Konsep Diri - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
PSIKOLOGI
KOMUNIKASI
Konsep Diri
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Hubungan
Masyarakat
Tatap Muka
13
Kode MK
Disusun Oleh
MK85006
Ety Sujanti, M.Ikom
Abstract
Kompetensi
Modul ini ditulis untuk membantu
mahasiswa mengenal dan mengetahui
tentang konsep diri
Diharapkan mahasiswa dapat
memahami dan mampu menjelaskan
kembali tentang konsep diri
Konsep Diri
I. Pengertian Konsep Diri
Menurut Rogers (1959) bayi mulai mengembangkan konsep diri yang samar, ketika
sebagian dari pengalamannya menjadi personalisasi, dan dibedakan ke dalam kesadaran
sebagai pengalaman “saya” atau “aku”. Bayi secara bertahap menjadi sadar akan
identitasnya sendiri, dikarenakan mereka mulai belajar tentang apa yang mereka rasakan
baik dan apa yang mereka rasakan buruk, apa yang mereka rasakan menyenangkan dan
apa yang mereka rasakan tidak menyenangkan, kemudian mereka akan mulai
mengevaluasi pengalamannya sebagai suatu yang positif atau negatif (dalam Feist & Feist,
2009).
Rogers (1959) juga mengemukakan bahwa konsep diri mencakup semua aspekaspek untuk menjadi individu, dan pengalaman seseorang yang dirasakan sebagai suatu
kesadaran (meskipun tidak selalu akurat) oleh individu (dalam Feist & Feist, 2009).
Menurut Rogers (1959 dalam Feist & Feist, 2009), begitu orang membentuk konsep
dirinya, ia menemukan perubahaan, dan pembelajaran yang cukup signifikan kesulitannya,
dimana pengalaman yang tidak konsisten dengan konsep diri, biasanya ditolak ataupun
diterima dalam bentuk terdistorsi. Rogers (1959, dalam Mischel, Shoda, & Smith, 2004),
mengemukakan bahwa konsep diri itu mempengaruhi persepsi dan perilaku seseorang.
Konsep diri didefinisikan sebagai totalitas dari pemikiran individu dan perasaan
memiliki referensi untuk dirinya sendiri sebagai obyek. Ini adalah persepsi individu dari dan
perasaan terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain, konsep diri individu terdiri dari sikap
individu terhadap diri yang individu itu pegang (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007).
Senada dengan pendapat diatas, Papalia, Olds, dan Feldman (2007 : 279),
berpendapat bahwa “the self concept is our total image of ourselves”. Hal ini dimaksud
adalah hal yang kita percaya tentang diri kita sendiri, atau yang dikatakan sebagai
gambaran dari kemampuan dan sifat, dan hal ini juga merupakan a cognitive construction,
yang merupakan sebuah sistem representasi deskriptif dan evaluatif tentang diri. Jadi, self
concept adalah rasa terhadap diri, dimana merupakan gambaran deksriptif dan evaluatif
mental terhadap kemampuan dan sifat-sifat seseorang (Papalia, Olds, dan Feldman (2007).
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Johnson-Pynn, dkk (2003 dalam Beheshtifar
& Nezhad, 2012), memyatakan bahwa seseorang menggambarkan individu tertentu dalam
‘14
2
Psikologi Komunikasi
Ety Sujanti, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
berbagai karakter kepribadian, ketika karakter ini diterapkan secara konsisten, maka individu
tersebut menerima dirinya sebagai deskripsi tentang dirinya (Kimani, dkk (2009) dalam
Beheshtifar & Nezhad, 2012).
Sementara itu, Santrock (2008 dalam Zastrow & Ashman, 2010), mengemukakan
bahwa konsep diri merujuk pada perasaan positif dan negatif, dimana perasaan ini
menunjukkan dirinya. Konsep diri dikenal dengan istilah citra diri (self image), kesadaran diri
(sense of self), harga diri (Self esteem), identitas diri (Self identity) (Zastrow & Ashman,
2010).
