optimasi jadwal pemeliharaan mesin giling tebu

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sosiolinguistik
Analisis kaum struktural semata-mata berorientasi pada bentuk, tanpa
mempertimbangkan bahwa satuan-satuan bahasa di samping bersifat lingual
juga memiliki sifat ekstralingual. Konsep masyarakat homogen yang menjadi
pegangan
kaum
strukturalis
membawa
konsekuensi
tidak
turut
dipertimbangkannya berbagai variasi bahasa. Bagi sosiolonguis masyarakat
bahasa selalu bersifat heterogen, dan bahasa yang digunakan selalu
menunjukkan berbagai variasi internal sebagai akibat keberagaman latar
belakang sosial budaya penuturnya (Wardaugh, 1986 : 13).
Penelitian ini menggunakan konsep dasar teori sosiolinguistik mengenai
variasi bahasa dari segi penggunaannya yang dikenal dengan sebutan ragam
bahasa. Dengan mengutip pendapat Fishman (1972 : 4), Kridalaksana
mengatakan bahwa sosiolinguistik sebagai cabang linguistik berusaha
menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi
bahasa dengan ciri-ciri sosial dengan kemasyarakatan. Oleh karena itu,
sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi berbagai variasi
bahasa, serta hubungan di antara bahasa dengan ciri dan fungsi itu dalam satu
masyarakat bahasa. Sedangkan menurut (Nababan 1991 : 2), Sosiolinguistik
merupakan pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan.
15
Universitas Sumatera Utara
16
Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dikaji dari struktur
internal seperti morfologi, sintaksis maupun fonologi yang tercakup dalam
wahana linguistik, tetapi sebagai sarana komunikasi di dalam masyarakat
manusia. Untuk itu bahasa dapat juga didekati melalui kajian eksternal yang
menitikberatkan pada pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan yang
dikenal dengan sebutan sosiolinguistik (Nababan, 1991 : 2).
De Saussure (dalam Chaer dan Leonie, 2004: 2-3) mengisyaratkan bahwa
ternyata dimensi kemasyarakatan bukan hanya memberi “makna” kepada
bahasa, tetapi juga menyebabkan terjadinya ragam-ragam bahasa. Ragam-ragam
bahasa ini bukan hanya dapat menunjukkan adanya perbedaan sosial dalam
masyarakat, tetapi juga memberi indikasi mengenai situasi berbahasa, dan
mencerminkan tujuan, topik, kaidah, dan modus-modus penggunaan bahasa.
Dengan demikian dimensi kemasyarakatan yang melahirkan ragam bahasa
dikarenakan penutur yang heterogen akan dapat dipahami bila kajian internal
struktur linguistik menjadi penopang kajian eksternal struktur bahasa.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemakaian bahasa dalam tindak
komunikasi bukan hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik, melainkan
juga oleh faktor-faktor nonlinguistik (Suwito, 1983 : 23). Faktor-faktor
nonlinguistik yang berpengaruh terhadap pemakaian bahasa boleh jadi
dikarenakan adanya perbedaan status sosial, tingkat pendidikan, usia dan
bahkan jenis kelamin. Di samping itu, faktor situasi yang merujuk pada “who
speak what language to whom, when and to what end” (Fishman, 1972 : 244)
Universitas Sumatera Utara
17
menjadikan faktor nonlinguistik mengambil peranan dalam penggunaan bahasa.
Singkatnya, siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dimana,
dan mengenai masalah apa merupakan persoalan sosingulistik.
Sosiolinguistik memandang bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi atau
alat untuk menyampaikan pikiran. Karena, yang menjadi sorotan dalam soiolingistik
adalah siapa yang berbicara, menggunakan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan apa
tujuannya.
Pandangan sosiolingistik terhadap bahasa dapat dilihat dari fungsi-fungsi
bahasa melalui sudut pandang penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat
pembicaraan. Dilihat dari sudut penutur, bahasa berfungsi personal atau pribadi
atau emotif. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang
dituturkannya. Dilihat dari segi pendengar, bahasa berfungsi direktif, yaitu
mengatur tingkah laku pendengar. Finnochiaro (1974) dan Halliday (1973)
menyebutnya fungsi instrumental, sementara Jakobson (1960) menyebutnya
fungsi retorikal. Dalam hal ini, bahasa tidak hanya membuat si pendengar
melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dimau
si
pembicara.
