~ PLTP Gunung Salak dan PLTP Darajat di Jawa Barat PANAS BUMI Belum Membumi Panas Bumi Ada yang ironis dari penyelenggaraan Kongres Panas Bumi Dunia di Bali, April lalu. Di tengah gaung pengembangan panas bumi sebagai energi terbarukan masa depan, Bali sebagai tuan rumah justru menahan pelaksanaan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Bedugul di Kabupaten Tabanan. Padahal, Bedugul memiliki potensi panas bumi cukup besar, sekitar 400 megawatt (MW). Potensi itu jika dimanfaatkan bisa menutup defisit daya listrik seluruh Bali yang jumlahnya sekitar 200 MW. Masyarakat didukung Pemerintah Provinsi Bali tegas menolak proyek PLTP Bedugul karena khawatir akan mengganggu kestabilan kawasan yang menjadi sumber air utama bagi beberapa kabupaten di Bali. Selain itu, kehadiran pembangkit di sana dianggap mengotori kesucian wilayah Bedugul. Akibatnya, proyek yang sudah mendapat persetujuan pemerintah pusat untuk dikembangkan tahun 2005 itu mandek. ”Sosialisasinya tidak pas. Dari sisi teknis dan amdal tidak ada masalah, pengeboran panas bumi tidak akan menurunkan muka air danau,” kata Humas Pertamina Geothermal Energy Adiatma Sardjito. Bedugul termasuk wilayah kerja pertambangan panas bumi Pertamina yang diserahkan ke pemerintah pusat untuk dikembangkan. Menyusul berlakunya otonomi daerah, izin lokasi pembangkit menjadi kewenangan pemerintah daerah. PLTP Bedugul dikembangkan PT Bali Energy, pengembang listrik swasta. Masalah yang dihadapi pengembang listrik di Bedugul hanya sebagian kecil dari berbagai 1/3 ~ PLTP Gunung Salak dan PLTP Darajat di Jawa Barat persoalan pengembangan panas bumi di Indonesia. Isu lain, akurasi cadangan, risiko kegagalan eksplorasi, biaya investasi yang tinggi, ketidakpastian model bisnis jual-beli panas bumi dengan PT Perusahaan Listrik Negara, hingga ketidakmampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan lelang wilayah kerja panas bumi. Menunggu kepastian Kehadiran Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi belum menyelesaikan hambatan itu karena banyak pasal tidak implementatif. Padahal, pemerintah mengandalkan panas bumi dalam Proyek Percepatan Kelistrikan Tahap Kedua. Dari total daya pembangkit hampir 10.000 MW, panas bumi ditargetkan bisa menyumbang 3.977 MW atau hampir 40 persen, melalui pengembangan 44 pembangkit di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, serta Maluku dan dijadwalkan beroperasi pada 2014. Manager Policy, Government, and Public Affairs Chevron Geothermal and Power Operations Usman Slamet mengatakan, pengembangan proyek pembangkit panas bumi membutuhkan waktu 5-6 tahun, mulai dari pengeboran sumur panas bumi sampai konstruksi pembangkit. ”Bagaimana mengharapkan ada pembangkit panas bumi bisa beroperasi tahun 2014? Sekarang saja kita belum melakukan apa-apa. Lelang wilayah panas bumi yang diserahkan ke daerah tidak jalan karena minimnya pengetahuan mereka atas bisnis panas bumi,” kata Usman. Chevron mengoperasikan PLTP Gunung Salak dan PLTP Darajat di Jawa Barat dengan total kapasitas 395 MW. Menurut Usman, pengembang panas bumi menunggu kepastian kesepakatan jual-beli dengan PT PLN untuk dapat mengambil risiko pengeboran. ”Biaya satu sumur 5 juta-6 juta dollar AS, untuk tiap proyek paling tidak dibutuhkan tiga sumur,” jelas Usman. Ia menilai kenaikan patokan harga beli panas bumi dari 7 dollar AS per kWh menjadi 9,7 sen dollar AS per kWh dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tidak akan efektif selama tidak ada kesepakatan bisnis antara pengembang dan PLN. 2/3 ~ PLTP Gunung Salak dan PLTP Darajat di Jawa Barat Ketidakpastian itu dirasakan PT Supreme Energy, pemegang hak tiga wilayah kerja pertambangan panas bumi di Sumatera Selatan yang termasuk dalam program percepatan. Presiden Direktur PT Supreme Energy Supramu Santosa mengatakan, seharusnya tahun depan sudah masuk tahap pengeboran. Namun, hal itu tidak bisa dilakukan karena PLN belum berani meneken perjanjian. Usman dan Supramu berpendapat, pemerintah sebaiknya segera mengeluarkan surat penugasan kepada PLN untuk membeli listrik panas bumi hasil lelang pemda dan memperbaiki kapasitas pemda dalam penyelenggaraan lelang. Surat penugasan diperlukan agar PLN memiliki pegangan hukum atas keputusan bisnis yang diambil. Selain itu, opsi insentif bagi pengembang panas bumi skala kecil (kurang dari 55 MW), seperti di Maluku dan Nanggroe Aceh Darussalam, juga perlu dipertimbangkan.(DOT/BEN/HAN/ACI) Sumber : kompas 3/3