IMPERIALISME MODERN: STUDI TERHADAP KEBIJAKAN WAR ON TERROR PRESIDEN BUSH PASCA 2001 Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Strata 1 Jurusan Pemikiran Politik Islam Oleh AHMAD ALFAJRI NIM: 103033227807 JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M/1429 H LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarata 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif hidayatullah Jakarta. Ciputat, 7 Maret 2008 Ahmad Alfajri KATA PENGANTAR Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT serta selawat dan salam semoga disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, karena hanya dengan nikmat dan karunia-Nya lah skripsi “Imperialisme Modern: Analisis Kebijakan War on Terrorism Presiden Bush Pasca 2001”, ini bisa diselesaikan. Penulis juga hendak mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu proses penyelesaian skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Dr. M. Amin Nurdin selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Seterusnya kepada Dr, Hamid Nasuhi, Dra. Hermawati, MA dan Dr. Masri Mansoer selaku Pembantu Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M. Fils, dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam 4. Selanjutnya kepada Bapak Dr. Nawiruddin, selaku pembimbing skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam membimbing penulis, memberi kritikan dan masukan yang sangat membantu dalam penulisan skripsi ini 5. Dosen-dosen jurusan pemikiran politik islam, yang telah membimbing dan mengajari kami –penulis khususnya- akan berbagai hal yang sebelumnya belum kami ketahui 6. Tak lupa, skripsi ini penulis sembahkan untuk Ayah (H. Mismardi, BA) dan Ibu (Elidarni) yang selalu memberi dukungan dan semangat kepada penulis untuk terus maju di setiap jenjang pendidikan. Terima kasih juga tak lupa penulis ucapkan kepada “uda dan uni”, Da Haris, Uni Yossy dan Da Icep, serta kepada “adiak-adiak”, Iki dan Ayip. 7. Selanjutnya terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dinda Pratiwi (sweetheart) yang juga tak bosan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 8. Seterusnya kepada teman-teman aktivis Laboratorium Politik Islam (LPI) yang merangkap sebagai radaksi Jurnal Politik Islam, diantaranya: Bawono Kumoro, Arya Fernandes, Muamar Lutfi Harun, Shahibah Yuliani, Rosi Selly, Subairi, Hafiz, Rey dan lain-lain yang mungkin tidak bisa disebutkan satu per satu. Kebersamaan kita sangat berarti, dan mari wujudkan semangat “creative minority”. 9. Terakhir kepada teman-teman PPI A dan B Angkatan 2003. Semoga yang belum wisuda, bisa lekas menyusul. Ciputat, 8 Maret 2008 Ahmad Alfajri DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. i DAFTAR ISI …………………………………………………………………..iii DAFTAR TABEL …………………………………………………………….v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ………………………………… 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………….. 5 C. Tujuan Penelitian …………………………………………. 6 D. Metode Penelitian ………………………………………… 6 E. Sistematika Penulisan …………………………………….. 7 BAB II TERORISME DAN IMPERIALISME A. Definisi dan Sejarah Terorisme …………………………... 9 B. Mengenal Konsep Imperialisme ………………………….. 17 C. Hubungan antara Terorisme dan Imperialisme …………… 29 BAB III KEBIJAKAN WAR ON TERRORISM PRESIDEN BUSH A. Latar Belakang Lahirnya Kebijakan War on Terrorism… 32 1. Karakter Presiden Bush ……………………………….. 34 2. Serangan Al-Qaida terhadap Amerika dan Dunia ……. 35 3. Kekhawatiran terhadap Jamaah Islamiyah……………. 36 4. Aktifnya Negara-negara Sponsor Terorisme …………. 37 B. Kebijakan Jangka Panjang ………………………………. 38 1. Penyebaran demokrasi yang Efektif …………………. 40 2. Membangun Fail State ………………………………. 46 3. Memperbaiki Hubungan dengan Negeri Muslim …….. 48 C. Kebijakan Jangka Pendek …………………………………50 1. Mencegah Serangan oleh Jaringan Teroris ………….. 50 2. Menghalangi Para Teroris agar Tidak Mendapatkan Senjata Pemusnah Masal …………………………….. 57 3. Menghalangi Teroris Mendapatkan Dukungan dan Perlindungan dari Negara Lain ………………………….. 60 4. Menghalangi Kontrol kelompok Teroris atas Sebuah Negara ……………………………………………….. 