BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sosiolinguistik Analisis kaum struktural semata-mata berorientasi pada bentuk, tanpa mempertimbangkan bahwa satuan-satuan bahasa di samping bersifat lingual juga memiliki sifat ekstralingual. Konsep masyarakat homogen yang menjadi pegangan kaum strukturalis membawa konsekuensi tidak turut dipertimbangkannya berbagai variasi bahasa. Bagi sosiolonguis masyarakat bahasa selalu bersifat heterogen, dan bahasa yang digunakan selalu menunjukkan berbagai variasi internal sebagai akibat keberagaman latar belakang sosial budaya penuturnya (Wardaugh, 1986 : 13). Penelitian ini menggunakan konsep dasar teori sosiolinguistik mengenai variasi bahasa dari segi penggunaannya yang dikenal dengan sebutan ragam bahasa. Dengan mengutip pendapat Fishman (1972 : 4), Kridalaksana mengatakan bahwa sosiolinguistik sebagai cabang linguistik berusaha menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa dengan ciri-ciri sosial dengan kemasyarakatan. Oleh karena itu, sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara bahasa dengan ciri dan fungsi itu dalam satu masyarakat bahasa. Sedangkan menurut (Nababan 1991 : 2), Sosiolinguistik merupakan pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan. 15 Universitas Sumatera Utara 16 Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dikaji dari struktur internal seperti morfologi, sintaksis maupun fonologi yang tercakup dalam wahana linguistik, tetapi sebagai sarana komunikasi di dalam masyarakat manusia. Untuk itu bahasa dapat juga didekati melalui kajian eksternal yang menitikberatkan pada pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan yang dikenal dengan sebutan sosiolinguistik (Nababan, 1991 : 2). De Saussure (dalam Chaer dan Leonie, 2004: 2-3) mengisyaratkan bahwa ternyata dimensi kemasyarakatan bukan hanya memberi “makna” kepada bahasa, tetapi juga menyebabkan terjadinya ragam-ragam bahasa. Ragam-ragam bahasa ini bukan hanya dapat menunjukkan adanya perbedaan sosial dalam masyarakat, tetapi juga memberi indikasi mengenai situasi berbahasa, dan mencerminkan tujuan, topik, kaidah, dan modus-modus penggunaan bahasa. Dengan demikian dimensi kemasyarakatan yang melahirkan ragam bahasa dikarenakan penutur yang heterogen akan dapat dipahami bila kajian internal struktur linguistik menjadi penopang kajian eksternal struktur bahasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemakaian bahasa dalam tindak komunikasi bukan hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik, melainkan juga oleh faktor-faktor nonlinguistik (Suwito, 1983 : 23). Faktor-faktor nonlinguistik yang berpengaruh terhadap pemakaian bahasa boleh jadi dikarenakan adanya perbedaan status sosial, tingkat pendidikan, usia dan bahkan jenis kelamin. Di samping itu, faktor situasi yang merujuk pada “who speak what language to whom, when and to what end” (Fishman, 1972 : 244) Universitas Sumatera Utara 17 menjadikan faktor nonlinguistik mengambil peranan dalam penggunaan bahasa. Singkatnya, siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa merupakan persoalan sosingulistik. Sosiolinguistik memandang bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi atau alat untuk menyampaikan pikiran. Karena, yang menjadi sorotan dalam soiolingistik adalah siapa yang berbicara, menggunakan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan apa tujuannya. Pandangan sosiolingistik terhadap bahasa dapat dilihat dari fungsi-fungsi bahasa melalui sudut pandang penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan. Dilihat dari sudut penutur, bahasa berfungsi personal atau pribadi atau emotif. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Dilihat dari segi pendengar, bahasa berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Finnochiaro (1974) dan Halliday (1973) menyebutnya fungsi instrumental, sementara Jakobson (1960) menyebutnya fungsi retorikal. Dalam hal ini, bahasa tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dimau si pembicara. Contohnya “Dilarang merokok di ruangan ber-AC” (http://robita.wordpress.com/tag/jakobson/ diakses tanggal 5 Desember 2011). Dilihat dari segi kontak antara penutur dengan pendengar, bahasa berfungsi fatik. Jakobson (1960) dan Finnochiaro (1974) menyebutnya interpersonal, sedangkan Halliday (1973) menyebutnya interactional. Maksud dari fungsi ini adalah menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas sosial. Dalam hal ini, bahasa yang Universitas Sumatera Utara 18 berfungsi fatik ini mempunyai ungkapan-ungkapan yang sudah berpola dan biasanya disertai dengan gerak paralinguistik seperti senyuman, anggukan kepala, geleng-geleng kepala, dan kedipan mata. Tujuannya tidak hanya memberikan informasi, tetapi membangun kontak sosial dengan para partisipan dalam pertuturan itu (http://robita.wordpress.com/tag/jakobson/ diakses tanggal 5 Desember 2011). Fungsi bahasa dilihat dari segi topik ujaran ini berfungsi referensial. Finnocchiaro (1974) dan Halliday (1973) menyebutnya representational, sedangkan Jakobson (1960) menyebutnya fungsi kognitif, ada juga yang menyebutnya fungsi denotatif atau fungsi informatif. Fungsi referensial inilah yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu alat untuk menyatakan pikiran, untuk menyatakan bagaimana pendapat si penutur mengenai dunia di sekelilingnya. Contohnya “UPI adalah IKIP tertua di Indonesia” (http://robita.wordpress.com/tag/jakobson/ diakses tanggal 5 Desember 2011). Fungsi bahasa apabila dilihat dari kode yang digunakan adalah berfungsi metalingual atau metalinguistik (Jakobson (1960) dan Finnocchiaro (1974)), artinya bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Fungsi bahasa lainnya dapat kita lihat dari segi amanat (pesan yang akan disampaikan), di mana bahasa berfungsi imajinatif, Halliday (1973) dan Finnocchiaro (1974) menyebutnya fungsi poetic speech. Wujud dari poetic speech ini berupa karya seni seperti puisi, cerita, dongeng, lelucon, dan sebagainya (http://robita.wordpress.com/tag/jakobson/diakses tanggal 5 Desember 2011). Universitas Sumatera Utara 19 Kalau kita simpulkan, peranan sosiolingistik terhadap bahasa ini pada intinya menilai bahasa tidak sekadar alat untuk berkomunikasi atau menyampaikan gagasan, tetapi lebih jauh dan lebih kompleks dari itu. Sosiolingistik membuat kita tahu bahwa bahasa itu dinamis, tidak terpaku pada satu ukuran, tetapi harus melihat hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasa itu, dalam hal ini adalah sisi sosialnya. Melalui sosiolingguistik, kita dapat memahami bahasa tidak dengan sudut pandang yang kaku. Dengan adanya sosiolinguistik, kita tidak bisa menghakimi bahasa dengan sesuka hati. Kita juga tidak bisa menilai atau menetapkan suatu bahasa itu kasar atau tidak, berestetik atau tidak, dan sebagainya. Dengan sosiolinguistik, kita menjadi menghargai keunikan tiap bahasa. 