II. Pembentukan Konsep Diri
Murmanto (2007), menjelaskan bahwa proses pembentukan konsep diri dimulai
sejak masih kecil, dan masa kritis pembentukan konsep diri seseorang berada saat anak
masuk sekolah dasar. Individu tidak lahir dengan konsep diri. Konsep diri terbentuk seiring
dengan perkembangan hidup individu. Konsep diri merupakan suatu faktor yang dipelajari
oleh seseorang, yang terbentuk dan pengalaman seseorang dalam berhubungan dengan
orang lain. Sumber informasi mengenai konsep diri seseorang dapat diperoleh melalui
interaksinya dengan orang lain, yaitu orang tua, teman sebaya, dan masyarakat (Isabella,
2011). Menurut Subadi, dkk (1986 dalam Pardede 2008) konsep diri bukanlah faktor yang
dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu
tersebut dalam berhubungan atau berinteraksi dengan individu lain. Pendapat yang
dikemukakan diatas, serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Wong, dkk., (2002), bahwa
konsep diri tidak ada saat lahir, tetapi berkembang perlahan-lahan sebagai hasil
pengalaman unik diri sendiri.
Kasih (2008:38), juga berpendapat bahwa “konsep diri itu terbentuk karena adanya
interaksi individu dengan orang-orang disekitarnya. Apa yang dipersepsi orang lain
mengenai diri seseorang tidak terlepas dari struktur, peran, dan status sosial yang
disandang individu, dimana struktur, peran, dan status sosial merupakan gejala yang
dihasilkan dari adanya interaksi individu yang satu dengan individu lain, antara individu dan
kelompok, atau antara kelompok dan kelompok”.
Konsep diri dibentuk dari kepercayaan dan sikap yang dipegang, yang berkaitan
dengan diri sendiri, dimana konsep diri menentukan siapakah diri kita seperti yang kita
pikirkan, apa yang kita lakukan, dan apa yang akan terjadi pada diri kita dimasa depan
(Yahaya, 2008).
Rasa terhadap diri sendiri juga memiliki aspek sosial: anak menggabungkan
pertumbuhan citra diri (self image) mereka dengan pemahaman mereka terhadap apa yang
‘14
3
Psikologi Komunikasi
Ety Sujanti, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
mereka lihat dalam bentuk lainnya. Gambaran diri mulai muncul ketika pada masa balita,
dimana anak-anak mulai mengembangkan kesadaran diri. Konsep diri menjadi lebih jelas
dan lebih menarik, apabila dilihat sebagai keuntungan yang dicapai seseorang dalam
kemampuan
kognitif
dan
dalam
berhubungan
dengan
tugas-tugas
pada
masa
perkembangan kanak-kanak, remaja, dan hingga dewasa (Papalia, Olds, & Feldman, 2007).
Sedangkan McClun dan Merrell (1998) menyatakan bahwa konsep diri juga tidak
ada dalam ruang hampa, dikarenakan perkembangan konsep diri ini dipengaruhi secara
signifikan oleh keluarga (dalam Henderson, Dekof, Schwartz, & Liddle, 2006), akan tetapi
konsep diri seseorang juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar keluarga, seperti
teman-teman (Harter 1999 dalam Henderson, Dekof, Schwartz, & Liddle, 2006). Hal ini
senada dengan Beheshtifar & Nezhad (2012), mereka menjelaskan bahwa faktor utama
yang menentukan pembentukan konsep diri individu adalah lingkungan serta dengan siapa
individu hidup, dimana mereka memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan
konsep diri seseorang.
Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi
anak untuk menilai siapa dirinya. Oleh sebab itu, seringkali anak-anak yang tumbuh dan
dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan negatif ataupun lingkungan yang kurang
mendukung, cenderung mempunyai konsep diri negatif. Jadi, anak menilai dirinya
berdasarkan apa yang dialami dan apa yang diperoleh dari lingkungan. Jika lingkungan
memberikan sikap yang baik dan positif, maka anak akan merasa dirinya cukup berharga,
sehingga tumbuhlah konsep diri yang positif (Murmanto, 2007). Hal ini senada dengan yang
kemukakan oleh Yahaya (2004) bahwa Konsep diri ada positif maupun negatif dan tidak
terbentuk secara turun-temurun, dimana kepribadian yang dibentuk merupakan suatu hal
yang setara dengan kepercayaan yang ditanam semasa kecil, dan sebagai pegangan ketika
pada masa remaja dan dewasa
Penting untuk diketahui bahwa konsep diri tidak terbatas pada saat ini, tetapi
mencakup diri individu di masa lalu dan masa depan, dimana masa depan mewakili ide-ide
seseorang (individu ingin menjadi), akan tetapi ada kemungkinan bahwa individu dapat
berfungsi sebagai insentif bagi perilaku di masa depan, juga memberikan evaluatif dan
interpretative dalam konteks yang aktif terhadap diri sendiri (Adetoro 2011 dalam
Beheshtifar & Nezhad, 2012).
III. Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Terkait dengan konsep diri yang dimiliki oleh seseorang, Hurlock (1994 dalam
Kasih, 2008) mengemukakan beberapa kondisi yang mempengaruhi konsep diri pada masa
‘14
4
Psikologi Komunikasi
Ety Sujanti, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kanak-kanak, yaitu: kondisi fisik, bentuk tubuh, nama dan julukan, status sosial ekonomi,
lingkungan sekolah, dukungan sosial, keberhasilan dan kegagalan, seks dan inteligensi,
sedangkan kondisi yang mempengaruhi konsep diri pada masa remaja, yaitu: usia
kematangan, penampilan diri, kepatutan seks, nama dan julukan, hubungan keluarga, teman
sebaya, kreatifitas, dan cita-cita.
IV. Komponen Konsep Diri
Menurut Rogers (1959 dalam McLeod, 2008), percaya bahwa konsep diri terbagi
menjadi 3 komponen, antara lain:
1. The View you have of yourself (Self image)
Menurut Rogers (1951 dalam McLeod, 2007), bagaimana kita melihat diri kita sendiri,
dimana ini penting dan baik untuk kesehatan psikologi seseorang. Rogers (1959 dalam
McLeod, 2008), menjelaskan bahwa ini bukan kebutuhan untuk merefleksikan diri. Pada
level sederhana, kita mungkin mengenali diri kita sendiri sebagai pribadi yang baik atau
buruk, cantik atau jelek. Citra diri mempunyai pengaruh terhadap bagaimana seseorang
berpikir, merasakan, dan berprilaku didunia ini (McLeod, 2007).
Citra diri adalah cara seseorang melihat dirinya sendiri, dan berpikir mengenai dirinya
sendiri (Gunawan, 2003). Sedangkan Tracy (1993 dalam Solihudin, 2010) menunjukkan
cara individu dalam membayangkan dirinya sendiri, dan menentukan cara individu
bertingkah laku dalam situasi tertentu.
Khun (1960 dalam McLeod, 2008), membagi citra diri menjadi 4 sub dimensi, yaitu:
a) Physical Description (keterangan fisik): saya tinggi, saya mempunyai mata berwarna
biru, dan lain-lain
b) Social Roles (peran sosial): kita semua adalah makhluk sosial yang perilakunya
dibentuk sampai batas tertentu oleh peran yang kita mainkan. Peran seperti
mahasiswa, ibu rumah tangga, atau anggota tim sepak bola, ini tidak hanya
membantu orang lain untuk mengenali kita, tetapi juga membantu kita untuk
mengetahui apa yang diharapkan dari kita dalam berbagai situasi (Mcleod, 2008).
c) Personal Traits (sifat pribadi): ini adalah dimensi ketiga dari deskripsi tentang diri
kita: “Saya impulsif.. Saya murah hati.. Saya cenderung khwatir dengan banyak hal,
dan lain-lain (Mcleod, 2008).
d) Existential Statements (laporan eksistensial atau yang abstrak): seperti “Saya anak
alam semesta” untuk “Saya sesorang manusia” untuk “Saya makhluk spiritual”, dan
lain-lain (Mcleod, 2008).
