Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 6, No. 1, Januari 2013 GEOLOGI DAERAH GUNUNG TENONG DAN SEKITARNYA KECAMATAN TULAKAN DAN KECAMATAN NGADIRAJA KABUPATEN PACITAN PROPINSI JAWA TIMUR Rakhmad Budi Waluyo Mahasiswa Magister Teknik Geologi, UPN “Veteran” Yogyakarta SARI Daerah penelitian secara administratif berada di Kecamatan Tulakan dan Kecamatan Ngadiraja, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Secara fisiografis terletak antara koordinat 8°8’42”LS - 8°14’01”LS dan 4°25’47”BT - 4°29’57”BT. Geomorfologi daerah penelitian dapat dibagi menjadi empat satuan geomorfik yaitu denudasi, fluvial, karst, dan volkanik. Stratigrafi yang menyusun daerah penelitian adalah Formasi Besole, Formasi Jaten, Formasi Wuni, Formasi Nampol, Formasi Punung, Batuan Terobosan, dan Aluvial dengan struktur geologi yang berkembang yaitu Sesar Kali Sempu yang berarah relatif Timurlaut – Baratdaya, Sesar Kali Guyangan yang berarah relatif Tenggara – Baratlaut, Sesar Pagerejo, Sesar Tembelong, Sinklin Watulawang, dan Antiklin Pringamba. PENDAHULUAN Daerah Pacitan termasuk ke dalam zona Pegunungan Selatan Jawa Timur dengan struktur geologi yang sangat komplek dan mempengaruhi batuan penyusun maupun kenampakan geomorfologinya. Pola struktur yang ada membentuk daerah tinggian dan rendahan . Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Tulakan dan Kecamatan Ngadiraja, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur ini bertujuan untuk mengetahui geologi detail, mengetahui pula besarnya pengaruh hubungan antara struktur geologi, litologi, dan proses-proses geomorfologi muda yang terlihat sekarang. METODOLOGI Metode yang dilakukan menggunakan metode konvensional dalam mengamati singkapan batuan, mengambil contoh batuan , mengukur kedudukan batuan, bidang sesar, kekar, liniasi, kedudukan kekar kolom, gores-garis, dan membuat lintasan detail. Contoh batuan yang diambil digunakan untuk melakukan analisa petrografi, analisa paleontologi, dan analisa sedimentologi. Analisa struktur daerah telitian menggunakan hasil pengukuran kedudukan batuan dan kenampakan struktur geologi dilapangan. GEOMORFOLOGI Berdasarkan bentuk dan prosesnya daerah telitian dapat dibagi menjadi empat satuan geomorfik mengacu pada klasifikasi Van Zuidam, 1983, pembagian ini juga memperhatikan morfogenesa, morfografi, morfometri, dan morfostrukturnya. Sehingga satuan geomorfik yang dijumpai di lapangan yaitu Satuan Geomorfik Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 6, No. 1, Januari 2013 Bentukan Asal Denudasi. Satuan Geomorfik Bentukan Asal Fluvial, Satuan Geomorfik Bentukan Asal Karst, dan Satuan Geomorfik Bentukan Asal Vulkanik. Satuan geomorfik bentukan asal denudasional terbagi menjadi dua sub satuan geomorfik yaitu sub satuan geomorfik perbukitan dan lereng landai denudasi (D1), menempati ± 14,48% daerah telitian, kemiringan landai sampai curam menengah, tersusun oleh batupasir, batu pasir tufan, betulempung gampingan, batupasir gampingan, tuf, dan sisipan batubara. Terletak di sebelah barat laut daerah penelitian, meliputi daerah Gasang, Ploso, Plapar, Ngasinan, Jatigunung, Klepu, Wanakersa, puncak bukit Gunung Durenlumut, Gunung Lemutan, Gunung Tengah, dan Gunung Suru. Sub satuan geomorfik kedua yaitu sub satuan geomorfik perbukitan dan lereng curam denudasi (D2) yang menempati ± 23,2 % daerah telitian, topografi berbukit curam-sangat curam dengan lembah berbentuk “U” tajam dan sebagian kecil berbentuk “V”, tersusun oleh batuan