PRESENTASI KASUS IKTERUS NEONATORUM Disusun oleh: EVAN REGAR 0906508024 Narasumber: dr. Engkie A. Djauharie, Sp.A MODUL PRAKTIK KLINIK KESEHATAN ANAK DAN REMAJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA APRIL 2014 LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Evan Regar NPM : 0906508024 adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Makalah yang saya buat dengan judul “Presentasi Kasus: Ikterus Neonatorum” adalah benar merupakan karya saya dan bebas dari unsur plagiarisme sebagaimana yang ditentukan oleh Universitas Indonesia. Apabila di kemudian hari saya terbukti melanggar peraturan mengenai plagiarisme, saya bersedia diberikan sanksi sesuai yang diatur oleh Universitas Indonesia. Jakarta, 1 April 2014 ( Evan Regar ) 1 BAB I ILUSTRASI KASUS Identitas Nama : Bayi Ny. RNH Jenis kelamin : Laki-laki Waktu lahir : 29 Maret 2014 – 21.42 WIB Usia : 5 hari Alamat : Raya Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Timur Nama Ibu : Ny. RNH, lahir 8 Agustus 1991 (22 tahun) Nama Ayah : Tn. FS Anamnesis Dilakukan alloanamnesis pada ayah dan ibu pasien pada hari Rabu, 2 April 2014 Keluhan Utama Kuning sejak 3 hari setelah lahir Riwayat Penyakit Sekarang Pasien dilahirkan melalui sectio cesarea atas indikasi ketuban pecah dini 10 jam. Saat dilahirkan bayi belum terlihat kuning. Pasien kemudian dirawat gabung bersama ibu. 6 jam setelah lahir pasien terlihat mengeluarkan tinja berwarna kehijauan. Berkemih ada, warna tidak dilihat. Keesokan pagi, bayi dikatakan demam (38oC). Pasien kemudian dirawat di ruang rawat perinatologi Seruni serta diberikan obat-obatan suntik. Keesokan paginya pasien terlihat berwarna kuning di daerah wajah. Riwayat Kehamilan Ibu Saat hamil ibu berusia 22 tahun. Riwayat kehamilan saat itu adalah G1P0A0, hamil 40 minggu. Selama hamil ibu kontrol secara rutin ke Poliklinik Anyelir RSAB Harapan Kita. Selama kehamilan, tidak ada masalah yang dialami oleh pasien, tidak ada mual-muntah hebat, tekanan darah tinggi, dan kencing manis, maupun kejang. Tidak terdapat pula keputihan berbau, perdarahan jalan lahir, air ketuban banyak/sedikit. Pasien menjalani USG selama dua kali dan dikatakan tidak ada masalah selama kehamilan. Selama hamil tidak ada konsumsi 2 obat-obatan tambahan selain vitamin tambah darah yang diberikan oleh dokter rumah sakit. Golongan darah ibu adalah AB dengan rhesus positif (+). Ketuban ibu pecah pada tanggal 29 Maret 2014 pukul 11.00 WIB, dan saat itu pasien belum berada di rumah sakit, belum merasakan mulas, keluar darah dan lendir dari jalan lahir. Pasien kemudian dibawa ke RSAB Harapan Kita. Kardiotokografi pada tanggal 29 Maret 2014 menunjukkan hasil reaktif. Pemeriksaan darah menunjukkan leukosit darah 14.310. Sempat dilakukan induksi persalinan, namun belum berhasil dan ibu menyatakan “tidak kuat” sehingga dilakukan sectio cesarea. Riwayat Kelahiran dan Pascakelahiran Selama persalinan, suhu tubuh ibu adalah 36,3oC. Ibu melahirkan secara sectio cesarea atas indikasi ketuban pecah dini 10 jam yang lalu. Tidak terdapat tanda-tanda fetal distress. Tidak terdapat lilitan tali pusat maupun prolaps umbilikus. Air ketuban jumlah normal, berwarna jenih. Perineum intak.. Plasenta dilahirkan secara lengkap, dengan berat 557 gram, kotiledon lengkap. Saat lahir bayi dalam keadaan langsung menangis kuat, langsung bernapas, tidak dilakukan resusitasi. Skor APGAR: 9/9. BBL: 3345 gram; panjang badan lahir: 50 cm; lingkar kepala: 34 cm; lingkar dada: 34 cm; lingkar lengan: 12 cm. Bayi tidak tampak kuning, tampak biru di akral saja. Gerakan ekstremitas aktif. Pada bayi kemudian diberikan tetes mata antibiotik dan dilakukan injeksi vitamin K 1 mg pada anterolateral paha kiri. Riwayat Imunisasi Imunisasi Hepatitis B 0,5 mL disuntikkan secara intramuskular pada anterolateral paha kanan. Riwayat Nutrisi Pada pasien dilakukan inisiasi menyusui dini. Selama rawat gabung, bayi menyusui sebanyak 8 kali setiap hari, selama kurang lebih 10 menit. 