Contohnya
“Dilarang
merokok
di
ruangan
ber-AC”
(http://robita.wordpress.com/tag/jakobson/ diakses tanggal 5 Desember 2011).
Dilihat dari segi kontak antara penutur dengan pendengar, bahasa
berfungsi fatik. Jakobson (1960) dan Finnochiaro (1974) menyebutnya
interpersonal, sedangkan Halliday (1973) menyebutnya interactional. Maksud
dari fungsi ini adalah menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan
perasaan bersahabat, atau solidaritas sosial. Dalam hal ini, bahasa yang
Universitas Sumatera Utara
18
berfungsi fatik ini mempunyai ungkapan-ungkapan yang sudah berpola dan
biasanya disertai dengan gerak paralinguistik seperti senyuman, anggukan
kepala, geleng-geleng kepala, dan kedipan mata. Tujuannya tidak hanya
memberikan informasi, tetapi membangun kontak sosial dengan para partisipan
dalam pertuturan itu (http://robita.wordpress.com/tag/jakobson/ diakses tanggal
5 Desember 2011).
Fungsi bahasa dilihat dari segi topik ujaran ini berfungsi referensial.
Finnocchiaro (1974) dan Halliday (1973) menyebutnya representational,
sedangkan Jakobson (1960) menyebutnya fungsi kognitif, ada juga yang
menyebutnya fungsi denotatif atau fungsi informatif. Fungsi referensial inilah
yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu alat untuk menyatakan
pikiran, untuk menyatakan bagaimana pendapat si penutur mengenai dunia di
sekelilingnya.
Contohnya
“UPI
adalah
IKIP
tertua
di
Indonesia”
(http://robita.wordpress.com/tag/jakobson/ diakses tanggal 5 Desember 2011).
Fungsi bahasa apabila dilihat dari kode yang digunakan adalah berfungsi
metalingual atau metalinguistik (Jakobson (1960) dan Finnocchiaro (1974)),
artinya bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Fungsi
bahasa lainnya dapat kita lihat dari segi amanat (pesan yang akan disampaikan),
di mana bahasa berfungsi imajinatif, Halliday (1973) dan Finnocchiaro (1974)
menyebutnya fungsi poetic speech. Wujud dari poetic speech ini berupa karya
seni
seperti
puisi,
cerita,
dongeng,
lelucon,
dan
sebagainya
(http://robita.wordpress.com/tag/jakobson/diakses tanggal 5 Desember 2011).
Universitas Sumatera Utara
19
Kalau kita simpulkan, peranan sosiolingistik terhadap bahasa ini pada
intinya menilai bahasa tidak sekadar alat untuk berkomunikasi atau
menyampaikan gagasan, tetapi lebih jauh dan lebih kompleks dari itu.
Sosiolingistik membuat kita tahu bahwa bahasa itu dinamis, tidak terpaku pada
satu ukuran, tetapi harus melihat hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasa
itu, dalam hal ini adalah sisi sosialnya. Melalui sosiolingguistik, kita dapat
memahami bahasa tidak dengan sudut pandang yang kaku.
Dengan adanya sosiolinguistik, kita tidak bisa menghakimi bahasa
dengan sesuka hati. Kita juga tidak bisa menilai atau menetapkan suatu bahasa
itu kasar atau tidak, berestetik atau tidak, dan sebagainya. Dengan
sosiolinguistik, kita menjadi menghargai keunikan tiap bahasa.
2.2 Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang disebabkan oleh terjadinya
interaksi sosial yang dilakukan menurut hubungan pembicara, kawan bicara,
dan orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicaraan atau ragam
bahasa adalah variasi bahasa yang pemakaiannya berbeda-beda menurut topik
yang dibicarakan (http://adegustian. blogsome.com/2009/02/02/ragam-bahasaindonesia/ diakses tanggal 28 April 2011).
Perbedaan-perbedaan bahasa dari penutur yang beragam menghasilkan
ragam-ragam bahasa. Dengan keadaan yang seperti itu bahasa menumbuhkan
varian-varian baik menurut pemakai maupun pemakaian.