‘14
5
Psikologi Komunikasi
Ety Sujanti, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2. How much value you place on yourself (Self esteem or self worth)
Menurut Rogers (1951 dalam McLeod, 2007), apa yang kita pikirkan tentang diri kita
sendiri, dan perasaan harga diri (self worth) berkembang pada awal masa kanak-kanak dan
terbentuk dari interaksi anak dengan ibu dan ayah nya. Menurut Rogers (1959 dalam
McLeod, 2008), harga diri mengacu pada sejauh mana kita suka, menerima, atau
menyetujui diri kita sendiri atau seberapa banyak kita menghargai diri kita sendiri. Menurut
Tracy (1993 dalam Salihudin, 2010), harga diri adalah seberapa besar seseorang menyukai
dirinya sendiri. Menurut Gunawan (2003), Semakin seseorang menyukai dirinya, menerima
dirinya, dan hormat pada dirinya sendiri sebagai seseorang yang berharga dan bermakna,
maka semakin tinggi harga diri seseorang. Semakin seseorang merasa sebagai manusia
yang berharga, maka seseorang akan semakin bersikap positif dan merasa bahagia.
Menurut Rogers (1959 dalam McLeod, 2008), self esteem tinggi, yaitu seseorang
memiliki pandangan yang positif tentang diri kita sendiri, dan hal ini cenderung
menyebabkan:
1. Keyakinan pada kemampuan kita sendiri
2. Penerimaan diri
3. Tidak khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan
4. Optimisme
Sedangkan Rogers (1959 dalam McLeod, 2008), menjelaskan bahwa self esteem
rendah, yaitu seseorang memiliki pandangan negatif terhadap diri kita sendiri, dan hal ini
cenderung menyebabkan:
1. Ketidakpercayaan
2. Ingin menjadi atau terlihat seperti orang lain
3. Selalu mengkhawatirkan apa yang orang lain mungkin pikirkan
4. Pesimisme
3. What you wish you were really like (Ideal self)
Menurut Rogers (1951 dalam McLeod, 2007), diri ideal ini adalah seseorang yang ingin
kita tiru, dimana ini terdiri dari tujuan dan ambisi dalam hidup, dan dinamis. Diri ideal
merupakan gabungan dari semua kualitas, serta ciri kepribadian orang yang sangat
dikagumi atau gambaran dari sosok yang sangat diinginkan, dan apabila dapat menjadi
seperti apa yang diinginkan (Gunawan, 2003).
Diri ideal berisi semua atribut, biasanya positif seperti setiap orang bercita-cita untuk
menjadi yang diinginkan. Sebuah kesenjangan yang besar antara diri ideal dan konsep diri
menunjukkan ketidaksesuaian dan kepribadian yang tidak sehat. Individu yang sehat secara
psikologis memandang perbedaan kecil antara konsep diri mereka dengan apa yang mereka
idealnya ingin menjadi (Feist & Feist, 2009).
‘14
6
Psikologi Komunikasi
Ety Sujanti, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Menurut Tracy (1993 dalam Solihudin, 2010), bentuk diri ideal akan menuntun individu
dalam membentuk perilaku. Menurut Rogers (1959 dalam McLeod, 2008), diri ideal
seseorang mungkin tidak konsisten dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan,
dan pengalaman dari orang tersebut, sehingga perbedaan ini mungkin ada diantara diri ideal
seseorang dengan pengalaman aktual, maka ini disebut ketidaksesuaian (incongruence).