62 BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN WAR ON TERRORISM PRESIDEN BUSH A. War on Terrorism Menyimpang dari Kriteria Kebijakan yang Ideal………………………………………………………. 65 B. War on Terrorism adalah Propaganda Realisme Ekonomi dan Politik ………………………………………………......... 71 C. War on Terrorism Membawa Tindakan-tindakan yang Tidak Proporsional………………………………………………. 88 D. War on Terrorism Membuat Dunia Semakin Tidak Aman. 94 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………… 99 B. Saran ……………………………………………………. 100 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 102 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca tragedi World Trade Center pada 11 September 2001, terorisme menjadi isu utama dunia internasional. Perhatian yang diberikan untuk kasus ini mungkin bisa disejajarkan dengan perhatian terhadap perkembangan komunisme pada era perang dingin beberapa dekade lalu. Tragedi ini kemudian berdampak panjang dengan dikeluarkannya dekrit perang terhadap terorisme oleh Amerika Serikat dengan bantuan para sekutu. Namun, kemudian muncul dilema dalam upaya mendefenisikan siapa yang teroris dan siapa yang bukan, serta bagaimana cara meresponnya. Belum lagi tercapai kesepakatan masalah defenisi, cakupan dan cara merespon gejala terorisme, Amerika Serikat langsung mengklaim kelompokkelompok seperti al-Qaida, Hamas, Hizbullah, Jamaah Islamiyyah dan kelompok lain yang memiliki ciri-ciri yang sama sebagai organisasi teroris. Kelompok-kelompok tersebut secara sosio-religius merupakan bagian dari sebuah komunitas muslim yang tersebar di berbagai tempat. Selain itu, Amerika juga mensinyalir keberadaan beberapa negara yang dengan sengaja memberi perlindungan dan bantuan terhadap kelompokkelompok tersebut1. Irak, Iran dan Afganistan adalah sebagian negara yang dianggap memiliki kedekatan tertentu dengan kelompok teroris. Iran adalah negara sponsor aktifitas kelompok Islam di Lebanon dan Palestina. Irak 1 Lihat Chawat Satha-Anand, “Mitigating the Success of Terrorism with Politic of Truth and Justice”, dalam Uwe Johannen, et.all., 911: September 11 and Political Freedom (Singapore: Select Publishing, 2003), p. 18. diduga dekat dengan al-Qaida dan diperkirakan kalau senjata pemusnah masal Irak jatuh ke tangan para teroris, maka bencana besar akan melanda dunia. Sedangkan Afganistan dianggap sebagai markas dan basis utama al-Qaida yang telah menyebar ke 60 negara di dunia. Untuk merespon gejala terorisme global ini, tidak ada pilihan lain bagi Amerika Serikat selain melakukan tindakan pre emptive. Yaitu menyerang sebelum diserang. Atas dasar inilah, maka Amerika melakukan penyerangan ke Afganistan dan Irak beberapa tahun lalu. Bagi Amerika Serikat kedua negara ini telah kehilangan kedaulatan, karena mereka telah mengorbankan kedaualatannya di saat mereka melindungi atau bekerja sama dengan kelompok teroris2. Di samping itu, untuk mencegah agar kelompok teroris baru tidak muncul, maka Amerika merasa perlu untuk menata ulang sistem internasional. Dalam upaya ini Amerika memasuki banyak negara dan mencegah agar tidak ada negara lain di dunia yang menjadi partner kelompok teroris sekaligus mencegah agar tidak ada kekuatan baru di dunia --selain Amerika Serikat dan teman-temannya-- yang mampu mengembangkan teknologi senjata pemusnah masal. Amerika tidak membutuhkan bukti untuk bertindak. Ada atau tidak adanya bukti bukanlah sesuatu yang penting. Tidak adanya bukti bukan berarti tidak ada aktifitas. Di zaman sekarang ini --bagi Amerika-- tidak boleh ada kesalahan sedikit pun. Ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tidak tahu, namun juga ada hal-hal yang kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu. Rumsfeld 2 Lihat G. John Ikenberry, “Ambisi Imperial AS”, dalam Council on Foreign Policy, Amerika dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, Penerjemah Yusi A. Pareanom dan Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 443. (Penasehat Presiden sekaligus Menteri Pertahanan pada waktu itu) melakukan pembenaran terhadap opsi menyerang terlebih dahulu ini dengan mengatakan bahwa ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tahu,ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tidak tahu. Namun ada juga hal-hal