Universitas Sumatera Utara
20
Kridalaksana (1996 : 2) mengemukakan bahwa varian menurut pemakai
disebut dengan dialek dan varian menurut pemakaian disebut dengan ragam
bahasa. Variasi bahasa berdasarkan pemakai bahasa dibedakan atas dialek
regional, dialek sosial, dialek temporal dan idiolek. Sedangkan variasi bahasa
berdasarkan pemakaian bahasa dapat dibedakan atas ragam bahasa menurut
pokok pembicaraan, medium pembicaraan (lisan atau tulisan ) dan sistem tutur
sapa dengan unsur-unsur persona. Untuk lebih lanjut jelasnya dapat dilihat pada
diagram di bawah ini:
Dialek regional
Menurut pemakai
bahasa
Dialek sosial
Dialek temporal
Idiolek
Variasi
Pokok pembicaraan :
ragam adat, sastra
Menurut pemakaian
bahasa
Medium pembicaraan :
ragam percakapan
Surat-menyurat (lisan dan
tulisan)
Tutur sapa : persona
Gambar 2.1 Variasi Bahasa (Sumber: Kridalaksana, 1978)
Nababan (1991: 14) menambahkan bahwa ragam bahasa berhubungan
dengan daerah atau lokasi geografis disebut dialek; ragam bahasa yang
Universitas Sumatera Utara
21
berhubungan dengan kelompok sosial disebut sosiolek; ragam bahasa yang
berhubungan dengan situasi berbahasa dan/atau tingkat formalitas disebut
fungsiolek; dan ragam bahasa yang mana perbedaan itu masih dapat dianggap
perbedaan ragam dalam suatu bahasa secara analog disebut kronolog.
Variasi bahasa berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek, yakni
variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada
pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu, sementara bila dikhususkan pada
variasi perorangan disebut dengan idiolek. Variasi bahasa kronoleg atau dialek
temporal yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa
tertentu. Misalnya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan,
variasi yang digunakan tahun limapuluhan, dan variasi yang digunakan pada
masa kini. Variasi bahasa berdasarkan penuturnya disebut sosiolek atau dialek
sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas
sosial para penuturnya. (Chaer dan Leonie, 2004: 63-64).
Variasi dari segi pemakaian atau ragam menyangkut bahasa itu digunakan
untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang adat, bidang sastra,
pendidikan dan kegiatan keilmuan. Variasi berdasarkan bidang kegiatan ini
biasanya mempunyai sejumlah kosakata khusus atau tertentu yang tidak
digunakan dalam bidang lain. Namun demikian, variasi berdasarkan bidang
kegiatan tampak pula dalam tataran morfologi dan sintaksis (Chaer, 2004 : 68).
Kridalaksana (1993 : 224) mendefinisikan variasi bahasa sebagai satuan
yang sekurang-kurangnya mempunyai dua variasi yang dipilih oleh penutur
tergantung dari faktor-faktor seperti jenis kelamin, umur, status sosial dan
Universitas Sumatera Utara
22
situasi. Variasi dianggap sistematis karena merupakan interaksi antara faktor
sosial dan faktor bahasa. Secara singkat dapat diformulasikan bahwa variasi
bahasa ada karena perpaduan antara bahasa itu sendiri dan faktor yang ada di
luar bahasa.
Nababan (1991 : 25) menempatkan pembagian variasi pada dua bagian
yang saling terkait, yaitu variasi dari segi penutur yang mencakup dialek,
idiolek, sosiolek dan dari segi pemakaian yang dikenal dengan ragam dan
fungsiolek yang berhubungan dengan situasi berbahasa dan/atau tingkat
formalitasnya.
Kajian variasi bahasa dari segi penggunaannya akan sangat jelas terlihat
dari keberadaan kosa kata khusus yang tidak digunakan dalam bidang lain,
contohnya, dalam kegiatan adat masyarakat Pakpak yang menggunakan bahasa
Pakpak dapat ditemukan pada kosa kata kepeng ’uang’ dan riar ’uang’; baka
’sumpit’ dan kembal ’sumpit’; belagen ’tikar’ dan peramaken ’tikar’.
Contohnya :
1. Kula- kula terhadap berru: Enggo ku jalo kami riar tokor berru nami.
‘Sudah kami terima uang mahar anak kami’.