2.2 Ragam Bahasa Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang disebabkan oleh terjadinya interaksi sosial yang dilakukan menurut hubungan pembicara, kawan bicara, dan orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicaraan atau ragam bahasa adalah variasi bahasa yang pemakaiannya berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan (http://adegustian. blogsome.com/2009/02/02/ragam-bahasaindonesia/ diakses tanggal 28 April 2011). Perbedaan-perbedaan bahasa dari penutur yang beragam menghasilkan ragam-ragam bahasa. Dengan keadaan yang seperti itu bahasa menumbuhkan varian-varian baik menurut pemakai maupun pemakaian. Universitas Sumatera Utara 20 Kridalaksana (1996 : 2) mengemukakan bahwa varian menurut pemakai disebut dengan dialek dan varian menurut pemakaian disebut dengan ragam bahasa. Variasi bahasa berdasarkan pemakai bahasa dibedakan atas dialek regional, dialek sosial, dialek temporal dan idiolek. Sedangkan variasi bahasa berdasarkan pemakaian bahasa dapat dibedakan atas ragam bahasa menurut pokok pembicaraan, medium pembicaraan (lisan atau tulisan ) dan sistem tutur sapa dengan unsur-unsur persona. Untuk lebih lanjut jelasnya dapat dilihat pada diagram di bawah ini: Dialek regional Menurut pemakai bahasa Dialek sosial Dialek temporal Idiolek Variasi Pokok pembicaraan : ragam adat, sastra Menurut pemakaian bahasa Medium pembicaraan : ragam percakapan Surat-menyurat (lisan dan tulisan) Tutur sapa : persona Gambar 2.1 Variasi Bahasa (Sumber: Kridalaksana, 1978) Nababan (1991: 14) menambahkan bahwa ragam bahasa berhubungan dengan daerah atau lokasi geografis disebut dialek; ragam bahasa yang Universitas Sumatera Utara 21 berhubungan dengan kelompok sosial disebut sosiolek; ragam bahasa yang berhubungan dengan situasi berbahasa dan/atau tingkat formalitas disebut fungsiolek; dan ragam bahasa yang mana perbedaan itu masih dapat dianggap perbedaan ragam dalam suatu bahasa secara analog disebut kronolog. Variasi bahasa berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu, sementara bila dikhususkan pada variasi perorangan disebut dengan idiolek. Variasi bahasa kronoleg atau dialek temporal yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Misalnya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi yang digunakan tahun limapuluhan, dan variasi yang digunakan pada masa kini. Variasi bahasa berdasarkan penuturnya disebut sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. (Chaer dan Leonie, 2004: 63-64). Variasi dari segi pemakaian atau ragam menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang adat, bidang sastra, pendidikan dan kegiatan keilmuan. Variasi berdasarkan bidang kegiatan ini biasanya mempunyai sejumlah kosakata khusus atau tertentu yang tidak digunakan dalam bidang lain. Namun demikian, variasi berdasarkan bidang kegiatan tampak pula dalam tataran morfologi dan sintaksis (Chaer, 2004 : 68). Kridalaksana (1993 : 224) mendefinisikan variasi bahasa sebagai satuan yang sekurang-kurangnya mempunyai dua variasi yang dipilih oleh penutur tergantung dari faktor-faktor seperti jenis kelamin, umur, status sosial dan Universitas Sumatera Utara 22 situasi. Variasi dianggap sistematis karena merupakan interaksi antara faktor sosial dan faktor bahasa. Secara singkat dapat diformulasikan bahwa variasi bahasa ada karena perpaduan antara bahasa itu sendiri dan faktor yang ada di luar bahasa. Nababan (1991 : 25) menempatkan pembagian variasi pada dua bagian yang saling terkait, yaitu variasi dari segi penutur yang mencakup dialek, idiolek, sosiolek dan dari segi pemakaian yang dikenal dengan ragam dan fungsiolek yang berhubungan dengan situasi berbahasa dan/atau tingkat formalitasnya. Kajian variasi bahasa dari segi penggunaannya akan sangat jelas terlihat dari keberadaan kosa kata khusus yang tidak digunakan dalam bidang lain, contohnya, dalam kegiatan adat masyarakat Pakpak yang menggunakan bahasa Pakpak dapat ditemukan pada kosa kata kepeng ’uang’ dan riar ’uang’; baka ’sumpit’ dan kembal ’sumpit’; belagen ’tikar’ dan peramaken ’tikar’. Contohnya : 1. Kula- kula terhadap berru: Enggo ku jalo kami riar tokor berru nami. ‘Sudah kami terima uang mahar anak kami’. Riar ’uang’ digunakan dalam konteks adat sedangkan dalam bahasa sehari – hari disebut kepeng. 