Studi Islam Metode dan Pendekatan pemahaman Islam Pembahasan 2.1 Islam dan sasaran pendekatan studi agama 2.1.1 pengertian studi Islam Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari bahasa Arab Dirasat Islamiyah. Dalam kajian Islam di Barat studi Islam disebut Islamic Studies. Dengan demikian, studi Islam secara harfiyah adalah kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan keislaman. Dalam wacana studi Islam, Islam secara harfiyah berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Dari kata salima diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri. Dengan demikian, arti pokok Islam adalah ketundukan, keselamatan dan kedamaian. Berpijak pada arti Islam di atas, maka studi Islam diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada dua hal : 1. Islam yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri. Sikap berserah diri kepada Tuhan itu secara inheren mengandung konsekuensi, yaitu pengakuan yang tulus bahwa Tuhan satu-satunya sumber otoritas yang serba mutlak. 2. Islam bermuara pada kedamaian. Makhluk hidup diciptakan dari satu sumber (Q.S Al-Anbiya':22). Manusia merupakan salah satu unsur yang hidup itu, juga diciptakan dari satu sumber, yakni thin melalui seorang ayah dan seorang ibu, sehingga manusia harus berdampingan dan harmonis dengan manusia yang lain, berdampingan dengan makhluk hidup lain, bahkan berdampingan dengan alam raya. Dari arti di atas, studi Islam mencerminkan gagasan tentang pemikiran dan praksis yang bernuansa pada ketundukan pada Tuhan, selamat di dunia-akhirat dan berdamai dengan makhluk lain. 2.1.2 Aspek sasaran Studi Islam Antara agama dan ilmu pengetahuan masih dirasakan adanya hubungan yang belum serasi. Jaringan komunikasi ilmiah dianggap belum menjangkau agama. Dalam bidang agama terdapat sikap dogmatis, sedang dalam bidang ilmiah terdapat sikap sebaliknya, yakni sikap rasional dan terbuka. Antara agama dan ilmu pengetahuan memang terdapat unsur-unsur yang saling bertentangan. Dari unsur perbedaan itu sulit untuk dipertemukan. Page |5 Studi Islam Metode dan Pendekatan pemahaman Islam Studi Islam sebagai kajian tidak lepas dari keduanya. Antara aspek sasaran keagamaan dan keilmuan sama-sama dibutuhkan dalam diskursus ini. Oleh karena itu, aspek sasaran Studi Islam meliputi tiga hal tersebut, yaitu aspek sasaran keagamaan dan aspek sasaran keilmuan. 1. Aspek sasaran keagamaan IAIN sebagai lembaga keagamaan, menuntut para pengelola dan civitas akademiknya untuk lebih menonjolkan sikap pemihakan, idealitas, bahkan seringkali diwarnai pembelaan yang bercorak apologis. Dari aspek sasaran ini, wacana keagamaan dapat ditransformasikan secara baik dan menjadikan landasan kehidupan dalam berperilaku tanpa melepaskan kerangka normatif. Pertama, Islam sebagai dogma juga merupakan pengalaman universal dari kemanusiaan. 2. Islam tidak hanya terbatas pada kehidupan setelah mati, tetapi orientasi utama adalah dunia sekarang. 3. Aspek sasaran keilmuan Studi keilmuan memerlukan pendekatan yang kritis, analitis, metodologis, empiris dan histories. Oleh karena itu, konteks ilmu harus mencerminkan ketidakberpihakan pada satu agama, tetapi lebih mengarah pada kajian yang bersifat obyektif. Dengan demikian, studi Islam sebagai aspek sasaran keilmuan membutuhkan berbagai pendekatan. Dalam studi Islam, kerangka pemikiran ilmiah diatas ditarik dalam konteks keislaman. Pengkajian terhadap Islam yang bernuansa ilmiah tidak hanya terbatas pada aspek-aspek yang normative dan dogmatis, tetapi juga pengkajian yang menyangkut aspek sosiologis dan empiris. Pengkajian Islam ini dapat dilakukan secara paripurna dengan pengujian secara terus menerus atas fakta-fakta empiric dalam masyarakat yang dinilai sebagai kebenaran nisbi dengan mempertemukan pada nilai agama yang bersumber dari wahyu sebagai kebenaran absolute. Dengan demikian, kajian keislaman yang bernuansa ilmiah meliputi aspek kepercayaan normative-dogmatif yang bersumber dari wahyu dan aspek perilaku manusia yang lahir dari dorongan kepercayaan. Page |6 Studi Islam Metode dan Pendekatan