Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini membahas teori-teori yang digunakan dalam penelitian, baik teori
utama maupun teori pendukung, untuk menganalisis faktor-faktor penyebab
language shift yang dibahas pada Bab III Analisis Data berdasarkan aspek teoritis.
2.1 Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan cabang ilmu linguistik yang lebih menitik
beratkan teori-teorinya pada kegiatan berbahasa sekelompok masyarakat dalam
sebuah lingkungan.
Menurut Radford, Andrew (1999:20), “Sociolinguistics is the study of the
relationship between language use and structure of society.” Sosiolinguistik
mempelajari hubungan antara bahasa yang digunakan dan struktur dalam
masyarakat. Dalam hal ini bahasa yang digunakan akan berbeda tergantung
kebutuhan, apakah bahasa tersebut formal atau tidak formal, halus ataupun kasar.
Senada dengan Radford, Holmes (2001:1) juga menyatakan:
“Sociolinguistics is study the relationship between language and society.
They are interested in explaining why we speak differently in different
social context, and they are concerned with identifying the social function
of language and the ways it is used toconvey social meaning.”
Kajian sosiolinguistik mempelajari hubungan antara bahasa dengan masyarakat
sosial. Dalam hal ini, sosiolinguistik lebih berfokus dalam menjelaskan mengapa
manusia berkomunikasi secara berbeda-beda dalam keadaan sosial yang berbeda
11
12
pula dan juga mengkaji dengan mengenali fungsi sosial dari satu bahasa dan cara
bahasa tersebut digunakan untuk menyampaikan pesan.”
Fasold (1993:19) mengemukakan bahwa inti sosiolinguistik tergantung dari
dua kenyataan. Pertama, bahasa bervariasi yang menyangkut pilihan bahasabahasa bagi para pemakai bahasa. Kedua, bahasa digunakan sebagai alat untuk
menyampaikan informasi dan pikiran-pikiran dari seseorang kepada orang lain.
“Sosiolinguistics is the study of the characteristics of language varieties,
the characteristics of their functions, and the characteristics of their
speakers as these three constantly interact, change and change one another
within a speech community.” (Fishman, 1972)
Sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi–fungsi
variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi,
berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat.
Berdasarkan beberapa pengertian menurut para ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa sosiolinguistik merupakan cabang ilmu linguistik yang erat
kaitannya dengan sosiologi, hubungan antara bahasa dengan faktor- faktor sosial
di dalam suatu masyarakat tutur serta mengkaji tentang ragam dan variasi bahasa.
Selanjutnya menurut Holmes, ada empat kategori dimensi analisis
sosiolinguistik, yaitu:
1. Jarak sosial atau solidaritas (social distance/solidarity); mengacu pada
penggunaan bahasa yang dipengaruhi oleh kedekatan hubungan atau
persamaan sikap dan nilai yang dimiliki oleh pembicara dan mitra
bicara.
2. Status atau kekuasaan (status/power); mengacu pada penggunaan bahasa
yang dipengaruhi status sosial dan kekuasaan.
13
3. Formalitas (formality); mengacu pada ragam bahasa yang digunakan
berdasarkan konteks situasi.
4.
Fungsi (afektif dan referensial); mengacu pada jenis pesan yang
disampaikan,
dapat
berupa
pesan
sosial/afektif
atau
informatif/referensial (affective and referential).
Adapun menurut Chaer (2004:5) ada tujuh dimensi yang merupakan
penelitian sosiolinguistik yaitu: (1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas
sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan
sosial tempat peristiwa tutur terjadi (4) analisis sinkronik dan diakronik dari
dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku
bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, (7) penerapan
praktis dari penelitian sosiolinguistik.
Dari penjelasan Chaer di atas memiliki persamaan dengan dimensi-dimensi
yang telah disebutkan oleh Holmes sebelumnya, namun Chaer lebih memperinci
lagi dimensinya.
