BAB II BIDANG POLITIK DAN KEAMANAN 1. Politik dan Keamanan a. Ancaman Disintegrasi dan Daerah Konflik Potensi ancaman disintegrasi bangsa melalui gerakan politik dan bersenjata di beberapa daerah yang mengancam keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) perlu diselesaikan secara tuntas dan menyeluruh. 1) Konflik di Nanggroe Aceh Darussalam Konflik di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) merupakan ancaman disintegrasi bangsa yang serius dan dapat mengancam kedaulatan NKRI. Penyelesaian konflik melalui dialog dan perundingan yang telah dilakukan selama ini perlu ditindaklanjuti sehingga mencapai kemajuan yang lebih signifikan. Pembentukan Undang-undang (UU) Otonomi Daerah Khusus NAD merupakan landasan hukum yang mengikat bagi II – 1 pemecahan ketidakpuasan masyarakat untuk memenuhi rasa keadilan, kehormatan, kesejahteraan, dan diharapkan dapat mendorong penyelesaian yang adil dan bermartabat. Pelaksanaan UU NAD belum dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga kontribusinya bagi penyelesaian konflik belum memperlihatkan hasil yang signifikan. Rekomendasi kepada Presiden II – 2 1. Meneruskan dialog dan perundingan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan semua komponen masyarakat Aceh untuk mendapatkan kesamaaan pandangan bagi penyelesaian konflik secara damai, berkeadilan, bermartabat, dan konstitusional dalam rangka menjaga keutuhan wilayah NKRI. Perundingan dan dialog itu harus mencapai kesepakatan penghentian permusuhan untuk kemudian dengan sungguh-sungguh dan konsekuen dipatuhi dan dilaksanakan di semua tingkatan dan tempat. Perundingan dan dialog yang selama ini berlangsung di luar negeri agar selanjutnya diupayakan untuk dilaksanakan di dalam negeri. 2. Mempercepat pemulihan kehidupan sosial ekonomi dengan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat setempat, tanpa kecuali, sehingga terwujud pembangunan di semua sektor dan perluasan kesempatan kerja. 3. Melakukan penegakkan hukum serta menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama Aceh secara de facto dijadikan daerah operasi militer dan pasca operasi militer serta pelanggaran hukum lainnya dengan membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) dan Peradilan HAM Ad Hoc untuk kasus dan pelanggaran hak asasi manusia. 4. Segera mewujudkan jaminan keamanan masyarakat dari segala macam ancaman dan gangguan dengan pendekatan proporsional, professional, dan kultural sehingga anggota masyarakat dapat melaksanakan aktivitasnya, terutama di sektor ekonomi, pendidikan, dan peribadatan. 5. Mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu untuk menjamin efektivitas pemerintahan daerah sehingga UU NAD dapat dilaksanakan secara komprehensif dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Pelaksanaan Rekomendasi Dalam menangani permasalahan Aceh, berbagai upaya yang dilakukan selama ini selalu berusaha mengedepankan cara-cara damai melalui dialog dan perundingan dengan kelompok GAM dan seluruh komponen masyarakat Aceh. Hasil penting yang dicapai adalah ditandatanganinya Perjanjian Damai pada tanggal 9 Desember 2002. Sesuai perjanjian tersebut dalam 7 bulan pertama sejak perjanjian damai ditandatangani, wilayah Provinsi NAD akan memasuki tahap demiliterisasi yang dibagi dalam dua tahap, yaitu 2 bulan pertama untuk membangun rasa saling percaya dan 5 bulan berikutnya adalah tahap peletakan senjata, bersamaan dengan relokasi dan penyesuaian tugas satuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Dalam menindaklanjuti perjanjian tersebut, telah disusun 5 agenda pelaksanaan, yaitu (i) pemeliharaan dan penguatan perdamaian; (ii) bantuan kemanusiaan dan rehabilitasi sosial; (iii) pelaksanaan proses politik yang demokratis; (iv) rekonstruksi ekonomi, dan (v) rekonsiliasi dan society building. II – 3 Namun perkembangan terbaru menunjukkan bahwa pelaksanaan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) sebagai konsep dasar perjanjian penghentian permusuhan telah dilanggar di wilayah Provinsi NAD. Tahapan demiliterisasi berupa peletakan senjata tidak dapat dilaksanakan secara efektif yang kemudian menimbulkan stabilitas politik di wilayah Aceh menghangat. Dalam merespon situasi tersebut, beberapa strategi penting telah disusun oleh seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah bersama-sama dengan unsur masyarakat Aceh untuk tetap mempertahankan dan memelihara perdamaian di Provinsi NAD, termasuk upaya mengadakan pertemuan Joint Council Meeting (JCM) yang rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 25 April 2003 di Genewa-Swiss, yang kemudian gagal untuk dilaksanakan. Perundingan JCM dengan pihak GAM akhirnya dapat dilaksanakan pada tanggal 18 Mei 2002 di Tokyo Jepang dan menemui jalan buntu, yang kemudian melahirkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Langkah darurat militer ini merupakan pilihan terakhir yang harus diambil mengingat rangkaian upaya damai yang dilakukan pemerintah, baik melalui penetapan otonomi khusus untuk Provinsi NAD, pendekatan terpadu dalam rencana pembangunan yang komprehensif, maupun dialog yang bahkan dilakukan di luar negeri sekalipun, ternyata tidak menghentikan niat dan tindakan GAM untuk memisahkan diri dari NKRI dan menyatakan kemerdekaannya. Pelaksanaan keadaan darurat militer tersebut dilakukan melalui operasi terpadu yang meliputi operasi kemanusiaan, operasi penegakan hukum, operasi pemantapan jalannya pemerintahan, serta operasi pemulihan keamanan. Masa berlaku penetapan situasi darurat militer ini adalah 6 bulan sejak tanggal 19 Mei 2003. Pelaksanaan darurat militer dinilai cukup berhasil meskipun ratusan bangunan sekolah telah terbakar dan ratusan II – 4 jiwa melayang, ruang gerak GAM semakin mengecil serta rasa aman dan terlindungi semakin dapat dirasakan oleh masyarakat Aceh. Langkah penegakan hukum dan penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Aceh telah dilakukan walaupun belum maksimal. Hal ini dikarenakan perhatian pemerintah saat ini terpusat pada Operasi Terpadu dalam rangka Darurat Militer. Rehabilitasi sarana dan prasarana fisik, perlindungan terhadap warga sipil, pemberian bantuan pangan dan obat-obatan, serta penanganan pengungsi dilaksanakan secara bersamaan dengan operasi pemulihan keamanan. 2) Masalah Papua Keamanan dan ketertiban masyarakat belum sepenuhnya dapat diwujudkan sebagai akibat belum tersosialisasinya UU Otonomi Khusus Papua secara cepat dan merata serta belum tuntasnya penyelesaian pelanggaran hukum dan HAM yang pernah terjadi di wilayah Papua. Rekomendasi kepada Presiden 1. Segera mendorong aparat pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota untuk secepatnya mensosialisasikan dan mengimplementasikan UU Otonomi Khusus Papua. 2. Segera menuntaskan berbagai kasus pelanggaraan hukum dan HAM dengan membentuk KPP HAM dan Peradilan HAM Ad Hoc. Pelaksanaan Rekomendasi UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua merupakan hasil kompromi yang bersifat maksimal bagi kehidupan yang damai, maju, sejahtera, dan berkeadilan bagi provinsi dan masyarakat Papua dalam wadah NKRI. UU II – 5 No. 21 tahun 2001 tersebut secara substansial mengatur hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, memberi ruang bagi aktualisasi kehidupan politik dan pertumbuhan ekonomi serta hal lain yang berkaitan dengan prinsip keadilan dan hak masyarakat asli Papua. Oleh sebab itu, semua pihak berkewajiban untuk memasyarakatkan UU Otonomi Khusus tersebut secara luas, dan memahaminya sebagai bagian dari solusi yang penting bagi upaya penyelesaian masalah, serta menjadikannya sebagai pegangan hukum penyelenggaraan kehidupan pemerintahan di Provinsi Papua. Pada tanggal 27 Januari 2003 telah dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 45 tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Inpres No. 1 tahun 2003 tersebut merupakan wujud operasional kebijakan untuk memperkuat manajemen pemerintah dan memperkuat fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat. Prinsipnya Inpres tersebut adalah upaya mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, memperkuat serta mempercepat distribusi pembangunan, dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbagai kegiatan sosialisasi atas UU No. 21 tahun 2001 tersebut telah dilakukan, baik yang ditujukan kepada tokoh adat, keagamaan, sosial dan masyarakat Papua maupun kepada masyarakat pada umumnya. Disamping itu, saat ini masih sedang dilakukan persiapan penyusunan RPP sebagai penjabaran dari kurang lebih 38 pasal dan ayat dalam UU No. 21 tahun 2002 tersebut. Khusus yang terkait dengan Majelis Rakyat Papua (MRP), masih sedang dibahas secara intensif dan disiapkan antara lain mengenai tata cara pemilihan anggota MRP, kelengkapan kelembagaan MRP, kedudukan keuangan MRP, pelaksanaan hak MRP, serta syarat dan jumlah anggota MRP. II – 6 Dalam penyelesaian masalah pelanggaran HAM, telah dilakukan upaya-upaya hukum seperti pelaksanaan proses pengadilan militer bagi pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay. Selain itu, sebagai bagian dari Kawasan Timur Indonesia (KTI), Provinsi Papua termasuk daerah yang dipercepat pembangunannya secara terpadu berdasarkan Inpres No. 7 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Pemercepatan Pengembangan KTI adalah untuk mewujudkan KTI sebagai kawasan yang maju, berkelanjutan, mempunyai kesetaraan akses ekonomi dan keberdayaan antar kawasan serta menjadi bagian tatanan global dalam kerangka NKRI. Inpres tersebut menginstruksikan para Menteri, Kepala LPND dan Para Gubernur, Bupati dan Walikota di KTI untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna terlaksananya percepatan pembangunan KTI dengan berpedoman pada Kebijakan dan Strategi Nasional Percepatan Pembangunan KTI. 3) Masalah Poso, Maluku, dan Maluku Utara Penanganan penyelesaian berbagai permasalahan dan konflik yang terjadi belum menyentuh akar persoalan dan terlaksananya butir-butir di dalam perjanjian Malino I dan Malino II untuk Poso dan Maluku sehingga masih menimbulkan ketidakpuasan masyarakat dan kecemburuan sosial yang berakibat belum tuntasnya upaya rekonsiliasi, rehabilitasi, dan perdamaian. Sementara itu, Maluku Utara sudah menunjukkan tanda-tanda yang kondusif bagi pemulihan kehidupan masyarakat, tetapi masih mengandung potensi konflik karena belum tuntasnya penanganan kepemimpinan di daerah dan penataan pengungsi. II – 7 Rekomendasi kepada Presiden 1. Segera menindaklanjuti hasil perjanjian Malino I dan Malino II secara utuh, komprehensif, dan konsekuen. 