pemahaman Islam 2.2 Pemahaman Agama Melalui Pendekatan Teologis Persoalan yang pertama kali muncul dalam islam sebagai agama yaitu persoalan di bidang politik, bukan dalam bidang teologi. Sebagai agama, memang terdengar agak aneh. Namun memang persoalan inilah yang berperan sebagai pemicu dan pengembangan teologi. pengertian teologi penting sekali untuk tingkah laku manusia dan etika pembangunan, walaupun ada hubungan dengan bidang lain, pada umumnya istilah teologi dipakai dalam arti yang cukup terbatas, sebagai suatu pembahasan mengenai ketuhanan saja. 2.2.1 Sejarah istilah teologis Teologi (bahasa Yunani θεος, theos, "Allah, Tuhan", + λογια, logia, "kata-kata," "ucapan," atau "wacana") adalah wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama, spiritualitas dan Tuhan. Dengan demikian, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Para teolog berupaya menggunakan analisis dan argumenargumen rasional untuk mendiskusikan, menafsirkan dan mengajar dalam salah satu bidang dari topik-topik agama. Teologi dapat dipelajari sekadar untuk menolong sang teolog untuk lebih memahami tradisi keagamaannya sendiri ataupun tradisi keagamaan lainnya, atau untuk menolong membuat perbandingan antara berbagai tradisi atau dengan maksud untuk melestarikan atau memperbarui suatu tradisi tertentu, atau untuk menolong penyebaran suatu tradisi, atau menerapkan sumber-sumber dari suatu tradisi dalam suatu situasi atau kebutuhan masa kini, atau untuk berbagai alasan lainnya. Pada Abad Pertengahan, teologi merupakan subyek utama di sekolah-sekolah universitas dan biasa disebut sebagai "The Queen of the Sciences". Dalam hal ini ilmu filsafat merupakan dasar yang membantu pemikiran dalam teologi. Istilah theologia digunakan dalam literatur Yunani Klasik, dengan makna "wacana tentang para dewa atau kosmologi" (lihat Lidell dan Scott Greek-English Lexicon untuk rujukannya). Aristoteles membagi filsafat teoretis ke dalam mathematice, phusike dan theologike. Yang dimaksud dengan theologike oleh Aristoteles kira-kira sepadan dengan metafisika, yang bagi Aristoteles mencakup pembahasan mengenai hakikat yang ilahi. Sejak itu istilah ini telah diambil oleh berbagai tradisi keagamaan Timur maupun Barat. Page |7 Studi Islam Metode dan Pendekatan pemahaman Islam Dengan meminjam dari sumber-sumber Yunani, penulis Latin Varro membedakan tiga bentuk wacana ini: mitis (menyangkut mitos-mitos tentang para dewata Yunani), rasional (analisis filosofis mengenai para dewata dan kosmologi) dan sipil (menyangkut ritus dan tugas-tugas keagamaan di tengah masyarakat). Para penulis Kristen, yang bekerja dengan kerangka Helenistik, mulai menggunakan istilah ini untuk menggambarkan studi mereka. Kata ini muncul sekali dalam beberapa naskah Alkitab, dalam judul Kitab Wahyu: apokalupsis ioannou tou theologou, "penyataan kepada Yohanes sang theologos". Namun demikian, kata ini merujuk bukan kepada Yohanes sang "teolog" dalam pengertian bahasa kita sekarang, melainkan – dengan menggunakan arti akar kata logos dalam arti yang sedikit berbeda, dan di sini tidak dimaksudkan sebagai "wacana rasional" melainkan dalam arti "firman" atau "pesan". Dengan demikian, sang "theologos" di sini dimaksudkan sebagai orang yang menyampaikan firman Allah - logoi tou theou. Sebagaimana halnya Filsafat Agama, Teologi pun sukar didefinisikan dengan definisi yang diterima oleh segala pihak. Lebih-lebih kalau mengingat misalnya bahkan kadang-kadang ada justru para ahli berlawanan pahamnya tentang apa yang dinamakan Teologi itu. Disatu pihak ada yang mengatakan Teologi benar-benar berbeda dengan filsafat agama, tetapi justru yang lain memasukkan filsafat agama ke dalam teologi, karena misalnya Encyclopedia of Philosopy yang editornya Paul Edwards, yang menyebutkan bahwa ke dalam Teologi itu masuk sejarah filsafat agama dan problematika filsafat agama. Tetapi sebaiknya dilihat juga percobaan satu dua orang untuk memberi gambaran tentang Teologi ini seperti yang terdapat dalam dictionary, encyclopedia maupun buku Teologi. Virgilius Ferm mengatakan