sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XVII, Nomor 1 : 21 - 34 ISSN 0216-1877 KEUNIKAN KOMUNITAS SUMUR HIDROTERMAL oleh Ricky Rositasari * ABSTRACT THE UNIQUENESS OF THE HYDROTHERMAL VENT COMMUNITY. Until recently the deep sea was considered to be such a desert, yet there is one habitat in the deep sea where the density of life equals, if it does not surpass, what is found in any other marine ecosistem. Ft is the system of hydro thermal vents, or deep-sea hot spings, situated at seafloor spreading center which found along rigde at the bottom of the ocean, where the earth's crustal plates are spreading apart. As any other deep sea hot spring, hydro thermal vent and cold seep are also produced a very poisonous and high concentration of hydrogen sulfide. The most incredibly fact is the existance of a huge communities of unusual species, which completely have different metabolism. The use chemical synthesis of anaerob microbes that depend on the chemical energy of hydrogen sulfide. PENDAHULUAN sesudah beberapa peneliti geologi pada tahun 1977 secara tidak sengaja menemukan keajaiban alam, berupa oasis mahluk hidup pada kedalaman 2600 meter di bawah permukaan laut (FELBECK 1981). Pada saat itu mereka sedang melakukan penelitian dengan menggunakan kapal selam "Alvin" di perairan sebelah timur laut P. Galapagos. Dengan ditemukannya ekosistem yang sangat spesiflk ini, maka dapat dikatakan bahwa pada kondisi tertentu kekayaan biologis habitat laut dalam dapat disepadankan dengan habitat-habitat laut lainnya. Terjadinya kondisi tertentu ini dimungkinkan dengan hadirnya sumur-sumur hidrotermal di lingkungan laut dalam tersebut. Selama beberapa dekade manusia percaya bahwa laut dalam adalah lingkungan yang sangat tidak menguntungkan untuk dijadikan tempat hidup bagi berbagai jenis organisme. Hal ini disebabkan tidak terdapatnya produsen primer yang mampu hidup di lingkungan tanpa cahaya dengan karidungan oksigen yang sangat rendah. Oleh sebab itu sangat jarang organisme hidup ditemukan dalam keadaan melimpah di lingkungan ini, dan beberapa peneliti menyetarakan tipe lingkungan laut dalam sebagai padang pasir. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini pendapat tersebut mulai berubah, *) Balai Penelitian dan Pengembangan Oseanografi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Osqanologi - LIPI, Jakarta. 21 Oseana, Volume XVII No. 1, 1992 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id SUMUR HIDROTERMAL Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kerak bumi ini terdiri dari beberapa lapisan, dimana lapisan utama penyokong kehidupan di bumi ini kita sebut sebagai lapisan litosfir (lithosphere). Lapisan ini bersifat keras dan padat. Lapisan lain yang letaknya tepat di bawah lapisan litosfir, disebut astenosfir (asthenosphere) yang bersifat cair, pijar dan panas. Karena sifatnya yang cair ini maka lapisan astenosfir selalu dalam keadaan bergerak. Arus yang menyebabkan pergerakan ini disebut sebagai arus konveksi (convection curent) (Gambar 1). Hipotesis yang dibuat oleh A. HOLMES dan V. MEINESZ (dalam ANDERSON 1986) menyebutkan bahwa arus konveksi inilah yang menyebabkan terjadinya pengapungan benua. Proses tersebut dalam istilah geologi disebut sebagai proses pemekaran bumi. Dalam teori geologi, pengapungan benua inilah yang menyebabkan benuabenua menjadi terpisah seperti saat ini. Dan para ahli geologi percaya bahwa proses pemekaran