[3] Teori Komunikasi 3.1 Tentang Teori Teori merupakan abstraksi dari realitas. Oleh karena itu, posisi teori sangat penting karena ia memang menjelaskan tentang realitas atau kenyataan tersebut. Meskipun demikian, teori tidaklah bersifat abstrak dalam arti yang sesungguhnya, karena pengalaman selalu mempengaruhi dan merupakan dasar dari pembentukan teori tersebut, sehingga pada gilirannya teori akan mempengaruhi konsepsi seseorang tentang pengalamannya. Pengertian Teori Menurut Bates (2005), teori dapat dilihat sebagai keseluruhan generalisasi dan prinsip yang dikembangkan untuk satu bidang tertentu. Selain itu, teori juga adalah sebuah sistem asumsi, prinsip, dan antarhubungan yang dibuat untuk menjelaskan serangkaian fenomena tertentu. Secara implisit, teori seringkali mengandung metateori dan metodologi. Namun, pada umumnya, inti dari teori adalah ide pokok yang menjelaskan makna dari sebuah fenomena tertentu. Metateori itu sendiri merupakan landasan filsafat dari sebuah teori, yakni merupakan serangkaian ide mendasar tentang bagaimana seharusnya sebuah fenomena tertentu dipikirkan dan dipelajari. Dikemukakan M.J. Bates (2005) dalam bukunya yang diberi judul “An introduction to metatheories, theories, and models”, untuk mendefinisikan teori, setidaknya dapat dilihat dari 2 (dua) sudut pandang, yakni, sudut pandang sains atau eksakta dan sudut pandang sosial. 1. Teori dalam Ilmu Sains Secara klasik, perkembangan teori dalam ilmu-ilmu alam atau sains mengikuti proses “description, prediction, explanation”. Pada tahap pertama, sebuah fenomena alam mendapat penjelasan atau deskripsi. Tentu saja sulit menyelidiki sesuatu tanpa menjelaskannya lebih dahulu. Lalu, ketika sudah ada beberapa pengetahuan tentang sebuah fenomena tertentu, ilmuwan mulai membuat dugaan atau prediksi tentang keterkaitan, proses, atau urutan kejadan (sequences) tentang fenomena tersebut. Lantas, berdasarkan pengujian tentang dugaan-dugaan tersebut itulah maka dikembangkan penjelasan atau eksplanasi yang biasa disebut teori. Dalam bidang sains pula lah pengertian teori dikaitkan dengan metode ilmiah yang biasa disebut metode sederhana untuk melakukan induksi-deduksi (naïve inductive-deductive method). Ben-Ari (2005), menguraikan bahwa kegiatan seorang ilmuwan dimulai dari pengamatan terhadap jagat raya (universe) dan merekam hasil pengamatannya itu sebagai fakta ilmiah. Setelah itu, ia (ilmuwan) melakukan proses induksi dengan memeriksa berbagai hasil pengamatannya tersebut untuk kemudian membuat generalisasi yang dapat disebut sebagai sebuah teori tentang fakta yang bersangkutan. Selanjutnya dilakukan deduksi dengan memakai logika untuk memperkirakan benar-tidaknya teori dengan melakukan berbagai eksperimen. Jika eksperimennya berhasil, maka teorinya mendapatkan pembenarannya. Jika tidak, maka teori tersebut dapat dianggap salah. 2. Teori dalam Ilmu Sosial Dalam ilmu-ilmu sosial, Sarantakos (1998) menyatakan bahwa pengertian teori pada umumnya adalah pengertian yang dipakai oleh ilmu pasti (alam) dan yang kemudian diimpor oleh aliran positivis ke dalam sosiologi. Perlu diingat bahwa sosiologi dan ilmu-ilmu lain pada awalnya cenderung menggunakan metode penelitian ilmu pasti (alam) yang sudah terlebih dahulu terbangun dalam tradisi ilmiah. Belakangan, terjadi penolakan terhadap penggunaan prinsip-prinsip ilmu pasti tersebut, sehingga para pemikir sosiologi dan kebudayaan mulai menggunakan prinsip-prinsip yang berbeda. Kendati begitu, pengertian teori yang digunakan oleh ilmu pasti (alam) tetap mendominasi pengertian umum. Pengertian teori seperti ini di dalam ilmu sosial-budaya sebagian besarnya didasari pada pandangan yang percaya bahwa ada persamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, dan bahwa seorang ilmuwan harus menghindari subjektivitas dan spekulasi. Di dalam pengertian ini, maka teori secara umum dapat diartikan sebagai serangkaian proposisi (atau pernyataan tentang kebenaran) yang sudah diuji secara sistematis dan dikaitkan secara logis, dibangun melalui serangkaian penelitian untuk menjelaskan suatu fenomena sosial. Pembuatan teori dalam pengertian ini didasarkan pada cara-cara sistematis yang mengandung prosedur yang jelas, eksplisit dan formal di setiap langkah penelitian. Pengertian teori sebagaimana diungkapkan di atas tidak sepenuhnya diterima oleh para penganut paham yang menolak positivism, terutama dalam hal hubungan sebab-akibat. Adapun kaum yang menolak positivisme di bidang ilmu sosial menolak penyederhanaan fenomena masyarakat sebagai hubungan sebabakibat yang digambarkan dalam rumus-rumus statistik. Pembahasan tentang aliran pandangan yang menerima dan menolak positivisme ini memerlukan ruang yang lebih luas, dan tidak akan diulas lebih jauh di sini. Pada umumnya, kita lebih mudah memakai istilah “kuantitatif” dan “kualitatif” untuk membahas perbedaan antara keduanya. Pengertian teori yang berpuncak pada penjelasan sebab-akibat sebagaimana diulas di atas adalah pengertian yang pada umumnya dipakai oleh penelitian kuantitatif. Menurut Schwandt (2001), penelitian kualitatif memakai pengertian yang sedikit berbeda. Dengan demikian, terdapat 4 (empat) pengertian teori dalam penelitian kualitatif, yaitu : Sebagai generalisasi yang diperoleh melalui penelitian empiris. Sebagai penjelasan sebab-akibat yang padu dan sistematis tentang berbagai fenomena sosial. Sebagai orientasi atau perspektif untuk melihat masalah, memecahkan masalah, dan memahami serta menjelaskan realitas sosial. Sebagai ‘teori kritis’ (critical theory), yang merupakan cara membuat teori dan produk dari cara membuat teori itu. Cara dan produk ini bertentangan dengan cara pandang yang menghasilkan dua pengertian pertama karena : a) Melakukan tinjauan kritis terhadap konsep, pemahaman, kategori yang saat ini sudah ada tentang kehidupan sosial manusia, yang selama ini dianggap “sudah dari sananya” (taken for granted). b) Menganggap teori sebagai sesuatu yang melekat kepada praxis. Dalam tradisi empiris, ilmuan beranggapan bahwa kegiatan ilmiahnya bukan bagian dari kehidupan sosial sehari-hari, melainkan sebuah kegiatan terpisah dan “netral”. Kalau sebuah teori akan diterapkan, maka harus ada kegiatan lain yang tidak digolongkan sebagai “ilmiah”. Teori kritis, sebaliknya, menganggap bahwa seorang ilmuan harus “punya kepentingan” dan setiap teori sekaligus punya nilai empiris (praktis) maupun normatif. c) Merupakan teori yang menggunakan metode kritik secara terus menerus dan ketat (imminent critique) terhadap semua pemikiran yang saat ini sudah ada, bekerja dari dalam struktur pemikiran tersebut untuk menemukan pertentangan-pertentangan dan hal-hal yang selama ini disembunyikan. Jadi, secara eksplisit para teoritisi kritis bermaksud membongkar tatanan ilmiah yang selama ini dibangun lewat cara-cara non-kritis. Perbedaan pengertian teori dalam ilmu sosial juga dapat muncul karena pandangan yang menekankan cara dan proses pembentukan teori. Misalnya, Strauss dan Corbin (1998), sebagai penganjur grounded theory yang sering dipakai oleh para peneliti kualitatif, berpendapat bahwa teori memang dibangun dari konsep dan proposisi sebagaimana yang diuraikan di atas. Tetapi mereka menegaskan bahwa metodologi grounded theory akan menghasilkan teori yang “padat konsep” karena para penelitinya lebih berupaya mengungkapkan proses yang sesungguhnya terjadi di dalam interaksi antar manusia. Setelah mengamati sebuah proses secara seksama dan terinci, para peneliti grounded theory menemukan pola dan tahap yang secara analitis dapat dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah tetapi mempunyai keterkaitan. Identifikasi pola dan tahap inilah yang merupakan konseptualisasi atau penemuan konsep, yang kemudian dilanjutkan dengan proposisi dan akhirnya teori. Dengan kata lain, terjadi proses dari bawah ke atas (bottom up) dan dari data “kasar” ke konsep yang semakin “halus”. Sementara itu kita juga musti ingat, bahwa jika teori-teori ilmu alam pada umumnya datang dari pengamatan terhadap jagat raya dan fenomena alam untuk menjelaskan gejala itu, maka teori-teori ilmu sosial sebenarnya juga muncul dari pandangan tentang moral. Sebagaimana dijelaskan oleh Heilbron (1995), teori ilmu sosial pada awalnya bukan hanya merupakan upaya menjelaskan “apa yang dilakukan manusia “ atau “bagaimana manusia bertingkah laku”, tetapi juga “bagaimana seharusnya manusia bertindak dengan tepat dan bijaksana di dalam lingkungan sosialnya”. Menurut Best (2004) secara umum setiap teori sosial memiliki 4 (empat) elemen utama, yaitu : 1) Epistemologi – atau teori tentang pengetahuan (theory of knowledge) yang merupakan penjelasan tentang ‘bagaimana manusia dapat mengetahui/mempelajari apa yang manusia perlu ketahui”. Semua teori sosial mengandung petunjuk tentang bagaimana mendapatkan pengetahuan tentang suatu hal. 2) Ontologi – atau teori tentang realita untuk menjelaskan atau memberikan dasar pemahaman tentang kenyataan, atau tentang apa saja gejala yang nyata dapat dipelajari. 3) Lokasi historis – untuk menjelaskan bilamana teori tersebut pertama dibentuk, dalam konteks situasi seperti apa, agar pengguna teori memiliki pengetahuan latarbelakang tentang teori yang bersangkutan. 4) Serangkaian usulan (prescription) – untuk digunakan sebagai panduan dalam kegiatan sehari-hari sebagai mahluk sosial. Sementara itu, secara umum istilah teori dalam ilmu sosial mengandung beberapa pengertian, di antaranya, 1) Teori adalah abstraksi dari realitas; 2) Teori adalah terdiri dari sekumpulan prinsip dan defenisi yang secara konseptual mengorganisasikan aspek-aspek dunia empiris secara sistematis; 3) Teori terdiri dari asumsi-asumsi, proposisi-proposisi, dan aksiomaaksioma dasar yang saling berkaitan; 4) Teori terdiri dari teorema-teorema, yakni generalisasi-generalisasi yang diterima atau dapat dibuktikan secara empiris. Dari unsur di atas dapat disimpulkan bahwa teori pada dasarnya merupakan konseptualisasi atau penjelasan logis dan empirik tentang suatu fenomena. Bentuknya merupakan pernyataan-pernyataan yang berupa kesimpulan tentang suatu fenomena. Sementara itu, Alexis Stan mendefinisikan teori ke dalam 3 (tiga) kategori, yakni : 1. Adalah penjelasan atau pernyataan umum mengenai fenomenafenomena yang mencakup sejumlah besar fenomena dan hubunganhubungan di antara fenomena-fenomena tersebut. 2. Adalah proposisi yang memberikan penjelasan tentang suatu fenomena atau gejala. 3. Adalah sekumpulan hukum-hukum atau prinsip-prinsip umum ang saling berhubungan mengenai salahsatu aspek daripada realitas. Sifat-Sifat Teori Dalam pengertian orang kebanyakan, teori dipahami sebagai sesuatu yang tidak praktek, atau kebalikan dari praktek, dan bahkan tidak ada faktanya. Sebenarnya, anggapan tersebut tidak terlalu salah jika yang dimaksudkannya adalah hypothetical theory semata, tanpa ada tindak lanjut pengujiannya. Orang hanya berpraanggapan, berpraduga, atau berkesimpulan tertentu terhadap adanya fakta dibalik fenomena yang tampak. Misalnya, ketika di Indonesia terjadi krisis ekonomi yang awalnya dimulai akhir tahun 1997-an, yang kemudian diikuti oleh keterpurukan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika hingga titik terendah. Lantas, banyak orang berteori bahwa itu merupakan dampak dari krisis identitas, yakni akibat korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara serta akibat ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintahan, dan masih banyak lagi teori-teori yang muncul tentang masalah tersebut, bahkan ada yang mengklaim, kalau semua itu semata karena kesalahan manajemen Soeharto sebagai presiden Indonesia kala itu. Semua teori tersebut pada dasarnya hanyalah sebuah dugaan atau hipotesis belaka tanpa ada yang menguji validitas dan reliabilitasnya. Di sini, yang disebut teori bukan itu maknanya, tapi sudah melibatkan aspek-aspek praktis sebagai kelanjutannya atau bahkan didahului dengan kegiatan praktis, kemudian disusunlah penjelasan lengkap atas kegiatan dimaksud. Konsep dan penjelasan dimaksud itulah yang dikategorikan sebagai teori, terutama jika penjelasan-penjelasannya benar. Artinya memenuhi kaidah-kaidah tertentu, seperti sistematis, runtut, didukung data empiris, dan adanya tahapan analisis untuk menguji hipotesis tadi, yang akhirnya terbentuklan suatu temuan atau kesimpulan. Teori memang digunakan untuk menjelaskan konsep-konsep secara luas tentang suatu fenomena, hingga menemukan faktanya. Sekaitan dengan itu, untuk menggeneralisasikan konsep akan teori sedikitnya terbagi atas 2 (dua) kelompok, yakni : Semua teori bersifat abstraksi, atau merupakan abstraksi abstraksi dari fenomena. Teori komunikasi informasi bukan merupakan proses yang dikonseptualisasikan, sehingga masing-masing teori itu terpisah satu sama lain. Teori hanya memusatkan diri pada sesuatu hal dan mengabaikan halhal lainnya. Dalam pemahaman ini tidak ada teori tunggal. Atau teori dipandang sebagai sebuah sistem kecil yang seolah berdiri sendiri, tanpa dikonteksan dengan teori lain yang sejenis. Semua teori dipandang sebagai suatu konstruksi, yang merupakan ciptaan dari ide manusia. Teori mewakili cara peneliti melihat lingkungannya, namun teori itu sendiri tidak merefleksikan realitas. Teori memang bukan sekadar alat untuk mengungkapkan fakta-fakta tersembunyi. Teori adalah cara melihat fakta-fakta, mengorganisasikannya, dan akhirnya mewakilinya. Intinya, teori merupakan suatu cara untuk melihat dan berpikir tentang dunia. Diibaratkan bahwa teori lebih baik disebut sebagai lensa yang digunakan pada observasi, daripada sebuah cermin tentang dunia. Fungsi Teori Mengenai fungsi teori, secara rinci Littlejohn menyatakan ada 9 (sembilan) fungsi dari teori tersebut, antara lain : 1. Mengorganisasikan dan menyimpulkan pengetahuan tentang suatu hal. Hal ini berarti dalam mengamati realitas tidak boleh melakukan sepotong-sepotong. Namun perlu mengorganisasikan dan mensintesiskan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan nyata. Pola-pola dan hubungan-hubungan harus dapat dicari dan ditemukan. Pengetahuan yang diperoleh dari pola atau hubungan itu kemudian disimpulkan. Hasilnya (berupa teori) akan dapat dipakai sebagai rujukan atau dasar bagi upaya-upaya studi berikutnya. 