Prolog - Acta Diurna

advertisement
[3]
Teori Komunikasi
3.1
Tentang Teori
Teori merupakan abstraksi dari realitas. Oleh karena itu, posisi teori sangat
penting karena ia memang menjelaskan tentang realitas atau kenyataan tersebut.
Meskipun demikian, teori tidaklah bersifat abstrak dalam arti yang sesungguhnya,
karena pengalaman selalu mempengaruhi dan merupakan dasar dari pembentukan
teori tersebut, sehingga pada gilirannya teori akan mempengaruhi konsepsi
seseorang tentang pengalamannya.

Pengertian Teori
Menurut Bates (2005), teori dapat dilihat sebagai keseluruhan generalisasi
dan prinsip yang dikembangkan untuk satu bidang tertentu. Selain itu, teori juga
adalah sebuah sistem asumsi, prinsip, dan antarhubungan yang dibuat untuk
menjelaskan serangkaian fenomena tertentu.
Secara implisit, teori seringkali mengandung metateori dan metodologi.
Namun, pada umumnya, inti dari teori adalah ide pokok yang menjelaskan makna
dari sebuah fenomena tertentu. Metateori itu sendiri merupakan landasan filsafat
dari sebuah teori, yakni merupakan serangkaian ide mendasar tentang bagaimana
seharusnya sebuah fenomena tertentu dipikirkan dan dipelajari.
Dikemukakan M.J. Bates (2005) dalam bukunya yang diberi judul “An
introduction to metatheories, theories, and models”, untuk mendefinisikan teori,
setidaknya dapat dilihat dari 2 (dua) sudut pandang, yakni, sudut pandang sains
atau eksakta dan sudut pandang sosial.
1.
Teori dalam Ilmu Sains
Secara klasik, perkembangan teori dalam ilmu-ilmu alam atau sains
mengikuti proses “description, prediction, explanation”. Pada tahap pertama,
sebuah fenomena alam mendapat penjelasan atau deskripsi. Tentu saja sulit
menyelidiki sesuatu tanpa menjelaskannya lebih dahulu. Lalu, ketika sudah ada
beberapa pengetahuan tentang sebuah fenomena tertentu, ilmuwan mulai
membuat dugaan atau prediksi tentang keterkaitan, proses, atau urutan kejadan
(sequences) tentang fenomena tersebut. Lantas, berdasarkan pengujian tentang
dugaan-dugaan tersebut itulah maka dikembangkan penjelasan atau eksplanasi
yang biasa disebut teori.
Dalam bidang sains pula lah pengertian teori dikaitkan dengan metode
ilmiah yang biasa disebut metode sederhana untuk melakukan induksi-deduksi
(naïve inductive-deductive method). Ben-Ari (2005), menguraikan bahwa kegiatan
seorang ilmuwan dimulai dari pengamatan terhadap jagat raya (universe) dan
merekam hasil pengamatannya itu sebagai fakta ilmiah.
Setelah itu, ia (ilmuwan) melakukan proses induksi dengan memeriksa
berbagai hasil pengamatannya tersebut untuk kemudian membuat generalisasi
yang dapat disebut sebagai sebuah teori tentang fakta yang bersangkutan.
Selanjutnya dilakukan deduksi dengan memakai logika untuk
memperkirakan benar-tidaknya teori dengan melakukan berbagai eksperimen. Jika
eksperimennya berhasil, maka teorinya mendapatkan pembenarannya. Jika tidak,
maka teori tersebut dapat dianggap salah.
2.
Teori dalam Ilmu Sosial
Dalam ilmu-ilmu sosial, Sarantakos (1998) menyatakan bahwa pengertian
teori pada umumnya adalah pengertian yang dipakai oleh ilmu pasti (alam) dan
yang kemudian diimpor oleh aliran positivis ke dalam sosiologi.
Perlu diingat bahwa sosiologi dan ilmu-ilmu lain pada awalnya cenderung
menggunakan metode penelitian ilmu pasti (alam) yang sudah terlebih dahulu
terbangun dalam tradisi ilmiah.
Belakangan, terjadi penolakan terhadap
penggunaan prinsip-prinsip ilmu pasti tersebut, sehingga para pemikir sosiologi dan
kebudayaan mulai menggunakan prinsip-prinsip yang berbeda. Kendati begitu,
pengertian teori yang digunakan oleh ilmu pasti (alam) tetap mendominasi
pengertian umum.
Pengertian teori seperti ini di dalam ilmu sosial-budaya sebagian besarnya
didasari pada pandangan yang percaya bahwa ada persamaan antara ilmu sosial
dan ilmu alam, dan bahwa seorang ilmuwan harus menghindari subjektivitas dan
spekulasi.
Di dalam pengertian ini, maka teori secara umum dapat diartikan sebagai
serangkaian proposisi (atau pernyataan tentang kebenaran) yang sudah diuji secara
sistematis dan dikaitkan secara logis, dibangun melalui serangkaian penelitian untuk
menjelaskan suatu fenomena sosial. Pembuatan teori dalam pengertian ini
didasarkan pada cara-cara sistematis yang mengandung prosedur yang jelas,
eksplisit dan formal di setiap langkah penelitian.
Pengertian teori sebagaimana diungkapkan di atas tidak sepenuhnya
diterima oleh para penganut paham yang menolak positivism, terutama dalam hal
hubungan sebab-akibat. Adapun kaum yang menolak positivisme di bidang ilmu
sosial menolak penyederhanaan fenomena masyarakat sebagai hubungan sebabakibat yang digambarkan dalam rumus-rumus statistik.
Pembahasan tentang aliran pandangan yang menerima dan menolak
positivisme ini memerlukan ruang yang lebih luas, dan tidak akan diulas lebih jauh di
sini. Pada umumnya, kita lebih mudah memakai istilah “kuantitatif” dan “kualitatif”
untuk membahas perbedaan antara keduanya. Pengertian teori yang berpuncak
pada penjelasan sebab-akibat sebagaimana diulas di atas adalah pengertian yang
pada umumnya dipakai oleh penelitian kuantitatif.
Menurut Schwandt (2001), penelitian kualitatif memakai pengertian yang
sedikit berbeda. Dengan demikian, terdapat 4 (empat) pengertian teori dalam
penelitian kualitatif, yaitu :
 Sebagai generalisasi yang diperoleh melalui penelitian empiris.
 Sebagai penjelasan sebab-akibat yang padu dan sistematis tentang
berbagai fenomena sosial.

Sebagai orientasi atau perspektif untuk melihat masalah, memecahkan
masalah, dan memahami serta menjelaskan realitas sosial.
 Sebagai ‘teori kritis’ (critical theory), yang merupakan cara membuat
teori dan produk dari cara membuat teori itu. Cara dan produk ini
bertentangan dengan cara pandang yang menghasilkan dua pengertian
pertama karena :
a) Melakukan tinjauan kritis terhadap konsep, pemahaman, kategori
yang saat ini sudah ada tentang kehidupan sosial manusia, yang
selama ini dianggap “sudah dari sananya” (taken for granted).
b) Menganggap teori sebagai sesuatu yang melekat kepada praxis.
Dalam tradisi empiris, ilmuan beranggapan bahwa kegiatan ilmiahnya
bukan bagian dari kehidupan sosial sehari-hari, melainkan sebuah
kegiatan terpisah dan “netral”. Kalau sebuah teori akan diterapkan,
maka harus ada kegiatan lain yang tidak digolongkan sebagai
“ilmiah”. Teori kritis, sebaliknya, menganggap bahwa seorang ilmuan
harus “punya kepentingan” dan setiap teori sekaligus punya nilai
empiris (praktis) maupun normatif.
c) Merupakan teori yang menggunakan metode kritik secara terus
menerus dan ketat (imminent critique) terhadap semua pemikiran
yang saat ini sudah ada, bekerja dari dalam struktur pemikiran
tersebut untuk menemukan pertentangan-pertentangan dan hal-hal
yang selama ini disembunyikan.
Jadi, secara eksplisit para teoritisi kritis bermaksud membongkar tatanan
ilmiah yang selama ini dibangun lewat cara-cara non-kritis.
Perbedaan pengertian teori dalam ilmu sosial juga dapat muncul karena
pandangan yang menekankan cara dan proses pembentukan teori. Misalnya,
Strauss dan Corbin (1998), sebagai penganjur grounded theory yang sering dipakai
oleh para peneliti kualitatif, berpendapat bahwa teori memang dibangun dari
konsep dan proposisi sebagaimana yang diuraikan di atas.
Tetapi mereka menegaskan bahwa metodologi grounded theory akan
menghasilkan teori yang “padat konsep” karena para penelitinya lebih berupaya
mengungkapkan proses yang sesungguhnya terjadi di dalam interaksi antar
manusia. Setelah mengamati sebuah proses secara seksama dan terinci, para
peneliti grounded theory menemukan pola dan tahap yang secara analitis dapat
dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah tetapi mempunyai keterkaitan.
Identifikasi pola dan tahap inilah yang merupakan konseptualisasi atau
penemuan konsep, yang kemudian dilanjutkan dengan proposisi dan akhirnya teori.
Dengan kata lain, terjadi proses dari bawah ke atas (bottom up) dan dari data
“kasar” ke konsep yang semakin “halus”.
Sementara itu kita juga musti ingat, bahwa jika teori-teori ilmu alam pada
umumnya datang dari pengamatan terhadap jagat raya dan fenomena alam untuk
menjelaskan gejala itu, maka teori-teori ilmu sosial sebenarnya juga muncul dari
pandangan tentang moral. Sebagaimana dijelaskan oleh Heilbron (1995), teori ilmu
sosial pada awalnya bukan hanya merupakan upaya menjelaskan “apa yang
dilakukan manusia “ atau “bagaimana manusia bertingkah laku”, tetapi juga
“bagaimana seharusnya manusia bertindak dengan tepat dan bijaksana di dalam
lingkungan sosialnya”.
Menurut Best (2004) secara umum setiap teori sosial memiliki 4 (empat)
elemen utama, yaitu :
1) Epistemologi – atau teori tentang pengetahuan (theory of knowledge)
yang merupakan penjelasan tentang ‘bagaimana manusia dapat
mengetahui/mempelajari apa yang manusia perlu ketahui”. Semua teori
sosial mengandung petunjuk tentang bagaimana mendapatkan
pengetahuan tentang suatu hal.
2) Ontologi – atau teori tentang realita untuk menjelaskan atau
memberikan dasar pemahaman tentang kenyataan, atau tentang apa
saja gejala yang nyata dapat dipelajari.
3) Lokasi historis – untuk menjelaskan bilamana teori tersebut pertama
dibentuk, dalam konteks situasi seperti apa, agar pengguna teori
memiliki pengetahuan latarbelakang tentang teori yang bersangkutan.
4) Serangkaian usulan (prescription) – untuk digunakan sebagai panduan
dalam kegiatan sehari-hari sebagai mahluk sosial.
Sementara itu, secara umum istilah teori dalam ilmu sosial mengandung
beberapa pengertian, di antaranya,
1) Teori adalah abstraksi dari realitas;
2) Teori adalah terdiri dari sekumpulan prinsip dan defenisi yang secara
konseptual mengorganisasikan aspek-aspek dunia empiris secara
sistematis;
3) Teori terdiri dari asumsi-asumsi, proposisi-proposisi, dan aksiomaaksioma dasar yang saling berkaitan;
4) Teori terdiri dari teorema-teorema, yakni generalisasi-generalisasi yang
diterima atau dapat dibuktikan secara empiris.
Dari unsur di atas dapat disimpulkan bahwa teori pada dasarnya merupakan
konseptualisasi atau penjelasan logis dan empirik tentang suatu fenomena.
Bentuknya merupakan pernyataan-pernyataan yang berupa kesimpulan tentang
suatu fenomena.
Sementara itu, Alexis Stan mendefinisikan teori ke dalam 3 (tiga) kategori,
yakni :
1. Adalah penjelasan atau pernyataan umum mengenai fenomenafenomena yang mencakup sejumlah besar fenomena dan hubunganhubungan di antara fenomena-fenomena tersebut.
2. Adalah proposisi yang memberikan penjelasan tentang suatu fenomena
atau gejala.
3. Adalah sekumpulan hukum-hukum atau prinsip-prinsip umum ang saling
berhubungan mengenai salahsatu aspek daripada realitas.

Sifat-Sifat Teori
Dalam pengertian orang kebanyakan, teori dipahami sebagai sesuatu yang
tidak praktek, atau kebalikan dari praktek, dan bahkan tidak ada faktanya.
Sebenarnya, anggapan tersebut tidak terlalu salah jika yang dimaksudkannya adalah
hypothetical theory semata, tanpa ada tindak lanjut pengujiannya.
Orang hanya berpraanggapan, berpraduga, atau berkesimpulan tertentu
terhadap adanya fakta dibalik fenomena yang tampak. Misalnya, ketika di
Indonesia terjadi krisis ekonomi yang awalnya dimulai akhir tahun 1997-an, yang
kemudian diikuti oleh keterpurukan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
hingga titik terendah.
Lantas, banyak orang berteori bahwa itu merupakan dampak dari krisis
identitas, yakni akibat korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara serta akibat
ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintahan, dan masih banyak lagi teori-teori
yang muncul tentang masalah tersebut, bahkan ada yang mengklaim, kalau semua
itu semata karena kesalahan manajemen Soeharto sebagai presiden Indonesia kala
itu.
Semua teori tersebut pada dasarnya hanyalah sebuah dugaan atau hipotesis
belaka tanpa ada yang menguji validitas dan reliabilitasnya. Di sini, yang disebut
teori bukan itu maknanya, tapi sudah melibatkan aspek-aspek praktis sebagai
kelanjutannya atau bahkan didahului dengan kegiatan praktis, kemudian disusunlah
penjelasan lengkap atas kegiatan dimaksud.
Konsep dan penjelasan dimaksud itulah yang dikategorikan sebagai teori,
terutama jika penjelasan-penjelasannya benar. Artinya memenuhi kaidah-kaidah
tertentu, seperti sistematis, runtut, didukung data empiris, dan adanya tahapan
analisis untuk menguji hipotesis tadi, yang akhirnya terbentuklan suatu temuan
atau kesimpulan.
Teori memang digunakan untuk menjelaskan konsep-konsep secara luas
tentang suatu fenomena, hingga menemukan faktanya. Sekaitan dengan itu, untuk
menggeneralisasikan konsep akan teori sedikitnya terbagi atas 2 (dua) kelompok,
yakni :
 Semua teori bersifat abstraksi, atau merupakan abstraksi abstraksi dari
fenomena. Teori komunikasi informasi bukan merupakan proses yang
dikonseptualisasikan, sehingga masing-masing teori itu terpisah satu
sama lain. Teori hanya memusatkan diri pada sesuatu hal dan
mengabaikan halhal lainnya. Dalam pemahaman ini tidak ada teori
tunggal. Atau teori dipandang sebagai sebuah sistem kecil yang seolah
berdiri sendiri, tanpa dikonteksan dengan teori lain yang sejenis.
 Semua teori dipandang sebagai suatu konstruksi, yang merupakan
ciptaan dari ide manusia. Teori mewakili cara peneliti melihat
lingkungannya, namun teori itu sendiri tidak merefleksikan realitas. Teori
memang bukan sekadar alat untuk mengungkapkan fakta-fakta
tersembunyi.
Teori
adalah
cara
melihat
fakta-fakta,
mengorganisasikannya, dan akhirnya mewakilinya.
Intinya, teori
merupakan suatu cara untuk melihat dan berpikir tentang dunia.
Diibaratkan bahwa teori lebih baik disebut sebagai lensa yang digunakan
pada observasi, daripada sebuah cermin tentang dunia.

