BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan karst dengan dominasi batuan berupa batugamping memiliki banyak manfaat dalam kehidupan manuasia. Menurut Jennings (1971) karst merupakan bentang alam terletak pada batuan karbonat, depresi tertutup yang luas, aliran bawah tanah yang berkembang dengan baik, lembah yang kering dan aliran permukaan sementara. Kondisi pada kawasan karst ditandai dengan adanya morfologi berupa tonjoplan bukit batugamping yang tidak beraturan, cekungan, lereng terjal, sungai bawah tanah dan sungai sementara. Untuk daerah tropis seperti di Indonesia, bentukan morfologi berupa aliran permukaan dan cekungan dapat mudah ditemukan. Wilayah karst di Indonesia mencapai 8% dari total luas daratan. Secara umum wilayah karst yang tersebar di Indonesia terdiri atas batugamping berumur tersier. Wilayah karst Gombong pada daerah penelitian tergolong dalam batugamping berumur tersier . Wilayah karst Gombong dengan segala kelebihan dan keunikan yang dimilikinya ditetapkan sebagai kawasan Eko – Karst berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomer: 961.K/40/MEM/2003 tanggal 23 Juli 2003 dan Nomor 169K/40/MEM/200 tanggal 1 Desember 2004. Penyelidikan terhadap kawasan karst Gombong berdasarkan data sekunder dinilai penting untuk mengetahui dan mengklasifikasikan morfologi yang ada pada karst Gombong. Data-data sekunder tersebut diolah secara komprehensif , digabungkan satu dengan yang lain, dan diintepretasi. Hasil dari pengolahan data-data sekunder ini diharapkan dapat memberikan informasi lebih banyak mengenai kars Gombong sehinggaa perencanaan pemanfaatan maupun tata ruang lebih baik lagi. 1.2 Maksud dan Tujuan (ngak paham man teman) Penulisan laporan tugas ini dimaksudkan untuk syarat kelulusan mata kuliah GL4022 Geologi Lingkungan. Tujuan penelitian adalah: 1. Mengetahui unsur-unsur eksokarst dan endokarst pada daerah Gombong, jawa tengah 2. Mengetahui batas dan informasi bentang alam karst 1.3 Batasan Masalah Bahasan utama pada laporan kali ini adalah untuk mempelajari morfologi karst dan unsur penyertanya dengan hasil akhir berupa peta daerah penelitian, bentang alam karst, dan analisisnya yang tertuang dalam bentuk laporan. 1.4 Metode Penelitian Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menyusun laporan ini adalah metode studi literatur. Metode studi literatur, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari berbagai sumber tertulis yang diperoleh dari internet, jurnal geologi, dan buku -buku geologi yang saling menunjang satu sama lainnya. Data-datasekunder tersebut akan diolah menggunakan perangkat lunak pengolah data sehingga dihasilkan luaran berupa peta yang nantinya diintepretasikan dan dianalisis untuk selanjutnya ditulis menjadi laporan yang komprehensif. 1.5 Sistematika Penulisan Penulisan makalah ini terbagi menjadi empat bab dengan pembahasan seperti berikut: BAB I Bab ini menguraikan tentang latar belakang, maksud dan tujuan, batasan masalah, metode penulisan dan sistematika pembahasan. BAB II Bab ini memaparkan dasar teori mengenai fisiografi regional, stratigrafi regional, dan struktur regional BAB III Bab ini menjelaskan BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tegah menjadi enam zona fisiografi (Gambar 1), yaitu : Zona Pegunungan Serayu, Zona Gunung Api Kuarter, Zona Pegunungan Selatan Jawa, Zona Depresi Jawa, Zona Dataran Aluvial Jawa Utara, dan Zona Antiklinorium Bogor-SerayuUtara-Kendeng. Daerah penelitan tugas besar merupakan bagian dari Zona Fisiografi Pegunungan Selatan dan bagian dari Tinggian Karangbolong. Gambar 2.1 Fisiografi Regional Pulau Jawa (Modifikasi van Bemmelen, 1949) 2.2 Stratigrafi Regional Secara umum stratigrafi daerah pada Zona Fisiografi Pegunungan Selatan berupa batuan silisiklastik, vulkanoklastik, vulkanik, dan karbonat. Batuan yang menjadi dasar pada zona ini adalah Kompleks Melange Luk Ulo yang memiliki umur Kapur. Satuan stratigrafi di atasnya endapan darat, delta, laut dangkal, dan laut dalam berumur Eosen hingga Oligosen yang tersingkat diantaranya