bahan pidato presiden

advertisement
BAB II
BIDANG POLITIK DAN KEAMANAN
1.
Politik dan Keamanan
a.
Ancaman Disintegrasi dan Daerah Konflik
Potensi ancaman disintegrasi bangsa melalui gerakan politik
dan bersenjata di beberapa daerah yang mengancam keutuhan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) perlu diselesaikan
secara tuntas dan menyeluruh.
1)
Konflik di Nanggroe Aceh Darussalam
Konflik di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
merupakan ancaman disintegrasi bangsa yang serius dan dapat
mengancam kedaulatan NKRI. Penyelesaian konflik melalui
dialog dan perundingan yang telah dilakukan selama ini perlu
ditindaklanjuti sehingga mencapai kemajuan yang lebih
signifikan.
Pembentukan Undang-undang (UU) Otonomi Daerah
Khusus NAD merupakan landasan hukum yang mengikat bagi
II – 1
pemecahan ketidakpuasan masyarakat untuk memenuhi rasa
keadilan, kehormatan, kesejahteraan, dan diharapkan dapat
mendorong penyelesaian yang adil dan bermartabat.
Pelaksanaan UU NAD belum dilaksanakan sebagaimana
mestinya sehingga kontribusinya bagi penyelesaian konflik
belum memperlihatkan hasil yang signifikan.
Rekomendasi kepada Presiden
II – 2
1.
Meneruskan dialog dan perundingan dengan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) dan semua komponen
masyarakat Aceh untuk mendapatkan kesamaaan
pandangan bagi penyelesaian konflik secara damai,
berkeadilan, bermartabat, dan konstitusional dalam
rangka
menjaga
keutuhan
wilayah
NKRI.
Perundingan dan dialog itu harus mencapai
kesepakatan
penghentian
permusuhan
untuk
kemudian dengan sungguh-sungguh dan konsekuen
dipatuhi dan dilaksanakan di semua tingkatan dan
tempat. Perundingan dan dialog yang selama ini
berlangsung di luar negeri agar selanjutnya
diupayakan untuk dilaksanakan di dalam negeri.
2.
Mempercepat pemulihan kehidupan sosial ekonomi
dengan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi
partisipasi masyarakat setempat, tanpa kecuali,
sehingga terwujud pembangunan di semua sektor dan
perluasan kesempatan kerja.
3.
Melakukan penegakkan hukum serta menyelesaikan
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi
selama Aceh secara de facto dijadikan daerah operasi
militer dan pasca operasi militer serta pelanggaran
hukum lainnya dengan membentuk Komisi Penyelidik
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) dan
Peradilan HAM Ad Hoc untuk kasus dan pelanggaran
hak asasi manusia.
4.
Segera mewujudkan jaminan keamanan masyarakat
dari segala macam ancaman dan gangguan dengan
pendekatan proporsional, professional, dan kultural
sehingga anggota masyarakat dapat melaksanakan
aktivitasnya, terutama di sektor ekonomi, pendidikan,
dan peribadatan.
5.
Mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu
untuk menjamin efektivitas pemerintahan daerah
sehingga UU NAD dapat dilaksanakan secara
komprehensif dan dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat.
Pelaksanaan Rekomendasi
Dalam menangani permasalahan Aceh, berbagai
upaya yang dilakukan selama ini selalu berusaha
mengedepankan cara-cara damai melalui dialog dan
perundingan dengan kelompok GAM dan seluruh komponen
masyarakat Aceh.
Hasil penting yang dicapai adalah ditandatanganinya
Perjanjian Damai pada tanggal 9 Desember 2002. Sesuai
perjanjian tersebut dalam 7 bulan pertama sejak perjanjian
damai ditandatangani, wilayah Provinsi NAD akan memasuki
tahap demiliterisasi yang dibagi dalam dua tahap, yaitu 2
bulan pertama untuk membangun rasa saling percaya dan 5
bulan berikutnya adalah tahap peletakan senjata, bersamaan
dengan relokasi dan penyesuaian tugas satuan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia
(Polri). Dalam menindaklanjuti perjanjian tersebut, telah
disusun 5 agenda pelaksanaan, yaitu (i) pemeliharaan dan
penguatan perdamaian; (ii) bantuan kemanusiaan dan
rehabilitasi sosial; (iii) pelaksanaan proses politik yang
demokratis; (iv) rekonstruksi ekonomi, dan (v) rekonsiliasi
dan society building.
II – 3
Namun perkembangan terbaru menunjukkan bahwa
pelaksanaan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA)
sebagai konsep dasar perjanjian penghentian permusuhan
telah dilanggar di wilayah Provinsi NAD. Tahapan
demiliterisasi berupa peletakan senjata tidak dapat
dilaksanakan secara efektif yang kemudian menimbulkan
stabilitas politik di wilayah Aceh menghangat. Dalam
merespon situasi tersebut, beberapa strategi penting telah
disusun oleh seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah
bersama-sama dengan unsur masyarakat Aceh untuk tetap
mempertahankan dan memelihara perdamaian di Provinsi
NAD, termasuk upaya mengadakan pertemuan Joint Council
Meeting (JCM) yang rencananya akan dilaksanakan pada
tanggal 25 April 2003 di Genewa-Swiss, yang kemudian
gagal untuk dilaksanakan. Perundingan JCM dengan pihak
GAM akhirnya dapat dilaksanakan pada tanggal 18 Mei 2002
di Tokyo Jepang dan menemui jalan buntu, yang kemudian
melahirkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 28 Tahun
2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan
Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Langkah darurat militer ini merupakan pilihan
terakhir yang harus diambil mengingat rangkaian upaya damai
yang dilakukan pemerintah, baik melalui penetapan otonomi
khusus untuk Provinsi NAD, pendekatan terpadu dalam
rencana pembangunan yang komprehensif, maupun dialog
yang bahkan dilakukan di luar negeri sekalipun, ternyata tidak
menghentikan niat dan tindakan GAM untuk memisahkan diri
dari NKRI dan menyatakan kemerdekaannya.
Pelaksanaan keadaan darurat militer tersebut
dilakukan melalui operasi terpadu yang meliputi operasi
kemanusiaan, operasi penegakan hukum, operasi pemantapan
jalannya pemerintahan, serta operasi pemulihan keamanan.
Masa berlaku penetapan situasi darurat militer ini adalah 6
bulan sejak tanggal 19 Mei 2003.
Pelaksanaan darurat militer dinilai cukup berhasil
meskipun ratusan bangunan sekolah telah terbakar dan ratusan
II – 4
jiwa melayang, ruang gerak GAM semakin mengecil serta
rasa aman dan terlindungi semakin dapat dirasakan oleh
masyarakat Aceh.
Langkah penegakan hukum dan penyelesaian masalah
pelanggaran HAM di Aceh telah dilakukan walaupun belum
maksimal. Hal ini dikarenakan perhatian pemerintah saat ini
terpusat pada Operasi Terpadu dalam rangka Darurat Militer.
Rehabilitasi sarana dan prasarana fisik, perlindungan terhadap
warga sipil, pemberian bantuan pangan dan obat-obatan, serta
penanganan pengungsi dilaksanakan secara bersamaan dengan
operasi pemulihan keamanan.
2)
Masalah Papua
Keamanan dan ketertiban masyarakat belum
sepenuhnya dapat diwujudkan sebagai akibat belum
tersosialisasinya UU Otonomi Khusus Papua secara cepat dan
merata serta belum tuntasnya penyelesaian pelanggaran
hukum dan HAM yang pernah terjadi di wilayah Papua.
Rekomendasi kepada Presiden
1.
Segera mendorong aparat pemerintah daerah provinsi,
kabupaten,
dan
kota
untuk
secepatnya
mensosialisasikan dan mengimplementasikan UU
Otonomi Khusus Papua.
2.
Segera menuntaskan berbagai kasus pelanggaraan
hukum dan HAM dengan membentuk KPP HAM dan
Peradilan HAM Ad Hoc.
Pelaksanaan Rekomendasi
UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Papua merupakan hasil kompromi yang bersifat maksimal
bagi kehidupan yang damai, maju, sejahtera, dan berkeadilan
bagi provinsi dan masyarakat Papua dalam wadah NKRI. UU
II – 5
No. 21 tahun 2001 tersebut secara substansial mengatur
hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, memberi ruang
bagi aktualisasi kehidupan politik dan pertumbuhan ekonomi
serta hal lain yang berkaitan dengan prinsip keadilan dan hak
masyarakat asli Papua. Oleh sebab itu, semua pihak
berkewajiban untuk memasyarakatkan UU Otonomi Khusus
tersebut secara luas, dan memahaminya sebagai bagian dari
solusi yang penting bagi upaya penyelesaian masalah, serta
menjadikannya sebagai pegangan hukum penyelenggaraan
kehidupan pemerintahan di Provinsi Papua.
Pada tanggal 27 Januari 2003 telah dikeluarkan
Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 2003 tentang
Percepatan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 45 tahun
1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah,
Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten
Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Inpres
No. 1 tahun 2003 tersebut merupakan wujud operasional
kebijakan untuk memperkuat manajemen pemerintah dan
memperkuat fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat.
Prinsipnya Inpres tersebut adalah upaya mendekatkan
pelayanan
kepada
masyarakat,
memperkuat
serta
mempercepat
distribusi
pembangunan,
dan
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berbagai kegiatan sosialisasi atas UU No. 21 tahun
2001 tersebut telah dilakukan, baik yang ditujukan kepada
tokoh adat, keagamaan, sosial dan masyarakat Papua maupun
kepada masyarakat pada umumnya. Disamping itu, saat ini
masih sedang dilakukan persiapan penyusunan RPP sebagai
penjabaran dari kurang lebih 38 pasal dan ayat dalam UU No.
21 tahun 2002 tersebut.
Khusus yang terkait dengan Majelis Rakyat Papua
(MRP), masih sedang dibahas secara intensif dan disiapkan
antara lain mengenai tata cara pemilihan anggota MRP,
kelengkapan kelembagaan MRP, kedudukan keuangan MRP,
pelaksanaan hak MRP, serta syarat dan jumlah anggota MRP.
II – 6
Dalam penyelesaian masalah pelanggaran HAM, telah
dilakukan upaya-upaya hukum seperti pelaksanaan proses
pengadilan militer bagi pembunuhan Ketua Presidium Dewan
Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay.
Selain itu, sebagai bagian dari Kawasan Timur
Indonesia (KTI), Provinsi Papua termasuk daerah yang
dipercepat pembangunannya secara terpadu berdasarkan
Inpres No. 7 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan
Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Kawasan Timur
Indonesia. Pemercepatan Pengembangan KTI adalah untuk
mewujudkan KTI sebagai kawasan yang maju, berkelanjutan,
mempunyai kesetaraan akses ekonomi dan keberdayaan antar
kawasan serta menjadi bagian tatanan global dalam kerangka
NKRI. Inpres tersebut menginstruksikan para Menteri, Kepala
LPND dan Para Gubernur, Bupati dan Walikota di KTI untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna
terlaksananya percepatan pembangunan KTI dengan
berpedoman pada Kebijakan dan Strategi Nasional Percepatan
Pembangunan KTI.
3)
Masalah Poso, Maluku, dan Maluku Utara
Penanganan penyelesaian berbagai permasalahan dan
konflik yang terjadi belum menyentuh akar persoalan dan
terlaksananya butir-butir di dalam perjanjian Malino I dan
Malino II untuk Poso dan Maluku sehingga masih
menimbulkan ketidakpuasan masyarakat dan kecemburuan
sosial yang berakibat belum tuntasnya upaya rekonsiliasi,
rehabilitasi, dan perdamaian.