3 Riwayat Penyakit Keluarga Pasien merupakan anak pertama dari pasangan suami-istri ini. Dalam keluarga tidak terdapat riwayat kuning pada bayi baru lahir, maupun penggunaan terapi sinar dan transfusi tukar. Tidak terdapat riwayat kuning pada orang dewasa keluarga pasien. Pemeriksaan Fisis Pemeriksaan fisis dilakukan pada hari Rabu, 2 April 2014 06.45 WIB Keadaan umum : tampak aktif, tidak tampak sesak, tidak terdengar suara napas tambahan Tanda vital Nadi : 140 x/menit, teratur, kuat, simetris Pernapasan : 46 x/menit, teratur, tidak tampak napas cuping hidung, tidak tampak retraksi subkosta dan epigastrium : 36,7oC, aksila Suhu Pemeriksaan antropometri Panjang badan : 50 cm Berat badan saat ini : 3355 gram Lingkar kepala : 34 cm Lingkar dada : 34 cm Lingkar lengan atas : 12 cm Sistem organ Kepala : normosefal, tidak tampak kaput suksadenum, tidak tampak sefalohematoma, lingkar kepala 34 cm Rambut : berwarna kehitaman Mata : simetris, tidak tampak sekret, tidak tampak leukokoria Telinga : daun telinga ada, tidak low-set ear, tidak tampak kemerahan pada mastoid Hidung : bentuk normal, tidak tampak sekret Mulut : bibir tidak terlihat sumbing Leher : tidak tortikolis, tampak simetris dan tidak tampak benjolan 4 Dada : dinding dada simetris, lingkar dada 34 cm, tidak tampak kelainan bentuk dada Jantung : bunyi jantung I dan II normal, gallop dan murmur tidak ada Paru : simetris saat inspirasi dan ekspirasi, suara napas bronkovesikuler di kiri dan kanan, tidak terdapat ronki maupun wheezing Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus ada, normal Genitalia : laki-laki, kedua testis sudah turun Anus : anal dimple ada, lubang anus ada Ekstremitas : tonus otot baik, ekstremitas cenderung fleksi, gerakan ekstremitas aktif dan bebas, akral teraba hangat, edema tidak ada Neurologis : refleks moro positif, refleks rooting positif, refleks babinski positif, refleks palmar positif, refleks plantar positif Kulit : tidak tampa kelainan kulit, warna kulit sawo matang Tidak dilakukan pemeriksaan maturitas fisik dan neuromuskular Ballard. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Parameter Rujukan 30 Maret 31 Maret 2 April 2014 Hb (g/dL) 15,2 – 23,6 15,9 - 16,0 Ht (%) 50,0 – 82,0 46,3 - 44,4 ↓ 5.000 – 23.700 - 12.420 0-1/1-6/2- 0,2 / 2,4 / 0,0 - 0,2 / 5,3 / 0,0 6/50-70/20- / 66,1 / 22,9 / / 52,8 / 32,1 / 40/2-9 8,4 9,6 150-400 × 103 241.000 - 227.000 0,0 – 3,00 0,20 - 0,20 Leukosit (/µL) 21.000 Hitung jenis (%) Bas/Eo/Btg/Seg/Lim/Mon Trombosit (/µL) hsCRP (mg/L) IT ratio <0,20 0,08 Bilirubin total <12,60 mg/dL - 6,40 5,60 Bilirubin direk <0,25 mg/dL - 0,30 0,40 ↑ Bilirubin indirek <11,6 mg/dL - 6,10 5,20 Golongan darah : AB, rhesus positif (+) 5 Analisa cairan lambung : eritrosit 2-3/lpk; leukosit 1-3/lpk; epitel positif; karbohidrat negatif; lemak negatif Ringkasan Perjalanan Klinis 29 Maret Bayi dilahirkan secara sectio cesarea atas indikasi ketuban pecah dini 10 jam. 22.00 WIB Perencanaan: cek golongan darah dan rhesus. Saat usia 12 jam lakukan pemeriksaan darah perifer lengkap, CRP, dan IT ratio. Apabila klinis stabil dilakukan rawat gabung. Sementara bayi berada di ruang transisi. Rencana nutrisi: inisiasi menyusui dini, dengan ASI ad libitum. 30 Maret Pemindahan bayi untu rawat gabung di ruang Menur. Keadaan umum baik, napas 05.00 WIB spontan, tidak tampak sesak dan sianosis, gerakan aktif. Tidak tampak ikterus. Tampak mekonium. Suhu: 37,5oC, nadi 144x/menit, RR 44x/menit, BB 3300 gram. 30 Maret Pemantauan suhu menunjukkan suhu 38,5oC. Dugaan infeksi neonatal. Persiapan 09.30 WIB pindah ke bangsal perinatologi Seruni. Diagnosis: NCB-SMK, dugaan infeksi neonatal. Rencana pentalaksanaan berupa ASI ad libitum, pindah ke bangsal perinatologi infeksi, pemeriksaan laboratorium CRP, IT ratio, dan darah perifer lengkap, antibiotik ampisilin + sulbaktam 2 dd 250 mg IV dan amikasin 2 dd 25 mg IV. 30 Maret Bayi tiba di ruang infeksi Seruni, dengan dugaan infeksi neonatal. Keadaan umum 12.10 WIB baik, tidak tampak ikterus. BB 3220 gram. 31 Maret Klinis bayi mulai tampak kuning (±38 jam usia post-natal), terutama daerah wajah. 11.00 WIB Keadaan umum baik, tidak tampak sesak, tonus baik. Penatalaksanaan sebelumnya masih berlanjut. Direncanakan pemeriksaan bilirubin (total/direk/indirek). 31 Maret Diketahui hasil bilirubin total 6,40 mg/dL; indirek 6,10 mg/dL; direk 0,30 mg/dL. 16.00 WIB Mulai dilakukan single phototherapy (single LT) 1 April Keadaan klinis baik. Bayi masih tampak kuning, daerah wajah. 08.00 WIB 2 April Keadaan klinis baik. Rencana pemeriksaan ulang darah perifer lengkap, hsCRP, dan 08.00 WIB bilirubin (total/direk/indirek). Masih dilakukan single phototherapy (single LT) 6 Diagnosis 1. Neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan 2. Dugaan infeksi neonatus 3. Ikterus neonatorum Penatalaksanaan 1. Nutrisi: ASI ad libitum 2. Single phototherapy 3. Ampisilin-sulbaktam 2 x 250 mg, IV 4. Amikasin 2 x 25 mg IV Prognosis Ad vitam : bonam Ad functionam : bonam Ad sanationam : bonam Follow Up Diketahui hasil bilirubin total 5,60 mg/dL; indirek 0,40 mg/dL; direk 5,20 mg/dL. 2 April Keadaan umum baik. Klinis kuning mulai berkurang. 