yang kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu. Setiap tahun kita, kita menjumpai sedikit lagi ketidaktahuanketidaktahuan ini3. Dengan kekuatannya sekarang, Amerika bisa bertindak hanya dengan dasar asumsi. Itulah karakter dasar kekuatan uni polar. Tidak adanya kekuatan penyeimbang sebagai check and balance membuat negara pemegang kekuatan mampu bertindak hanya dengan asumsi dan pra-sangka. Tidak adanya penyeimbang juga membuat negara yang berkuasa –dan Amerika melakukannya-- merasa dirinya bertindak demi kebaikan dan kemanusiaan4. Kondisi uni polar ini bukanlah situasi yang bagus bagi politik internasional. Bisa saja –dan memang sering terjadi-- apa yang diinginkan oleh negara kuat bertentangan dengan pilihan dan kepentingan negara lemah, sehingga mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Kebijakan baru Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Goerge W. Bush ini telah keluar dari kriteria ideal sebuah kebijakan, sehingga kemudian memunculkan penolakan dan kritik dari dunia internasional. Kebijakan war on terrorism ini sama sekali tidak mendapatkan legitimasi utuh dunia. Apa lagi sejak diketahui bahwa di balik kebijakan war on 3 Ibid., h. 441. Wawancara Harry Kreisler dengan Kanneth Walt dengan tema “Conversations with History” 10 Februari 2003 di UC. Berkeley diakses dari http//en.wikipedia.org/wiki/Kenneth Waltz 4 terrorism tersebut, ternyata Amerika Serikat telah merencanakan sebuah pencapaian politik dan ekonomi yang luar biasa. Amerika dan sekutu (terutama Inggris) hanya menjadikan terorisme sebagai justifikasi untuk memasuki wilayah-wilayah potensial yang memang telah ditargetkan sebelumnya. Terorisme hanya menjadi isu pengantar menuju isu senjata pemusnah masal Irak. Selanjutnya isu senjata pemusnah masal pun hanya sebagai langkah awal untuk melakukan perubahan rezim, dari rezim yang anti- Amerika kepada rezim yang tunduk kepada Amerika. War on terrorism membawa misi politik dan ekonomi yang sangat ambisius. Serangan Amerika ke Afganistan dan Irak bukanlah sebuah invansi pembebasan. Irak merupakan negara penghasil minyak terbesar kedua yang memiliki 11 persen stok minyak dunia dengan kualitas tinggi dan biaya produksi yang rendah. Diperkirakan 10 tahun lagi Irak akan menjadi sumber utama pemasok energi dunia, karena di negara tersebut masih banyak kekayaan alam (terutama minyak dan gas alam) yang belum dieksplorasi. Untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional di masa mendatang, maka ”kesempatan” ini harus diambil. Dengan dikuasainya Irak, Amerika otomatis akan memegang kendali ekonomi dunia termasuk ekonomi negara-negara yang bergantung kepada energi Irak seperti Uni Eropa dan Jepang yang dewasa ini menjadi saingan Amerika. Politik inilah yang disebut sebagai imperialisme modern. Ketertarikan penulis untuk mengangkat tema: “Imperialisme Modern: Analisis Kebijakan War on terrorism Presiden Bush Pasca 2001, berangkat dari kenyataan di atas. Penulis berpandangan bahwa perang Amerika terhadap terorisme membawa misi politik dan ekonomi yang luar biasa yang pada tahap ekstrem akan menjaga posisi Amerika sebagai penguasa tunggal dunia untuk jangka waktu yang sangat lama B. Perumusan dan Pembatasan Masalah Sebelum membatasi dan merumuskan masalah, maka perlu diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut: 1. Lahirnya gelombang terorisme baru pasca 2001 yang mulai mengancam keamanan Amerika Serikat khususnya dan dunia internasional umumnya 2. Pengidentifikasian Islam sebagai agama yang melahirkan para teroris global 3. Terbentuknya kekuatan-kekuatan baru di dunia -selain Amerika Serikatseperti Uni Eropa, Koalisi Iran-Venezuela, Cina dan Jepang 4. Terjadinya perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam hubungannya dengan skenario memerangi terorisme 5. Munculnya kecenderungan imperial dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat berdasarkan fakta-fakta lapangan. Dari beberapa masalah di atas, penulis hanya akan membatasi pada dua masalah terakhir yaitu tentang kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap terorisme dan kecenderungan imperialistik Amerika Serikat. Dengan demikian, rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: 1. Apakah kebijakan luar negeri yang diterapkan Pemerintahan Presiden Bush dalam memerangi terorisme? 