Sementara itu, Maluku Utara sudah menunjukkan
tanda-tanda yang kondusif bagi pemulihan kehidupan
masyarakat, tetapi masih mengandung potensi konflik karena
belum tuntasnya penanganan kepemimpinan di daerah dan
penataan pengungsi.
II – 7
Rekomendasi kepada Presiden
1.
Segera menindaklanjuti hasil perjanjian Malino I dan
Malino II secara utuh, komprehensif, dan konsekuen.
2.
Segera melakukan rekonsiliasi sosial, rehabilitasi fisik
dan nonfisik, serta penanganan pengungsi dengan
penyediaan dana yang cukup memadai dengan
anggaran khusus.
3.
Segera menuntaskan kepemimpinan daerah yang
definitif sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan penataan pengungsi di daerah
Provinsi Maluku Utara.
Pelaksanaan Rekomendasi
Secara umum, penanganan konflik komunal di Poso
Sulawesi Tengah, Maluku Utara dan Ambon Maluku banyak
mengalami kemajuan dalam pelaksanaannya, dan situasi
politik telah berkembang semakin membaik. Hal ini ditandai
dengan lancarnya roda perekonomian dan pemerintahan.
Untuk tetap menjaga situasi yang kondusif tersebut, upaya
yang dilakukan oleh pemerintah adalah menindaklanjuti
Kesepakatan Malino I dan Malino II sebagai wujud komitmen
pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan di Poso dan
Maluku. Adapun upaya-upaya tersebut adalah:
1.
II – 8
Meningkatkan kesadaran masyarakat Poso dan
Maluku agar mampu mengenali secara dini pola-pola
provokasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok
yang tidak menerima Deklarasi Malino, baik dari
kelompok Islam maupun Kristen, maupun dari
kelompok lain di luar kedua kelompok di atas (oknum
aparat, gerakan separatis dan unsur-unsur subversif
lainnya).
2.
Memprioritaskan pembentukan Tim Investigasi
Independen yang mengusut awal terjadinya tragedi
kemanusiaan di Poso dan Maluku, termasuk
kemungkinan pelanggaran HAM berat yang
melibatkan oknum-oknum pemerintahan, birokrasi,
militer, pemimpin agama, politisi, dan pemimpin adat.
3.
Mengutamakan proses penyelesaian hukum secara
tegas dan komprehensif, baik melalui peradilan biasa
maupun peradilan HAM ad hoc, demi penegakan
hukum dan keadilan, serta sebagai upaya preventif
bagi terulangnya tragedi yang sama di masa-masa
mendatang.
Dengan semakin kondusifnya kondisi keamanan dan
ketertiban di Provinsi Maluku Utara, pemerintah mencabut
keadaan darurat sipil di Provinsi Maluku Utara melalui
Keppres No. 27 tahun 2003 yang efektif berlaku mulai tanggal
17 Mei 2003. Sedangkan untuk Provinsi Maluku masih
diberlakukan keadaan darurat sipil karena terdapat beberapa
daerah yang masih kurang kondusif.
Melalui penetapan kepemimpinan di Provinsi Maluku
Utara dengan Thaib Armayn sebagai Gubernur dan Madjid
Abdullah sebagai Wakil Gubernur berdasarkan Keppres No.
226/M/2002 tanggal 21 Oktober 2002 diharapkan akan turut
mendorong percepatan pelaksanaan rekonsiliasi sosial dan
rehabilitiasi fisik dan non fisik di daerah tersebut.
Untuk mempercepat pemulihan keadaan sosial dan
ekonomi wilayah Maluku dan Maluku Utara, akan diterbitkan
Inpres tentang Pembangunan Maluku dan Maluku Utara.
Sasaran penanganan khusus daerah Maluku dan Maluku Utara
difokuskan pada percepatan pemulihan kehidupan masyarakat
dengan berfungsinya kembali prasarana dan sarana sosial,
ekonomi dan pemerintahan di daerah-daerah tersebut. Sebagai
bagian dari KTI, Provinsi Maluku dan Maluku Utara juga
diperlakukan secara khusus sesuai dengan Kebijakan dan
II – 9
Strategi Nasional Percepatan Pembangunan KTI yang
ditetapkan dan akan mulai efektif dilaksanakan pada tahun
2004.
4)
Masalah Sampit, Kalimantan Tengah
Tetap terganggunya keamanan dan ketertiban
masyarakat sebagai akibat tidak adanya langkah konkret dari
pemerintah dalam menuntaskan korban konflik Sampit
sehingga pengungsi korban konflik yang tampaknya terus
berdatangan secara diam-diam masih dianggap sebagai
ancaman terselubung bagi masyarakat lokal sehingga tetap
menimbulkan gejolak sosial yang dikuatirkan akan
menimbulkan ledakan baru yang lebih dahsyat.
Rekomendasi kepada Presiden
Pemerintah diminta segera secara serius menangani
potensi konflik ini, terutama dalam rangka melindungi
penduduk lokal dan pendatang yang secara turun-temurun
telah berdomisili di Kalimantan Tengah.
Pelaksanaan Rekomendasi
Dalam upaya menyelesaikan konflik horizontal
(antarsuku) khususnya di Sampit, Kalimantan Tengah, maka
kegiatan diutamakan pada penciptaan rasa aman dan damai
bagi masyarakat melalui usaha pembauran nilai-nilai budaya
setempat. Sehingga terjadi proses akulturasi budaya di dalam
masyarakat yang bersangkutan. Proses ini sekaligus
merupakan penjabaran sosialisasi wawasan kebangsaan.
Dalam mengatasi konflik di Sampit telah dilakukan
pendekatan melalui pembangunan keamanan negara yang
bertujuan untuk membangun kekuatan dan kemampuan
keamanan serta mewujudkan penyelenggaraan sistem
keamanan yang mampu melindungi seluruh rakyat Indonesia
dari gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat serta
II – 10
gangguan keamanan dalam negeri, dengan mendayagunakan
secara optimal dan terpadu segenap komponen kekuatan
keamanan negara.
Disamping itu, dalam rangka menciptakan kondisi
keamanan yang kondusif telah diupayakan kerjasama antara
semua komponen bangsa. Sebagaimana sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta yang bersifat total dengan bertumpu
pada kekuatan rakyat dan kekuatan kewilayahan, maka peran
serta segenap komponen bangsa dalam menciptakan kondisi
keamanan negara yang mampu memberikan rasa keamanan
dan keadilan bagi warga masyarakat ditempuh melalui upaya
pembentukan sikap dan perilaku kebangsaan dalam rangka
Ketahanan Nasional serta penyempurnaan perangkat
perundangan dan peraturan yang berkaitan dengan sistem,
proses dan metode yang akan digunakan sebagai landasan
operasional dan pembinaan sistem keamanan negara.
Dalam rangka menumbuhkan suasana kondusif di
wilayah Kalimantan yang didasari sikap toleran dan saling
pengertian, telah dilakukan berbagai upaya tindak lanjut
pelaksanaan hasil Dialog Musyawarah Damai Anak Bangsa di
Bumi Kalimantan, Kongres Rakyat Kalimantan Tengah dan
Jawa Timur, Musyawarah Besar Pengungsi Korban
Kerusuhan Kalimantan Tengah, serta Musyawarah Besar
Rakyat Kalimantan.
b.
Tindakan Anarkis
Penyalahgunaan kebebasan atas nama demokrasi dan hak
asasi manusia dalam segala bentuk, termasuk penyalahgunaan
kebebasan pers dan penyiaran serta kekuasaan yang dapat
dikategorikan sebagai tindakan anarkis, masih terus berlanjut yang
menghambat pertumbuhan demokrasi dan melanggar hak asasi
manusia.
II – 11
Rekomendasi kepada Presiden
1.
Menindak dengan tegas setiap pelaku anarki dan
pelanggaran hak asasi manusia sesuai dengan hukum
yang berlaku.
2.
Bersama dengan DPR segera menyelesaikan UU
Penyiaran.
Pelaksaan Rekomendasi
Berkembangnya konflik vertikal maupun horizontal
sebagai dampak kondisi perekonomian yang belum pulih
sangat menyulitkan kehidupan rakyat. Kondisi tersebut dapat
mendorong timbulnya perilaku anarkis, destruktif dan
tindakan otorianisme di kalangan masyarakat yang pada
akhirnya dapat mengganggu proses penyelenggaraan
bernegara. Disamping itu, euforia demokrasi yang berlebihan
serta masih dominannya budaya politik golongan juga telah
memberikan dorongan terjadinya tindakan-tindakan anarkis
dalam masyarakat Indonesia.
Perilaku anarkis baik yang dilakukan oleh perorangan
maupun kelompok, secara signifikan dapat ditangani secara
lebih baik yang antara lain diindikasikan dengan menurunnya
berbagai kejadian-kejadian anarkis di seluruh tanah air.
Kondisi keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat
semakin baik karena masyarakat semakin menyadari
pentingnya penyaluran aspirasi melalui cara atau unjuk rasa
yang damai dan demokratis.
Proses hukum kasus bom Bali 12 Oktober 2002 dan
rentetannya, merupakan tolok ukur keberhasilan pemerintah
dalam menangani tindak anarkis yang dilakukan oleh
sekelompok massa yang diduga terkait dengan jaringan
terorisme internasional.
II – 12
Demikian juga terhadap kasus-kasus anarkis seperti
pengrusakan kantor media, pembakaran kantor-kantor
pemerintah, main hakim terhadap tersangka kriminal,
pengrusakan fasilitas umum, atau berbagai tindakan anarkis
yang dilakukan oleh aparat pemerintah terhadap masyarakat
dapat ditangani sesuai dengan hukum yang berlaku.
Keberhasilan ini tidak terlepas dari semakin meningkatnya
kemampuan aparat penegak hukum dalam penyidikan dan
proses hukum.
Penyalahgunaan kebebasan pers dan penyiaran
sebenarnya merupakan wujud kebebasan pers yang
liberalistis, dan bahkan merupakan kebebasan pers yang
paling liberal dewasa ini. Penyimpangan pelaksanaan
kebebasan pers yang demikian itu telah menimbulkan dampak
kontra produktif secara luas dalam kehidupan masyarakat.
Sehubungan dengan itu, pada tanggal 28 November 2002
telah disahkan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Dalam konsideran undang-undang tersebut ditegaskan bahwa
kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh
informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan hak asasi
manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras
dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan
hak berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pelaksanaan UU ini tetap mengacu kepada UUD
1945, terutama Pasal 28 F dimana “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi
dan
memperoleh
informasi
untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta
berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah
dan
menyampaikan
informasi
dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Disadari
bahwa sebuah sistem yang demokratis perlu memberikan
kepercayaan masyarakatnya dan perlu melibatkan peranserta
masyarakat. Dengan UU Penyiaran ini diharapkan komitmen
pada pro bottom up communication tetap dapat mencegah dan
II – 13
menghindari abuse of freedom (kekerasan dalam komunikasi
dan informasi).
c.
Reposisi TNI dan Polri
Penugasan TNI dan Polri belum sepenuhnya dapat
dilaksanakan secara optimal karena belum memiliki payung hukum
dan belum dibuat peraturan pemerintah serta belum disosialisasikan
UU Pertahanan dan UU Kepolisian Negara sampai ke aparat yang
paling bawah sehingga mengakibatkan lemahnya koordinasi yang
pada gilirannya menimbulkan konflik antarsesama aparat. Belum
mantapnya profesionalitas TNI dan Polri sebagai akibat masih
kurangnya dukungan anggaran.
Rekomendasi kepada Presiden
1.
Bersama DPR, segera menyusun dan menetapkan UU
tentang TNI.
2.