12.00 WIB 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bilirubin dan Metabolismenya Bilirubin adalah senyawa yang merupakan produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme. Dalam tubuh manusia bilirubin dihasilkan dari 75% degradasi hemoglobin dan 25% degradasi heme selain hemoglobin (seperti enzim sitokrom, katalase, serta mioglobin otot). Gambar 1 – Skema nasib bilirubin di dalam tubuh Degradasi zat yang mengandung heme akan menghasilkan bilirubin tak-terkonjugasi. Bilirubin dihasilkan akibat pemutusan cincin tetrapirol protoheme (protoporfirin IX), sehingga terbentuk tetrapirol rantai lurus atau biliverdin. Produksi bilirubin pada neonatus sehat encapai 6-8 mg/kg/hari, hampir dua kali nilai dewasa. Hal ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi hemoglobin dalam darah neonatus, masa hidup eritrosit neonatus lebih singkat (90 hari, pada dewasa mencapai 120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over enzim sitokrom yang meningkat, serta sirkulasi enterohepatik yang dominan.1 Bilirubin tak-terkonjugasi adalah bilirubin yang tidak larut air. Di dalam plasma, bilirubin ini terikat dengan albumin sebagai protein transporter (karena sifat hidrofobiknya). Setiap molekul albumin mampu mengikat satu molekul bilirubin. Dengan demikian hampir 8 seluruh bilirubin berikatan dengan albumin, dan hanya sedikit yang berdifusi ke jaringan lain.2 Oleh karena albumin berfungsi untuk mengikat substansi tak-larut lain, seperti obat, maka pemberian obat-obatan dapat menggeser ikatan albumin dengan bilirubin, meningkatkan difusi bilirubin tak-terkonjugasi ke dalam jaringan yang berpotensi menimbulkan efek toksik. Obat yang berpotensi di antarnaya seftriakson, fenilbutazon, kloksasilin, dan lain-lainSecara umum albumin neonatus memiliki afinitas yang lebih lemah dinbandingkan dengan albumin orang dewasa. Kompleks albumin-bilirubin ini akan mencapai hepar dan melalui protein karier bilitranslokase, bilirubin ditranspor menuju protein di dalam sitosol (disebut sebagai ligandin, protein Y, atau glutation-S-transferase atau GST). Ikatan intraselular ini mengakibatkan bilirubin tidak dapat mengalir balik ke dalam plasma sehingga tidak terjadi refluks dari hepatosit ke dalam plasma. Bilirubin kemudian dikonversi menjadi bilirubin monoglukoronidase (BMG) serta bilirubin diglukoronidase (BDG) melalui proses konjugasi. Donor asam glukoronat adalah dari uridine diphosphate glucoronic acid (UDPGA). Setelah melalui proses konjugasi, bilirubin diekskresi melawan gradien konsentrasi hepatosit melalui membran kanalikuli ke dalam saluran empedu. Dalam keadaan normal ditemukan pula bilirubin terkonjugasi yang menyebrangi membran sinusoid hepatosit sehingga dapat berada di dalam plasma dalam jumlah kecil. Pada neonatus sistem konjugasi belum sempurna sehingga jumlah bilirubin terkonjugasi dalam plasma berkurang. Hal ini dibuktikan melalui peningkatan kadar bilirubin konjugasi pada plasma (0,55 ± 0,25%) pada umur 2 hingga 4 hari, menjadi 1,62 ± 0,99% pada umur 9 hingga 13 hari.1 Apabila terdapat dalam kadar yang tinggi, dapat terjadi reaksi enzimatik maupun non-enzimatik antara bilirubin terkonjugasi dengan albumin, menghasilkan bilirubin-delta (bilirubin-δ). Bilirubin terkonjugasi yang masuk ke dalam lumen usus akan mengalami metabolisme lebih lanjut. Pada orang dewasa, terdapat flora normal, seperti Clostridium ramosum dengan bekerja sama dengan Escherichia coli, yang akan menhidrogenasi karbon ikatan rangkap bilirubin menghasilkan urobilinogen, dan lebih lanjut proses oksidasi akan menghasilkan urobilin. Keduanya termasuk dalam golongan urobilinoid dan akan diekskresikan ke dalam feses serta tidak mampu diserap kembali ke dalam tubuh. Sementara itu pada neonatus hanya terdapat sedikit flora intestinal, sehingga banyak mengalami absoprsi kembali dari intestinum ke plasma. Proses ini disebut sebagai siklus enterohepatik. Proses enterohepatik akan 9 dipercepat apabila terdapat enzim beta-glukoronidase jaringan endogen maupun eksogen yang menjadikan bilirubin terkonjugasi sebagai substrat. Pada masa intrauterin biliburin terkonjugasi yang diekskresikan ke lumen saluran cerna akan mengalami proses enzimatik beta-glukoronidasi. Hal ini akan mengakibatkan terbentuk kembali bilirubin tak-terkonjugasi yang pada akhirnya akan melalui membran plasenta untuk diekskresikan. Namun demikian dalam keadaan