breksi volkanik, lava andesit, sisipan batupasir volkanik dan tuf dari Formasi Besole. Sub satuan ini menempati sebelah timur daerah penelitian. Satuan geomorfik bentukan asal fluvial terbagi menjadi tiga sub satuan geomorfik yaitu tubuh sungai (F2), sub satuan geomorfik gosong sungai (F4), dan sub satuan geomorfik dataran alluvial (F12). Sub satuan geomorfik tubuh sungai menempati ± 1,6% dari seluruh daerah penelitian, topografi landai, memanjang dari arah relatif utara-selatan dan merupakan saluran pembawa material lepas. Sub satuan geomorfik gosong sungai menempati ± 0,4% wilayah penelitian, dijumpai pada tubuh sungai utama yaitu Kali Ngrendeng, Kali Tulakan, Kali Jagan, Kali Tempursari, dan Kali Guyangan. Tersusun oleh material lepas seperti pasir lepas, bongkah andesit, lumpur, arang kuarsa, dan material organik. Sub satuan geomorfik dataran alluvial menempati ±4% dari seluruh wilayah penelitian, berada di sebelah tenggara dan disepanjang sungai utama, meliputi daerah Tempursari, Lorok, disepanjang Kali Ngrendeng, Kali Tulakan, dan Kali Jagan. Tersusun oleh material lepas seperti pasir kasar, pasir halus, lanau, lempung, lumpur, batugamping, konglomerat. Satuan geomorfik bentukan asal karst terbagi menjadi sub satuan geomorfik perbukitan dan lereng karst denudasi (K2) yang menempati ±25,7% daerah penelitian, topografi curam menengah-curam dengan prosentase lereng 25%-62%. Tersusun oleh batugamping pasiran, batugamping fragmental, batugamping terumbu, batugamping bioklastik, napal, dan marmer. Menempati bagian barat daerah penelitian meliputi daerah Pringamba, Somopura, Blimbing, Karangtalun, Biting, Ngelo, dan Pagerejo. Perbukitan-perbukitan yang berkembang relatif curam seperti Gunung Watulawang dan Gunung Kebon Agung. Dijumpai pula gua-gua kapur diantaranya Gua Jumpaksurupan, Gua Somapuro, Goa Padangan, Gua Sriten, Gua Ngaliyan, dan Gua Pagerwaja. Sungai bawah tanah yang dijumpai di sub satuan geomorfik ini yaitu Kali Tumpaksurupan, Kali Padi, Kali Somorupo, Kali Banyuripan, dan Kali Ngelo. Sub satuan geomorfik kedua yaitu sub satuan geomorfik daerah kerucut karts (K5) menempati ±18,2% dari seluruh daerah penelitian dengan topografi curam-sangat curam, tersusun oleh batugamping pasiran, batugamping terumbu, batugamping fragmental, dan batugamping bioklastik yang menempati bagian selatan daerah telitian yaitu Desa Padi Kecamatan Tulakan dan Kecamatan Ngadiraja. Bukit-bukit karst yang ada yaitu Gunung Resa, Gunung Gede, Gunung Dayu, Gunung Gleleng, Gunung Marwi, Ngadiraja. Banyak terdapat pula kerucut-kerucut karst, dolena, dan lokva didaerah Tempursari. Sub satuan geomorfik yang ketiga yaitu dataran alluvial karst (K7), Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 6, No. 1, Januari 2013 menempati ±2% daerah telitian dengan topografi datar, tersusun oleh material lepas hasil rombakan batugamping yang ada disekitarnya, terletak di bagian selatan daerah telitian yaitu daerah Tempursari.. Satuan geomorfik bentukan asal volkanik terbagi menjadi sub satuan geomorfik bukit intrusi denudasi (V16) yang menempati ±9,7% daerah penelitian dengan topografi curam menengah-sangat curam. Tersusun oleh breksi volkanik, batupasir tufan, sisipan lava andesit dan tuf. Sub satuan ini menyebar di daerah tengah daerah telitian, meliputi bukit-bukit curam seperti intrusi Gunung Bantaranom, Gunung Tenong, Gunung Sepang, Gunung Ngalaran, Gunung Soka, dan Gunung Gowong. Pola aliran yang berkembang di daerah telitian berdasarkan