2. Mengapa kebijakan luar negeri Pemerintahan Presiden Bush itu disebut sebagai tindakan imperial? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui apakah kebijakan luar negeri yang diterapkan oleh Presiden Goerge W Bush dalam memerangi terorisme global pasca tragedi WTC 2001? 2. Untuk menjawab pertanyaan mengapa kebijakan luar negeri tersebut dinilai sebagai tindakan imperialisme? D. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang cenderung dan banyak digunakan dalam ilmu-ilmu sosial yang berhubungan dengan perilaku sosial dengan berbagai argumen, yang bersifat deskriptif atau memaparkan gejala-gejala yang diamati yang tidak harus selalu berbentuk angka-angka atau koevisien antar variabel dan lebih sering berbentuk studi kasus, penelitian lapangan dan alamiah atau apa adanya5. Pengumpulan datanya adalah melalui dokumentasi yaitu dengan mencari data mengenai masalah bersangkutan melalui literatur buku, surat kabar, jurnal dan sebagainya6. 5 Subana dan Sudrajat, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 17-18. 6 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rieneka Cipta, 2002), h. 206. Analisa data menggunakan metode deskriptif analitis. Data-data yang telah dikumpulkan akan dideskripsikan dan dianalisa sesuai dengan tujuan penelitian skripsi. Dari segi penulisan, penulis mengikuti berbagai aturan penulisan skripsi yang diatur dalam buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007/2008 E. Sistematika Penulisan Sistematika pembahasan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini terbagi dalam beberapa bab dan sub-bab yang pada garis besarnya adalah sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan yang di dalamnya dibahas tentang latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, maksud dan tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II: Terorisme dan Imperialisme. BAB ini akan menjelaskan pengertian dan sejarah terorisme serta sekelumit konsep imperialisme, tak lupa akan disertakan penjelasan hubungan yang memungkinkan antara kedua konsep tersebut. BAB III: Akan berisi bahasan tentang kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam memerangi terorisme. Di sini akan dibahas secara berurut dari latar belakang lahirnya kebijakan tersebut, kebijakan jangka panjang dan kebijakan jangka pendeknya BAB IV: Akan menjelaskan alasan mengapa kebijakan Amerika Serikat disebut kebijakan yang imperial. Alasan-alasan ini akan dibagi kepada alasan yang bersifat teoritis dan alasan realisme (motif, tindakan dan akibat) BAB V: Pada akhir bagian skripsi ini, berisi kesimpulan umum bahwa kebijakan war on terrorism AS adalah kebijakan yang imperialistik. Karena telah mengubah status quo dunia untuk kepentingan politik dan ekonomi se pihak. Pada bagian ini sekaligus juga akan diberikan beberapa kritik dan saran yang konstruktif BAB II TERORISME DAN IMPERIALISME A. Definisi dan Sejarah Terorisme 1. Definisi Teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Sedangkan terorisme adalah paham yang menggunakan cara-cara teror dalam mencapai tujuan7. Dalam Ensiklopedi Indonesia, teror adalah gambaran suatu keadaan rezim yang berhasil menumbangkan rezim lama dan berusaha membangun kediktatoran dengan jalan intimidasi dan kekerasan8. Memang belum ada satu definisi mengenai terorisme yang bisa disepakati bersama. Tercatat semenjak tahun 1936 ada 109 definisi yang dikemukakan oleh berbagai penulis9. Noam Chomsky misalnya mendefinisikan terorisme sebagai ancaman kekerasan untuk menindas atau memaksa untuk tujuan-tujuan politik baik yang dilakukan oleh negara maupun kelompok-kelompok atau perorangan yang melakukan pembalasan atas serangan sebelumnya10. Martha Crenshaw mendefinisikan terorisme sebagai sebuah organisasi yang memiliki kesepakatan dalam penggunaan strategi dengan 7 Yusmadi N., “Implikasi Kebijakan “War on terror” Amerika Serikat Serikat Bagi Islam Politik di Indonesia,” (Tesis s2, Universitas Indonesia, 2005), h. 23. 