post-natal masih dapat ditemukan aktivitas beta-glukoronidase yang terdapat di dalam lumen usus maupun terkandung di dalam susu, termasuk ASI, sehingga terjadi sirkulasi enterohepatik yang mengakibatkan keadaan hiperbilirubinemia. Gambar 2 – Gambaran skematis lengkap mengenai metabolisme bilirubin dalam tubuh1 10 Pendekatan Klinis Kuning pada Neonatus Derajat kuning bergantung kepada kadar bilirubin. Secara klinis dapat diperkirakan berapa kadar bilirubin total melalui penentuan sampai di mana lokasi ikterus dapat ditemukan. Ikterus akan berprogresi ke arah sefalokaudal. Bayi dapat dibagi menjadi lima zona, dan masing-masing zona akan menunjukkan kadar bilirubin tertentu. Penentuan ini menjadi relatif tidak sahih apabila bayi memiliki warna kulit yang gelap, preterm, di bawah usia 36 jam, serta sudah pernah menjalani fototerapi. Cara penentuan ini secara luas dikenal sebagai Kramer.3 Cara terbaik melihat ikterus adalah dengan menekan kulit secara hati-hati dengan jari di bawah penerangan yang cukup. Kuning akibat hiperbilirubinemia indirek cenderung berwarna kuning terang hingga jingga, sementara akibat hiperbilirubinemia direk cenderung bewarna kehijauan. Gambar 3 – Aturan Kramer3 Keterangan: 1 mg/dL = 17,1 mmol/L Salah satu diagnosis banding ikterus adalah hiperkarotinemia, yang mana akan meninggalkan sklera tetap berwarna putih. Hiperkarotenemia adalah keadaan di mana kadar pigmen karoten menjadi meningkat dalam darah dan mengakibatkan deposisi dan diskolorasi kulit dan jaringan. Pengukuran kadar bilirubin dapat menggunakan dua metode, yakni pengukuran bilirubin secara laboratorium dan secara transkutan (TcB, transcutaneous bilirubin). Salah satu penelitian menunjukkan bahwa pengukuran secara transkutan memiliki koefisien korelasi yang baik (r = 0,829; 0,844; dan 0,823) untuk dua, tiga, hingga empat kali pengukuran. Penelitian 11 ini juga menyimpulan bahwa pengukuran di regio sternum memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan pengukuran di regio frontal.4 Pengukuran secara transkutan diindikasikan hanya untuk bayi dengan usia gestasi lebih dari sama dengan 35 minggu dan berusia lebih dari 24 jam, serta apabila hasil menunjukkan lebih dari 250 umol/L (14,6 mg/dL). Produk komersial transcutaneous bilirubinometry antara lain BiliCheck® dan Minolta JM®. Gambar 4 –Pengukuran transcutaneous bilirubinometry (Sumber: www.medgadget.com) Kuning pada neonatus (neonatal jaundice) dapat merupakan keadaan yang fisiologis (sering disebut sebagai ikterus neonatorum) maupun keadaan lain yang dinyatakan patologis. Pada neonatus, metabolisme bilirubin berada dalam fase transisi fetus-dewasa, sebab pada fetal ekskresi bilirubin dilakukan oleh plasenta sedangkan pada dewasa sepenuhnya dilakukan melalui fungsi tubuh itu sendiri.5 Apabila terjadi peningkatan kadar bilirubin, baik direk maupun indirek, perlu dipikirkan beberapa hal berikut: 1. peningkatan produksi bilirubin (misal: proses hemolisis, perdarahan, pemendekan umur etirosit); 2. gangguan aktivitas enzim transferase dan/atau enzim lain yang terkait (misal: defek genetik, hipoksia, infeksi, defisiensi hormon tiroid); 3. persaingan atau blokade terhadap enzim transferase dan/atau enzim lain yang terkait (misal: obat yang memerlukan konjugasi dengan asam glukoronat); 4. gangguan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan proses konjugasi (misal: defek genetik, prematuritas); 5. gangguan ekskresi bilirubin terkonjugasi (misal: anomali kongenital saluran empedu, inflamasi hepar); 12 6. serta peningkatan siklus enterohepatik (misal: tingginya aktivitas beta-glukoronidasi intralumen dan gangguan pasase feses). Pada neonatus, keadaan ikterus merupakan hal unik dan memerlukan perhatian. Secara umum bila kadar bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL, dapat ditentukan ikterus secara klinis. Sebagian besar neonatus cukup bulan maupun prematur akan terlihat kuning dalam minggu pertama.2 Ikterus sedang (bilirubin indirek serum >12 mg/dL) terjadi pada 12% neonatus yang mendapat ASI dan 4% neonatus yang mendapat formula. Sementara itu ikterus berat (bilirubin indirek serum >15 mg/dL) terjadi pada 2% yang mendapat ASI dan hanya pada 0,3% yang mendapat susu formula. Keadaan yang fisiologis umumnya mengikuti perjalanan demikian: mencapai puncak 6-8 mg/dL pada hari ke-3, menurun cepat dalam 2-3 hari, diikuti penurunan lambat hingga 12 minggu untuk bayi yang mendapat susu formula. Sementara untuk yang mendapat ASI, umumnya kadar puncak lebih tinggi (mencapai 7 – 14 mg/dL), penurunan berlangsung lebih lambat, pada umumnya terjadi dalam waktu 2-4 minggu dan bahkan hingga 6 minggu. Diagnosis banding hiperbilirubinemia indirek adalah sebagai berikut: Inkompatibilitas darah fetomaternal (ABO, Rh) Defisiensi enzim kongenital (G6PD) Perdarahan, seperti hematoma, memar Sepsis neonatorum Polisitemia akibat twin-to-twin transfusion, keterlambatan klem tali pusat Keterlambatan pasase mekonium, ileus mekonium, meconium plug syndrome Puasa, keterlambatan minum Breastmilk jaundice Breastfeed jaundice Hipotiroid Lain-lain: sindroma Criggler-Najjar, sindroma Lucey-Driscoll Keadaan di bawah ini merupakan keadaan di mana investigasi lengkap perlu dilakukan, atau dengan kata lain dicurigai ikterus yang terjadi bukan merupakan ikterus yang fisiologis6: 1. terjadi sebelum usia 24 jam, timbul saat lahir atau hari pertama kehidupan; 2. peningkatan kadar bilirubin total serum lebih dari 5 mg/dL/hari, atau 0,2 mg/dL/jam 13 3. kadar bilirubin serum lebih dari 12 mg/dL, atau peningkatan kadar bilirubin yang memerlukan tatalaksana berupa fototerapi 4. adanya gejala, tanda, serta penyakit yang mendasari (misal: mual, letari, malas menetek, penurunan berat badan secara cepat, gangguan respirasi, suhu yang tidak stabil); 5. ikterus menetap pada usia 2 minggu atau lebih; 6. peningkatan bilirubin direk > 2 mg/dL (cenderung ke arah kolestasis – baik obstruksi maupun hepatoselular); 7. dan terdapat faktor risiko, seperti berat badan lahir rendah (<2500 gram), prematuritas7 Gambar 5 – Skema pendekatan klinis hiperbilirubinemia direk maupun indirek5 14 Strategi Manajemen Neonatal Jaundice3 Pada ikterus yang terlihat <24 jam setelah lahir: Suatu kegawatan medik, perlu penatalaksanaan dengan fasilitas neonatologi Tentukan kadar bilirubin serum dalam 2 jam setelah identifikasi Hampir pasti patologis, karena hemolitik dan sepsis Lakukan fototerapi sambil menunggu hasil bilirubin Pemeriksaan rutin: DPL, gambaran darah, golongan darah, Coomb’s test Pada ikterus yang terlihat 24 jam sampai 10 hari: Tentukan kadar bilirubin serum dalam 6 jam Kemungkinan ikterus neonatorum, dugaan lain: sepsis, dehidrasi, hemolisis, polisitemia, peningkatan sirkulasi enterohepatik (breastfeeding jaundice, breastmilk jaundice), obstruksi saluran cerna Lakukan fototerapi jika melampaui kadar fototerapi Lakukan pemeriksaan bilirubin, darah perifer lengkap, DAT, TORCH Pada ikterus yang terlihat lebih dari 10 hari (prolonged jaundice): Hampir pasti patologis Dugaan dapat pula ke arah peningkatan bilirubin direk Dugaan: sepsis, hipotiroid, anemia hemolitik, breast milk jaundice Pemeriksaan tinja, bilirubin, retikulosit, darah perifer lengkap Pada ikterus yang ditandai dengan peningkatan kadar bilirubin direk: Memerlukan konsultasi dan tindakan segera, baik dokter anak konsultan neonatologi, gastroenterologi-hepatologi, maupun dokter bedah anak Dugaan gangguan sistem bilier (atresia bilier, duktus kolekokus, stenosis duktus biliaris), hepatisis neonatal idiopatik, infeksi (TORCH, Hepatitis B), infeksi saluran kemih, infeksi sistemik lain, sepsis, serta gangguan metabolik. Lakukan pemeriksaan bilirubin, faal hati, koagulasi, ultrasonografi hepar, faal tiroid, analisa urin 15 Gambar 6 – Tabel diagnosis banding beberapa kelainan yang mengakibatkan neonatal jaudice5 Ikterus Neonatorum Fisiologis Ikterus neonatorum adalah suatu keadaan klinis pada bayi baru lahir yang ditandai dengan terdapatnya tanda ikterus pada kulit, membran mukosa, dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi (indirek, akibat reaksi Van den Bergh) yang berlebih. Keadaan ikterus secara klinis dapat terdeteksi apabila kadar bilirubin total dalam darah mencapai 5 – 7 mg/dL.8 Ikterus neonatorum sebenarnya tergolong dalam suatu kondisi hiperbilirubinemia yang dinyatakan seringkali dianggap sebagai proses fisiologis. Namun demikian beberapa literatur tetap menggolongkan kuning pada neonatus yang patologis ke dalam ikterus neonatorum. Keadaan hiperbilirubinemia sendiri adalah peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan usia.8 Keadaan hiperbilirubinemia pada neonatus diperkirakan mengakibatkan 85% bayi cukup bulan kembali dirawat di rumah sakit dalam minggu pertama kehidupannya. Sekitar 60% neonatus cukup bulan akan mengalami ikterus, bahkan angka ini lebih tinggi pada neonatus kurang bulan (mencapai 80%). Sementara itu bayi yang terlalu cepat dibawa pulang setelah dilahirkan (<30 jam post-natal) memiliki risiko tinggi dirawat kembali karena kuning yang timbul dalam satu bulan pertama. Ikterus biasanya muncul pada hari ke-2 hingga ke-3, meningkat dengan laju <5 mg/dL/24 jam, memuncak di hari ke-4 dan berkurang pada hari ke-5 hingga ke-7. 