Formasi Karangsambung, Fo rmasi Totogan, Formasi Nanggulan, dan Formasi Wungkal- Gamping dengan litologi berupa konglomerat, batupasir, batulanau, dan batulempung. Formasi-formasi ini memiliki umur Eosen hingga Oligosen dan terendapkan secara tidak selaras diatas Kompleks Melange Luk Ulo. Selanjutnya terendapkan secara tidak selaras batuan volkanik yang litologinya terdiri dari tuf, breksi piroklastik, dan lava pada umur Oligosen hingga Miosen Tengah. Formasi yang mengandung litologi tersebut termanifestasi dalam Formasi gabon dan Formasi Semilir. Pada umur Miosen Tengah aktivitas volkanisme berkurang yang diikuti dengan pengendapan secara tidak selaras endapan karbonat pada Formasi Kalipucang dan Formasi Wonosari yang menjari dengan endapan laut dalam pada Formasi Halang (Satyana, 2005). Gambar 2.2 Stratigrafi umum Zona Pegunungan Selatan (Satyana, 2013 dalam Fauzi, 2013) Berdasarkan peta geologi lembar Banyumas yang dibuat oleh Asikin, dkk (1992) (Gambar 2.3) daerah penelitian tersusun atas anggota dari tiga formasi yaitu Form asi Gabon, Formasi Kalipucang, Formasi Halang, dan Andesit. Formasi Gabon (Tomg) tersusun atas breksi dengan komponen andesit, masa dasar berupa tuf dan batupasir kasar dengan keterdapatan tuf lapilli, lava, dan endapan lahar yang terubah. Formasi Kalipuca ng (Tmk) terdiri dari batugamping terumbu, batugamping klastik, dan dibagian bawah berupa serpih bitumen. Formasi Halang (Tmph) terdiri dari perselingan batupasir, batulempung, napal, dan tuf dengan sisipan breksi. Gambar 2.3 Peta Geologi Lembar Banyumas dan daerah penelitian tugas besar pada Peta Geologi Regional lembar Banyumas (Asikin, S. dkk, 1992) Gambar 2.4 Stratigrafi umum Peta Geologi Regional Lembar Banyumas (Asikin, S. dkk, 1992) 2.3 Struktur Geologi Regional Pulunggono dan Martodjojo (1994) menyatakan bahwa terdapat tiga pola struktur dominan yang berkembang di Pulau Jawa yaitu Pola Meratus (timur laut- baratdaya), Pola Sunda ( utara – selatan), dan Pola Jawa (barat - timur). Gambar 2.5 Pola struktur umum Pulau Jawa (Pulunggono dan Martodjojo, 1994) Pola Meratus Pola Meratus memiliki arah kelurusan Timurlaut-Baratdaya yang sesarnya diketahui berumur Kapur-Paleosen. Struktur ini terjadi akibat subduksi antara Lempeng Eurasia yang ditunjam oleh mikrokontinen yang berasal dari Lempeng Hindia-Australia dengan arah tegasan utama Baratlaut-Tenggara. Di Pulau Jawa, sesar-sesar ini diaktifkan kembali pada umur-umur yang lebih muda. Pola Sunda Pola Sunda memiliki arah kelurusan Utara-Selatan yang umumnya terdapat di bagian Barat dari wilayah Jawa Barat. Struktur yang bekerja pada pola ini umumnya berupa regangan. Dari data seismik lepas pantai Jawa Barat, Pola Sunda mengaktifkan kembali Pola Meratus pada Eosen Akhir-Oligosen Akhir. Pola Jawa Pola Jawa memiliki arah kelurusan Barat-Timur yang umumnya berada di jalur Serayu Utara dan Serayu Selatan. Pola Jawa merupakan pola termuda yang mengaktifkan kembali pola-pola yang sebelumnya telah ada. Struktur ini berkembang pada Zaman tersier dan diperkirakan terjadi sebagai akibat dari perubahan jalur subduksi yang berarah TimurlautBaratdaya yang sudah tidak aktif menjadi jalur subduksi baru yang berada di bagian selatan dan berarah Barat-Timur. Gambar 2.5 Pola struktur umum Pulau Jawa (Sribudiyani. dkk, 2003) Secara umum pola struktur di Jawa Tengah memperlihatkan adanya 3 arah utama yaitu baratlaut – tenggara, timur laut- barat daya, serta timur – barat dengan arah timur - barat daya menjadi arah struktur dominan baik di permukaan maupun batuan dasar (Sribudiyani.dkk, 2013). Satyana (2005) menyatakan bahwa TInggian Karangbolong yang diapit Zona Depresi jawa Tengah di bagian barat dan timurnya dipengaruhi oleh adanya dua sesar geser utama di daerah Jawa Tengah yaitu sesar Mengan Pamanukan – Cilacap dan Sesar Mengiri Kebumen – Muria dengan Tinggian Karangbolong berada di dekat pertemuan dua sesar geser tersebut. Depresi Jawa Tengah terbentuk akibat amblesan isostatis dan rezim ekstensional di bagian barat dan Timur Tinggian Karangbolong.