Gambar 13.1 Incongcruence and congcruence self image
Sumber: Rogers (1951 dalam Mcleod, 2007)
Rogers (1959 dalam McLeod, 2008), menjelaskan jika terdapat ketidaksesuaian
antara bagaimana seseorang melihat dirinya (misalnya citra dirinya), dan apa yang
seseorang ingin tiru atau menjadi (misalnya diri ideal), maka ini kemungkinan akan
mempengaruhi seberapa banyak seseorang itu menghargai dirinya sendiri.
V. Dimensi Konsep Diri
Konsep diri dapat dibagi menjadi empat bagian dasar, antara lain: actual versus
ideal, and private versus social. Perbedaan actual – ideal mengacu pada persepsi individu
tentang siapa dirinya sekarang (actual self concept) dan yang saya ingin menjadi (ideal self
concept). Private self mengacu pada bagaimana saya atau ingin menjadi diri saya (private
self concept), dan social self adalah bagaimana saya dilihat oleh orang lain atau bagaimana
saya ingin dilihat oleh orang lain (social self concept) (Hawkins, Mothersbaugh, & Best,
2007).
‘14
7
Psikologi Komunikasi
Ety Sujanti, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Tabel 13.1 Dimensions of a Consumer’s Self Concept
Dimensions of Self-
Actual Self-Concept
Ideal Self Concept
How I actually see my
How I would like to see
self
myself
How others actually
How I would like others
see me
to see me
Concept
Private self
Social self
Sumber: Hawkins, Mothersbaugh, dan Best (2007).
VI. Jenis Konsep Diri
Calhoun dan Acocella (1995 dalam Isabella, 2011), membedakan konsep diri
menjadi 2, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri merupakan bagian
diri yang mempengaruhi setiap aspek pengalaman, baik itu pikiran, perasaan, persepsi, dan
tingkah laku individu. Dengan demikian, Calhoun dan Acocella (1995) positif atau negatif
konsep diri seseorang, dapat dilihat dari tingkah lakunya. Apabila seseorang memiliki
konsep diri positif, maka perilaku yang muncul pun cenderung positif, dan sebaliknya,
seseorang yang menilai dirinya negatif, maka perilaku yang muncul pun cenderung negatif
(dalam Isabella, 2011).
VI.1. Konsep Diri Positif
Santoso (2010:71), mengemukakan bahwa “konsep diri positif merupakan
sebuah sistem operasi yang mempengaruhi mental dan kemampuan berpikir positif
seseorang”. Semakin positif konsep diri seseorang, maka akan semakin mudah
mengarahkan perasaan dan pikirannya kearah positif. Seseorang yang memiliki
konsep diri positif dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan seseorang dalam
kehidupannya”.
Calhoun dan Acocella (1995) Individu yang memiliki konsep diri positif akan
mampu menerima kekurangan dalam dirinya. Ia akan mampu mengintrospeksi
dirinya, dan mampu mengubah dirinya agar menjadi lebih baik, mampu menata
masa depannya dengan sikap optimis sehingga dapat diterima di tengah
masyarakat. Konsep diri yang positif akan menjadi modal individu dalam merancang
kehidupannya dimasa kini maupun masa mendatang. Dengan konsep diri positif,
‘14
8
Psikologi Komunikasi
Ety Sujanti, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
individu akan memandang positif dirinya maupun orang lain, sehingga ia akan
mendapat umpan balik yang positif pula dari lingkungannya (dalam Isabella, 2011).