2. Pemusatan atau focusing. Di samping fungsinya untuk mengorganisasikan data, teori juga berfungsi untuk memusatkan perhatian kepada beberapa variabel secara tertentu, tidak sembarang. Analoginya, seperti melihat peta, dimana hanya bagian-bagian tertentu saja dengan lingkungan sekitarnya yang diperhatikan, dan tidak perlu melihat wilayah lainnya. Intinya, apa yang akan dilihat dan diperhatikan, itulah yang menjadi titik perhatian teori. 3. Menjelaskan. Teori harus mampu membuat suatu penjelasan tentang hal yang diamatinya. Misalnya mampu menjelaskan pola-pola hubungan dan menginterpretasikan peristiwa-peristiwa tertentu. Teori memberikan penunjuk jalan bagi penafsiran, penjelasan, dan pemahaman akan kompleksitas hubungan antar manusia. Dengan memahami atau membicarakan fungsi-fungsi teori tentang hubungan antar manusia, maka variabel-variabel yang terlibatnya pun sangat beragam, seberagam aspek kehidupan manusia itu sendiri yang serba beda dan unik. 4. Pengamatan. Teori tidak sekedar memberi penjelasan, tapi juga memberikan petunjuk bagaimana cara mengamatinya, berupa konsepkonsep operasional yang akan dijadikan patokan ketika mengamati halhal rinci yang berkaitan dengan elaborasi teori. Teori berfungsi menawarkan sesuatu yang bersifat observasional. Teori tidak hanya menunjukkan apa yang diamati melainkan juga bagaimana mengamati. Dengan kata lain, teori itu bersifat praktis. Langkah dalam pengujian teori ini terkadang tidak cukup hanya dengan teknik hipotetis saja, melainkan harus dilakukan pengujian langsung di lapangan. 5. Membuat prediksi. Meskipun kejadian yang diamati berlaku pada masa lalu, namun berdasarkan data dan hasil pengamatan ini harus dibuat suatu perkiraan tentang keadaan yang bakal terjadi apabila hal-hal yang digambarkan oleh teori juga tercermin dalam kehidupan di masa sekarang. Fungsi prediksi ini terutama sekali penting bagi bidang-bidang kajian komunikasi terapan seperti persuasi dan perubahan sikap, 6. 7. 8. 9. komunikasi dalam organisasi, dinamika kelompok kecil, periklanan, public relations dan media massa. Fungsi heuristik atau heurisme. Arti harfiahnya adalah membantu untuk menemukan. Bahwa teori yang baik harus mampu merangsang penelitian selanjutnya. Hal ini dapat terjadi apabila konsep dan penjelasan teori cukup jelas dan operasional sehingga dapat dijadikan pegangan bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Komunikasi. Teori tidak harus menjadi monopoli penciptanya. Teori harus dipublikasikan, didiskusikan dan terbuka terhadap kritikan, yang memungkinkan untuk menyempurnakan teori. Dengan cara ini maka modifikasi dan upaya penyempurnaan teori akan dapat dilakukan. Fungsi kontrol yang bersifat normatif. Asumsi-asumsi teori dapat berkembang menjadi nilai-nilai atau norma-norma yang dipegang dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, teori dapat berfungsi sebagai sarana pengendali atau pengontrol tingkah laku kehidupan manusia. Generatif. Maksudnya adalah menggunakan teori untuk menantang kehidupan budaya yang sudah ada dan melahirkan budaya yang baru. Dengan kata lain, teori berfungsi untuk mencapai perubahan. Di samping turut memperkuat norma yang berlaku, teori juga punya potensi untuk merubah norma yang sedang berlalu. Ketika Galileo, seorang ahli astronomi Italia (1564-1642) mengemukakan teori mengenai sistem tata surya, bahwa bumilah yang mengelilingi matahari, maka pandangan masyarakat, terutama kaum gereja (termasuk sebagian besar ilmuwan saat itu) menjadi gempar dan tidak percaya, meskipun lama kelamaan menjadi percaya juga. Padahal kepercayaan dan keyakinan selama berabad-abad ke belakang, mataharilah yang mengelilingi bumi. Sekarang, sebagian orang awam juga masih ada yang tidak percaya bahwa bumi mengelilingi matahari. Prinsip Teori Penjelasan dalam teori tidak hanya menyangkut penyebutan nama-nama serta pendefenisian dari variabel-variabel, tetapi juga berupaya untuk mengidentifikasikan keberaturan hubungan di antara variabel-variabel. Menurut Litlejohn (1987), penjelasan dalam teori berdasarkan pada “prinsip keperluan” (the principle of necessity), yakni suatu penjelasan yang menerangkan variabel-variabel apa yang mungkin diperlukan untuk menjelaskan atau menghasilkan sesuatu. Misalnya untuk menghasilkan variable X, mungkin diperlukan variabel Y dan Z. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa prinsip ini terdiri dari 3 macam, yaitu : 1. Causal Necessity (keperluan kausal). Adalah berdasarkan pada azas sebab-akibat. Misalnya, karena ada X dan Z maka ada Y. 2. Practical Necessity (keperluan praktis). Mengacu pada hubungan tindakan-konsekuensi. Menurut prinsip ini X dan Z memang bertujuan untuk menghasilkan Y. 3. Logical Necessity (keperluan logis). Prinsip ini berdasarkan asas konsistensi logis. Artinya X dan Z secara konsisten dan logis akan selalu menghasilkan Y. Pengembangan Teori Proses pengembangan atau pembentukan teori umumnya mengikuti model pendekatan eksperimental yang lazim dipergunakan dalam ilmu pengetahuan alam. Menurut pendekatan ini, biasa disebut Hyphotetif-deductive method, proses pengembangan teori melibatkan 4 (empat) tahap sebagai berikut : 1. Developing questions (mengembangkan pertanyaan) 2. Forming hyphotheses (membentuk hipotesis) 3. Testing the hyphotheses (menguji hipotesis) 4. Formulating theory (memformulasikan theory) Ada beberapa patokan yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam mengevaluasi kesahihan teori, antara lain : 1. Cakupan teoritis (theoritical scope). Teori yang dibangun harus memiliki keberlakuan umum. Artinya dapat dijadikan standar untuk mengamati fenomena yang berkaitan dengan teori itu. 2. Kesesuaian (appropriatness). Apakah isi teori sesuai dengan pertanyaanpertanyaan atau permasalahan teoritis yang diteliti. Artinya landasan pikirnya dapat memberikan cara yang sesuai dan benar untuk menjawab pertanyaan penelitian. 3. Heuristic. Apakah suatu teori yang dibentuk punya potensi untuk menghasilkan penelitian atau teori-teori lainnya yang berkaitan. Sebagaimana telah dijelaskan diawal suatu teori merupakan hasil konstruksi atau ciptaan manusia, maka suatu teori sangat terbuka untuk diperbaiki. 4. Validity. Konsistensi internal dan eksternal. Artinya memiliki nilai-nilai objektivitas yang akurat, karena teori merupakan suatu acuan berpikir. Konsistensi internal mempersoalkan apakah konsep dan penjelasan teori konsisten dengan pengamatan, sementara itu konsistensi eksternal mempertanyakan apakah teori yang dibentuk didukung oleh teori lainnya yang telah ada. 5. Parsimony. Kesederhanaan, artinya teori yang baik adalah teori yang berisikan penjelasan-penjelasan yang sederhana. Sementara itu, sekaitan dengan perubahan teori sesuai dengan sifatnya, menurut Thomas Kuhn, (dalam Littlejohn, 1996) setidaknya terdapat 3 (tiga) cara perubahan suatu teori, yakni sebagai berikut : 1. Tumbuh meluas (grouwth by extension). Konsep yang ada bertambah dan berkembang secara meluas. Dari konsep satu ke konsep-konsep lain sesuai dengan sifat perkembangannya. Di sini aspekaspek baru dimunculkan. 2. Tumbuh meningkat (growth by intension). Hal ini berkaitan dengan peningkatan daya pemahaman seseorang pada konsep yang digagasnya. 3. Berubah melalui revolusi. Teori berubah atau berkembang secara normal jika memenuhi kaidah tumbuh meluas dan meningkat seperti dua konsep di atas, namun ada perubahan lain yang tidak seperti itu, melainkan melalui revolusi. Dalam revolusi ilmiah, dua paradigma diadu satu dengan yang lainnya. Paradigma lama mewakili sains normal, sedangkan yang baru menggambarkan revisi dari yang lama tadi. Dalam hal ini konsep-konsep lama diubah secara radikal dan berbeda, dirumuskan kembali definisinya secara menyeluruh. Dengan demikian, bidang studi lama bisa saja mati, dan yang baru bisa dilahirkan, serta perkawinan antara keduanya juga bisa terjadi. 3.2 Tentang Teori Komunikasi Para ahli komunikasi telah lama berupaya untuk memberikan penjelasan mengenai pengertian 'komunikasi' melalui berbagai teori yang dikemukakannya. Namun nyatanya, semakin banyak upaya yang dilakukan, justru menjadikan pengertian komunikasi semakin beragam. Berbagai perbedaan pandangan tersebut semata dikarenakan para ahli komunikasi tersebut memiliki ketertarikan yang berbeda-beda pula terhadap berbagai bidang atau aspek yang tercakup dalam ilmu komunikasi. Mereka juga memiliki pandangan yang tidak sama mengenai hal apa yang menjadi fokus perhatian atau aspek apa dalam komunikasi yang menurut mereka paling penting dalam kajian ilmu dan teori komunikasi. Kendati banyak perbedaan pandangan tersebut, namun melalui penelaahan secara melalui suatu metamodel teori komunikasi yang bersifat menyeluruh (komprehensif) dapat membantu menjelaskan berbagai topik dan asumsi serta membantu dalam melakukan pendekatan terhadap berbagai teori yang ada. Metamodel teori komunikasi tersebut menyediakan suatu sistem yang kuat untuk mengorganisir berbagai teori komunikasi. Dalam menjelaskan berbagai teori komunikasi yang jumlahnya banyak tersebut, Craig membaginya ke dalam 7 (tujuh) kelompok pemikiran atau tujuh tradisi pemikiran, antara lain : 1. Sosiopsikologi (Sociopsychological) Pemikiran yang berada di bawah naungan sosiopsikologi memandang individu sebagai makhluk sosial. Teori-teori yang berada di bawah tradisi sosiopsikologi memberikan perhatiannya antara lain pada perilaku individu, pengaruh, kepribadian dan sifat individu atau bagaimana individu melakukan persepsi. Sosiopsikologi digunakan dalam topik-topik tentang pribadi individu, pesan, percakapan, hubungan interpersonal, kelompok, organisasi, media, budaya dan kajian tentang masyarakat. Tradisi ini mewakili perspektif objektif/scientific. Penganut tradisi ini percaya bahwa kebenaran komunikasi bisa ditemukan melalui pengamatan yang teliti dan sistematis. Tradisi ini mencari hubungan sebabakibat yang dapat memprediksi kapan sebuah perilaku komunikasi akan berhasil dan kapan akan gagal. Adapun indikator keberhasilan dan kegagalan komunikasi terletak pada ada tidaknya perubahan yang terjadi pada pelaku komunikasi, terutama pada diri komunikan atau sasaran komunikasi. Semua itu dapat diketahui melalui serangkaian eksperimen. Salah satu tokoh dari tradisi ini adalah Carl I Hovland, adalah seorang ahli psikologi yang sekaligus peletak dasar-dasar penelitian eksperimen yang berkaitan dengan efek-efek komunikasi, yakni sebagai berikut : Menjadi peletak dasar proposisi empirik yang berkaitan dengan hubungan antara stimulus komunikasi, kecenderungan audiens dan perubahan opini. Memberikan kerangka awal untuk membangun teori berikutnya. Hovland mengungkapkan, dalam formula who says what to whom with what effect, sedikitnya terdapat 3 (tiga) variabel yang memiliki sifat persuasif, yakni : Who---sumber pesan; What---isi pesan.; dan Whom---karakteristik audiens. Sementara efek utama yang diukur adalah perubahan pendapat yang dinyatakan melalui skala sikap yang diberikan sebelum dan pesan disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Jadi, perhatian penting dalam tradisi ini, antara lain perihal pernyataan, pendapat (opini), sikap, persepsi, kognisi, interaksi dan efek atau pengaruh. 2. Sibernetika (Cybernetic) Sibernetika memandang komunikasi sebagai suatu sistem dimana berbagai elemen yang terdapat di dalamnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Komunikasi dipahami sebagai sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling mempengaruhi satu sama lain. Sibernetika digunakan dalam topik-topik tentang diri individu, percakapan, hubungan interpersonal, kelompok, organisasi, media, budaya dan masyarakat. Ide komunikasi sebagai pemrosesan informasi pertama kali dikemukakan oleh Shannon & Weaver dengan karyanya Mathematical Theory Communication. Bahkan teorinya diterima secara luas sebagai salah satu benih yang keluar dari studi komunikasi. Menurut teori ini, komunikasi dipandang sebagai transmisi pesan. Karya mereka tersebut berkembang selama Perang Dunia kedua di Bell Telephone Laboratories di AS. Eksperimennya dilakukan pada saluran kabel telepon dan gelombang radio bekerja dalam menyampaikan pesan. Meskipun eksperimennya sangat berkaitan dengan masalah eksakta, tapi mereka mengklaim bahwa teori tersebut bisa diterapkan secara luas terhadap semua pertanyaan tentang komunikasi insani (human communication). Jadi, dalam tradisi ini konsep-konsep penting yang dikaji antara lain pengirim, penerima, informasi, umpan balik, redudancy, dan sistem. Walaupun dalam tradisi ini seringkali mendapat kritik, terutama berkenaan dengan pandangan asumtif yang cenderung menyamakan antara manusia dengan mesin dan menganggap bahwa suatu realitas atau gejala timbul karena hubungan sebab akibat yang linier. 3. Retorika (Rhetorical) Retorika didefinisikan sebagai seni membangun argumentasi dan seni berbicara. Dalam perkembangannya retorika juga mencakup proses untuk “menyesuaikan ide dengan orang dan menyesuaikan orang dengan ide melalui berbagai macam pesan”. Sekaitan dengan komunikasi sebagai ilmu bicara yang sarat seni, sedikitnya ada 6 (enam) keistimewaan sebagai ciri tradisi ini, yakni : 1. Keyakinan bahwa berbicara membedakan manusia dari binatang. 2. Ada kepercayaan bahwa pidato publik yang disampaikan dalam forum demokrasi adalah cara yang lebih efektif untuk memecahkan masalah politik. 