Fungsi Teori
Mengenai fungsi teori, secara rinci Littlejohn menyatakan ada 9 (sembilan)
fungsi dari teori tersebut, antara lain :
1. Mengorganisasikan dan menyimpulkan pengetahuan tentang suatu hal.
Hal ini berarti dalam mengamati realitas tidak boleh melakukan
sepotong-sepotong.
Namun
perlu
mengorganisasikan
dan
mensintesiskan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan nyata. Pola-pola
dan hubungan-hubungan harus dapat dicari dan ditemukan.
Pengetahuan yang diperoleh dari pola atau hubungan itu kemudian
disimpulkan. Hasilnya (berupa teori) akan dapat dipakai sebagai rujukan
atau dasar bagi upaya-upaya studi berikutnya.
2. Pemusatan
atau
focusing.
Di
samping
fungsinya
untuk
mengorganisasikan data, teori juga berfungsi untuk memusatkan
perhatian kepada beberapa variabel secara tertentu, tidak sembarang.
Analoginya, seperti melihat peta, dimana hanya bagian-bagian tertentu
saja dengan lingkungan sekitarnya yang diperhatikan, dan tidak perlu
melihat wilayah lainnya. Intinya, apa yang akan dilihat dan diperhatikan,
itulah yang menjadi titik perhatian teori.
3. Menjelaskan. Teori harus mampu membuat suatu penjelasan tentang hal
yang diamatinya. Misalnya mampu menjelaskan pola-pola hubungan dan
menginterpretasikan peristiwa-peristiwa tertentu. Teori memberikan
penunjuk jalan bagi penafsiran, penjelasan, dan pemahaman akan
kompleksitas hubungan antar manusia. Dengan memahami atau
membicarakan fungsi-fungsi teori tentang hubungan antar manusia,
maka variabel-variabel yang terlibatnya pun sangat beragam, seberagam
aspek kehidupan manusia itu sendiri yang serba beda dan unik.
4. Pengamatan. Teori tidak sekedar memberi penjelasan, tapi juga
memberikan petunjuk bagaimana cara mengamatinya, berupa konsepkonsep operasional yang akan dijadikan patokan ketika mengamati halhal rinci yang berkaitan dengan elaborasi teori. Teori berfungsi
menawarkan sesuatu yang bersifat observasional. Teori tidak hanya
menunjukkan apa yang diamati melainkan juga bagaimana mengamati.
Dengan kata lain, teori itu bersifat praktis. Langkah dalam pengujian
teori ini terkadang tidak cukup hanya dengan teknik hipotetis saja,
melainkan harus dilakukan pengujian langsung di lapangan.
5. Membuat prediksi. Meskipun kejadian yang diamati berlaku pada masa
lalu, namun berdasarkan data dan hasil pengamatan ini harus dibuat
suatu perkiraan tentang keadaan yang bakal terjadi apabila hal-hal yang
digambarkan oleh teori juga tercermin dalam kehidupan di masa
sekarang. Fungsi prediksi ini terutama sekali penting bagi bidang-bidang
kajian komunikasi terapan seperti persuasi dan perubahan sikap,
6.
7.
8.
9.

komunikasi dalam organisasi, dinamika kelompok kecil, periklanan,
public relations dan media massa.
Fungsi heuristik atau heurisme. Arti harfiahnya adalah membantu untuk
menemukan. Bahwa teori yang baik harus mampu merangsang
penelitian selanjutnya. Hal ini dapat terjadi apabila konsep dan
penjelasan teori cukup jelas dan operasional sehingga dapat dijadikan
pegangan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
Komunikasi. Teori tidak harus menjadi monopoli penciptanya. Teori
harus dipublikasikan, didiskusikan dan terbuka terhadap kritikan, yang
memungkinkan untuk menyempurnakan teori. Dengan cara ini maka
modifikasi dan upaya penyempurnaan teori akan dapat dilakukan.
Fungsi kontrol yang bersifat normatif. Asumsi-asumsi teori dapat
berkembang menjadi nilai-nilai atau norma-norma yang dipegang dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, teori dapat berfungsi sebagai
sarana pengendali atau pengontrol tingkah laku kehidupan manusia.
Generatif. Maksudnya adalah menggunakan teori untuk menantang
kehidupan budaya yang sudah ada dan melahirkan budaya yang baru.
Dengan kata lain, teori berfungsi untuk mencapai perubahan. Di samping
turut memperkuat norma yang berlaku, teori juga punya potensi untuk
merubah norma yang sedang berlalu. Ketika Galileo, seorang ahli
astronomi Italia (1564-1642) mengemukakan teori mengenai sistem tata
surya, bahwa bumilah yang mengelilingi matahari, maka pandangan
masyarakat, terutama kaum gereja (termasuk sebagian besar ilmuwan
saat itu) menjadi gempar dan tidak percaya, meskipun lama kelamaan
menjadi percaya juga. Padahal kepercayaan dan keyakinan selama
berabad-abad ke belakang, mataharilah yang mengelilingi bumi.
Sekarang, sebagian orang awam juga masih ada yang tidak percaya
bahwa bumi mengelilingi matahari.
Prinsip Teori
Penjelasan dalam teori tidak hanya menyangkut penyebutan nama-nama
serta pendefenisian dari variabel-variabel, tetapi juga berupaya untuk
mengidentifikasikan keberaturan hubungan di antara variabel-variabel.
Menurut Litlejohn (1987), penjelasan dalam teori berdasarkan pada “prinsip
keperluan” (the principle of necessity), yakni suatu penjelasan yang menerangkan
variabel-variabel apa yang mungkin diperlukan untuk menjelaskan atau
menghasilkan sesuatu.
Misalnya untuk menghasilkan variable X, mungkin diperlukan variabel Y dan
Z. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa prinsip ini terdiri dari 3 macam, yaitu :
1. Causal Necessity (keperluan kausal).
Adalah berdasarkan pada azas sebab-akibat. Misalnya, karena ada X dan
Z maka ada Y.
2. Practical Necessity (keperluan praktis).
Mengacu pada hubungan tindakan-konsekuensi. Menurut prinsip ini X
dan Z memang bertujuan untuk menghasilkan Y.
3. Logical Necessity (keperluan logis).
Prinsip ini berdasarkan asas konsistensi logis. Artinya X dan Z secara
konsisten dan logis akan selalu menghasilkan Y.

