PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26

advertisement
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2008
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 51
Kawasan lindung nasional terdiri atas:
a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
b. kawasan perlindungan setempat;
c. kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya;
d. kawasan rawan bencana alam;
e. kawasan lindung geologi; dan
f. kawasan lindung lainnya.
Pasal 52
(1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya terdiri atas:
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan bergambut; dan
c. kawasan resapan air.
(2) Kawasan perlindungan setempat terdiri atas:
a. sempadan pantai;
b. sempadan sungai;
c. kawasan sekitar danau atau waduk; dan
d. ruang terbuka hijau kota.
(3) Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya, terdiri atas:
a. kawasan suaka alam;
b. kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya;
c. suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut;
d. cagar alam dan cagar alam laut;
e. kawasan pantai berhutan bakau;
f. taman nasional dan taman nasional laut;
g. taman hutan raya;
h. taman wisata alam dan taman wisata alam laut; dan
i. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
(4) Kawasan rawan bencana alam terdiri atas:
a. kawasan rawan tanah longsor;
b. kawasan rawan gelombang pasang; dan
c. kawasan rawan banjir.
(5) Kawasan lindung geologi terdiri atas:
a. kawasan cagar alam geologi;
b. kawasan rawan bencana alam geologi; dan
c. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah.
(6) Kawasan lindung lainnya terdiri atas:
a. cagar biosfer;
b. ramsar;
c. taman buru;
d. kawasan perlindungan plasma nutfah;
e. kawasan pengungsian satwa;
f. terumbu karang; dan
g. kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi.
Pasal 53
1
(1) Kawasan cagar alam geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) huruf a
terdiri atas:
a. kawasan keunikan batuan dan fosil;
b. kawasan keunikan bentang alam; dan
c. kawasan keunikan proses geolog
Pasal 60
(1) Kawasan keunikan batuan dan fosil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf
a ditetapkan dengan kriteria:
a. memiliki keragaman batuan dan dapat berfungsi sebagai laboratorium alam;
b. memiliki batuan yang mengandung jejak atau sisa kehidupan di masa lampau (fosil);
c. memiliki nilai paleo-antropologi dan arkeologi;
d. memiliki tipe geologi unik; atau
e. memiliki satu-satunya batuan dan/atau jejak struktur geologi masa lalu.
(2) Kawasan keunikan bentang alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b
ditetapkan dengan kriteria:
a. memiliki bentang alam gumuk pasir pantai;
b. memiliki bentang alam berupa kawah, kaldera, maar, leher vulkanik, dan gumuk
vulkanik;
c. memiliki bentang alam goa;
d. memiliki bentang alam ngarai/lembah;
e. memiliki bentang alam kubah; atau
f. memiliki bentang alam karst.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Maret 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
KONSERVASI TANAH DI KAWASAN KARST GUNUNG KIDUL
Hatma Suryatmojo*
Karst adalah suatu kawasan yang memiliki karakteristik relief dan drainase yang khas,
terutama disebabkan oleh derajat pelarutan batu-batuannya yang intensif. Batu Gamping
merupakan salah satu batuan yang sering menimbulkan terjadinya karst. Kawasan karst
merupakan kawasan lindung cagar alam, dimana salah satu kekuatan potensinya merupakan
sumberdaya alam yang tidak terbaharukan dan terdapat banyak sekali fenomena alam yan uni
dan langka serta mempunyai nilai penting bagi kehidupan dan ekosistem sehingga
pemanfaatan ruang dan pengaturan wilayah untuk pembangunan perlu kehati-hatian agar
tidak merusak lingkungan. Sistem drainase/tata air kawasan karst sangat unik karena
didominasi oleh drainase bawak permukaan, dimana air permukaan sebagian besar masuk ke
jaringan sungai bawah tanah melalui ponor ataupun inlet. Dengan kondisi tersebut pada
musim penghujan, air hujan yang jatuh ke daerah karst tidak dapat tertahan di permukaan
tanah tetapi akan langsung masuk ke jaringan sungai bawah tanah melalui ponor tersebut.