VI.2. Konsep Diri Negatif
Calhoun dan Acocella (1995) membagi konsep diri negatif menjadi 2, yaitu:
1. Individu memandang dirinya secara acak, tidak teratur, tidak stabil, dan tidak ada
keutuhan diri. Ia tidak mengetahui siapa dirinya, kelemahannya, kelebihannya, serta
apa yang dihargai dalam hidupnya (dalam Isabella, 2011),
2. Kebalikan dari jenis konsep diri negatif yang pertama, individu yang memiliki konsep
diri negatif memandang dirinya terlalu stabil dan terlalu teratur. Dengan demikian,
individu menjadi seorang yang kaku, dan tidak bisa menerima ide-ide baru yang
bermanfaat baginya
Murmanto (2007), konsep diri seseorang dapat dilihat dari sikap mereka. Konsep
diri yang jelek akan mengakibatkan rasa tidak percaya diri, tidak berani mencoba halhal baru, tidak berani mencoba hal-hal yang menantang, takut gagal, takut sukses,
merasa diri bodoh, rendah diri, merasa tidak berharga, merasa tidak layak untuk
sukses, pesimis, dan masih banyak perilaku inferior lainnya. Sebaliknya, orang yang
konsep dirinya baik, akan selalu optimis, berani mencoba hal-hal baru, berani
sukses, berani gagal, percaya diri, antusias, merasa diri berharga, berani
menetapkan tujuan hidup, bersikap dan berpikir positif, dan dapat menjadi seorang
pemimpin yang handal.
VII. Konsep Diri Independent dan Interdependent
Konsep diri adalah penting dalam semua budaya. Namun, aspek-aspek diri yang
paling berharga dan paling pengaruh pada konsumsi dan perilaku lainnya bervariasi di
seluruh budaya. Para peneliti telah menemukan itu berguna untuk mengkategorikan konsep
diri menjadi dua jenis, independen dan interdependen, juga disebut sebagai keterpisahan
seseorang dan keterhubungan (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007).
Menurut Hawkins, Mothersbaugh, dan Best (2007), konsep diri independen dan
interdependen tidak dikategori secara diskrit, melainkan, mereka adalah konstruksi yang
digunakan
untuk
menggambarkan
ujung-ujung
sebuah kontinum
kebanyakan kebohongan budaya.
‘14
9
Psikologi Komunikasi
Ety Sujanti, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sepanjang
yang
VII.1. Konsep Diri Independent
Independent construal of the self didasarkan pada dominan budaya Barat yang
menyatakan bahwa individu terpisah secara inheren. Konsep diri Independen
menekankan tujuan pribadi, karakteristik, prestasi, dan keinginan. Individu dengan
konsep diri yang independen cenderung individualistik, egosentris, otonom, mandiri,
dan mandiri. Mereka mendefinisikan diri mereka dalam hal apa yang mereka
lakukan, apa yang mereka miliki, dan karakteristik pribadi mereka (Hawkins,
Mothersbaugh, & Best, 2007).
VII.2. Konsep Diri Interdependent
Menurut Hawkins, Mothersbaugh, dan Best (2007), interdependent construal of
the self lebih didasarkan pada keyakinan budaya yang umum di Asia dalam
keterhubungan dasar manusia. Konsep diri interdependen menekankan hubungan
keluarga, budaya, profesional, dan sosial. Individu dengan konsep diri interdependen
cenderung patuh, sociocentric, holistik, terhubung, dan hubungan yang terorientasi.
Mereka mendefinisikan diri mereka dalam hal peran sosial, hubungan keluarga, dan
kesamaan dengan anggota lain dari kelompok mereka (Hawkins, Mothersbaugh, &
Best, 2007).
‘14
10
Psikologi Komunikasi
Ety Sujanti, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
1. Psikologi Komunikasi, Jalaluddin Rakhmat, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001
2. Sosiologi Suatu Pengantar, Soerjono Soekanto, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2012
3. Sosiologi Komunikasi, Sutaryo, Arti Bumi Intaran, Jakarta, 2005
4. Interpersonal Communication Everyday Encounters, Julia T. Wood, Wadswprth Group,
USA, 2002
5. Social Psychology, James W. Vander Zanden, Random House Inc., USA, 1984
6. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, Dennis McQuail, Erlangga, Jakarta, 1987
‘14
11
Psikologi Komunikasi
Ety Sujanti, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download