3. Retorika merupakan strategi dimana seorang pembicara mencoba memengaruhi seorang audiens dari sekian banyak audiens melalui pidato yang jelas-jelas bersifat persuasif. Public speaking pada dasarnya adalah komunikasi satu arah. 4. Pelatihan kecakapan pidato adalah dasar pendidikan kepemimpinan. Seorang pemimpin harus mampu menciptakan argumen-argumen yang kuat lalu dengan lantang menyuarakannya. 5. Menekankan pada kekuatan dan keindahan bahasa untuk menggerakkan orang banyak secara emosional dan menggerakkan mereka untuk beraksi/bertindak. Pengertian Retorika lebih merujuk kepada seni bicara daripada ilmu berbicara. 6. Sampai tahun 1800-an, perempuan tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakan haknya. Jadi, retorika merupakan sebuah keistimewaan bagi pergerakan wanita di Amerika yang memperjuangkan haknya untuk bisa berbicara di depan publik. 4. Semiotika (Semiotic) Semiotika adalah ilmu tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Sebuah tanda adalah sesuatu yang menunjukkan sesuatu yang lain. Contohnya, asap menandai adanya api. Lebih lanjut, Pawito (2007) menyatakan, semiotika lebih memusatkan pada perhatian lambang-lambang dan simbol-simbol, dan memandang komunikasi sebagai suatu jembatan antara dunia individu-individu dengan ruang di mana lambang-lambang digunakan oleh individu-individu untuk membawa maknamakna tertentu kepada khalayak. Semiotika memandang komunikasi sebagai proses pemberian makna melalui tanda yaitu bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, dan sebagainya yang berada diluar diri individu. Semiotika digunakan dalam topik-topik tentang pesan, media, budaya dan masyarakat. 5. Sosiokultural (Sociocultural) Cara pandang sosiokultural menekankan gagasan bahwa realitas dibangun melalui suatu proses interaksi yang terjadi dalam kelompok, masyarakat dan budaya. Sosiokultural lebih tertarik untuk mempelajari pada cara bagaimana masyarakat secara bersama-sama menciptakan realitas dari kelompok sosial, organisasi dan budaya mereka. Sosiokultural digunakan dalam topik-topik tentang diri individu, percakapan, kelompok, organisasi, media, budaya dan masyarakat. Premis sosiokultural adalah ketika orang berbicara, mereka sesungguhnya sedang memproduksi dan memproduksi kembali budaya. Sebagian besar orang beranggapan bahwa kata-kata mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi. Pandangan seseorang tentang realitas sebenarnya dibentuk oleh bahasa yang telah digunakannya sejak dilahirkan ke dunia. Ahli bahasa dari Universitas Chicago, Edwar Sapir dan Benyamin Lee Whorf adalah figur yang mempelopori tradisi sosio cultural ini. Hipotesis yang diusungnya adalah struktur bahasa suatu budaya menentukan apa yang orang pikirkan dan lakukan. Dapat dibayangkan bagaimana seseorang menyesuaikan dirinya dengan realitas tanpa menggunakan bahasa, dan bahwa bahasa hanya semata-mata digunakan untuk mengatasi persoalan komunikasi atau refleksi tertentu. Hipotesis ini menunjukkan bahwa proses berpikir dan cara memandang dunia dibentuk oleh struktur gramatika dari bahasa yang digunakan. Secara fungsional, bahasa adalah alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan (socially shared), karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Bahasa diungkapkan dengan kata-kata dan kata-kata tersebut sering diberi arti arbiter (semaunya). Contohnya, terhadap buah pisang, orang sunda menyebutnya ’cau’ dan orang jawa menyebutnya ’gedang’. Secara formal, bahasa adalah semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan bahasa. Setiap bahasa dapat dikatakan mempunyai tata bahasa atau grammarnya tersendiri. 6. Kritis (Critical) Istilah teori kritis berasal dari kelompok ilmuwan Jerman yang dikenal dengan sebutan “Frankfurt School”. Para teoritisinya mengadopsi pemikiran Marxis. Kelompok ini telah mengembangkan suatu kritik sosial umum, dimana komunikasi menjadi titik sentral dalam prinsip-prinsipnya. Sistem komunikasi massa merupakan fokus yang sangat penting di dalamnya. Tokoh-tokoh pelopornya, adalah Max Horkheimer, Theodore Adorno serta Herbert Marcuse. Ketika bangkitnya Nazi di Jerman, mereka berimigrasi ke Amerika. Di sana mereka menaruh perhatian besar pada komunikasi massa dan media sebagai struktur penindas dalam masyarakat kapitalistik, khususnya struktur di Amerika. Teori kritis menganggap tugasnya adalah mengungkap kekuatan-kekuatan penindas dalam masyarakat melalui analisis dialektika. Teori kritis juga memberikan perhatian yang sangat besar pada alat-alat komunikasi dalam masyarakat. Komunikasi sendiri merupakan suatu hasil dari tekanan antara kreativitas individu dalam memberi kerangka pesan dengan kendala-kendala sosial terhadap kreativitas tersebut. Salah satu kendala utama pada ekspresi individu adalah bahasa itu sendiri. Kelas-kelas dominan dalam masyarakat menciptakan suatu bahasaa penindasan dan pengekangan, yang membuat kelas pekerja menjadi sangat sulit untuk memahami situasi mereka dan untuk keluar dari situasi tersebut. Kewajiban dari teori kritis adalah menciptakan bentuk-bentuk bahasa baru yang memungkinkan diruntuhkannya paradigma dominan. Hal itulah yang diungkapkan oleh Jurgen Habermas, tokoh terkemuka kelompok Franfurt School di era berikutnya. Habermas menaruh perhatian khusus pada dominasi kepentingan teknis dalam masyarakat kapitalis kontemporer. Dalam masyarakat seperti itu, publik dan swasta terjalin sampai pada tingkat di mana sektor publik tidak mampu mempertahankan diri terhadap penindasan kepentingan teknis swasta. Idealnya, publik dan swasta seimbang, dan sektor publik harus cukup kuat untuk memberikan suatu iklim bagi kebebasan gagasan dan debat. Dari bahasan tersebut, jelaslah bahwa Habermas menilai, komunikasi sangat penting bagi pembebasan. Bahasa sendiri merupakan hal pokok bagi kehidupan manusia, dan bahasa menjadi alat dimana kepentingan pembebasan dipenuhi. Karenanya, kompetensi komunikasi diperlukan untuk partisipasi yang efektif dalam pengambilan keputusan. 7. Fenomenologi (Phenomenology) Fenomenologi memandang komunikasi sebagai pengalaman melalui diri sendiri atau diri orang lain melalui dialog. Tradisi memandang manusia secara aktif menginterpretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungan. Fenomenologi memberikan penekanan yang sangat kuat terhadap persepsi dan interpretasi dari pengalaman-pengalaman subjektif manusia. Pendukung teori ini berpandangan bahwa cerita atau pengalaman individu adalah lebih penting dan memiliki otoritas lebih besar dari pada hipotesa penelitian sekalipun. Fenomenologi digunakan dalam teori-teori tentang pesan, hubungan interpersonal, budaya dan masyarakat. Berbagai perbedaan yang terkandung dalam masing-masing kelompok tradisi komunikasi tersebut mempengaruhi pada cara melakukan riset atau penelitian komunikasi dan mempengaruhi pilihan teori yang akan digunakan. Meski fenomenologi adalah sebuah filosofi yang mengagumkan, pada dasarnya menunjukkan analisis terhadap kehidupan sehari-hari. Titik berat tradisi fenomenologi adalah pada bagaimana individu mempersepsi serta memberikan interpretasi pada pengalaman subyektifnya. Bagi seorang fenomenologis, cerita kehidupan seseorang lebih penting daripada axioma-axioma komunikasi. Seorang psikologis, Carl Rogers percaya bahwa kesehatan kliennya akan pulih ketika komunikasinya mampu menciptakan lingkungan yang nyaman baginya untuk berbincang atau berkomunikasi. Dia menggambarkan tiga kondisi yang penting dan kondusif bagi perubahan suatu hubungan dan kepribadian, yakni : a. Kecocokan/kesesuaian, adalah kecocokan antara perasaan dalam hati individu dengan tampilan luar . Orang yang tidak memiliki kecocokan akan mencoba mempengaruhi, bermain peranan, sembunyi di balik suatu tedeng aling-aling. b. Hal positif yang tidak bersyarat, adalah sebuah sikap penerimaan yang bukan merupakan kesatuan dalam penampilan. c. Pemahaman empatik. Setiap teori pada dasarnya selalu menggunakan cara atau metode riset yang berbeda yang secara umum dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar paradigma penelitian yaitu, 1) objektif; dan 2) interpretatif. Objektif Ilmu pengetahuan seringkali diasosiasikan dengan sifatnya yang objektif (objectivity) yang berarti bahwa pengetahuan selalu mencari standarisasi dan kategorisasi. Dalam hal ini, para peneliti melihat bahwa dunia sedemikian rupa sehingga peneliti lain yang memakai cara atau metode melihat yang sama akan menghasilkan kesimpulan yang sama pula. Dengan kata lain, suatu replikasi atau penelitian yang berulang-ulang akan selalu menghasilkan kesimpulan yang persis sama sebagaimana penelitian dalam ilmu pengetahuan alam (natural sciences). Penelitian yang menggunakan metode objektif sering disebut dengan penelitian empiris (scientific scholarship) atau positivis. Perlu ditegaskan bahwa apa yang dikenal selama ini sebagai tipe penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif masuk dalam kategori penelitian objektif positivis ini. Interpretatif Mereka yang memakai pendekatan ini disebut sebagai humanistic scholarship. Jika metode objektif (kuantitatif/kualitatif) bertujuan untuk membuat standarisasi observasi maka metode subjektif (penelitian interpretatif) berupaya menciptakan interpretasi. Jika ilmu pengetahuan berupaya untuk mengurangi perbedaan di antara para peneliti terhadap objek yang diteliti, maka para peneliti humanistik berupaya untuk memahami tanggapan subjektif individu. Pendekatan interpretatif ini memandang bahwa metode penelitian ilmiah tidaklah cukup untuk dapat menjelaskan ”misteri' mengenai pengalaman manusia sehingga diperlukan unsur manusiawi yang kuat dalam penelitian. Kebanyakan mereka yang berada dalam kelompok ini lebih tertarik pada kasus-kasus individu daripada kasus-kasus umum. Berdasarkan klasifikasi teori komunikasi dari Robert Craig tersebut, teori komunikasi memiliki sifat objektif dan interpretatif, maka kelompok teori komunikasi yang paling objektif adalah Sosisopsikologi, sedangkan kelompok teori yang paling subjektif interpretatif adalah fenomenologi, sosiokultural dan kritis. Sementara itu, berdasarkan pendekatan harfiah, teori komunikasi bisa dibilang konseptualisasi atau penjelasan logis mengenai fenomena komunikasi dalam kehidupan. 3.3 Teoritisi Komunikasi Dalam rangka melacak teori komunikasi tentunya perlu terlebih dahulu melakukan penelaahan terhadap pemikiran para pakar dari disiplin ilmu sosial secara umum serta para pakar disiplin ilmu komunikasi secara khusus. Ilmu komunikasi sendiri mengalami perkembangan pesat di Amerika. Sejumlah ilmuwan turut membantu mengembangkannya. Sejumlah tokoh, seperti Dewey, Cooley, Park dan Mead ditenggarai sebagai tokoh sentral bagi perkembangan ilmu Komunikasi di dunia, khususnya di Amerika. Mereka menekankan pendekatan fenomenologis pada komunikasi manusia, menitikberatkan bahwa subjektivitas individual ketika mempersepsi suatu pesan secara hakiki adalah kualitas manusiawi. Jadi, mereka berpendapat, bagaimana seseorang mengartikan informasi dan bagaimana makna tersebut diberikan kepada suatu pesan merupakan suatu aspek fundamental dari proses komunikasi. Lebih jelasnya tentang pendapat mereka terhadap ilmu dan teori komunikasi, berikut uraian singkatnya. Kendati, tidak dianggap sebagai orang komunikasi, namun pemikirannya memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu dan teori komunikasi. John Dewey John Dewey adalah seorang dosen filsafat pada Universitas Michigan dari tahun 1884 s.d. 1894. Dalam pernyataannya, Dewey berpandangan kalau komunikasi massa merupakan sarana perubahan sosial (social change). Karenanya, dibantu seorang mahasiswanya, Robert Park, ia menerbitkan surat kabar bernama Thought News. Tujuannya melaporkan penemuan-penemuan mutakhir ilmu sosial dan untuk membahas masalah-masalah sosial. Walaupun usaha-usaha penerbitannya tersebut gagal. Namun Dewey tidak pernah menyerah dalam upaya menampilkan perubahan sosial berdasarkan potensi media massa. Dewasa ini, Dewey terkenal karena filsafat fragmatiknya, karenanya ia dijuluki sebagai filsuf komunikasi yang pertama. Dewey berkeyakinan bahwa suatu idea akan benar apabila dipraktekkan. Pragmatisme menolak dualisme pikiran dan keyakinan, subjek dan objek. Charles Horton Cooley Cooley dilahirkan di Ann Arbor, Michigan. Semasa hidupnya,m yakni dalam rentang 1864 s.d 1929, ia berkarir sebagai pengajar di universitas yang menjadi almamaternya dulu, Universitas Michigan. Minat teoritisnya yang paling terkenal adalah pendapat dirinya mengenai pengaruh interaksi (komunikasi) terhadap perubahan indivdu. Cooley mengatakan, keturunan dan individualisme bukan merupakan penentu kepribadiaan seseorang. Sebaliknya, ia menganggap, komunikasi dalam kelompok primer merupakan landasan utama dari sosialisasi. Dalam skema konseptualnya, Cooley menempatkan komunikasi pada nilai yang tinggi, suatu mekanisme dalam formasi yang ia sebut the looking glass sely yang amat penting. Ini ebrarti bahwa interaksi dengan ortang lain bagaikan sejenis cermin yang membantu penentukan konsep diri seseorang. Bagi Cooley, komunikasi memegang peranan sebagai sarana sosialisasi. Karenanya, kKomunikasi menjadi tali pengikat masyarakat. Robert E. Park Oleh para pakar komunikasi, Park dianggap sebagai teoritikus komunikasi massa yang pertama. Bahkan, Park juga dianggap sebagai peneliti komunikasi massa yang pertama. Park adalah seorang pemimpin utama Chicago School of Sociology. Karenanya, Park adalah seorang sosiolog, kendati pada perkembangannya ia banyak berkecimpung dalam ilmu komunikasi. Tahun 1887, Park bekerja sebagai wartawan. Selama bekerja sebagai reporter untuk sejumlah media massa, Park banyak melakukan pengamatan mengenai sejumlah perilaku menyimpang, semisal kejahatan, pelacuran, dan tindak kriminalitas lainnya. Dia juga menyelidiki jurnalisme yang menjadi sarana perkasa dalam perubahan sosial masyarakat. Park mendefinisikan komunikasi sebagai proses sosial psikologis dimana seseorang mampu menerima sikap dan pandangan orang lain. Pernyataan yang subjektivis ini menyanggap model komunikasi linear, suatu pemikiran satu arah yang kemudian menjadi dasar teori informasi Claude Shannon dan Warren Weaver (1950). Adapun konsepsi Komunikasi yang diusung Park menunjukkan bahwa dua orang atau lebih dapat bertukar informasi selama berlangsungnya proses komunkasi dimana keduanya memberikan makna yang berbeda. George Herbert Mead Dalam kumpulan materi kuliahnya saat ia mengajar filsafat di Universtas Chicago yang berjudul, ”Mind, Self and Society” tentang interaksionisme simbolik, Mead menekankan, komunikasi manusia sebagai agen sosialisasi yang fundamental. Mead menegaskan bahwa diri (the self) mulai berkembang pada seorang individu di saat ia belajar memerankan orang lain, belajar mengintimidasi peranan orang lain dan mengantisifasi tanggapan mereka terhadap peranan orang lain. Mead menyatakan, individu-individu menyadari dirinya melalui interaksi dengan orang lain yang berkomunikasi dengannya. Mead menegaskan, keampuhan empatik terdapat dalam penggunaan bahasa yang dipelajarinya dalam interaksi sosial dalam kelompok primernya. 