2. Segera melakukan rekonsiliasi sosial, rehabilitasi fisik dan nonfisik, serta penanganan pengungsi dengan penyediaan dana yang cukup memadai dengan anggaran khusus. 3. Segera menuntaskan kepemimpinan daerah yang definitif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan penataan pengungsi di daerah Provinsi Maluku Utara. Pelaksanaan Rekomendasi Secara umum, penanganan konflik komunal di Poso Sulawesi Tengah, Maluku Utara dan Ambon Maluku banyak mengalami kemajuan dalam pelaksanaannya, dan situasi politik telah berkembang semakin membaik. Hal ini ditandai dengan lancarnya roda perekonomian dan pemerintahan. Untuk tetap menjaga situasi yang kondusif tersebut, upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah menindaklanjuti Kesepakatan Malino I dan Malino II sebagai wujud komitmen pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan di Poso dan Maluku. Adapun upaya-upaya tersebut adalah: 1. II – 8 Meningkatkan kesadaran masyarakat Poso dan Maluku agar mampu mengenali secara dini pola-pola provokasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak menerima Deklarasi Malino, baik dari kelompok Islam maupun Kristen, maupun dari kelompok lain di luar kedua kelompok di atas (oknum aparat, gerakan separatis dan unsur-unsur subversif lainnya). 2. Memprioritaskan pembentukan Tim Investigasi Independen yang mengusut awal terjadinya tragedi kemanusiaan di Poso dan Maluku, termasuk kemungkinan pelanggaran HAM berat yang melibatkan oknum-oknum pemerintahan, birokrasi, militer, pemimpin agama, politisi, dan pemimpin adat. 3. Mengutamakan proses penyelesaian hukum secara tegas dan komprehensif, baik melalui peradilan biasa maupun peradilan HAM ad hoc, demi penegakan hukum dan keadilan, serta sebagai upaya preventif bagi terulangnya tragedi yang sama di masa-masa mendatang. Dengan semakin kondusifnya kondisi keamanan dan ketertiban di Provinsi Maluku Utara, pemerintah mencabut keadaan darurat sipil di Provinsi Maluku Utara melalui Keppres No. 27 tahun 2003 yang efektif berlaku mulai tanggal 17 Mei 2003. Sedangkan untuk Provinsi Maluku masih diberlakukan keadaan darurat sipil karena terdapat beberapa daerah yang masih kurang kondusif. Melalui penetapan kepemimpinan di Provinsi Maluku Utara dengan Thaib Armayn sebagai Gubernur dan Madjid Abdullah sebagai Wakil Gubernur berdasarkan Keppres No. 226/M/2002 tanggal 21 Oktober 2002 diharapkan akan turut mendorong percepatan pelaksanaan rekonsiliasi sosial dan rehabilitiasi fisik dan non fisik di daerah tersebut. Untuk mempercepat pemulihan keadaan sosial dan ekonomi wilayah Maluku dan Maluku Utara, akan diterbitkan Inpres tentang Pembangunan Maluku dan Maluku Utara. Sasaran penanganan khusus daerah Maluku dan Maluku Utara difokuskan pada percepatan pemulihan kehidupan masyarakat dengan berfungsinya kembali prasarana dan sarana sosial, ekonomi dan pemerintahan di daerah-daerah tersebut. Sebagai bagian dari KTI, Provinsi Maluku dan Maluku Utara juga diperlakukan secara khusus sesuai dengan Kebijakan dan II – 9 Strategi Nasional Percepatan Pembangunan KTI yang ditetapkan dan akan mulai efektif dilaksanakan pada tahun 2004. 4) Masalah Sampit, Kalimantan Tengah Tetap terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai akibat tidak adanya langkah konkret dari pemerintah dalam menuntaskan korban konflik Sampit sehingga pengungsi korban konflik yang tampaknya terus berdatangan secara diam-diam masih dianggap sebagai ancaman terselubung bagi masyarakat lokal sehingga tetap menimbulkan gejolak sosial yang dikuatirkan akan menimbulkan ledakan baru yang lebih dahsyat. Rekomendasi kepada Presiden Pemerintah diminta segera secara serius menangani potensi konflik ini, terutama dalam rangka melindungi penduduk lokal dan pendatang yang secara turun-temurun telah berdomisili di Kalimantan Tengah. Pelaksanaan Rekomendasi Dalam upaya menyelesaikan konflik horizontal (antarsuku) khususnya di Sampit, Kalimantan Tengah, maka kegiatan diutamakan pada penciptaan rasa aman dan damai bagi masyarakat melalui usaha pembauran nilai-nilai budaya setempat. Sehingga terjadi proses akulturasi budaya di dalam masyarakat yang bersangkutan. Proses ini sekaligus merupakan penjabaran sosialisasi wawasan kebangsaan. Dalam mengatasi konflik di Sampit telah dilakukan pendekatan melalui pembangunan keamanan negara yang bertujuan untuk membangun kekuatan dan kemampuan keamanan serta mewujudkan penyelenggaraan sistem keamanan yang mampu melindungi seluruh rakyat Indonesia dari gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat serta II – 10 gangguan keamanan dalam negeri, dengan mendayagunakan secara optimal dan terpadu segenap komponen kekuatan keamanan negara. Disamping itu, dalam rangka menciptakan kondisi keamanan yang kondusif telah diupayakan kerjasama antara semua komponen bangsa. Sebagaimana sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta yang bersifat total dengan bertumpu pada kekuatan rakyat dan kekuatan kewilayahan, maka peran serta segenap komponen bangsa dalam menciptakan kondisi keamanan negara yang mampu memberikan rasa keamanan dan keadilan bagi warga masyarakat ditempuh melalui upaya pembentukan sikap dan perilaku kebangsaan dalam rangka Ketahanan Nasional serta penyempurnaan perangkat perundangan dan peraturan yang berkaitan dengan sistem, proses dan metode yang akan digunakan sebagai landasan operasional dan pembinaan sistem keamanan negara. Dalam rangka menumbuhkan suasana kondusif di wilayah Kalimantan yang didasari sikap toleran dan saling pengertian, telah dilakukan berbagai upaya tindak lanjut pelaksanaan hasil Dialog Musyawarah Damai Anak Bangsa di Bumi Kalimantan, Kongres Rakyat Kalimantan Tengah dan Jawa Timur, Musyawarah Besar Pengungsi Korban Kerusuhan Kalimantan Tengah, serta Musyawarah Besar Rakyat Kalimantan. b. Tindakan Anarkis Penyalahgunaan kebebasan atas nama demokrasi dan hak asasi manusia dalam segala bentuk, termasuk penyalahgunaan kebebasan pers dan penyiaran serta kekuasaan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan anarkis, masih terus berlanjut yang menghambat pertumbuhan demokrasi dan melanggar hak asasi manusia. II – 11 Rekomendasi kepada Presiden 1. Menindak dengan tegas setiap pelaku anarki dan pelanggaran hak asasi manusia sesuai dengan hukum yang berlaku. 2. Bersama dengan DPR segera menyelesaikan UU Penyiaran. Pelaksaan Rekomendasi Berkembangnya konflik vertikal maupun horizontal sebagai dampak kondisi perekonomian yang belum pulih sangat menyulitkan kehidupan rakyat. Kondisi tersebut dapat mendorong timbulnya perilaku anarkis, destruktif dan tindakan otorianisme di kalangan masyarakat yang pada akhirnya dapat mengganggu proses penyelenggaraan bernegara. Disamping itu, euforia demokrasi yang berlebihan serta masih dominannya budaya politik golongan juga telah memberikan dorongan terjadinya tindakan-tindakan anarkis dalam masyarakat Indonesia. Perilaku anarkis baik yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok, secara signifikan dapat ditangani secara lebih baik yang antara lain diindikasikan dengan menurunnya berbagai kejadian-kejadian anarkis di seluruh tanah air. Kondisi keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat semakin baik karena masyarakat semakin menyadari pentingnya penyaluran aspirasi melalui cara atau unjuk rasa yang damai dan demokratis. Proses hukum kasus bom Bali 12 Oktober 2002 dan rentetannya, merupakan tolok ukur keberhasilan pemerintah dalam menangani tindak anarkis yang dilakukan oleh sekelompok massa yang diduga terkait dengan jaringan terorisme internasional. II – 12 Demikian juga terhadap kasus-kasus anarkis seperti pengrusakan kantor media, pembakaran kantor-kantor pemerintah, main hakim terhadap tersangka kriminal, pengrusakan fasilitas umum, atau berbagai tindakan anarkis yang dilakukan oleh aparat pemerintah terhadap masyarakat dapat ditangani sesuai dengan hukum yang berlaku. Keberhasilan ini tidak terlepas dari semakin meningkatnya kemampuan aparat penegak hukum dalam penyidikan dan proses hukum. Penyalahgunaan kebebasan pers dan penyiaran sebenarnya merupakan wujud kebebasan pers yang liberalistis, dan bahkan merupakan kebebasan pers yang paling liberal dewasa ini. Penyimpangan pelaksanaan kebebasan pers yang demikian itu telah menimbulkan dampak kontra produktif secara luas dalam kehidupan masyarakat. Sehubungan dengan itu, pada tanggal 28 November 2002 telah disahkan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam konsideran undang-undang tersebut ditegaskan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pelaksanaan UU ini tetap mengacu kepada UUD 1945, terutama Pasal 28 F dimana “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Disadari bahwa sebuah sistem yang demokratis perlu memberikan kepercayaan masyarakatnya dan perlu melibatkan peranserta masyarakat. Dengan UU Penyiaran ini diharapkan komitmen pada pro bottom up communication tetap dapat mencegah dan II – 13 menghindari abuse of freedom (kekerasan dalam komunikasi dan informasi). c. Reposisi TNI dan Polri Penugasan TNI dan Polri belum sepenuhnya dapat dilaksanakan secara optimal karena belum memiliki payung hukum dan belum dibuat peraturan pemerintah serta belum disosialisasikan UU Pertahanan dan UU Kepolisian Negara sampai ke aparat yang paling bawah sehingga mengakibatkan lemahnya koordinasi yang pada gilirannya menimbulkan konflik antarsesama aparat. Belum mantapnya profesionalitas TNI dan Polri sebagai akibat masih kurangnya dukungan anggaran. Rekomendasi kepada Presiden 1. Bersama DPR, segera menyusun dan menetapkan UU tentang TNI. 2. Segera menerbitkan peraturan pemerintah sesuai dengan amanat UU Pertahanan dan UU Kepolisian Negara dan menyosialisasikannya. Pelaksanaan Rekomendasi Kita sadari bersama bahwa sistem pertahanan dan keamanan Indonesia mengalami transformasi yang cukup