klasifikasi A.D. Howard, 1996 dikelompokkan menjadi dua yaitu pola ubahan sub parallel dan subtrelis. Pola aliran sub parallel menempati sebelah timur daerah penelitian, memperlihatkan pola anak sungai yang relatif sejajar dan dikontrol oleh lapisan batuan yang relatif seragam resistensinya yaitu batuan breksi vulkanik dan lava, dikontrol juga oleh lereng curam menengah – curam. Sungai-sungai yang membentuk pola aliran subparalel ini adalah Kali Pucung, Kali Talang, Kali Bantaranom, Kali Jambon, dan Kali Kebonampel. Sedangkan pola aliran subtrellis menempati sebagian besar daerah telitian yang berkembang dari sebelah utara sampai selatan yang memotong batugamping, batupasir, batupasir tufan, dan batupasir kuarsa. Pola ini ditunjukkan oleh adanya cabang-cabang sungai yang relatif tegak lurus terhadap sungai utama dan dikontrol oleh adanya struktur lipatan degnan dip lapisan yang kuran dari 10°. Pola aliran ini pada saat mengalir ke selatan ada yang menyusup kedalam tanah karena melewati batugamping yang mudah larut dan beberapa sungai muncul lagi ke permukaan. Pola ini dibentuk oleh sungai-sungai yaitu Kali Ngrendeng, Kali Tulakan, Kali Noneng, Kali Guyangan, Kali Prambon, Kali Jagan, Kali Banyuuripan, Kali Padi, Kali Kalisapi dan Kali Tempursari. Stadium geomorfik daerah telitian sudah berkembang dari muda menuju dewasa, dapat dilihat dari morfologi batugamping yang sudah mengalami proses pelarutan membentuk dolena dan sungai-sungai bawah tanah, adanya morfologig yang relatif datar dengan sungai yang mempunyai lembah berbentuk “U” di tenggara daerah telitian. Disamping itu adanya bukit-bukit intrusi yang tersebar di daerah telitian dan masih banyaknya sungai-sungai kecil yang memperlihatkan tingkat erosi vertical yang cukup besar (Gambar 1). STRATIGRAFI TELITIAN Penamaan formasi dan urutan stratigrafi daerah telitian menggunakan nama-nama formasi yang diusulkan oleh Sartono, 1966. Berdasarkan lithostratigrafi daerah telitian dibagi menjadi lima formasi dengan urutan dari tua ke muda adalah Formasi Besole, Formasi Jaten, Formasi Wuni, Formasi Nampol, Formasi Punung, Satuan Batuan Terobosan, dan Satuan Alluvium. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 6, No. 1, Januari 2013 Gambar 1. Kenampakan bentang alam di daerah G. Tenong dan sekitarnya, foto diambil dari G. Perahu, lensa menghadap selatan. Meliputi Sub satuan Geomorfik : Perbukitan dan lereng Denudasi (D1), Perbukitan dan lereng Denudasi (D2), Perbukitan dan Lereng Denudasi Karst (K2), dan Bukit Intrusi Denudasi (V16) Formai Besole menempati ±23,2% dari luas daerah telitian, tersingkap sebagian besar di sebelah timur daerah telitian dengan kemiringan lapisan kea rah baratdaya. Formasi ini mendominasi daerah “high” seperti Gunung Pulasaren, Gunung Jagadayuh yang membentuk topografi tinggi dengan relief yang tajam.litologi formasi Besole terdiri dari breksi volkanik, lava andesit, dengan sisipan batupasir tufa, dan tuf. Penentuan lingkungan pengendapan formasi Besole dilakukan berdasarkan variasi litologi karena tidak diketemukan fosil, diperkirakan formasi Besole diendapkan pada lingkungan darat. Batuan-batuan vulkanik yang mendominasi litologi di formasi Besole ini menunjukkan bahwa pengendapannya dipengaruhi oleh aktifitas volkanisme, hal ini diperkuat dengan ditemukannya kayu yang terarangkan dalam tuf. Penampakan lava secara fisik di lapangan tidak memperlihatkan struktur “pillow lava” dan jug akenampakan breksi volkanik yang terdiri dari semen oksida