Pengembangan Teori
Proses pengembangan atau pembentukan teori umumnya mengikuti model
pendekatan eksperimental yang lazim dipergunakan dalam ilmu pengetahuan alam.
Menurut pendekatan ini, biasa disebut Hyphotetif-deductive method, proses
pengembangan teori melibatkan 4 (empat) tahap sebagai berikut :
1. Developing questions (mengembangkan pertanyaan)
2. Forming hyphotheses (membentuk hipotesis)
3. Testing the hyphotheses (menguji hipotesis)
4. Formulating theory (memformulasikan theory)
Ada beberapa patokan yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam
mengevaluasi kesahihan teori, antara lain :
1. Cakupan teoritis (theoritical scope). Teori yang dibangun harus memiliki
keberlakuan umum. Artinya dapat dijadikan standar untuk mengamati
fenomena yang berkaitan dengan teori itu.
2. Kesesuaian (appropriatness). Apakah isi teori sesuai dengan pertanyaanpertanyaan atau permasalahan teoritis yang diteliti. Artinya landasan
pikirnya dapat memberikan cara yang sesuai dan benar untuk menjawab
pertanyaan penelitian.
3. Heuristic. Apakah suatu teori yang dibentuk punya potensi untuk
menghasilkan penelitian atau teori-teori lainnya yang berkaitan.
Sebagaimana telah dijelaskan diawal suatu teori merupakan hasil
konstruksi atau ciptaan manusia, maka suatu teori sangat terbuka untuk
diperbaiki.
4. Validity. Konsistensi internal dan eksternal. Artinya memiliki nilai-nilai
objektivitas yang akurat, karena teori merupakan suatu acuan berpikir.
Konsistensi internal mempersoalkan apakah konsep dan penjelasan teori
konsisten dengan pengamatan, sementara itu konsistensi eksternal
mempertanyakan apakah teori yang dibentuk didukung oleh teori
lainnya yang telah ada.
5. Parsimony. Kesederhanaan, artinya teori yang baik adalah teori yang
berisikan penjelasan-penjelasan yang sederhana.
Sementara itu, sekaitan dengan perubahan teori sesuai dengan sifatnya,
menurut Thomas Kuhn, (dalam Littlejohn, 1996) setidaknya terdapat 3 (tiga) cara
perubahan suatu teori, yakni sebagai berikut :
1. Tumbuh meluas (grouwth by extension). Konsep yang ada bertambah
dan berkembang secara meluas. Dari konsep satu ke konsep-konsep lain
sesuai dengan sifat perkembangannya. Di sini aspekaspek baru
dimunculkan.
2. Tumbuh meningkat (growth by intension). Hal ini berkaitan dengan
peningkatan daya pemahaman seseorang pada konsep yang digagasnya.
3. Berubah melalui revolusi. Teori berubah atau berkembang secara normal
jika memenuhi kaidah tumbuh meluas dan meningkat seperti dua
konsep di atas, namun ada perubahan lain yang tidak seperti itu,
melainkan melalui revolusi. Dalam revolusi ilmiah, dua paradigma diadu
satu dengan yang lainnya. Paradigma lama mewakili sains normal,
sedangkan yang baru menggambarkan revisi dari yang lama tadi. Dalam
hal ini konsep-konsep lama diubah secara radikal dan berbeda,
dirumuskan kembali definisinya secara menyeluruh. Dengan demikian,
bidang studi lama bisa saja mati, dan yang baru bisa dilahirkan, serta
perkawinan antara keduanya juga bisa terjadi.
3.2
Tentang Teori Komunikasi
Para ahli komunikasi telah lama berupaya untuk memberikan penjelasan
mengenai pengertian 'komunikasi' melalui berbagai teori yang dikemukakannya.
Namun nyatanya, semakin banyak upaya yang dilakukan, justru menjadikan
pengertian komunikasi semakin beragam.
Berbagai perbedaan pandangan tersebut semata dikarenakan para ahli
komunikasi tersebut memiliki ketertarikan yang berbeda-beda pula terhadap
berbagai bidang atau aspek yang tercakup dalam ilmu komunikasi. Mereka juga
memiliki pandangan yang tidak sama mengenai hal apa yang menjadi fokus
perhatian atau aspek apa dalam komunikasi yang menurut mereka paling penting
dalam kajian ilmu dan teori komunikasi.
Kendati banyak perbedaan pandangan tersebut, namun melalui penelaahan
secara melalui suatu metamodel teori komunikasi yang bersifat menyeluruh
(komprehensif) dapat membantu menjelaskan berbagai topik dan asumsi serta
membantu dalam melakukan pendekatan terhadap berbagai teori yang ada.
Metamodel teori komunikasi tersebut menyediakan suatu sistem yang kuat untuk
mengorganisir berbagai teori komunikasi.
Dalam menjelaskan berbagai teori komunikasi yang jumlahnya banyak
tersebut, Craig membaginya ke dalam 7 (tujuh) kelompok pemikiran atau tujuh
tradisi pemikiran, antara lain :
1.
Sosiopsikologi (Sociopsychological)
Pemikiran yang berada di bawah naungan sosiopsikologi memandang
individu sebagai makhluk sosial. Teori-teori yang berada di bawah tradisi
sosiopsikologi memberikan perhatiannya antara lain pada perilaku individu,
pengaruh, kepribadian dan sifat individu atau bagaimana individu melakukan
persepsi.
Sosiopsikologi digunakan dalam topik-topik tentang pribadi individu, pesan,
percakapan, hubungan interpersonal, kelompok, organisasi, media, budaya dan
kajian tentang masyarakat. Tradisi ini mewakili perspektif objektif/scientific.
Penganut tradisi ini percaya bahwa kebenaran komunikasi bisa ditemukan
melalui pengamatan yang teliti dan sistematis. Tradisi ini mencari hubungan sebabakibat yang dapat memprediksi kapan sebuah perilaku komunikasi akan berhasil
dan kapan akan gagal.
Adapun indikator keberhasilan dan kegagalan komunikasi terletak pada ada
tidaknya perubahan yang terjadi pada pelaku komunikasi, terutama pada diri
komunikan atau sasaran komunikasi.
Semua itu dapat diketahui melalui
serangkaian eksperimen.
Salah satu tokoh dari tradisi ini adalah Carl I Hovland, adalah seorang ahli
psikologi yang sekaligus peletak dasar-dasar penelitian eksperimen yang berkaitan
dengan efek-efek komunikasi, yakni sebagai berikut :
 Menjadi peletak dasar proposisi empirik yang berkaitan dengan
hubungan antara stimulus komunikasi, kecenderungan audiens dan
perubahan opini.
 Memberikan kerangka awal untuk membangun teori berikutnya.
Hovland mengungkapkan, dalam formula who says what to whom with what
effect, sedikitnya terdapat 3 (tiga) variabel yang memiliki sifat persuasif, yakni :
Who---sumber pesan; What---isi pesan.; dan Whom---karakteristik audiens.
Sementara efek utama yang diukur adalah perubahan pendapat yang
dinyatakan melalui skala sikap yang diberikan sebelum dan pesan disampaikan oleh
komunikator kepada komunikan. Jadi, perhatian penting dalam tradisi ini, antara
lain perihal pernyataan, pendapat (opini), sikap, persepsi, kognisi, interaksi dan efek
atau pengaruh.
2.
Sibernetika (Cybernetic)
Sibernetika memandang komunikasi sebagai suatu sistem dimana berbagai
elemen yang terdapat di dalamnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi.
Komunikasi dipahami sebagai sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling
mempengaruhi satu sama lain. Sibernetika digunakan dalam topik-topik tentang diri
individu, percakapan, hubungan interpersonal, kelompok, organisasi, media, budaya
dan masyarakat.
Ide komunikasi sebagai pemrosesan informasi pertama kali dikemukakan
oleh Shannon & Weaver dengan karyanya Mathematical Theory Communication.
Bahkan teorinya diterima secara luas sebagai salah satu benih yang keluar dari studi
komunikasi. Menurut teori ini, komunikasi dipandang sebagai transmisi pesan.
Karya mereka tersebut berkembang selama Perang Dunia kedua di Bell
Telephone Laboratories di AS. Eksperimennya dilakukan pada saluran kabel telepon
dan gelombang radio bekerja dalam menyampaikan pesan. Meskipun
eksperimennya sangat berkaitan dengan masalah eksakta, tapi mereka mengklaim
bahwa teori tersebut bisa diterapkan secara luas terhadap semua pertanyaan
tentang komunikasi insani (human communication).
Jadi, dalam tradisi ini konsep-konsep penting yang dikaji antara lain
pengirim, penerima, informasi, umpan balik, redudancy, dan sistem. Walaupun
dalam tradisi ini seringkali mendapat kritik, terutama berkenaan dengan pandangan
asumtif yang cenderung menyamakan antara manusia dengan mesin dan
menganggap bahwa suatu realitas atau gejala timbul karena hubungan sebab akibat
yang linier.
3.
Retorika (Rhetorical)
Retorika didefinisikan sebagai seni membangun argumentasi dan seni
berbicara. Dalam perkembangannya retorika juga mencakup proses untuk
“menyesuaikan ide dengan orang dan menyesuaikan orang dengan ide melalui
berbagai macam pesan”. Sekaitan dengan komunikasi sebagai ilmu bicara yang
sarat seni, sedikitnya ada 6 (enam) keistimewaan sebagai ciri tradisi ini, yakni :
1. Keyakinan bahwa berbicara membedakan manusia dari binatang.
2. Ada kepercayaan bahwa pidato publik yang disampaikan dalam forum
demokrasi adalah cara yang lebih efektif untuk memecahkan masalah
politik.
3. Retorika merupakan strategi dimana seorang pembicara mencoba
memengaruhi seorang audiens dari sekian banyak audiens melalui
pidato yang jelas-jelas bersifat persuasif. Public speaking pada dasarnya
adalah komunikasi satu arah.
4. Pelatihan kecakapan pidato adalah dasar pendidikan kepemimpinan.
Seorang pemimpin harus mampu menciptakan argumen-argumen yang
kuat lalu dengan lantang menyuarakannya.
5. Menekankan pada kekuatan dan keindahan bahasa untuk menggerakkan
orang banyak secara emosional dan menggerakkan mereka untuk
beraksi/bertindak. Pengertian Retorika lebih merujuk kepada seni bicara
daripada ilmu berbicara.
6. Sampai tahun 1800-an, perempuan tidak memiliki kesempatan untuk
menyuarakan haknya. Jadi, retorika merupakan sebuah keistimewaan
bagi pergerakan wanita di Amerika yang memperjuangkan haknya untuk
bisa berbicara di depan publik.
4.
Semiotika (Semiotic)
Semiotika adalah ilmu tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja.
Sebuah tanda adalah sesuatu yang menunjukkan sesuatu yang lain. Contohnya,
asap menandai adanya api. Lebih lanjut, Pawito (2007) menyatakan, semiotika lebih
memusatkan pada perhatian lambang-lambang dan simbol-simbol, dan memandang
komunikasi sebagai suatu jembatan antara dunia individu-individu dengan ruang di
mana lambang-lambang digunakan oleh individu-individu untuk membawa maknamakna tertentu kepada khalayak.
Semiotika memandang komunikasi sebagai proses pemberian makna melalui
tanda yaitu bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, dan sebagainya yang
berada diluar diri individu. Semiotika digunakan dalam topik-topik tentang pesan,
media, budaya dan masyarakat.
5.
Sosiokultural (Sociocultural)
Cara pandang sosiokultural menekankan gagasan bahwa realitas dibangun
melalui suatu proses interaksi yang terjadi dalam kelompok, masyarakat dan
budaya. Sosiokultural lebih tertarik untuk mempelajari pada cara bagaimana
masyarakat secara bersama-sama menciptakan realitas dari kelompok sosial,
organisasi dan budaya mereka. Sosiokultural digunakan dalam topik-topik tentang
diri individu, percakapan, kelompok, organisasi, media, budaya dan masyarakat.
Premis sosiokultural adalah ketika orang berbicara, mereka sesungguhnya sedang
memproduksi dan memproduksi kembali budaya. Sebagian besar orang
beranggapan bahwa kata-kata mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi.
Pandangan seseorang tentang realitas sebenarnya dibentuk oleh bahasa
yang telah digunakannya sejak dilahirkan ke dunia. Ahli bahasa dari Universitas
Chicago, Edwar Sapir dan Benyamin Lee Whorf adalah figur yang mempelopori
tradisi sosio cultural ini. Hipotesis yang diusungnya adalah struktur bahasa suatu
budaya menentukan apa yang orang pikirkan dan lakukan.
Dapat dibayangkan bagaimana seseorang menyesuaikan dirinya dengan
realitas tanpa menggunakan bahasa, dan bahwa bahasa hanya semata-mata
digunakan untuk mengatasi persoalan komunikasi atau refleksi tertentu.
Hipotesis ini menunjukkan bahwa proses berpikir dan cara memandang
dunia dibentuk oleh struktur gramatika dari bahasa yang digunakan. Secara
fungsional, bahasa adalah alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan
gagasan (socially shared), karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada
kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya.
Bahasa diungkapkan dengan kata-kata dan kata-kata tersebut sering diberi
arti arbiter (semaunya). Contohnya, terhadap buah pisang, orang sunda
menyebutnya ’cau’ dan orang jawa menyebutnya ’gedang’. Secara formal, bahasa
adalah semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan
bahasa. Setiap bahasa dapat dikatakan mempunyai tata bahasa atau grammarnya
tersendiri.
6.
Kritis (Critical)
Istilah teori kritis berasal dari kelompok ilmuwan Jerman yang dikenal
dengan sebutan “Frankfurt School”. Para teoritisinya mengadopsi pemikiran Marxis.
Kelompok ini telah mengembangkan suatu kritik sosial umum, dimana komunikasi
menjadi titik sentral dalam prinsip-prinsipnya. Sistem komunikasi massa merupakan
fokus yang sangat penting di dalamnya. Tokoh-tokoh pelopornya, adalah Max
Horkheimer, Theodore Adorno serta Herbert Marcuse.
Ketika bangkitnya Nazi di Jerman, mereka berimigrasi ke Amerika. Di sana
mereka menaruh perhatian besar pada komunikasi massa dan media sebagai
struktur penindas dalam masyarakat kapitalistik, khususnya struktur di Amerika.
Teori kritis menganggap tugasnya adalah mengungkap kekuatan-kekuatan
penindas dalam masyarakat melalui analisis dialektika. Teori kritis juga memberikan
perhatian yang sangat besar pada alat-alat komunikasi dalam masyarakat.
Komunikasi sendiri merupakan suatu hasil dari tekanan antara kreativitas individu
dalam memberi kerangka pesan dengan kendala-kendala sosial terhadap kreativitas
tersebut.
Salah satu kendala utama pada ekspresi individu adalah bahasa itu sendiri.
Kelas-kelas dominan dalam masyarakat menciptakan suatu bahasaa penindasan dan
pengekangan, yang membuat kelas pekerja menjadi sangat sulit untuk memahami
situasi mereka dan untuk keluar dari situasi tersebut.
Kewajiban dari teori kritis adalah menciptakan bentuk-bentuk bahasa baru
yang memungkinkan diruntuhkannya paradigma dominan. Hal itulah yang
diungkapkan oleh Jurgen Habermas, tokoh terkemuka kelompok Franfurt School di
era berikutnya.
Habermas menaruh perhatian khusus pada dominasi kepentingan teknis
dalam masyarakat kapitalis kontemporer. Dalam masyarakat seperti itu, publik dan
swasta terjalin sampai pada tingkat di mana sektor publik tidak mampu
mempertahankan diri terhadap penindasan kepentingan teknis swasta. Idealnya,
publik dan swasta seimbang, dan sektor publik harus cukup kuat untuk memberikan
suatu iklim bagi kebebasan gagasan dan debat.
Dari bahasan tersebut, jelaslah bahwa Habermas menilai, komunikasi sangat
penting bagi pembebasan. Bahasa sendiri merupakan hal pokok bagi kehidupan
manusia, dan bahasa menjadi alat dimana kepentingan pembebasan dipenuhi.
Karenanya, kompetensi komunikasi diperlukan untuk partisipasi yang efektif dalam
pengambilan keputusan.
7.
Fenomenologi (Phenomenology)
Fenomenologi memandang komunikasi sebagai pengalaman melalui diri
sendiri atau diri orang lain melalui dialog. Tradisi memandang manusia secara aktif
menginterpretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami
lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungan.
Fenomenologi memberikan penekanan yang sangat kuat terhadap persepsi
dan interpretasi dari pengalaman-pengalaman subjektif manusia. Pendukung teori
ini berpandangan bahwa cerita atau pengalaman individu adalah lebih penting dan
memiliki otoritas lebih besar dari pada hipotesa penelitian sekalipun. Fenomenologi
digunakan dalam teori-teori tentang pesan, hubungan interpersonal, budaya dan
masyarakat.
Berbagai perbedaan yang terkandung dalam masing-masing kelompok
tradisi komunikasi tersebut mempengaruhi pada cara melakukan riset atau
penelitian komunikasi dan mempengaruhi pilihan teori yang akan digunakan. Meski
fenomenologi adalah sebuah filosofi yang mengagumkan, pada dasarnya
menunjukkan analisis terhadap kehidupan sehari-hari. Titik berat tradisi
fenomenologi adalah pada bagaimana individu mempersepsi serta memberikan
interpretasi pada pengalaman subyektifnya.
Bagi seorang fenomenologis, cerita kehidupan seseorang lebih penting
daripada axioma-axioma komunikasi. Seorang psikologis, Carl Rogers percaya
bahwa kesehatan kliennya akan pulih ketika komunikasinya mampu menciptakan
lingkungan yang nyaman baginya untuk berbincang atau berkomunikasi.
Dia menggambarkan tiga kondisi yang penting dan kondusif bagi perubahan
suatu hubungan dan kepribadian, yakni :
a. Kecocokan/kesesuaian, adalah kecocokan antara perasaan dalam hati
individu dengan tampilan luar . Orang yang tidak memiliki kecocokan
akan mencoba mempengaruhi, bermain peranan, sembunyi di balik
suatu tedeng aling-aling.
b. Hal positif yang tidak bersyarat, adalah sebuah sikap penerimaan yang
bukan merupakan kesatuan dalam penampilan.
c. Pemahaman empatik.
Setiap teori pada dasarnya selalu menggunakan cara atau metode riset yang
berbeda yang secara umum dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar paradigma
penelitian yaitu, 1) objektif; dan 2) interpretatif.

Objektif
Ilmu pengetahuan seringkali diasosiasikan dengan sifatnya yang objektif
(objectivity) yang berarti bahwa pengetahuan selalu mencari standarisasi dan
kategorisasi. Dalam hal ini, para peneliti melihat bahwa dunia sedemikian rupa
sehingga peneliti lain yang memakai cara atau metode melihat yang sama akan
menghasilkan kesimpulan yang sama pula.
Dengan kata lain, suatu replikasi atau penelitian yang berulang-ulang akan
selalu menghasilkan kesimpulan yang persis sama sebagaimana penelitian dalam
ilmu pengetahuan alam (natural sciences).
Penelitian yang menggunakan metode objektif sering disebut dengan
penelitian empiris (scientific scholarship) atau positivis. Perlu ditegaskan bahwa apa
yang dikenal selama ini sebagai tipe penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif
masuk dalam kategori penelitian objektif positivis ini.

Interpretatif
Mereka yang memakai pendekatan ini disebut sebagai humanistic
scholarship. Jika metode objektif (kuantitatif/kualitatif) bertujuan untuk membuat
standarisasi observasi maka metode subjektif (penelitian interpretatif) berupaya
menciptakan interpretasi. Jika ilmu pengetahuan berupaya untuk mengurangi
perbedaan di antara para peneliti terhadap objek yang diteliti, maka para peneliti
humanistik berupaya untuk memahami tanggapan subjektif individu.
Pendekatan interpretatif ini memandang bahwa metode penelitian ilmiah
tidaklah cukup untuk dapat menjelaskan ”misteri' mengenai pengalaman manusia
sehingga diperlukan unsur manusiawi yang kuat dalam penelitian. Kebanyakan
mereka yang berada dalam kelompok ini lebih tertarik pada kasus-kasus individu
daripada kasus-kasus umum.
Berdasarkan klasifikasi teori komunikasi dari Robert Craig tersebut, teori
komunikasi memiliki sifat objektif dan interpretatif, maka kelompok teori
komunikasi yang paling objektif adalah Sosisopsikologi, sedangkan kelompok teori
yang paling subjektif interpretatif adalah fenomenologi, sosiokultural dan kritis.
Sementara itu, berdasarkan pendekatan harfiah, teori komunikasi bisa dibilang
konseptualisasi atau penjelasan logis mengenai fenomena komunikasi dalam
kehidupan.
3.3
Teoritisi Komunikasi
Dalam rangka melacak teori komunikasi tentunya perlu terlebih dahulu
melakukan penelaahan terhadap pemikiran para pakar dari disiplin ilmu sosial
secara umum serta para pakar disiplin ilmu komunikasi secara khusus.
Ilmu komunikasi sendiri mengalami perkembangan pesat di Amerika.
Sejumlah ilmuwan turut membantu mengembangkannya. Sejumlah tokoh, seperti
Dewey, Cooley, Park dan Mead ditenggarai sebagai tokoh sentral bagi
perkembangan ilmu Komunikasi di dunia, khususnya di Amerika.
Mereka menekankan pendekatan fenomenologis pada komunikasi manusia,
menitikberatkan bahwa subjektivitas individual ketika mempersepsi suatu pesan
secara hakiki adalah kualitas manusiawi. Jadi, mereka berpendapat, bagaimana
seseorang mengartikan informasi dan bagaimana makna tersebut diberikan kepada
suatu pesan merupakan suatu aspek fundamental dari proses komunikasi.
Lebih jelasnya tentang pendapat mereka terhadap ilmu dan teori
komunikasi, berikut uraian singkatnya. Kendati, tidak dianggap sebagai orang
komunikasi, namun pemikirannya memberikan pengaruh besar terhadap
perkembangan ilmu dan teori komunikasi.

John Dewey
John Dewey adalah seorang dosen filsafat pada Universitas Michigan dari
tahun 1884 s.d. 1894. Dalam pernyataannya, Dewey berpandangan kalau
komunikasi massa merupakan sarana perubahan sosial (social change).
Karenanya, dibantu seorang mahasiswanya, Robert Park, ia menerbitkan
surat kabar bernama Thought News. Tujuannya melaporkan penemuan-penemuan
mutakhir ilmu sosial dan untuk membahas masalah-masalah sosial. Walaupun
usaha-usaha penerbitannya tersebut gagal. Namun Dewey tidak pernah menyerah
dalam upaya menampilkan perubahan sosial berdasarkan potensi media massa.
Dewasa ini, Dewey terkenal karena filsafat fragmatiknya, karenanya
ia dijuluki sebagai filsuf komunikasi yang pertama. Dewey berkeyakinan bahwa
suatu idea akan benar apabila dipraktekkan. Pragmatisme menolak dualisme
pikiran dan keyakinan, subjek dan objek.

Charles Horton Cooley
Cooley dilahirkan di Ann Arbor, Michigan. Semasa hidupnya,m yakni dalam
rentang 1864 s.d 1929, ia berkarir sebagai pengajar di universitas yang menjadi
almamaternya dulu, Universitas Michigan.
Minat teoritisnya yang paling terkenal adalah pendapat dirinya mengenai
pengaruh interaksi (komunikasi) terhadap perubahan indivdu. Cooley mengatakan,
keturunan dan individualisme bukan merupakan penentu kepribadiaan seseorang.
Sebaliknya, ia menganggap, komunikasi dalam kelompok primer merupakan
landasan utama dari sosialisasi.
Dalam skema konseptualnya, Cooley menempatkan komunikasi pada nilai
yang tinggi, suatu mekanisme dalam formasi yang ia sebut the looking glass sely
yang amat penting. Ini ebrarti bahwa interaksi dengan ortang lain bagaikan sejenis
cermin yang membantu penentukan konsep diri seseorang. Bagi Cooley,
komunikasi memegang peranan sebagai sarana sosialisasi. Karenanya, kKomunikasi
menjadi tali pengikat masyarakat.