16 Diagnosis ikterus neonatorum fisiologis hanya dapat ditegakkan secara eksklusi. Eksklusi terhadap anamnesis, pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang yang mengarah kepada diagnosis lain akan menegakkan diagnosis ikterus neonatorum fisiologis. Breastfeed dan breastmilk jaundice Ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan ASI (akibat minimnya produksi ASI pada hari-hari pertama) disebut sebagai breastfeed jaundice. Ikterus umumnya timbul pada 23 hari pertama. Pada neonatus cukup bulan hal ini tidak perlu menjadi kekhawatiran sebab neonatus dibekali oleh cadangan lemak cokelat, glikogen, dan cairan yang mampu mempertahankan metabolisme hingga 72 jam. Ikterus timbul akibat peningkatan siklus enterohepatik akibat kurangnya asupan ASI. Sementara itu breastmilk jaundice adalah ikterus akibat ASI yang timbul pada 2-4% neonatus cukup bulan. Bilirubin akan terus naik mulai hari ke-4, hingga mencapai maksimal 20-30 mg/dL pada usia 14 hari. Penghentian ASI secara drastis menurunkan kadar bilirubin dalam waktu 48 jam, dan pemberian ASI kembali akan meningkatkan kadar namun stidak setinggi sebelumnya. 70% breastmilk jaundice akan berulang pada kehamilan berikutnya. Keadaan ini timbul akibat terdapat hasil metabolisme progesteron, yakn ipregnane-3-alfa-2beta-diol yang menghambat kerja enzim UDGPA.6 Prinsip Tatalaksana Hiperbilirubinemia Indirek Secara umum, obat dan/atau faktor yang mengganggu metabolisme bilirubin serta menggangu ikatan dengan albumin perlu dihentikan. Pada breastfeed jaundice, lakukan pemantauan kecukupan jumlah ASI yang diberikan (minimal 8 kali sehari), tanpa perlu tambahan air putih, air gula, maupun formula pengganti. Hal ini berkaitan dengan seberapa baik dan sering bayi menghisap, seberapa sering bayi diberikan makanan pendamping/pengganti, atau susu bukan manusia.9 Untuk breastmilk jaundice, masih terdapat kontroversi apakah ASI perlu dihentikan atau tidak. AAP tidak merekomendasikan penghentian ASI, sementara Gartner dan Aurbach menyarankan penghentian ASI sementara (maksimal 24 jam, sambil pengukuran bilirubin tiap 6 jam). Bila dalam 24 jam kadar bilirubin tetap meningkat dapat dipastikan penyebabnya bukan dari ASI. Dengan demikian penghentian ASI semata-mata untuk alasan diagnostik, bukan 17 secara permanen. Penelitian lain mengatakan bahwa interupsi temporer mungkin diindikasikan untuk menurunkan kadar bilirubin indirek serum sementara.10 American Academy of Pediatrics (AAP) telah mempublikasikan kurva tentang penilaian risiko terjadinya hiperbilirubinemia maupun kurva batas dipertimbangkannya fototerapi dan transfusi tukar.11 Apapun penyebab hiperbilirubinemia, panduan memulai fototerapi dan/atau transfusi tukar mengikuti kurva tersebut dengan pada garis risiko mana neonatus tersebut tergolongkan. Gambar 7 – Kurva yang menggambarkan risiko atau prediksi seorang neonatus akan mengalami hiperbilirubinemia berat11 18 Gambar 8 – Kurva indikasi terapi sinar pada neonatus lebih atau sama dengan 35 minggu11 Gambar 9 – Kurva indikasi transfusi tukar pada neonatus lebih atau sama dengan 35 minggu11 19 Sementara itu untuk bayi prematur di bawah 35 minggu, atau di bawah 2500 gram, panduan terapi sinar dan transfusi tukar tidak mengikuti kurva di atas, melainkan mengikuti tabel di bawah ini. Pada tabel di bawah ini batas penentuan terapi sinar dan transfusi tukar tidak ditentukan berdasarkan usia kronologis, melainkan berdasarkan berat badan semata. Berat badan Indikasi terapi sinar Indikasi transfusi tukar <1000 g Dimulai dalam 24 jam 10 – 12 mg/dL 1000 – 1500 g 7 – 9 mg/dL 12 – 15 mg/dL 1500 – 2000 g 10 – 12 mg/dL 15 – 18 mg/dL 2000 – 2500 g 13 – 15 mg/dL 18 – 20 mg/dL Fototerapi Fototerapi bermanfaat mengonversi bilirubin yang tidak larut air menjadi isomer yang larut air dan dapat diekskresikan keluar tubuh. Bilirubin indirek (4Z, 16Z-bilirubin) menyerap cahaya dan akan menghasilkan 2 isomer (struktur dan konfigurasi), 4Z, 15E-bilirubin. Struktur ini relatif kurang lipofilik dan dapat diekskresi tanpa melalui glukoronidasi. Beberapa konfigurasi dapat diabsorpsi kembali melalui siklus enterohepatik.12 Tidak ada kontraindikasi mutlak fototerapi, termasuk hiperbilirubinemia direk. Penelitian menunjukkan bahwa penderita hiperbilirubinemia direk yang mengalami fototerapi akan