2.1.1
Variasi Bahasa
Sebagai sebuah langue, bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang
dipahami sama oleh semua penutur bahasa. Namun, karena penutur bahasa
tersebut berada dalam masyarakat tutur, tidak merupakan kumpulan manusia
yang homogen, maka wujud bahasa konkret yang disebut parole, menjadi tidak
seragam dan itulah yang membuat bahasa itu menjadi bervariasi dan beragam.
Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh
14
para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial
yang mereka lakukan sangat beragam. Setiap kegiatan memerlukan atau
menyebabkan terjadinya keberagaman bahasa itu. keberagaman ini akan semakin
bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang sangat banyak,
serta dalam wilayah yang sangat luas.
Variasi bahasa adalah keanekaragaman bahasa yang disebabkan oleh
faktor tertentu. Menurut Janet Holmes, (2001:223): “Language varies according
to its uses as well as its users, according to where it is used and to whom, as well
as according to who is using it”. Variasi bahasa berubah-ubah menurut kegunaan
dan penggunanya, tempat dimana bahasa digunakan, dengan siapa serta siapa
yang menggunakan bahasa tersebut.
2.1.2
Konteks dan Situasi
Konteks diartikan sebagai bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat
mendukung atau menambah kejelasan makna. Istilah konteks dan situasi sering
digunakan untuk menerangkan peristiwa bahasa sebagai salah satu petunjuk
untuk lebih memahami masalah arti bahasa. Walau kata konteks dan situasi
sering diiringi penggunaannya, sebaliknya diadakan juga perbedaan antara kedua
kata itu. Kata- kata pada satu bahasa yang dapat kita pahami tanpa mengenal
konteksnya. (Poerwadarminta 2008:156)
Fishman (dalam Tarigan, 1988:3) beserta pakar sosiolinguistik lainnya sangat
yakin bahwa:
Maksud dan tujuan penggunaan satu atau dua bahasa sangatlah beraneka
ragam dan barbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya dari orang ke
15
orang tergantung pada topik, penyimak dan konteks. Berdasarkan
penggunaannya, berarti bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa,
apa jalurnya, dan alatnya serta bagaimana situasi keformalannya.
Dari penjelasan Fishman di atas dapat dilihat bahwa konteks dan situasi
bahasa sangatlah berpengaruh dalam pemilihan suatu bahasa karena alasan-alasan
yang telah disebutkan tadi.
2.2 Language Shift
Language shift terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang mengubah
bahasa utama yang mereka gunakan dalam berkomunikasi. Hal ini dapat terjadi
ketika bahasa asli digantikan dengan bahasa regional atau bahasa global, dan
ketika bahasa warga imigran yang mulai digantikan dengan bahasa yang dominan
dari negara yang ia tinggali. Adapun pengertian language shift adalah sebagai
berikut:
Menurut Holmes (2001):
“Language shift is the process by which a new language is acquired by new
community usually resulting with the loss of the community’s first
language, and language maintenance refers to the situation where speech
commuity continues to use its traditional language in the face of a host of
condition that might foster a shift to another language. If language
maintenance does not occur, there can be several results. One is language
death; speakers become bilingual, younger speakers become dominant in
another language, and the language is said to die. The speakers or the
community does not die, of course, they just become a subset of speakers of
another language. The end result is language shift for the population, and if
the language isn't spoken elsewhere, it dies”.
Pergeseran bahasa adalah proses di mana bahasa baru diakuisisi oleh
komunitas baru yang biasanya dihasilkan dari hilangnya bahasa pertama mereka
dan pemertahanan bahasa mengacu pada situasi di mana komunitas penutur terus
16
menggunakan bahasa tradisional dalam menghadapi semua kondisi yang mungkin
mendorong pergeseran ke bahasa lain. Jika pemertahanan bahasa tidak dilakukan,
maka akan ada beberapa hasil. Salah satunya adalah kematian bahasa; masyarakat
akan menjadi bilingual, anak muda menjadi dominan dalam bahasa lain, dan
bahasa tradisional pun akan mati. Penutur atau masyarakat tidaklah mati, tentu
saja, mereka hanya menjadi bagian dari penutur bahasa lain. Hasil akhirnya adalah
pergeseran bahasa untuk masyarakat, dan jika bahasa tidak dituturkan di tempat
lain, maka bahasa tersebut menjadi mati.