3.4 Teori Komunikasi Dikemukakan oleh Littlejohn (1989) bahwa berdasarkan metode penjelasan serta cakupan mengenai objek pengamatannya, secara umum teori-teori komunikasi dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) bagian besar, yakni 1) teori-teori Umum (general theories); dan 2) teori-teori kontekstual. Teori-Teori Umum (General Theories) Teori ini merupakan teori yang mengarah pada bagaimana menjelaskan fenomena komunikasi berikut metode penjelasannya. Karenanya teori ini memberi analisa pikir terhadap suatu teori, yang terdiri atas sejumlah sub-teori lainnya, di antaranya : Teori-Teori Fungsional dan Struktural Ciri dan pokok pikiran dari teori ini adalah, individu dipengaruhi oleh struktur sosial atau sistem sosial dan individu merupakan bagian dari struktur tersebut, sehingga cara pandangnya dipengaruhi struktur yang berada di luar dirinya. Pendekatan teori ini lebih menekankan tentang sistem sebagai struktur yang berfungsi. Adapun karakteristik dari pendekatan ini adalah sebagai berikut : a. Mementingkan sinkroni (stabilitas dalam kurun waktu tertentu) daripada diacrony (perubahan dalam kurun waktu tertentu). Misalnya, dalam mengamati suatu fenomena menggunakan dalil-dalil yang jelas dari suatu kaidah. Perubahan terjadi melalui tahapan metodologis yang baku. b. Cenderung memusatkan perhatiannya pada akibat-akibat yang tidak diinginkanâ (unintended consequences) daripada hasil yang sesuai tujuan. Pendekatan ini tidak mempercayai konsep subjektivitas dan kesadaran. Fokusnya pada faktor-faktor yang berada di luar kontrol kesadaran manusia. c. Memandang realitas sebagai sesuatu yang objektif dan independen. Oleh karena itu, pengetahuan dapat ditemukan melalui metode empiris yang cermat. d. Memisahkan bahasa dan lambang dari pemikiran dan objek yanng disimbolkan dalam komunikasi. Bahasa hanyalah alat untuk merepresentasikan apa yang telah ada. e. Menganut prinsip the correspondence theory of truth. Menurut teori ini bahasa harus sesuai dengan realitas. Simbol-simbol harus merepresentasikan sesuatu secara akurat. Teori-Teori Behavioral dan Kognitif Teori ini berkembang dari ilmu psikologi yang memusatkan pengamatannya pada diri manusia secara individual. Beberapa pokok pikirannya adalah sebagai berikut : a. Salah satu konsep pemikirannya adalah model stimulus-respon (S-R) yang menggambarkan proses informasi antara stimulus dan respon. b. Mengutamakan analisa variabel. Analisis ini pada dasarnya merupakan upaya mengidentifikasi variabel-variabel kognitif yang dianggap penting dan mencari hubungan antar variabel. c. Menurut pandangan ini komunikasi dipandang sebagai manifestasi dari proses berfikir, tingkah laku dan sikap seseorang. Oleh karena itu, variabel-variabel penentu memegang peranan penting terhadap kognisi seseorang (termasuk bahasa) yang biasanya berada di luar kontrol individu. Contoh lain teori atau model yang termasuk dalam kelompok teori ini adalah Model Psikologi Comstock tentang efek televisi terhadap individu. Tujuan model ini adalah untuk memperhitungkan dan membantu memperkirakan terjadinya efek terhadap tingkah laku orang perorang dalam suatu kasus tertentu, dengan jalan menggabungkan penemuan-penemuan atau teori-teori tentang kondisi umum dimana efek selama ini dapat ditemukan. Model ini dinamakan model psikologi karena melibatkan masalah-masalah keadaan mental dan tingkah laku orang perorang. Model ini berpendapat, televisi hendaknya dianggap sederajat dengan setiap pengalaman, tindakan atau observasi personal yang dapat menimbulkan konsekuensi terhadap pemahaman (learning) maupun tindakan (acting). Jadi model ini mencakup kasus dimana televisi tidak hanya mengajarkan tingkah laku kepada khalayak yang dapat dipelajari dari sumber-sumber lain. Teori-Teori Konvesional dan Interaksional Teori ini beranggapan, komunikasi dapat berlangsung, individu-individu yang berinteraksi menggunakan aturan-aturan dalam menggunakan lambang-lambang. Bukan hanya aturan mengenai lambang itu sendiri tetapi juga harus sepakat dalam giliran berbicara, bagaimana bersikap sopan santun atau sebaliknya, bagaimana harus menyapa dan sebagainya. Teori ini berkembang dari aliran interactionisme simbolik yang menunjukan arti penting dari interaksi dan makna. Adapun pokok pikiran teori ini adalah : a. Kehidupan sosial merupakan suatu proses interaksi yang membangun, memelihara, serta mengubah kebiasaan-kebiasaan tertentu, termasuk dalam hal ini bahasa dan simbol. Komunikasi dianggap sebagai alat perekat masyarakat (the glue of society). b. Struktur sosial dilihat sebagai produk dari interaksi. Interaksi dapat terjadi melalui bahasa, sehingga bahasa menjadi pembentuk struktur sosial. Pengetahuan dapat ditemukan melalui metode interpretasi. c. Struktur sosial merupakan produk interaksi, karena bahasa dan simbol direproduksi, dipelihara serta diubah dalam penggunaannnya. Sehingga focus pengamatannya adalah pada bagaimana bahasa membentuk struktur social, serta bagaimana bahasa direproduksi, dipelihara, serta diubah penggunaannya. d. Makna dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu dari konteks ke konteks. Sifat objektif bahasa menjadi relatif dan temporer. Makna pada dasarnya merupakan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh melalui interaksi. Oleh karena itu makna dapat berubah dari waktu ke waktu, konteks ke konteks, serta dari kelompok social ke kelompok lainnya. Dengan demikian sifat objektivitas dari makna adalah relative dan temporer. Teori-Teori Kritis dan Interpretif Jenis teori ini berkembang dari tradisi sosiologi interpretift, yang dikembangkan oleh Alfred Schulzt, dan Paul Ricour. Sedangkan teori kritis berkembang dari pemikiran Max Weber, Marxisme dan Frankfurt. Interpretif berarti pemahaman yang berusaha menjelaskan makna dari suatu tindakan, karena suatu tindakan dapat memiliki banyak arti, maka makna tidak dapat dengan mudah diungkap begitu saja. Interpretasi secara harfiah merupakan proses aktif dan inventif. Teori interpretif umumnya menyadari bahwa makna dapat berarti lebih dari apa yang dijelaskan oleh pelaku. Jadi interpretasi adalah suatu tindakan kreatif dalam mengungkap kemungkinan-kemungkinan makna. Implikasi social kritis pada dasarnya memiliki implikasi ekonomi dan politik, tetapi banyak diantaranya yang berkaitan dengan komunikasi dan tatanan komunikasi dalam masyarakat. Meskipun demikian, teoritisi kritis biasanya enggan memisahkan komunikasi dan elemen lainnya dari keseluruhan sistem. Jadi, suatu teori kritis mengenai komunikasi perlu melibatkan kritik mengenai masyarakat secara keseluruhan. Pendekatan kelompok ini terutama sekali popular di negara-negara Eropa. Adapun karakteristik umum yang mencirikan teori ini adalah a) Penekanan terhadap peran subjektifitas yang didasarkan pada pengalaman individual; b) Makna merupakan konsep kunci dalam teori-teori ini. Pengalaman dipandang sebagai meaning centered; c) Bahasa dipandang sebagai kekuatan yang mengemudikan pengalaman manusia. Di samping karakteristik di atas yang menunjukan kesamaan, terdapat juga perbedaan mendasar antara teori-teori interpretif dan teori-teori kritis dalam pendekatannya. Pendekatan teori interpretif cenderung menghindarkan sifat-sifat preskriptif dan keputusan-keputusan absolute tentang fenomena yang diamati. Pengamatan menurut teori interpretif, hanyalah sesuatu yang bersifat tentative dan relative. Sementara teori-teori kritis lazimnya cenderung menggunakan keputusan-keputusan absolut, preskriptif dan juga politis sifatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa teori interpretif ditujukan untuk memahami pengalaman hidup manusia, atau untuk menginterpretasikan makna-makna teks. Sedangkan teori kritis berkaitan dengan cara-cara di mana kondisi manusia mengalami kendala dan berusaha menciptakan berbagai metode untuk memperbaiki kehidupan manusia. Teori-Teori Kontekstual Berdasarkan konteks dan tingkatan analisisnya, teori komunikasi dapat dibagi ke dalam 5 (lima) bagian utama, yakni : 1. Intra Personal Communication Adalah proses komunikasi yang terjadi di dalam diri seseorang. Fokusnya adalah pada bagaimana jalannya proses pengolahan informasi yang dialami seseorang melalui sistem syaraf dan inderanya. Umumnya membahas mengenai proses pemahaman, ingatan, dan interpretasi terhadap simbol-simbol yang ditangkap melalui pancainderanya. 2. Interpersonal Communication Komunikasi antar perorangan dan bersifat pribadi baik yang terjadi secara langsung (non-media) atau tidak langsung (media). Fokus teori ini adalah pada bentuk dan sifat hubungan, percakapan, interaksi dan karakteristik komunikator. 3. Group Communication Fokus pada interaksi diantara orang-orang dalam kelompok kecil. Komunikasi kelompok juga melibatkan komunikasi antar pribadi, namun pembahasannya berkaitan dengan dinamika kelompok, efisiensi dan efektifitas penyampaian informasi dalam kelompok, pola dan bentuk interaksi serta pembuatan keputusan. 4. Organization Communication Adalah mengarah pada pola dan bentuk-bentuk komunikasi yang terjadi dalam konteks dan jaringan organisasi. Komunikasi organisasi melibatkan bentuk-bentuk komunikasi formal dan informal. Pembahasan teori ini menyangkut struktur dan fungsi organisasi, hubungan antar manusia, komunikasi dan proses pengorganisasiannya serta budaya organisasi. 5. Mass Communication Adalah komunikasi melalui media massa yang ditujukan pada sejumlah khalayak yang besar. Proses komunikasi melibatkan keempat teori sebelumnya. Teori ini secara umum memfokuskan perhatiannya pada hal-hal yang menyangkut struktur media, hubungan media dan masyarakat, hubungan antara media dan khalayak, aspek-aspek budaya dari komunikasi massa, serta dampak komunikasi massa terhadap individu. Sementara menurut Onong Uchjana Effendi (2000) dalam bukunya “Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi” membagi teori komunikasi ke dalam 2 (dua) fase utama, yakni : 1. Teori Komunikasi Awal Hingga saat ini tercatat tidak kurang dari seratusan teori dan model komunikasi yang diketengahkan para pakar komunikasi, terutama pakar komunikasi dari Amerika. Namun, dalam materi ini tidak akan dipaparkan secara keseluruhan, tetapi akan dipilih beberapa bentuk saja dari teori komunikasi yang dianggap penting dan memiliki korelatif dengan aplikasi komunikasi. Menurut Onong Uchjana Effendy (2003) dalam bukunya “Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi”, teori dan model komunikasi yang tampil pada era pertama sekitar dekade 1940-an s.d 1950-an adalah sebagai berikut : Lasswell’s Model (Model Lasswell) Teori komunikasi yang dianggap paling awal (1948). Lasswell menyatakan bahwa cara yang terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah menjawab pertanyaan, Who says in which channel to whom with what effect (Siapa mengatakan apa melalui saluran apa kepada siapa dengan efek apa). Jawaban bagi pertanyaan paradigmatik Lasswell tersebut merupakan bentuk dari unsur-unsur proses komunikasi, yakni Communicator, Message, Media, Receiver, dan Effect (timbal balik). Adapun fungsi komunikasi menurut Harold D. Lasswell adalah sebagai berikut : a. The surveillance of the environment (pengamatan lingkungan) b. The correlation of the parts of society in responding to the environment (korelasi kelompok-kelompok dalam masyarakat ketika menanggapi lingkungan). c. The transmission of the social heritage from one generation to the next (transmisi warisan sosial dari generasi yang satu ke generasi yang lain). Surveillance yang dimaksud Lasswell adalah, kegiatan mengumpulkan dan menyebarkan informasi mengenai peristiwa-peristiwa dalam suatu lingkungan. Dengan kata lain, perkataan penggarapan berita. Sementara kegiatan yang disebut correlation adalah interpretasi terhadap informasi mengenai peristiwa yang terjadi di lingkungan. Dalam beberapa hal ini dapat didefinisikan sebagai tajuk rencana atau propaganda. Sedangkan Kegiatan transmission of culture difokuskan kepada kegiatan mengkomunikasikan informasi, nilai, dan norma sosial, dari generasi satu ke generasi yang lain, atau dari anggota suatu kelompok ke pendatang baru. S – O - R Theory (Teori S – O - R) Teori S-O-R sebagai singkatan dari Stimulus–Organism-Respon ini semula berasal dari Psikologi. Kalau kemudian menjadi sebuah teori komunikasi, hal ini karena memang objek material dari Psikologi dan komunikasi sama, yaitu manusia dimana jiwanya meliputi komponen-komponen : sikap, opini, perilaku, kognisi, afeksi serta konasi. Menurut teori stimulus respon ini, efek yang ditimbulkan merupakan suatu reaksi khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Jadi unsurunsur dalam teori S-O-R ini adalah, 1) Pesan (Stimulus, S); 2) Komunikan (Organisam, O); dan 3) Efek (Respon, R) Dikemukakan Onong Uchjana Effendy (2000) dalam proses komunikasi yang berkenaan dengan sikap adalah ”Aspek ’How’ bukan aspek ’What’ maupun ’Why’. Jelasnya How to communicate, dalam hal ini How to change the attitude, artinya bagaimana mengubah sikap komunikan”. Dalam proses perubahan sikap tampak sekali bahwa sikap tersebut dapat berubah. Onong Uchjana Effendy mengutip pernyataan dari Hovland, Janis dan Kelley yang menyatakan bahwa, dalam sikap yang baru ada tiga variabel penting, perhatian, pengertian, dan penerimaan. Jadi, perubahan sikap yang terjadi pada diri komunikan (organism) berlangung secara bertahap, artinya ketika komunikan tersebut menerima pesan (stimulus) maka yang pertama yang terjadi pada dirinya adalah perhatian, lalu diikuti oleh pengertian dan terakhir berlanjut pada tahap penerimaan. Gambar 3.1 Teori S – O – R Sumber : Onong Uchjana Effendy, 2000 : 255 Gambar di atas menunjukkan bahwa perubahan sikap tergantung kepada proses yang terjadi pada individu. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada komunikan mungkin akan diterima atau tidak diterima oleh komunikan, komunikasi akan berlangsung jika ada perhatian terlebih dahulu dari komunikan. Proses selanjutnya, komunikan mengerti dan setelah menimbulkan pengertian maka komunikan mengolahnya serta menerimanya (penerimaan) yang pada akhirnya akan ditindak lanjuti dengan suatu sikap perilaku dari komunikan. S – M – C - R Model (Model S – M – C - R) Rumus S-M-C-R merupakan singkatan dari Source, yang berarti sumber atau komunikator, M singkatan dari Message yang berarti pesan, C singkatan dari Channel yang berarti saluran atau media, dan R singkatan dari Receiver yang berarti penerima atau komunikan. Jangan keliru dengan singkatan pada teori S – O – R dimana S adalah singkatan dari Stimulus yang berarti pesan. Sedangkan R singkatan dari Response yang dalam bahasa Indonesia diartikan tanggapan. Khusus mengenai istilah Channel yang disingkat C pada rumus S-M-C-R itu yang berarti saluran/media, komponen menurut Edward Sappir mengandung dua pengertian, yakni primer dan sekunder. Media sebagai saluran primer adalah lambang, misalnya bahasa, kial (gesture), gambar atau warna, yaitu lambang-lambang yang dipergunakan khusus dalam komunikasi tatap muka face-to-face communication). Sedangkan media sekunder adalah media yang berwujud, baik media massa maupun media nirmassa. Jadi, komunikator pada komunikasi tatap muka hanya menggunakan satu media saja, misalnya bahasa, sedangkan pada komunikasi bemedia seorang komunikator, misalnya wartawan, penyiar atau reporter menggunakan dua media, yakni media primer dan media sekunder, jelasnya bahasa dan sarana yang ia operasikan. The Mathematical Theory of Communication Teori matematikal ini acapkali disebut model Shannon dan Weaver, karena teori komunikasi manusia yang muncul tahun 1949 ini merupakan perpaduan gagasan Claude E. Shannon dan Warren Eaver. Shannon pada tahun 1948 mengetengahkan teori matematik dalam komunikasi permesinan (engineering communication), yang kemudian bersama Warren pada tahun 1949 diterapkan pada proses komunikasi manusia (human communication). Sejak saat itu, komunikasi dipergunakan dalam pengertian yang luas yang mencakup semua prosedur dimana pikiran seseorang mempengaruhi pikiran orang lain. Gambar 3.2 Model Matematikal Shannon dan Weaver Sumber : Onong Uchjana Effendi, 2003 : 257 Gambar di atas menunjukkan, sumber informasi (information source) memproduksi sebuah (message) untuk dikomunikasikan. Pesan tersebut dapat terdiri dari kata-kata lisan atau tulisan, musik, gambar, dan lain-lain. Pemancar (transmitter) mengubah pesan menjadi isyarat (signal) yang sesuai bagi saluran yang akan dipergunakan. Saluran (channel) adalah media yang menyalurkan isyarat dari pemancara kepada penerima (receiver). Dalam percakapan sumber informasi adalah benak (brain) pemancar adalah mekanisme suara yang menghasilkan isyarat, saluran (channel) adalah udara. Penerima (receiver) melakukan kebalikan operasi yang dilaksanakan pemancar, yakni merekonstruksi pesan dari isyarat. Sementara tujuan (destination) adalah orang atau benda kepada siapa atau kepada apa pesan ditujukan. The Osgood and Schramm Circular Model (Model Sirkular Osgood dan Schramm) Jika model Shannon dan Weaver merupakan proses linier, model Osggod dan Schramm dinilai sebagai sirkular dalam derajat yang tinggi. Perbedaan lainnya, jika Shannon dan Weaver menitikberatkan perhatiannya langsung pada saluran yang menghubungkan pengirim (sender) dan penerima (receiver), Schramm dan Osgood menitikberatkan pembahasannya pada perilaku pelaku utama dalam proses komunikasi. Shannon dan Weaver membedakan source dengan transmitter dan antara receiver dengan distination. Dengan kata lain, dua fungsi dipenuhi pada sisi pengiriman (transmiting) dan pada sisi pemnerimaan (receiving) dari proses. Pada Schramm dan Osgood ditunjukkan fungsinya yang hampir sama. Digambarkannya dua pihak berperilaku sama, yaitu encoding atau menajdi, decoding atau menjadi balik, dan interpreting atau menafsirkan. Gambar 3.3 Model Sirkular Osgood dan Schramm Sumber : Onong Uchjana Effendi, 2003 : 258 Dance’Helical Model (Model Helical Dance) Model komunkasi helical ini dapat dikaji sebagai pengembangan dari model sirkular dari Osggod dan Schramm. Ketika membandingkan model komunikasi linier dan sirkular, Dance mengatakan bahwa dewasa ini kebanyakan orang menganggap bahwa pendekatan sirkular adalah paling tepat dalam menjelaskan proses komunikasi. Padahal. Ia suatu bentuk melingkar yang semakin membesar menunjukkan perhatian pada suatu fakta bahwa proses komunikasi bergerak maju dan apa yang dikomunikasikan kini akan mempengaruhi struktur dan isi komunikasi yang datang menyusul. Gambar 3.4 Model Helical Dance Sumber : Onong Uchjana Effendi, 2003 : 260 Proses komunikasi, seperti halnya semua proses sosial, terdiri dari unsurunsur, hubungan-hubungan dan lingkungan-lingkungan yang terus menerus berubah. Heliks menggambarkan bagaimana aspek-aspek dri proses berubah dari waktu ke waktu. Dalam percakapan misalnya, bidang kognitif secara tetap membesar pada mereka yang terlibat, baik komunikator maupun komunikan. Para aktor komunikasi secara berkesinambungan memperoleh informasi mengenai topik termasa tentang pandangan orang lain, pengetahuan dan sebagainya. Newcomb’ABX Model (Model ABX Newcomb) Pendekatan Theodore Newcomb (1953) terhadap komunikasi adalah pendekatan seorang pakar psikologi sosial berkaitan dengan interaksi manusia. Model ini mengingatkan kepada diagram komunikasi yang berdasarkan pada pendekatan seorang pakar psikolog sosial dan merupakan awal formulasi konsistensi kognitif. Dalam bentuk yang paling sederhana dari kegiatan komunikasi seseorang A menyampaikan informasi kepada orang lain B mengenai sesuatu X. Model ini menyatakan bahwa orientasi A (sikap) terhadap B dan terhadap X adalah saling bergantung dan ketiganya membentuk sistem yang meliputi empat orientasi. Gambar 3.5 Model Helical Dance Sumber : Onong Uchjana Effendi, 2003 : 261 Keterangan gambar : a. Orientasi A terhadap X termasuk sikap baik terhadap X sebagai objek untuk didekati atau dihindarkan maupun terhadap ciri-ciri kognitif. b. Orientasi A terhadap B dalam pengertian yang benar-benar sama. c. Orientasi B terhadap X d. Orientasi B terhadap A The Theory of Cognitive Dissonance (Teori Disonansi Kognitif) Teori Disonansi Kognitif pertama kali dikembangkan oleh Leon Festinger pada tahun 1962 (Communication Capstone. 2001: persuasion). Disonansi artinya ketidakcocokan. Menurut Festinger disonansi kognitif adalah, “Individu mencoba menghindari perasaan tidak bahagia dan ketidakpastian dengan memilih informasi yang memperkokoh keyakinannya sambil menolak informasi yang bertentangan dengan kepercayaan yang diyakininya,” Disonansi kognitif berarti ketidaksesuaian antara kognisi sebagai aspek sikap dengan perilaku (behaviour) yang terjadi pada diri seseorang. Orang yang mengalami disonansi akan berupaya untuk mencari dalih untuk mengurangi disonansinya. Teori ini menjelaskan tentang adanya konflik batin, atau konflik kepercayaan ketika orang akan menentukan suatu tindakan, atau adanya konflik kepercayaan berkaitan dengan orang lain. Pada umumnya orang berperilaku ajeg atau konsisten dengan apa yang diketahuinya. Tetapi pada kenyataan menunjukkan, sering pula seseorang berperilaku tidak konsisten seperti itu. Jika seseorang mempunyai informasi atau opini yang tidak menuju ke arah menjadi perilaku, maka informasi atau opini itu akan menimbulkan disonansi dengan perilaku. Disonansi Kognitif terjadi ketika seseorang dihadapkan kepada dua pilihan yang keduanya bagus, namun harus menentukan salah satu pilihan tersebut, kendati tidak yakin atas pilihannya itu. Dari situasi seperti itu, ia harus mengurangi atau menurunkan pilihan lain supaya dapat menenangkan dirinya sebagai konsekuensi atas pilihannya itu. Dengan kata lain, ia harus yakin kalau pilihannya itu tepat, sehingga perasaannya tenang. Sikap atau kepercayaan bisa berubah karena adanya terpaan informasi yang selektif dan terus-menerus, meskipun untuk kepercayaan, terutama agama, sangat sulit diubah. Sikap dan kepercayaan yang dimaksudkan adalah yang menyangkut suatu yang akan dilakukan seseorang atau sekelompok orang. Disonansi juga sering muncul dan sering dialami ketika seseorang sedang mengalami masalah yang sangat penting, dimana pilihan atas keputusan akan menjadikannya sebagai pilihan yang tetap. Misalnya dengan pameo, ”Jika salah pilih maka rugi seumur hidup,”. Innoculation Theory (Teori Inokulasi) Teori inokulasi atau teori suntikan merupakan analogi dari suatu peristiwa medis yang dikembangkan pertama kalinya oleh William Mcguire tahun 1961. Teori ini menganalogikan, seseorang yang terserang penyakit cacar, kemudian disuntikan serum cacar (imunisasi) untuk merangsang mekanisme daya tahan tubuhnya. Dalam dunia medis, suatu penyakit yang kurang berbahaya akan memberikan imunitas terhadap seseorang atas suatu penyakit yang lebih berbahaya. Artinya, seorang bisa disuntik dengan serum dengan maksud untuk meningkatkan daya tahan terhadap penyakit tersebut. Demikian pula halnya dengan orang yang tidak memiliki informasi sama sekali mengenai suatu hal atau tidak menyadari posisi mengenai hal tersebut, maka ia akan lebih mudah untuk dipersuasi atau dibujuk (disuntik). Karenanya, suatu cara untuk membuatnya agar tidak mudah terkena pengaruh adalah ”menyuntiknya” dengan berbagai argumentasi balasan atau biasa dikenal dengan istilah counterarguments. Teori ini digunakan untuk menjelaskan sifat kekebalan atau ketahanan yang lebih besar terhadap diri seseorang. Atau dalam konteks ini adalah bahwa proses suplai informasi kepada penerima atau komunikan dilakukan sebelum komunikasi terjadi dengan harapan bahwa informasi yang dikirimkannya mampu membuat penerima atau komunikan tersebut lebih resistan. The Bullet Theory of Communication (Teori Peluru) Teori peluru ini merupakan konsep awal sebagai efek komunikasi massa yang oleh para teoritis komunikasi tahun 1970-an dinamakan Hypodermic Needle Theory yang dapat diterjemahkan sebagai teori jarum hipodermik. Penggagas teori ini adalah Wilbur Scramm pada tahun 1950-an. Ia mengatakan, seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang pasif tidak berdaya. Namun, sejurus kemudian, 20 tahun berselang, atau sekitar tahun 1970-an, Scramm meralat sendiri teorinya itu. Menurutnya, khalayak yang menjadi sasaran komunikator (media massa) ternyata tidak pasif. Pengingkaran Scramm atas teorinya sendiri itu mendapat dukungan dari Paul Lazarsfeld dan Raymond Bauer. Lazarsfeld berpendapat bahwa jika khalayak atau komunikan diterpa oleh peluru komunikasi, mereka tidak akan jatuh terjerembab. Pasalnya, terkadang peluru tersebut tidak tembus. Dalam artian, ada kalanya efek yang timbul berlainan dengan tujuan si penembak. Namun, seringkali pula komunikan yang dijadikan sasaran senang untuk ditembak. Sementara Raymond Bauer menilai, khalayak merupakan sasaran tembak yang tidak pasif, bahkan mereka cenderung stubarn (keras kepala). Secara aktif mereka mencari yang diinginkan dari media massa. Jika menemukannya, mereka (komunikan/khalayak) akan melakukan interpretasi sendiri sesuai dengan predisposisi dan kebutuhannya. 2. Teori Komunikasi Lanjutan Teori komunikasi berlangsung terus menerus secara berkesinambungan. Suatu teori yang dipakai sebagai landasan pemikiran dalam suatu penelitian atau dipakai sebagai pendekatan untuk menelaah suatu fenomena bisa merupakan teori lama yang ditampilkan seorang cendekia atau ahli satu dekade atau dua dekade sebelumnya, bahkan lebih lama dari itu. Berikut ini adalah teori-teori komunikasi yang umumnya berkaitan dengan media massa yang berkembang sejak tahun 1950-an dan terus mengalami perkembangan yang signifikan dan penuh inovasi sehingga menyebabkan dampak yang dihasilkan menjadi semakin kuat dan luas. Four Theories of The Press (Empat Teori Pers) Dari dimensi sejarah pertumbuhan dan perkembangan pers dunia, terdapat sedikitnya empat jenis teori atau konsep dasar tentang pers, yang masing-masing mencerminkan sistem sosial dan sistem politik dimana pers itu berkembang. Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wibur Schramm (1963), dalam bukunya yang diberi judul, “Four Theories of the Press” membagi teori pers ke dalam 4 (empat) sistem pers yang berlaku diberbagai negara hampir di seluruh dunia, yakni sebagai berikut, 1) teori pers otoriter; 2) teori pers liberal; 3) teori pers komunis; dan 4) teori pers tanggung jawab sosial. 