substansial. TNI sebagai kekuatan inti dalam sistem pertahanan negara dan Polri sebagai kekuatan inti sistem keamanan negara, mengalami perubahan paradigma secara mendasar. TNI dan Polri tidak lagi melaksanakan dwifungsi (fungsi hankam dan fungsi sospol). Untuk mencapai tujuan dari perubahan sistem pertahanan negara dan keamanan negara yang menganut dwifungsi menjadi sistem pertahanan dan keamanan negara yang profesional, maka dalam pelaksanaannya perlu dijabarkan kedalam dua bagian, yaitu pertahanan dan keamanan. Pemisahan masalah-masalah pertahanan dan keamanan dilakukan agar terpetakan secara II – 14 jelas tugas, tanggung jawab, dan fungsi masing-masing institusi yang terlibat di dalamnya. Di sisi lain, pemisahan TNI dan Polri juga membawa ekses negatif terutama dengan TNI sebagai induk organisasinya yang terdahulu. Banyak terjadi bentrokan antara anggota Polri dengan anggota TNI yang bersumber pada kebanggaan korps yang berlebihan. Polri sebagai institusi sipil masih sering menampilkan wajah militer. Namun demikian dalam upaya meningkatkan profesionalitas Polri sebagai pelaksana inti penegak hukum, fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat berupaya untuk merubah sikap dan mentalnya melalui penyempurnaan kurikulum pendidikan sesuai dengan peran, tugas dan fungsinya. Disamping itu, dilakukan pula pendekatanpendekatan psikologis, sosial budaya masyarakat, dan tidakan nyata secara transparan kepada rakyat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Berkenaan dengan harapan terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat, maka dengan segenap daya dan kekuatan, Polri berupaya mencegah dan menanggulangi berbagai gangguan keamanan dan gejolak sosial. Cara-cara penanganannya semaksimal mungkin tidak lagi dilakukan dengan menggunakan kekerasan, tetapi dengan metodologi, taktik, dan teknik yang canggih untuk dapat mengatasi permasalahannya di atas landasan hukum dan hak asasi manusia. Hal itu tentu saja menuntut tingkat profesionalisme yang tinggi dari setiap anggota Polri dan harus didukung dengan tingkat fleksibilitas dan daya inovasi yang tinggi untuk dapat memberdayakan strategi, taktik, dan teknik operasional pengamanan yang handal. Dengan telah diundangkannya UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara diharapkan mampu digunakan sebagai payung dalam penyusunan berbagai II – 15 ketentuan baru mengenai tatanan komando pengendalian di lapangan yang akan sangat berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan tugas TNI dan Polri dalam menyelesaikan tugasnya. Kedua undang-undang tersebut diharapkan dapat pula digunakan sebagai pedoman dalam penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan belum mampu mengakomodasikan perkembangan situasi politik dan keamanan, sehingga menjadi kendala dalam upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Disamping itu, kurang berfungsinya pranata-pranata politik dan sosial yang ada juga dapat mengakibatkan masyarakat melakukan perbuatan-perbuatan yang cenderung melanggar norma-norma kemasyarakatan dan etika yang berlaku (norma adat, agama, sosial, hukum). Hal-hal tersebut sering berimplikasi pada perbedaan penafsiran pelaksanaan tugas di lapangan antara institusi TNI dan Polri. Dukungan TNI terhadap Polri dalam menjaga keamanan dalam negeri berguna selain untuk memperkuat kekuatan dan kemampuan dalam menjamin keamanan dalam negeri, juga diharapkan berimplikasi pada terbentuknya saling pengertian, toleransi, dan tereliminasinya egoisme TNI dan Polri. d. Hubungan Luar Negeri Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif dan sebagai negara berdaulat dirasakan kurang konsisten dan konsekuen. Hal ini terlihat dalam peran diplomasi Indonesia yang belum dilaksanakan secara optimal dan professional sebagai negara berdaulat. Masih sering terjadi pelanggaran batas wilayah Indonesia oleh pihak asing yang mengakibatkan kerugian negara. II – 16 Belum tuntasnya posisi Timor Timur di dalam perundangundangan Indonesia dan belum terselesaikannya asset-aset Indonesia yang berada di Timor Timur. Rekomendasi kepada Presiden 1. Segera memperbarui kebijakan politik luar negeri dengan tetap berpegang pada prinsip politik luar negeri yang bebas aktif. 2. Meningkatkan kemampuan peran diplomasi secara lebih selektif, strategis, dan professional. 3. Segera membuat kebijakan dan kepastian tentang perbatasan wilayah teritorial lndonesia sesuai dengan hukum internasional. 4. Bersama DPR, segera meninjau dan menyesuaikan butir-butir tentang Timor Timur yang ada dalam peraturan perundang-undangan. 5. Segera memproses penyelesaian Indonesia di Timor Timur. atas aset-aset Pelaksanaan Rekomendasi Posisi Indonesia di dunia internasional sangatlah ditentukan tidak saja oleh pelaksanaan kebijakan politik luar negeri dan hubungan luar negerinya, tetapi juga akan dipengaruhi oleh peran diplomasi para penyelenggara hubungan luar negeri. Dengan berbagai inisiatif baru dalam politik luar negeri, Indonesia jelas tidak bersikap reaktif terhadap perkembangan politik, keamanan dan ekonomi global. Kita justru secara antisipatif memperkuat basis-basis kerjasama bilateral, regional dan multilateral-global, di tengah perkembangan internasional yang sarat dengan ketidakpastian dan semakin menunjukkan ciri-ciri sistem unipolar. Sesuai dengan amanat konstitusi, maka politik luar negeri, diarahkan II – 17 pada upaya untuk ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Karena itu upaya memperkuat multilateralisme, khususnya melalui perkuatan dan penyempurnaan sistem PBB merupakan pisisi prinsip Indonesia. Upaya-upaya strategis yang dilakukan untuk mendukung peningkatan kinerja peran diplomasi Indonesia di dunia internasional adalah antara lain (i) tetap menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif dan berorientasi pada kepentingan nasional; (ii) melaksanakan politik luar negeri dengan prioritas kebijakan di 3 lingkaran konsentris, yaitu Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sebagai pilar utama politik luar negeri dengan mengoptimalkan peran Indonesia sebagai Panitia Tetap ASEAN periode Juni 2003 – Juli 2004, Asia Timur dan hubungan dengan negara-negara Gerakan Non Blok (GNB), Organisasi Koferensi Islam (OKI), Kelompok 77, Kelompok 15 dan D-8 serta memanfaatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara maksimal sebagai satu-satunya organisasi yang bersifat universal bagi kepentingan nasional; (iii) mendorong penguatan diplomasi multilateral; (iv) memperkuat manajemen pengelolaan politik luar negeri dan hubungan luar negeri melalui pembenahan organisasi penyelenggara hubungan luar negeri serta meningkatkan kualitas diplomat agar lebih handal; (v) mendorong diplomasi publik dengan melibatkan seluruh komponen bangsa baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri untuk mendukung upaya diplomasi Indonesia di luar negeri. Terkait dengan batas wilayah teritorial, kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui oleh masyarkat internasional sebagaimana tercantum dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan Pemerintah RI telah meratifikasi konvensi tersebut dengan UU No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of II – 18 the Sea, serta menetapkan UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Disamping itu telah ditetapkan pula Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Dasar Kepulauan Indonesia. Hal ini dapat merupakan dasar bagi menentukan wilayah teritorial Indonesia. Tentunya langkah tersebut akan diteruskan untuk dapat dirumuskan menjadi UU sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Pada matra laut, penyelesaian perundingan batas wilayah telah dilakukan dengan seluruh negara tetangga kecuali dengan Timor Leste dan pada bagian tertentu dengan Singapura. Sementara untuk perundingan batas landas kontinen, telah diselesaikan perundingan dengan semua negara tetangga kecuali dengan Filipina dan Timor Leste. Pada tanggal 26 Juni 2003 telah ditandatangani batas landas kontinen antara Indonesia dengan Vietnam, setelah dimulai pembicaraan pada tahun 1978, atau sejak 25 tahun yang lalu setelah melalui beberapa perundingan yang selalu mengalami jalan buntu. Dalam rangka mendukung penentuan batas wilayah teritorial Indonesia sesuai hukum internasional langkahlangkah yang terus ditempuh adalah melakukan pembahasanpembahasan bilateral dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, PNG dan Timor Timur untuk membangun kesepahaman dan kesepakatan mengenai batas-batas wilayah. Hal ini diperlukan sebelum kesepakatan dengan negara tetangga tersebut disampaikan kepada Perserikatan BangsaBangsa untuk disahkan menjadi hukum internasional. Keputusan Mahkamah Internasional atas status kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan pada tanggal 17 Desember 2002 harus dihormati dan dijunjung tinggi. Sebagai dasar hukum, Mahkamah Internasional merujuk kepada buktibukti yang menunjukkan adanya administrasi damai dan berkelanjutan atas kedua pulau ini oleh pemerintahan kolonial II – 19 Inggris yang dinilai Mahkamah Internasional lebih kuat daripada pengelolaan yang dilakukan pihak kolonial Belanda. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah ordonansi Inggris tentang pemeliharaan lingkungan maritim sejak tahun 1907 serta operasi menara suar pada tahun 1962. Belajar dari kasus Pulau Sipadan dan Ligitan tersebut, rujukan hukum harus diberikan kepada konsepsi kewilayahan nasional yang diperjuangkan sejak tahun 1957 melalui Deklarasi Djuanda, sebagaimana tertuang dalam UU No.4/Perpu/1960 tentang Perairan Indonesia. Penyelesaian sengketa kedua pulau ini perlu juga dilihat dari perspektif yang lebih luas dalam rangka pendewasaan hubungan antar negara di kawasan Asia Tenggara. Malasyia dan Singapura pada tahun 2003 misalnya, telah sepakat membawa penyelesaian sengketa kepemilikan atas Pulau Batu Puteh ke Mahkamah Internasional. Seperti halnya dalam kasus Sipadan-Ligitan, keputusan kedua negara tersebut diambil setelah mencermati bahwa upaya penyelesaian secara politis melalui jalur diplomasi tidak berhasil menjembatani perbedaan posisi yang ada di antara kedua negara. Opsi penyelesaian yuridis melalui Mahkamah Internasional sesungguhnya juga sejalan dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang direkomendasikan oleh Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia, yang disahkan di Bali pada tahun 1976, yang bisa disebut sebagai konstitusi ASEAN. Pasca putusan kasus Sipadan-Ligitan, Pemerintah mencatat berkembangnya kekhawatiran yang berlebihan tentang kemungkinan hilangnya atau lepasnya pulau-pulau lain di nusantara. Pada beberapa kasus, kekhawatiran tersebut bahkan seakan menempatkan Indonesia sebagai pihak yang mengklaim kepemilikan pulau yang sebelumnya tidak pernah menjadi sengketa. Terlepas dari kesalah-pahaman ini, Pemerintah memahami bahwa ungkapan tersebut merupakan wujud kepedulian yang tinggi dari berbagai lapisan masyarakat agar Pemerintah meningkatkan kondisi sosialII – 20 ekonomi kawasan pulau-pulau terluar. Terkait di sini adalah lokasi strategis pulau-pulau terluar pada kawasan perbatasan antarnegara sehingga sekaligus berfungsi sebagai jendela yang merefleksikan kondisi masyarakat kita. Sehubungan dengan hal ini, Pemerintah perlu menegaskan bahwa tidak ada keraguan atas kepemilikan Indonesia terhadap pulau-pulau terluar yang ada di nusantara mengingat bahwa pulau-pulau terluar tersebut tidak pernah menjadi sengketa antara Indonesia dan negara tetangga. Pemerintah juga menyadari perlunya untuk meningkatkan kehadiran administrasi yang nyata di pulau-pulau terluar nusantara sebagai halaman depan. Selain untuk mewujudkan itikad sebagai pemilik kedaulatan yang sah, upaya ini juga dimaksudkan dalam rangka meningkatkan pembangunan sosial-ekonomi penduduk di daerah perbatasan, khususnya di pulau-pulau terluar Indonesia. Pemerintah pada Tahun Anggaran 2003 telah menetapkan Dana Alokasi Khusus bagi Pemerintah Daerah yang dapat digunakan untuk penanganan masalah perbatasan oleh daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga terdekat. Serangkaian upaya ini pada gilirannya diharapkan dapat menumbuh-kembangkan ikatan kebangsaan Indonesia. Mencermati masalah perbatasan, Pemerintah mempertimbangkan perlunya penanganan komprehensif melalui peningkatan koordinasi diantara instansi terkait. Guna mencapai tujuan ini, Pemerintah tengah mempelajari bentuk dan mekanisme yang dapat mensinergikan pengelolaan perbatasan negara secara lebih baik. Terkait dengan masalah Timor Timur telah dilakukan pembicaraan dengan United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET) untuk menyelesaikan masalah pengungsi, perbatasan dan aset Indonesia di Timor Timur. Khusus pembahasan mengenai aset-aset Indonesia di Timor Timur, telah diawali dengan mekanisme pembahasan bilateral yang lebih terlembaga II – 21 dalam bentuk Komisi Bersama dan telah mengadakan pertemuan pertama pada bulan Oktober 2002 di Jakarta. Pembahasan masalah aset tersebut telah dibawa dalam pembicaraan tingkat tinggi antara Perdana Menteri Timor Timur dengan Pemerintah Indonesia pada awal tahun 2003. Sebagai kelengkapan gambaran penyelenggaraan politik luar negeri, selanjutnya secara garis besar dapat dilaporkan sebagai berikut ini. Politik luar negeri juga berkewajiban untuk memelihara lingkungan kawasan yang stabil, aman, dan mengarah pada kemakmuran bersama. Karena hanya dengan lingkungan kawasan yang kondusif maka pemerintah dapat berkonsentrasi dalam upaya menata kehidupan politik nasional dan memulihkan kehidupan ekonomi rakyat. Oleh karena itulah pemerintah menegaskan kembali komitmennya pada ASEAN sebagai pilar utama politik luar negeri. Komitmen ini menjadi sangat relevan, sehubungan dengan peran Indonesia sebagai Ketua Panitia Tetap ASEAN periode Juni 2003 – Juli 2004 dan sebagai tuan rumah KTT ASEAN pada tanggal 7 dan 8 Oktober 2003. Pemerintah mempunyai komitmen kuat untuk menjalankan kepemimpinan di ASEAN, bukan sekedar menjadi tuan rumah yang mengetuai berbagai pertemuan. Pada tanggal 8 Agustus 2003, ASEAN akan memasuki usianya yang ke-36 tahun. Meskipun telah mengalami pasang surut, ASEAN tetap berdiri tegak dan telah sangat bermanfaat dalam meningkatkan kerjasama regional baik di antara negara-negara ASEAN maupun antara ASEAN dengan negara-negara mitra wicara. Dengan adanya ASEAN, hubungan antarnegara di kawasan juga telah berkembang ke arah suatu tingkat kematangan yang dapat menjadi aset bagi pengembangan suatu tertib kawasan. Karena itulah, Indonesia baru-baru ini telah meluncurkan konsep Komunitas Keamanan ASEAN atau II – 22 ASEAN Security Community. Pemerintah menyadari bahwa apa yang diamanatkan oleh “Bali Concord” dan “Treaty of Amity and Cooperation”, yang dicapai KTT Pertama ASEAN di Bali pada tahun 1976, belum dilaksanakan secara seimbang. Pemerintah juga menyadari bahwa kesuksesan suatu organisasi regional tidak saja diukur dari pertumbuhan ekonomi di kawasan, tetapi juga dari kemampuan dalam mengatasi masalah-masalah politik dan keamanan yang timbul di antara negara-negara di kawasan itu. Karena itu, konsep komunitas keamanan tidak perlu diartikan sebagai komunitas pertahanan yang bertumpu pada kerjasama militer, tatapi keamanan dalam arti komprehensif yang ditekankan pada pemberdayaan kerjasama di bidang politik. Konsep komunitas keamanan merupakan upaya untuk membangun rasa kebersamaan ASEAN sebagai satu keluarga, yang memiliki norma dan tata cara berinteraksi yang disepakati bersama. Dalam konteks mewujudkan visi ASEAN tahun 2020, maka konsep Komunitas Keamanan ASEAN digandengkan dengan konsep Komunitas Ekonomi ASEAN merupakan upaya membangun tata kawasan yang mengarah pada integrasi ASEAN. Indonesia harus bekerja keras untuk mencapai integrasi ASEAN, baik di dalam upaya mempersempit jarak tingkat pembangunan di antara negara-negara ASEAN sendiri maupun di tengah-tengah guliran dan tarikan proses integrasi ekonomi kawasan Asia Timur. Karena itu, secara cermat perlu terus dikembangkan dan dikelola hubungan antara ASEAN dan China, Jepang dan Korea Selatan di satu pihak, serta antara ASEAN dan India di pihak lain. Bersamaan dengan itu, ASEAN juga terus berusaha memegang kendali atas proses ASEAN Regional Forum yang melibatkan negara-negara besar dan berpengaruh di kawasan. Perlu dicatat, bahwa di tengah-tengah konstelasi politik internasional dewasa ini, terdapat ekspektasi di antara negara-negara kawasan bahwa Indonesia sebagai Ketua ASEAN Regional Forum dapat memainkan peranan lebih besar dalam membantu menyelesaikan masalah-masalah keamanan di kawasan. II – 23 Sementara ini Pemerintah juga sedang membangun jembatan strategis ke arah benua Afrika, yaitu dengan meluncurkan inisiatif Konferensi Organisasi-organisasi SubRegional Asia Afrika. Bermitra dengan Afrika Selatan, Konferensi ini telah diselenggarakan di Bandung pada akhir bulan Juli yang baru lalu. Keberhasilan Konferensi tersebut bukan hanya tercermin dari tingkat partisipasi yang sangat antusias dari kelompok-kelompok negara di Asia dan Afrika tetapi juga dari komitmen para peserta untuk membangun jembatan strategis antara kedua benua, yang secara ideologis sebenarnya telah terbentuk pada tahun 1955. Rencananya, Afrika Selatan dan Indonesia kembali akan bermitra untuk menyelenggarakan konferensi yang ke-2 di Afrika Selatan pada tahun 2004. Hasil-hasil dari kedua konferensi ini akan menjadi masukan substantif bagi KTT Asia Afrika yang akan kita selenggarakan pada tahun 2005 di Bandung, yang sekaligus juga sebagai peringatan 50 tahun Konferensi Asia Afrika. Dengan dasar amanat konstitusi dan prinsip memperkuat multilateralism maka Indonesia telah secara terbuka menentang agresi militer Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak. Pemerintah berpendapat bahwa masalah tuduhan kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak yang belum dapat dibuktikan hingga hari ini – seharusnya diselesaikan melalui mekanisme multilateral yang tersedia dalam sistem PBB. Indonesia juga berpendapat bahwa hanya rakyat Irak-lah yang memiliki hak untuk menentukan masa depan negara dan bangsa Irak. Dengan posisi prinsip yang sama, kita juga terus menekankan bahwa bangsa Palestina memiliki hak yang tak bisa dipungkiri siapapun untuk merdeka dan mendirikan negara di wilayahnya sendiri. Karena itu, Pemerintah menyambut baik roadmap hasil prakarsa multilateral yang tengah bergulir untuk kemerdekaan nagara Palestina yang diharapkan akan diwujudkan pada tahun 2005. II – 24 Dalam menghadapi masalah terorisme internasional, Indonesia juga telah mampu menunjukkan tingkat kepercayaan diri yang tinggi kepada masyarakat internasional. Dengan tetap bersandar pada prinsip-prinsip demokrasi dan keutamaan hukum, Indonesia telah mampu menunjukkan kesungguhan dalam mengatasi ancaman terorisme. Dalam waktu yang relatif singkat, telah berhasil menangkap dan mengungkap jaringan para teroris dan mengadili para pelaku. Indonesia telah mendapat apresiasi yang tinggi dari masyarakat internasional dan mendatangkan berbagai tawaran bantuan yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat kapasitas nasional dalam menghadapi ancaman terorisme. Andil Indonesia dalam membangun kerjasama internasional dalam upaya mengatasi masalah-masalah kejahatan lintas negara juga telah mendapat apresiasi masyarakat internasional dan mendatangkan manfaat langsung, antara lain, Pemerintah telah dua kali menyelenggarakan konferensi regional mengenai penyelundupan dan perdagangan manusia dan kejahatan lintas negara terkait lainnya di Bali, masing-masing pada bulan Februari 2002 dan April 2003. Disamping itu, di tempat yang sama telah pula diselenggarakan konferensi regional tentang pencucian uang dan pendanaan terorisme pada bulan Desember 2002. e. Imigran Gelap Penyusupan imigran gelap masih terjadi ke wilayah Indonesia sehingga menimbulkan berbagai implikasi sosial politik Rekomendasi kepada Prisiden Meningkatkan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan melibatkan aparat keamanan, meningkatkan kegiatan diplomasi dalam menyelesaikan masalah imigran gelap, serta membangun jaringan sistem informasi keimigrasian yang komprehensif. II – 25 Pelaksanaan Rekomendasi Upaya pencegahan imigran gelap telah dilakukan secara terpadu dengan meningkatkan koordinasi dari semua instansi, baik departemen maupun non departemen untuk memiliki komitmen