2. Kula–kula terhadap berru: Baing ke mo berras i kembal i, embahen berrunta ‘Masukkanlah beras dalam sumpit untuk dibawa berrunta.’ Kembal ’ sumpit’ digunakan dalam konteks adat sedangkan dalam bahasa sehari – hari disebut baka. Universitas Sumatera Utara 23 3. Berru terhadap kula – kula: Kundul mo kene i peramaken i. ‘Duduklah kalian di tikar itu’ Peramaken ’ tikar’ digunakan konteks adat sedangkan dalam bahasa sehari– hari disebut belagen. Ragam bahasa itu dapat juga ditemukan pada tingkat frasa, penggunaan ungkapan (idiom) dan bahasa estetis dengan menggunakan umpama ’pantun’ dari kedudukan yang berbeda dari penuturnya seperti kula-kula ’rombongan pihak perempuan’ dan berru ’rombongan pihak laki-laki’ dan sinina ’rombongan yang semarga baik dari pihak perempuan maupun laki-laki’. Contoh : 1. Ragam diksi penggunaan kata ipesoh ‘diberikan’ (konteks adat) ibere ‘diberikan’ (bahasa sehari-hari) 2. Ragam diksi frasa Merorohken pedasna ‘makanan ala kadarnya’ (konteks adat) Mangan silotna ‘makanan ala kadarnya’ (bahasa sehari-hari) 3. Ragam diksi mengenai pantun Ketak-ketik mbelgah palu-paluna, bagen pe siboi ipe tupa kami mbelgah mo pinasuna. (artinya sederhanapun makanan yang dihidangkan pihak si gadis tetapi besarlah berkat yang ditimbulkannya) 4. Ragam diksi ungkapan Tubuhen matawari mo kene. Ungkapan yang dikatakan kepada pengantin agar memperoleh anak laki-laki. Universitas Sumatera Utara 24 5. Ragam diksi kata sapaan Tingkat tata krama kata sapaan a. Sebutan kehormatan (tingkat tata krama) Contoh: kula-kula nami (kata sapaan) b. Kekerabatan (tingkat tata krama) Contoh: puhun’paman’, silih ‘ipar laki-laki’(kata sapaan) Ragam bahasa terjadi akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Andaikan penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial maka variasi atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial (Chaer, 1985: 81). Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang pemakaiannya berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, dan orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicaraan. Penelitian ragam bahasa dari segi penggunaan tidak dapat terlepas dari segi penuturnya. Hartman dan Stork dalam Chaer dan Leoni (2004:62) menyatakan bahwa variasi dapat dibedakan berdasarkan kriteria latar belakang geografi dan sosial penutur, medium yang digunakan, dan pokok pembicaraan. Dengan demikian, dapat disederhanakan bahwa sosial penutur dalam penelitian ini adalah masyarakat Pakpak yang menggunakan bahasa Pakpak dengan medium lisan serta pokok pembicaraan adalah : upacara adat perkawinan. Universitas Sumatera Utara 25 2.3 Upacara Adat Dalam KBBI upacara adat diartikan sebagai 1) Tanda-tanda kebesaran; peralatan (menurut adat istiadat); 2) Rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama 3) perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting (2001 : 1250). Adat dalam KBBI diartikan, 1) Aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; 2) Cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan; 3) Wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum,dan aturan yang satu dan lainnya berkaitan dengan suatu sistem (2001 : 1250) . 