bumi masih terus berlangsung hingga saat ini dan masa yang akan datang. Gejala yang paling mudah untuk diketahui dari proses pemekaran bumi ini adalah terdapatnya pegunungan berapi yang masih aktif baik di darat maupun di laut. Gambar 1. Teori geologi tentang proses terjadinya perekahan bumi (ANDERSON 1986) Oseana, Volume XVII No. 1, 1992 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Berdasarkan mekanismenya, proses pemekaran bumi dapat dibedakan menjadi 3 tipe (SHEPARD 1973) yaitu tumbukan (subduction), geseran (mega shear) dan perekahan (pull apart). Tipe perekahan tengah lautan inilah yang berkaitan sangat erat dengan terjadinya sumur hidrotermal. Dalam proses perekahan ini dihasilkan celah-celah pada lempengan litosflr. Celah inilah yang kemudian akan berfungsi sebagai saluran peresapan air laut menuju kamar magma serta saluran pelepasan yang memungkinkan terjadinya semburan air hangat ke permukaan pada sumur-sumur hidrotermal. Sumur hidrotermal secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu sumur hidrotermal yang mengeluarkan semburan berwarna putih (white smooker) dan sumur hidrotermal yang mengeluarkan semburan berwarna hit am (black smooker). Perbedaan ini terjadi karena terdapatnya perbedaan suhu yang diterima air laut pada saat mendekati kamar magma. Pada sumur hidrotermal dengan semburan berwarna hitam, air laut mendapatkan panas dan tekanan yang sangat tinggi (superheated) pada saat mendekati kamar magma. Suhu dan tekanan yang sangat tinggi ini mengakibatkan sebagian logam berat yang terkandung dalam batuan beku (basalt) larut dalam air laut yang kemudian tersembur ke atas pernmkaan. Oleh sebab itu di samping berwarna hitani, semburan inipun memiliki suhu yang sangat tinggi, dapat me neap ai 320 °C (ANDERSON 1986). Pada sumur hidrotermal dengan semburan putih, panas yang diterima air laut relatif rendah (kenaikan air laut hanya sekitar 2 derajat Celcius) sehingga tidak mampu untuk melarutkan logam berat pada batuan beku yang dflaluinya. Di antara kedua jenis sumur tersebut, hidrotermal dengan semburan berwarna hi- Oseana, Volume XVII No. 1, 1992 tam merupakan fenomena yang sangat kontroversial karena sifatnya yang sangat beracun namun dapat menghidupi komunitas mahluk hidup yang sangat khas. PROSES KIMIAWI PADA SUMUR HIDROTERMAL Keberadaan komunitas mahluk hidup di atas perbukitan bawah laut ini disebabkan oleh tersedianya sulfur yang melimpah. Dalam keadaan normal sulfur yang terdapat dalam air laut berada dalam bentuk sulfat. Pada lingkungan hidrotermal yang memiliki rekahan-rekahan pada batuan dasarnya, sulfur anorganik akan meresap bersama air laut ke dalam rekahan tersebut. Semakin mendekati kamar magma suhu air laut ini akan meningkat secara bertahap. Pada puncaknya air laut akan mendapatkan panas dan tekanan yang sangat tinggi sehingga memungkinkan terjadinya reaksi kimia dengan batuan beku yang berada di sekeliling kamar magma. Pada reaksi tersebut sulfat yang terkandung dalam air laut akan tereduksi menjadi hidrogen sulfida. Selain terjadi reaksi dengan batuan beku, air laut pun akan terdorong oleh panas dan tekanan yang tinggi tersebut ke permukaan, sehingga terjadi semburan pada sumur hidrotermal. Di atas permukaan dasar laut, hidrogen sulfida yang tersembur bersama air laut ini akan diserap dan dimetabolisme menjadi zat hara oleh mikroorganisme kemosintesa yang hidup secara endosimbion dalam tubuh berbagai biota di lingkungan