Sumber air di kawasan karst hanya diperoleh melalui telaga dan sumber air dari sungai
bawah tanah yang keluar ke permukaan. Daerah penampungan hujan di kawasan karst dapat
dijumpai pada telaga-telaga kecil yang mempunyai lapisan kedap air di dasar telaga sehingga
mampu menahan air untuk tidak masuk ke jaringan sungai bawah tanah. Telaga ini menjadi
2
sumber air untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat baik untuk MCK, memasak dan
juga memandikan hewan ternak (sapi).
Besarnya kebutuhan oleh masyarakat akan air yang ternyata hanya tersedia di telaga-telaga
menyebabkan pada musim kemarau ketersediaan air di telaga makin berkurang. Akibatnya
pada musim kemarau sering terjadi kekeringan yang parah dan kekurangan pasokan air untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Kondisi drainase yang tidak menguntungkan juga
berpengaruh besar terhadap kegiatan pertanian masyarakat daerah karst. Mereka hanya dapat
memanfaatkan lahan secara optimal untuk kegiatan pertanian hanya pada waktu musim
penghujan karena dapat memanfaatkan siraman air hujan untuk pemenuhan kebutuhan air
bagi tanaman pertanian. Pada musim penghujan, masyarakat dapat menanam padi, jagung
dan kacang di lahan mereka karena adanya pasokan air hujan, akan tetapi pada waktu musim
kemarau ketersediaan air tidak ada sama sekali sehingga masyarakat hanya dapat menanam
ketela di lahan pertanian mereka.
Daerah karst merupakan daerah berbukit-bukit dengan mayoritas jenis tanahnya berupa
latosol atau tanah lempung yang memiliki kedalaman tanah yang minim (rata-rata < 50 cm).
Kondisi tersebut ditambah dengan bentuk topografi yang berbukit menyebabkan kemampuan
lahan untuk pertanian sangat sedikit dan lahan sangat rawan terhadap ancaman proses erosi
tanah. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu dilakukan kegiatan-kegiatan konservasi tanah
untuk mempertahankan keberadaan tanah di daerah karst. Salah satu cara yang telah
dilakukan oleh masyarakat selama ini adalah dengan membuat bangunan terasering di lahanlahan pertanian. Sistem terasering ini dilakukan dengan mengumpulkan batu-batu kapur yang
kemudian disusun rapi sejajar kontur. Harapan dari sistem ini adalah tanah yang terdapat di
permukaan batuan karst pada waktu musim hujan tidak hilang oleh proses erosi, akan tetapi
tanah tersebut dapat tertahan oleh bangunan-bangunan terasering dan lama kelamaan lapisan
tanah akan terus bertambah sehingga ketebalan tanah meningkat. Untuk mempertahankan
tanah di lahan pertanian selain dengan menerapkan sistem terasering, masyarakat juga
melakukan penanaman tanaman keras di tepi lahan pertanian untuk menahan tanah melalui
sistem perakaran tanamannya. Tanaman keras yang banyak di pilih oleh masyarakat adalah
jenis Jati (Tectona grandis) karena memiliki perakaran dangkal yang sesuai dengan ketebalan
tanah, juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dari kayu yang dihasilkan.
Dengan demikian, kegiatan-kegiatan pertanian di daerah karst sangat berbeda dengan
daerah-daerah lainnya, hal ini disebabkan oleh karakteristik batuan karst yang mendominasi
daerah ini dan keterbatasan ketersedian sumber air untuk pengairan.Dapat disimpulkan
bahwa pembangunan dan pemanfaatan lahan di daerah karst perlu kehati-hatian dan
perencanaan yang matang mengingat karakteristik daerah karst yang unik dan sangat rentan
terhadap kerusakan lahan baik erosi tanah maupun kehilangan sumber-sumber air untuk
kehidupan.
*Staf pengajar jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan UGM, disajikan untuk
mengajar siswa SMU Don Bosco II di Wanagama, 1 – 3 Oktober 2002
3
Download