Riar ’uang’ digunakan dalam konteks adat sedangkan dalam bahasa sehari –
hari disebut kepeng.
2. Kula–kula terhadap berru: Baing ke mo berras i kembal i, embahen
berrunta ‘Masukkanlah beras dalam sumpit untuk dibawa berrunta.’
Kembal ’ sumpit’ digunakan dalam konteks adat sedangkan dalam bahasa
sehari – hari disebut baka.
Universitas Sumatera Utara
23
3. Berru terhadap kula – kula: Kundul mo kene i peramaken i. ‘Duduklah
kalian di tikar itu’
Peramaken ’ tikar’ digunakan konteks adat sedangkan dalam bahasa sehari–
hari disebut belagen.
Ragam bahasa itu dapat juga ditemukan pada tingkat frasa, penggunaan
ungkapan (idiom) dan bahasa estetis dengan menggunakan umpama ’pantun’
dari kedudukan yang berbeda dari penuturnya seperti kula-kula ’rombongan
pihak perempuan’ dan berru ’rombongan pihak laki-laki’ dan sinina
’rombongan yang semarga baik dari pihak perempuan maupun laki-laki’.
Contoh :
1. Ragam diksi penggunaan kata
ipesoh ‘diberikan’ (konteks adat)
ibere ‘diberikan’ (bahasa sehari-hari)
2. Ragam diksi frasa
Merorohken pedasna ‘makanan ala kadarnya’ (konteks adat)
Mangan silotna ‘makanan ala kadarnya’ (bahasa sehari-hari)
3. Ragam diksi mengenai pantun
Ketak-ketik mbelgah palu-paluna, bagen pe siboi ipe tupa kami mbelgah
mo pinasuna. (artinya sederhanapun makanan yang dihidangkan pihak si
gadis tetapi besarlah berkat yang ditimbulkannya)
4. Ragam diksi ungkapan
Tubuhen matawari mo kene. Ungkapan yang dikatakan kepada pengantin
agar memperoleh anak laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
24
5. Ragam diksi kata sapaan
Tingkat tata krama kata sapaan
a. Sebutan kehormatan (tingkat tata krama)
Contoh: kula-kula nami (kata sapaan)
b. Kekerabatan (tingkat tata krama)
Contoh: puhun’paman’, silih ‘ipar laki-laki’(kata sapaan)
Ragam bahasa terjadi akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu
dan keragaman fungsi bahasa itu. Andaikan penutur bahasa itu adalah kelompok
yang homogen, baik etnis, status sosial maka variasi atau ragam bahasa itu
dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan
di dalam masyarakat sosial (Chaer, 1985: 81).
Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang pemakaiannya berbeda-beda
menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara,
dan orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicaraan.
Penelitian ragam bahasa dari segi penggunaan tidak dapat terlepas dari
segi penuturnya. Hartman dan Stork dalam Chaer dan Leoni (2004:62)
menyatakan bahwa variasi dapat dibedakan berdasarkan kriteria latar belakang
geografi dan sosial penutur, medium yang digunakan, dan pokok pembicaraan.
Dengan demikian, dapat disederhanakan bahwa sosial penutur dalam
penelitian ini adalah masyarakat Pakpak yang menggunakan bahasa Pakpak
dengan medium lisan serta pokok pembicaraan adalah : upacara adat
perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
25
2.3 Upacara Adat
Dalam KBBI upacara adat diartikan sebagai 1) Tanda-tanda kebesaran;
peralatan (menurut adat istiadat); 2) Rangkaian tindakan atau perbuatan yang
terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama 3) perbuatan atau perayaan
yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting (2001 :
1250).
Adat dalam KBBI diartikan, 1) Aturan (perbuatan dan sebagainya) yang
lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; 2) Cara (kelakuan dan
sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan; 3) Wujud gagasan kebudayaan
yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum,dan aturan yang satu dan
lainnya berkaitan dengan suatu sistem (2001 : 1250) .
2.3.1 Upacara Adat pada Masyarakat Pakpak
Pada masyarakat Pakpak, istilah “Upacara” disebut Kerja. Masyarakat
Pakpak pada umumnya mengenal dua bentuk upacara (kerja) . Pertama
disebut Kerja Baik, yaitu upacara yang ada hubungannya dengan sukacita.