bahwa Teologi berasal dari bahasa Yunani theos yang berarti Tuhan, dan logos yang berarti studi. Kalau secara sederhana Teologi berarti studi masalah-masalah Tuhan dan kaitan Tuhan dengan dunia realitas. Dalam pengertian yang lebih luas berarti suatu cabang Filsafat, yaitu cabang Filsafat yang merupakan lapangan khusus atau bidang penelitian Filsafat yang khusus berkenaan dengan masalah Tuhan. Tetapi secara luas dipergunakan dalam arti Theoritical expression of a particular religion, ekspresi teoritis tentang suatu agama tertentu. Dalam pemahamannya kemudian ada Teologi Kristen, Yahudi, Prebisterian, Reformasi dan sebagainya. Kalau dipergunakan dalam yang demikian itu, teologi lalu merupakan fase-fase diskusi teoritis tentang kepercayaan agama tertentu yang bersifat historic, sistematik, polemic, apologetik dan sebagainya. Teologi tidak perlu merefensi pada agama, ia mungkin merupakan diskusi teoritis murni tentang Tuhan Page |8 Studi Islam Metode dan Pendekatan pemahaman Islam dan hubungan-Nya dengan dunia atas dasar penelitian yang bebas yang tidak mempunyai interest atau kepentingan tertentu. Senada dengan keterangan di atas, S.G.F Brandon mengatakan bahwa Theology yang sering dikatakan Theologia, berarti discource about God, dapat diartikan pembicaraan atau diskusi mempersoalkan tentang Tuhan. Keilmiahan Teologi oleh Steenbrink dibedakan dengan keilmiahan ilmu agama (mestinya Science of Religion) karena keilmiahan Teologi itu dari dalam, tidak dari luar, tidak distansi antara subyek dan obyek, jadi tidak obyektif tetapi subyektif dilakukan oleh orang takwa, yang barangkali maksudnya orang yang mengimani apa yang didiskusikan. Steenbrink mengatakan : Kata "Teologi" tidak begitu mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahnnya dengan ilmu agama kurang cocok, karena ilmu agama pada umumnya dipakai untuk sebuah ilmu yang "obyektif" yang dikembangkan oleh ilmu sejarah, psikologi, sosiologi dan lain-lain, sementara ilmu Teologi merupakan suatu ilmu yang "subyektif" yang timbul "dari dalam" yang lahir dari jiwa yang beriman dan takwa. Keilmiahan Teologi menurut definisi D.S Adam adalah : "Teologi dapat didefinisikan secara singkat sebagai sains yang menggarap fakta dan fenomena agama sesuai dengan metode ilmiah, dan memuncak dalam suatu sintesa yang mencakup atau (bernama) Filsafat Agama, yang berusaha menyusun semua yang dapat diketahui dengan memperhatikan dasar obyektif kepercayaan agama dengan cara yang sistematik. Kalau pernyataan D.S Adam bahwa Teologi itu berjalan menurut prosedur metode ilmiah demikian itu dipegangi dalam arti ilmiah biasa semacam sosiologi dan antropologi, maka akan tidak ada bedanya dengan ilmu agama. Oleh karena itu ilmiahnya D.S Adam harus kita artikan ilmiah yang dari dalam, yang subyektif, yang dibekali dengan kepercayaan akan kebenaran apa yang dibahasnya. Di Barat Teologi diartikan sebagai ilmu agama yang berbicara tentang Tuhan dan kaitan Tuhan dengan alam nyata atau realitas termasuk manusia. Maka dalam dunia Islam Teologi dalam arti Teologi Islam, khusus dimaksudkan Ilmu Kalam. Teologi Islam sebagaiman misalnya susunan A. Hanafi, MA serta Dr. Harun nasution, berbicara soal Ilmu Kalam atau Tauhid atau Aqoid atau Fiqhul Akbar yang membicarakan masalah agama yang dasariah. Page |9 Studi Islam Metode dan Pendekatan pemahaman Islam Kalau potongan-potongan informasi tentang apa yang dinamakan Teologi di depan kita padukan, akan kita temukan ciri-ciri Teologi itu, diantaranya : 1. Obyek pembicaraannya adalah soal Tuhan dan kaitan Tuhan dengan realitas termasuk manusia yang diantaranya tentunya berwujud petunjuk hidup semacam etika. 2. Tidak semua Teologi itu bernada filosofis, ada yang cukup dengan discourse, jadi semacam merembuk atau membicarakan. 3. Discourse itu diteruskan dengan studi sistematis serta presentasi 4. Ada yang mengatakan studi Teologi ini ilmiah tetapi mestinya tidak sebagaimana keilmiahan ilmu sosiologi, psikologi dan sebagainya. 5. Ada yang mensyaratkan keilmiahan Teologi ini tidak obyektif, jadi subyektif, pelakunya orang yang percaya dan mentakwai apa yang didiskusikan. 