Holmes menjelaskan bahwa kematian bahasa (language death) terjadi ketika
sebuah bahasa sudah tidak memiliki penuturnya. Kematian bahasa merupakan
akhir dari kehilangan bahasa yang biasanya berada dalam situasi di mana suatu
bahasa yang dominan mengancam keberlangsungan bahasa minoritas.
Minoritas dipahami secara demografis, dalam kaitannya dengan jumlah
penutur asli atau secara fungsional berkaitan dengan masalah politik, sosial, atau
subordinasi budaya terhadap dominasi bahasa mayoritas. Biasanya, semua
karakteristik bahasa minoritas ini berlangsung secara simultan. Konsekuensi dari
kematian bahasa secara khusus terjadi dalam ketidakstabilan masyarakat tutur
yang dwibahasawan atau multibahasawan sebagai akibat pergeseran bahasa
karena keterdesakan bahasa minoritas dari dominasi bahasa mayoritas.
Pengertian language shift menurut Fishman (1964) mengatakan bahwa;
“The study of language maintenance and language shift is concerned with
the relationship between change or stability in habitual language use, on
the one hand, and ongoing psychological, social or cultural processes, on
17
the other hand, when populations differing in language are in contact with
each other”.
Studi tentang pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa berdasarkan
dengan hubungan antara perubahan atau stabilitas dalam penggunaan pola bahasa,
yang di satu sisi penggunaanya terjadi dalam psikologis, sosial atau proses
budaya, dan di sisi lain, terjadi apabila penduduk yang berbeda bahasa melakukan
komunikasi antar kelompok.
Ada pula menurut Fasold (1984:212) menyatakan bahwa pemertahanan dan
pergeseran bahasa ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lainnya. Ia merupakan hasil kolektif dari pilihan bahasa (language choice).
Selanjutnya, Fasold mengemukakan pergeseran bahasa seperti yang dikutip di
bawah ini:
“Language shift simply means that a community gives up a language
completely in favour of another one. The members of the community,
when the shift has taken place, have collectivelly chosen a new
language where and old one used to be used. In language maintenance,
the community collectivelly decides to continue using the language in
domains formely shift in progress. If the members of speech community
are monolingual and are not collectively acquiring another language,
then they are obviously maintaining their language use pattern. (Fasold
1984:213)”
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa pergeseran bahasa itu
terjadi manakala masyarakat pemakai bahasa memilih suatu bahasa baru untuk
mengganti bahasa sebelumnya. Dengan kata lain, pergeseran bahasa itu terjadi
karena masyarakat bahasa tertentu beralih ke bahasa lain, biasanya bahasa yang
dominan dan berprestise, lalu digunakan dalam ranah-ranah pemakaian bahasa
yang lama, pemertahanan bahasa dalam masyarakat bahasa tetap menggunakan
18
bahasa-bahasa secara kolektif atau secara bersama-sama dalam ranah-ranah
pemakaian tradisional.
Pengertian language shift dalam kamus Longman Dictionary of Language
Teaching and Applied Linguistics (2002), adalah sebagai berikut: “Language shift
is the process by which a new language is acquired by a community usually
resulting with the loss of the community’s first language”. ”Pergeseran bahasa
merupakan proses di mana bahasa yang baru diperoleh oleh suatu masyarakat
yang biasanya dihasilkan dari hilangnya bahasa pertama mereka.”
Dari hasil penjelasan language shift di atas menyebutkan bahwa kebanyakan
pergeseran bahasa terjadi akibat masuknya bahasa baru karena suatu lingkungan.