Kedua adalah Kerja Njahat. Pengertian kata Njahat di sini tidak sama dengan
pengertian jahat dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi suatu perasaan sedih;
duka cita; atau keadaan jiwa yang gundah akibat mengalami suatu keadaan
yang sedih, pilu dan lain-lain. Dengan kata lain Kerja Njahat adalah suatu
upacara yang dilakukan yang ada hubungannya denga perasaan duka cita
(Berutu dan Nurbani, 1998 : 8).
Jenis upacara yang berhubungan dengan upacara suka cita (Kerja Baik) :
Universitas Sumatera Utara
26
1.
Merre nakan merasa (Nakan Raja) ’ Makanan raja’
2. Mangan balbal ‘Makan putik nangka’
3. Mengkelimbisi ‘Mensyarati bayi’
4. Upacara menggonting ‘Memotong Rambut’
5. Mertakil ‘Sunat’
6. Merbekaskom ‘Upacara Perkawinan’
Dalam hal ini kerja njahat tidak diuraikan karena yang diteliti adalah upacara
perkawinan merbekaskom) yang merupakan bagian dari upacara sukacita.
Merbekaskom berasal dari dari kata bekkas dan kom. Bekkas artinya
tempat, kebiasaan, keberadaan, sedangkan kom artinya berhenti atau stop.
Maksudnya bila seseorang masih remaja berarti belum mempunyai pegangan,
tanggung jawab, atau masih bebas dari berbagai hak dan tanggung jawab
terutama yang menyangkut adat istiadat. Setelah kawin, hal tersebut berubah
dan si ego diberi peranan yang lebih kompleks dan besar dalam keluarga
maupun dalam masyarakat.
2.3.2 Perkawinan Pakpak
Masa peralihan hidup (life cicle) yang terpenting dari semua manusia di
seluruh dunia adalah saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup
berkeluarga, yaitu perkawinan (Koentjaraningrat, 1981: 90). Hampir semua
kelompok etnis mengakuinya dengan berpedoman kepada nilai, aturan dan
kegiatan yang berhubungan dengan tahap tersebut. Demikian juga halnya
dalam masyarakat Pakpak, bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang
Universitas Sumatera Utara
27
sangat penting. Dikatakan penting sebab dari beberapa jenis lingkaran hidup
yang terdapat dalam suku Pakpak, perkawinan ini mempunyai tempat
tersendiri baik dari segi dana dan waktu harus benar-benar dipersiapkan.
Selain itu perkawinan itu sendiri mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam
masyarakat Pakpak.
Selain itu dalam pelaksanaannya melibatkan bukan saja antara
sipemuda dan sipemudi sebagai calon pengantin namun juga melibatkan
anggota kerabat ke dua belah pihak. Semua orang tua mempunyai harapan
agar anaknya setelah besar cepat-cepat menikah untuk dapat meneruskan
generasi. Ini dapat diketahui dari falsafah Pakpak: ” Mbelgah anak
iperunjukken mbelgah berru ipejaheken ”. ( jika anak sudah besar seharusnya
dikawinkan).
2.4 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian mengenai variasi bahasa sudah pernah dilakukan. Clifford
(1976 : 168) dalam hasil penelitian membagi dua bagian pokok, krama dan
ngoko. Pada tingkatan variasi ini tampak adanya perbedaan kedudukan sosial
yang dicontohkan dalam bentuk pertanyaan. Kalau si penanya mempunyai
status sosial yang lebih rendah dari si penjawab, biasanya digunakan krama,
sedangkan si penjawab menggunakan bentuk ngoko. Kalau si penanya
mempunyai status lebih tinggi dari si penjawab, dia menggunakan bentuk
ngoko, sedangkan si penjawab menggunakan bentuk krama; kalau status sosial
Universitas Sumatera Utara
28
penanya dan penjawab sederajat dan kalau sipenanya menggunakan bentuk
krama, si penjawab juga menggunakan bentuk krama; dan kalau digunakan
bentuk ngoko, jawabannya juga bentuk ngoko.