Segera menerbitkan peraturan pemerintah sesuai
dengan amanat UU Pertahanan dan UU Kepolisian
Negara dan menyosialisasikannya.
Pelaksanaan Rekomendasi
Kita sadari bersama bahwa sistem pertahanan dan
keamanan Indonesia mengalami transformasi yang cukup
substansial. TNI sebagai kekuatan inti dalam sistem
pertahanan negara dan Polri sebagai kekuatan inti sistem
keamanan negara, mengalami perubahan paradigma secara
mendasar. TNI dan Polri tidak lagi melaksanakan dwifungsi
(fungsi hankam dan fungsi sospol). Untuk mencapai tujuan
dari perubahan sistem pertahanan negara dan keamanan
negara yang menganut dwifungsi menjadi sistem pertahanan
dan keamanan negara yang profesional, maka dalam
pelaksanaannya perlu dijabarkan kedalam dua bagian, yaitu
pertahanan dan keamanan. Pemisahan masalah-masalah
pertahanan dan keamanan dilakukan agar terpetakan secara
II – 14
jelas tugas, tanggung jawab, dan fungsi masing-masing
institusi yang terlibat di dalamnya.
Di sisi lain, pemisahan TNI dan Polri juga membawa
ekses negatif terutama dengan TNI sebagai induk
organisasinya yang terdahulu. Banyak terjadi bentrokan antara
anggota Polri dengan anggota TNI yang bersumber pada
kebanggaan korps yang berlebihan.
Polri sebagai institusi sipil masih sering menampilkan
wajah militer. Namun demikian dalam upaya meningkatkan
profesionalitas Polri sebagai pelaksana inti penegak hukum,
fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat berupaya untuk
merubah sikap dan mentalnya melalui penyempurnaan
kurikulum pendidikan sesuai dengan peran, tugas dan
fungsinya. Disamping itu, dilakukan pula pendekatanpendekatan psikologis, sosial budaya masyarakat, dan tidakan
nyata secara transparan kepada rakyat untuk mengembalikan
kepercayaan masyarakat terhadap Polri.
Berkenaan dengan harapan terciptanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, maka dengan segenap daya dan
kekuatan, Polri berupaya mencegah dan menanggulangi
berbagai gangguan keamanan dan gejolak sosial. Cara-cara
penanganannya semaksimal mungkin tidak lagi dilakukan
dengan menggunakan kekerasan, tetapi dengan metodologi,
taktik, dan teknik yang canggih untuk dapat mengatasi
permasalahannya di atas landasan hukum dan hak asasi
manusia. Hal itu tentu saja menuntut tingkat profesionalisme
yang tinggi dari setiap anggota Polri dan harus didukung
dengan tingkat fleksibilitas dan daya inovasi yang tinggi
untuk dapat memberdayakan strategi, taktik, dan teknik
operasional pengamanan yang handal.
Dengan telah diundangkannya UU No. 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No. 3
tahun 2002 tentang Pertahanan Negara diharapkan mampu
digunakan sebagai payung dalam penyusunan berbagai
II – 15
ketentuan baru mengenai tatanan komando pengendalian di
lapangan yang akan sangat berpengaruh terhadap efektivitas
pelaksanaan tugas TNI dan Polri dalam menyelesaikan
tugasnya. Kedua undang-undang tersebut diharapkan dapat
pula digunakan sebagai pedoman dalam penyempurnaan
peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan
belum mampu mengakomodasikan perkembangan situasi
politik dan keamanan, sehingga menjadi kendala dalam upaya
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Disamping itu, kurang berfungsinya pranata-pranata
politik dan sosial yang ada juga dapat mengakibatkan
masyarakat melakukan perbuatan-perbuatan yang cenderung
melanggar norma-norma kemasyarakatan dan etika yang
berlaku (norma adat, agama, sosial, hukum). Hal-hal tersebut
sering berimplikasi pada perbedaan penafsiran pelaksanaan
tugas di lapangan antara institusi TNI dan Polri.
Dukungan TNI terhadap Polri dalam menjaga
keamanan dalam negeri berguna selain untuk memperkuat
kekuatan dan kemampuan dalam menjamin keamanan dalam
negeri, juga diharapkan berimplikasi pada terbentuknya saling
pengertian, toleransi, dan tereliminasinya egoisme TNI dan
Polri.
d.
Hubungan Luar Negeri
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif
dan sebagai negara berdaulat dirasakan kurang konsisten dan
konsekuen. Hal ini terlihat dalam peran diplomasi Indonesia yang
belum dilaksanakan secara optimal dan professional sebagai negara
berdaulat.
Masih sering terjadi pelanggaran batas wilayah Indonesia oleh
pihak asing yang mengakibatkan kerugian negara.
II – 16
Belum tuntasnya posisi Timor Timur di dalam perundangundangan Indonesia dan belum terselesaikannya asset-aset Indonesia
yang berada di Timor Timur.
Rekomendasi kepada Presiden
1.
Segera memperbarui kebijakan politik luar negeri
dengan tetap berpegang pada prinsip politik luar
negeri yang bebas aktif.
2.
Meningkatkan kemampuan peran diplomasi secara
lebih selektif, strategis, dan professional.
3.
Segera membuat kebijakan dan kepastian tentang
perbatasan wilayah teritorial lndonesia sesuai dengan
hukum internasional.
4.
Bersama DPR, segera meninjau dan menyesuaikan
butir-butir tentang Timor Timur yang ada dalam
peraturan perundang-undangan.
5.
Segera memproses penyelesaian
Indonesia di Timor Timur.
atas
aset-aset
Pelaksanaan Rekomendasi
Posisi Indonesia di dunia internasional sangatlah
ditentukan tidak saja oleh pelaksanaan kebijakan politik luar
negeri dan hubungan luar negerinya, tetapi juga akan
dipengaruhi oleh peran diplomasi para penyelenggara
hubungan luar negeri. Dengan berbagai inisiatif baru dalam
politik luar negeri, Indonesia jelas tidak bersikap reaktif
terhadap perkembangan politik, keamanan dan ekonomi
global. Kita justru secara antisipatif memperkuat basis-basis
kerjasama bilateral, regional dan multilateral-global, di tengah
perkembangan internasional yang sarat dengan ketidakpastian
dan semakin menunjukkan ciri-ciri sistem unipolar. Sesuai
dengan amanat konstitusi, maka politik luar negeri, diarahkan
II – 17
pada upaya untuk ikut serta melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan
sosial.
Karena
itu
upaya
memperkuat
multilateralisme, khususnya melalui perkuatan dan
penyempurnaan sistem PBB merupakan pisisi prinsip
Indonesia.
Upaya-upaya strategis yang dilakukan untuk
mendukung peningkatan kinerja peran diplomasi Indonesia di
dunia internasional adalah antara lain (i) tetap menjalankan
politik luar negeri yang bebas dan aktif dan berorientasi pada
kepentingan nasional; (ii) melaksanakan politik luar negeri
dengan prioritas kebijakan di 3 lingkaran konsentris, yaitu
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sebagai
pilar utama politik luar negeri dengan mengoptimalkan peran
Indonesia sebagai Panitia Tetap ASEAN periode Juni 2003 –
Juli 2004, Asia Timur dan hubungan dengan negara-negara
Gerakan Non Blok (GNB), Organisasi Koferensi Islam (OKI),
Kelompok 77, Kelompok 15 dan D-8 serta memanfaatkan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara maksimal sebagai
satu-satunya organisasi yang bersifat universal bagi
kepentingan nasional; (iii) mendorong penguatan diplomasi
multilateral; (iv) memperkuat manajemen pengelolaan politik
luar negeri dan hubungan luar negeri melalui pembenahan
organisasi penyelenggara hubungan luar negeri serta
meningkatkan kualitas diplomat agar lebih handal; (v)
mendorong diplomasi publik dengan melibatkan seluruh
komponen bangsa baik itu di dalam negeri maupun di luar
negeri untuk mendukung upaya diplomasi Indonesia di luar
negeri.
Terkait dengan batas wilayah teritorial, kedudukan
Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui oleh
masyarkat internasional sebagaimana tercantum dalam
Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan Pemerintah RI telah
meratifikasi konvensi tersebut dengan UU No. 17 tahun 1985
tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of
II – 18
the Sea, serta menetapkan UU No. 6 tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia.
Disamping itu telah ditetapkan pula Peraturan
Pemerintah (PP) No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat
Geografis Titik-Titik Dasar Kepulauan Indonesia. Hal ini
dapat merupakan dasar bagi menentukan wilayah teritorial
Indonesia. Tentunya langkah tersebut akan diteruskan untuk
dapat dirumuskan menjadi UU sebagaimana diamanatkan
dalam UUD 1945. Pada matra laut, penyelesaian perundingan
batas wilayah telah dilakukan dengan seluruh negara tetangga
kecuali dengan Timor Leste dan pada bagian tertentu dengan
Singapura.
Sementara untuk perundingan batas landas kontinen,
telah diselesaikan perundingan dengan semua negara tetangga
kecuali dengan Filipina dan Timor Leste. Pada tanggal 26 Juni
2003 telah ditandatangani batas landas kontinen antara
Indonesia dengan Vietnam, setelah dimulai pembicaraan pada
tahun 1978, atau sejak 25 tahun yang lalu setelah melalui
beberapa perundingan yang selalu mengalami jalan buntu.
Dalam rangka mendukung penentuan batas wilayah
teritorial Indonesia sesuai hukum internasional langkahlangkah yang terus ditempuh adalah melakukan pembahasanpembahasan bilateral dengan negara tetangga seperti
Malaysia, Filipina, PNG dan Timor Timur untuk membangun
kesepahaman dan kesepakatan mengenai batas-batas wilayah.
Hal ini diperlukan sebelum kesepakatan dengan negara
tetangga tersebut disampaikan kepada Perserikatan BangsaBangsa untuk disahkan menjadi hukum internasional.
Keputusan Mahkamah Internasional atas status
kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan pada tanggal 17
Desember 2002 harus dihormati dan dijunjung tinggi. Sebagai
dasar hukum, Mahkamah Internasional merujuk kepada buktibukti yang menunjukkan adanya administrasi damai dan
berkelanjutan atas kedua pulau ini oleh pemerintahan kolonial
II – 19
Inggris yang dinilai Mahkamah Internasional lebih kuat
daripada pengelolaan yang dilakukan pihak kolonial Belanda.
Hal ini dibuktikan dengan sejumlah ordonansi Inggris tentang
pemeliharaan lingkungan maritim sejak tahun 1907 serta
operasi menara suar pada tahun 1962. Belajar dari kasus Pulau
Sipadan dan Ligitan tersebut, rujukan hukum harus diberikan
kepada konsepsi kewilayahan nasional yang diperjuangkan
sejak tahun 1957 melalui Deklarasi Djuanda, sebagaimana
tertuang dalam UU No.4/Perpu/1960 tentang Perairan
Indonesia.
Penyelesaian sengketa kedua pulau ini perlu juga
dilihat dari perspektif yang lebih luas dalam rangka
pendewasaan hubungan antar negara di kawasan Asia
Tenggara. Malasyia dan Singapura pada tahun 2003 misalnya,
telah sepakat membawa penyelesaian sengketa kepemilikan
atas Pulau Batu Puteh ke Mahkamah Internasional. Seperti
halnya dalam kasus Sipadan-Ligitan, keputusan kedua negara
tersebut diambil setelah mencermati bahwa upaya
penyelesaian secara politis melalui jalur diplomasi tidak
berhasil menjembatani perbedaan posisi yang ada di antara
kedua negara. Opsi penyelesaian yuridis melalui Mahkamah
Internasional sesungguhnya juga sejalan dengan mekanisme
penyelesaian sengketa yang direkomendasikan oleh Treaty of
Amity and Cooperation in Southeast Asia, yang disahkan di
Bali pada tahun 1976, yang bisa disebut sebagai konstitusi
ASEAN.