6. Obyek pembicaraannya dapat dari sesuatu agama dapat juga atas nama semua agama. Ada yang mengatakan yang analisis kritis masalah-masalah dasariah problematika agama-agama yang bukan agama tertentu demikian itu Filsafat Agama. 7. Ada yang berpendapat antara Teologi dan Filsafat Agama tidak berbeda, walaupun ada juga yang membedakannya sebagaimana halnya Dr. Harun Nasution sebagaimana sudah disebutkan di depan. 2.2.2 Konsep-konsep teologis Perkataan teologi tidak berasal dari khazanah dan tradisi agama Islam. Ia istilah yang diambil dari agama lain, yaitu dari khazanah dan tradisi Gereja Kristiani. Hal ini tidaklah dimaksudkan untuk menolak pemakaian kata teologi itu. Sebab pemungutan suatu istilah dari khazanah dan tradisi agama lain tidaklah harus dipandang sebagai sesuatu yang negatif, apalagi jika istilah tersebut bisa memperkaya khazanah dan membantu mensistematisasikan pemahaman kita tentang Islam. Kata teologi sebagaimana dijelaskan dalam Encyclopaedia of Religion and Religions berarti "ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun seringkali diperluas mencakup keseluruhan bidang agama." Dalam pengertian ini agaknya perkataan teologi lebih tepat dipadankan dengan istilah fiqih, dan bukan hanya dengan ilmu kalam atau ilmu tauhid. Istilah fiqih di sini bukan dimaksudkan ilmu fiqih sebagaimana kita pahami selama ini, melainkan istilah fiqih seperti yang pernah digunakan sebelum ilmu fiqih lahir. Imam Abu Hanifah, Bapak ilmu P a g e | 10 Studi Islam Metode dan Pendekatan pemahaman Islam fiqih, menulis buku al-fiqh-u 'l-akbar yang isinya bukan tentang ilmu fiqih, tapi justru tentang aqidah yang menjadi obyek bahasan ilmu kalam atau tauhid. Boleh jadi, ilmu fiqih seperti yang berkembang sekarang ini dalam kerangka pemikiran Imam Abu Hanifah adalah al-fiqh-u 'l-ashghar. Sebab, keduanya baik ilmu kalam atau ilmu tauhid maupun ilmu fiqih pada dasarnya adalah fiqih atau pemahaman yang tersistematisasikan. Yang pertama, menyangkut bidang ushuliyah (tentang yang prinsip atau yang pokok), sedangkan yang kedua meyangkut bidang furu'iyah (detail atau cabang). Akan tetapi perjalanan sejarah dan tradisi keilmuan Islam telah menyingkirkan pengertian fiqih sebagaimana dipergunakan Imam Abu Hanifah. Dengan menyinggung masalah ini, hanya ingin dikatakan bahwa pemakaian istilah teologi mempunyai alasan cukup kuat, sebab ia membantu kita memahami Islam secara lebih utuh dan lebih terpadu. Pijakan tulisan ini tentang teologi al-Qur'an. Kita tentu sepakat bahwa ide sentral dalam teologi al-Qur'an adalah ide tauhid. Pertanyaan yang perlu kita munculkan, bagaimana sebaiknya kita memahami dan kemudian menghayati ide tauhid itu dalam kehidupan kita sebagai muslim? Dalam pengalaman kita --sekurang-kurangnya sebagian dari kita-- mengenal atau pernah diberi pelajaran ilmu tauhid. Biasanya, dalam mempelajari ilmu tersebut, pertama-tama kita diperkenalkan dengan apa yang disebut sebagai "hukum akal." Hal ini bisa kita baca dalam buku-buku ilmu tauhid, dari yang sangat tradisional hingga yang termasuk modern seperti buku Risalah Tawhid karya Muhammad Abduh, misalnya. Melalui kategori-kategori yang dirumuskan sebagai hukum akal itu, yakni: wajib, mustahil dan harus, kita diajak memahami tentang konsep ketuhanan dan kenabian. Maka kita pun mengetahui sifat-sifat Tuhan dan Nabi-nabi, baik yang dikategorikan sebagai sifat-sifat yang wajib, sifat-sifat yang mustahil maupun sifat-sifat yang harus. Masalah-masalah lain seperti kepercayaan tentang malaikat, kitab-kitab wahyu, hari akhirat maupun qadla dan qadar, adalah kelanjutan atau pelengkap dari kepercayaan terhadap Tuhan dan Kenabian tersebut. Pembahasan tentang dan di sekitar hal-hal inilah yang selama ini disebut sebagai ilmu tauhid. Dengan mengemukakan hal itu ingin diturunkkan betapa jauhnya teologi yang dibahas dalam buku-buku ilmu tauhid dengan dunia praktis, dengan problematika kemanusiaan. Teologi semacam itu adalah teologi yang steril dan mandul. Ia tidak mempunyai relevansi dengan realitas