Oleh sebab itulah bahasa lama menjadi bahasa yang jarang atau tidak digunakan
lagi. Adapun beberapa pelaku language shift menurut Holmes (2001) meliputi
kalangan dibawah ini:
2.2.1
Minoritas Migran.
Orang-orang biasanya beralih cepat dari satu frase ke frase berikutnya.
Misalnya, reaksi terhadap alih kode gaya negatif di banyak komunitas, meskipun
fakta bahwa kemahiran dalam intrakalimat alih kode memerlukan kontrol yang
baik dari kedua kode. Hal ini mungkin mencerminkan sikap dari mayoritas
kelompok monolingual di tempat-tempat seperti di Amerika Utara dan Inggris.
Di tempat-tempat seperti New Guinea dan Afrika Timur di mana
multilingualisme adalah norma dan sikap untuk mahir dalam alih kode jauh lebih
positif. Urutan wilayah di mana terjadi pergeseran bahasa dapat berbeda untuk
individu yang berbeda dan kelompok yang berbeda, namun secara bertahap dari
19
waktu ke waktu satu bahasa mampu menggantikan luas bahasa minoritas bahasa
ibu individu tersebut. Ini mungkin memakan waktu tiga atau empat generasi tapi
terkadang pergeseran bahasa dapat dilengkapi hanya dalam dua generasi saja.
Biasanya, migran hanya memiliki satu bahasa yakni bahasa ibu mereka,
sedangkan anak-anak mereka berbahasa bilingual, dan cucu mereka sering
monolingual dalam bahasa negara mereka.
2.2.2
Masyarakat Non-Migran
Pergeseran bahasa tidak selalu merupakan hasil dari migrasi atau
perpindahan penduduk. Perkembangan politik, ekonomi dan sosial di suatu daerah
juga dapat berakibat pada perubahan linguistik. Misalnya di lingkungan sosial dan
ekonomi tertentu ada yang disebut kelas atas dan kelas bawah yang memiliki gaya
bahasa atau pemilihan bahasa yang berbeda dengan lingkungan lainnya tergantung
dari kelas sosialnya.
2.2.3
Mayoritas Migran
Ketika pergeseran bahasa terjadi, pergeseran tersebut selalu bergeser ke
arah kelompok bahasa domain yang kuat, karena sebuah kelompok domain tidak
memiliki insentif untuk mengadopsi bahasa minoritas. Bahasa domain dikaitkan
dengan status, prestise, dan keberhasilan sosial. Sehingga ketika suatu bahasa mati
secara bertahap bahasa lainnya pun menggantikan posisi bahasa tersebut. Menurut
Holmes (2001), berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat berkontribusi
terhadap pergeseran bahasa, yaitu:
20
1. Faktor Ekonomi, Sosial dan Politik
a. Bahasa yang dominan dikaitkan dengan status sosial dan prestise,
b. Mendapatkan pekerjaan adalah alasan ekonomi yang jelas untuk
belajar bahasa lain,
c. Tekanan domain institusi seperti sekolah dan media.
2. Faktor Demografi
a. Pergeseran bahasa lebih cepat di daerah perkotaan dibandingkan di
pedesaan,
b. Ukuran kelompok adalah beberapa kali faktor kritis,
c. Perkawinan
antara
kelompok-kelompok
dapat
mempercepat
pergeseran bahasa.
3. Sikap dan Nilai-Nilai
Pergeseran bahasa cenderung lebih lambat di kalangan masyarakat di
mana bahasa sangat dihargai, terutama jika bahasa dipandang sebagai
simbol penting dari identitas. Sikap positif tersebut mendukung upaya
untuk menggunakan bahasa minoritas di berbagai domain, dan ini
membantu orang melawan tekanan dari kelompok mayoritas untuk beralih
ke bahasa mereka. Di mana Ia memiliki status dalam masyarakat, ini akan
sangat membantu untuk mempertahankan bahasa tertentu karena bahasa
akan dianggap sebagai ciri suatu daerah atau negara yang membuat
seseorang merasa bangga akan bahasanya.