Pasca putusan kasus Sipadan-Ligitan, Pemerintah
mencatat berkembangnya kekhawatiran yang berlebihan
tentang kemungkinan hilangnya atau lepasnya pulau-pulau
lain di nusantara. Pada beberapa kasus, kekhawatiran tersebut
bahkan seakan menempatkan Indonesia sebagai pihak yang
mengklaim kepemilikan pulau yang sebelumnya tidak pernah
menjadi sengketa. Terlepas dari kesalah-pahaman ini,
Pemerintah memahami bahwa ungkapan tersebut merupakan
wujud kepedulian yang tinggi dari berbagai lapisan
masyarakat agar Pemerintah meningkatkan kondisi sosialII – 20
ekonomi kawasan pulau-pulau terluar. Terkait di sini adalah
lokasi strategis pulau-pulau terluar pada kawasan perbatasan
antarnegara sehingga sekaligus berfungsi sebagai jendela yang
merefleksikan kondisi masyarakat kita.
Sehubungan dengan hal ini, Pemerintah perlu
menegaskan bahwa tidak ada keraguan atas kepemilikan
Indonesia terhadap pulau-pulau terluar yang ada di nusantara
mengingat bahwa pulau-pulau terluar tersebut tidak pernah
menjadi sengketa antara Indonesia dan negara tetangga.
Pemerintah juga menyadari perlunya untuk meningkatkan
kehadiran administrasi yang nyata di pulau-pulau terluar
nusantara sebagai halaman depan. Selain untuk mewujudkan
itikad sebagai pemilik kedaulatan yang sah, upaya ini juga
dimaksudkan dalam rangka meningkatkan pembangunan
sosial-ekonomi penduduk di daerah perbatasan, khususnya di
pulau-pulau terluar Indonesia. Pemerintah pada Tahun
Anggaran 2003 telah menetapkan Dana Alokasi Khusus bagi
Pemerintah Daerah yang dapat digunakan untuk penanganan
masalah perbatasan oleh daerah-daerah yang berbatasan
langsung dengan negara tetangga terdekat. Serangkaian upaya
ini pada gilirannya diharapkan dapat menumbuh-kembangkan
ikatan kebangsaan Indonesia.
Mencermati
masalah
perbatasan,
Pemerintah
mempertimbangkan perlunya penanganan komprehensif
melalui peningkatan koordinasi diantara instansi terkait. Guna
mencapai tujuan ini, Pemerintah tengah mempelajari bentuk
dan mekanisme yang dapat mensinergikan pengelolaan
perbatasan negara secara lebih baik.
Terkait dengan masalah Timor Timur telah dilakukan
pembicaraan
dengan
United
Nations
Transitional
Administration in East Timor (UNTAET) untuk
menyelesaikan masalah pengungsi, perbatasan dan aset
Indonesia di Timor Timur. Khusus pembahasan mengenai
aset-aset Indonesia di Timor Timur, telah diawali dengan
mekanisme pembahasan bilateral yang lebih terlembaga
II – 21
dalam bentuk Komisi Bersama dan telah mengadakan
pertemuan pertama pada bulan Oktober 2002 di Jakarta.
Pembahasan masalah aset tersebut telah dibawa dalam
pembicaraan tingkat tinggi antara Perdana Menteri Timor
Timur dengan Pemerintah Indonesia pada awal tahun 2003.
Sebagai kelengkapan gambaran penyelenggaraan
politik luar negeri, selanjutnya secara garis besar dapat
dilaporkan sebagai berikut ini.
Politik luar negeri juga berkewajiban untuk
memelihara lingkungan kawasan yang stabil, aman, dan
mengarah pada kemakmuran bersama. Karena hanya dengan
lingkungan kawasan yang kondusif maka pemerintah dapat
berkonsentrasi dalam upaya menata kehidupan politik
nasional dan memulihkan kehidupan ekonomi rakyat. Oleh
karena itulah pemerintah menegaskan kembali komitmennya
pada ASEAN sebagai pilar utama politik luar negeri.
Komitmen ini menjadi sangat relevan, sehubungan dengan
peran Indonesia sebagai Ketua Panitia Tetap ASEAN periode
Juni 2003 – Juli 2004 dan sebagai tuan rumah KTT ASEAN
pada tanggal 7 dan 8 Oktober 2003. Pemerintah mempunyai
komitmen kuat untuk menjalankan kepemimpinan di ASEAN,
bukan sekedar menjadi tuan rumah yang mengetuai berbagai
pertemuan.
Pada tanggal 8 Agustus 2003, ASEAN akan
memasuki usianya yang ke-36 tahun. Meskipun telah
mengalami pasang surut, ASEAN tetap berdiri tegak dan telah
sangat bermanfaat dalam meningkatkan kerjasama regional
baik di antara negara-negara ASEAN maupun antara ASEAN
dengan negara-negara mitra wicara. Dengan adanya ASEAN,
hubungan antarnegara di kawasan juga telah berkembang ke
arah suatu tingkat kematangan yang dapat menjadi aset bagi
pengembangan suatu tertib kawasan.
Karena itulah, Indonesia baru-baru ini telah
meluncurkan konsep Komunitas Keamanan ASEAN atau
II – 22
ASEAN Security Community. Pemerintah menyadari bahwa
apa yang diamanatkan oleh “Bali Concord” dan “Treaty of
Amity and Cooperation”, yang dicapai KTT Pertama ASEAN
di Bali pada tahun 1976, belum dilaksanakan secara
seimbang. Pemerintah juga menyadari bahwa kesuksesan
suatu organisasi regional tidak saja diukur dari pertumbuhan
ekonomi di kawasan, tetapi juga dari kemampuan dalam
mengatasi masalah-masalah politik dan keamanan yang
timbul di antara negara-negara di kawasan itu. Karena itu,
konsep komunitas keamanan tidak perlu diartikan sebagai
komunitas pertahanan yang bertumpu pada kerjasama militer,
tatapi keamanan dalam arti komprehensif yang ditekankan
pada pemberdayaan kerjasama di bidang politik. Konsep
komunitas keamanan merupakan upaya untuk membangun
rasa kebersamaan ASEAN sebagai satu keluarga, yang
memiliki norma dan tata cara berinteraksi yang disepakati
bersama. Dalam konteks mewujudkan visi ASEAN tahun
2020, maka konsep Komunitas Keamanan ASEAN
digandengkan dengan konsep Komunitas Ekonomi ASEAN
merupakan upaya membangun tata kawasan yang mengarah
pada integrasi ASEAN.
Indonesia harus bekerja keras untuk mencapai
integrasi ASEAN, baik di dalam upaya mempersempit jarak
tingkat pembangunan di antara negara-negara ASEAN sendiri
maupun di tengah-tengah guliran dan tarikan proses integrasi
ekonomi kawasan Asia Timur. Karena itu, secara cermat perlu
terus dikembangkan dan dikelola hubungan antara ASEAN
dan China, Jepang dan Korea Selatan di satu pihak, serta
antara ASEAN dan India di pihak lain. Bersamaan dengan itu,
ASEAN juga terus berusaha memegang kendali atas proses
ASEAN Regional Forum yang melibatkan negara-negara
besar dan berpengaruh di kawasan. Perlu dicatat, bahwa di
tengah-tengah konstelasi politik internasional dewasa ini,
terdapat ekspektasi di antara negara-negara kawasan bahwa
Indonesia sebagai Ketua ASEAN Regional Forum dapat
memainkan peranan lebih besar dalam membantu
menyelesaikan masalah-masalah keamanan di kawasan.
II – 23
Sementara ini Pemerintah juga sedang membangun
jembatan strategis ke arah benua Afrika, yaitu dengan
meluncurkan inisiatif Konferensi Organisasi-organisasi SubRegional Asia Afrika. Bermitra dengan Afrika Selatan,
Konferensi ini telah diselenggarakan di Bandung pada akhir
bulan Juli yang baru lalu. Keberhasilan Konferensi tersebut
bukan hanya tercermin dari tingkat partisipasi yang sangat
antusias dari kelompok-kelompok negara di Asia dan Afrika
tetapi juga dari komitmen para peserta untuk membangun
jembatan strategis antara kedua benua, yang secara ideologis
sebenarnya telah terbentuk pada tahun 1955. Rencananya,
Afrika Selatan dan Indonesia kembali akan bermitra untuk
menyelenggarakan konferensi yang ke-2 di Afrika Selatan
pada tahun 2004. Hasil-hasil dari kedua konferensi ini akan
menjadi masukan substantif bagi KTT Asia Afrika yang akan
kita selenggarakan pada tahun 2005 di Bandung, yang
sekaligus juga sebagai peringatan 50 tahun Konferensi Asia
Afrika.
Dengan dasar amanat konstitusi dan prinsip
memperkuat multilateralism maka Indonesia telah secara
terbuka menentang agresi militer Amerika Serikat dan
sekutunya ke Irak. Pemerintah berpendapat bahwa masalah
tuduhan kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak yang belum dapat dibuktikan hingga hari ini – seharusnya
diselesaikan melalui mekanisme multilateral yang tersedia
dalam sistem PBB. Indonesia juga berpendapat bahwa hanya
rakyat Irak-lah yang memiliki hak untuk menentukan masa
depan negara dan bangsa Irak. Dengan posisi prinsip yang
sama, kita juga terus menekankan bahwa bangsa Palestina
memiliki hak yang tak bisa dipungkiri siapapun untuk
merdeka dan mendirikan negara di wilayahnya sendiri.
Karena itu, Pemerintah menyambut baik roadmap hasil
prakarsa multilateral yang tengah bergulir untuk kemerdekaan
nagara Palestina yang diharapkan akan diwujudkan pada
tahun 2005.
II – 24
Dalam menghadapi masalah terorisme internasional,
Indonesia juga telah mampu menunjukkan tingkat
kepercayaan diri yang tinggi kepada masyarakat internasional.
Dengan tetap bersandar pada prinsip-prinsip demokrasi dan
keutamaan hukum, Indonesia telah mampu menunjukkan
kesungguhan dalam mengatasi ancaman terorisme. Dalam
waktu yang relatif singkat, telah berhasil menangkap dan
mengungkap jaringan para teroris dan mengadili para pelaku.
Indonesia telah mendapat apresiasi yang tinggi dari
masyarakat internasional dan mendatangkan berbagai tawaran
bantuan yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat
kapasitas nasional dalam menghadapi ancaman terorisme.
Andil Indonesia dalam membangun kerjasama
internasional dalam upaya mengatasi masalah-masalah
kejahatan lintas negara juga telah mendapat apresiasi
masyarakat internasional dan mendatangkan manfaat
langsung, antara lain, Pemerintah telah dua kali
menyelenggarakan
konferensi
regional
mengenai
penyelundupan dan perdagangan manusia dan kejahatan lintas
negara terkait lainnya di Bali, masing-masing pada bulan
Februari 2002 dan April 2003. Disamping itu, di tempat yang
sama telah pula diselenggarakan konferensi regional tentang
pencucian uang dan pendanaan terorisme pada bulan
Desember 2002.
e.
Imigran Gelap
Penyusupan imigran gelap masih terjadi ke wilayah Indonesia
sehingga menimbulkan berbagai implikasi sosial politik
Rekomendasi kepada Prisiden
Meningkatkan koordinasi antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dengan melibatkan aparat keamanan,
meningkatkan kegiatan diplomasi dalam menyelesaikan
masalah imigran gelap, serta membangun jaringan sistem
informasi keimigrasian yang komprehensif.
