat macam mekanisme reaksi, yaitu pelepasan hidrogen dari antioksidan, pelepasan elektron dari antioksidan, penambahan lemak ke dalam cincin aromatik pada antioksidan, dan pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan (Ketaren 1986). Antioksidan dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan fungsi dan mekanismenya, yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder, dan antioksidan tersier. Antioksidan primer (antioksidan pemecah rantai), yaitu antioksidan yang dapat bereaksi dengan radikal lipid lalu mengubahnya ke bentuk yang stabil. Antioksidan dapat dikatakan sebagai antioksidan primer jika dapat mendonorkan atom hidrogennya secara cepat ke radikal lipida (RO*) dan turunan antioksidan disebut (A*) lebih stabil dibanding antioksidan lipid, atau mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil. Antioksidan primer yang sangat terkenal adalah enzim superoksida dismutase (SOD) dan glutation peroksidase (GPx). Enzim ini dapat melindungi hancurnya sel-sel dalam tubuh akibat serangan radikal bebas. Antioksidan sekunder (antioksidan pencegah) didefinisikan sebagai suatu senyawa yang dapat memperlambat laju reaksi autooksidasi lipid. Antioksidan ini bekerja dengan berbagai mekanisme, seperti mengikat ion metal, menangkap oksigen, memecah hidroperoksida ke bentuk-bentuk non radikal, menyerap radiasi UV atau mendeaktifkan singlet oksigen. Contoh yang populer dari antioksidan sekunder ini adalah vitamin E, vitamin C, dan betakaroten. Antioksidan tersier, merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel dan jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Biasanya yang termasuk golongan ini adalah enzim metionin sulfoksidan reduktase yang dapat memperbaiki DNA dalam inti sel. Enzim tersebut bermanfaat untuk perbaikan DNA pada penderita kanker (Kumalaningsih 2006). 2.6 Uji Aktivitas Antioksidan Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat diketahui melalui uji aktivitas antioksidan. Salah satu metode yang umum digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan dalam suatu bahan adalah dengan menggunakan radikal bebas diphenylpicrylhydrazyl (DPPH). Diphenylpicrylhydrazyl merupakan radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokasi elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas yang lain. Proses delokalisasi ini ditunjukkan dengan adanya warna ungu (violet) pekat yang dapat dikarakterisasi pada pita absorbansi dalam pelarut etanol pada panjang gelombang 520 nm. Pada metode ini, larutan DPPH akan berperan sebagai radikal bebas yang bereaksi dengan senyawa antioksidan sehingga DPPH akan berubah menjadi diphenylpicrylhydrazine yang bersifat non radikal (Molyneux 2004). Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan prinsip spektrofotometri dengan panjang gelombang 517 nm. Larutan DPPH berwarna ungu gelap (dalam metanol), ketika ditambahkan senyawa antioksidan maka warna larutan akan berubah menjadi kuning cerah. Penurunan absorbansi, yang ditunjukkan dengan berkurangnya warna ungu menunjukkan adanya aktivitas scavenging (aktivitas antioksidan). Metode aktivitas kemampuan mereduksi digunakan untuk menentukan antioksidan total pada sampel. Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan dapat dilihat pada Gambar 2. Diphenylpicrylhydrazyl (radikal bebas) Diphenylpicrylhydrazine (non radikal) Gambar 2 Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan (Sumber: Molyneux 2004) Hasil dari metode DPPH umumnya diimplementasikan dalam bentuk nilai IC50 (inhibition concentration) yang didefinisikan sebagai konsentrasi dari senyawa antioksidan yang dapat menyebabkan hilangnya 50% aktifitas DPPH. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat untuk IC50 antara 0,05-0,1 mg/ml, sedang jika IC50 bernilai 0,101-0,150 mg/ml, dan lemah jika IC50 bernilai 0,150-0,200 mg/ml (Molyneux 2004). 2.7 Senyawa Fitokimia Fitokimia adalah senyawa bioaktif yang terdapat dalam tumbuhan dan dapat memberikan kesehatan pada tubuh manusia. Fitokimia mempunyai peran penting dalam penelitian obat yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan. Pada tumbuhan terdapat senyawa kimia bermolekul kecil yang penyebarannya terbatas dan sering disebut sebagai metabolit sekunder (Sirait 2007). 