besi dengan struktur sediman masif. Berdasarkan data diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa formasi Besole diendapkan pada lingkungan darat yaitu fasies “Medial volcaniclastik”. Penentuan umur formasi Besole menurut Sartono, 1964 dengan menyebandingkan formasi Andesit Tua (daerah Progo Barat) dan memberi umur oligisen. Nahrowi, dkk (1978) mendapatkan fosil Epipiodes dari genus Lepidocyclina yang menunjukkan umur Miosen Awal. R. Soeria Atmadja, 1991 melakukan dating terhadap lava di Sungai Grindulu pada sampel PC 6A menunjukkan umur 33.56±9.69 Ma. Berdasarkan hubungan stratigrafi didapatkan kontak ketidakselarasan menyudut antara formasi besole dengan formasi Jaten yang lebih muda di Kali Sempu, dimana hasil analisa fosil formasi Jaten bagian atas menunjukkan umur Miosen Tengah (N9). Jadi umur formasi besole bedarsarkan data diatas adalah oligosen-miosen. Hubungan stratigrafi formasi Besole dengan formasi dibawahnya tidak ditemukan di lapangan. Sedangkan hubungan stratigrafi dengan Formasi Jaten dan Formasi Punung berupa ketidakselarasan berupa konglomerat alas dan kemiringan lapisan Formasi Besole berkisar 25°-30° sedangkan Formasi Jaten mempunyai kemiringan rata-rata 10°-12°. Formasi Jaten menempati ±6,1% dari luas daerah telitian, tersingkap di sekitar Gasang, Losari, Kali Tulakan, Kai Bubakan, dan Kali Sempu. Formasi Jaten bagian bawah terdiri dari batpasir kuarsa, konglomerat aneka bahan, dan batulanau, dibeberapa tempat dijumpai batubara dan sulfur. Sedangkan pada bagian atas Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 6, No. 1, Januari 2013 formasi Jaten tersusun oleh batulempung, batupasir, dijumpai sisipan batubara dan adanya “septaria” gamping. Penentuan lingkungan pengendapan berdasarkan kenampakan variasi litologi dan struktur sedimen yang berkembang. Hadirnya konglomerat aneka bahan yang merupakan konglomerat alas dengan struktur sedimen “graded bedding” dan “trought cross bedding”, batupasir kuarsa dengan arag kayu, struktur sedimen perlapisan, secara umum butiran makin keatas makin menghalus maka disimpulkan pengendapannya pada “system pengendapan sungai bermeander” bagian “point bar” (Walker, 1984). Lingkungan pengendapan Formasi Jaten bagian atas berdasarkan analisis foraminifera benthos adalah transisi. Jika dilihat dari litologi penyusunnya yang dominan batulempung dengan sisipan batupasir kuarsa, ditemukannya nodul-nodul gamping (septaria), di beberapa lapisan ditemukan pecahan koral yang melimpah dan struktur sedimen masif, perlapisan, laminasi, perlapisan bergelombang maka diperkirakan lingkungan pengendapannya adalah “Tidal Flats” bagian “ Intertidal” fasies “Mud flats” (Dalrymple et al, 1990 dalam Cas & Wright, 1992). Umur relatif Formasi Jaten berdasarkan analisa foraminifera plankton adalah N9 (BLOW, 1969). Formasi Jaten dapat dikorelasikan denga Formasi Jonggrangan di Progo Barat yang berumur awal Miosen Tengah (Sartono, 1964). Maka dapat disimpulkan bahwa umur Formasi Jaten adalah Awal Miosen Tengah. Hubungan stratigrafi Formasi Jaten dengan bagian atas Formasi Besole membentuk ketidakselarasan menyudut dengan kontak kedua formasi ini dijumpai di Kali Sempu dengan arah kemiringan sama yaitu baratdaya tetapi besar dip untuk Formasi Jaten 10°-12° sedangkn Formasi Besole 25°-30°. Hubungan stratigrafi dengan Formasi Wuni yang berada diatasnya yaitu selaras. Formasi Jaten mempunyai hubungan menjari dengan Formasi Punung dengan kontak di Kali Sempu, hubungan ini terlihat juga