2.3.1 Upacara Adat pada Masyarakat Pakpak Pada masyarakat Pakpak, istilah “Upacara” disebut Kerja. Masyarakat Pakpak pada umumnya mengenal dua bentuk upacara (kerja) . Pertama disebut Kerja Baik, yaitu upacara yang ada hubungannya dengan sukacita. Kedua adalah Kerja Njahat. Pengertian kata Njahat di sini tidak sama dengan pengertian jahat dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi suatu perasaan sedih; duka cita; atau keadaan jiwa yang gundah akibat mengalami suatu keadaan yang sedih, pilu dan lain-lain. Dengan kata lain Kerja Njahat adalah suatu upacara yang dilakukan yang ada hubungannya denga perasaan duka cita (Berutu dan Nurbani, 1998 : 8). Jenis upacara yang berhubungan dengan upacara suka cita (Kerja Baik) : Universitas Sumatera Utara 26 1. Merre nakan merasa (Nakan Raja) ’ Makanan raja’ 2. Mangan balbal ‘Makan putik nangka’ 3. Mengkelimbisi ‘Mensyarati bayi’ 4. Upacara menggonting ‘Memotong Rambut’ 5. Mertakil ‘Sunat’ 6. Merbekaskom ‘Upacara Perkawinan’ Dalam hal ini kerja njahat tidak diuraikan karena yang diteliti adalah upacara perkawinan merbekaskom) yang merupakan bagian dari upacara sukacita. Merbekaskom berasal dari dari kata bekkas dan kom. Bekkas artinya tempat, kebiasaan, keberadaan, sedangkan kom artinya berhenti atau stop. Maksudnya bila seseorang masih remaja berarti belum mempunyai pegangan, tanggung jawab, atau masih bebas dari berbagai hak dan tanggung jawab terutama yang menyangkut adat istiadat. Setelah kawin, hal tersebut berubah dan si ego diberi peranan yang lebih kompleks dan besar dalam keluarga maupun dalam masyarakat. 2.3.2 Perkawinan Pakpak Masa peralihan hidup (life cicle) yang terpenting dari semua manusia di seluruh dunia adalah saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga, yaitu perkawinan (Koentjaraningrat, 1981: 90). Hampir semua kelompok etnis mengakuinya dengan berpedoman kepada nilai, aturan dan kegiatan yang berhubungan dengan tahap tersebut. Demikian juga halnya dalam masyarakat Pakpak, bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang Universitas Sumatera Utara 27 sangat penting. Dikatakan penting sebab dari beberapa jenis lingkaran hidup yang terdapat dalam suku Pakpak, perkawinan ini mempunyai tempat tersendiri baik dari segi dana dan waktu harus benar-benar dipersiapkan. Selain itu perkawinan itu sendiri mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam masyarakat Pakpak. Selain itu dalam pelaksanaannya melibatkan bukan saja antara sipemuda dan sipemudi sebagai calon pengantin namun juga melibatkan anggota kerabat ke dua belah pihak. Semua orang tua mempunyai harapan agar anaknya setelah besar cepat-cepat menikah untuk dapat meneruskan generasi. Ini dapat diketahui dari falsafah Pakpak: ” Mbelgah anak iperunjukken mbelgah berru ipejaheken ”. ( jika anak sudah besar seharusnya dikawinkan). 2.4 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai variasi bahasa sudah pernah dilakukan. Clifford (1976 : 168) dalam hasil penelitian membagi dua bagian pokok, krama dan ngoko. Pada tingkatan variasi ini tampak adanya perbedaan kedudukan sosial yang dicontohkan dalam bentuk pertanyaan. Kalau si penanya mempunyai status sosial yang lebih rendah dari si penjawab, biasanya digunakan krama, sedangkan si penjawab menggunakan bentuk ngoko. Kalau si penanya mempunyai status lebih tinggi dari si penjawab, dia menggunakan bentuk ngoko, sedangkan si penjawab menggunakan bentuk krama; kalau status sosial Universitas Sumatera Utara 28 penanya dan penjawab sederajat dan kalau sipenanya menggunakan bentuk krama, si penjawab juga menggunakan bentuk krama; dan kalau digunakan bentuk ngoko, jawabannya juga