kehidupan kita. Teologi semacam itu tidaklah membuahkan elan vital (gairah hidup). Ia tidak melahirkan batin), moral innerforce (kekuatan maupun spiritual, yang membuat kita bergairah dalam aksi untuk membebaskan diri kita dan masyarakat sekitar kita dari segala bentuk kemusyrikan. P a g e | 11 Studi Islam Metode dan Pendekatan pemahaman Islam Pendekatan teologi ini, untuk mengungkapkan tentang tuhan, karena tuhan dalam agama berbeda-beda namanya, ada tuhan yang namanya Allah, yahweh, god, sang budha, dan lain-lain. Nama tuhan tersebut mereka yakini sebagai Tuhan yang maha kuasa, adil, berkehendak, dan maha Esa. Tuhan yang dikehendaki disini adalah Tuhan yang maha Esa, yaitu Tuhan yang diajarkan oleh nabi dan rosul, karena Tuhan mengutus para nabi dan rosulnya untuk menyampaikan Tuhan itu memang ada. Masalah Tuhan slalu diperdebatkan dan didiskusikan oleh para ahli agama sejak nabi Nuh sampai nabi Muhammad. Dalam QS.Ali Imran ayat 64 dan 110 kita harus meempunyai persepsi yang sama dengan tuhan, yaitu mengimani Tuhan. Kalau tidak sama termasuk dalam kategori muysrik atau menyekutukan Tuhan dengan yang lainnya. Oleh karena itu, tuhan yang di anut oleh setiap penganut agama berbeda namanya, namun intinya sama, yaitu Tuhan yang satu.Dengan demikian pendkatan teologis sangat berguna untuk mempertajam kajian agama, karena dengan pendekatan metodologi ini akan dapat mengantarkan keimanan dan keyakinan kepada Tuhan yang maha Esa. 2.3 Pemahaman agama melalui pendekatan fenomenologis 2.3.1 Sejarah istilah fenomenologis Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777), seorang filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues Organon (1764). ditulisnya tentang ilmu yang tak nyata. Phenomenologi secara umum adalah studi tentang kenyataan sebagaimana tampilnya (asal kata bahasa Yunani phenomenon berarti penampilan. Meskipun kata fenomen telah digunakan oleh sejumlah filsuf sebelumnya, sejak Edmund Husserl (18591938) kata itu menjadil istilah dengan batasan yang jelas. Bagi Husserl fenomen ialah sesuatu (objek) sebagaimana kita alami dan menghadirkan diri dalam kesadaran kita. Maka phenomenologi menurut Husserl ialah cara pendekatan untuk memperoleh pengetahuan tentang sesuatu (objek) sebagaimana tampilnya dan menjadi pengalaman kesadaran kita. Metode yang digunakan dalam pendekatan fenomologi terdiri atas tahap intuisi, analisis serta deskripsi dan yang hasil keseluruhannya berupa deskripsi fenomenologis. Intuisi timbul secara langs\mg (direct) dan tanpa-antara (immediate) dari pemusatan perhatian terhadap fenomena dan analisis dilakukan terhadap unsur-unsur fenomena yang bersanglcutan, sedangkan deskripsi ialah penjabaran dari apa yang tertangkap oleh intuisi P a g e | 12 Studi Islam Metode dan Pendekatan pemahaman Islam dan muncul mela1ui analisis. Melalui intuisi juga terjadi reduksi gambaran (eidetic reduction) mengenai esensi (wesen) tentang sesuatu yang kita ketahui atau pelajari. Husserl menambahkan perlunya kita membebaskan diri dari segala praduga (prejudice, prejudgement) sebelum melakukan pendekatan terhadap objek yang ingin kita ketahui atau pelajari; maka objek yang bersanglcutan harus seolah-olah dikurung (eink1ammerung, bracketing), sehingga segala praduga dan pranggapan mengenai objek itu tidak mempengamhi yang akan kita peroleh tentang objek itu. Proses ini oleh Husserl disebut epoche, yang artinya 'membisukan suara' yang mungkin pernah mempengaruhi pengetahuan kita terhadap pengetahuan kita terhadap objek yang bersangkutan. Berbeda dengan dualisme Descartes tentang manusia dan dunianya sebagai dikotomi subjek-objek, Husserl memanfaatkan konsep intesionalitas yang diajarkan oleh gurunya, Franz Brentano, yaitu bahwa 'semua tindakan mental bersifat intensional' (terarah, tertuju pada sesuatu). Artinya ada keterarahan atau ketertujuan tertentu pada setiap tindakan mental. Bagi Husserl rumus ini kemudian diperluas dengan menyatakan bahwa 'semua kesadaran bersifat intensional'; maka tidak ada 'kesadaran' selalu tertuju pada objek yang mengisinya. Demikian tidak