21
2.3 Bilingualisme
Istilah bilingualisme atau kedwibahasaan secara sosiolinguistik diartikan
sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya,
dengan orang lain secara bergantian. Orang yang dapat menggunakan kedua
bahasa disebut orang bilingual (dwibahasa), kemampuan untuk menggunakan dua
bahasa disebut bilingualitas.
Menurut Trask (1999:30), “Bilinguallism is the ability of people to speak two
languages in one or particular situation, time, and occupasion. An individual use
of two languages suppose the existence of two different language communities”.
Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa kedwibahasaan atau bilingualisme adalah
milik individu. Penggunaan individu dari dua bahasa menunjukkan adanya dua
komunitas bahasa berbeda.
Adapun pendapat menurut Bloomfield dalam bukunya Language (1933:56)
bilingual adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa
dengan sama baiknya. Pendapat Bloomfield banyak mendapat kritikan, karena
pertama: bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari seorang penutur
terhadap dua buah bahasa yang digunakannya, kedua: mungkinkah ada seorang
penutur yang dapat menggunakan B2-nya sama baik dengan B1-nya. Batasan
Bloomfield ini banyak dimodifikasi orang.
Lobert Lado (1964:214) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan
menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama
baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa
bagaimana pun tingkatnya.
22
Menurut Haugen (1961:13) “Mengetahui akan dua bahasa atau lebih
berarti bilingual. Seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua
bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja dan mempelajari bahasa
kedua, apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh
terhadap bahasa aslinya.” Diebold (1968:10) menyebutkan adanya bilingualisme
pada tingkat awal (incipient bilingualism) yaitu bilingualisme yang dialami oleh
orang-orang, terutama anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua pada
tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualisme itu masih sangat sederhana dan
dalam tingkat rendah. Namun, tidak dapat diabaikan karena pada tahap inilah
terletak dasar bilingualisme.
Dari uraian di atas, bilingualisme merupakan satu rentangan berjenjang
mulai menguasai B1 (bahasa pertama) ditambah tahu sedikit akan B2 (bahasa
kedua), dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang meningkat, hingga menguasainya
dengan baik. Halliday (Fishman 1968: 141) menyebutnya ambilingual, Oksaar
(Sebeok 1972: 481) menyebutnya ekuilingual, sedangkan oleh Diebold (Hymes
1964: 496) menyebutnya koordinat bilingual.
Selanjutnya Bloomfield (1933) mengatakan bahwa menguasai dua bahasa
berarti menguasai dua buah sistem kode, berarti bahasa itu bukan langue,
melainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Mackey (1962:12)
dengan tegas mengatakan bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa
secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain oleh seorang penutur.
Untuk penggunaan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan
tingkat yang sama. Berarti bahasa menurut Mackey adalah langue. Sementara
23
Weinrich (1968:1) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa
membedakan tingkat-tingkat yang ada di dalamnya. Baginya, menguasai dua
bahasa dapat berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari
bahasa yang sama. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Haugen (1968:
10), juga Rene Appel (1976: 176).
Haugen mengelompokkan empat aspek untuk mempermudah pembicaraan
mengenai bilingual, yaitu sebagai berikut:
2.3.1 Tingkat Kemampuan
Kemampuan berbahasa seseorang akan nampak pada empat keterampilan,
yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Keempat keterampilan ini
mencakup level fonologi, gramatik, leksis, semantik, dan gaya bahasa. Apabila
seseorang telah menguasai keempat aspek keterampilan tersebut maka ia dapat
disimpulkan memiliki kemampuan yang sangat kompeten. Dengan kata lain
aspek-aspek keterampilan di atas mempermudah seseorang untuk dianalisis
kemampuannya dalam berbahasa atau dalam suatu bahasa.