II – 25
Pelaksanaan Rekomendasi
Upaya pencegahan imigran gelap telah dilakukan
secara terpadu dengan meningkatkan koordinasi dari semua
instansi, baik departemen maupun non departemen untuk
memiliki komitmen yang sama, serta melakukan upaya secara
konsisten dan sungguh-sungguh untuk menangani imigran
gelap. Disamping itu, dilakukan kerjasama internasional baik
yang bersifat regional, maupun internasional secara lebih
intensif, dengan membangun kesepakatan-kesepakatan
bersama, baik bilateral maupun multilateral.
Bersama dengan negara-negara anggota ASEAN telah
dicapai kesepakatan bagi penggalangan kerjasama untuk
penanganan imigran gelap di lingkungan wilayah ASEAN,
sementara dalam kerangka kerjasama bilateral telah
diupayakan kerjasama dengan negara-negara di kawasan
Timur Tengah dalam rangka penanganan masalah imigran
gelap.
f.
Otonomi Daerah
Pelaksanaan UU Otonomi Daerah selama ini belum
diimplementasikan secara utuh sehingga menimbulkan tumpang tindih
kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota,
serta kevakuman hukum dan kesenjangan antardaerah. Keadaan ini
mengakibatkan suasana disharmonis, ketidakpastian hukum, dan
tambahan beban biaya bagi duni usaha.
Rekomendasi kepada Presiden
1)
II – 26
Segera menyelaraskan semua peraturan perundanganundangan yang berkaitan dengan pelaksanaan
otonomi daerah, disamping meningkatkan peran dan
kinerja law center yang ada.
Pelaksanaan Rekomendasi
Sampai dengan bulan Juli 2003, pelaksanaan terhadap
rekomendasi tersebut antara lain:
Di dalam menyelaraskan semua peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah,
peningkatan peran dan kinerja law center yang ada,
pemerintah telah mencabut beberapa peraturan perundangundangan daerah yang bertentangan dengan pelaksanaan
otonomi daerah. Selain itu sampai saat ini Pemerintah juga
tengah mengupayakan untuk menyelaraskan beberapa
perundang-undangan
yang
telah
diterbitkan
oleh
Departemen/LPND yang tidak sejalan dengan pelaksanaan
otonomi daerah. Sampai dengan saat ini telah diterbitkan 22
UU, 6 PP, 1 Keppres, 1 Inpres, untuk mendukung pelaksanaan
UU Pemerintahan Daerah.
Untuk mendorong agar kebijakan desentralisasi betulbetul dapat dimaknai sebagai bagian dari proses berdemokrasi
masyarakat khususnya di daerah, pemerintah mendorong
setiap daerah agar menjalankan roda penyelenggaraan
pemerintah dalam bentuk otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab. Dinamika daerah terus menguat dan
secara nasional cukup memberi pengaruh seperti beberapa
indikasi awal yang perlu senantiasa kita sikapi secara arif dan
sangat bijaksana. Sejalan dengan semakin baiknya
pelaksanaan pemerintahan dalam arti keterbukaan dan
keterlibatan masyarakat, terus diupayakan pembangunan
daerah melalui penguatan sistem dan struktur pemerintahan
yang dilakukan dengan dimulainya penajaman dalam
pengaturan dan pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi
bidang pemerintahan dalam negeri yang meliputi aspek-aspek
pembinaan wawasan kebangsaan, peningkatan kapasitas
pemda, sistem komunikasi dan perencanaan pengawasan.
Pada dasarnya dirasakan adanya pengaturan yang kurang
lengkap dalam melaksanakan agenda pemerintahan daerah
dengan prinsip dan sistem yang baru yaitu sistem yang
II – 27
demokratis-desentralistis. Saat ini pemerintah telah
mengawali upaya tersebut di awal tahun 2003 ini dan dengan
demikian semua kewenangan pemerintah pusat yang dapat
dilakukan oleh daerah dalam format kewenangan dan
pembangunan dekonsentrasi secara bertahap akan terus
dikembangkan sehingga semakin dirasakan tanggung jawab
daerah dalam membangun sesuai dengan sasaran
pembangunan nasional.
Rekomendasi kepada Presiden
2)
Mempercepat terwujudnya berbagai peraturan
pemerintah sebagai aturan pelaksanaan UU
Pemerintahan Daerah tersebut.
Pelaksanaan Rekomendasi
Di dalam mempercepat terwujudnya berbagai
peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksanaan UU
Pemerintahan Daerah, telah dicapai beberapa hal dalam
periode 2002-2003, yaitu:
II – 28
a.
Dalam bidang Sumber Daya Manusia (SDM)
Aparatur Pemda, peningkatan aparatur melalui
pendidikan dan pelatihan yang mendukung upaya
pelayanan pada masyarakat serta dalam pelaksanaan
kegiatan pemerintahan. Peningkatan kewenangan
desentralisasi dan otonomi daerah memerlukan
peningkatan kemampuan dan jenis kemampuan yang
sebelumnya belum dimiliki oleh aparatur pemerintah
daerah.
b.
Dalam bidang kelembagaan melalui penguatan
permerintah daerah dengan konsep peningkatan
rentang kendali yang merupakan kemauan dan
kebijakan politik pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang ditandai
antara lain dengan usul-usul inisiatif dalam
pemekaran wilayah. Prinsipnya ialah mendekatkan
pelayanan pada masyarakat dan memperkuat serta
mempercepat distribusi pembangunan dan upaya
kesejahteraan rakyat. Dalam upaya penguatan
wilayah, juga telah dilakukan upaya-upaya dalam
memperbaiki tata batas wilayah baik batas
antarnegara dengan memperkuat kelembagaan dan
batas fisik, serta pengelolaan batas antarnegara
termasuk dialog-dialog perbatasan, dan juga dalam
penanganan batas-batas wilayah antara provinsi dan
kabupaten yang masih mengandung permasalahan dan
masih terus ditangani antardaerah.
c.
Dalam keuangan daerah berupa penguatan
fungsionalisasi pemerintah daerah di dalam menata
alokasi sumber-sumber keuangan bagi daerah sesuai
dengan undang-undang.
Rincian Hasil-hasil yang Dicapai pada Periode 20022003, yaitu:
A.
Di dalam Program Peningkatan Kapasitas Aparatur
Pemerintah Daerah, hasil yang telah dicapai, yaitu:
1)
Dalam rangka penyusunan pedoman dan
manual peningkatan kinerja Aparatur Pemda
melalui: (1) tersusunnya draft pedoman
peningkatan kinerja aparat dalam rangka
mendorong pelaksanaan tugas pemerintahan
umum; (2) tersusunnya pedoman penguatan
kinerja aparat dalam rangka peningkatan
pelayanan publik; (3) tersedianya draft
Manual Pemahaman Otonomi Daerah; (4)
menghasilkan 40 jenis pedoman, kursil,
modul diklat baru; (5) pelatihan manajemen
penanggulangan bencana bagi aparatur
kabupaten; (6) pedoman pembinaan kegiatan
pemerintahan untuk efektifitas aparatur dalam
II – 29
penyelenggaraan tugas pelayanan kepada
masyarakat;
(7)
tersusunnya
Standar
Kebutuhan Aparatur; (8) pedoman dan
standarisasi kebijakan umum tentang pola
peningkatan
SDM
Aparatur
yang
komprehensif dan integrated.
B.
2)
Dalam rangka fasilitasi diklat melalui: (1)
terlaksananya 91 jenis diklat bagi aparatur
daerah;
(2)
terlaksananya
pelatihan
manajemen penanggulangan bencana; (3)
tersedianya bimbingan teknis kepada aparatur
pemerintah daerah provinsi/ kabupaten/kota;
(4) meningkatnya kemampuan KDH/WKDH
dalam deregulasi Peraturan Daerah bidang
Perijinan.
3)
Dalam rangka sosialisasi Standard Pelayanan
Minimum (SPM) melalui: (1) workshop
internasional implementasi kewenangan wajib
dan SPM.
4)
Dalam rangka peningkatan kapasitas legislatif
dan yudikatif melalui: (1) tersedianya
kebijakan fasilitasi pelaksanaan Kapasitas
Legislatif dalam melaksanakan tugas dan
wewenang (2) terselenggaranya programprogram insidentil pemberdayaan kapasitas
daerah untuk legislatif dan masyarakat.
Di
dalam Program
Peningkatan
Kapasitas
Kelembagaan Pemerintahan Daerah, hasil yang telah
dicapai, yaitu:
1)
II – 30
Fasilitasi pembentukan lembaga-lembaga
daerah dan kewenangan pusat di daerah
melalui:
(1)
tersusunnya
konsep
penyempurnaan PP No. 84 tahun 2000
tentang Pedoman Organisasi Perangkat
Daerah yang dilengkapi dengan 2 lampiran
berupa: Penjelasan serta Perhitungan Skor
dan Penetapan Kriteria Penataan Organisasi
Perangkat Daerah; (2) terlaksananya evaluasi
terhadap Peraturan Daerah (Perda) tentang
Penataan Organisasi Perangkat Daerah
Provinsi, Kabupaten/Kota sebanyak 1.534
Perda, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam
Negeri (Kepmendagri) No. 41 tahun 2001
tentang Pengawasan Represif Kebijakan
Daerah, Evaluasi Perda Kabupaten/Kota oleh
Provinsi dan Perda Provinsi oleh Pemerintah;
(3)
terlaksananya
fasilitasi
Penataan
Organisasi Perangkat Daerah, Analisis
Jabatan, Ketatalaksanaan dan LAKIP di
daerah Provinsi/Kabupaten/ Kota termasuk
persiapan pemberlakuan 5 hari kerja sesuai
dengan permintaan daerah; (4) tersedianya
bahan masukan bagi pengaturan lebih lanjut
terhadap pelaksanaan peran Gubernur sebagai
Wakil Pemerintah dalam pengawasan
penyelenggaraan
pemerintah
di
Kabupaten/Kota.
2)
Fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan
asosiasi
melalui:
(1)
terbentuknya
Badan/Kantor Pemberdayaan Masyarakat
Provinsi
dan
Kabupaten/Kota;
(2)
meningkatnya
dukungan
tugas-tugas
pemberdayaan masyarakat yang diintrodusir
Pemerintah Pusat oleh Badan/Kantor
Pemberdayaan Masyarakat Provinsi dan
Kabupaten/Kota;
(3)
terlaksananya
penyusunan pedoman tentang asosiasi untuk
meningkatkan status kelembagaan sosiasi; (4)
terlaksananya
penataan
manajemen
pengelolaan asosiasi.
II – 31
II – 32
3)
Pendataan daerah melalui: (1) terlaksananya
Penerbitan Buku Seri Otonomi Daerah (Otda)
6 buku; (2) tersusunnya Profil Daerah
Otonom; (3) terlaksananya penyusunan
database KDH/WKDH; (4) terbangunnya
Sistem Informasi Otda; (5) tersusunnya
Database dan Sistem Informasi Penataan
Kewenangan.
4)
Penyusunan SPM melalui: (1) terlaksananya
penyusunan draft Guideline Pelaporan
Daerah berbasis SPM; (2) penerbitan Surat
Edaran Menteri Dalam Negeri (SE Mendagri)
No. 100-756/OTDA tanggal 8 Juli 2002
konsep dasar penentuan kewenangan wajib
daerah otonom dan SPM; (3) tersusunnya
Draft Pedoman Pengembangan Model
Kewenangan Wajib Daerah Otonom dan SPM
Bidang Pendidikan, Kesehatan, Administrasi
Pemerintahan
Umum,
Administrasi
Kependudukan dan Politik Dalam Negeri.