mungkin ada kesadaran tentang 'takut' tanpa diisi oleh sesuatu yang tampil menakutkan, kesadaran 'takut' merupakan pengalaman yang menyatu dengan objek yang tampil menakutkan itu. Bagi orang lain boleh jadi objek yang sama tidak tampil menakutkakn sehingga tidak mungkin menimbulkan kesadaran 'takut'. Kesadaran manusia adalah kesadaran yang terjalin dengan kesadarannya tentang berbagai hat (dated) dan keberadaannya dalam berbagai situasi (situated). Donia manusia bukanlah sekedar kenyataan objektif melainkan merupakan lebeswelt, yaitu dunia sebagaimana dialamli dan dihayatinya secara subjektif. Fenomenologi yang diajarkan Hussed ini berpengaroh terhadap perkembangan psikologi pada zamannya. Hussed tidak bertujuan menciptakan aliran atau mazhab baru dalam lingkungan psikologi, melainkan ingin menyempurnakan pendekatan yang digunakan oleh berbagai disiplin ilmu yang tergolong dalam humaniora, termasuk psikologi sebagi ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam dunianya. Salah seorang eksponen fenomenologi di Belanda ialah F.J.J Buytendijk (1887-195 ), gurubesar fisiologi dan psikologi membangkitkan minatnya untuk lebih mendalami studi tentang perilaku manusia sebagaimana tampil melalui tingkah lakku manusia; namun demikian, tingkah laku itu tidak bisa direduksikan sekedar sebagai proses fisiologis atau sejumlah refleks belaka. Tidak ada gejala 'kepucata' kecuali melalui penampilan seseorang yang sedang 'sakit gigi'. Begitulah ketubuhan adalah kenyataan fisik yang menunggal dengan penghayatan psikologik, kemanunggalan yang bisa dibedakan (distict) tapi tak terpisahkakn (inseparable). Karya P a g e | 13 Studi Islam Metode dan Pendekatan pemahaman Islam mama Buytendijk yang terkenal berjudul "Algemene theorie der menselijke houding en beweging" n(1948), disusul karya muridmuridnya yang dihimpun J.J Linschoten (19251964) dalam "Person en Wereld" (E.J Bijleveld, Ultrech, 1953) berdampak luas terhadap perkembangan psikologi fenomenologi di negeri Belanda. Di Perancis terkenal pandangan :filsuf Maurice Merleau-Ponty (1908-1961). Karya utamanya "La phenomenologie de la perception" (1945) yang terjemahannya dalam bahasa fuggris beIjudul "Phenomenology of perception" (1962) dan "Structure du comportemen" (1942) yang terjemahannya dalam bahas Inggris beIjudul "The Structure of Behaviour" 1963), sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologi fenomenologi. Menurut pendapatnya, tingkahlaku tampil melalui tiga taraf yang berbeda, yaitu masing-masing taraf fisik, vital dan psikis, tingkahlaku pada taraf psikis memang teIjalin pada kedua taraf lainnya namun tidak dapat dijeIaskakn semata-mata sebagai kel~utan dari berbagai proses pada taraf :fisik dan vital belaka. Misalnya, kalau 'melihat' diuraikan melu1u sebagai proses fisik-biologis dimulai dengan rangsangan terhadap retina hingga ke pusat visual melalui penyampaian masukan yang majemuk dan seterusnya. Maka penjelasan itu secara empiris dapat dibenarkan, namun tidak mungkin uraian itu menjelaskan kenyaan fundamental bahwa 'saya melihat'. Mata belaka tidak melihat; 'saya melihat' dengan segala kelanjutannya. Sebaliknya, tidak mungkin tingkahlaku psikis dilepaskan kaitannya dengan kedua taraf lainnya, karena sebagai proses melibatkan kedua taraf itu, demikianlah tidak mungkin berfikir atau berkhayal berlangsung tanpa keterlibatan taraf fisik-biologis. Uraian Merleau-Ponty tentang manusi dan dunianya, serta melalui persepsi pula dapat difahami dialektik antara keduanya. Dialektik tersebut berlangsung sebagai proses perseptual. Melalui persepsi terjadi keteIjalinan antara manusia dan dunianya serta saling mempengaruhi antara keduanya. Perlu ditambahkan bahwa MerleauPonty juga menerima konsep lebenswelt sebagaimana diartikah oleh Husser!. Pengaruh fenomenologi terhadap psikologi semakin menguat sejak berjalan seiring dengan berkembangnya eksistensialisme sebagai filsafat yang menempatkan manusia sebagai pusat orientasi dan menjadikan perikehidupan manusia sebagai tema utama. Seperti halnya ada sejumlah filsuf dengan batasan