2.3.2 Pergantian Antarbahasa
Pergantian antarbahasa ini bergantung pada kefasihan dan juga fungsi
eksternal dan internal penutur. Kondisi-kondisi penutur dalam berganti bahasa
tersebut diciptakan paling tidak oleh tiga hal, yang pertama topik pembicaraan,
yang kedua orang yang terlibat dalam pembicaraan tersebut dan yang terakhir rasa
canggung yang diakibatkan ketidaksepahaman pembicara.
Misalnya ada dua orang penutur yang mana berasal dari dua daerah yang
berbeda sedang saling berkomunikasi akibat perbedaan daerah tadi salah satu
24
penutur pun tidak dapat memahami bahasa lawan bicaranya dan merasa canggung
sehingga ia mengganti bahasa obrolan mereka ke bahasa lain yang dapat dipahami
keduanya.
2.3.3 Interfensi
Interfensi adalah kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaankebiasaan ujaran bahasa atau dialek bahasa pertama kedalam dialek bahasa kedua.
Interfensi bisa terjadi pada: pengucapan, tata bahasa, kosakata dan makna bahkan
budaya. Dengan demikian deskripsi interfensi memiliki sifat individual, sehingga
mengakibatkan idiosinkrasi dan parole penutur. Misalnya masyarakat yang
berasal dari suku Melayu dengan orang yang berasal dari kota besar walaupun
bahasa Melayu dan bahasa Indonesia berasal dari satu bahasa yang sama namun
akibat perkembangan zaman sehingga bahasa Indonesia pun mengalami
perubahan. Oleh sebab itu ada beberapa kosakata atau dialek yg berbeda satu
sama lain dan ini akan mengakibatkan ketidaksepahaman dalam berkomunikasi
dan membuat penutur untuk merubah bahasanya ke bahasa yang dapat di mengerti
keduanya.
2.4 Multilingualisme
Istilah “bilingualisme” (kedwibahasaan) sering dianggap sama dengan
istilah “multilingualisme” (kemultibahasaan), yaitu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan keadaan penggunaan lebih dari satu bahasa oleh individu,
kelompok, atau masyarakat (regional, nasional, bangsa, dan negara).
25
Menurut Alexandra Aikvenhald (2003:1) Multilingualisme lebih merujuk
pada penggambaran seorang penutur yang menguasai lebih dari dua bahasa, tiga
bahasa, atau empat, bahkan lima bahasa sekaligus. Penggunaanya hampir sama
dengan bilingualisme, yakni tahu kapan dan di mana suatu bahasa akan
digunakan. Misalnya saja orang Jawa, selain mampu berbahasa Jawa (sebagai
bahasa ibunya), juga mampu berbahasa Indonesia sebagai B2, dan bahasa Inggris
sebagai B3, bahkan ada beberapa yang bisa bahasa Jepang, Belanda, dan
sebagainya.
Multilingual adalah masyarakat yang mempunyai atau menggunakan
beberapa bahasa dalam kegiatannya. Masyarakat yang demikian terjadi karena
beberapa etnik ikut membentuk masyarakat tersebut sehingga dari segi etnik bisa
dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society). (Paina Partana, 2002:
76). Dari pernyataan di atas dapat di lihat bahwa masyarakat multilingual bisa
terbentuk akibat adanya pengaruh dari etnis-enis yang ada di sekitarnya.
Adanya perkembangan bahasa dari monolingual kemudian menjadi bilingual
dan pada akhirnya menjadi multilingual disebabkan banyak faktor. Perkembangan
teknologi
komunikasi,
adanya
globalisasi,
pesatnya
dunia
pendidikan
menyebabkan kebutuhan masyarakat mengenai bahasa mengalami pergeseran
serta kemajuan jaman secara tidak langsung membaurkan antarbahasa.
Dalam sejarah terbentuknya bahasa yang beragam, dapat kita lihat setidak –
tidaknya ada 4 pola yaitu melalui migrasi, penjajahan, federasi dan
keanekabahasaan di wilayah perbatasan seperti yang diungkapkan Alexandra
Aikvenhald (2003: 17-21).