5)
Penataan hubungan kerja di lingkungan
pemerintahan daerah melalui: (1) tersedianya
pedoman Hubungan Legislatif dan Eksekutif
berkenaan dengan penyusunan Perda APBD,
penyusunan Perda Non APBD, pelaksanaan
kemitraan, pelaksanaan hak dan kewajiban
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD);
(2) terlaksananya sosialisasi Pedoman Umum
Hubungan Eksekutif dan Legislatif; (3)
terlaksananya supervisi dan monitoring
masalah yang timbul dalam hubungan
eksekutif dan legislatif; (4) pembentukan Tim
Kerja Harmonisasi dan Sosialisasi Otda; (5)
terlaksananya inventarisasi permasalahan
kewenangan daerah kabupaten/ kota bidang
kehutanan, pertambangan dan pertanahan; (6)
terselenggaranya
Supervisi
Penataan
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota bidang
kehutanan, pertambangan dan pertanahan; (7)
tersusunnya Hasil Verifikasi dan Penataan
Kabupaten/Kota Bidang-bidang Pemerintahan
pada lingkup I, II, III dan IV.
6)
C.
Evaluasi melalui: (1) tersusunnya Sistem
Monitoring dan Evaluasi (Monev) Otda; (2)
terlaksananya penyusunan Studi Sistem dan
Evaluasi Kinerja Pelaksanaan Otonomi Desa;
(3) terselenggaranya Monev Pelaksanaan
Otda; (4) tersusunnya Laporan Evaluasi Hasil
Supervisi Pelaksanaan Otda Sektor Strategis
dan Kehutanan, Pertambangan dan Pertanian
di Surabaya bulan Nopember 2002.
Di dalam Program Penataan Pengelolaan Keuangan
Daerah, hasil yang telah dicapai yaitu:
1)
Penyusunan manual dan pedoman keuangan
daerah melalui: (1) penyusunan Petunjuk
Pelaksanaan (Juklak) UU Pajak dan Retribusi
Daerah; (2) penyusunan Data Perhitungan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD);
(3)
penataan
Administrasi
Pengelolaan Keuangan Daerah; (4) penataan
Aset Pengelolaan Daerah/Barang Daerah; (5)
penyusunan Pedoman Pengelolaan Pinjaman
Daerah.
2)
Memperbaiki instrumen keuangan daerah
melalui: (1) pengalokasian dan penetapan
Dana
Perimbangan;
(2)
peningkatan
Pelayanan kepada Masyarakat, Wajib Pajak
dan Retribusi Daerah; (3) penyusunan
Kepmendagri dan Otda No. 2 tahun 2001
tentang Penyertaan Modal Daerah pada Pihak
II – 33
Ketiga; (4) aplikasi Sistem Keuangan Daerah;
(5) penyusunan Sistem Akuntansi dan
Pengendalian
Anggaran
(SAPA);
(6)
penyusunan Instrumen Evaluasi Dana
Perimbangan; (7) penyusunan Kepmendagri
No. 29 tahun 2002 tentang Pedoman
Pengurusan,
Pertanggungjawaban
dan
Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata
Cara Penyusunan APBD;
II – 34
3)
Pengkajian, pendataan dan perhitungan
tentang keuangan daerah melalui: (1)
penyusunan Studi Pengkajian Pengembangan
Ekonomi Daerah dan Promosi Investasi; (2)
penyediaan data dasar penghitungan bagi
hasil sektor pertambangan umum, migas,
kehutanan, perikanan; (3) penyusunan
Kriteria dan Data untuk Penetapan
Mekanisme Penyaluran Dana Alokasi Khusus
(DAK)
Prasarana
Pemerintahan
dan
Infrastruktur; (4) penyelenggaraan Pengkajian
Prototipe Sistem dan Prosedur Akuntansi
Keuangan Pemerintah Daerah.
4)
Melaksanakan
Monev
melalui:
(1)
penyusunan
Laporan
Monev
Bidang
Keuangan Daerah.
5)
Pelatihan tentang keuangan daerah melalui:
(1) penyelenggaraan Training of Trainers
(TOT) Sosialisasi dan Bintek Perencanaan
Program dan Anggaran Daerah bagi
Pejabat/Aparat di lingkungan Provinsi,
Kabupaten/Kota; (2) penyediaan data dasar
(jumlah pegawai, pendapatan dan belanja
daerah, jumlah penduduk, luas wilayah dan
indeks kemiskinan serta indeks harga
bangunan) dalam rangka perhitungan Dana
Alokasi Umum (DAU) Tahun Anggaran
(T.A) 2003.
Rekomendasi kepada Presiden
3)
Bersamaan dengan pelaksanaan itu, bersama DPR RI,
melakukan evaluasi secara menyeluruh pelaksanaan
Pemerintahan Daerah, termasuk kemungkinan
penyempurnaan UU Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah, serta UU Pajak dan Retribusi Daerah.
Pelaksanaan Rekomendasi
Di dalam pelaksanaan rekomendasi ketiga,
pemerintah bersama DPR RI tengah melakukan monev secara
menyeluruh terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Hasil
monev tersebut diharapkan dapat menjadi bahan masukan
dalam memperbaiki pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu
juga pemerintah telah membuka wacana-wacana yang
mengarah
terhadap
kemungkinan-kemungkinan
penyempurnaan UU yang terkait dengan pelaksanaan otonomi
daerah pada tahun 2004.
Beberapa permasalahan seperti soal-soal hubungan
eksekutif dan legislatif, perancuan dan friksi-friksi dalam
pemilihan kepala daerah, kerancuan dan dispute dalam
hubungan legislatif-yudikatif, semua itu merupakan satu
kesatuan proses dalam perwujudan pemerintahan yang
demokratis-desentralistik. Oleh karenanya, pengawasan
merupakan ujung tombak yang penting. Pengawasan secara
komprehensif dalam sasaran fungsional, sampai kepada
pengawasan mikro dalam konteks audit keuangan, misalnya.
Kesemua upaya dan gambaran tersebut pada hakekatnya nanti
akan memberikan gambaran lay-out implementasi dan hasil
dari kebijakan desentralisasi di negara ini dan kesempatan
untuk terus menerus melakukan koreksi dan penyesuaian.
Fakta riil yang paling dekat ialah kebutuhan akan penyesuaian
UU No. 22 tahun 1999 yang secara kongkrit berkaitan dengan
II – 35
aspek-aspek pemilihan kepala daerah yang sudah perlu
disesuaikan dengan cara pemilihan langsung termasuk dalam
hal ini peran DPRD, juga dalam hal kewenangan dan
kelembagaan, personil dan penyelenggaraan pengawasan serta
dalam keuangan daerah dan pelayanan publik. Pada saat ini di
jajaran
pemerintah
sedang
dimatangkan
formulasi
penyesuaian tersebut untuk dicapai kesepakatan yang “firm”
dan sesuai dengan jadwal, maka Ampres untuk
penyempurnaan UU tentang pemerintahan daerah sudah
disiapkan untuk diusulkan kepada DPR. Prinsip penting dalam
substansi penyesuaian tersebut sama sekali tidak mengubah
kebijakan yang mendasar yaitu kebijakan desentralisasi untuk
menciptakan pemerintahan yang demokratis-desentralistik.
Selain itu, penataan kader partai di eksekutif melalui
mekanisme pemilihan kepala daerah juga terus berlangsung,
baik dalam proses pemilihan kepala daerah yang sudah ada
dan tengah berjalan maupun dalam hal mengantisipasi
kebutuhan akan spirit pemilihan kepala daerah secara
langsung seperti telah disebutkan tadi. Terhadap masalahmasalah yang muncul dalam agenda pemilihan kepala daerah,
dapat kita maknai sebagai bagian dari dinamika dan
pembelajaran dalam proses politik.
g.
Persiapan Pemilihan Umum
Dengan terjadinya perubahan UUD 1945, diperlukan
persiapan yang memadai untuk melaksanakan Pemilihan Umum
(Pemilu) yang berkualitas.
Rekomendasi kepada Presiden
1.
II – 36
Bersama
DPR
RI,
segera
menyelesaikan,
memprioritaskan serta merevisi UU Pemilu dan UU
Partai Politik serta menyiapkan UU Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD serta UU
Kepresidenan sebagai tindak lanjut dari Perubahan
UD 1945.
2.
Segera menciptakan iklim yang kondusif di selurub
tanah air, khususnya di daerah-daerah yang
mengalami konflik agar siap mengikuti pemilihan
umum yang akan datang, termasuk memperbaiki
sistem administrasi kependudukan agar lebih akurat,
lebih efisien, dan efektif.
3.
Segera menciptakan sistem pengenal tunggal dan
terpadu (kartu tanda penduduk), atau nomor induk
tunggal dan terpadu bagi seluruh penduduk Indonesia
dari lahir hingga meninggal dunia, dan dengan nomor
yang sama digunakan pula pada pasport, surat izin
mengemudi, nomor pokok wajib pajak, dan kartu
pengenal lainnya.
Pelaksanaan Rekomendasi
Dalam rangka mendukung pelaksanaan pemilu, telah
diselesaikan paket peraturan perundang-undangan bidang
politik, yaitu UU No. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik,
dan UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu yang mengatur
tatacara pelaksanaan Pemilu bagi anggota legislatif, UU
tentang Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil Presiden
serta UU mengenai Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD. Diharapkan pelaksanaan peraturan
perundangan tersebut dapat diwujudkan secara nyata dalam
pelaksanaan Pemilu 2004 mendatang.
Lebih jauh dapat disampaikan bahwa makna penting
dengan lahirnya berbagai peraturan perudangan di bidang
politik tersebut adalah telah tersedianya kebijakan politik yang
antara lain dapat memberikan arah peran suprastruktur politik
dan infrastruktur politik dalam menjalankan mekanisme
politik yang lebih ideal; dalam menjalankan proses
konsolidasi demokrasi menuju tatanan sistem politik
demokrasi sebagaimana yang diharapkan. Dengan adanya
paket perundangan tersebut juga telah lebih menjamin
aktualisasi partai politik dalam mewujudkan tujuan dan
II – 37
fungsinya dan melahirkan kader politik bangsa, serta
memberikan ruang legitimasi bagi partai politik maupun
kadernya dalam proses politik. Lahirnya UU Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden merupakan ciri format kedaulatan rakyat
karena telah semakin memberikan ruang kepada rakyat untuk
memilih secara langsung pemimpin bangsa ini. Perbaikan
sistem pemilu dari sistem proporsional stelsel daftar menjadi
sistem proporsional yang lebih terbuka telah juga memberikan
ruang kepada rakyat dalam menentukan pilihannya sendiri
secara langsung agar keterwakilannya dalam lembaga
permusyawaratan dan perwakilan betul-betul merupakan
keterwakilan yang utuh. Bangunan struktur politik telah
terbentuk. Tantangan ke depan adalah tentang bagaimana
melaksanakan peraturan perundangan tersebut secara
konsisten, yang akan diuji antara lain dalam pelaksanaan
Pemilu 2004 mendatang.
Disamping itu, untuk mendukung penyelenggaraan
Pemilu 2004 yang lebih demokratis, telah ditetapkan anggota
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen dan non
partisan. Diharapkan anggota KPU tersebut dapat menjadi
penggerak utama dalam meningkatkan kinerja lembaga KPU
yang benar-benar independen dan non partisan serta bebas
dari pengaruh birokrasi sebagaimana yang diamanatkan oleh
UUD 1945. Disamping itu telah dibentuk pula Lembaga
pelaksana Pemilu di Provinsi dan Kabupaten/Kota yang
diharapkan menjadi institusi yang independen dan non
partisan.