8 Dikutip dari Yusmadi N., “Implikasi Kebijakan “War on terror” Amerika Serikat Serikat Bagi Islam Politik di Indonesia,” (Tesis s2, Universitas Indonesia, 2005) dari Ensiklopedi Indonesia, Jilid 6, h. 3518. 9 Yusmadi N., “Implikasi Kebijakan “War on terror” Amerika Serikat Serikat Bagi Islam Politik di Indonesia”, h. 26. 10 Noam Chomsky, Menguak Tabir Terorisme Internasional, Penerjemah Hamid Basyaib (Bandung: MIZAN, 1991), h. 20. jalan kekerasan atau teror untuk mencapai tujuan baik yang bersifat politis maupun ideologis strategis11 Pemerintah Amerika Serikat Serikat mendefinisikan terorisme sebagai kekerasan terencana bermotif politik terhadap personil non tempur yang dilatarbelakangi oleh kelompok sub nasional atau agen rahasia yang bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat12. Uni Eropa menyebut terorisme sebagai sebuah usaha yang bertujuan untuk menghancurkan bangunan fundamental dari sistem politik, konstitusi, ekonomi dan struktur sosial dalam sebuah negara13. Dari beberapa definisi di atas, bisa disintesakan bahwa terorisme adalah kekerasan terencana yang bermotif politik atau ideologi, dilakukan secara terorganisir dalam sebuah kelompok dan menimbulkan dampak ketakutan yang luar biasa. Untuk memudahkan pemahaman kita tentang terorisme, perlu diberikan beberapa kriteria acuan apakah sebuah tindakan bisa disebut sebagai aksi terorisme atau pun bukan. Berikut kriterianya: Pertama, Kekerasan. Menurut Walter Liqueur pada Center for Strategic and International Studies, satu-satunya karakteristik utama terorisme yang disepakati secara umum adalah penyertaan kekerasan atau ancaman kekerasan14. Tapi, kekerasan memang tidak serta merta menjadi satu-satunya tolak ukur sebuah tindakan disebut sebagai teror atau bukan, 11 M. Hilaly Basya dan David K. Alka, Amerika Serikat Perangi Teroris Bukan Islam (Jakarta: CMM, 2004), h. 16. 12 Dikutip oleh Yusmadi N dalam tesisnya “Implikasi Kebijakan “War on terror” Amerika Serikat Serikat Bagi Islam Politik di Indonesia”, dari Budi S. Satari, “Terorisme Internasional Ancaman Global Abad 21” dalam Jurnal ISIP UNAS No. 5 Tahun II (Desember 2001), h. 56. 13 Lihat, http:/en. wikipedia.org/wiki/terrorism, p. 2. 14 Ibid., p. 4. kekerasan ini harus diikuti oleh tindakan atau tujuan lain, karena kekerasan itu juga identik dengan perang, kerusuhan, kriminalitas yang terorganisir yang sesungguhnya bukan termasuk aksi terorisme. Kedua, Efek psikologis dan ketakutan. Serangan terorisme memang dilancarkan untuk menimbulkan ketakutan dan dampak psikologis pada sasaran-sarasan yang ditargetkan. Inilah mengapa teror terhadap penduduk sipil menjadi sangat efektif, karena serangan itu bisa mengisyaratkan pesan menakutkan bahwa setiap orang, kapan saja dan dimana saja bisa saja menjadi korban. Jika tuntutan sang teroris tidak dipenuhi bisa saja anda atau keluarga anda menjadi korban selanjutnya. Kelompok teroris juga sering menyerang simbol dan kebanggan sebuah negara untuk menunjukkan kekuatannya. Hal seperti ini bisa dilihat melalui tragedi 11 September 2001 lalu dengan runtuhnya World Trade Centre yang menjadi lambang supremasi ekonomi Amerika Serikat Serikat. Rentetan peristiwa tersebut tak bisa dipungkiri, telah menimbulkan ketakutan yang mendalam bagi rakyat Amerika Serikat. Ketiga, memiliki tujuan politis. Memang cukup sering sebuah aksi berujung pada kepentingan politik. Seperti untuk perebutan kekuasaan, penghancuran negara dan sebagainya. Ini juga sering dijadikan pembeda antara aksi terorisme dengan kriminalitas biasa. Terorisme merupakan bagian dari taktik politik, sedangkan kriminalitas biasa tidak. Namun tidak jarang juga, motivasi politik tersebut dibalut dengan semangat keagamaan. Ketika keduanya sudah bergabung, maka gagal dalam cita-cita politik akan diasumsikan menjadi gagal dalam cita-cita agama. Hal seperti ini sering dicontohkan para pemikir barat dengan kasus Palestina dimana kepentingan politik untuk merebut kembali daerah atau wilayah dari Israel terintegrasi dengan motivasi agama15. Keempat, Collateral demage, yaitu pemilihan target secara acak. “Trend” sebelumnya dimana --seperti yang dilakukan kelompok Assassin di Iran-- aksi teror