mengalami diskolorasi kulit menjadi gelap, sering disebut sebagai bronze-baby syndrome yang diduga disebabkan oleh deposisi porfirin. Keadaan ini umumnya reversibel. Beberapa keadaan lain yang perlu menjadi pertimbangan adalah penggunaan obat-obatan yang menimbulkan fotosensitisasi. Efektivitas fototerapi ditentukan oleh dosis fototerapi, panjang gelombang yang digunakan, serta kekuatan radiasi. Sebuah penelitian oleh Vandborg13, et.al berhasil membuktikan korelasi linear antara iradiasi dengan perubahan bilirubin serum total setelah 24 jam dilakukan fototerapi (ΔTsB0-24) saat iradiasi ditingkatkan dari 20 mencapai 55 µW/cm2/nm. 20 Gambar 10 – Panjang gelombang 460-490 adalah ideal untuk melakukan fototerapi12 Gambar 11 – Beberapa faktor yang menentukan keberhasilan fototerapi, di antaranya adalah kekuatan pajanan, jarak, serta daerah kulit yang terpapar dengan cahaya alat fototerapi12 Dengan kadar bilirubin serum 2-3 mg/dL dari cut-off sebenarnya dapat dipertimbangkan terapi sinar konvensional di rumah. Namun demikian terapi sinar ini tidak boleh dilakukan pada bayi yang memiliki faktor risiko. 21 BAB III PEMBAHASAN KASUS Pasien adalah neonatus cukup bulan, sesuai masa kehamilan, jenis kelamin laki-laki, saat ini berusia 5 hari. Salah satu yang menjadi perhatian adalah neonatus dilahirkan melalui prosedur sectio cesarea atas indikasi ketuban pecah dini selama 10 jam. Tidak ada faktor risiko maupun masalah lain selama kehamilan pada ibu. Keluhan kuning pada neonatus membawa alur diagnostik kuning pada neonatus. Pada neonatus ini, perlu ditentukan apakah ikterus masuk dalam tanda-tanda yang tidak fisiologis. Pertama, menurut onsetnya, kuning secara klinis baru terdeteksi pada hari ketiga, dan terlihat terutama di daerah wajah. Pada pemeriksaan klinis yang jeli, kuning baru terlihat apabila kadar bilirubin total di atas 5 mg/dL. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa bilirubin baru di atas 5 mg/dL pada hari ketiga, tepatnya sekitar 38 jam usia kehamilan. Ikterus yang terlihat pada daerah wajah, menurut Kramer, menunjukkan kadar bilirubin total sekitar 6 mg/dL. Setidaknya, apabila diperkirakan bilirubin pada usia 0 jam sekitar 1 mg/dL, hanya terjadi peningkatan sekitar 4 mg/dL dibagi 38, yakni sekitar 0,11 mg/dL/jam. Dengan demikian tidak terjadi peningkatan yang perlu dicurigai patologis (kurang dari 5 mg/dL/hari atau 0,2 mg/dL/jam). Uji kuantitatif bilirubin menunjukkan bahwa bahwa bilirubin total saat itu adalah 6,40 mg/dL. Sementara itu bilirubin direk yang 0,30 menyingkirkan keadaan kolestasis (yang pasti abnormal). Dengan demikian dugaan saat ini mengarah kepada ikterus neonatorum yang terjadi secara fisiologis. Keadaan yang mendekati fisiologis, yakni breastfeeding jaundice perlu dipikirkan sebagai penyebab. Walaupun cenderung tergolong fisiologis, perlu ditentukan apakah neonatus ini memiliki risiko tertentu untuk melihat pada ambang berapakah terapi sinar atau transfusi tukar direkomendasikan. Sebelum menentukan ambang, perlu ditelusuri dulu apakah terdapat faktor risiko. Neonatus cukup bulan (40 minggu) yang sesuai masa kehamilan membuat neonatus ini kurang berisiko. Ibu pasien tidak memiliki faktor risiko tertentu, seperti DM. Tidak ada riwayat kuning pada anak sebelumnya sebab ini merupakan kehamilan yang pertama. Golongan darah ibu adalah AB (+), sama seperti golongan darah neonatus. Dengan demikian dapat disingkirkan kemungkinan hemolitik terbesar akibat inkompatibilitas Rhesus, dan risiko minornya yakni inkomptabilitas ABO. Tidak ada indikasi untuk melakukan uji antiglobulin (DAT, Coomb’s test). Defek enzimatik seperti G6PD juga kemungkinan besar dapat disingkirkan sebab secara klinis dapat terjadi hemolisis pada 24 jam pertama, walaupun 22 terdapat kemungkinan hemolisis baru terjadi akibat paparan dengan zat oksidan. G6PD juga perlu dicurigai apabila ras pasien berasal dari daerah sekitar Laut Tengah atau Timur Tengah, yang mana tidak sesuai seperti pada kasus. Tidak terdapat pula sefalohematoma dan/atau memar yang bermakna sebab pada keadaan ini dapat terjadi resoprsi dan meningkatkan kemungkinan kuning. Bayi ini mendapatkan ASI, yang mana ASI merupakan salah satu faktor risiko terjadinya ikterus neonatorum. Pada pasien yang lahir oleh ibu dengan ketuban pecah dini, infeksi (bahkan keadaan sepsis) merupakan keadaan yang sangat perlu dipikirkan. Menurut parameter infeksi laboratorium, tidak terdapat abnormalitas pada parameter leukosit (leukositosis maupun leukopenia), hitung