Robert E. Park
Oleh para pakar komunikasi, Park dianggap sebagai teoritikus komunikasi
massa yang pertama. Bahkan, Park juga dianggap sebagai peneliti komunikasi
massa yang pertama. Park adalah seorang pemimpin utama Chicago School of
Sociology.
Karenanya, Park adalah seorang sosiolog, kendati pada
perkembangannya ia banyak berkecimpung dalam ilmu komunikasi.
Tahun 1887, Park bekerja sebagai wartawan. Selama bekerja sebagai
reporter untuk sejumlah media massa, Park banyak melakukan pengamatan
mengenai sejumlah perilaku menyimpang, semisal kejahatan, pelacuran, dan tindak
kriminalitas lainnya. Dia juga menyelidiki jurnalisme yang menjadi sarana perkasa
dalam perubahan sosial masyarakat.
Park mendefinisikan komunikasi sebagai proses sosial psikologis dimana
seseorang mampu menerima sikap dan pandangan orang lain. Pernyataan yang
subjektivis ini menyanggap model komunikasi linear, suatu pemikiran satu arah
yang kemudian menjadi dasar teori informasi Claude Shannon dan Warren Weaver
(1950).
Adapun konsepsi Komunikasi yang diusung Park menunjukkan bahwa dua
orang atau lebih dapat bertukar informasi selama berlangsungnya proses
komunkasi dimana keduanya memberikan makna yang berbeda.

George Herbert Mead
Dalam kumpulan materi kuliahnya saat ia mengajar filsafat di Universtas
Chicago yang berjudul, ”Mind, Self and Society” tentang interaksionisme simbolik,
Mead menekankan, komunikasi manusia sebagai agen sosialisasi yang fundamental.
Mead menegaskan bahwa diri (the self) mulai berkembang pada seorang
individu di saat ia belajar memerankan orang lain, belajar mengintimidasi peranan
orang lain dan mengantisifasi tanggapan mereka terhadap peranan orang lain.
Mead menyatakan, individu-individu menyadari dirinya melalui interaksi
dengan orang lain yang berkomunikasi dengannya. Mead menegaskan, keampuhan
empatik terdapat dalam penggunaan bahasa yang dipelajarinya dalam interaksi
sosial dalam kelompok primernya.
3.4
Teori Komunikasi
Dikemukakan oleh Littlejohn (1989) bahwa berdasarkan metode penjelasan
serta cakupan mengenai objek pengamatannya, secara umum teori-teori
komunikasi dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) bagian besar, yakni 1) teori-teori
Umum (general theories); dan 2) teori-teori kontekstual.

Teori-Teori Umum (General Theories)
Teori ini merupakan teori yang mengarah pada bagaimana menjelaskan
fenomena komunikasi berikut metode penjelasannya. Karenanya teori ini memberi
analisa pikir terhadap suatu teori, yang terdiri atas sejumlah sub-teori lainnya, di
antaranya :

Teori-Teori Fungsional dan Struktural
Ciri dan pokok pikiran dari teori ini adalah, individu dipengaruhi oleh
struktur sosial atau sistem sosial dan individu merupakan bagian dari struktur
tersebut, sehingga cara pandangnya dipengaruhi struktur yang berada di luar
dirinya.
Pendekatan teori ini lebih menekankan tentang sistem sebagai struktur yang
berfungsi. Adapun karakteristik dari pendekatan ini adalah sebagai berikut :
a. Mementingkan sinkroni (stabilitas dalam kurun waktu tertentu) daripada
diacrony (perubahan dalam kurun waktu tertentu). Misalnya, dalam
mengamati suatu fenomena menggunakan dalil-dalil yang jelas dari
suatu kaidah. Perubahan terjadi melalui tahapan metodologis yang baku.
b. Cenderung memusatkan perhatiannya pada akibat-akibat yang tidak
diinginkanâ (unintended consequences) daripada hasil yang sesuai
tujuan. Pendekatan ini tidak mempercayai konsep subjektivitas dan
kesadaran. Fokusnya pada faktor-faktor yang berada di luar kontrol
kesadaran manusia.
c. Memandang realitas sebagai sesuatu yang objektif dan independen.
Oleh karena itu, pengetahuan dapat ditemukan melalui metode empiris
yang cermat.
d. Memisahkan bahasa dan lambang dari pemikiran dan objek yanng
disimbolkan dalam komunikasi.
Bahasa hanyalah alat untuk
merepresentasikan apa yang telah ada.
e. Menganut prinsip the correspondence theory of truth. Menurut teori ini
bahasa harus sesuai dengan realitas. Simbol-simbol harus
merepresentasikan sesuatu secara akurat.

Teori-Teori Behavioral dan Kognitif
Teori ini berkembang dari ilmu psikologi yang memusatkan pengamatannya
pada diri manusia secara individual. Beberapa pokok pikirannya adalah sebagai
berikut :
a. Salah satu konsep pemikirannya adalah model stimulus-respon (S-R)
yang menggambarkan proses informasi antara stimulus dan respon.
b. Mengutamakan analisa variabel. Analisis ini pada dasarnya merupakan
upaya mengidentifikasi variabel-variabel kognitif yang dianggap penting
dan mencari hubungan antar variabel.
c. Menurut pandangan ini komunikasi dipandang sebagai manifestasi dari
proses berfikir, tingkah laku dan sikap seseorang. Oleh karena itu,
variabel-variabel penentu memegang peranan penting terhadap kognisi
seseorang (termasuk bahasa) yang biasanya berada di luar kontrol
individu.
Contoh lain teori atau model yang termasuk dalam kelompok teori ini adalah
Model Psikologi Comstock tentang efek televisi terhadap individu. Tujuan model ini
adalah untuk memperhitungkan dan membantu memperkirakan terjadinya efek
terhadap tingkah laku orang perorang dalam suatu kasus tertentu, dengan jalan
menggabungkan penemuan-penemuan atau teori-teori tentang kondisi umum
dimana efek selama ini dapat ditemukan.
Model ini dinamakan model psikologi karena melibatkan masalah-masalah
keadaan mental dan tingkah laku orang perorang. Model ini berpendapat, televisi
hendaknya dianggap sederajat dengan setiap pengalaman, tindakan atau observasi
personal yang dapat menimbulkan konsekuensi terhadap pemahaman (learning)
maupun tindakan (acting).
Jadi model ini mencakup kasus dimana televisi tidak hanya mengajarkan
tingkah laku kepada khalayak yang dapat dipelajari dari sumber-sumber lain.

Teori-Teori Konvesional dan Interaksional
Teori ini beranggapan, komunikasi dapat berlangsung, individu-individu yang
berinteraksi menggunakan aturan-aturan dalam menggunakan lambang-lambang.
Bukan hanya aturan mengenai lambang itu sendiri tetapi juga harus sepakat dalam
giliran berbicara, bagaimana bersikap sopan santun atau sebaliknya, bagaimana
harus menyapa dan sebagainya.
Teori ini berkembang dari aliran interactionisme simbolik yang menunjukan
arti penting dari interaksi dan makna. Adapun pokok pikiran teori ini adalah :
a. Kehidupan sosial merupakan suatu proses interaksi yang membangun,
memelihara, serta mengubah kebiasaan-kebiasaan tertentu, termasuk
dalam hal ini bahasa dan simbol. Komunikasi dianggap sebagai alat
perekat masyarakat (the glue of society).
b. Struktur sosial dilihat sebagai produk dari interaksi. Interaksi dapat
terjadi melalui bahasa, sehingga bahasa menjadi pembentuk struktur
sosial. Pengetahuan dapat ditemukan melalui metode interpretasi.
c. Struktur sosial merupakan produk interaksi, karena bahasa dan simbol
direproduksi, dipelihara serta diubah dalam penggunaannnya. Sehingga
focus pengamatannya adalah pada bagaimana bahasa membentuk
struktur social, serta bagaimana bahasa direproduksi, dipelihara, serta
diubah penggunaannya.
d. Makna dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu dari konteks ke
konteks. Sifat objektif bahasa menjadi relatif dan temporer. Makna pada
dasarnya merupakan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh melalui
interaksi. Oleh karena itu makna dapat berubah dari waktu ke waktu,
konteks ke konteks, serta dari kelompok social ke kelompok lainnya.
Dengan demikian sifat objektivitas dari makna adalah relative dan
temporer.

Teori-Teori Kritis dan Interpretif
Jenis teori ini berkembang dari tradisi sosiologi interpretift, yang
dikembangkan oleh Alfred Schulzt, dan Paul Ricour. Sedangkan teori kritis
berkembang dari pemikiran Max Weber, Marxisme dan Frankfurt.
Interpretif berarti pemahaman yang berusaha menjelaskan makna dari
suatu tindakan, karena suatu tindakan dapat memiliki banyak arti, maka makna
tidak dapat dengan mudah diungkap begitu saja. Interpretasi secara harfiah
merupakan proses aktif dan inventif.
Teori interpretif umumnya menyadari bahwa makna dapat berarti lebih dari
apa yang dijelaskan oleh pelaku. Jadi interpretasi adalah suatu tindakan kreatif
dalam mengungkap kemungkinan-kemungkinan makna.
Implikasi social kritis pada dasarnya memiliki implikasi ekonomi dan politik,
tetapi banyak diantaranya yang berkaitan dengan komunikasi dan tatanan
komunikasi dalam masyarakat. Meskipun demikian, teoritisi kritis biasanya enggan
memisahkan komunikasi dan elemen lainnya dari keseluruhan sistem. Jadi, suatu
teori kritis mengenai komunikasi perlu melibatkan kritik mengenai masyarakat
secara keseluruhan.
Pendekatan kelompok ini terutama sekali popular di negara-negara Eropa.
Adapun karakteristik umum yang mencirikan teori ini adalah a) Penekanan terhadap
peran subjektifitas yang didasarkan pada pengalaman individual; b) Makna
merupakan konsep kunci dalam teori-teori ini. Pengalaman dipandang sebagai
meaning centered; c) Bahasa dipandang sebagai kekuatan yang mengemudikan
pengalaman manusia.
Di samping karakteristik di atas yang menunjukan kesamaan, terdapat juga
perbedaan mendasar antara teori-teori interpretif dan teori-teori kritis dalam
pendekatannya. Pendekatan teori interpretif cenderung menghindarkan sifat-sifat
preskriptif dan keputusan-keputusan absolute tentang fenomena yang diamati.
Pengamatan menurut teori interpretif, hanyalah sesuatu yang bersifat
tentative dan relative. Sementara teori-teori kritis lazimnya cenderung
menggunakan keputusan-keputusan absolut, preskriptif dan juga politis sifatnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa teori interpretif ditujukan untuk memahami
pengalaman hidup manusia, atau untuk menginterpretasikan makna-makna teks.
Sedangkan teori kritis berkaitan dengan cara-cara di mana kondisi manusia
mengalami kendala dan berusaha menciptakan berbagai metode untuk
memperbaiki kehidupan manusia.

Teori-Teori Kontekstual
Berdasarkan konteks dan tingkatan analisisnya, teori komunikasi dapat
dibagi ke dalam 5 (lima) bagian utama, yakni :
1. Intra Personal Communication
Adalah proses komunikasi yang terjadi di dalam diri seseorang. Fokusnya
adalah pada bagaimana jalannya proses pengolahan informasi yang
dialami seseorang melalui sistem syaraf dan inderanya. Umumnya
membahas mengenai proses pemahaman, ingatan, dan interpretasi
terhadap simbol-simbol yang ditangkap melalui pancainderanya.
2. Interpersonal Communication
Komunikasi antar perorangan dan bersifat pribadi baik yang terjadi
secara langsung (non-media) atau tidak langsung (media). Fokus teori ini
adalah pada bentuk dan sifat hubungan, percakapan, interaksi dan
karakteristik komunikator.
3. Group Communication
Fokus pada interaksi diantara orang-orang dalam kelompok kecil.
Komunikasi kelompok juga melibatkan komunikasi antar pribadi, namun
pembahasannya berkaitan dengan dinamika kelompok, efisiensi dan
efektifitas penyampaian informasi dalam kelompok, pola dan bentuk
interaksi serta pembuatan keputusan.
4. Organization Communication
Adalah mengarah pada pola dan bentuk-bentuk komunikasi yang terjadi
dalam konteks dan jaringan organisasi. Komunikasi organisasi melibatkan
bentuk-bentuk komunikasi formal dan informal. Pembahasan teori ini
menyangkut struktur dan fungsi organisasi, hubungan antar manusia,
komunikasi dan proses pengorganisasiannya serta budaya organisasi.
5. Mass Communication
Adalah komunikasi melalui media massa yang ditujukan pada sejumlah
khalayak yang besar. Proses komunikasi melibatkan keempat teori
sebelumnya. Teori ini secara umum memfokuskan perhatiannya pada
hal-hal yang menyangkut struktur media, hubungan media dan
masyarakat, hubungan antara media dan khalayak, aspek-aspek budaya
dari komunikasi massa, serta dampak komunikasi massa terhadap
individu.
Sementara menurut Onong Uchjana Effendi (2000) dalam bukunya “Ilmu,
Teori dan Filsafat Komunikasi” membagi teori komunikasi ke dalam 2 (dua) fase
utama, yakni :
1.
Teori Komunikasi Awal
Hingga saat ini tercatat tidak kurang dari seratusan teori dan model
komunikasi yang diketengahkan para pakar komunikasi, terutama pakar komunikasi
dari Amerika. Namun, dalam materi ini tidak akan dipaparkan secara keseluruhan,
tetapi akan dipilih beberapa bentuk saja dari teori komunikasi yang dianggap
penting dan memiliki korelatif dengan aplikasi komunikasi.
Menurut Onong Uchjana Effendy (2003) dalam bukunya “Ilmu, Teori dan
Filsafat Komunikasi”, teori dan model komunikasi yang tampil pada era pertama
sekitar dekade 1940-an s.d 1950-an adalah sebagai berikut :

Lasswell’s Model (Model Lasswell)
Teori komunikasi yang dianggap paling awal (1948). Lasswell menyatakan
bahwa cara yang terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah menjawab
pertanyaan, Who says in which channel to whom with what effect (Siapa
mengatakan apa melalui saluran apa kepada siapa dengan efek apa).
Jawaban bagi pertanyaan paradigmatik Lasswell tersebut merupakan bentuk
dari unsur-unsur proses komunikasi, yakni Communicator, Message, Media,
Receiver, dan Effect (timbal balik). Adapun fungsi komunikasi menurut Harold D.
Lasswell adalah sebagai berikut :
a. The surveillance of the environment (pengamatan lingkungan)
b. The correlation of the parts of society in responding to the environment
(korelasi kelompok-kelompok dalam masyarakat ketika menanggapi
lingkungan).
c. The transmission of the social heritage from one generation to the next
(transmisi warisan sosial dari generasi yang satu ke generasi yang lain).
Surveillance yang dimaksud Lasswell adalah, kegiatan mengumpulkan dan
menyebarkan informasi mengenai peristiwa-peristiwa dalam suatu lingkungan.
Dengan kata lain, perkataan penggarapan berita. Sementara kegiatan yang disebut
correlation adalah interpretasi terhadap informasi mengenai peristiwa yang terjadi
di lingkungan.
Dalam beberapa hal ini dapat didefinisikan sebagai tajuk rencana atau
propaganda. Sedangkan Kegiatan transmission of culture difokuskan kepada
kegiatan mengkomunikasikan informasi, nilai, dan norma sosial, dari generasi satu
ke generasi yang lain, atau dari anggota suatu kelompok ke pendatang baru.