26
2.4.1 Migrasi
Migrasi atau perpindahan penduduk adalah faktor yang terbesar dalam
menimbulkan masalah kebahasaan dan hakikatnya dapat dibagi menjadi 2 jenis.
Jenis pertama adalah sekelompok besar penduduk yang melebarkan sayap ke
wilayah lain yang sudah dihuni oleh kelompok-kelompok lain, sehingga membuat
beberapa daerah tersebut menjadi menggunakan bahasa yang sama. Jenis kedua
terjadi jika sejumlah kecil anggota etnik memasuki wilayah yang sudah dibawah
kontrol nasional lainnya, misalnya perpindahan seseorang ke daerah lainnya yang
jauh dari tempat asalnya (antar negara).
2.4.2 Penjajahan
Dalam proses penjajahan kontrolnya dipegang oleh sejumlah orang yang
relatif sedikit dari nasionalitas pengontrol di wilayah baru itu. Misalnya suatu
negara yang telah dijajah oleh negara lainnya sehingga pada saat merdeka negara
baru tersebut memiliki bahasa yang dimiliki oleh negara yang menjajahnya.
Seperti negara Australia yang dulu dijajah oleh Inggris pada saat itu di Australia
suku aslinya berbahasa aborigin karena komunikasi yang sulit sehingga tentara
Inggris pun mengajarkan bahasa Inggris yang sampai sekarang telah menjadi
bahasa resmi dan mayoritas di sana.
2.4.3 Federasi
Federasi adalah penyatuan berbagai etnik atau nasionalitas suatu negara yang
berada dibawah kontrol politik satu negara. Misalnya seperti salah satu contoh
27
negara Skotlandia yang gagal merdeka pada Sembilan belas September tahun lalu,
karena sebagian besar warganya tetap memilih dibawah kepemimpinan kerajaan
Inggris dari pada menjadi sebuah negara baru yang mandiri dan merdeka. Selain
Skotlandia banyak negara lainnya yang juga mengalami nasib yang sama, yaitu
berada di bawah kepemimpinan negara lain dan data riset ini diambil dari website
resmi milik BBC.
2.4.4 Keanekabahasaan di Wilayah Perbatasan
Asal mula keanekabahasaan biasa terjadi di wilayah perbatasan akibatnya di
perbatasan bisa jadi ada penduduk yang jadi warga negara A tapi secara
sosiokultural menjadi warga negara B. Komplikasi wilayah perbatasan biasanya
dihubungkan dengan perang. Bangsa yang kalah dipaksa untuk menyerahkan
sebagian wilayahnya kepada bangsa yang menang. Seperti yang terjadi di
Republik Suriname (Surinam) pada Jungblut (1999/2000) , dulu bernama Guyana
Belanda atau Guiana Belanda adalah sebuah negara di Amerika Selatan dan
merupakan bekas jajahan Belanda. Negara ini berbatasan dengan Guyana Perancis
di timur dan Guyana di barat. Di selatan berbatasan dengan Brasil dan di utara
dengan Samudra Atlantik.
Di Suriname tinggal sekitar 75.000 orang Jawa dan dibawa ke sana dari
Hindia Belanda antara tahun 1890-1939. Suriname merupakan salah satu anggota
Organisasi Konferensi Islam dan bahasa Belanda merupakan bahasa resmi di
Suriname. Orang Suriname juga berbicara bahasa mereka: Sranang Tongo, bahasa
Hindustani, bahasa Jawa Suriname, dan lainnya. Dan juga bahasa asal bahasa
28
Karibia dan bahasa Arawakan, orang India Suriname juga bicara bahasa mereka
sendiri. Selain itu, bahasa Inggris juga digunakan luas, terutama dalam fasilitas
dan toko yang berorientasi pariwisata. Semua bahasa ini tercipta karena pada
zaman penjajahan dulu dan tetap digunakan sampai sekarang.
Download