dari penampang geologi dan analisa umur relatif yang “overlapping” antara Formasi Jaten bagian atas dengan Formasi Punung bagian bawah. Formasi Wuni menempati ±5,03% dari seluruh daerah telitian, tersingkap baik di Kali Ngrendeng, Kali Soka, dan Kali Noneng. Dicirkan oleh batupasir tufaan, batulempung (bersifat gampingan di Formasi Wuni bagian atas), berselingan dengan batupasir tufan, batupasir krikilan, tuf, batulanau, sisipan batupasir gampingan dan breksi volkanik. Analisis foraminifera bentonik pada Formasi wunu bagian bawah didapat lingkungan batimetri transisi, sedangkan pada bagian atas pada transisi-neritik tepi (0-20 meter). Variasi litologi yang ada yaitu batupasir tufan, batulempung, bataulanau, dengan sedikit batupasir krikilan, tuf, sisipan batupasir gampingan dan breksi volkanik dengan struktur sedimen masif, perlapisan, perlapisan bergelombang, dan “flaser” menunjukkan bahwa lingungan pengendapannya dipengaruhi oleh lingkungan pasir dan lempung/lumpur. Maka pendekatan model lingkungan pengendapan yang paling mendekati adalah lingkungan pengendapan “Tidal Flats” bagian “Intertidal” fasies “ Mixed Flats”. Penentuan umur Formasi Wuni menggunakan foraminifera plankton yang menunjukkan N10 –N12 untuk Formasi Wuni bagian bawah dan N13 untuk Formasi Wuni bagian atas., sehingga dapat disimpulkan bahwa umur relatif Formasi Wuni adalah antara N10-N13 (Miosen Tengah). Hubungan stratigrafi dengan Formasi Jaten yang berada dibawah Formasi Wuni adalah selaras. Sedangkan dengan formasi di atasnya, yaitu Formasi Nampol mempunyai kontak selaras yang dapat dijumpai di Dusun Dera dan Gunung Durenlumut. Formasi Wuni mempunyai hubungan menjari dengan Formasi Punung dilihat dari penampang geologi B-B’ dan C-C’ dan analisa kisaran umur relatif dari Formasi Wuni yang “overlapping” dengan Formasi Punung dibagian tengah. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 6, No. 1, Januari 2013 Formasi Nampol menempati ±3,1% dari luas daerah penelitian, tersingkap tipis dengan besar kemiringan ±8°-10°. Tersingkap baik di Kali Ngrendeng dan sekitar Gunung Tumpaksurupan. Cirri umum litologi yang tersingkap dan teramati berupa batulempung, batulanau dengan sisipan batupasir gampingan dan batubara. Lingkungan batimetri Formasi Nampol bagian bawah berdasarkan analisis foraminifera bentos didapatkan lingkungan batimetri transisi-neritik tepi (0-20 meter) sedangkan bagian atas adalah lingkungan neritik tepi (0-20 meter) dari litologi yang tersingkap merupakan sedimen klastika halus yang bersisipan batubara dengan struktur sedimen yang dominan laminasi, masif, dan ditemukan struktur “lentikuler”, batubara pada formasi ini komak dan membentuk perlapisan, hal ini menunjukkan bahwa lingkungan pengendapan Formasi Nampol pada kondisi reduksi dan semakin jauh dari daratan. Dari data struktur sedimen, variasi litologi, dan adanya batubara maka model lingkungan pengendapan yang paling mendekati dengan kondisi tersebut adalah “Tidal Flats” bagian “Intertidal” type “Abondaned Inlet Channel”. Penentuan umur relatif Formasi Nampol didasarkan pada analisis foraminifera plankton yang diambil dari contoh batulempung di Gunung Durenlumut dan Gunung Wijil diperoleh umur relatif Formasi nampol adalah N14 (Akhir Miosen Tengah). Hubungan stratigrafi Formasi Nampol dengnan Formasi Wuni yang berada dibawahnya adalah selaras. Formasi Nampol mempunyai hubungan menjari dengan Formasi punung dan sekaligus ditindih secara selaras di atasnya. Kontak selaras antara