S – O - R Theory (Teori S – O - R)
Teori S-O-R sebagai singkatan dari Stimulus–Organism-Respon ini semula
berasal dari Psikologi. Kalau kemudian menjadi sebuah teori komunikasi, hal ini
karena memang objek material dari Psikologi dan komunikasi sama, yaitu manusia
dimana jiwanya meliputi komponen-komponen : sikap, opini, perilaku, kognisi,
afeksi serta konasi.
Menurut teori stimulus respon ini, efek yang ditimbulkan merupakan suatu
reaksi khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan
dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Jadi unsurunsur dalam teori S-O-R ini adalah, 1) Pesan (Stimulus, S); 2) Komunikan
(Organisam, O); dan 3) Efek (Respon, R)
Dikemukakan Onong Uchjana Effendy (2000) dalam proses komunikasi yang
berkenaan dengan sikap adalah ”Aspek ’How’ bukan aspek ’What’ maupun ’Why’.
Jelasnya How to communicate, dalam hal ini How to change the attitude, artinya
bagaimana mengubah sikap komunikan”.
Dalam proses perubahan sikap tampak sekali bahwa sikap tersebut dapat
berubah. Onong Uchjana Effendy mengutip pernyataan dari Hovland, Janis dan
Kelley yang menyatakan bahwa, dalam sikap yang baru ada tiga variabel penting,
perhatian, pengertian, dan penerimaan.
Jadi, perubahan sikap yang terjadi pada diri komunikan (organism)
berlangung secara bertahap, artinya ketika komunikan tersebut menerima pesan
(stimulus) maka yang pertama yang terjadi pada dirinya adalah perhatian, lalu
diikuti oleh pengertian dan terakhir berlanjut pada tahap penerimaan.
Gambar 3.1
Teori S – O – R
Sumber : Onong Uchjana Effendy, 2000 : 255
Gambar di atas menunjukkan bahwa perubahan sikap tergantung kepada
proses yang terjadi pada individu. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada
komunikan mungkin akan diterima atau tidak diterima oleh komunikan, komunikasi
akan berlangsung jika ada perhatian terlebih dahulu dari komunikan. Proses
selanjutnya, komunikan mengerti dan setelah menimbulkan pengertian maka
komunikan mengolahnya serta menerimanya (penerimaan) yang pada akhirnya
akan ditindak lanjuti dengan suatu sikap perilaku dari komunikan.

S – M – C - R Model (Model S – M – C - R)
Rumus S-M-C-R merupakan singkatan dari Source, yang berarti sumber atau
komunikator, M singkatan dari Message yang berarti pesan, C singkatan dari
Channel yang berarti saluran atau media, dan R singkatan dari Receiver yang berarti
penerima atau komunikan.
Jangan keliru dengan singkatan pada teori S – O – R dimana S adalah
singkatan dari Stimulus yang berarti pesan. Sedangkan R singkatan dari Response
yang dalam bahasa Indonesia diartikan tanggapan. Khusus mengenai istilah
Channel yang disingkat C pada rumus S-M-C-R itu yang berarti saluran/media,
komponen menurut Edward Sappir mengandung dua pengertian, yakni primer dan
sekunder.
Media sebagai saluran primer adalah lambang, misalnya bahasa, kial
(gesture), gambar atau warna, yaitu lambang-lambang yang dipergunakan khusus
dalam komunikasi tatap muka face-to-face communication). Sedangkan media
sekunder adalah media yang berwujud, baik media massa maupun media nirmassa.
Jadi, komunikator pada komunikasi tatap muka hanya menggunakan satu
media saja, misalnya bahasa, sedangkan pada komunikasi bemedia seorang
komunikator, misalnya wartawan, penyiar atau reporter menggunakan dua media,
yakni media primer dan media sekunder, jelasnya bahasa dan sarana yang ia
operasikan.

The Mathematical Theory of Communication
Teori matematikal ini acapkali disebut model Shannon dan Weaver, karena
teori komunikasi manusia yang muncul tahun 1949 ini merupakan perpaduan
gagasan Claude E. Shannon dan Warren Eaver.
Shannon pada tahun 1948 mengetengahkan teori matematik dalam
komunikasi permesinan (engineering communication), yang kemudian bersama
Warren pada tahun 1949 diterapkan pada proses komunikasi manusia (human
communication). Sejak saat itu, komunikasi dipergunakan dalam pengertian yang
luas yang mencakup semua prosedur dimana pikiran seseorang mempengaruhi
pikiran orang lain.
Gambar 3.2
Model Matematikal Shannon dan Weaver
Sumber : Onong Uchjana Effendi, 2003 : 257
Gambar di atas menunjukkan, sumber informasi (information source)
memproduksi sebuah (message) untuk dikomunikasikan. Pesan tersebut dapat
terdiri dari kata-kata lisan atau tulisan, musik, gambar, dan lain-lain. Pemancar
(transmitter) mengubah pesan menjadi isyarat (signal) yang sesuai bagi saluran yang
akan dipergunakan. Saluran (channel) adalah media yang menyalurkan isyarat dari
pemancara kepada penerima (receiver).
Dalam percakapan sumber informasi adalah benak (brain) pemancar adalah
mekanisme suara yang menghasilkan isyarat, saluran (channel) adalah udara.
Penerima (receiver) melakukan kebalikan operasi yang dilaksanakan
pemancar, yakni merekonstruksi pesan dari isyarat. Sementara tujuan (destination)
adalah orang atau benda kepada siapa atau kepada apa pesan ditujukan.

The Osgood and Schramm Circular Model (Model Sirkular Osgood dan
Schramm)
Jika model Shannon dan Weaver merupakan proses linier, model Osggod
dan Schramm dinilai sebagai sirkular dalam derajat yang tinggi. Perbedaan lainnya,
jika Shannon dan Weaver menitikberatkan perhatiannya langsung pada saluran
yang menghubungkan pengirim (sender) dan penerima (receiver), Schramm dan
Osgood menitikberatkan pembahasannya pada perilaku pelaku utama dalam proses
komunikasi.
Shannon dan Weaver membedakan source dengan transmitter dan antara
receiver dengan distination. Dengan kata lain, dua fungsi dipenuhi pada sisi
pengiriman (transmiting) dan pada sisi pemnerimaan (receiving) dari proses.
Pada Schramm dan Osgood ditunjukkan fungsinya yang hampir sama.
Digambarkannya dua pihak berperilaku sama, yaitu encoding atau menajdi,
decoding atau menjadi balik, dan interpreting atau menafsirkan.
Gambar 3.3
Model Sirkular Osgood dan Schramm
Sumber : Onong Uchjana Effendi, 2003 : 258

Dance’Helical Model (Model Helical Dance)
Model komunkasi helical ini dapat dikaji sebagai pengembangan dari model
sirkular dari Osggod dan Schramm. Ketika membandingkan model komunikasi linier
dan sirkular, Dance mengatakan bahwa dewasa ini kebanyakan orang menganggap
bahwa pendekatan sirkular adalah paling tepat dalam menjelaskan proses
komunikasi.
Padahal. Ia suatu bentuk melingkar yang semakin membesar menunjukkan
perhatian pada suatu fakta bahwa proses komunikasi bergerak maju dan apa yang
dikomunikasikan kini akan mempengaruhi struktur dan isi komunikasi yang datang
menyusul.
Gambar 3.4
Model Helical Dance
Sumber : Onong Uchjana Effendi, 2003 : 260
Proses komunikasi, seperti halnya semua proses sosial, terdiri dari unsurunsur, hubungan-hubungan dan lingkungan-lingkungan yang terus menerus
berubah. Heliks menggambarkan bagaimana aspek-aspek dri proses berubah dari
waktu ke waktu.
Dalam percakapan misalnya, bidang kognitif secara tetap membesar pada
mereka yang terlibat, baik komunikator maupun komunikan. Para aktor komunikasi
secara berkesinambungan memperoleh informasi mengenai topik termasa tentang
pandangan orang lain, pengetahuan dan sebagainya.

Newcomb’ABX Model (Model ABX Newcomb)
Pendekatan Theodore Newcomb (1953) terhadap komunikasi adalah
pendekatan seorang pakar psikologi sosial berkaitan dengan interaksi manusia.
Model ini mengingatkan kepada diagram komunikasi yang berdasarkan pada
pendekatan seorang pakar psikolog sosial dan merupakan awal formulasi
konsistensi kognitif.
Dalam bentuk yang paling sederhana dari kegiatan komunikasi seseorang A
menyampaikan informasi kepada orang lain B mengenai sesuatu X. Model ini
menyatakan bahwa orientasi A (sikap) terhadap B dan terhadap X adalah saling
bergantung dan ketiganya membentuk sistem yang meliputi empat orientasi.
Gambar 3.5
Model Helical Dance
Sumber : Onong Uchjana Effendi, 2003 : 261
Keterangan gambar :
a. Orientasi A terhadap X termasuk sikap baik terhadap X sebagai objek
untuk didekati atau dihindarkan maupun terhadap ciri-ciri kognitif.
b. Orientasi A terhadap B dalam pengertian yang benar-benar sama.
c. Orientasi B terhadap X
d. Orientasi B terhadap A

The Theory of Cognitive Dissonance (Teori Disonansi Kognitif)
Teori Disonansi Kognitif pertama kali dikembangkan oleh Leon Festinger
pada tahun 1962 (Communication Capstone. 2001: persuasion). Disonansi artinya
ketidakcocokan. Menurut Festinger disonansi kognitif adalah, “Individu mencoba
menghindari perasaan tidak bahagia dan ketidakpastian dengan memilih informasi
yang memperkokoh keyakinannya sambil menolak informasi yang bertentangan
dengan kepercayaan yang diyakininya,”
Disonansi kognitif berarti ketidaksesuaian antara kognisi sebagai aspek sikap
dengan perilaku (behaviour) yang terjadi pada diri seseorang. Orang yang
mengalami disonansi akan berupaya untuk mencari dalih untuk mengurangi
disonansinya.
Teori ini menjelaskan tentang adanya konflik batin, atau konflik kepercayaan
ketika orang akan menentukan suatu tindakan, atau adanya konflik kepercayaan
berkaitan dengan orang lain. Pada umumnya orang berperilaku ajeg atau konsisten
dengan apa yang diketahuinya. Tetapi pada kenyataan menunjukkan, sering pula
seseorang berperilaku tidak konsisten seperti itu. Jika seseorang mempunyai
informasi atau opini yang tidak menuju ke arah menjadi perilaku, maka informasi
atau opini itu akan menimbulkan disonansi dengan perilaku.
Disonansi Kognitif terjadi ketika seseorang dihadapkan kepada dua pilihan
yang keduanya bagus, namun harus menentukan salah satu pilihan tersebut,
kendati tidak yakin atas pilihannya itu. Dari situasi seperti itu, ia harus mengurangi
atau menurunkan pilihan lain supaya dapat menenangkan dirinya sebagai
konsekuensi atas pilihannya itu.
Dengan kata lain, ia harus yakin kalau pilihannya itu tepat, sehingga
perasaannya tenang. Sikap atau kepercayaan bisa berubah karena adanya terpaan
informasi yang selektif dan terus-menerus, meskipun untuk kepercayaan, terutama
agama, sangat sulit diubah. Sikap dan kepercayaan yang dimaksudkan adalah yang
menyangkut suatu yang akan dilakukan seseorang atau sekelompok orang.
Disonansi juga sering muncul dan sering dialami ketika seseorang sedang
mengalami masalah yang sangat penting, dimana pilihan atas keputusan akan
menjadikannya sebagai pilihan yang tetap. Misalnya dengan pameo, ”Jika salah
pilih maka rugi seumur hidup,”.

Innoculation Theory (Teori Inokulasi)
Teori inokulasi atau teori suntikan merupakan analogi dari suatu peristiwa
medis yang dikembangkan pertama kalinya oleh William Mcguire tahun 1961. Teori
ini menganalogikan, seseorang yang terserang penyakit cacar, kemudian disuntikan
serum cacar (imunisasi) untuk merangsang mekanisme daya tahan tubuhnya.
Dalam dunia medis, suatu penyakit yang kurang berbahaya akan
memberikan imunitas terhadap seseorang atas suatu penyakit yang lebih
berbahaya. Artinya, seorang bisa disuntik dengan serum dengan maksud untuk
meningkatkan daya tahan terhadap penyakit tersebut.
Demikian pula halnya dengan orang yang tidak memiliki informasi sama
sekali mengenai suatu hal atau tidak menyadari posisi mengenai hal tersebut, maka
ia akan lebih mudah untuk dipersuasi atau dibujuk (disuntik). Karenanya, suatu cara
untuk membuatnya agar tidak mudah terkena pengaruh adalah ”menyuntiknya”
dengan berbagai argumentasi balasan atau biasa dikenal dengan istilah
counterarguments.
Teori ini digunakan untuk menjelaskan sifat kekebalan atau ketahanan yang
lebih besar terhadap diri seseorang. Atau dalam konteks ini adalah bahwa proses
suplai informasi kepada penerima atau komunikan dilakukan sebelum komunikasi
terjadi dengan harapan bahwa informasi yang dikirimkannya mampu membuat
penerima atau komunikan tersebut lebih resistan.

The Bullet Theory of Communication (Teori Peluru)
Teori peluru ini merupakan konsep awal sebagai efek komunikasi massa
yang oleh para teoritis komunikasi tahun 1970-an dinamakan Hypodermic Needle
Theory yang dapat diterjemahkan sebagai teori jarum hipodermik.
Penggagas teori ini adalah Wilbur Scramm pada tahun 1950-an. Ia
mengatakan, seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang
begitu ajaib kepada khalayak yang pasif tidak berdaya. Namun, sejurus kemudian,
20 tahun berselang, atau sekitar tahun 1970-an, Scramm meralat sendiri teorinya
itu. Menurutnya, khalayak yang menjadi sasaran komunikator (media massa)
ternyata tidak pasif.
Pengingkaran Scramm atas teorinya sendiri itu mendapat dukungan dari
Paul Lazarsfeld dan Raymond Bauer. Lazarsfeld berpendapat bahwa jika khalayak
atau komunikan diterpa oleh peluru komunikasi, mereka tidak akan jatuh
terjerembab. Pasalnya, terkadang peluru tersebut tidak tembus. Dalam artian, ada
kalanya efek yang timbul berlainan dengan tujuan si penembak. Namun, seringkali
pula komunikan yang dijadikan sasaran senang untuk ditembak.
Sementara Raymond Bauer menilai, khalayak merupakan sasaran tembak
yang tidak pasif, bahkan mereka cenderung stubarn (keras kepala). Secara aktif
mereka mencari yang diinginkan dari media massa. Jika menemukannya, mereka
(komunikan/khalayak) akan melakukan interpretasi sendiri sesuai dengan
predisposisi dan kebutuhannya.
2.
Teori Komunikasi Lanjutan
Teori komunikasi berlangsung terus menerus secara berkesinambungan.
Suatu teori yang dipakai sebagai landasan pemikiran dalam suatu penelitian atau
dipakai sebagai pendekatan untuk menelaah suatu fenomena bisa merupakan teori
lama yang ditampilkan seorang cendekia atau ahli satu dekade atau dua dekade
sebelumnya, bahkan lebih lama dari itu.
Berikut ini adalah teori-teori komunikasi yang umumnya berkaitan dengan
media massa yang berkembang sejak tahun 1950-an dan terus mengalami
perkembangan yang signifikan dan penuh inovasi sehingga menyebabkan dampak
yang dihasilkan menjadi semakin kuat dan luas.