Disamping itu upaya lainnya yang telah dilakukan
adalah dibentuknya Lembaga Pengawas Pemilu (Panwaslu),
yang diharapkan dapat mengawasi proses pelaksanaan Pemilu.
Panwaslu tersebut juga diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang signifikan bagi terwujudnya Pemilu yang
mendapatkan legitimasi baik dari masyarakat Indonesia
maupun masyarakat internasional.
II – 38
Proses pelaksanaan Pemilu khususnya pada daerah
konflik merupakan hal yang memerlukan perhatian, oleh
karenanya telah dilakukan upaya-upaya untuk menjamin
pelaksanaan pemilu di daerah konflik sebaik-baiknya. Upaya
untuk menciptakan suasana kondusif dalam pelaksanaan
pemilu terus dilakukan antara lain melalui sosialisasi
pengamanan pada masa kampanye dan pelaksanaan pemilu,
penanaman kesadaran masyarakat tentang pelaksanaan pemilu
yang aman, mendorong peran serta masyarakat dalam pemilu,
pengamanan Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan
pengamanan kotak suara.
Proses pendaftaran pemilih dalam pemilu melalui
metode Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk
Berkelanjutan (P4B) merupakan upaya yang telah dilakukan
khususnya bagi pendaftaran pemilih dan juga secara lebih luas
akan digunakan untuk pembenahan sistem administrasi
kependudukan termasuk rencana penggunaan sistem tunggal
dan terpadu kependudukan. Untuk menghasilkan Pemilu yang
demokratis pada saat ini proses sosialisasi pelaksanaan Pemilu
sedang dilakukan secara intensif sampai dengan Maret 2004.
Pemerintah menyadari perlunya sistem pengenal
tunggal dan terpadu, namun demikian terdapat beberapa
permasalahan yang perlu untuk ditindaklanjuti pemecahannya
secara terpadu antar instansi baik di tingkat pusat maupun
daerah, yang meliputi: (a) belum adanya landasan hukum
yang memadai untuk mendukung sistim informasi
kependudukan terpadu secara nasional; (b) belum tersedianya
kelembagaan di tingkat pusat yang berwenang menetapkan
kebijakan, pedoman, standarisasi pengelolaan database
kependudukan nasional serta dokumen kependudukan yang
bernilai hukum; (c) belum seragamnya elemen biodata
dokumen kependudukan (formulir) secara nasional, sehingga
menyulitkan dalam pembangunan aplikasi pelayanan
dokumen secara elektronik (application software); dan (d)
kesadaran masyarakat tentang Nomor Induk Kependudukan
(NIK) masih kurang terutama berkaitan dengan proses
II – 39
pendaftaran atau pencatatan kejadian vital yang merupakan
elemen utama pengisian biodata NIK.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut,
pemerintah telah menyusun langkah-langkah kebijakan
sebagai berikut: (a) menyusun peraturan perundang-undangan
di bidang informasi kependudukan, yang telah diawali dengan
pelaksanaan P4B; (b) membangun jejaring kelembagaan antar
instansi terkait untuk koneksitas antar sistem informasi; (c)
mengelompokkan daerah ke dalam tipologi untuk menata
kelembagaan dan sumber daya informatikanya; (d)
membangun sistem informasi kependudukan dengan metode
paralel (mempertimbangkan sistem yang sudah terbangun di
daerah) secara bertahap dan berkesinambungan untuk
mengurangi resistensi sistem yang ada serta menekan biaya;
(e) menstandarisasikan format input (elemen biodata) dan
output (KTP, KK, akta) secara nasional yang sederhana
namun memenuhi aspek hukum dan kependudukan (statistik
vital); (f) mengembang-kan kerjasama dengan pusat-pusat
penyiaran, penerbitan, dan pelayanan informasi dalam rangka
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi
mewujudkan tertib administrasi kependudukan
2.
Hukum dan Hak Asasi Manusia
a.
Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) belum
dilaksanakan secara maksimal, antara lain, seperti kasus Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), bahkan terjadi peningkatan KKN
baik di pusat maupun di berbagai daerah
II – 40
Rekomendasi kepada Presiden
1)
Segera menindaklanjuti semua amanat ketetapan
MPR RI yang berkaitan dengan pemberantasan KKN
seperti kasus BLBI
Pelaksanaan Rekomendasi
Dalam kasus BLBI, jumlah kasus yang ditangani
adalah sebanyak 52 kasus, yaitu (a) kasus yang berasal dari
laporan hasil temuan/audit Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP)/ Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
sebanyak 48 kasus; dan kasus yang berasal dari temuan
Kejaksaan Agung sebanyak 4 kasus. Penyelesaian kasus BLBI
yang telah ditangani adalah: (a) masih dalam tahap
penyelidikan sebanyak 13 kasus; (b) dihentikan
penyelidikannya sebanyak 2 kasus; (c) masih dalam tahap
penyidikan sebanyak 9 kasus; (d) dihentikan penyidikannya
sebanyak 1 kasus; ditingkatkan ketahap penuntutan/
persidangan dari sebagaian telah dijatuhi hukum oleh
pengadilan sebanyak 22 kasus; dan belum ditangani (bank
take over) sebanyak 5 kasus.
Rekomendasi kepada Presiden
2)
Bersama DPR RI, segera menyelesaikan UU tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
UU Kebebasan Memperoleh Informasi.
Pelaksanaan Rekomendasi
UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi telah disahkan menjadi UU No. 30 tahun 2002 pada
tanggal 27 Desember 2002. Untuk menindaklanjuti
pelaksanaan UU tersebut dengan Surat Keputusan (SK)
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia telah dibentuk
Tim Pengarah Persiapan Pengangkatan Keanggotaan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sampai dengan saat
II – 41
ini pemerintah telah membuat Keppres tentang Tim Seleksi
Pengangkatan Anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Terkait dengan upaya membentuk UU tentang
Kebebasan Memperoleh Informasi, Pemerintah telah
membuat Konsep Rancangan Undang-undang (RUU) tentang
Kebebasan Memperoleh Informasi dan DPR RI juga membuat
Konsep RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi
Publik. Berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPR RI apabila
terdapat 2 RUU yang diajukan secara bersamaan maka yang
dibahas adalah RUU yang diinisiasi oleh DPR RI, sedangkan
konsep RUU dari Pemerintah akan menjadi sandingan untuk
dibahas bersama dengan DPR RI. Sampai dengan tanggal 23
Juni 2003 RUU tersebut masih dalam pembahasan di DPR RI.
Rekomendasi kepada Presiden
3)
Meninjau dan mencabut semua Keppres yang
pembentukan dan materi muatannya diduga
merupakan hasil rekayasa KKN.
Pelaksanaan Rekomendasi
Sejauh ini yang dilakukan oleh pemerintah adalah
dengan melakukan kajian-kajian dan penelitian untuk
mengkaji ulang berbagai Keppres yang pembentukan dan
materi muatannya diduga merupakan hasil rekayasa KKN
kerjasama antara Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara (Menpan) dengan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) untuk mengkaji ulang Keppres yang dikeluarkan sejak
tahun 1970–1991 dan dilaksanakan sendiri oleh LSM untuk
Keppres yang dikeluarkan sejak tahun 1992 sampai dengan
tahun 1998.
b.
Penegakan dan Kepastian Hukum
Masih rendahnya komitmen aparat penegak hukum dan
instansi terkait untuk menegakkan hukum dalam tindak kejahatan
yang jelas-jelas merugikan keuangan negara, sumber daya alam,
II – 42
perbankan, dan kejahatan lain yang mengganggu keamanan dan
ketentraman masyarakat serta merusak moral bangsa, termasuk
kejahatan dan kekerasan terhadap perempuan. Di samping itu, masih
banyak terjadi ketidakpastian hukum, baik karena pelanggaran
terhadap hukum yang ada maupun lemahnya berbagai ketentuan
perundang-undangan yang ada.
Rekomendasi kepada Presiden
1)
Melanjutkan upaya pemberantasan KKN di bidang
penegakan hukum
Pelaksanaan Rekomendasi
Dalam rangka melanjutkan upaya pemberantasan
KKN di bidang penegakan hukum, sejauh ini langkah yang
dilakukan adalah dengan melaksanakan pengendalian perkara
dalam tindak pidana khusus terkait dengan penanganan
perkara, delegasi wewenang, akuntabilitas dan transparansi,
khususnya di Kejaksaan Agung.
Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi
oleh Kejaksaan Agung periode Januari Tahun 2002 sampai
dengan Bulan April Tahun 2003 adalah sebagai berikut: (a)
Tahap Penyidikan, sebanyak 733 perkara, (b) Tahap
Penuntutan sebanyak 522 perkara, (c) Tahap Upaya Hukum
dalam bentuk (a) Perlawanan sebanyak 6 perkara; (b)
Banding, sebanyak 318 perkara; (c) Kasasi, sebanyak 502
perkara; (d) Peninjauan Kembali, sebanyak 38 perkara; dan
(d)
Tunggakkan
Uang
Pengganti,
sebanyak
Rp941.246.592.132,00.
Rekomendasi kepada Presiden
2)
Meningkatkan sarana dan prasarana aparat penegak
hukum serta kesejahteraannya.
II – 43
Pelaksanaan Rekomendasi
Sejauh ini upaya pemerintah untuk meningkatkan
sarana dan prasarana aparat penegak hukum serta
kesejahteraannya terus menerus dilakukan dan pemerintah
dalam hal ini menyadari bahwa rendahnya kesejahteraan
aparat penegak hukum juga menjadi salah satu penyebab
timbulnya korupsi dikalangan aparat penegak hukum. Oleh
karena itu dengan keterbatasan penganggaran dan sarana serta
prasarana yang ada upaya peningkatan tetap dilakukan
walaupun belum memadai dari yang dibutuhkan.
Rekomendasi kepada Presiden
3)
Mewujudkan budaya dan kesadaran hukum kepada
masyarakat baik melalui pendidikan formal maupun
non-formal, termasuk teladan dari penyelenggara
negara
4)
Seluruh upaya penegakan hukum untuk memberikan
kepastian hukum harus dilakukan oleh semua pihak,
terutama oleh aparat dan lembaga-lembaga penegak
hukum
Pelaksanaan Rekomendasi
Upaya meningkatkan budaya dan kesadaran hukum
kepada masyarakat sejauh ini secara terus menerus dilakukan
terutama melalui instansi hukum yang mempunyai tugas dan
fungsi di bidang penyuluhan hukum yaitu Departemen
Kehakiman dan HAM, Lembaga Peradilan, Kejaksaan Agung
dan Polri bekerjasama dengan LSM. Walaupun hasilnya
belum terlihat secara konkrit, namun upaya peningkatan
kesadaran dan budaya hukum akan terus menerus dilakukan.
Terkait dengan upaya penegakan hukum dalam
rangka memberikan kepastian hukum aparat dan lembagalembaga penegak hukum, Pemerintah secara terus menerus
II – 44
berupaya untuk meningkatkan koordinasi lembaga penegak
hukum baik dalam rangka meningkatkan persamaan persepsi
dalam rangka penanganan perkara maupun dalam rangka
menghindari tumpang tindih kewenangan yang seringkali
menjadi penghambat upaya penegakan hukum.
Rekomendasi kepada Presiden
5)
Bersama DPR RI, perlu segera merevisi Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang ada
Pelaksanaan Rekomendasi
Upaya melaksanakan revisi UU No. 8 tahun 1998
telah dilakukan cukup lama, namun karena kendala-kendala
teknis antara lain terkait dengan benturan kepentingan antara
kepolisian dan kejaksaan kaitannya dengan masalah
kewenangan penyidikan; dan konsepsi mengenai Sistem
Pengadilan Pidana Terpadu (SPPT). Diharapkan dalam Repeta
Tahun 2004, pembahasan KUHAP dapat mulai dilaksanakan
bersama antara DPR RI dan Pemerintah.