batulempung gampingan dengan batugamping pasiran Formasi Punung terlihat di Kali Ngrendeng, selain itu kedudukan selaras antara Formasi Nampol dengan Formasi Punung tersingkap di Dusun klampok, dan Kali Gesingan. Formasi Punung tersingkap di sebelah barat membentang dari Desa Jatigunung sampai Gunung Soka, disebelah selatan tersingkap di sekitar Gunung Soka sampai batas timur daerah telitian yaitu Dusun Ngrejeng Kecamatan Ngadiraja dan menempati ±45,9% dari seluruh daerah telitian. Formasi Punung bagian bawah terdiri dari litologi batugamping pasiran sisipan napal, bagian tengah tersusun oleh batugamping pasiran, batugamping bioklastik, dan batugamping fragmental, dengan sisipan napal. Di sekitar intrusi dijumpai marmer. Batugamping terumbu pada bagian atas Formasi Punung terdiri batugamping terumbbu dan batupasir gampingan. Lingkungan batimetri Formasi Punung bagian bawah dan tengah, dari analisis foraminifera bentos diperoleh lingkungan Neritik Tepi (0-20 meter) dilihat dari litologi yangterdiri dari batugamping pasiran dengan sisipan batugamping fragmental (Formasi Punung bagian tengah semakin banyak dijumpai batugamping fragmental) dan napal menunjukkan pengendapan dipengaruhi sedimentasi asal darat, berdasarkan klasifikasi Wilson, 1975 termasuk dalam lingkungan pengendapan “Open Platform”. Sedangkan untuk Formasi Punung bagian atas, dari analisis foraminifera bentos diperoleh lingkungan batimetri neritik tengah (20-100 meter). Berdasarkan litilogi yangtersusun oleh batugamping terumbu menunjukkan bahwa pengendapan Formasi Punung bagian atas belum mengalami transportasi atau pada inti terumbunya reef. Data litologi dan struktur tumbuh yang ada dapat diketahui bahwa lingkungan pengendapan dari Formasi Punung bagian atas adalah “Organic Reef Fasies” (Wilson, 1975). Penentuan umur Formasi Punung bagian bawah berdasarkan analisis foraminifera plangton diperoleh kisaran umur relatif N9N12, untuk Formasi Punung bagian tengah N13-N15, sedangkan untuk bagian atas diperoleh kisaran umur N14-N16. Jadi Formasi Punung abagian atas diperoleh kisaran umur N14-N16 (Akhir Miosen Tengah-Miosen Akhir). Formasi Punung menindih secara tidak selaras Formasi Besole dan mempunyai hubungan menjari dengan Formasi Jaten. Di sebelah utara daerah penelitian Formasi Wuni menindih Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 6, No. 1, Januari 2013 secara selaras Formasi Nampol, sedangkan di sebelah timur dan selatan daerah telitian mempunyai hubungan yang tidak selaras dengan Formasi Besole. Satuan batuan terobosan merupakan penyerta dari aktifitas volkanisme yang terjadi pada pengendapan Formasi Besole dan Formasi Punung. Satuan ini menempati ±9,7% dari luas daerah penelitian yang tersingkap di permukaan akibat erosi dan denudasi membentuk morfologi perbukitan curam, dengan puncak seperti Gunung Sepang, Gunung Nglaran, Gunung Soka, Gunung Gowong, Gunung Tenong, dan Gunung Bantaranom. Menurut George A. Thiel, at al, 1951 batuan terobosan ini merupakan intrusi-intrusi dangkal batuan beku andesit berbentuk “stock”. Tubuh intrusi yang tersingkap didaerah telitian merupakan intrusi andesit yaitu intrusi Gunung Sepang, Gunung Nglaran, Gunung Soka, Ngelo, Gunung Gowong, Gunung Tenong, dan Gunung Bantaranom yang berbentuk “stock”. Berdasarkan hubungan stratigrafi antara Formasi batuan dengan intrusi yang menerobos Formasi batuan maka batuan terobosan di daerah telitian dapat dibagi menjadi dua yaitu batuan terobosan Besole dan “Post” Besole. Batuan