Misalnya:
Krama : Sampeyan ajeng teng pundi ? ‘Anda mau kemana’
(Status sosial lebih rendah dari si penjawab)
Ngoko : Arep mulih ‘Mau pulang’
(Status sosial lebih tinggi dari si penanya)
Ngoko : Kowe arep menyang endi ?
(Status sosial lebih tinggi dari si penjawab)
Krama : Ajeng wangsul ‘Mau pulang’
(Status sosial lebih rendah dari si penanya)
Krama : Sampean ajeng teng pundi ?
(Status sosial lebih tinggi dari si penjawab)
Dalam MP menggunakan BP juga ditemukan variasi penggunaan bahasa
atau ragam, tetapi tidak merujuk pada status sosial yang lebih rendah atau lebih
tinggi, variasi atau ragam bahasa itu hanya sebatas penggunaan sopan tidaknya
atau layak tidaknya ragam itu digunakan.
Contohnya dalam bentuk kalimat di bawah ini:
Sinina dengan sinina
: I sen mo ko kundul. ‘Di sinilah kamu duduk.’
Berru terhadap kula-kula : I sen mo ke kundul. ‘Di sinilah kamu duduk.’
Kata ganti orang ke 2 tunggal ‘ko’ lebih sopan dan berterima bila yang
mempersilakan dan yang dipersilakan memiliki status dalam adat sama.
Universitas Sumatera Utara
29
Sedangkan untuk ‘ke’ bila yang dipersilakan memiliki status dalam adat lebih
dihormati dibanding orang yang mempersilakan.
Meliala (2002), meneliti kata sapaan dalam bahasa Karo yang
mendeskripsikan kata sapaan dan penggunaan kata sapaan dalam bahasa Karo.
Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pemakaian kata sapaan tersebut
disesuaikan dengan parameter, yaitu: umur, status sosial, status urutan
kelahiran, status dalam adat, dikenal atau tidak, jenis kelamin, situasi, dan
keakraban.
Girsang (2005), meneliti ragam bahasa dalam adat perkawinan
Simalungun. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pemunculan ragam bahasa
pada upacara adat perkawinan masyarakat Simalungun (MS) memiliki
hubungan yang sangat erat dengan status peran adat yang ada pada masingmasing kelompok. Pemunculan ragam bahasa berkait dengan peran yang
dilakukan oleh tondong, boru, dan sanina.
Ginting (2010), meneliti sistem dan struktur percakapan dalam bahasa
Karo. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa dalam konteks situasi
perkawinan,pihak pengantin laki-laki dan pihak pengantin perempuan tidak
dapat berbicara langsung, percakapan dilakukan dengan mediator, anak berru
dari kedua belah pihak yang mengakibatkan terbentuknya struktur yang
kompleks dan tidak lazim.
Temuan penelitian terdahulu itu sangat relevan dengan penelitian ini
dalam hal perbandingan bagi peneliti karena ragam bahasa dalam upacara adat
perkawinan masyarakat Pakpak tidak terlepas dari peran masing–masing
Universitas Sumatera Utara
30
kedudukan status adat. Dalam melakukan dialog antara pihak kula-kula dan
berru tidak dapat berbicara langsung, dialog dilakukan dengan mediator yang
disebut persinabul dan juga dalam penggunaan kata sapaan disesuaikan dengan
umur, jenis kelamin, dan status dalam adat.
Penelitian mengenai variasi bahasa baik dari sudut penutur maupun
penggunaannya sudah banyak dilakukan meskipun tidak dijabarkan satu persatu
dalam tulisan ini. Berdasarkan survei pustaka, penelitian ragam bahasa
mengenai perkawinan adat masyarakat Pakpak yang menggunakan bahasa
Pakpak belum pernah dilakukan. Hasil penelitian ini mendeskripsikan tentang
ciri, perbedaan, dan makna ragam bahasa Pakpak sehingga diharapkan dapat
menjadi sarana pengenalan bahasa Pakpak kepada pembacanya, sekaligus juga
mempunyai dampak penting bagi penutur asli bahasa Pakpak agar mau
memakai bahasa dan budaya sendiri serta melestarikannya. Oleh karena itu
penelitian ini berjudul “Ragam Bahasa Dalam Upacara Adat Perkawinan
Masyarakat Pakpak”.
Universitas Sumatera Utara
Download