yang sama, serta melakukan upaya secara konsisten dan sungguh-sungguh untuk menangani imigran gelap. Disamping itu, dilakukan kerjasama internasional baik yang bersifat regional, maupun internasional secara lebih intensif, dengan membangun kesepakatan-kesepakatan bersama, baik bilateral maupun multilateral. Bersama dengan negara-negara anggota ASEAN telah dicapai kesepakatan bagi penggalangan kerjasama untuk penanganan imigran gelap di lingkungan wilayah ASEAN, sementara dalam kerangka kerjasama bilateral telah diupayakan kerjasama dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah dalam rangka penanganan masalah imigran gelap. f. Otonomi Daerah Pelaksanaan UU Otonomi Daerah selama ini belum diimplementasikan secara utuh sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, serta kevakuman hukum dan kesenjangan antardaerah. Keadaan ini mengakibatkan suasana disharmonis, ketidakpastian hukum, dan tambahan beban biaya bagi duni usaha. Rekomendasi kepada Presiden 1) II – 26 Segera menyelaraskan semua peraturan perundanganundangan yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, disamping meningkatkan peran dan kinerja law center yang ada. Pelaksanaan Rekomendasi Sampai dengan bulan Juli 2003, pelaksanaan terhadap rekomendasi tersebut antara lain: Di dalam menyelaraskan semua peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, peningkatan peran dan kinerja law center yang ada, pemerintah telah mencabut beberapa peraturan perundangundangan daerah yang bertentangan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu sampai saat ini Pemerintah juga tengah mengupayakan untuk menyelaraskan beberapa perundang-undangan yang telah diterbitkan oleh Departemen/LPND yang tidak sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Sampai dengan saat ini telah diterbitkan 22 UU, 6 PP, 1 Keppres, 1 Inpres, untuk mendukung pelaksanaan UU Pemerintahan Daerah. Untuk mendorong agar kebijakan desentralisasi betulbetul dapat dimaknai sebagai bagian dari proses berdemokrasi masyarakat khususnya di daerah, pemerintah mendorong setiap daerah agar menjalankan roda penyelenggaraan pemerintah dalam bentuk otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Dinamika daerah terus menguat dan secara nasional cukup memberi pengaruh seperti beberapa indikasi awal yang perlu senantiasa kita sikapi secara arif dan sangat bijaksana. Sejalan dengan semakin baiknya pelaksanaan pemerintahan dalam arti keterbukaan dan keterlibatan masyarakat, terus diupayakan pembangunan daerah melalui penguatan sistem dan struktur pemerintahan yang dilakukan dengan dimulainya penajaman dalam pengaturan dan pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi bidang pemerintahan dalam negeri yang meliputi aspek-aspek pembinaan wawasan kebangsaan, peningkatan kapasitas pemda, sistem komunikasi dan perencanaan pengawasan. Pada dasarnya dirasakan adanya pengaturan yang kurang lengkap dalam melaksanakan agenda pemerintahan daerah dengan prinsip dan sistem yang baru yaitu sistem yang II – 27 demokratis-desentralistis. Saat ini pemerintah telah mengawali upaya tersebut di awal tahun 2003 ini dan dengan demikian semua kewenangan pemerintah pusat yang dapat dilakukan oleh daerah dalam format kewenangan dan pembangunan dekonsentrasi secara bertahap akan terus dikembangkan sehingga semakin dirasakan tanggung jawab daerah dalam membangun sesuai dengan sasaran pembangunan nasional. Rekomendasi kepada Presiden 2) Mempercepat terwujudnya berbagai peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksanaan UU Pemerintahan Daerah tersebut. Pelaksanaan Rekomendasi Di dalam mempercepat terwujudnya berbagai peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksanaan UU Pemerintahan Daerah, telah dicapai beberapa hal dalam periode 2002-2003, yaitu: II – 28 a. Dalam bidang Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Pemda, peningkatan aparatur melalui pendidikan dan pelatihan yang mendukung upaya pelayanan pada masyarakat serta dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan. Peningkatan kewenangan desentralisasi dan otonomi daerah memerlukan peningkatan kemampuan dan jenis kemampuan yang sebelumnya belum dimiliki oleh aparatur pemerintah daerah. b. Dalam bidang kelembagaan melalui penguatan permerintah daerah dengan konsep peningkatan rentang kendali yang merupakan kemauan dan kebijakan politik pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang ditandai antara lain dengan usul-usul inisiatif dalam pemekaran wilayah. Prinsipnya ialah mendekatkan pelayanan pada masyarakat dan memperkuat serta mempercepat distribusi pembangunan dan upaya kesejahteraan rakyat. Dalam upaya penguatan wilayah, juga telah dilakukan upaya-upaya dalam memperbaiki tata batas wilayah baik batas antarnegara dengan memperkuat kelembagaan dan batas fisik, serta pengelolaan batas antarnegara termasuk dialog-dialog perbatasan, dan juga dalam penanganan batas-batas wilayah antara provinsi dan kabupaten yang masih mengandung permasalahan dan masih terus ditangani antardaerah. c. Dalam keuangan daerah berupa penguatan fungsionalisasi pemerintah daerah di dalam menata alokasi sumber-sumber keuangan bagi daerah sesuai dengan undang-undang. Rincian Hasil-hasil yang Dicapai pada Periode 20022003, yaitu: A. Di dalam Program Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah, hasil yang telah dicapai, yaitu: 1) Dalam rangka penyusunan pedoman dan manual peningkatan kinerja Aparatur Pemda melalui: (1) tersusunnya draft pedoman peningkatan kinerja aparat dalam rangka mendorong pelaksanaan tugas pemerintahan umum; (2) tersusunnya pedoman penguatan kinerja aparat dalam rangka peningkatan pelayanan publik; (3) tersedianya draft Manual Pemahaman Otonomi Daerah; (4) menghasilkan 40 jenis pedoman, kursil, modul diklat baru; (5) pelatihan manajemen penanggulangan bencana bagi aparatur kabupaten; (6) pedoman pembinaan kegiatan pemerintahan untuk efektifitas aparatur dalam II – 29 penyelenggaraan tugas pelayanan kepada masyarakat; (7) tersusunnya Standar Kebutuhan Aparatur; (8) pedoman dan standarisasi kebijakan umum tentang pola peningkatan SDM Aparatur yang komprehensif dan integrated. B. 2) Dalam rangka fasilitasi diklat melalui: (1) terlaksananya 91 jenis diklat bagi aparatur daerah; (2) terlaksananya pelatihan manajemen penanggulangan bencana; (3) tersedianya bimbingan teknis kepada aparatur pemerintah daerah provinsi/ kabupaten/kota; (4) meningkatnya kemampuan KDH/WKDH dalam deregulasi Peraturan Daerah bidang Perijinan. 3) Dalam rangka sosialisasi Standard Pelayanan Minimum (SPM) melalui: (1) workshop internasional implementasi kewenangan wajib dan SPM. 4) Dalam rangka peningkatan kapasitas legislatif dan yudikatif melalui: (1) tersedianya kebijakan fasilitasi pelaksanaan Kapasitas Legislatif dalam melaksanakan tugas dan wewenang (2) terselenggaranya programprogram insidentil pemberdayaan kapasitas daerah untuk legislatif dan masyarakat. Di dalam Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintahan Daerah, hasil yang telah dicapai, yaitu: 1) II – 30 Fasilitasi pembentukan lembaga-lembaga daerah dan kewenangan pusat di daerah melalui: (1) tersusunnya konsep penyempurnaan PP No. 84 tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang dilengkapi dengan 2 lampiran berupa: Penjelasan serta Perhitungan Skor dan Penetapan Kriteria Penataan Organisasi Perangkat Daerah; (2) terlaksananya evaluasi terhadap Peraturan Daerah (Perda) tentang Penataan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota sebanyak 1.534 Perda, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 41 tahun 2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah, Evaluasi Perda Kabupaten/Kota oleh Provinsi dan Perda Provinsi oleh Pemerintah; (3) terlaksananya fasilitasi Penataan Organisasi Perangkat Daerah, Analisis Jabatan, Ketatalaksanaan dan LAKIP di daerah Provinsi/Kabupaten/ Kota termasuk persiapan pemberlakuan 5 hari kerja sesuai dengan permintaan daerah; (4) tersedianya bahan masukan bagi pengaturan lebih lanjut terhadap pelaksanaan peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dalam pengawasan penyelenggaraan pemerintah di Kabupaten/Kota. 2) Fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan asosiasi melalui: (1) terbentuknya Badan/Kantor Pemberdayaan Masyarakat Provinsi dan Kabupaten/Kota; (2) meningkatnya dukungan tugas-tugas pemberdayaan masyarakat yang diintrodusir Pemerintah Pusat oleh Badan/Kantor Pemberdayaan Masyarakat Provinsi dan Kabupaten/Kota; (3) terlaksananya penyusunan pedoman tentang asosiasi untuk meningkatkan status kelembagaan sosiasi; (4) terlaksananya penataan manajemen pengelolaan asosiasi. II – 31 II – 32 3) Pendataan daerah melalui: (1) terlaksananya Penerbitan Buku Seri Otonomi Daerah (Otda) 6 buku; (2) tersusunnya Profil Daerah Otonom; (3) terlaksananya penyusunan database KDH/WKDH; (4) terbangunnya Sistem Informasi Otda; (5) tersusunnya Database dan Sistem Informasi Penataan Kewenangan. 4) Penyusunan SPM melalui: (1) terlaksananya penyusunan draft Guideline Pelaporan Daerah berbasis SPM; (2) penerbitan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (SE Mendagri) No. 100-756/OTDA tanggal 8 Juli 2002 konsep dasar penentuan kewenangan wajib daerah otonom dan SPM; (3) tersusunnya Draft Pedoman Pengembangan Model Kewenangan Wajib Daerah Otonom dan SPM Bidang Pendidikan, Kesehatan, Administrasi Pemerintahan Umum, Administrasi Kependudukan dan Politik Dalam Negeri. 