hidrotermal ini. Zat hara yang dihasilkan oleh bakteri tersebut selain dimanfaatkan untuk kebutuhannya sendiri, juga dimanfaatkan oleh organisme yang ditumpanginya. sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Menurut ANDERSON (1986) peranan sumur hidrotermal selain sebagai sumber kehidupan bagi komunitas yang terdapat disekitar lingkungan terse but, juga berperan dalam keseimbangan kandungan kimiawi air laut. Oleh karena sirkulasi air laut yang melalui batuan beku ini cukup cepat, sehingga mampu menetralisir komposisi air laut secara keseluruhan. Dengan demikian setiap meter kubik air laut bergerak ke arah sumur hidrotermal satu kali dalam 10 — 15 milyar tahun. Sehingga dapat dikalkulasikan bahwa sepanjang sejarahnya, air laut telah memasuki poros pegunungan api bawah laut sebanyak 100 kali. Apabila di dalam air laut nersebut mengandung terlalu banyak magnesium maka batuan beku akan menyerapnya, dan apabila terlalu sedikit mengandung natrium maka batuan beku akan menambahkannya. EKOSISTEM SUMUR HIDROTERMAL Alih energi Cacing tabung dan kerang putih raksasa merupakan jenis yang paling berhasil beradaptasi pada lingkungan hidrotermal, karena telah berhasil mengembangkan kemampuannya untuk memenuhi sendiri kebutuhannya akan nutrisi (autotrof) dan tidak tergantung pada keberadaan produsen primer. Sifat autotrof ini dimungkinkan dengan hadirnya mikroorganisme kemosintesis yang hidup secara endosimbion dalam tubuh inangnya. Kehadiran organisme endosimbion inilah yang menyebabkan komunitas hidrotermal menjadi sangat khas. Karena pada komunitas lain baik di darat maupun di perairan, sinar matahari merupakan sumber energi yang dapat menyebabkan berlangsungnya proses fotosintesa pada produsen primer yang memiliki butir hijau daun. Oseana, Volume XVII No. 1, 1992 Pada lingkungan sumur hidrotermal, hidrogen sulfida berperan sebagai sumber energi dan mikroorganisme komosistesis berperan sebagai produsen primer. Rantai sintesa yang berlangsung di lingkungan hidrotermal tersebut dinamakan kemosintesa. Persamaan antara kedua sintesa tersebut terjadi pada tingkat dimana siklus Calvin berlangsung yaitu saat terjadinya sintesa karbon dioksida menjadi karbon fiksasi dalam bentuk glukosa, lemak dan asam amino (Gambar 2). Cacing tabung, Riftia pachyptila Elemen komunitas sumur hidrotermal ini pada umumnya memiliki ukuran tubuh yang luar biasa besar dibandingkan dengan jenis yang sama pada habitat yang lain. Sebagai contoh larva cacing tabung yang berukuran sangat kecil hinga sulit untuk diamati dengan bantuan mikroskop sekalipun. Di lingkungan sumur hidrotermal cacing ini mampu membangun tabung khitin dengan ketinggian yang dapat mencapai 10 meter, Ukuran tubuh cacing itu sendiri dapat mencapai 50 cm (12 - 18 inchi) (ANDERSON 1986). Susunan anatomi cacing ini agak janggal, karena dapat dikatakan hanya terdiri dari kantung yang tertutup, tanpa mulut atau organ pencernaan lainnya. Di bagian ujung anterior terdapat insang yang berwarna me rah cerah dan berbentuk helaian bulu burung. Pada bagian insang inilah tempat terjadinya pengikatan oksigen, karbon dioksida dan hidrogen sulfida. Di bawah insang terdapat otot berbentuk cincin yang disebut vestimentum. Otot inilah yang melekatkan tubuh cacing pada tabungnya. Bagian tubuhnya yang terbesar adalah kantung yang sumber:www.oseanografi.lipi.go.id berdinding tebal dengan rongga besar yang disebut trochosome. Gambar 3 memperlihatkan