1. Teori Otoriter (Authorian Theory) Teori otoriter lahir pada abad kelima belas sampai keenam belas pada masa bentuk pemerintahan bersifat otoriter (kerajaan absolut). Dalam teori ini, media massa berfungsi sebagai penunjang negara (kerajaan) dan pemerintah dengan kekuasaan untuk memajukan rakyat sebagai tujuan utama. Dengan teori ini, pemerintah atau penguasa langsung menguasai dan mengawasi kegiatan media massa. Akibatnya, sistem media massa sepenuhnya berada di bawah pengawasan pemerintah. Setiap pemberitaan atau informasi yang akan diberitakan mendapat pengawasan bahkan sortir terlebih dahulu dari penguasa. Kebebasan pers dalam teori ini sangat bergantung pada kekuasaan raja yang mempunyai kekuasaan mutlak. Dalam sistem ini manusia adalah bagian dari masyarakat. Manusia baru dapat berarti kalau ia hidup dalam kelompok. Sebagai individu, kegiatannya sangat terbatas. Kelompok lebih penting dari individu. Masyarakat tercermin dalam organisasi-organisasi, dan yang terpenting adalah negara. Negara disebut sebagai tujuan akhir dari proses organisasi masyarakat. Negara adalah pusat segala kegiatan. Pengetahuan dan kebenaran dicapai melalui interaksi individu. Interaksi ini harus terkontrol dan terarah, sehingga kepentingan akhir tidak dirugikan. Berdasarkan asumsi di atas, teori ini cenderung membentuk satu sistem kontrol yang efektif dan menggunakan media massa sebagai alat penguasa. Sistem politik Indonesia pada jaman Orde Baru pernah menerapkan teori ini. A Muis (2005) mengatakan negara-negara yang menganut teori pers otorian, menerapkan pemasungan terhadap kebebasan pers seperti pemberlakukan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982. Isinya, secara tersurat memberi kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur pola-pola komunikasi sistem pers. 2. Teori Liberal (Libertarian Theory) Sistem pers liberal berkembang pada rentang abad ke-17 dan ke-18 sebagai dampak dari peristiwa revolusi industri di eropa dan perubahan besar di dalam pemikiran-pemikiran masyarakat di Barat pada waktu itu yang lebih dikenal sebagai abad Aufklarung atau abad pencerahan. Dalam teori ini, manusia pada dasarnya punya hak-haknya secara alamiah untuk mengejar dan mengembangkan potensinya apabila diberikan iklim kebebasan dalam hal menyatakan pendapat (freedom of speech). Hal ini tidak mungkin berlaku apabila ada kontrol pemerintah. Menurut paham liberalisme, manusia pada hakekatnya dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan oleh ratio atau akalnya. Kebahagiaan dan kesejahteraan individu merupakan tujuan dari manusia, masyarakat, dan negara. Manusia sebagai makhluk yang menggunakan akalnya untuk mengatur dunia sekelilingnya dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan kepentingannya. Oleh karena kemampuan yang dimilikinya ini, maka manusia merupakan unsur utama dari dunia peradaban dan sekaligus sebagai motor penggeraknya. Kedudukan istimewa yang diberikan kepada individu dalam masyarakat libertarian ini mengakibatkan timbulnya anggapan bahwa fungsi dari masyarakat adalah untuk memajukan kepentingan anggota-anggotanya secara individual. Mengenai hakekat kebenaran dan pengetahuan, paham leberal memandang sebagai tidak berasal dari kelompok kecil orang-orang yang berkuasa atau merupakan monopoli mereka, akan tetapi harus ditemukan sendiri oleh manusia dengan manfaatkan akalnya. Mengenai kebebasan pers, teori ini menilai pers harus punya kebebasan yang luas untuk membantu manusia dalam usahanya mencari kebenaran. Untuk mencari kebenaran, manusia memerlukan kebebasan untuk memperoleh informasi dan pikiran-pikiran yang hanya dapat secara efektif diterima ketika itu, apabila disampaikan melalui pers. Sistem politik Indonesia, terutama pada tahun 1950 s.d 1959 melalui perberlakukan UUD-S, pernah menerapkan teori pers liberal. Peraturan perundangan tentang pers masih mengacu pada KUHP warisan kolonial. Realitas kehidupan pers benar-benar menggambarkan penerapan teori pers liberal. Pers pada masa ini cenderung tidak lagi dipergunakan untuk perjuangan negara, namun dipergunakan sebagai terompet bahkan alat propaganda partai. Banyak surat kabar yang beredar merupakan organ dari partai politik pada sistem politik waktu itu. Sementara Surat Kabar Merdeka dan Indonesia Raya merupakan surat kabar yang masih bisa disebut sebagai surat kabar yang netral (memperjuangkan kepentingan bangsa). 3. Teori Komunis Soviet (Soviet Communist Theory) Teori ini berkembang pada awal abad ke 20 sebagai akibat dari sistem komunis di Uni Soviet. Sistem ini mendasarkan diri pada teori Karl Marx tentang perubahan sosial yang diawali oleh teori dialektika Hegel. Sesuai dengan sejarah kelahirannya serta pertumbuhannya yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah ideologi komunis dan berdirinya negara Uni Soviet, maka teori pers ini lebih sering disebut dengan istilah teori pers totalitar soviet atau pers komunis soviet. Dalam teori komunis ini, media massa merupakan alat pemerintah (partai) dan bagian integral dari negara. Ini berarti, media massa harus tunduk pada perintah dan kontrol dari pemerintah atau partai. Tunduknya media massa pada partai komunis membawa arti lebih dalam, yaitu sebagai alat dari partai komunis yang berkuasa. Kritik diijinkan dalam media massa, tapi kritik terhadap dasar ideologi dilarang. Media massa melakukan apa yang terbaik menurut pemimpin elit negara dan partai, dan apa yang terbaik bagi elit negara dan partai. Yang dilakukan media massa untuk mendukung komunis dan negara sosialis merupakan perbuatan moral, sedangkan perbuatan membahayakan atau merintangi pertumbuhan komunis adalah pembuatan immoral. Fungsi pers komunis ditetapkan sebagai alat untuk melakukan indoktrinasi massa atau pendidikan massa yang dilancarkan oleh partai. Bimbingan dan pendidikan massa ini dilakukan melalui propaganda dan agitasi yang merupakan salah satu aspek terpenting dari fungsi partai dan kegiatan formal negara. Tunduknya pers secara total kepada partai komunis ini membawa konsekuensi bahwa kebebasan dibatasi untuk menerbitkan berita-berita atau pandanganpandangan sendiri, demikian juga usahanya memanfaatkan kebebasan untuk sedapat mungkin melayani kepentingan atau pendapat para pembacanya. 4. Teori Tanggungjawab Sosial (Social Responsibility Theory) Teori tanggung jawab sosial ini muncul pada permulaan abad kedua puluh sebagai protes terhadap kebebasan yang mutlak dari Teori Libertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral pada masyarakat. Dasar pemikiran teori ini adalah kebebasan pers harus disertai tanggung jawab kepada masyarakat. Teori ini merupakan hasil pemikiran para ahli pikir ketika itu yang merasa bahwa teori lebertarian murni dan tradisional sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman dan kebutuhan masyarakat pada waktu itu. Teori ini sering dianggap sebagi bentuk revisi terhadap teori-teori sebelumnya, yang menganggap bahwa tanggung jwab pers terhadap masyarakat sangat kurang. Hal ini ingin ditekankan sebagai orientasi yang utama dari pers. Penekanan tanggung jawab moral kepada masyarakat dengan usaha untuk menghindari kemungkinan terjadinya keadaan yang membahayakan kesejahteraan umum. Teori ini berasal dari dari sebagian besar laporan ”Komisi Hutchins” yang diterbitkan pada tahun 1947. dari laporan ini dikembangkan pendapat betapa pentingnya peran pers dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, menekankan pada keharusan akan adanya tanggung jawab sosial dari setiap media komunikasi. Para pemilik media (the have) pada teori tanggung jawab sosial yang tidak puas terhadap fungsi pers dalam teori libertarian, berpendapat bahwa pers tidak dapat menjalankan fungsinya secara sempurna. Dalam memberikan pelayanan kepada sistem ekonomi, mereka mengharapkan agar tugas-tugas yang dijalankan oleh pers tidak mendahului fungsifungsi pers yang lain, seperti meningkatkan proses demokrasi dan pemberian penerangan kepada masyarakat. Hiburan yang disajikan haruslah hiburan yang baik. Dalam mencukupikeuangan media-media individu tertentu, hendaknya diberikan kebebasan untuk mencari pasar. Theodore Peterson (dalam Rachmadi, 1990) mengatakan bahwa teori tanggung jawab sosial mendasarkan pada pandangannya kepada suatu prinsip bahwa ”kebebasan pers harus disertai dengan kewajiban-kewajiban, dan pers mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab kepada masyarakat guna melaksanakan tugas-tugas pokok yang dibebankan kepada komunikasi massa dalam masyarakat modern seperti sekarang ini”. Uraian peterson ini mengandung makna bahwa teori ini berorientasi kepada mementingkan kepentingan umum, baik secara individual maupun kelompok, misalnya pengertian mengenai siapa yang berhak menggunakan media massa, oleh teori tanggung jawab sosial, dianggapnya bahwa setiap orang mempunyai sesuatu untuk dikatakan. Dan hak kontrol dari media yang diberikan kepada kelompokkelompok sebagai pendapat masyarakat, tindakan konsumen, dan nilai profesi. Individual Differences Theory (Teori Perbedaan Individual) Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Melvin L. Defleur. Awalnya teori ini bernama "Individual Differences Theory of Mass Communication Effect" atau teori perbedaan individu pada efek komunikasi massa. Berdasarkan namanya, teori ini menelaah mengenai perbedaan-perbedaan di antara individu sebagai sasaran media massa saat mereka diterpa pesan untuk memeroleh efek tertentu. Teori ini menegaskan bahwa individu-individu sebagai anggota khalayak sasaran media massa secara selektif menaruh perhatian kepada pesan-pesan terutama yang berkaitan dengan kepentingannya. Tanggapannya terhadap pesanpesan tersebut kemudian diubah oleh tatanan psikologisnya. Jadi, efek media massa pada khalayak massa tidak seragam, melainkan beragam dikarenakan secara personal, masing-masing individu memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya dalam struktur kejiwaannya. Anggapan dasar dari teori ini adalah organisasi psokologis manusia secara personal sangat bervariasi. Variasi ini sebagian dimulai dari dukungan perbedaan secara biologis, tetapi ini dikarenakan pengetahuan secara individual yang berbeda. Manusia yang dibesarkan dalam lingkungan yang secara tajam berbeda, menghadapi titik-titik pandangan yang berbeda pula. Dari lingkungan yang dipelajarinya itu, mereka menghendaki seperangkat sikap, nilai, dan kepercayaan yang merupakan tatanan psikologisnya masing-masing pribadi yang membedakannya dari yang lain. Teori perbedaan individual ini mengandung rangsangan-rangsangan khusus yang menimbulkan interaksi yang berbeda dengan watak-watak perorangan anggota khalayak. Karena terdapat perbedaan individual pada setiap anggota khalayak itulah, maka secara alamiah efek yang dihasilkan atau yang muncul bervariasi sesuai dengan perbedaan individu tersebut. Social Categories Theory (Teori Kategori Sosial) Melvin L DeFleur selaku pakar yang menampilkan teori ini mengatakan, Teori Kategori Sosial terkadang tumpang tindih dengan Teori Perbedaan Individual, namun berasal dari sumber yang secara disipliner sangat berbeda. Teori ini menyatakan adanya perkumpulan, kebersamaan atau kategori sosial pada masyarakat urban-industrial yang perilakunya ketika diterpa rangsangan-rangsangan tertentu hampir seragam. Ciri-cirinya usia, seks, pendidikan, pemukiman atau pertalian yang bersifat religius. Sebagai contoh dalam kaitannya dengan komunikasi massa, di antaranya, acara gosip yang jarang ditonton oleh kaum pria. Sebaliknya, berita tentang olahraga atau sepakbola langka dicermati oleh kaum wanita. Asumsi dasar dari ini adalah teori sosiologis yang menyatakan bahwa meskipun masyarakat modern yang bersifat heterogen, namun masyarakat yang memiliki sejumlah ciri yang sama akan mempunyai pola hidup tradisional yang sama pula, seperti persamaan gaya, orientasi dan perilaku akan berkaitan dengan suatu gejala seperti pada media massa dalam perilaku yang seragam. Anggota-anggota dari suatu kategori tertentu akan memilih pesan komunikasi yang kira-kira sama serta menanggapinya dengan cara yang sama pula. Teori Kategori Sosial merupakan formula yang lebih bersifat penjelasan daripada pembahasan. Namun, sepanjang dapat digunakan sebagai landasan untuk prediksi kasar dan sebagai pedoman untuk penelitian, teori ini dapat berfungsi sebagai teori studi media massa. Ditegaskan DeFleur, jika Teori Perbedaan Individual menyajikan pandangan mengenai proses komunikasi yang lebih konsisten dengan penemuan-penemuan dari studi psikologi umum, maka Teori Kategori Sosial berasal dari sosiologi umum mengenai massa. Jika keduanya disinergikan akan menghasilkan teori kontemporer mengenai teori komunikasi massa ke suatu titik di mana baik perbedaan sosial (social differentation) dari teori sosiologi, maupun perbedaan individual dari teori psikologi, perlu sekali untuk diperhitungkan. Dengan demikian, sinergitas atas kedua teori tersebut mewakili modifikasi dari teori S-R (Stimulus-Response) atau teori rangsangan tanggapan yang bersifat mekanistis, di satu sisi mengganti proses psikologis yang laten, dan di sisi lain mengganti keseragaman dalam kategori sosial sebagai variabel antara rangsangan dan tanggapan komunikasi. Dalam kaitannya dengan teori itu, DeFleur mengutip formula Lasswell, "Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect", yang menurutnya merupakan paduan dari kedua teori dengan variabel situasional terkait. Agar sinergitas dari kedua teori komunikasi massa itu tetap berguna dan kontemporer, maka menurut Defleur diperlukan tambahan seperangkat variabel antara, yakni antara rangsangan media dengan tanggapan khalayak. Elaborasi tambahan bagi formula S-R itu menunjukkan pengakuan akan peranan pola interaksi antara para anggota khalayak komunikasi. Social Relationships Theory (Teori Hubungan Sosial) Selain mengetengahkan dua teori di atas, Melvin L. DeFleur juga menunjukkan bahwa hubungan sosial secara informal berperan penting dalam mengubah perilaku seseorang ketika diterpa pesan komunikasi massa. Kenyataan menunjukkan bahwa berdasarkan hasil penelitian di Amerika, orang-orang yang diterpa media