dilakukan dengan cara membunuh langsung orang-orang berpengaruh di sebuah negara dengan memakai senjata sederhana seperti belati, ternyata tidak menarik lagi16. Yang menjadi korban bukan lagi mesti mereka yang dianggap pelaku/ penyebab “kerusakan” yang dikutuk oleh para teroris, akan tetapi korban bisa siapa saja, asal mampu dijadikan simbol dan alat propaganda. Bom Bali di Indonesia merepresentasikan hal ini. Mereka tidak menargetkan orang-per orang, sehingga siapapun yang menjadi korban, tidak dipermasalahkan Apakah yang bukan terorisme? Beberapa kelompok politik, polisi maupun militer menciptakan pengecualian terhadap apa yang disebut dengan terorisme, ini bertujuan untuk menjauhkan mereka dari cengkeraman definisi terorisme tersebut di atas. Berikut beberapa hal yang bukan disebut sebagai tindakan teroris. Pertama, konflik militer. Konflik militer atau perang gerilya antara dua kelompok yang bermusuhan kadang-kadang membingungkan terminologi terorisme, karena dalam hal ini mereka juga menggunakan kekuatan untuk meraih tujuan yang besar dengan memakai senjata dan 15 Ibid., p. 4. Bernard Lewis, The Crisis of Islam; Holy War and Unholy Terror (London: Weidenfield & Nicolson, 2003), p. 113. 16 terorganisir secara langsung17. Namun bedanya dengan terorisme, konflik militer adalah perang antara dua kelompok militer, bukan antara kelompok militer dengan sipil, sehingga korban dari kelompok sipil diminimalkan supaya mendapat dukungan dari orang banyak. Hal ini tentu berbeda dengan aksi teroris, selain bukan perang terbuka antara dua kelompok militer, teroris juga menjadikan sipil sebagai target utama. Kedua, kriminalitas karena kebencian. Maksudnya adalah serangan yang didorong oleh kebencian karena latar belakang etnis, kebangsaan atau agama. Kriminalitas seperti ini tidak termasuk tindakan terorisme, karena tidak memuat tujuan politis, tidak terorganisir dalam kelompok serta tidak menimbulkan dampak psikologis seperti serangan teroris18. Sebagai contoh, serangan oleh seorang muslim terhadap orang Israel di Bandara Los Angeles Tahun 2002 bisa dilihat sebagai aksi teroris karena bertepatan dengan konflik yang terjadi antara Islam dan Israel, namun faktanya adalah serangan tersebut cuma dilatar belakangi oleh ekspresi ketidak puasan karena si pelaku dicaci dengan keras. Ketiga, lone wolves. Perlu dicatat bahwa seseorang bisa saja dihubungkan dengan sejumlah aksi yang memiliki kesamaan karakteristik dasar dengan terorisme. Namun berbeda dengan lone wolves, --sebagaimana yang disinyalir FBI-- sebuah aksi teror harus dilakukan oleh sebuah kelompok yang memiliki satu pemahaman dan bukan oleh hanya satu orang. Tindakan oleh satu orang inilah yang disebut sebagai lone wolves19 17 http:/en. wikipedia.org/wiki/terrorism, p. 3. Ibid,. p. 3. 19 Ibid., p. 3. 18 2. Sejarah Terorisme a. Latar Belakang Istilah Istilah “terorisme” berasal dari bahasa Perancis terrorisme yang diambil dari kosa kata latin terrere yang berarti menggetarkan (to cause to tremble). Pertama kali digunakan pada Tahun 1795 untuk mendeskripsikan gerakan kelompok Yacobin dalam pemerintahan pasca revolusi perancis yang kemudian dijuluki dengan pemerintahan teror (reign of terror)20. Yacobin dianggap sengaja menggunakan kata teror ini untuk menunjukkan aksinya. Di antara tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kelompok Yacobin ini adalah menahan atau mengeksekusi lawan politiknya sebagai media untuk memaksakan ketaatan kepada khalayak ramai. Namun kata terorisme dalam bahasa Inggris mulai populer ketika seorang konservatif bernama Edmund Burke menggunakan kata itu secara terang-terangan untuk melawan revolusi Perancis. b. Pelopor Aksi teror sesungguhnya sudah ada sebelum istilah itu sendiri diciptakan. Pada abad pertama masehi kelompok Zealots melakukan kampanye teror melawan Kerajaan Roma di wilayah Timur Mediterenia. Kelompok Zealot kemudian mendaftar nama-nama kalangan Yahudi kaya yang akan dimusnahkan dan beberapa orang dari luar Yahudi yang berteman dengan romawi. Kelompok teroris itu pada akhirnya bisa dikalahkan oleh Kerajaan Romawi dalam beberapa kali konflik militer. 