2.7.1 Alkaloid Alkaloid adalah golongan terbesar dari senyawa hasil metabolisme sekunder yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait 2007). Senyawa alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid yang mengandung cincin heterosiklik biasanya disebut alkaloid sejati, sedangkan yang tidak mengandung cincin heterosiklik disebut protoalkaloid. Keduanya merupakan turunan dari asam amino (Harborne 1987). Alkaloid umumnya tidak berwarna, bersifat optis aktif, dan sebagian besar berbentuk kristal hanya sedikit yang berupa cairan. Alkaloid banyak ditemukan pada bagian tumbuhan seperti biji, daun, ranting, serat kayu. Alkaloid terakumulasi pada jaringan yang tumbuh aktif seperti epidermis, hipodermis, dan kelenjar lateks. Fungsi alkaloid pada tumbuhan belum dapat dinyatakan dengan pasti akan tetapi beberapa senyawa berperan sebagai pengatur pertumbuhan dan pemikat serangga (Suradikusumah 1989). 2.7.2 Triterpenoid/Steroid Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang umumnya berupa alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Senyawa tersebut tidak berwarna, kristalin, memiliki titik lebur yang tinggi, dan umumya sulit untuk dikarakterisasi karena secara kimia tidak reaktif (Harborne 1987). Triterpenoid terbagi menjadi empat golongan senyawa berupa triterpena sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Kedua golongan terakhir disebut triterpenoid esensial atau steroid yang umumnya terdapat dalam tanaman sebagai glikosida (Sirait 2007). Steroid merupakan triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Pada awalnya, steroid diduga merupakan senyawa yang hanya terdapat pada hewan (sebagai hormon seks, asam empedu, dan lain-lain) tetapi akhir-akhir ini ditemukan senyawa semacam ini pada jaringan tumbuhan yang dikenal dengan fitosterol (Sirait 2007). 2.7.3 Flavonoid Flavonoid merupakan senyawa fenol terbanyak yang ditemukan di alam. Flavonoid banyak ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi tetapi tidak dalam mikroorganisme. Senyawa ini menjadi zat warna merah, ungu, biru, dan kuning dalam tumbuhan. Flavonoid memiliki kerangka dasar yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzene terikat pada suatu rantai propane membentuk susunan C6-C3-C6 (Suradikusumah 1989). Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida dan terdapat pada seluruh bagian termasuk pada buah, tepung sari, dan akar. Flavonoid diklasifikasikan menjadi sebelas golongan yaitu flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, calkon, dihidrokalkon, auron, antosianidin, katekin, dan flavan-3,4-diol (Sirait 2007). Flavonoid dapat larut dalam air, dan dapat terekstraksi dengan etanol 70% (Suradikusumah 1989). Flavonoid memiliki banyak kegunaan baik bagi tumbuhan maupun manusia. Flavonoid digunakan tumbuhan sebagai penarik serangga dan binatang lain untuk membantu proses penyerbukan dan penyebaran biji sedangkan bagi manusia, dalam dosis kecil flavon bekerja sebagai stimulan pada jantung, dan flavon yang terhidroksilasi bekerja sebagai diuretik dan sebagai antioksidan pada lemak (Sirait 2007). 2.7.4 Saponin Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan, bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Pencarian saponin dalam tumbuhan telah diransang oleh kebutuhan akan sumber sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat diubah menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting. Pola glikosida saponin kadang rumit, banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat (Harborne 1987). Sebagian besar saponin bereaksi netral (larut dalam air), beberapa ada yang bereaksi asam (sukar larut dalam air), dan sebagian kecil ada yang bereaksi basa. Saponin dapat membentuk senyawa kompleks dengan kolesterol. Saponin bersifat toksik terhadap ikan dan binatang berdarah dingin lainnya. Hal inilah yang menyebabkan saponin banyak dimanfaatkan sebagai racun ikan. Saponin yang beracun disebut sapotoksin (Sirait 2007). Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya, pada epitel hidung, bronkus, ginjal, dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal dapat menimbulkan efek diuretika. Sifat menurunkan tegangan muka yang ditimbulkan oleh saponin dapat dihubungkan dengan daya ekspektoransia. Sifat ini lendir akan dilunakkan atau dicairkan. Saponin dapat mempertinggi resorpsi berbagai zat oleh aktivitas permukaan serta dapat meregang partikel (Sirait 2007). 2.7.5 Fenol hidrokuinon Kuinon merupakan senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar. Kuinon dapat diidentifikasikan berdasarkan tujuannya menjadi empat kelompok yaitu, benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama umumnya terhidroksilasi dan sering terdapat dalam sel sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinon tanpa warna, dan juga bentuk dimer. Iso prenoid kuinon terlihat dalam respirasi sel (ubikuinon) dan fotosintesis (plastokuinon) yang secara umum terdapat dalam tumbuhan (Suradikusumah 1989). Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida sedikit larut dalam air, kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan terekstraksi dalam tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. Reduksi dapat dilakukan dengan menggunakan natrium borohidrida (Harbone 1987). 2.7.6 Karbohidrat Karbohidrat atau gula merupakan konstituen yang paling banyak jumlahnya dibandingkan dengan kandungan kimia lainnya yang terdapat dalam tanaman dan hewan. Karbohidrat terbentuk melalui proses fotosintesis pada tanaman. Zat tersebut dapat diubah menjadi senyawa kimia organik lain yang diperlukan tanaman (Sirait 2007). Karbohidrat dikelompokkan menjadi tiga golongan berdasarkan ukuran molekulnya, yaitu monosakarida sederhana seperti glukosa, fruktosa, dan turunannya; oligosakarida yang terbentuk melalui penggabungan atau kondensasi dua atau lebih monosakarida; dan polisakarida yang terdiri atas satuan monosakarida berantai panjang, disambungkan dengan cara kepala ke ekor berbentuk rantai lurus atau bercabang (Harborne 1987). Karbohidrat berguna sebagai penyimpan energi seperti pati, dan juga berguna sebagai pengangkut energi seperti sukrosa, dan sebagai penyusun dinding sel seperti selulosa (Sirait 2007). 2.7.7 Gula pereduksi Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada atau tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor satu (anomerik), sedangkan pada fruktosa (ketosa) terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor satu pada gugus glukosanya (Winarno 1997). Sifat sebagai reduktor pada monosakarida dan beberapa disakarida disebabkan oleh adanya gugus aldehida atau keton bebas dalam molekul karbohidrat. Sifat ini dapat digunakan untuk keperluan identifikasi karbohidrat maupun analisis kuantitatif. Pereaksi Benedict berupa larutan yang mengundang kuprisulfat, natrium karbonat dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion Cu2+ dari kuprisulfat menjadi ion Cu2+ yang kemudian mengendap sebagai Cu2O. Adanya natrium karbonat dan natrium sitrat membuat pereaksi Benedict bersifat basa lemah. Endapan yang terbentuk dapat berwarna hijau, kuning atau merah bata. Warna endapan ini tergantung pada konsentrasi karbohidrat yang diperiksa (Poedjiadi 1994). 2.7.8 Peptida Peptida merupakan hasil polikondensasi asam amino. Gugus karbonil dari satu asam amino berikatan dengan gugus asam amino lain membentuk ikatan amida atau ikatan peptida. Pengertian peptida biasanya untuk menyatakan polimer yang memiliki berat molekul lebih rendah dari 5000. Peptida dapat dihidrolisis sebagian menjadi protein, juga senyawa yang mengandung asam amino non-protein (Sastrohamidjojo 1996). Dipeptida diturunkan dari dua asam amino tripeptida dari tiga asam amino, dan seterusnya. Siklisasi dipeptida menghasilkan 2,5-dioksopi-perazin dan senyawa sejenisnya sering disintesis oleh mikroorganisme (Sastrohamidjojo 1996). Dipeptida masih mempunyai gugus amino dan karboksil bebas sehingga dapat bereaksi dengan dipeptida-dipeptida lain membentuk polipeptida dan akhirnya membentuk molekul protein (Winarno 1997). 2.7.9 Asam amino Asam amino merupakan komponen penyusun protein yang dihubungkan oleh ikatan peptida. Struktur asam amino secara umum adalah satu atom C yang mengikat empat gugus, yaitu gugus amina (NH2), gugus karboksil (COOH), atom hidrogen (H), dan satu gugus sisa (R dari Residue) atau disebut juga gugus rantai samping yang membedakan satu asam amino dengan asam amino lainnya (Winarno 2008). Asam amino memiliki atom C pusat yang mengikat empat gugus yang berbeda, maka asam amino memiliki dua konfigurasi yaitu konfigurasi D dan konfigurasi L. Molekul asam amino mempunyai konfigurasi L apabila gugus –NH2 terdapat di sebelah kiri atom karbon α dan bila posisi gugus NH2 di sebelah kanan, maka molekul asam amino disebut asam amino konfigurasi D (Lehninger 1990). Asam amino biasanya larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut non polar seperti eter, aseton, dan kloroform. Asam amino khususnya diklasifikasikan berdasarkan sifat kimia rantai samping tersebut menjadi empat kelompok. Rantai samping dapat membuat asam amino bersifat basa lemah, asam lemah, hidrofilik jika polar dan hidrofobik jika nonpolar (Almatsier 2006).