masing-masing mengenai kata fenomena, maka eksistensialisme juga merupakan sebutan bagi serumpun filsuf dengan ragam pemildrannya masing-masing . Narnun demikian, filsafat yang mereka kembangkan beranjak dari cara pangdang yang sarna, yaitu bahwa filsafat tentang manusia harus menjadikan manusia sebagai pusat orientasinya. Dalam filsafat ini manusia sebagaimana ;dirumuskan oleh Mardin Heideger (1988-1976), dipandang sebagai keberadaan dalam dunia (in der well P a g e | 14 Studi Islam Metode dan Pendekatan pemahaman Islam sein), dunia manusia merupakan dunia bersama (mit-welt) karena dia barus berbagi dengan manusia lain untuk menghuni dunianya itu. Heidegger sering dijuluki sebagai filsuf yang' gelap" karena rumitnya uraiannya serta banyaknya pemikirannya yang diandalkan pada kata-kata yang khas diangkat dari bahasa Jerman. Karya utamanya "Sein und Zeit" (1927) baru berhasil diterbitkan terjemahannya dalam bahasa Inggris pada tahun 1962. Dibandingkan dengan Heidegger atau filsuf esistensialis lainnya, jauh lebih terkenal nama Jean-Paul Sartre (1905-1980). Disamping "L'etre et Ie neant" (1943) dan "L'imaginaire; psychologie phenomenomologique de l'imagination" (1940), masing-masing diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul "Being and Nothingness" (1956) dan "The psychology of imagination" (1948). Satu bab dari "Being and Nothingness" kemudian diterbitkan secara terpisah dengan judul "Existential Psychoanalysis" yang menyajikan pendekatan berbeda sekali dengan psikoanalis gaya Freud Seperti halnya Merleau-Ponty, Sartre pun memberkan perhatian besar pada kenyataan bahwa eksistensil manusi merupakan keberadaan secara bertubuh. Kita hadie sebagai ketubuhan dan melalui kenyataan bertubuh itu kita juaga hadir bagi orang lain, terpandang oleh orang lain, bahkan tidak bisa menghindar dari pengamatan orang lain. Ketubuhan itu juga menjadi sasaran pandangan orang lain yang seringkali bersifat distortif dan degradatif terhadap keberadaan saya sebagai pribadi, karena oleh kehadiran bertubuh itu saya cenderung diperlukan sebagai objek oleh orang lain. Sartre cenderung menganggap pandangan orang lain menutup kemungkinan bagi perkembangan sebagi pribadi yang bebas. Banyak pernyataan Sartre yang menggambarkan pandangan pesimistik mengenai kehadiran orang lain. Dari "Being and Nothingness" dapat diangkat kutipan-kutipan seperti "My original fall is the existence of the other" (hJm 263); atau ... "the other is the hidden death of my possibilities" (hIm 264), atau lainnya lagi "My being-for-the-other is a fall through absolute emptiness towards being an object" (hJm 275). Sedangkan salah satu drama gubahannya (No exitl) diakhiri dengan pernyataan "Hell is other people", semua itu menggambarkan pesimisme Sartre tentang orang lain sebagai sumber reduksi dan objektifikasi terhadap dirinya. Berbagai penghayatan tersebut erat kaitannya dengan eksistensi kata yang menunggal dengan ketubuhan. Segala yang menggejala melalui tubuh kita tidak mungkin diperlakukakn sebagai kenyataan objektif belaka dan dipisahkan dari penghayatan kita sebagai keseluruhan subjektif. Apa yang terungkap melalui tubuh saya adalah saya, dan melalui tubuh pula saya mestinya ditemui orang laian sebagai kehadiran subjektif, lebih dari kenyataan objektif belaka yang tertangkap oleh pandangan orang lain. Dalam bukunya"Existentialisme and Humanism" (terjemahan bahasa Inggris pertama terbit tahun 1948) Dsrtre memerlukan untuk menjelaskan apa arti 'subjektifitas'. Baginya P a g e | 15 Studi Islam Metode dan Pendekatan pemahaman Islam eksistersialisme bertolak dari asas pertamayaitu: Man is nothing else but that which he makes of himselg" (hIm 28). "Thus, the first ejJect of existentialism is that it puts every man in possession of himself as he is, and places the entire responsibility for his existence squarely upon his own shoulders” dan sebagai kelanjutannya ..”nan cannot pass beyond human subjectivity” ( hal. 29) Kalimat terahir ini menegasakan betapa subjektifitas tak terpisahkan dari eksistensi manusia; peragaan manusia bukan lah sekedar penampilannya sebagai badan yang obkejti belaka, melainkan sebagai tubuh yang dihayatinya secara subjektif. Saya tidak menyambuta uluran tangan seseorang menjabat sebuah tangan belaka’ tanpa menyadari bahwa yang saya sambut seseorang dan jabatan tangan itu disertai oleh penghayatan subjektif kita masing-masing. 