struktur anatomi cacing tabling secara skematis. Pada mulanya para peneliti sangat heran dengan anatomi seperti ini, karena tidak terdapat satupun saluran untuk mengangkut partikel makanan ke dalam tubuhnya. Ternyata dari pengamatan secara mikroskopis oleh CHAVANAUGH et al (1981) diketahui bahwa cacing ini hanya mengikat senyawa-senyawa anorganik melalui insangnya, kemudian disalurkan menuju sel-sel trochosome yang mengandung banyak bakteri. Bakteri inilah yang kemudian "mencerna" senyawa-senyawa teisebut menjadi patikel organik hasil dari reduksi karbon. Hasil oksidasi inilah yang kemudian diserap oleh cacing tabung sebagai nutrisi. Cacing tabung menggunakan haemoglobin untuk mengekstrak oksigen dari lingkungan sekelilingnya. Namun kebutuhan biota ini akan oksigen lebih tinggi dibandingkan dengan biota-biota yang hidup di perairan dangkal. Hal ini disebabkan terdapatnya bakteri kemoautotrop yang mampu mensintesa hidrogen sulfida di dalam sel tubuhnya, sehingga oksigen yang dikonsumsi oleh biota-biota ini harus cukup untuk memenuhi kebutuhan biota induk dan simbionnya. Fungsi hemoglobin pada biota ini telah mengalami perubahan secara gene tik, sehingga mampu mengekstrak oksigen sekaligus mentolelir pengaruh hidrogen sulfida yang dalam keadaan normal bersifat inhibitor pada oksigen. Perubahan fungsi hemoglobin tersebut sampai beberapa tahun terakhir ini masih merupakan misteri, namun beberapa peneliti seperti FELBECK et al. (1981), SAINO & OHTA (1989) serta ENDOW & OHTA (1989) telah mengadakan penelitian tentang pergeseran fungsi haemoglobin ini. Oseana, Volume XVII No. 1, 1992 Kerang raksasa, Calyptogena magnified Invertebrata ini seperti juga cacing tabung, sangat tergantung kepada endosimbion dalam penyediaan nutrisinya. Pada kerang raksasa, bakteri kemosintesis terdapat pada insangnya, sehingga dengarj mudah bakteri ini mengikat oksigen dan: karbon dioksida dari air yang keluar masuk insang inangnya. Seperti juga jenis-jenis lain yang hidup di lingkungan hidrotermal, kemampuan jenis ini untuk mencerna makanan dalam bentuk partikel telah sangat menurun. Hidrogen sulfida diserap kerang raksasa melalui kakinya yang langsung menempel pada sumur hidrotermal yang memiliki kandungan hidrogen sulfida sangat tinggi. Kaki hewan ini bentuknya memanjang (elongate) dan berukuran besar, sehingga dapat melekat dengan kuat pada substratnya. Hidrogen sulfida yang terserap akan diangkut oleh haemoglobin ke arah insang* sehingga dapat langsung digunakan oleh bakteri pengoksidasi sulfida Remis hidrotermal, Bathimodiolus thermophilus. Seperti pada kerang raksasa, bakteri endosimbion pada remis inipun hidup di bagian insangnya. Namun mekanisma pengangkutannya belum diketahui. Beberapa peneliti telah mengadakan percobaan sejauh mana ketergantungan remis ini terhadap lingkungan hidrotermal, dengan memindahkannya ke lingkungan yang jauh dari pengaruh semburan hidrotermal. Ternyata hewan ini mengalami kemunduran fisiologis, seperti yang terjadi pada hewan nonhidrotermal yang kelaparan. sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Gambar 2. Perbandingan antara proses fotosintesis dengan kemosintesis (CHILDRESS et al. 1987). Oseana, Volume XVII No. 1, 1992 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Gambar 3. Anatomi cacing tabung (CHILDRESS et al 1987) Oseana, Volume XVII No. 1, 1992 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Hewan-hewan lain yang terdapat di lingkungan hidrotermal dengan kepadatan rendah biasanya hanya memiliki sedikit bakteri simbion. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan akan nutrisinya mereka menyaring partikel-partikel termasuk bakteri dari perairan disekelilingnya. Ada pula yang memangsa hewan-hewan yang mengandung endosimbion, seperti yang telah berhasil diamati oleh CHILDRESS etal. (1987) yaitu seekor kepiting memakan insang dari cacing tabung. Fisiologis hewan-hewan yang tidak memiliki simbion seperti juga he wan yang memiliki simbion sangat menarik untuk diamati, karena keduanya telah berhasil bertahan hidup di lingkungan yang sangat beracun. Hasil dari pengamatan CHILDRESS VETER dan WELLS (dalam CHILDRESS et al. 1987) diketahui bahwa hewan ini memiliki organ yang disebut “hepatopankreas" yang berfungsi seperti hati. Pada organ ini hidrogen sulfida yang sangat beracun dirubah menjadi thiosulfat yang sifatnya kurang beracun dibandingkan dengan hidrogen sulfida. Gambar 4 memperlihatkan struktur komunitas sumur hidrotermal secara skematis. Keunikan sumur hidrotermal selain sehagai tempat hidup berbagai jenis organisme yang sangat epidemik, juga sangat membantu dalam mekanisme penyebaran larva organisme tersebut. Menurut MULLINEAUX et al. (1991) larva-larva tersebut menyebar bersama dengan gelembung-gelembung air yang terbentuk pada saat terjadi semburan dari sumur-sumur tersebut. Gambar 4. Penggambaran secara skematis dari struktur komunitas sumur hidrotermal (CHILDRESS etal) Oseana, Volume XVII No. 1, 1992 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya kepada Ir. Suyarso yang telah memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat ten tang aspek geologi dari tulisari ini. Penulis juga mengucapkan terimaksih kepada Sdri Sri Kusdi Rahayuningsih yang telah bersedia membantu dalam penggambaran sehingga dapat membantu pembaca untuk memahami tulisan ini dengan lebih mudah. DAFTAR PUSTAKA ANDERSON, R.N. 1986. Black smookers and fantastic organisms. In. Marine geology a planet earth prespection. (R.N. Anderson eds.) 107 - 120. CAVANAUGH, CM., S.L. GARDINER., M.L. JONES., H.W. JANNASCH, and J.B. WATERBURY. 1981. Prokaryotic cells in the hydrothermal vent tube worm Riftia Pachila Jones : Possible chemo-autotrophic symbiont. Science. 213 : 340 -343. CHILDRESS, J.J, H. FELBECK, and G.N. SOMERO. 1987. Symbiosis in the deep sea. Sci. Amer. 256 : 106-112. Oseana, Volume XVII No. 1, 1992 ENDOW, K. and OHTA. 1989. The symbiotic relationships between bacteria and a Mesogastropod snail, Alviniocha hessleri y collected from hydrothermal vents of the Mariana Back-Arc Basin. Bull Jap. Soc. Microbial Ecol 3 (2) : 73 - 82. FELBECK, H., J.J. CHILDRESS, and G.N. SOMERO. 1981. Calvin - Benson cycle and sulphid-oxidation enzymes in animals from sulphide-rich habitats. Nature. 293 : 291 - 293. MULLINEAUX, L.S., P.H. WIEBE, AND E.T. BAKER 1991. Hydrothermal vent plumes : Larval highways in the deep sea. Oceanus, v, 34 (3) : 64 — 68. SAINO, T, and S. OHTA. 1989. 1 3 C/ 1 2 C and 1 6 N/ 1 4 N ratio's of Vesicomyd clams and a Vestimentiveran tube worm in the subduction zone East of Japan. Paleogeography, Paleoclimatology, Paleoecology. 196-179. SHEPARD, F.P. 1973. Submarine geology, pp : 88 - 101. Harper Row Pub. London. STEIN, J.L., S.C. CAY, R.R. HESSLER, S. OHTA, R.D. VETTER, J.J. CHILDRESS, and H. FELBECK. 1988. Chemo-autottrophic symbioys in a hydrothermal vent Gastropod. Biol Bull 1 7 4 : 373 -378.