20 M. Hilaly Basya dan David K. Alka, Amerika Serikat Perangi Teroris, h. 33. Pada abad ke-11 Masehi, juga telah muncul kelompok Islam radikal yang terkenal dengan nama Hashshashin (kata ini lahir dari kata hashish yang jika diterjemahkan mengandung arti pembunuh (assassin)). Kelompok ini melakukan sejumlah pembunuhan terencana untuk sebuah alasan yang mereka yakini benar. Selama dua abad mereka beroperasi, kelompok ini memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan kepercayaan muslim pada umumnya terutama dalam konsep jihad. Mereka tidak memerangi para crusaders, namun mereka melawan para pemimpin muslim yang dianggap telah murtad atau kafir21. c. Revolusi Perancis Estafet sejarah terorisme kemudian dilanjutkan pada masa Revolusi Perancis. Selama Revolusi Perancis (1789-1799), masa yang paling keras terjadi pada masa Pemerintahan Komite Keselamatan Publik (1793-1795) yang dilabelkan sebagai pemerintahan teror, sebuah pemerintahan yang menggunakan teror secara sistematis yang dicontohkan terutama dengan penggunaan alat pemenggal kepala dan lain-lain. Rujukan sejarah mengenai penggunaan kata terorisme dalam arti kekerasan berasal dari masa ini. d. Abad ke-19 Pada Abad ke-19 Masehi, penggunaan istilah terorisme mulai meluas. Terorisme menjadi --lebih dari sekedar penggambaran tentang era revolusi Perancis-- penggunaan teknik pembunuhan terutama oleh kaum anarkhis dan kelompok Narodniks pada Dinasti Tsar Rusia, yang jelas tercatat melakukan pembunuhan terhadap Alexander II22. 21 22 Bernard Lewis, The Crisis of Islam, p. 112. Wikipedia.org/wiki/terrorism, p. 10. Kelompok intelegensia (narodniks) tidak sabar terhadap Reformasi Tsar yang berjalan begitu lambat dan berfikir untuk menggerakkan kelompok yang tidak setuju kepada sebuah revolusi besar-besaran. Di antara kelompok anarkhi seperti Mikhail Bakunin menganggap proses ini tidak mungkin bisa berjalan tanpa ada pengrusakan. Tujuan mereka tidak ada selain penghancuran total sebuah negara, sehingga setiap tindakan yang berkontribusi terhadap tujuan ini dianggap sebagai sebuah tindakan moral23. Di antara kelompok yang paling terkenal pada saat itu adalah People’s Will Selanjutnya, pada Tahun 1867 di Republik Irlandia, kelompok nasionalis revolusioner yang didukung oleh orang Irlandia asal Amerika Serikat Serikat, melakukan penyerangan di Inggris. Itulah aksi teror pertama kelompok republik yang menjadi pemandangan berulang-ulang dalam sejarah Inggris Di negara lain, dua group di dalam dinasti Turki Usmani juga menggunakan teknik yang disebut oleh para sejarawan memiliki kategori yang sama dengan apa yang digunakan oleh people’s will dan kelompok anarkhis di Rusia. Satu kelompok berperang untuk kemerdekaan Armenia dan kelompok lain berjuang untuk kemerdekaan Macedonia. e. Abad ke-20 Dewasa ini, teknologi senjata modern memungkinkan seseorang menjadi sangat kuat untuk menciptakan kerusakan dan penghancuran yang 23 Rikard Bangun, ‘Terorisme Gejala Global” dalam Farid Muttaqin dan Sukidi, ed., Terorisme Serang Islam (Bandung: PustakaHidayah, 2001), h. 25. dasyat hanya dengan seorang diri dan hanya dengan sedikit konspirasi yang dilakukan oleh organisasi kecil Semua fakta ini menunjukkan satu hal bahwa perkembangan peradaban manusia tidak berbanding lurus dengan penurunan aksi teror. Di setiap masa, akan terus timbul aksi teror dengan berbagai ragam dan cara. Terorisme atau yang lebih tepatnya hiperteroris24 di era modern ini paling tidak dicirikan oleh empat hal. Pertama, ada maksimalisasi korban secara mengerikan. Kedua, keinginan untuk mendapat liputan di media. Ketiga, serangan teroris tidak pernah bisa diduga, karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi25. Ke empat, penggunaan teknologi canggih sebagai media komunikasi dan pengeksekusian. Karakterisitk ini terlihat dalam sejumlah tragedi pemboman seperti WTC di Amerika Serikat Serikat 2001, bom Bali di Indonesia 2002 dan sebagainya. B. Mengenal Konsep Imperialisme 1. Definisi dan Sejarah Imperialisme memang kosa kata yang sering didengar dan dibaca dari berbagai tulisan kebudayaan, politik dan ekonomi. Sekilas kata ini mengandung makna peyoratif, menunjukkan proses jahat di balik rangkaian kata-katanya. Oleh sebab itu, imperialisme sering dijadikan propaganda efektif bagi sebagian orang untuk menentang prilaku atau kebijakan yang dijalankan oleh pihak yang tidak disenangi. 