5) Penataan hubungan kerja di lingkungan pemerintahan daerah melalui: (1) tersedianya pedoman Hubungan Legislatif dan Eksekutif berkenaan dengan penyusunan Perda APBD, penyusunan Perda Non APBD, pelaksanaan kemitraan, pelaksanaan hak dan kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); (2) terlaksananya sosialisasi Pedoman Umum Hubungan Eksekutif dan Legislatif; (3) terlaksananya supervisi dan monitoring masalah yang timbul dalam hubungan eksekutif dan legislatif; (4) pembentukan Tim Kerja Harmonisasi dan Sosialisasi Otda; (5) terlaksananya inventarisasi permasalahan kewenangan daerah kabupaten/ kota bidang kehutanan, pertambangan dan pertanahan; (6) terselenggaranya Supervisi Penataan Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota bidang kehutanan, pertambangan dan pertanahan; (7) tersusunnya Hasil Verifikasi dan Penataan Kabupaten/Kota Bidang-bidang Pemerintahan pada lingkup I, II, III dan IV. 6) C. Evaluasi melalui: (1) tersusunnya Sistem Monitoring dan Evaluasi (Monev) Otda; (2) terlaksananya penyusunan Studi Sistem dan Evaluasi Kinerja Pelaksanaan Otonomi Desa; (3) terselenggaranya Monev Pelaksanaan Otda; (4) tersusunnya Laporan Evaluasi Hasil Supervisi Pelaksanaan Otda Sektor Strategis dan Kehutanan, Pertambangan dan Pertanian di Surabaya bulan Nopember 2002. Di dalam Program Penataan Pengelolaan Keuangan Daerah, hasil yang telah dicapai yaitu: 1) Penyusunan manual dan pedoman keuangan daerah melalui: (1) penyusunan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) UU Pajak dan Retribusi Daerah; (2) penyusunan Data Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); (3) penataan Administrasi Pengelolaan Keuangan Daerah; (4) penataan Aset Pengelolaan Daerah/Barang Daerah; (5) penyusunan Pedoman Pengelolaan Pinjaman Daerah. 2) Memperbaiki instrumen keuangan daerah melalui: (1) pengalokasian dan penetapan Dana Perimbangan; (2) peningkatan Pelayanan kepada Masyarakat, Wajib Pajak dan Retribusi Daerah; (3) penyusunan Kepmendagri dan Otda No. 2 tahun 2001 tentang Penyertaan Modal Daerah pada Pihak II – 33 Ketiga; (4) aplikasi Sistem Keuangan Daerah; (5) penyusunan Sistem Akuntansi dan Pengendalian Anggaran (SAPA); (6) penyusunan Instrumen Evaluasi Dana Perimbangan; (7) penyusunan Kepmendagri No. 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD; II – 34 3) Pengkajian, pendataan dan perhitungan tentang keuangan daerah melalui: (1) penyusunan Studi Pengkajian Pengembangan Ekonomi Daerah dan Promosi Investasi; (2) penyediaan data dasar penghitungan bagi hasil sektor pertambangan umum, migas, kehutanan, perikanan; (3) penyusunan Kriteria dan Data untuk Penetapan Mekanisme Penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) Prasarana Pemerintahan dan Infrastruktur; (4) penyelenggaraan Pengkajian Prototipe Sistem dan Prosedur Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah. 4) Melaksanakan Monev melalui: (1) penyusunan Laporan Monev Bidang Keuangan Daerah. 5) Pelatihan tentang keuangan daerah melalui: (1) penyelenggaraan Training of Trainers (TOT) Sosialisasi dan Bintek Perencanaan Program dan Anggaran Daerah bagi Pejabat/Aparat di lingkungan Provinsi, Kabupaten/Kota; (2) penyediaan data dasar (jumlah pegawai, pendapatan dan belanja daerah, jumlah penduduk, luas wilayah dan indeks kemiskinan serta indeks harga bangunan) dalam rangka perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) Tahun Anggaran (T.A) 2003. Rekomendasi kepada Presiden 3) Bersamaan dengan pelaksanaan itu, bersama DPR RI, melakukan evaluasi secara menyeluruh pelaksanaan Pemerintahan Daerah, termasuk kemungkinan penyempurnaan UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta UU Pajak dan Retribusi Daerah. Pelaksanaan Rekomendasi Di dalam pelaksanaan rekomendasi ketiga, pemerintah bersama DPR RI tengah melakukan monev secara menyeluruh terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Hasil monev tersebut diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam memperbaiki pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu juga pemerintah telah membuka wacana-wacana yang mengarah terhadap kemungkinan-kemungkinan penyempurnaan UU yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2004. Beberapa permasalahan seperti soal-soal hubungan eksekutif dan legislatif, perancuan dan friksi-friksi dalam pemilihan kepala daerah, kerancuan dan dispute dalam hubungan legislatif-yudikatif, semua itu merupakan satu kesatuan proses dalam perwujudan pemerintahan yang demokratis-desentralistik. Oleh karenanya, pengawasan merupakan ujung tombak yang penting. Pengawasan secara komprehensif dalam sasaran fungsional, sampai kepada pengawasan mikro dalam konteks audit keuangan, misalnya. Kesemua upaya dan gambaran tersebut pada hakekatnya nanti akan memberikan gambaran lay-out implementasi dan hasil dari kebijakan desentralisasi di negara ini dan kesempatan untuk terus menerus melakukan koreksi dan penyesuaian. Fakta riil yang paling dekat ialah kebutuhan akan penyesuaian UU No. 22 tahun 1999 yang secara kongkrit berkaitan dengan II – 35 aspek-aspek pemilihan kepala daerah yang sudah perlu disesuaikan dengan cara pemilihan langsung termasuk dalam hal ini peran DPRD, juga dalam hal kewenangan dan kelembagaan, personil dan penyelenggaraan pengawasan serta dalam keuangan daerah dan pelayanan publik. Pada saat ini di jajaran pemerintah sedang dimatangkan formulasi penyesuaian tersebut untuk dicapai kesepakatan yang “firm” dan sesuai dengan jadwal, maka Ampres untuk penyempurnaan UU tentang pemerintahan daerah sudah disiapkan untuk diusulkan kepada DPR. Prinsip penting dalam substansi penyesuaian tersebut sama sekali tidak mengubah kebijakan yang mendasar yaitu kebijakan desentralisasi untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis-desentralistik. Selain itu, penataan kader partai di eksekutif melalui mekanisme pemilihan kepala daerah juga terus berlangsung, baik dalam proses pemilihan kepala daerah yang sudah ada dan tengah berjalan maupun dalam hal mengantisipasi kebutuhan akan spirit pemilihan kepala daerah secara langsung seperti telah disebutkan tadi. Terhadap masalahmasalah yang muncul dalam agenda pemilihan kepala daerah, dapat kita maknai sebagai bagian dari dinamika dan pembelajaran dalam proses politik. g. Persiapan Pemilihan Umum Dengan terjadinya perubahan UUD 1945, diperlukan persiapan yang memadai untuk melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) yang berkualitas. Rekomendasi kepada Presiden 1. II – 36 Bersama DPR RI, segera menyelesaikan, memprioritaskan serta merevisi UU Pemilu dan UU Partai Politik serta menyiapkan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD serta UU Kepresidenan sebagai tindak lanjut dari Perubahan UD 1945. 2. Segera menciptakan iklim yang kondusif di selurub tanah air, khususnya di daerah-daerah yang mengalami konflik agar siap mengikuti pemilihan umum yang akan datang, termasuk memperbaiki sistem administrasi kependudukan agar lebih akurat, lebih efisien, dan efektif. 3. Segera menciptakan sistem pengenal tunggal dan terpadu (kartu tanda penduduk), atau nomor induk tunggal dan terpadu bagi seluruh penduduk Indonesia dari lahir hingga meninggal dunia, dan dengan nomor yang sama digunakan pula pada pasport, surat izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, dan kartu pengenal lainnya. Pelaksanaan Rekomendasi Dalam rangka mendukung pelaksanaan pemilu, telah diselesaikan paket peraturan perundang-undangan bidang politik, yaitu UU No. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik, dan UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu yang mengatur tatacara pelaksanaan Pemilu bagi anggota legislatif, UU tentang Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil Presiden serta UU mengenai Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Diharapkan pelaksanaan peraturan perundangan tersebut dapat diwujudkan secara nyata dalam pelaksanaan Pemilu 2004 mendatang. Lebih jauh dapat disampaikan bahwa makna penting dengan lahirnya berbagai peraturan perudangan di bidang politik tersebut adalah telah tersedianya kebijakan politik yang antara lain dapat memberikan arah peran suprastruktur politik dan infrastruktur politik dalam menjalankan mekanisme politik yang lebih ideal; dalam menjalankan proses konsolidasi demokrasi menuju tatanan sistem politik demokrasi sebagaimana yang diharapkan. Dengan adanya paket perundangan tersebut juga telah lebih menjamin aktualisasi partai politik dalam mewujudkan tujuan dan II – 37 fungsinya dan melahirkan kader politik bangsa, serta memberikan ruang legitimasi bagi partai politik maupun kadernya dalam proses politik. Lahirnya UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden merupakan ciri format kedaulatan rakyat karena telah semakin memberikan ruang kepada rakyat untuk memilih secara langsung pemimpin bangsa ini. Perbaikan sistem pemilu dari sistem proporsional stelsel daftar menjadi sistem proporsional yang lebih terbuka telah juga memberikan ruang kepada rakyat dalam menentukan pilihannya sendiri secara langsung agar keterwakilannya dalam lembaga permusyawaratan dan perwakilan betul-betul merupakan keterwakilan yang utuh. Bangunan struktur politik telah terbentuk. Tantangan ke depan adalah tentang bagaimana melaksanakan peraturan perundangan tersebut secara konsisten, yang akan diuji antara lain dalam pelaksanaan Pemilu 2004 mendatang. Disamping itu, untuk mendukung penyelenggaraan Pemilu 2004 yang lebih demokratis, telah ditetapkan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen dan non partisan. Diharapkan anggota KPU tersebut dapat menjadi penggerak utama dalam meningkatkan kinerja lembaga KPU yang benar-benar independen dan non partisan serta bebas dari pengaruh birokrasi sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Disamping itu telah dibentuk pula Lembaga pelaksana Pemilu di Provinsi dan Kabupaten/Kota yang diharapkan menjadi institusi yang independen dan non partisan. Disamping itu upaya lainnya yang telah dilakukan adalah dibentuknya Lembaga Pengawas Pemilu (Panwaslu), yang diharapkan dapat mengawasi proses pelaksanaan Pemilu. Panwaslu tersebut juga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi terwujudnya Pemilu yang mendapatkan legitimasi baik dari masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional. II – 38 Proses pelaksanaan Pemilu khususnya pada daerah konflik merupakan hal yang memerlukan perhatian, oleh karenanya telah dilakukan upaya-upaya untuk menjamin pelaksanaan pemilu di daerah konflik sebaik-baiknya. Upaya untuk menciptakan suasana kondusif dalam pelaksanaan pemilu terus dilakukan antara lain melalui sosialisasi pengamanan pada masa kampanye dan pelaksanaan pemilu, penanaman kesadaran masyarakat tentang pelaksanaan pemilu yang aman, mendorong peran serta masyarakat dalam pemilu, pengamanan Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan pengamanan kotak suara. Proses pendaftaran pemilih dalam pemilu melalui metode Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B) merupakan upaya yang telah dilakukan khususnya bagi pendaftaran pemilih dan juga secara lebih luas akan digunakan untuk pembenahan sistem administrasi kependudukan termasuk rencana penggunaan sistem tunggal dan terpadu kependudukan. Untuk menghasilkan Pemilu yang demokratis pada saat ini proses sosialisasi pelaksanaan Pemilu sedang dilakukan secara intensif sampai dengan Maret 2004. Pemerintah menyadari perlunya sistem pengenal tunggal dan terpadu, namun demikian terdapat beberapa permasalahan yang perlu untuk ditindaklanjuti pemecahannya secara terpadu antar instansi baik di tingkat pusat maupun daerah, yang meliputi: (a) belum adanya landasan hukum yang memadai untuk mendukung sistim informasi kependudukan terpadu secara nasional; (b) belum tersedianya kelembagaan di tingkat pusat yang berwenang menetapkan kebijakan, pedoman, standarisasi pengelolaan database kependudukan nasional serta dokumen kependudukan yang bernilai hukum; (c) belum seragamnya elemen biodata dokumen kependudukan (formulir) secara nasional, sehingga menyulitkan dalam pembangunan aplikasi pelayanan dokumen secara elektronik (application software); dan (d) kesadaran masyarakat tentang Nomor Induk Kependudukan (NIK) masih kurang terutama berkaitan dengan proses II – 39 pendaftaran atau pencatatan kejadian vital yang merupakan elemen utama pengisian biodata NIK. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, pemerintah telah menyusun langkah-langkah kebijakan sebagai berikut: (a) menyusun peraturan perundang-undangan di bidang informasi kependudukan, yang telah diawali dengan pelaksanaan P4B; (b) membangun jejaring kelembagaan antar instansi terkait untuk koneksitas antar sistem informasi; (c) mengelompokkan daerah ke dalam tipologi untuk menata kelembagaan dan sumber daya informatikanya; (d) membangun sistem informasi kependudukan dengan metode paralel (mempertimbangkan sistem yang sudah terbangun di daerah) secara bertahap dan berkesinambungan untuk mengurangi resistensi sistem yang ada serta menekan biaya; (e) menstandarisasikan format input (elemen biodata) dan output (KTP, KK, akta) secara nasional yang sederhana namun memenuhi aspek hukum dan kependudukan (statistik vital); (f) mengembang-kan kerjasama dengan pusat-pusat penyiaran, penerbitan, dan pelayanan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi mewujudkan tertib administrasi kependudukan 2. Hukum dan Hak Asasi Manusia a. Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) belum dilaksanakan secara maksimal, antara lain, seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), bahkan terjadi peningkatan KKN baik di pusat maupun di berbagai daerah II – 40 Rekomendasi kepada Presiden 1) Segera menindaklanjuti semua amanat ketetapan MPR RI yang berkaitan dengan pemberantasan KKN seperti kasus BLBI Pelaksanaan Rekomendasi Dalam kasus BLBI, jumlah kasus yang ditangani adalah sebanyak 52 kasus, yaitu (a) kasus yang berasal dari laporan hasil temuan/audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)/ Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebanyak 48 kasus; dan kasus yang berasal dari temuan Kejaksaan Agung sebanyak 4 kasus. Penyelesaian kasus BLBI yang telah ditangani adalah: (a) masih dalam tahap penyelidikan sebanyak 13 kasus; (b) dihentikan penyelidikannya sebanyak 2 kasus; (c) masih dalam tahap penyidikan sebanyak 9 kasus; (d) dihentikan penyidikannya sebanyak 1 kasus; ditingkatkan ketahap penuntutan/ persidangan dari sebagaian telah dijatuhi hukum oleh pengadilan sebanyak 22 kasus; dan belum ditangani (bank take over) sebanyak 5 kasus. Rekomendasi kepada Presiden 2) Bersama DPR RI, segera menyelesaikan UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Kebebasan Memperoleh Informasi. Pelaksanaan Rekomendasi UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah disahkan menjadi UU No. 30 tahun 2002 pada tanggal 27 Desember 2002. Untuk menindaklanjuti pelaksanaan UU tersebut dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia telah dibentuk Tim Pengarah Persiapan Pengangkatan Keanggotaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sampai dengan saat II – 41 ini pemerintah telah membuat Keppres tentang Tim Seleksi Pengangkatan Anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terkait dengan upaya membentuk UU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi, Pemerintah telah membuat Konsep Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kebebasan Memperoleh Informasi dan DPR RI juga membuat Konsep RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPR RI apabila terdapat 2 RUU yang diajukan secara bersamaan maka yang dibahas adalah RUU yang diinisiasi oleh DPR RI, sedangkan konsep RUU dari Pemerintah akan menjadi sandingan untuk dibahas bersama dengan DPR RI. Sampai dengan tanggal 23 Juni 2003 RUU tersebut masih dalam pembahasan di DPR RI. Rekomendasi kepada Presiden 3) Meninjau dan mencabut semua Keppres yang pembentukan dan materi muatannya diduga merupakan hasil rekayasa KKN. Pelaksanaan Rekomendasi Sejauh ini yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan kajian-kajian dan penelitian untuk mengkaji ulang berbagai Keppres yang pembentukan dan materi muatannya diduga merupakan hasil rekayasa KKN kerjasama antara Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mengkaji ulang Keppres yang dikeluarkan sejak tahun 1970–1991 dan dilaksanakan sendiri oleh LSM untuk Keppres yang dikeluarkan sejak tahun 1992 sampai dengan tahun 1998. b. Penegakan dan Kepastian Hukum Masih rendahnya komitmen aparat penegak hukum dan instansi terkait untuk menegakkan hukum dalam tindak kejahatan yang jelas-jelas merugikan keuangan negara, sumber daya alam, II – 42 perbankan, dan kejahatan lain yang mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat serta merusak moral bangsa, termasuk kejahatan dan kekerasan terhadap perempuan. Di samping itu, masih banyak terjadi ketidakpastian hukum, baik karena pelanggaran terhadap hukum yang ada maupun lemahnya berbagai ketentuan perundang-undangan yang ada. Rekomendasi kepada Presiden 1) Melanjutkan upaya pemberantasan KKN di bidang penegakan hukum Pelaksanaan Rekomendasi Dalam rangka melanjutkan upaya pemberantasan KKN di bidang penegakan hukum, sejauh ini langkah yang dilakukan adalah dengan melaksanakan pengendalian perkara dalam tindak pidana khusus terkait dengan penanganan perkara, delegasi wewenang, akuntabilitas dan transparansi, khususnya di Kejaksaan Agung. Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan Agung periode Januari Tahun 2002 sampai dengan Bulan April Tahun 2003 adalah sebagai berikut: (a) Tahap Penyidikan, sebanyak 733 perkara, (b) Tahap Penuntutan sebanyak 522 perkara, (c) Tahap Upaya Hukum dalam bentuk (a) Perlawanan sebanyak 6 perkara; (b) Banding, sebanyak 318 perkara; (c) Kasasi, sebanyak 502 perkara; (d) Peninjauan Kembali, sebanyak 38 perkara; dan (d) Tunggakkan Uang Pengganti, sebanyak Rp941.246.592.132,00. Rekomendasi kepada Presiden 2) Meningkatkan sarana dan prasarana aparat penegak hukum serta kesejahteraannya. II – 43 Pelaksanaan Rekomendasi Sejauh ini upaya pemerintah untuk meningkatkan sarana dan prasarana aparat penegak hukum serta kesejahteraannya terus menerus dilakukan dan pemerintah dalam hal ini menyadari bahwa rendahnya kesejahteraan aparat penegak hukum juga menjadi salah satu penyebab timbulnya korupsi dikalangan aparat penegak hukum. Oleh karena itu dengan keterbatasan penganggaran dan sarana serta prasarana yang ada upaya peningkatan tetap dilakukan walaupun belum memadai dari yang dibutuhkan. Rekomendasi kepada Presiden 3) Mewujudkan budaya dan kesadaran hukum kepada masyarakat baik melalui pendidikan formal maupun non-formal, termasuk teladan dari penyelenggara negara 4) Seluruh upaya penegakan hukum untuk memberikan kepastian hukum harus dilakukan oleh semua pihak, terutama oleh aparat dan lembaga-lembaga penegak hukum Pelaksanaan Rekomendasi Upaya meningkatkan budaya dan kesadaran hukum kepada masyarakat sejauh ini secara terus menerus dilakukan terutama melalui instansi hukum yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang penyuluhan hukum yaitu Departemen Kehakiman dan HAM, Lembaga Peradilan, Kejaksaan Agung dan Polri bekerjasama dengan LSM. Walaupun hasilnya belum terlihat secara konkrit, namun upaya peningkatan kesadaran dan budaya hukum akan terus menerus dilakukan. Terkait dengan upaya penegakan hukum dalam rangka memberikan kepastian hukum aparat dan lembagalembaga penegak hukum, Pemerintah secara terus menerus II – 44 berupaya untuk meningkatkan koordinasi lembaga penegak hukum baik dalam rangka meningkatkan persamaan persepsi dalam rangka penanganan perkara maupun dalam rangka menghindari tumpang tindih kewenangan yang seringkali menjadi penghambat upaya penegakan hukum. Rekomendasi kepada Presiden 5) Bersama DPR RI, perlu segera merevisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang ada Pelaksanaan Rekomendasi Upaya melaksanakan revisi UU No. 8 tahun 1998 telah dilakukan cukup lama, namun karena kendala-kendala teknis antara lain terkait dengan benturan kepentingan antara kepolisian dan kejaksaan kaitannya dengan masalah kewenangan penyidikan; dan konsepsi mengenai Sistem Pengadilan Pidana Terpadu (SPPT). Diharapkan dalam Repeta Tahun 2004, pembahasan KUHAP dapat mulai dilaksanakan bersama antara DPR RI dan Pemerintah. Rekomendasi kepada Presiden 6) Pemerintah perlu segera menyerahkan tugas-tugas pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan badan-badan peradilan sebagai pelaksanaan UU No. 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undangundang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. 7) Untuk meningkatkan eksistensi dan kinerja Mahkamah Agung, UU No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung perlu segera diselesaikan revisinya. II – 45 Pelaksanaan Rekomendasi Dalam rangka pembinaan satu atap yang terkait dengan tugas-tugas pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan badan-badan peradilan sebagai pelaksanaan UU No. 