jenis, maupun CRP. Demikian pula pada parameter I/T ratio yang menggambarkan neutrofil imatur dibandingkan neutorfil total, tidak menggambarkan tanda ke arah infeksi. Pasien ini diduga mengalami infeksi neonatus karena klinis suhu yang meningkat hingga 38,5oC pada hari usia 1 hari. Pada pasien juga diberikan antibiotika spektrum luas, yakni ampisilin-sulbaktam dan kanamisin. Pada neonatus, tanda klinis maupun laboratoris tidak sejelas pada usia yang lebih tua. Hal ini disebabkan respons tubuh dalam menghadapi infeksi belum matur, sedangkan parameter klinis yang bisa terlihat pada umumnya timbul akibat respons tubuh. Selain secara klinis, salah satu faktor risiko dapat ditentukan menggunakan kurva risiko (nomogram), yang mana menunjukkan bahwa pada usia 38 jam, kadar bilirubin total 6,40 mg/dL sebenarnya tergolong dalam zona risiko rendah. Jika dilakukan plotting terhadap ambang kadar bilirubin untuk memulai fototerapi, dengan menggunakan risiko sedang, ambang fototerapi dimulai sebenarnya adalah sekitar 11 mg/dL. Namun pada pasien ini telah dimulai fototerapi sejak kadar bilirubin 6,4 mg/dL. Menurut penelitian tidak banyak efek samping fototerapi, ataupun tidak ada efek samping fototerapi yang bersifat letal. Pertimbangan fototerapi dapat digunakan tanpa mengkhawatirkan efek samping fototerapi sedikit banyak masih berterima, sebab ambang fototerapi menurut kurva adalah ambang rekomendasi, dan tidaklah bersifat mutlak. Apalagi peningkatan kadar bilirubin indirek berisiko menyebabkan deposisi di jaringan, mengakibatkan ensefalopati bilirubin akut, kronik, hingga terjadi diskolorasi patologis dan menimbulkan gangguan yang dikenal dengan istilah kernikterus. Pemantauan respons klinis dalam fototerapi menjadi hal yang mutlak dilakukan pada setiap pasien. Satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah 23 rekomendasi yang dibuat diharapkan dapat menghindari kasus-kasus yang undertreatment, sekaligus mengurangi jumlah kasus yang overtreatment dan menjadi tidak cost-effective. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada pasien diduga mengalami infeksi neonatal yang meningkatkan risiko terjadinya hiperbilirubinemia. Pada pasien ini, dilakukan asesmen sebagai ikterus neonatorum yang fisiologis, dengan terapi fototerapi dimulai di bawah ambang batas yang direkomendasikan oleh literatur. 24 DAFTAR PUSTAKA 1. Martiza I. Ikterus. In: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, editors. Buku ajar gastroenterologi-hepatologi. 1st ed. Jakarta: UKK GastroenterologiHepatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012. p. 264–84. 2. Hadinegoro SR, Prawitasari T, Endyarni B, Kadim M, Sjakti HA. Diagnosis dan tatalaksana penyakit anak dengan gejala kuning. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. 3. Neonatal jaundice. Queensland maternity and neonatal clincal guideline [Internet]. 2010 [cited 2014 Apr 1]. Available from: http://www.health.qld.gov.au/qcg/documents/g_jaundice.pdf 4. Kosarat S, Khuwuthyakorn V. Accuracy of transcutaneous bilirubin measurement in term newborns. J Med Assoc Thail Chotmaihet Thangphaet. 2013;96(2):172–7. 5. Ambalavanan N, Carlo WA. Jaundice and hyperbilirubinemia in the newborn. In: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE, editors. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p. 603–9. 6. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, IDris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, et al., editors. Panduan pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia. Edisi II. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. 7. Tschudy MM, Arcara MM, editors. The harriet lane handbook. 19th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 8. Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A. Buku ajar neonatologi. 1st ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. 9. Auerbach KG, Gartner LM. Breastfeeding and human milk: their association with jaundice in the neonate. Clin Perinatol. 1987;14(1):89–107. 10. Leung AK, Sauve RS. Breastfeeding and breast milk jaundice. J R Soc Health. 1989;109(6):213–7. 11. Hyperbilirubinemia S on. Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation. Pediatrics. 2004;114(1):297–316. 12. Phototherapy for Jaundice. 2013 Sep 19 [cited 2014 Apr 1]; Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1894477-overview 13. Vandborg PK, Hansen BM, Greisen G, Ebbesen F. Dose-response relationship of phototherapy for hyperbilirubinemia. Pediatrics. 2012;130(2):352–7. 25