Four Theories of The Press (Empat Teori Pers)
Dari dimensi sejarah pertumbuhan dan perkembangan pers dunia, terdapat
sedikitnya empat jenis teori atau konsep dasar tentang pers, yang masing-masing
mencerminkan sistem sosial dan sistem politik dimana pers itu berkembang.
Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wibur Schramm (1963), dalam
bukunya yang diberi judul, “Four Theories of the Press” membagi teori pers ke
dalam 4 (empat) sistem pers yang berlaku diberbagai negara hampir di seluruh
dunia, yakni sebagai berikut, 1) teori pers otoriter; 2) teori pers liberal; 3) teori pers
komunis; dan 4) teori pers tanggung jawab sosial.
1.
Teori Otoriter (Authorian Theory)
Teori otoriter lahir pada abad kelima belas sampai keenam belas pada masa
bentuk pemerintahan bersifat otoriter (kerajaan absolut). Dalam teori ini, media
massa berfungsi sebagai penunjang negara (kerajaan) dan pemerintah dengan
kekuasaan untuk memajukan rakyat sebagai tujuan utama.
Dengan teori ini, pemerintah atau penguasa langsung menguasai dan
mengawasi kegiatan media massa. Akibatnya, sistem media massa sepenuhnya
berada di bawah pengawasan pemerintah. Setiap pemberitaan atau informasi yang
akan diberitakan mendapat pengawasan bahkan sortir terlebih dahulu dari
penguasa. Kebebasan pers dalam teori ini sangat bergantung pada kekuasaan raja
yang mempunyai kekuasaan mutlak.
Dalam sistem ini manusia adalah bagian dari masyarakat. Manusia baru
dapat berarti kalau ia hidup dalam kelompok. Sebagai individu, kegiatannya sangat
terbatas. Kelompok lebih penting dari individu. Masyarakat tercermin dalam
organisasi-organisasi, dan yang terpenting adalah negara.
Negara disebut sebagai tujuan akhir dari proses organisasi masyarakat.
Negara adalah pusat segala kegiatan. Pengetahuan dan kebenaran dicapai melalui
interaksi individu. Interaksi ini harus terkontrol dan terarah, sehingga kepentingan
akhir tidak dirugikan. Berdasarkan asumsi di atas, teori ini cenderung membentuk
satu sistem kontrol yang efektif dan menggunakan media massa sebagai alat
penguasa.
Sistem politik Indonesia pada jaman Orde Baru pernah menerapkan teori ini.
A Muis (2005) mengatakan negara-negara yang menganut teori pers otorian,
menerapkan pemasungan terhadap kebebasan pers seperti pemberlakukan UU no
11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982. Isinya, secara tersurat memberi
kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur pola-pola komunikasi sistem pers.
2.
Teori Liberal (Libertarian Theory)
Sistem pers liberal berkembang pada rentang abad ke-17 dan ke-18 sebagai
dampak dari peristiwa revolusi industri di eropa dan perubahan besar di dalam
pemikiran-pemikiran masyarakat di Barat pada waktu itu yang lebih dikenal sebagai
abad Aufklarung atau abad pencerahan.
Dalam teori ini, manusia pada dasarnya punya hak-haknya secara alamiah
untuk mengejar dan mengembangkan potensinya apabila diberikan iklim kebebasan
dalam hal menyatakan pendapat (freedom of speech). Hal ini tidak mungkin
berlaku apabila ada kontrol pemerintah.
Menurut paham liberalisme, manusia pada hakekatnya dilahirkan sebagai
makhluk bebas yang dikendalikan oleh ratio atau akalnya. Kebahagiaan dan
kesejahteraan individu merupakan tujuan dari manusia, masyarakat, dan negara.
Manusia sebagai makhluk yang menggunakan akalnya untuk mengatur dunia
sekelilingnya dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan
kepentingannya.
Oleh karena kemampuan yang dimilikinya ini, maka manusia merupakan
unsur utama dari dunia peradaban dan sekaligus sebagai motor penggeraknya.
Kedudukan istimewa yang diberikan kepada individu dalam masyarakat libertarian
ini mengakibatkan timbulnya anggapan bahwa fungsi dari masyarakat adalah untuk
memajukan kepentingan anggota-anggotanya secara individual.
Mengenai hakekat kebenaran dan pengetahuan, paham leberal memandang
sebagai tidak berasal dari kelompok kecil orang-orang yang berkuasa atau
merupakan monopoli mereka, akan tetapi harus ditemukan sendiri oleh manusia
dengan manfaatkan akalnya.
Mengenai kebebasan pers, teori ini menilai pers harus punya kebebasan
yang luas untuk membantu manusia dalam usahanya mencari kebenaran. Untuk
mencari kebenaran, manusia memerlukan kebebasan untuk memperoleh informasi
dan pikiran-pikiran yang hanya dapat secara efektif diterima ketika itu, apabila
disampaikan melalui pers.
Sistem politik Indonesia, terutama pada tahun 1950 s.d 1959 melalui
perberlakukan UUD-S, pernah menerapkan teori pers liberal.
Peraturan
perundangan tentang pers masih mengacu pada KUHP warisan kolonial. Realitas
kehidupan pers benar-benar menggambarkan penerapan teori pers liberal. Pers
pada masa ini cenderung tidak lagi dipergunakan untuk perjuangan negara, namun
dipergunakan sebagai terompet bahkan alat propaganda partai.
Banyak surat kabar yang beredar merupakan organ dari partai politik pada
sistem politik waktu itu. Sementara Surat Kabar Merdeka dan Indonesia Raya
merupakan surat kabar yang masih bisa disebut sebagai surat kabar yang netral
(memperjuangkan kepentingan bangsa).
3.
Teori Komunis Soviet (Soviet Communist Theory)
Teori ini berkembang pada awal abad ke 20 sebagai akibat dari sistem
komunis di Uni Soviet. Sistem ini mendasarkan diri pada teori Karl Marx tentang
perubahan sosial yang diawali oleh teori dialektika Hegel.
Sesuai dengan sejarah kelahirannya serta pertumbuhannya yang tidak dapat
dilepaskan dari sejarah ideologi komunis dan berdirinya negara Uni Soviet, maka
teori pers ini lebih sering disebut dengan istilah teori pers totalitar soviet atau pers
komunis soviet.
Dalam teori komunis ini, media massa merupakan alat pemerintah (partai)
dan bagian integral dari negara. Ini berarti, media massa harus tunduk pada
perintah dan kontrol dari pemerintah atau partai. Tunduknya media massa pada
partai komunis membawa arti lebih dalam, yaitu sebagai alat dari partai komunis
yang berkuasa. Kritik diijinkan dalam media massa, tapi kritik terhadap dasar
ideologi dilarang.
Media massa melakukan apa yang terbaik menurut pemimpin elit negara
dan partai, dan apa yang terbaik bagi elit negara dan partai. Yang dilakukan media
massa untuk mendukung komunis dan negara sosialis merupakan perbuatan moral,
sedangkan perbuatan membahayakan atau merintangi pertumbuhan komunis
adalah pembuatan immoral.
Fungsi pers komunis ditetapkan sebagai alat untuk melakukan indoktrinasi
massa atau pendidikan massa yang dilancarkan oleh partai. Bimbingan dan
pendidikan massa ini dilakukan melalui propaganda dan agitasi yang merupakan
salah satu aspek terpenting dari fungsi partai dan kegiatan formal negara.
Tunduknya pers secara total kepada partai komunis ini membawa konsekuensi
bahwa kebebasan dibatasi untuk menerbitkan berita-berita atau pandanganpandangan sendiri, demikian juga usahanya memanfaatkan kebebasan untuk
sedapat mungkin melayani kepentingan atau pendapat para pembacanya.
4.
Teori Tanggungjawab Sosial (Social Responsibility Theory)
Teori tanggung jawab sosial ini muncul pada permulaan abad kedua puluh
sebagai protes terhadap kebebasan yang mutlak dari Teori Libertarian yang
mengakibatkan kemerosotan moral pada masyarakat. Dasar pemikiran teori ini
adalah kebebasan pers harus disertai tanggung jawab kepada masyarakat.
Teori ini merupakan hasil pemikiran para ahli pikir ketika itu yang merasa
bahwa teori lebertarian murni dan tradisional sudah tidak sesuai lagi dengan
keadaan zaman dan kebutuhan masyarakat pada waktu itu. Teori ini sering
dianggap sebagi bentuk revisi terhadap teori-teori sebelumnya, yang menganggap
bahwa tanggung jwab pers terhadap masyarakat sangat kurang.
Hal ini ingin ditekankan sebagai orientasi yang utama dari pers. Penekanan
tanggung jawab moral kepada masyarakat dengan usaha untuk menghindari
kemungkinan terjadinya keadaan yang membahayakan kesejahteraan umum.
Teori ini berasal dari dari sebagian besar laporan ”Komisi Hutchins” yang
diterbitkan pada tahun 1947. dari laporan ini dikembangkan pendapat betapa
pentingnya peran pers dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, menekankan
pada keharusan akan adanya tanggung jawab sosial dari setiap media komunikasi.
Para pemilik media (the have) pada teori tanggung jawab sosial yang tidak
puas terhadap fungsi pers dalam teori libertarian, berpendapat bahwa pers tidak
dapat menjalankan fungsinya secara sempurna.
Dalam memberikan pelayanan kepada sistem ekonomi, mereka
mengharapkan agar tugas-tugas yang dijalankan oleh pers tidak mendahului fungsifungsi pers yang lain, seperti meningkatkan proses demokrasi dan pemberian
penerangan kepada masyarakat. Hiburan yang disajikan haruslah hiburan yang baik.
Dalam mencukupikeuangan media-media individu tertentu, hendaknya diberikan
kebebasan untuk mencari pasar.
Theodore Peterson (dalam Rachmadi, 1990) mengatakan bahwa teori
tanggung jawab sosial mendasarkan pada pandangannya kepada suatu prinsip
bahwa ”kebebasan pers harus disertai dengan kewajiban-kewajiban, dan pers
mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab kepada masyarakat guna
melaksanakan tugas-tugas pokok yang dibebankan kepada komunikasi massa dalam
masyarakat modern seperti sekarang ini”.
Uraian peterson ini mengandung makna bahwa teori ini berorientasi kepada
mementingkan kepentingan umum, baik secara individual maupun kelompok,
misalnya pengertian mengenai siapa yang berhak menggunakan media massa, oleh
teori tanggung jawab sosial, dianggapnya bahwa setiap orang mempunyai sesuatu
untuk dikatakan. Dan hak kontrol dari media yang diberikan kepada kelompokkelompok sebagai pendapat masyarakat, tindakan konsumen, dan nilai profesi.

Individual Differences Theory (Teori Perbedaan Individual)
Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Melvin L. Defleur. Awalnya teori
ini bernama "Individual Differences Theory of Mass Communication Effect" atau
teori perbedaan individu pada efek komunikasi massa.
Berdasarkan namanya, teori ini menelaah mengenai perbedaan-perbedaan
di antara individu sebagai sasaran media massa saat mereka diterpa pesan untuk
memeroleh efek tertentu.
Teori ini menegaskan bahwa individu-individu sebagai anggota khalayak
sasaran media massa secara selektif menaruh perhatian kepada pesan-pesan
terutama yang berkaitan dengan kepentingannya. Tanggapannya terhadap pesanpesan tersebut kemudian diubah oleh tatanan psikologisnya. Jadi, efek media
massa pada khalayak massa tidak seragam, melainkan beragam dikarenakan secara
personal, masing-masing individu memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya
dalam struktur kejiwaannya.
Anggapan dasar dari teori ini adalah organisasi psokologis manusia secara
personal sangat bervariasi. Variasi ini sebagian dimulai dari dukungan perbedaan
secara biologis, tetapi ini dikarenakan pengetahuan secara individual yang berbeda.
Manusia yang dibesarkan dalam lingkungan yang secara tajam berbeda,
menghadapi titik-titik pandangan yang berbeda pula. Dari lingkungan yang
dipelajarinya itu, mereka menghendaki seperangkat sikap, nilai, dan kepercayaan
yang merupakan tatanan psikologisnya masing-masing pribadi yang
membedakannya dari yang lain.
Teori perbedaan individual ini mengandung rangsangan-rangsangan khusus
yang menimbulkan interaksi yang berbeda dengan watak-watak perorangan
anggota khalayak. Karena terdapat perbedaan individual pada setiap anggota
khalayak itulah, maka secara alamiah efek yang dihasilkan atau yang muncul
bervariasi sesuai dengan perbedaan individu tersebut.

Social Categories Theory (Teori Kategori Sosial)
Melvin L DeFleur selaku pakar yang menampilkan teori ini mengatakan,
Teori Kategori Sosial terkadang tumpang tindih dengan Teori Perbedaan Individual,
namun berasal dari sumber yang secara disipliner sangat berbeda.
Teori ini menyatakan adanya perkumpulan, kebersamaan atau kategori
sosial pada masyarakat urban-industrial yang perilakunya ketika diterpa
rangsangan-rangsangan tertentu hampir seragam.
Ciri-cirinya usia, seks,
pendidikan, pemukiman atau pertalian yang bersifat religius.
Sebagai contoh dalam kaitannya dengan komunikasi massa, di antaranya,
acara gosip yang jarang ditonton oleh kaum pria. Sebaliknya, berita tentang
olahraga atau sepakbola langka dicermati oleh kaum wanita.
Asumsi dasar dari ini adalah teori sosiologis yang menyatakan bahwa
meskipun masyarakat modern yang bersifat heterogen, namun masyarakat yang
memiliki sejumlah ciri yang sama akan mempunyai pola hidup tradisional yang sama
pula, seperti persamaan gaya, orientasi dan perilaku akan berkaitan dengan suatu
gejala seperti pada media massa dalam perilaku yang seragam.
Anggota-anggota dari suatu kategori tertentu akan memilih pesan
komunikasi yang kira-kira sama serta menanggapinya dengan cara yang sama pula.
Teori Kategori Sosial merupakan formula yang lebih bersifat penjelasan
daripada pembahasan. Namun, sepanjang dapat digunakan sebagai landasan untuk
prediksi kasar dan sebagai pedoman untuk penelitian, teori ini dapat berfungsi
sebagai teori studi media massa.
Ditegaskan DeFleur, jika Teori Perbedaan Individual menyajikan pandangan
mengenai proses komunikasi yang lebih konsisten dengan penemuan-penemuan
dari studi psikologi umum, maka Teori Kategori Sosial berasal dari sosiologi umum
mengenai massa.
Jika keduanya disinergikan akan menghasilkan teori kontemporer mengenai
teori komunikasi massa ke suatu titik di mana baik perbedaan sosial (social
differentation) dari teori sosiologi, maupun perbedaan individual dari teori
psikologi, perlu sekali untuk diperhitungkan.
Dengan demikian, sinergitas atas kedua teori tersebut mewakili modifikasi
dari teori S-R (Stimulus-Response) atau teori rangsangan tanggapan yang bersifat
mekanistis, di satu sisi mengganti proses psikologis yang laten, dan di sisi lain
mengganti keseragaman dalam kategori sosial sebagai variabel antara rangsangan
dan tanggapan komunikasi.
Dalam kaitannya dengan teori itu, DeFleur mengutip formula Lasswell, "Who
Says What In Which Channel To Whom With What Effect", yang menurutnya
merupakan paduan dari kedua teori dengan variabel situasional terkait.
Agar sinergitas dari kedua teori komunikasi massa itu tetap berguna dan
kontemporer, maka menurut Defleur diperlukan tambahan seperangkat variabel
antara, yakni antara rangsangan media dengan tanggapan khalayak. Elaborasi
tambahan bagi formula S-R itu menunjukkan pengakuan akan peranan pola
interaksi antara para anggota khalayak komunikasi.