massa ternyata jumlahnya sangat terbatas. Kebanyakan masyarakat memeroleh suatu informasi dari orang lain yang mendapat informasi pertama kalinya dari media massa. Dengan demikian, kegiatan informasi terjadi melalui dua tahapan dasar, pertama, informasi bergerak dari media kepada orang-orang yang secara relatif banyak pengetahuannya (well informed); kedua, informasi bergerak dari orangorang melalui saluran antarpribadi (interpersonal channels) mereka yang kurang diterpa media dan banyak bergantung pada orang lain mengenai suatu informasi. Situasi komunikasi yang demikian dinyatakan sebagai arus komunikasi dua tahap (two step flow of communication). Orang yang sering terlibat dalam komunikasi massa tersebut dinamakan pemuka pendapat atau opinion leader. Mereka memiliki peranan yang cukup penting dalam membantu pembentukan opini melalui transformasi informasi. Mereka tidak hanya meneruskan informasi, tetapi juga melakukan interpretasi terhadap pesan komunikasi yang mereka terima. Proses komunikasi tersebut dinamakan arus komunikasi dua tahap. Situasi komunikasi yang merupakan hasil penelitian dari Lazarsfeld, Berelson dan Gaudet pada tahun 1940 di Erie County Ohio, Amerika Serikat tersebut yang dijadikan landasan atas teori DeFleur ini juga dilakukan dalam bidang kehidupan lainnya, misalnya di kalangan petani. Misalnya, adopsi teknologi baru dalam bidang pertanian merupakan proses yang erat kaitannya dengan proses komunikasi massa. Masyarakat tani merupakan masyarakat dimana keluarga tani secara individual memiliki keterkaitan sosial yang kuat dengan para tetangganya. Jika suatu gagasan baru datang dari luar, interpretasi yang diberikan para tetangga bisa merupakan hal yang penting tetapi kritis dalam menentukan berlangsungnya adopsi. Cultural Norms Theory (Teori Norma Budaya) Menurut Melvin L. DeFleur teori norma budaya pada hakikatnya menegaskan, media massa melalui penyajiannya yang selektif dan tematik menciptakan kesan-kesan pada khalayak dimana norma-norma budaya umum mengenai topik yang diberi bobot itu dibentuk dengan cara tertentu. Oleh karena itu, perilaku individu biasanya dipandu oleh norma-norma budaya mengenai suatu hal tertentu, maka media komunikasi secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku tersebut. Dalam hubungan ini terdapat paling sedikit tiga cara dimana media massa secara potensial memengaruhi situasi dan norma bagi individu-individu. Pertama, pesan komunikasi massa akan memperkuat pola-pola yang sedang berlaku dan memandu khalayak untuk percaya bahwa suatu bentuk sosial tertentu tengah dibina oleh masyarakat. Kedua, media komunikasi dapat menciptakan keyakinan baru mengenai hal-hal dimana khalayak sedikit banyak telah memiliki pengalaman sebelumnya. Ketiga, komunikasi massa dapat mengubah norma-norma yang tengah berlaku dan karenanya mengubah khalayak dari suatu bentuk perilaku menjadi bentuk periiaku lain. Mengenai hubungan yang potensial antara media massa dengan norma, DeFleur menunjuk karya Lazarsfeld dan Merton tentang fungsi media dalam memperkuat norma. Dikatakannya, media beroperasi secara perlahan dan mengikuti norma umum yang berkaitan dengan cita rasa dan nilai, ketimbang membawanya ke bentuk baru. Jadi, media massa memperkuat status quo ketimbang menciptakan norma-norma yang baru atau mengubah pola-pola terlembaga secara mendalam. Namun begitu, media juga kadang mensosialisasikan bentuk-bentuk baru dari perilaku yang diterima oleh masyarakat. Dengan kata lain, dalam situasi tertentu media massa dapat menciptakan budaya baru, misalnya, pada koran, radio, televisi dan film, media menampilkan banyak bentuk baru dari hiburan, bahkan interaksi di kalangan keluarga. Namun, Suatu aliran pemikiran tertentu menyangkal bahwa media massa memiliki kekuatan untuk mengubah perilaku yang sudah mapan. Kendati mendapat tentangan, DeFleur percaya akan teorinya itu. Ia mengemukakan suatu contoh mengenai kampanye media massa yang disponsori American Cancer Society (Perhimpunan Kanker Amerika) yang bertujuan mengubah perilaku agar masyarakat Amerika mau meninggalkan kebiasaan merokok. Hasilnya, norma-norma yang sudah sangat mapan dan merupakan kebiasaan umum itu (merokok) mulai berubah sedikit demi sedikit. Bahkan, kali pertama dalam sejarah, pada tahun 1968 kala itu, jumlah perokok di Amerika menjadi berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Contoh lain yang berkaitan dengan Teori Norma Budaya ini adalah persoalan sentimen RAS di Amerika. di mana orang kulit putih memandang orang Negro tak ubahnya manusia yang jorok dan menjijikkan, sehingga pekerjaan yang layak bagi mereka sebatas sebagai pelayan, tukang membersihkan sepatu, buruh ladang, bahkan sebagai narapidana. Namun, sedikit demi sedikit sentimen itu mulai terkikis bahkan hilang sama sekali, sehingga istilah atau sebutan Negro diganti menjadi Black American. Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial) Teori belajar sosial yang diusung oleh Albert Bandura ini mengkaji proses belajar melalui media massa sebagai tandingan terhadap proses belajar secara tradisional. Secara tradisional, teori ini menyatakan bahwa belajar terjadi dengan cara menunjukkan tanggapan (response) dan mengalami efek-efek yang timbul. Penentu utama dalam proses belajar tersebut adalah kegiatan peneguhan atau reinforcement, dimana tanggapan-tanggapan akan diulangi (dipelajari) jika organisme atau individu mendapat ganjaran. Namun, jika individu mendapat hukuman (punishment) maka tanggapan tidak akan diulangi kembali atau bila tanggapan tidak menggiringnya ke tujuan yang dikehendaki. Jadi, perilaku tersebut diatur secara eksternal oleh suatu kondisi stimulus yang ditimbulkan oleh kondisikondisi peneguhan. Titik permulaan dari proses belajar adalah peristiwa yang bisa diamati, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh seseorang. Peristiwa tersebut mungkin terjadi pada kegiatan sehari-hari, namun dapat pula disajikan secara langsung oleh media massa lain. Peristiwa tersebut bisa merupakan penunjukan nyata suatu perilaku (seperti perilaku melankolis pada sebuah karya fiksi) atau ilustrasi pola pikir (abstract modeling). Perilaku nyata dipelajari dari observasi periiaku tersebut, sedangkan sikap, nilai, pertimbangan moral, dan persepsi terhadap kenyataan sosial dipelajari melalui abstract modeling atau model yang diabstraksikan. Teori ini menganggap bahwa media massa sebagai agen sosialisasi yang utama di samping keluarga, sekolah, dan lingkungan. Dalam belajar secara sosial langkah pertama adalah perhatian (attention) kepada suatu peristiwa. Individu tidak dapat belajar dari suatu peristiwa kecuali menaruh perhatian terhadapnya dan secara seksama mencerna hal-hal penting yang dicakupnya. Perhatian kepada suatu peristiwa ditentukan oleh karakteristik peristiwa itu sendiri dan karakteristik dari pengamat. Peristiwa yang jelas dan simpel akan mudah menarik perhatian, karena mudah dimodelkan. Mengenai ciri-ciri pengamat yang menentukan perhatian adalah antara lain kemampuan seseorang dalam proses informasi, umur, intelegensi, daya persepsi, dan taraf emosionai. Orang yang emosional, misalnya marah, rasa penasaran, atau takut, akan lebih atentif terhadap suatu rangsangan tertentu. Menurut teori ini, sesudah langkah pertama (attentional process) berikutnya retention process, dilanjutkan motor reproduction process, dan motivational process. Pada langkah kedua, yakni proses retensi tadi, peristiwa yang menarik perhatian akan langsung dimasukkan ke dalam benak dalam bentuk lambang secara verbal atau imaginal sehingga menjadi ingatan (memory). Pada langkah ketiga, motor reproduction process, hasil ingatan tadi akan meningkat menjadi bentuk periiaku. Kemampuan kognitif dan kemampuan motorik pada langkah ini berperan penting. Reproduksi yang seksama biasanya merupakan produk "trial and error" di mana umpan balik turut mempengaruhi. Langkah terakhir, motivasional process menunjukkan bahwa perilaku akan berwujud apabila terdapat nilai peneguhan. Peneguhan dapat berbentuk ganjaran eksternal, pengamatan yang menunjukkan bahwa bagi orang lain ganjaran disebabkan perilaku yang sama, serta ganjaran internal, misalnya rasa puas diri. (Bandura, 1977 : 209 - 210). Diffusion of Innovations Model (Model Difusi Inovasi) Pertama kali yang mengemukakan model komunikasi ini adalah Everett M. Rogers. Model difusi biasanya digunakan sebagai pendekatan dalam komunikasi pembangunan, terutama di negara-negara berkembang. Rogers mendefinisikan difusi sebagai proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara para anggota dalam suatu sistem sosial (the process by which an innovation is communicated through, certain channels overtime among the members of a social system). Dengan demikian, difusi adalah suatu jenis khusus komunikasi yang berkaitan dengan penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru. Sedangkan komunikasi didefinisikan sebagai proses dimana para pelakunya menciptakan informasi dan saling bertukar informasi untuk mencapai pengertian bersama. Dalam isi pesan tersebut terdapat ketermassaan (newness) yang memberikan kepada difusi ciri khusus yang menyangkut ketidakpastian (uncertainty). Ketidakpastian adalah suatu derajat dimana sejumlah aiternatif dirasakannya berkaitan dengan suatu peristiwa beserta kemungkinan-kemungkinan pada alternatif tersebut. Derajat ketidakpastian oleh seseorang akan dapat dikurangi dengan jalan memperoleh informasi. Adapun unsur-unsur utama dari difusi ide adalah (1) inovasi; (2) yang dikomunikasikan melalui saluran tertentu; (3) Dalam jangka waktu tertentu; (4) di antara para anggota suatu sistem sosial. Sementara Inovasi adalah suatu ide, karya, atau objek yang dianggap baru oleh seseorang. Ciri-ciri inovasi yang dirasakan oleh para anggota suatu sistem sosial menentukan tingkatan adopsi. Adapun ciri dari inovasi tersebut menurut Rogers terdiri atas lima (5) bagian, di antaranya : 1) Relative advantage (keuntungan relatif); Adalah suatu derajat dengan mana inovasi dirasakan lebih balk daripada ide lain yang menggantikannya. Derajat keuntungan relatif tersebut dapat diukur secara ekonomis, tetapi faktor prestasi sosial, kenyamanan dan kepuasan juga merupakan unsur penting. 2) Compatibility (kesesuaian); Adalah suatu derajat dengan mana inovasi dirasakan ajeg atau konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman dan kebutuhan mereka yang melakukan adopsi. 3) Complexity (kerumitan); Adalah mutu derajat dengan mana inovasi dirasakan sukar untuk dimengerti dan dipergunakan. 4) Trialability (kemungkinan dicoba); Adalah suatu mutu derajat dengan mana inovasi dapat dieksperimentasikan pada landasan yang terbatas. 5) Observability (kemungkinan diamati); Adalah suatu derajat dengan mana inovasi dapat disaksikan oleh orang lain. Mengenai saluran komunikasi sebagai sarana untuk menyebarkan inovasi, Rogers menyatakan bahwa media massa lebih efektif untuk men-ciptakan pengetahuan tentang inovasi. Sedangkan saluran antarpribadi lebih efektif dalam pembentukan dan percobaan sikap terhadap terhadap ide baru, jadi dalam upaya mempengaruhi keputusan untuk melakukan adopsi atau menolak ide baru. Aspek lain dalam kegiatan difusi adalah apa yang dalam komunikasi dikenal sebagai heterophily dan homophily. Mengenai waktu sebagai salah satu unsur utama dari difusi, ide baru itu meliputi tiga (3) hal, yakni : 1. Innovations Decision Process (Proses Inovasi Keputusan) Adalah proses mental di mana seseorang berlalu dari pengetahuan pertama mengenai suatu inovasi ke pembentukan sikap terhadap inovasi, ke keputusan menerima atau menolak, ke pelaksanaan idea baru, dan ke peneguhan keputusan tersebut. Sedikitnya ada lima langkah yang dikonseptualisasikan dalam proses ini, antara lain : a. Knowledge (pengetahuan) b. Persuasion (persuasi) c. Decision (keputusan) d. Implementation (pelaksanaan) e. Confirmation (peneguhan) Dalam proses inovasi keputusan ini seseorang mencari informasi dalam beberapa langkah untuk mengurangi ketidakpastian mengenai inovasi. Pada langkah pengetahuan seseorang menerima informasi yang melekat pada inovasi teknologis; dia ingin mengetahui inovasi apa itu dan bagaimana kerjanya. Tetapi pada langkah persuasi dan keputusan, seseorang mencari informasi tentang penilaian inovasi untuk mengurangi ketidakpastian mengenai konsekuensi yang diharapkan dari inovasi itu. Langkah keputusannya membawa ke penerimaan (adopsi), atau ke penolakan, keputusan untuk menolak inovasi tersebut. 2. Innovativeness (keinovatifan) Adalah derajat dengan mana seseorang relatif lebih dini dalam mengadopsi suatu ide-ide baru ketimbang anggota-anggota lain dalam suatu sistem sosial. Pengadopsian tersebut dikategorikan sebagai berikut : Innovators (inovator) Early adopters (pengadobsi dini) Early majority (mayoritas dini) Late majority (mayoritas terlambat) Laggard (orang belakangan) 3. Innovation's rate of adoption (tingkat inovasi dan adopsi) Adalah kecepatan relatif dengan mana suatu inovasi diadopsi oleh anggotaanggota di dalam suatu sistem sosial. Rate of adoption atau tingkat adopsi biasanya diukur dengan waktu yang diperlukan untuk persentase tertentu dari para anggota sistem untuk mengadopsi suatu inovasi. Sementara yang dimaksudkan dengan sistem sosial adalah tatanan kesatuan yang terhubungkan satu sama lain dalam upaya pemecahan masalah dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Rogers, 1938: 36 - 37). Agenda Setting Model (Model Penataan Agenda) Teori Agenda Setting pertama kali dikemukakan Walter Lippman (1965) pada konsep “The World Outside and the Picture in our head”. Sementara penelitian empiris atas teori ini dilakukan oleh McCombs dan DL Shaw ketika mereka meneliti proses pemilihan Presiden Amerika pada tahun 1972. Dalam penelitiannya tersebut mereka menemukan cukup banyak bukti bahwa para penyunting dan penyiar (televisi) memainkan peranan yang sangat penting dalam membentuk realitas sosial, ketika mereka melaksanakan tugas keseharian mereka dalam menonjolkan berita. Dalam menganalisa fungsi agenda setting media ini, McCombs and Shaw menemukan dua hal penting, yakni kesadaran dan informasi. Mereka berkesimpulan bahwa media massa memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap apa yang pemilih bicarakan mengenai kampanye politik tersebut, dan memberikan pengaruh besar terhadap isu-isu apa yang penting untuk dibicarakan. Agenda setting merupakan suatu proses penciptaan mengenai kesadaran publik dan pemilihan isu-isu mana yang dianggap penting melalui sebuah tayangan berita. dua asumsi mendasar dari teori ini adalah : 1. Pers dan media tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya, melainkan mereka membentuk dan mengkonstruk realitas tersebut. 