terobosan Besole terbentuk seteah pengendapan Formasi Besole bagian atas seperti intrusiintrusi andesit Gunung Bantaanom dan Gunung Tenong, intrusi ini hasil dari aktivitas tektonik pada kala Oligo-Miosen. R. Soria atmaja, 1991 melakukan “dating” 40 40 isotop K- Ar disebelah timur daerah penelitian menunjukkan umur 28.00 ± 1.53 Ma. Sedangkan batuan terobosan “Post Besole” adalah terobosan setelah pengendapan Formasi Punung seperti intrusi andesit Gunung Sepang, Gunung Gowong, Gunung Nglaran, Gunung Soko, dan intrusi Ngelo. Intruso-intrusi ini hasil 40 40 dari aktivitas tektonik pada kala Mio_Piosen. “Dating” isotop K- Ar memberikan umur 8.94 ± 0.40 Ma Satuan Alluvium tersingkap disekitar daerah Lorok (Ngrejeng) Kecamatan Ngadiraja dan disepnajang tubuh sungai besar, menempati 6% dari luas daerah telitian. Merupakan endapan sungai yang belum terkonsolidasi, berasal dari rombakan batuan yang lebih tua. Satuan ini menindih formasi-formasi batuan yang ada di daerah penelitian berupa kontak bidang erosi. Terdiri dari lempung, lanau, andesit, dasit, tuf, pasir halus, pasir kasar, kerikil, batugamping, material organic, kuarsa dan bongkahan pirit. Satuan alluvium yang terdapat pada lembah diantara bukit karst tersusun secara khusus oleh pecahan batugamping berukuran lempung sampai berangkal. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 6, No. 1, Januari 2013 STRUKTUR GEOLOGI Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian adalah kekar, sesar, dan lipatan. Pengklasifikasian struktur berdasarkan data-data yang ditemukan dilapangan, selanjutnya dilakukan analisa menggunakan metoda stereografis dan penamaannya menggunakan klasifikasi Richard (1971 dan 1972) dan Fleuty (1964) Kekar didaerah penelitian umumnya mempunyai kedudukan tegak atau hampir tegak dan mempunyai bentuk yang sangat beragam dalam ukuran maupun kerapatannya.kekar-kekar yang umumnya merupakan penyerta sesar dan digunakan untuk menganalisa pergerakan sesar mempunyai jenis terbuka “gash fracture” biasanya terisi kuarsa dan tertutup “shear fracture”. Sesar-sesar yang dijumpai didaerah penelitian adalah sesar Kali Sempu yang merupakan sesar mendatar mengiri (sinistral), Sesar Kali Guyangan yang merupakan sesar mendatar menganan (dextral) dan Sesar Pagerejo, Sesar Tembelong yang merupakan sesar turun. Sedangkan lipatan yang dijumpai didaerah penelitian adalah Sinklin Watulawang dan Antiklin Pringamba. DAFTAR PUSTAKA CAS, R.A.F., and WRIGHT, J.V., 1984, Volcanic Successions, Modern and Ancient;A Geological Approach to Processes, Products and Succestions, Department of Earth Science, Monash University, Allen and Unwin, London. HOWARD, A.D. Drainage Analysis in Geological Interpretation, Summattion AAPG Bull. SARTONO, S., 1964, Stratigraphy and Sedimentation of The Eastern most part of Gunung Sewu (East Java), Publikasi Teknik-Seri Geologi Umum No.1, Direktorat Geologi Bandung, 144p. SOERIA-ATMAJA, R., R.C. MAURY, H. BELLON, H. PRINGGOPRAWIRO, M. POLVE, B. PRIADI, 1991, The Tertiary Magmatic Belts in Java, The Proceeding of the Silver Jubilee Symposium on the Dynamics of Subduction and its Product-LIPI, Yogyakarta, p98-121 VAN BEMMELEN, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Vol IA, The Hague Martinus Nijhoff Amsterdam, 732p VAN ZUIDAM, R.A., 1983, Guide to Geomorphology Aerial PhotographicInterpretation and Mapping, ITC, Enschede, The Netherland. WALKER, R. G., 1984, Facies Models, Geological Association of Canada, Toronto, Ontario, 317p.