Social Relationships Theory (Teori Hubungan Sosial)
Selain mengetengahkan dua teori di atas, Melvin L. DeFleur juga
menunjukkan bahwa hubungan sosial secara informal berperan penting dalam
mengubah perilaku seseorang ketika diterpa pesan komunikasi massa.
Kenyataan menunjukkan bahwa berdasarkan hasil penelitian di Amerika,
orang-orang yang diterpa media massa ternyata jumlahnya sangat terbatas.
Kebanyakan masyarakat memeroleh suatu informasi dari orang lain yang mendapat
informasi pertama kalinya dari media massa.
Dengan demikian, kegiatan informasi terjadi melalui dua tahapan dasar,
pertama, informasi bergerak dari media kepada orang-orang yang secara relatif
banyak pengetahuannya (well informed); kedua, informasi bergerak dari orangorang melalui saluran antarpribadi (interpersonal channels) mereka yang kurang
diterpa media dan banyak bergantung pada orang lain mengenai suatu informasi.
Situasi komunikasi yang demikian dinyatakan sebagai arus komunikasi dua tahap
(two step flow of communication).
Orang yang sering terlibat dalam komunikasi massa tersebut dinamakan
pemuka pendapat atau opinion leader. Mereka memiliki peranan yang cukup
penting dalam membantu pembentukan opini melalui transformasi informasi.
Mereka tidak hanya meneruskan informasi, tetapi juga melakukan interpretasi
terhadap pesan komunikasi yang mereka terima. Proses komunikasi tersebut
dinamakan arus komunikasi dua tahap.
Situasi komunikasi yang merupakan hasil penelitian dari Lazarsfeld, Berelson
dan Gaudet pada tahun 1940 di Erie County Ohio, Amerika Serikat tersebut yang
dijadikan landasan atas teori DeFleur ini juga dilakukan dalam bidang kehidupan
lainnya, misalnya di kalangan petani.
Misalnya, adopsi teknologi baru dalam bidang pertanian merupakan proses
yang erat kaitannya dengan proses komunikasi massa. Masyarakat tani merupakan
masyarakat dimana keluarga tani secara individual memiliki keterkaitan sosial yang
kuat dengan para tetangganya. Jika suatu gagasan baru datang dari luar,
interpretasi yang diberikan para tetangga bisa merupakan hal yang penting tetapi
kritis dalam menentukan berlangsungnya adopsi.

Cultural Norms Theory (Teori Norma Budaya)
Menurut Melvin L. DeFleur teori norma budaya pada hakikatnya
menegaskan, media massa melalui penyajiannya yang selektif dan tematik
menciptakan kesan-kesan pada khalayak dimana norma-norma budaya umum
mengenai topik yang diberi bobot itu dibentuk dengan cara tertentu. Oleh karena
itu, perilaku individu biasanya dipandu oleh norma-norma budaya mengenai suatu
hal tertentu, maka media komunikasi secara tidak langsung akan mempengaruhi
perilaku tersebut.
Dalam hubungan ini terdapat paling sedikit tiga cara dimana media massa
secara potensial memengaruhi situasi dan norma bagi individu-individu.
 Pertama, pesan komunikasi massa akan memperkuat pola-pola yang
sedang berlaku dan memandu khalayak untuk percaya bahwa suatu
bentuk sosial tertentu tengah dibina oleh masyarakat.
 Kedua, media komunikasi dapat menciptakan keyakinan baru mengenai
hal-hal dimana khalayak sedikit banyak telah memiliki pengalaman
sebelumnya.
 Ketiga, komunikasi massa dapat mengubah norma-norma yang tengah
berlaku dan karenanya mengubah khalayak dari suatu bentuk perilaku
menjadi bentuk periiaku lain.
Mengenai hubungan yang potensial antara media massa dengan norma,
DeFleur menunjuk karya Lazarsfeld dan Merton tentang fungsi media dalam
memperkuat norma. Dikatakannya, media beroperasi secara perlahan dan
mengikuti norma umum yang berkaitan dengan cita rasa dan nilai, ketimbang
membawanya ke bentuk baru. Jadi, media massa memperkuat status quo
ketimbang menciptakan norma-norma yang baru atau mengubah pola-pola
terlembaga secara mendalam.
Namun begitu, media juga kadang mensosialisasikan bentuk-bentuk baru
dari perilaku yang diterima oleh masyarakat. Dengan kata lain, dalam situasi
tertentu media massa dapat menciptakan budaya baru, misalnya, pada koran, radio,
televisi dan film, media menampilkan banyak bentuk baru dari hiburan, bahkan
interaksi di kalangan keluarga. Namun, Suatu aliran pemikiran tertentu menyangkal
bahwa media massa memiliki kekuatan untuk mengubah perilaku yang sudah
mapan.
Kendati mendapat tentangan, DeFleur percaya akan teorinya itu. Ia
mengemukakan suatu contoh mengenai kampanye media massa yang disponsori
American Cancer Society (Perhimpunan Kanker Amerika) yang bertujuan mengubah
perilaku agar masyarakat Amerika mau meninggalkan kebiasaan merokok.
Hasilnya, norma-norma yang sudah sangat mapan dan merupakan kebiasaan
umum itu (merokok) mulai berubah sedikit demi sedikit. Bahkan, kali pertama
dalam sejarah, pada tahun 1968 kala itu, jumlah perokok di Amerika menjadi
berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Contoh lain yang berkaitan dengan Teori Norma Budaya ini adalah persoalan
sentimen RAS di Amerika. di mana orang kulit putih memandang orang Negro tak
ubahnya manusia yang jorok dan menjijikkan, sehingga pekerjaan yang layak bagi
mereka sebatas sebagai pelayan, tukang membersihkan sepatu, buruh ladang,
bahkan sebagai narapidana.
Namun, sedikit demi sedikit sentimen itu mulai
terkikis bahkan hilang sama sekali, sehingga istilah atau sebutan Negro diganti
menjadi Black American.

Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial)
Teori belajar sosial yang diusung oleh Albert Bandura ini mengkaji proses
belajar melalui media massa sebagai tandingan terhadap proses belajar secara
tradisional. Secara tradisional, teori ini menyatakan bahwa belajar terjadi dengan
cara menunjukkan tanggapan (response) dan mengalami efek-efek yang timbul.
Penentu utama dalam proses belajar tersebut adalah kegiatan peneguhan
atau reinforcement, dimana tanggapan-tanggapan akan diulangi (dipelajari) jika
organisme atau individu mendapat ganjaran. Namun, jika individu mendapat
hukuman (punishment) maka tanggapan tidak akan diulangi kembali atau bila
tanggapan tidak menggiringnya ke tujuan yang dikehendaki. Jadi, perilaku tersebut
diatur secara eksternal oleh suatu kondisi stimulus yang ditimbulkan oleh kondisikondisi peneguhan.
Titik permulaan dari proses belajar adalah peristiwa yang bisa diamati, baik
secara langsung maupun tidak langsung oleh seseorang. Peristiwa tersebut mungkin
terjadi pada kegiatan sehari-hari, namun dapat pula disajikan secara langsung oleh
media massa lain.
Peristiwa tersebut bisa merupakan penunjukan nyata suatu perilaku (seperti
perilaku melankolis pada sebuah karya fiksi) atau ilustrasi pola pikir (abstract
modeling). Perilaku nyata dipelajari dari observasi periiaku tersebut, sedangkan
sikap, nilai, pertimbangan moral, dan persepsi terhadap kenyataan sosial dipelajari
melalui abstract modeling atau model yang diabstraksikan.
Teori ini menganggap bahwa media massa sebagai agen sosialisasi yang
utama di samping keluarga, sekolah, dan lingkungan. Dalam belajar secara sosial
langkah pertama adalah perhatian (attention) kepada suatu peristiwa. Individu
tidak dapat belajar dari suatu peristiwa kecuali menaruh perhatian terhadapnya dan
secara seksama mencerna hal-hal penting yang dicakupnya.
Perhatian kepada suatu peristiwa ditentukan oleh karakteristik peristiwa itu
sendiri dan karakteristik dari pengamat. Peristiwa yang jelas dan simpel akan
mudah menarik perhatian, karena mudah dimodelkan.
Mengenai ciri-ciri pengamat yang menentukan perhatian adalah antara lain
kemampuan seseorang dalam proses informasi, umur, intelegensi, daya persepsi,
dan taraf emosionai. Orang yang emosional, misalnya marah, rasa penasaran, atau
takut, akan lebih atentif terhadap suatu rangsangan tertentu.
Menurut teori ini, sesudah langkah pertama (attentional process) berikutnya
retention process, dilanjutkan motor reproduction process, dan motivational
process.
Pada langkah kedua, yakni proses retensi tadi, peristiwa yang menarik
perhatian akan langsung dimasukkan ke dalam benak dalam bentuk lambang secara
verbal atau imaginal sehingga menjadi ingatan (memory).
Pada langkah ketiga, motor reproduction process, hasil ingatan tadi akan
meningkat menjadi bentuk periiaku. Kemampuan kognitif dan kemampuan motorik
pada langkah ini berperan penting. Reproduksi yang seksama biasanya merupakan
produk "trial and error" di mana umpan balik turut mempengaruhi.
Langkah terakhir, motivasional process menunjukkan bahwa perilaku akan
berwujud apabila terdapat nilai peneguhan. Peneguhan dapat berbentuk ganjaran
eksternal, pengamatan yang menunjukkan bahwa bagi orang lain ganjaran
disebabkan perilaku yang sama, serta ganjaran internal, misalnya rasa puas diri.
(Bandura, 1977 : 209 - 210).

Diffusion of Innovations Model (Model Difusi Inovasi)
Pertama kali yang mengemukakan model komunikasi ini adalah Everett M.
Rogers. Model difusi biasanya digunakan sebagai pendekatan dalam komunikasi
pembangunan, terutama di negara-negara berkembang.
Rogers mendefinisikan difusi sebagai proses dimana suatu inovasi
dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara
para anggota dalam suatu sistem sosial (the process by which an innovation is
communicated through, certain channels overtime among the members of a social
system).
Dengan demikian, difusi adalah suatu jenis khusus komunikasi yang
berkaitan dengan penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru.
Sedangkan
komunikasi didefinisikan sebagai proses dimana para pelakunya menciptakan
informasi dan saling bertukar informasi untuk mencapai pengertian bersama.
Dalam isi pesan tersebut terdapat ketermassaan (newness) yang
memberikan kepada difusi ciri khusus yang menyangkut ketidakpastian
(uncertainty). Ketidakpastian adalah suatu derajat dimana sejumlah aiternatif
dirasakannya berkaitan dengan suatu peristiwa beserta kemungkinan-kemungkinan
pada alternatif tersebut. Derajat ketidakpastian oleh seseorang akan dapat
dikurangi dengan jalan memperoleh informasi.
Adapun unsur-unsur utama dari difusi ide adalah (1) inovasi; (2) yang
dikomunikasikan melalui saluran tertentu; (3) Dalam jangka waktu tertentu; (4) di
antara para anggota suatu sistem sosial.
Sementara Inovasi adalah suatu ide, karya, atau objek yang dianggap baru
oleh seseorang. Ciri-ciri inovasi yang dirasakan oleh para anggota suatu sistem
sosial menentukan tingkatan adopsi. Adapun ciri dari inovasi tersebut menurut
Rogers terdiri atas lima (5) bagian, di antaranya :
1) Relative advantage (keuntungan relatif); Adalah suatu derajat dengan
mana inovasi dirasakan lebih balk daripada ide lain yang
menggantikannya. Derajat keuntungan relatif tersebut dapat diukur
secara ekonomis, tetapi faktor prestasi sosial, kenyamanan dan
kepuasan juga merupakan unsur penting.
2) Compatibility (kesesuaian); Adalah suatu derajat dengan mana inovasi
dirasakan ajeg atau konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku,
pengalaman dan kebutuhan mereka yang melakukan adopsi.
3) Complexity (kerumitan); Adalah mutu derajat dengan mana inovasi
dirasakan sukar untuk dimengerti dan dipergunakan.
4) Trialability (kemungkinan dicoba); Adalah suatu mutu derajat dengan
mana inovasi dapat dieksperimentasikan pada landasan yang terbatas.
5) Observability (kemungkinan diamati); Adalah suatu derajat dengan mana
inovasi dapat disaksikan oleh orang lain.
Mengenai saluran komunikasi sebagai sarana untuk menyebarkan inovasi,
Rogers menyatakan bahwa media massa lebih efektif untuk men-ciptakan
pengetahuan tentang inovasi. Sedangkan saluran antarpribadi lebih efektif dalam
pembentukan dan percobaan sikap terhadap terhadap ide baru, jadi dalam upaya
mempengaruhi keputusan untuk melakukan adopsi atau menolak ide baru.
Aspek lain dalam kegiatan difusi adalah apa yang dalam komunikasi dikenal
sebagai heterophily dan homophily. Mengenai waktu sebagai salah satu unsur
utama dari difusi, ide baru itu meliputi tiga (3) hal, yakni :
1.
Innovations Decision Process (Proses Inovasi Keputusan)
Adalah proses mental di mana seseorang berlalu dari pengetahuan pertama
mengenai suatu inovasi ke pembentukan sikap terhadap inovasi, ke keputusan
menerima atau menolak, ke pelaksanaan idea baru, dan ke peneguhan keputusan
tersebut. Sedikitnya ada lima langkah yang dikonseptualisasikan dalam proses ini,
antara lain :
a. Knowledge (pengetahuan)
b. Persuasion (persuasi)
c. Decision (keputusan)
d. Implementation (pelaksanaan)
e. Confirmation (peneguhan)
Dalam proses inovasi keputusan ini seseorang mencari informasi dalam
beberapa langkah untuk mengurangi ketidakpastian mengenai inovasi. Pada
langkah pengetahuan seseorang menerima informasi yang melekat pada inovasi
teknologis; dia ingin mengetahui inovasi apa itu dan bagaimana kerjanya.
Tetapi pada langkah persuasi dan keputusan, seseorang mencari informasi
tentang penilaian inovasi untuk mengurangi ketidakpastian mengenai konsekuensi
yang diharapkan dari inovasi itu. Langkah keputusannya membawa ke penerimaan
(adopsi), atau ke penolakan, keputusan untuk menolak inovasi tersebut.
2.
Innovativeness (keinovatifan)
Adalah derajat dengan mana seseorang relatif lebih dini dalam mengadopsi
suatu ide-ide baru ketimbang anggota-anggota lain dalam suatu sistem sosial.
Pengadopsian tersebut dikategorikan sebagai berikut :
 Innovators (inovator)
 Early adopters (pengadobsi dini)
 Early majority (mayoritas dini)
 Late majority (mayoritas terlambat)
 Laggard (orang belakangan)
3.
Innovation's rate of adoption (tingkat inovasi dan adopsi)
Adalah kecepatan relatif dengan mana suatu inovasi diadopsi oleh anggotaanggota di dalam suatu sistem sosial. Rate of adoption atau tingkat adopsi biasanya
diukur dengan waktu yang diperlukan untuk persentase tertentu dari para anggota
sistem untuk mengadopsi suatu inovasi.
Sementara yang dimaksudkan dengan sistem sosial adalah tatanan kesatuan
yang terhubungkan satu sama lain dalam upaya pemecahan masalah dalam rangka
mencapai tujuan tertentu (Rogers, 1938: 36 - 37).