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, sejauh ini Pemerintah (c.q. Departemen Kehakiman dan HAM) bersama-sama dengan Mahkamah Agung telah melakukan berbagai langkah-langkah persiapan dalam rangka peralihan tersebut kepada Mahkamah Agung. Selain itu juga sedang dilakukan penyempurnaan terhadap UU di lingkungan peradilan seperti UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum, UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; UU No. 5 tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; UU No. 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan; dan UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Ditargetkan bersama oleh Pemerintah dan DPR RI untuk menyelesaikan revisi undang-undang tersebut pada akhir tahun 2003, agar percepatan peralihan satu atap dapat segera dilakukan. c. Penyelesaian Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia belum dilaksanakan secara cepat, adil, tuntas dan transparan bahkan masih terkesan lamban dan diskriminatif sehingga belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Rekomendasi kepada Presiden Segera menyelesaikan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara-perkara dugaan pelanggaran HAM II – 46 Pelaksanaan Rekomendasi Kasus pelanggaran HAM berat yang selama ini ditangani oleh Kejaksaan Agung adalah sebagai berikut: a. Kasus pelanggaran HAM yang Berat di Tanjung Priok, penyidikan telah diselesaikan dan akan memasuki proses penuntutan dengan 14 orang tersangka. b. Kasus pelanggaran HAM Berat di Abepura Papua, telah diselesaikan penyidikan dan sedang dilakukan pemberkasan perkara dengan 2 orang tersangka c. Kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur, terdapat 12 orang tersangka, dan yang telah diputus oleh Pengadilan HAM Ad-Hoc Jakarta Pusat sebanyak 11 perkara, sedangkan 1 perkara masih dalam proses persidangan; d. Kasus tewasnya wartawan Belanda Sander Robert Thoenes, dalam tahap penyidikan dan telah memeriksa 37 orang saksi, serta dari hasil penyidikan belum ditemukan tersangka/para pelaku e. Kasus Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II. Hasil penyelidikan Komnas HAM, telah dikembalikan kepada Komnas HAM untuk dilengkapi syarat formil dan meteriil. Selanjutnya Komnas HAM telah mengambalikan berkas penyelidikan kasus Trisakti dan Semanggi II, dan sekarang Satgas HAM Kejaksaan Agung sedang meneliti berkas tersebut. Selain itu juga telah diterbitkan PP No. 2 tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi, dalam Perkara Pelanggaran HAM Berat; PP No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat; PP No. 24 tahun 2003 II – 47 tentang Tata Cara perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme. d. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Amanat Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, khususnya mengenai pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi belum direalisasi. Rekomendasi kepada Presiden Bersama DPR RI, membentuk UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Pelaksanaan Rekomendasi RUU tersebut merupakan inisiatif Pemerintah dan telah disampaikan kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. e. Terorisme Makin meningkat tindakan-tindakan terorisme yang mengancam keamanan negara dan mengganggu ketenangan dan kehidupan masyarakat. Rekomendasi kepada Presiden Bersama DPR RI, segera menyusun dan menetapkan UU tentang Anti Terorisme, yang definisi serta imperaktif penanganannya menggambarkan kemandirian dan kedaulatan NKRI. Pelaksanaan Rekomendasi Tragedi bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 telah dicatat dalam agenda Dewan Keamanan PBB pada Resolusi No. 1438 tanggal 14 Oktober 2002, merupakan aksi terorisme internasional. Disamping itu, terjadinya beberapa aksi II – 48 peledakan dan ancaman bom yang terjadi di beberapa tempat baik di dalam maupun luar negeri merupakan indikasi adanya upaya dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menciptakan keresahan di tengah masyarakat. Kondisi tersebut dapat menimbulkan hambatan bagi tercapainya rasa aman dan tenteram bagi masyarakat, bahkan bila berkelanjutan dikhawatirkan dapat mengancam kelangsungan hidup bangsa dan NKRI. Berkenaan dengan hal tersebut, maka perlu ditingkatkan kemampuan untuk mencegah dan mengatasi ancaman terorisme yang dapat mengganggu kedaulatan dan keselamatan NKRI. Untuk itu telah ditempuh beberapa upaya seperti inventarisasi kasus terorisme, koordinasi dan komunikasi internasional dalam penyelesaian kasus terorisme, membentuk perjanjian ekstradisi dengan berbagai negara, membentuk aturan perlindungan terhadap warga negara yang didiskreditkan sebagai negara terorisme, serta mengungkap jaringan terorisme. Berkaitan dengan pengungkapan jaringan terorisme, maka telah diupayakan peningkatan bobot intelijen dengan memperkuat dan meningkatkan administrasi intelijen yang handal, professional, efektif, efisien dan tanggap terhadap aspirasi dan dinamika lingkungan strategis secara nasional, regional dan internasional. Upaya tersebut didukung dengan menyelenggarakan tukar menukar informasi intelijen melalui Bilateral Exchange of Information and Intelligence maupun Multilateral Exchange of Information and Intelligence, serta meningkatkan prasarana dan sarana melalui pengadaan intelligence device. Mengingat terorisme tidak dapat dilawan tanpa landasan hukum dan perundang-undangan, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 tahun 2002, disahkan menjadi UU No. 15 tahun 2003 dan UU No. 16 tahun 2003. II – 49 Kendati langkah-langkah untuk menanganinya cukup responsif dan proses investigasinya cukup cepat dengan hasil yang amat baik, namun permasalahan terorisme belum sepenuhnya dapat diatasi. Oleh karena itu perlu ditingkatkan langkah-langkah intensif dimasa yang akan datang. f. Reformasi Birokrasi Kultur birokrasi yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara sering merugikan dan menjadi beban masyarakat dan negara. Rekomendasi kepada Presiden Membangun kultur birokrasi Indonesia yang transparan, akuntabel, bersih dan bertanggung jawab serta dapat menjadi pelayan masyarakat, abdi negara, contoh dan teladan masyarakat. Pelaksanaan Rekomendasi Fungsi birokrasi pemerintah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat harus berjalan secara paralel dalam pelaksanaan tugas pemerintahan umum dan pembangunan. Untuk mendorong ke arah tersebut diperlukan adanya upaya untuk membangun kultur birokrasi Indonesia yang transparan, akuntabel, bersih dan bertanggungjawab serta dapat menjadi pelayan masyarakat secara adil dan tidak diskriminatif. Berkaitan dengan hal tersebut, telah ditetapkan Inpres No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Inpres tersebut mewajibkan kepada setiap instansi pemerintah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan negara untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian yang menjadi tugas dan fungsinya secara bertanggungjawab. Pertanggungjawaban kinerja instansi pemerintah ini disusun dalam bentuk laporan yang disampaikan kepada Presiden. II – 50 Pelaksanaan dari Inpres tersebut telah mendapat perhatian yang cukup besar baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Ini tercermin dari tingginya kesertaan instansi pemerintah dalam menyusun Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Pelaksanaan LAKIP di instansi pemerintah pusat sampai dengan 2002, masing-masing untuk Departemen dan Kementrian Negara telah mencapai 70 persen, sedangkan untuk LPND telah mencapai 68 persen. Penyampaian LAKIP dari pemerintah daerah adalah untuk pemerintah provinsi telah disampaikan sebanyak 10 provinsi (33 persen), dan dari pemerintah Kabupaten/Kota sebanyak 56 Kabupaten (21 persen) dan 19 Kota (23 persen). Lebih lanjut dalam upaya peningkatan penataan kembagaan di daerah, untuk lebih memaksimalkan tugas dan fungsi pemerintahan di daerah telah ditetapkan PP No. 84 tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Namun dalam pelaksanaannya PP tersebut justru berdampak pada makin banyaknya jumlah kelembagaan di lingkungan Pemda, yang kemudian dilakukan penyempurnaan dengan dikeluarkannya PP No. 8 tahun 2003. PP tersebut dimaksudkan untuk melakukan efesiensi dan efektivitas kelembagaan di daerah dengan memberdayakan perangkat pemerintah daerah dalam melaksanakan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Dari PP tersebut, pembentukan kelembagaan di Provinsi dan Kabupaten/Kota dan organisasi pemerintah daerah diharapkan akan semakin efektif sesuai dengan tugas dan fungsinya, sekaligus akan terjadi perampingan organisasi di lingkungan pemerintah daerah. Demikian pula di tingkat Pemerintah Pusat, telah dilakukan penyusunan RUU Kementerian Negara. Upaya tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menyusun struktur kementerian yang efektif, fleksibel, ramping dan akuntabel. II – 51 Di bidang ketatalaksanaan, telah dikeluarkan PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. PP tersebut merupakan pembagian tugas yang jelas antara pusat dan provinsi, agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan manajemen pemerintahan. Di bidang peningkatan kapasitas SDM, upaya meningkatkan kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil (PNS) terus-menerus dilakukan, terakhir dengan dikeluarkannya PP No. 11 tahun 2003 tentang Perubahan atas PP No. 7 tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP No. 26 tahun 2001. Namun demikian kenaikan tersebut masih dirasakan sangat kecil bila dibandingkan dengan tingkat kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Kemudian dalam rangka memantapkan netralitas PNS terhadap partai politik telah dijamin di dalam UU No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Demikian pula telah disusun RUU tentang Etika Aparatur Negara. Di samping itu dalam upaya meningkatkan kompetensi aparatur negara telah dikembangkan berbagai diklat gelar dan non gelar, baik di dalam maupun di luar negeri, serta diklat kepemimpinan, fungsional dan teknis. Keseluruhan upaya-upaya ini selain diharapkan akan dapat meningkatkan kinerja aparatur, juga diharapkan akan dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi birokrasi dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya secara transparan, akuntabel, bersih dan bertanggung jawab. II – 52