Rekomendasi kepada Presiden
6)
Pemerintah perlu segera menyerahkan tugas-tugas
pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan
badan-badan peradilan sebagai pelaksanaan UU No.
35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undangundang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman.
7)
Untuk meningkatkan eksistensi dan kinerja
Mahkamah Agung, UU No.14 tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung perlu segera diselesaikan
revisinya.
II – 45
Pelaksanaan Rekomendasi
Dalam rangka pembinaan satu atap yang terkait
dengan tugas-tugas pembinaan organisasi, administrasi dan
keuangan badan-badan peradilan sebagai pelaksanaan UU No.
35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman,
sejauh ini Pemerintah (c.q. Departemen Kehakiman dan
HAM) bersama-sama dengan Mahkamah Agung telah
melakukan berbagai langkah-langkah persiapan dalam rangka
peralihan tersebut kepada Mahkamah Agung. Selain itu juga
sedang dilakukan penyempurnaan terhadap UU di lingkungan
peradilan seperti UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan
Umum, UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
UU No. 5 tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
UU No. 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan; dan UU No. 14
tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
Ditargetkan bersama oleh Pemerintah dan DPR RI untuk
menyelesaikan revisi undang-undang tersebut pada akhir
tahun 2003, agar percepatan peralihan satu atap dapat segera
dilakukan.
c.
Penyelesaian Kasus-Kasus Pelanggaran HAM
Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia
belum dilaksanakan secara cepat, adil, tuntas dan transparan bahkan
masih terkesan lamban dan diskriminatif sehingga belum memenuhi
rasa keadilan masyarakat.
Rekomendasi kepada Presiden
Segera
menyelesaikan
proses
penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan perkara-perkara dugaan
pelanggaran HAM
II – 46
Pelaksanaan Rekomendasi
Kasus pelanggaran HAM berat yang selama ini
ditangani oleh Kejaksaan Agung adalah sebagai berikut:
a.
Kasus pelanggaran HAM yang Berat di Tanjung
Priok, penyidikan telah diselesaikan dan akan
memasuki proses penuntutan dengan 14 orang
tersangka.
b.
Kasus pelanggaran HAM Berat di Abepura Papua,
telah diselesaikan penyidikan dan sedang dilakukan
pemberkasan perkara dengan 2 orang tersangka
c.
Kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur,
terdapat 12 orang tersangka, dan yang telah diputus
oleh Pengadilan HAM Ad-Hoc Jakarta Pusat
sebanyak 11 perkara, sedangkan 1 perkara masih
dalam proses persidangan;
d.
Kasus tewasnya wartawan Belanda Sander Robert
Thoenes, dalam tahap penyidikan dan telah
memeriksa 37 orang saksi, serta dari hasil penyidikan
belum ditemukan tersangka/para pelaku
e.
Kasus Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II. Hasil
penyelidikan Komnas HAM, telah dikembalikan
kepada Komnas HAM untuk dilengkapi syarat formil
dan meteriil. Selanjutnya Komnas HAM telah
mengambalikan berkas penyelidikan kasus Trisakti
dan Semanggi II, dan sekarang Satgas HAM
Kejaksaan Agung sedang meneliti berkas tersebut.
Selain itu juga telah diterbitkan PP No. 2 tahun 2002
tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi,
dalam Perkara Pelanggaran HAM Berat; PP No. 3 tahun 2002
tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap
Korban Pelanggaran HAM yang Berat; PP No. 24 tahun 2003
II – 47
tentang Tata Cara perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik,
Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana
Terorisme.
d.
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Amanat Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/2000 tentang
Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, khususnya mengenai
pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi belum direalisasi.
Rekomendasi kepada Presiden
Bersama DPR RI, membentuk UU tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi
Pelaksanaan Rekomendasi
RUU tersebut merupakan inisiatif Pemerintah dan
telah disampaikan kepada DPR untuk dilakukan pembahasan.
e.
Terorisme
Makin meningkat tindakan-tindakan terorisme yang
mengancam keamanan negara dan mengganggu ketenangan dan
kehidupan masyarakat.
Rekomendasi kepada Presiden
Bersama DPR RI, segera menyusun dan menetapkan
UU tentang Anti Terorisme, yang definisi serta imperaktif
penanganannya menggambarkan kemandirian dan kedaulatan
NKRI.
Pelaksanaan Rekomendasi
Tragedi bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 telah
dicatat dalam agenda Dewan Keamanan PBB pada Resolusi
No. 1438 tanggal 14 Oktober 2002, merupakan aksi terorisme
internasional. Disamping itu, terjadinya beberapa aksi
II – 48
peledakan dan ancaman bom yang terjadi di beberapa tempat
baik di dalam maupun luar negeri merupakan indikasi adanya
upaya dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk
menciptakan keresahan di tengah masyarakat. Kondisi
tersebut dapat menimbulkan hambatan bagi tercapainya rasa
aman dan tenteram bagi masyarakat, bahkan bila
berkelanjutan dikhawatirkan dapat mengancam kelangsungan
hidup bangsa dan NKRI.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka perlu
ditingkatkan kemampuan untuk mencegah dan mengatasi
ancaman terorisme yang dapat mengganggu kedaulatan dan
keselamatan NKRI. Untuk itu telah ditempuh beberapa upaya
seperti inventarisasi kasus terorisme, koordinasi dan
komunikasi internasional dalam penyelesaian kasus terorisme,
membentuk perjanjian ekstradisi dengan berbagai negara,
membentuk aturan perlindungan terhadap warga negara yang
didiskreditkan sebagai negara terorisme, serta mengungkap
jaringan terorisme. Berkaitan dengan pengungkapan jaringan
terorisme, maka telah diupayakan peningkatan bobot intelijen
dengan memperkuat dan meningkatkan administrasi intelijen
yang handal, professional, efektif, efisien dan tanggap
terhadap aspirasi dan dinamika lingkungan strategis secara
nasional, regional dan internasional. Upaya tersebut didukung
dengan menyelenggarakan tukar menukar informasi intelijen
melalui Bilateral Exchange of Information and Intelligence
maupun Multilateral Exchange of Information and
Intelligence, serta meningkatkan prasarana dan sarana melalui
pengadaan intelligence device.
Mengingat terorisme tidak dapat dilawan tanpa
landasan hukum dan perundang-undangan, pemerintah
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu) No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 tahun 2002 tentang
Pemberlakuan Perpu No. 1 tahun 2002, disahkan menjadi UU
No. 15 tahun 2003 dan UU No. 16 tahun 2003.
II – 49
Kendati langkah-langkah untuk menanganinya cukup
responsif dan proses investigasinya cukup cepat dengan hasil
yang amat baik, namun permasalahan terorisme belum
sepenuhnya dapat diatasi. Oleh karena itu perlu ditingkatkan
langkah-langkah intensif dimasa yang akan datang.
f.
Reformasi Birokrasi
Kultur birokrasi yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat
dan abdi negara sering merugikan dan menjadi beban masyarakat dan
negara.
Rekomendasi kepada Presiden
Membangun kultur birokrasi Indonesia yang
transparan, akuntabel, bersih dan bertanggung jawab serta
dapat menjadi pelayan masyarakat, abdi negara, contoh dan
teladan masyarakat.
Pelaksanaan Rekomendasi
Fungsi birokrasi pemerintah sebagai abdi negara dan
abdi masyarakat harus berjalan secara paralel dalam
pelaksanaan tugas pemerintahan umum dan pembangunan.
Untuk mendorong ke arah tersebut diperlukan adanya upaya
untuk membangun kultur birokrasi Indonesia yang transparan,
akuntabel, bersih dan bertanggungjawab serta dapat menjadi
pelayan masyarakat secara adil dan tidak diskriminatif.
Berkaitan dengan hal tersebut, telah ditetapkan Inpres
No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (AKIP). Inpres tersebut mewajibkan kepada setiap
instansi
pemerintah
sebagai
unsur
penyelenggara
pemerintahan negara untuk melakukan perencanaan,
pelaksanaan dan penilaian yang menjadi tugas dan fungsinya
secara bertanggungjawab. Pertanggungjawaban kinerja
instansi pemerintah ini disusun dalam bentuk laporan yang
disampaikan kepada Presiden.
II – 50
Pelaksanaan dari Inpres tersebut telah mendapat
perhatian yang cukup besar baik dari pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Ini tercermin dari tingginya
kesertaan instansi pemerintah dalam menyusun Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).
Pelaksanaan LAKIP di instansi pemerintah pusat sampai
dengan 2002, masing-masing untuk Departemen dan
Kementrian Negara telah mencapai 70 persen, sedangkan
untuk LPND telah mencapai 68 persen. Penyampaian LAKIP
dari pemerintah daerah adalah untuk pemerintah provinsi telah
disampaikan sebanyak 10 provinsi (33 persen), dan dari
pemerintah Kabupaten/Kota sebanyak 56 Kabupaten (21
persen) dan 19 Kota (23 persen).
Lebih lanjut dalam upaya peningkatan penataan
kembagaan di daerah, untuk lebih memaksimalkan tugas dan
fungsi pemerintahan di daerah telah ditetapkan PP No. 84
tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Namun dalam pelaksanaannya PP tersebut justru berdampak
pada makin banyaknya jumlah kelembagaan di lingkungan
Pemda, yang kemudian dilakukan penyempurnaan dengan
dikeluarkannya PP No. 8 tahun 2003. PP tersebut
dimaksudkan untuk melakukan efesiensi dan efektivitas
kelembagaan di daerah dengan memberdayakan perangkat
pemerintah daerah dalam melaksanakan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat.
Dari PP tersebut, pembentukan kelembagaan di
Provinsi dan Kabupaten/Kota dan organisasi pemerintah
daerah diharapkan akan semakin efektif sesuai dengan tugas
dan fungsinya, sekaligus akan terjadi perampingan organisasi
di lingkungan pemerintah daerah. Demikian pula di tingkat
Pemerintah Pusat, telah
dilakukan penyusunan RUU
Kementerian Negara. Upaya tersebut dilakukan sebagai upaya
untuk menyusun struktur kementerian yang efektif, fleksibel,
ramping dan akuntabel.
II – 51
Di bidang ketatalaksanaan, telah dikeluarkan PP No.
25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan
Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. PP tersebut
merupakan pembagian tugas yang jelas antara pusat dan
provinsi, agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan
manajemen pemerintahan.
Di bidang peningkatan kapasitas SDM, upaya
meningkatkan kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil (PNS)
terus-menerus dilakukan, terakhir dengan dikeluarkannya PP
No. 11 tahun 2003 tentang Perubahan atas PP No. 7 tahun
1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP
No. 26 tahun 2001. Namun demikian kenaikan tersebut masih
dirasakan sangat kecil bila dibandingkan dengan tingkat
kebutuhan hidup yang semakin meningkat.
Kemudian dalam rangka memantapkan netralitas PNS
terhadap partai politik telah dijamin di dalam UU No. 43
tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 tahun 1974
tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Demikian pula telah
disusun RUU tentang Etika Aparatur Negara. Di samping itu
dalam upaya meningkatkan kompetensi aparatur negara telah
dikembangkan berbagai diklat gelar dan non gelar, baik di
dalam maupun di luar negeri, serta diklat kepemimpinan,
fungsional dan teknis.
Keseluruhan upaya-upaya ini selain diharapkan akan
dapat meningkatkan kinerja aparatur, juga diharapkan akan
dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi birokrasi
dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya secara
transparan, akuntabel, bersih dan bertanggung jawab.
II – 52
Download