Agenda Setting Model (Model Penataan Agenda)
Teori Agenda Setting pertama kali dikemukakan Walter Lippman (1965)
pada konsep “The World Outside and the Picture in our head”. Sementara
penelitian empiris atas teori ini dilakukan oleh McCombs dan DL Shaw ketika
mereka meneliti proses pemilihan Presiden Amerika pada tahun 1972.
Dalam penelitiannya tersebut mereka menemukan cukup banyak bukti
bahwa para penyunting dan penyiar (televisi) memainkan peranan yang sangat
penting dalam membentuk realitas sosial, ketika mereka melaksanakan tugas
keseharian mereka dalam menonjolkan berita.
Dalam menganalisa fungsi agenda setting media ini, McCombs and Shaw
menemukan dua hal penting, yakni kesadaran dan informasi. Mereka
berkesimpulan bahwa media massa memiliki pengaruh yang cukup signifikan
terhadap apa yang pemilih bicarakan mengenai kampanye politik tersebut, dan
memberikan pengaruh besar terhadap isu-isu apa yang penting untuk dibicarakan.
Agenda setting merupakan suatu proses penciptaan mengenai kesadaran
publik dan pemilihan isu-isu mana yang dianggap penting melalui sebuah tayangan
berita. dua asumsi mendasar dari teori ini adalah :
1. Pers dan media tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya,
melainkan mereka membentuk dan mengkonstruk realitas tersebut.
2. Media menyediakan beberapa isu dan memberikan penekanan lebih
kepada isu tersebut yang selanjutnya memberikan kesempatan kepada
publik untuk menentukan isu mana yang lebih penting dibandingkan
dengan isu lainnya.
Salah satu aspek yang paling penting dari konsep agenda setting ini adalah
masalah waktu pembingkaian fenomena-fenomena tersebut, dalam artian bahwa
tiap-tiap media memiliki potensi-potensi agenda setting yang berbeda-beda satu
sama lainnya.
Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain
melalui media, meraka juga belajar sejauhmana pentingnya suatu isu atau topik dari
penegasan yang diberikan oleh media massa tersebut.
Misalnya, dalam
merenungkan apa yang diucapkan kandidat selama kampanye, media massa
tampaknya menentukan isu-isu yang penting. Dengan kata lain, media menentukan
“acara” (agenda) kampanye.
Dampak media massa, kemampuan untuk
menimbulkan perubahan kognitif di antara individu-individu, telah dijuluki sebagai
fungsi agenda setting dari komunikasi massa.
Asumsi dari teori ini adalah, jika media memberi tekanan pada suatu
peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya
penting. Jadi, apa yang dianggap penting oleh media, maka akan penting juga bagi
masyarakat. Dengan demikian, media memiliki efek yang sangat kuat, asumsi ini
berkaitan dengan proses belajar bukan dengan perubahan sikap dan pendapat.
Melalui teori ini, media massa melakukan penyaringan berita, artikel, atau
tulisan yang akan disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting,
redaksi, bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitkan dan
mana yang harus disembunyikan.
Setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian
(ruang dalam surat kabar, waktu pada televisi dan radio) dan cara penonjolan
(ukuran judul, letak pada suratkabar, frekuensi penayangan, posisi dalam
suratkabar, posisi dalam jam tayang).
Misalnya berita mengenai dugaan pembunuhan yang dilakukan oleh Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar terhadap salah seorang
direktur BUMN, Nazarudin yang berlatar belakang asmara yang terus menerus
disiarkan dalam waktu rata-rata 30 menit di televisi serta menghiasi kolom-kolom
headline surat kabar maupun halaman majalah.
Hal ini menunjukkan, sosok Antasari sebagai ’pendekar” hukum yang selama
ini begitu giat menjebloskan para koruptor ke penjara tengah disorot sebagai otak
atas aksi pembunuhan tersebut. Media sepertinya ingin menunjukkan sebuat
ironisasi dalam kasus tersebut. Antasari sebagai figur dan Antasari sebagai
tersangka pembunuh.
Karena pembaca, pemirsa, dan pendengar memeroleh kebanyakan
informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda
masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan
kepada anggota-anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka
bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang
tengah menarik perhatian mereka (Community Salience).
Agenda setting menjelaskan begitu besarnya pengaruh media, berkaitan
dengan kemampuannya dalam memberitahukan kepada audiens mengenai isu-isu
apa sajakah yang penting.

Uses and Gratifications Model (Model Kegunaan dan Kepuasaan)
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz
(1974). Teori ini mengatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk
memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media
adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha
mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya.
Artinya pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan
kebutuhannya.
Teori ini mempertimbangkan apa yang dilakukan orang pada media, yaitu
menggunakan media untuk pemuas kebutuhannya. Penganut teori ini meyakini
bahwa individu sebagai mahluk supra-rasional dan sangat selektif.
Uses and Gratifications meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan
sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber
lain yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan
pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat
lain.
Model komunikasi ini menunjukkan bahwa yang menjadi permasalahan
utama bukanlah bagaimana media mengubah sikap dan Perilaku khalayak, tetapi
bagaimana media memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial khalayak. Jadi, bobotnya
ialah pada khalayak yang aktif, yang sengaja menggunakan media untuk mencapai
tujuan khusus.
Menurut para pendirinya, (Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael
Gurevitch), Model Uses and Gratifications meneliti asal mula kebutuhan secara
psikologis dan sosial yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau
sumber-sumber lain yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau
keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan
akibat-akibat lain.
Menurut Rosengren (1974) perkembangan teori Uses and Gratification
Media dibedakan dalam tiga (3) fase, antara lain :
 Fase pertama, ditandai oleh Elihu Katz dan Blumler (1974) memberikan
deskripsi tentang orientasi subgroup audiens untuk memilih dari ragam
isi media. Dalam fase ini masih terdapat kelemahan metodologis dan
konseptual dalam meneliti orientasi audiens.
 Fase kedua, Elihu Katz dan Blumler menawarkan operasionalisasi
variabel-variabel sosial dan psikologis yang diperkirakan memberi
pengaruh terhadap perbedaan pola–pola konsumsi media. Fase ini juga
menandai dimulainya perhatian pada tipologi penelitian gratifikasi
media.
 Fase ketiga, ditandai adanya usaha menggunakan data gratifikasi untuk
menjelaskan cara lain dalam proses komunikasi, dimana harapan dan
motif audiens mungkin berhubungan erat dan signifikan.
Kristalisasi dari gagasan, anggapan, temuan penelitian tentang Uses and
Gratification Media mengatakan, bahwa kebutuhan sosial dan psikologis
menggerakkan harapan pada media massa atau sumber lain yang membimbing
pada perbedaan pola-pola terpaan media dalam menghasilkan pemuasan
kebutuhan dan konsekuensi lain yang sebagian besar mungkin tidak sengaja.
Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch menguraikan lima (5)
elemen atau asumsi-asumsi dasar dari Uses and Gratification Media sebagai berikut
:
a. Audiens adalah aktif, dan penggunaan media berorientasi pada tujuan.
b. Inisiative yang menghubungkan antara kebutuhan kepuasan dan pilihan
media spesifik terletak di tangan audiens
c. Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan
kebutuhan audiens.
d. Orang-orang mempunyai kesadaran-diri yang memadai berkenaan
penggunaan media, kepentingan dan motivasinya yang menjadi bukti
bagi peneliti tentang gambaran keakuratan penggunaan itu.
e. Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens tentang media spesifik
atau isi harus dibentuk.
Pengujian-pengujian terhadap asumsi-asumsi Uses and Gratification Media
tersebut menghasilkan enam (6) kategori identifikasi dan temuan-temuannya,
antara lain :
1.
Asal Usul Sosial dan Psikologis Gratifikasi Media
John W.C. Johnstone (1974) menganggap bahwa anggota audiens tidak
anonimous dan sebagai individu yang terpisah, tetapi sebagai anggota kelompok
sosial yang terorganisir dan sebagai partisipan dalam sebuah kultur.
Sesuai dengan anggapan ini, media berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan dan keperluan individu-individu, yang tumbuh didasarkan lokalitas dan
relasi sosial individu-individu tersebut.
Faktor-faktor psikologis juga berperan dalam memotivasi penggunaan
media. Konsep-konsep psikologis seperti kepercayaan, nilai-nilai, dan persepsi
mempunyai pengaruh dalam pencarian gratifikasi dan menjadi hubungan kausal
dengan motivasi media.
2.
Pendekatan Nilai Pengharapan
Konsep pengharapan audiens yang perhatian (concern) pada karakteristik
media dan potensi gratifikasi yang ingin diperoleh merupakan asumsi pokoknya
adalah mengenai audiens aktif.
Jika anggota audiens memilih di antara berbagai alternatif media dan non
media sesuai dengan kebutuhan mereka, mereka harus memiliki persepsi tentang
alternatif yang memungkinkan untuk memperoleh kebutuhan tersebut.
Kepercayaan terhadap suatu media tertentu menjadi faktor signifikan dalam hal
pengharapan terhadap media itu.
3.
Aktifitas Audiens
Levy dan Windahl (1984) menyusun tipologi aktifitas audiens yang dibentuk
melalui dua dimensi :
 Orientasi audiens; selektifitas, keterlibatan dan kegunaan.
 Skedul aktifitas; sebelum, selama, dan sesudah terpaan.
Katz, Gurevitch, dan Haas (1973) dalam penelitian tentang penggunaan
media, menemukan perbedaan anggota audiens berkenaan dengan basis gratifikasi
yang dirasakan dan dipengaruhi beberapa factor, antara lain, struktur media dan
teknologi; isi media; konsumsi media; aktifitas non media; dan persepsi terhadap
gratifikasi yang diperoleh.
Sedangkan Garramore (1983) secara eksperimental menggali pengaruh
rangkaian motivasi pada proses komersialisasi politik melalui TV. Ia menemukan
bahwa anggota audience secara aktif memproses/mencerna isi media, dan
pemrosesan ini dipengaruhi oleh motivasi.
4.
Gratifikasi yang Dicari dan yang Diperoleh
Pada awal sampai pertengahan 1970-an sejumlah ilmuwan media
menekankan perlunya pemisahan antara motif konsumsi media atau pencarian
gratifikasi (GS) dan pemerolehan gratifikasi (GO). Penelitian tentang hubungan
antara GS dan GO, menghasilkan temuan sebagai berikut GS individual berkorelasi
cukup kuat dengan GO terkait.
Di lain pihak GS dapat dipisahkan secara empiris dengan GO, seperti
pemisahan antara GS dengan GO secara konseptual, dengan alasan sebagai berikut :
 GS dan GO berpengaruh, tetapi yang satu bukan determinan bagi yang
lain.
 Dimensi-dimensi GS dan GO ditemukan berbeda dalam beberapa studi.
 Tingkatan rata-rata GS seringkali berbeda dari tingkatan rata-rata GO.
 GS dan GO secara independen menyumbang perbedaan pengukuran
konsumsi media dan efek.
Penelitian GS dan GO menemukan bahwa GS dan GO berhubungan dalam
berbagai cara dengan variabel-variabel: terpaan; pemilihan program dependensi
media; kepercayaan; evaluasi terhadap ciri-ciri atau sifat-sifat media.
5.
Gratifikasi dan Konsumsi Media
Penelitian mengenai hubungan antara gratifikasi (GS-GO) dengan konsumsi
media terbagi menjadi 2 (dua) kategori utama, yaitu sebagai berikut :
 Studi tipologis mengenai gratifikasi media.
 Studi yang menggali hubungan empiris antara gratifikasi di satu sisi
dengan pengukuran terpaan media atau pemilihan isi media di sisi lain.
Studi-studi menunjukkan bahwa gratifikasi berhubungan dengan pemilihan
program. Becker dan Fruit memberi bukti bahwa anggota audiens membandingkan
GO dari media yang berbeda berhubungan dengan konsumsi media. Studi konsumsi
media menunjukkan terdapat korelasi rendah sampai sedang antara pengukuran
gratifikasi dan indeks konsumsi.
6.
Gratifikasi dan Efek yang Diperoleh
Windahl (1981) penggagas model uses and effects, menunjukkan bahwa
bermacam-macam gratifikasi audiens berhubungan dengan spectrum luas efek
media yang meliputi pengetahuan, dependensi, sikap, persepsi mengenai realitas
social, agenda setting, diskusi, dan berbagai efek politik.
Blumer mengkritisi studi uses and effects sebagai kekurangan perspektif.
Dalam usaha untuk menstimulasi suatu pendekatan yang lebih teoritis, Blumer
menawarkan tiga hipotesis sebagai berikut :
 Motivasi kognitif akan memfasilitasi penemuan informasi.
 Motivasi pelepasan dan pelarian akan menghadiahi penemuan audiens
terhadap persepsi mengenai situasi sosial.
 Motivasi identitas personal akan mendorong penguatan efek.

Clozentropy Theory (Teori Clozentropy)
Clozentropy Theory pertama kali dipopulerkan oleh Donald Darnell pada
tahun 1970, kemudian dikembangkan oleh Dennis T. Lowry dan Theodore J. Marr
yang mengkaji teori ini dalam komunikasi internasional.
Istilah "clozentropy" merupakan paduan dari "cloze procedure" dari Wilson
L. Taylor dan "entropy" dan teori komunikasi yang ditampilkan oleh Claude E.
Shannon dan Warren Weaver, The Mathematical Theory of Communication.
Penelitian dengan landasan Clozentropy Theory ini dilakukan karena
ternyata di satu pihak komunikasi internasional mencakup dari negara A dalam
bahasa X diterjemahkan ke dalam bahasa Y ketika disampaikan ke negara B, tetapi
di lain pihak ada komunikasi internasional yang tidak memerlukan terjemahan.
misalnya Amerika dengan Inggris, Kanada dengan Australia, Meksiko dengan
Argentina, Ekuador dengan Bolivia, Portugal dengan Brasil, Francis dengan Haiti,
dan Indonesia dengan Malaysia.
Kendati demikian, adalah menjadi pertanyaan apakah dalam komunikasi
dengan menggunakan bahasa resmi yang sama itu diperoleh pemahaman yang
maksimal, jika pesan yang disampaikan itu dalam konteks nasional dan kebudayaan
yang berbeda.
Studi yang dilakukan oleh Lowry dan Marr terhadap Clozentropy Theory itu
menekankan pentingnya pra keakraban dengan isi pesan yang janggal (prior
familiarity with idiosyncratic content) dalam hubungan dengan pengertian pesan
komunikasi, dalam arti isi pesan komunikasi bersifat khas. Dalam beberapa hal pra
keakraban iebih penting daripada taraf pendidikan formal.
Clozentropy Theory telah memperbaiki yang dikenal sebelumnya, yakni
"kenalilah diri mereka (know thyself)" menjadi kenalilah pesan anda dan sasaran
anda beserta pertautannya. Komunikasi internasional dalam pengertian sederhana
proses penyampaian pesan dari satu negara ke negara lain, sebenarnya sudah lama
menarik perhatian para peneliti. Sebagai contoh kegiatan itu telah dikaji dari
kerangka kerja analisis propaganda dan kerangka kerja arus informasi. Tetapi yang
sering diabaikan atau terlupakan adalah pemahaman dalam komunikasi
internasional sejauh suatu pesan yang berasal dari suatu negara dipahami oleh
khalayak di negara lain.
Dari hasil penelitian Lowry dan Marr di Amerika Serikat dan Philipina ini
tampak pentingnya pra keakraban (prior familiarity) dalam komunikasi internasional
sekalipun hubungan antara dua negara yang terlibat dalam komunikasi ditinjau dan
bahasa bersifat monolingual, apalagi jika antara dua negara berbeda dalam bahasa,
kebudayaan, dan politik 
Download