bentuk ngoko. Misalnya: Krama : Sampeyan ajeng teng pundi ? ‘Anda mau kemana’ (Status sosial lebih rendah dari si penjawab) Ngoko : Arep mulih ‘Mau pulang’ (Status sosial lebih tinggi dari si penanya) Ngoko : Kowe arep menyang endi ? (Status sosial lebih tinggi dari si penjawab) Krama : Ajeng wangsul ‘Mau pulang’ (Status sosial lebih rendah dari si penanya) Krama : Sampean ajeng teng pundi ? (Status sosial lebih tinggi dari si penjawab) Dalam MP menggunakan BP juga ditemukan variasi penggunaan bahasa atau ragam, tetapi tidak merujuk pada status sosial yang lebih rendah atau lebih tinggi, variasi atau ragam bahasa itu hanya sebatas penggunaan sopan tidaknya atau layak tidaknya ragam itu digunakan. Contohnya dalam bentuk kalimat di bawah ini: Sinina dengan sinina : I sen mo ko kundul. ‘Di sinilah kamu duduk.’ Berru terhadap kula-kula : I sen mo ke kundul. ‘Di sinilah kamu duduk.’ Kata ganti orang ke 2 tunggal ‘ko’ lebih sopan dan berterima bila yang mempersilakan dan yang dipersilakan memiliki status dalam adat sama. Universitas Sumatera Utara 29 Sedangkan untuk ‘ke’ bila yang dipersilakan memiliki status dalam adat lebih dihormati dibanding orang yang mempersilakan. Meliala (2002), meneliti kata sapaan dalam bahasa Karo yang mendeskripsikan kata sapaan dan penggunaan kata sapaan dalam bahasa Karo. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pemakaian kata sapaan tersebut disesuaikan dengan parameter, yaitu: umur, status sosial, status urutan kelahiran, status dalam adat, dikenal atau tidak, jenis kelamin, situasi, dan keakraban. Girsang (2005), meneliti ragam bahasa dalam adat perkawinan Simalungun. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pemunculan ragam bahasa pada upacara adat perkawinan masyarakat Simalungun (MS) memiliki hubungan yang sangat erat dengan status peran adat yang ada pada masingmasing kelompok. Pemunculan ragam bahasa berkait dengan peran yang dilakukan oleh tondong, boru, dan sanina. Ginting (2010), meneliti sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa dalam konteks situasi perkawinan,pihak pengantin laki-laki dan pihak pengantin perempuan tidak dapat berbicara langsung, percakapan dilakukan dengan mediator, anak berru dari kedua belah pihak yang mengakibatkan terbentuknya struktur yang kompleks dan tidak lazim. Temuan penelitian terdahulu itu sangat relevan dengan penelitian ini dalam hal perbandingan bagi peneliti karena ragam bahasa dalam upacara adat perkawinan masyarakat Pakpak tidak terlepas dari peran masing–masing Universitas Sumatera Utara 30 kedudukan status adat. Dalam melakukan dialog antara pihak kula-kula dan berru tidak dapat berbicara langsung, dialog dilakukan dengan mediator yang disebut persinabul dan juga dalam penggunaan kata sapaan disesuaikan dengan umur, jenis kelamin, dan status dalam adat. Penelitian mengenai variasi bahasa baik dari sudut penutur maupun penggunaannya sudah banyak dilakukan meskipun tidak dijabarkan satu persatu dalam tulisan ini. Berdasarkan survei pustaka, penelitian ragam bahasa mengenai perkawinan adat masyarakat Pakpak yang menggunakan bahasa Pakpak belum pernah dilakukan. Hasil penelitian ini mendeskripsikan tentang ciri, perbedaan, dan makna ragam bahasa Pakpak sehingga diharapkan dapat menjadi sarana pengenalan bahasa Pakpak kepada pembacanya, sekaligus juga mempunyai dampak penting bagi penutur asli bahasa Pakpak agar mau memakai bahasa dan budaya sendiri serta melestarikannya. Oleh karena itu penelitian ini berjudul “Ragam Bahasa Dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Pakpak”. Universitas Sumatera Utara