2. Media menyediakan beberapa isu dan memberikan penekanan lebih kepada isu tersebut yang selanjutnya memberikan kesempatan kepada publik untuk menentukan isu mana yang lebih penting dibandingkan dengan isu lainnya. Salah satu aspek yang paling penting dari konsep agenda setting ini adalah masalah waktu pembingkaian fenomena-fenomena tersebut, dalam artian bahwa tiap-tiap media memiliki potensi-potensi agenda setting yang berbeda-beda satu sama lainnya. Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, meraka juga belajar sejauhmana pentingnya suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa tersebut. Misalnya, dalam merenungkan apa yang diucapkan kandidat selama kampanye, media massa tampaknya menentukan isu-isu yang penting. Dengan kata lain, media menentukan “acara” (agenda) kampanye. Dampak media massa, kemampuan untuk menimbulkan perubahan kognitif di antara individu-individu, telah dijuluki sebagai fungsi agenda setting dari komunikasi massa. Asumsi dari teori ini adalah, jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi, apa yang dianggap penting oleh media, maka akan penting juga bagi masyarakat. Dengan demikian, media memiliki efek yang sangat kuat, asumsi ini berkaitan dengan proses belajar bukan dengan perubahan sikap dan pendapat. Melalui teori ini, media massa melakukan penyaringan berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting, redaksi, bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitkan dan mana yang harus disembunyikan. Setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar, waktu pada televisi dan radio) dan cara penonjolan (ukuran judul, letak pada suratkabar, frekuensi penayangan, posisi dalam suratkabar, posisi dalam jam tayang). Misalnya berita mengenai dugaan pembunuhan yang dilakukan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar terhadap salah seorang direktur BUMN, Nazarudin yang berlatar belakang asmara yang terus menerus disiarkan dalam waktu rata-rata 30 menit di televisi serta menghiasi kolom-kolom headline surat kabar maupun halaman majalah. Hal ini menunjukkan, sosok Antasari sebagai ’pendekar” hukum yang selama ini begitu giat menjebloskan para koruptor ke penjara tengah disorot sebagai otak atas aksi pembunuhan tersebut. Media sepertinya ingin menunjukkan sebuat ironisasi dalam kasus tersebut. Antasari sebagai figur dan Antasari sebagai tersangka pembunuh. Karena pembaca, pemirsa, dan pendengar memeroleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota-anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah menarik perhatian mereka (Community Salience). Agenda setting menjelaskan begitu besarnya pengaruh media, berkaitan dengan kemampuannya dalam memberitahukan kepada audiens mengenai isu-isu apa sajakah yang penting. Uses and Gratifications Model (Model Kegunaan dan Kepuasaan) Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974). Teori ini mengatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Artinya pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya. Teori ini mempertimbangkan apa yang dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media untuk pemuas kebutuhannya. Penganut teori ini meyakini bahwa individu sebagai mahluk supra-rasional dan sangat selektif. Uses and Gratifications meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain. Model komunikasi ini menunjukkan bahwa yang menjadi permasalahan utama bukanlah bagaimana media mengubah sikap dan Perilaku khalayak, tetapi bagaimana media memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial khalayak. Jadi, bobotnya ialah pada khalayak yang aktif, yang sengaja menggunakan media untuk mencapai tujuan khusus. Menurut para pendirinya, (Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch), Model Uses and Gratifications meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain. Menurut Rosengren (1974) perkembangan teori Uses and Gratification Media dibedakan dalam tiga (3) fase, antara lain : Fase pertama, ditandai oleh Elihu Katz dan Blumler (1974) memberikan deskripsi tentang orientasi subgroup audiens untuk memilih dari ragam isi media. Dalam fase ini masih terdapat kelemahan metodologis dan konseptual dalam meneliti orientasi audiens. Fase kedua, Elihu Katz dan Blumler menawarkan operasionalisasi variabel-variabel sosial dan psikologis yang diperkirakan memberi pengaruh terhadap perbedaan pola–pola konsumsi media. Fase ini juga menandai dimulainya perhatian pada tipologi penelitian gratifikasi media. Fase ketiga, ditandai adanya usaha menggunakan data gratifikasi untuk menjelaskan cara lain dalam proses komunikasi, dimana harapan dan motif audiens mungkin berhubungan erat dan signifikan. Kristalisasi dari gagasan, anggapan, temuan penelitian tentang Uses and Gratification Media mengatakan, bahwa kebutuhan sosial dan psikologis menggerakkan harapan pada media massa atau sumber lain yang membimbing pada perbedaan pola-pola terpaan media dalam menghasilkan pemuasan kebutuhan dan konsekuensi lain yang sebagian besar mungkin tidak sengaja. Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch menguraikan lima (5) elemen atau asumsi-asumsi dasar dari Uses and Gratification Media sebagai berikut : a. Audiens adalah aktif, dan penggunaan media berorientasi pada tujuan. b. Inisiative yang menghubungkan antara kebutuhan kepuasan dan pilihan media spesifik terletak di tangan audiens c. Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan audiens. d. Orang-orang mempunyai kesadaran-diri yang memadai berkenaan penggunaan media, kepentingan dan motivasinya yang menjadi bukti bagi peneliti tentang gambaran keakuratan penggunaan itu. e. Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens tentang media spesifik atau isi harus dibentuk. Pengujian-pengujian terhadap asumsi-asumsi Uses and Gratification Media tersebut menghasilkan enam (6) kategori identifikasi dan temuan-temuannya, antara lain : 1. Asal Usul Sosial dan Psikologis Gratifikasi Media John W.C. Johnstone (1974) menganggap bahwa anggota audiens tidak anonimous dan sebagai individu yang terpisah, tetapi sebagai anggota kelompok sosial yang terorganisir dan sebagai partisipan dalam sebuah kultur. Sesuai dengan anggapan ini, media berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dan keperluan individu-individu, yang tumbuh didasarkan lokalitas dan relasi sosial individu-individu tersebut. Faktor-faktor psikologis juga berperan dalam memotivasi penggunaan media. Konsep-konsep psikologis seperti kepercayaan, nilai-nilai, dan persepsi mempunyai pengaruh dalam pencarian gratifikasi dan menjadi hubungan kausal dengan motivasi media. 2. Pendekatan Nilai Pengharapan Konsep pengharapan audiens yang perhatian (concern) pada karakteristik media dan potensi gratifikasi yang ingin diperoleh merupakan asumsi pokoknya adalah mengenai audiens aktif. Jika anggota audiens memilih di antara berbagai alternatif media dan non media sesuai dengan kebutuhan mereka, mereka harus memiliki persepsi tentang alternatif yang memungkinkan untuk memperoleh kebutuhan tersebut. Kepercayaan terhadap suatu media tertentu menjadi faktor signifikan dalam hal pengharapan terhadap media itu. 3. Aktifitas Audiens Levy dan Windahl (1984) menyusun tipologi aktifitas audiens yang dibentuk melalui dua dimensi : Orientasi audiens; selektifitas, keterlibatan dan kegunaan. Skedul aktifitas; sebelum, selama, dan sesudah terpaan. Katz, Gurevitch, dan Haas (1973) dalam penelitian tentang penggunaan media, menemukan perbedaan anggota audiens berkenaan dengan basis gratifikasi yang dirasakan dan dipengaruhi beberapa factor, antara lain, struktur media dan teknologi; isi media; konsumsi media; aktifitas non media; dan persepsi terhadap gratifikasi yang diperoleh. Sedangkan Garramore (1983) secara eksperimental menggali pengaruh rangkaian motivasi pada proses komersialisasi politik melalui TV. Ia menemukan bahwa anggota audience secara aktif memproses/mencerna isi media, dan pemrosesan ini dipengaruhi oleh motivasi. 4. Gratifikasi yang Dicari dan yang Diperoleh Pada awal sampai pertengahan 1970-an sejumlah ilmuwan media menekankan perlunya pemisahan antara motif konsumsi media atau pencarian gratifikasi (GS) dan pemerolehan gratifikasi (GO). Penelitian tentang hubungan antara GS dan GO, menghasilkan temuan sebagai berikut GS individual berkorelasi cukup kuat dengan GO terkait. Di lain pihak GS dapat dipisahkan secara empiris dengan GO, seperti pemisahan antara GS dengan GO secara konseptual, dengan alasan sebagai berikut : GS dan GO berpengaruh, tetapi yang satu bukan determinan bagi yang lain. Dimensi-dimensi GS dan GO ditemukan berbeda dalam beberapa studi. Tingkatan rata-rata GS seringkali berbeda dari tingkatan rata-rata GO. GS dan GO secara independen menyumbang perbedaan pengukuran konsumsi media dan efek. Penelitian GS dan GO menemukan bahwa GS dan GO berhubungan dalam berbagai cara dengan variabel-variabel: terpaan; pemilihan program dependensi media; kepercayaan; evaluasi terhadap ciri-ciri atau sifat-sifat media. 5. Gratifikasi dan Konsumsi Media Penelitian mengenai hubungan antara gratifikasi (GS-GO) dengan konsumsi media terbagi menjadi 2 (dua) kategori utama, yaitu sebagai berikut : Studi tipologis mengenai gratifikasi media. Studi yang menggali hubungan empiris antara gratifikasi di satu sisi dengan pengukuran terpaan media atau pemilihan isi media di sisi lain. Studi-studi menunjukkan bahwa gratifikasi berhubungan dengan pemilihan program. Becker dan Fruit memberi bukti bahwa anggota audiens membandingkan GO dari media yang berbeda berhubungan dengan konsumsi media. Studi konsumsi media menunjukkan terdapat korelasi rendah sampai sedang antara pengukuran gratifikasi dan indeks konsumsi. 6. Gratifikasi dan Efek yang Diperoleh Windahl (1981) penggagas model uses and effects, menunjukkan bahwa bermacam-macam gratifikasi audiens berhubungan dengan spectrum luas efek media yang meliputi pengetahuan, dependensi, sikap, persepsi mengenai realitas social, agenda setting, diskusi, dan berbagai efek politik. Blumer mengkritisi studi uses and effects sebagai kekurangan perspektif. Dalam usaha untuk menstimulasi suatu pendekatan yang lebih teoritis, Blumer menawarkan tiga hipotesis sebagai berikut : Motivasi kognitif akan memfasilitasi penemuan informasi. Motivasi pelepasan dan pelarian akan menghadiahi penemuan audiens terhadap persepsi mengenai situasi sosial. Motivasi identitas personal akan mendorong penguatan efek. Clozentropy Theory (Teori Clozentropy) Clozentropy Theory pertama kali dipopulerkan oleh Donald Darnell pada tahun 1970, kemudian dikembangkan oleh Dennis T. Lowry dan Theodore J. Marr yang mengkaji teori ini dalam komunikasi internasional. Istilah "clozentropy" merupakan paduan dari "cloze procedure" dari Wilson L. Taylor dan "entropy" dan teori komunikasi yang ditampilkan oleh Claude E. Shannon dan Warren Weaver, The Mathematical Theory of Communication. Penelitian dengan landasan Clozentropy Theory ini dilakukan karena ternyata di satu pihak komunikasi internasional mencakup dari negara A dalam bahasa X diterjemahkan ke dalam bahasa Y ketika disampaikan ke negara B, tetapi di lain pihak ada komunikasi internasional yang tidak memerlukan terjemahan. misalnya Amerika dengan Inggris, Kanada dengan Australia, Meksiko dengan Argentina, Ekuador dengan Bolivia, Portugal dengan Brasil, Francis dengan Haiti, dan Indonesia dengan Malaysia. Kendati demikian, adalah menjadi pertanyaan apakah dalam komunikasi dengan menggunakan bahasa resmi yang sama itu diperoleh pemahaman yang maksimal, jika pesan yang disampaikan itu dalam konteks nasional dan kebudayaan yang berbeda. Studi yang dilakukan oleh Lowry dan Marr terhadap Clozentropy Theory itu menekankan pentingnya pra keakraban dengan isi pesan yang janggal (prior familiarity with idiosyncratic content) dalam hubungan dengan pengertian pesan komunikasi, dalam arti isi pesan komunikasi bersifat khas. Dalam beberapa hal pra keakraban iebih penting daripada taraf pendidikan formal. Clozentropy Theory telah memperbaiki yang dikenal sebelumnya, yakni "kenalilah diri mereka (know thyself)" menjadi kenalilah pesan anda dan sasaran anda beserta pertautannya. Komunikasi internasional dalam pengertian sederhana proses penyampaian pesan dari satu negara ke negara lain, sebenarnya sudah lama menarik perhatian para peneliti. Sebagai contoh kegiatan itu telah dikaji dari kerangka kerja analisis propaganda dan kerangka kerja arus informasi. Tetapi yang sering diabaikan atau terlupakan adalah pemahaman dalam komunikasi internasional sejauh suatu pesan yang berasal dari suatu negara dipahami oleh khalayak di negara lain. Dari hasil penelitian Lowry dan Marr di Amerika Serikat dan Philipina ini tampak pentingnya pra keakraban (prior familiarity) dalam komunikasi internasional sekalipun hubungan antara dua negara yang terlibat dalam komunikasi ditinjau dan bahasa bersifat monolingual, apalagi jika antara dua negara berbeda dalam bahasa, kebudayaan, dan politik