2.3.2 konsep-konsep fenomanologis Kata fenomenologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang fenomena-fenomena atau gejala-gejala yang nampak dalam kesadaran manusia, sedangkan menurut Drijarkara S.J fenomenologi adalah uraian atau percakapan tentang fenomena atau sesuatu yang sedang menampakan diri. Menurut cara-cara berfikir dan berbicara filsafat ini dapat juga dikatakanpercakapan dengan fenomena, atau sesuatu yang sedang menggejala. Jadi fenomenologi adalah ilmu yang membicarakan tentang berbagai gejala atau fenomenafenomena yang terjadi dalam kehidupan manusia baik kini maupun dahulu. Dari pengertian tersebut, Al-qur’an membicarakan tentang fenomena kehidupan manusia dan akibat yang mereka lakukan di bumi Tuhan. Dalam Al-qur’an surat Aliimran:137 dan an-naml: 153. Fenomena kehidupan manusia ada yang sesuia dengan petunjuk Tuhan, dan ada pula yang menyimpang dari petunjuknya. Manusia yang jauh dari petunjuk Tuhan adalah manusia yang zalim sedangkan manusia yang mendapat petunjuk adalah manusia yang beriman dan bertakwa. Al-qur’an mendorong kepada kita untuk mempelajari dan meneliti tentamh fenomena atau gejala-gejala dan tindakan-tindakan manusia yang di siksa dngan azab Tuhan di muka bumi. Edmund Husserl adalah filosof yang mengembangkan metode Fenomenologi, dia lahir di Prostejov Cekoslowakia dan mengajar di berbagai Universitas besar Eropa, meninggal pada tahun 1938 di Freiburg. Hasil pemikirannya dapat diselamatkan dari kaum Nazi, dengan membawa seluruh buku dan tulisannya ke Universitas Leuven Belgia, sehingga kemudian dapat dikembangkan lebih lanjut oleh murid-muridnya. Diantara tulisan-tulisan pentangnya adalah : Logische Untersuchungen (Penyeliddikan-penyelidikan Logis) dan Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie (gagasan-gagasan untuk suatu fenomenologi murni dan filsafat fenomenologi) P a g e | 16 Studi Islam Metode dan Pendekatan pemahaman Islam Dalam faham fenomenologi sebagaimana diungkapkan oleh Husserl, bahwa kita harus kembali kepada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan kesempatan untuk berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna mencari hakekat gejala-gejala (Wessenchau). Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak bipolarisasi antara kesadaran dan alam, antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi obyekobyek diciptakan oleh kesadaran. Kesadaran merupakan sesuatu yang bersifat intensionalitas (bertujuan), artinya kesadaran tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya kesadaran timbul perlu diandaikan tiga hal yaitu : ada subyek, ada obyek, dan subyek yang terbuka terhadap obyek-obyek. Kesadaran tidak bersifat pasif karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu, kesadaran merupakan suatu tindakan, terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dan obyek kesadaran, namun yang ada hanyalah kesadaran sedang obyek kesadaran pada dasarnya diciptakan oleh kesadaran. Berkaitan dengan hakekat obyek-obyek, Husserl berpandapat bahwa untuk menangkap hakekat obyek-obyek diperlukan tiga macam reduksi guna menyingkirkan semua hal yang mengganggu dalam mencapai wessenchau yaitu: Reduksi pertama. Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif, sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus diajak bicara. Reduksi kedua. Menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari sumber lain, dan semua teori dan hipotesis yang sudah ada Reduksi ketiga. Menyingkirkan seluruh tradisi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan orang lain harus, untuk sementara, dilupakan, kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala-gejala akan memperlihatkan dirinya sendiri/dapat menjadi fenomin. P a g e | 17