24 Hiperteroris adalah sebutan bagi teroris yang menguasai dan memanfaatkan berbagai bentuk teknologi mutahir, teknologi pengamatan, pengawasan, teknologi interaktif dan teknologi komunikasi. 25 M. Hilaly Basya dan David K. Alka, Amerika Serikat Perangi Teroris Bukan Islam, h. 41. Orang-orang yang tidak senang terhadap Inggris pada awal abad ke20 akan menyebut setiap kebijakan luar negeri Inggris sebagai kebijakan yang imperialistik. Begitu juga orang yang benci Rusia akan mengatakan bahwa kebijakan luar negeri Rusia sebagai kebijakan yang imperialistik. Dan sekarang pendukung gerakan anti-Amerika Serikat juga dengan mudah mengatakan bahwa Amerika Serikat Serikat adalah negara imperialis, karena kebijakan luar negerinya yang berusaha memperluas kekuasaan yang sudah ada. Penyebutan-penyebutan seperti itu membuat istilah imperialisme menjadi kosa kata murahan yang bisa diklaim begitu saja. Oleh karena itu, dalam tulisan ini perlu diberikan penjelasan manakah yang bisa disebut imperialisme dan mana pula yang bukan imperialisme serta aspek-aspek lain yang terkait. Hans Morganthau menyebutkan ada beberapa salah pengertian yang paling dikenal dalam penggunaan istilah imperialisme ini. Pertama, tidak semua tujuan politik luar negeri untuk meningkatkan kekuasaan suatu bangsa merupakan manifestasi imperialisme yang penting26. Hans membedakan antara politik imperialistik dengan politik konsolidasi atau status quo. Imperialisme adalah sebutan bagi politik yang bertujuan untuk menumbangkan status quo, mengubah pola hubungan kekuasaan yang sudah ada dan menatanya menjadi susunan baru. Sedangkan politik status quo adalah sebuah usaha untuk mempertahankan kekuasaan pada sebuah wilayah yang sudah menjadi bagian daerah kekuasaannya. Imperialisme 26 Hans Morganthau, Politik Antar Bangsa, Edisi VI, Buku Pertama, Penerjemah S. Maimoen (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990), h. 80. ingin mengubah tatanan yang sudah ada, sedangkan status quo hanyalah proses konsolidasi. Kedua, tidak semua politik luar negeri yang bertujuan memelihara imperium yang telah berdiri adalah imperialisme27. Banyak orang mengindentifikasikan apa saja yang dilakukan oleh negara-negara besar untuk memelihara posisinya yang lebih kuat di daerah tertentu dianggap sebagai imperialisme. Akan tetapi, imperialisme sebetulnya lebih cocok diidentifikasikan pada proses mendapatkan wilayah baru, bukan pada proses pemeliharaan kekuasaannya. Istilah “imperialisme” sendiri sesungguhnya muncul pertama kali di Inggris pada akhir Abad XIX. Ide ini dipakai oleh kaum konservatif di bawah pimpinan Disraeli dalam kampanye pemilihan tahun 187428. Ide imperialisme seperti yang difahami Disraeli dan dikembangkan oleh Joseph Chamberlian serta Sir Winston Churchiil ternyata bertentangan dengan apa yang disebut oleh kelompok konservatif sebagai kosmopolitanisme dan internasionalisme oleh kaum liberal. Golongan oposisi takut kalau-kalau politik Disraeli itu akan menimbulkan krisis-krisis internasional29. Karena itu mereka menghendaki pemusatan perhatian pemerintah pada pembangunan dalam negeri dari pada berkecimpung dalam soal-soal luar negeri. 27 Ibid., h. 81. Ibid., h. 81. 29 Yang direncanaan oleh Disraeli dalam federasi imperialnya adalah (1) penyatuan dan integrasi Inggris serta miliknya ke dalam suatu imperium ang disatukan melalui bantuan perdagangan yang bersifat protektif, (2)pencadangan tanah jajahan yang leluasa bagi orang Inggris; (3) angkatan bersenjata yang disatukan dan (4) badan perwakilan pusat di London (lihat Hans Morganthau, Politik Antar Bangsa, Edisi VI, Buku Pertama, Penerjemah S. Maimoen, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990), h. 81-82). 28 Golongan oposisi ini disebut golongan "Little England" dan golongan Disraeli (Joseph Chamberlain, Cecil Rhodes) disebut golongan "Empire" atau golongan "Imperialisme". Timbulnya perkataan imperialis atau imperialisme, mula-mula hanya untuk membedakan golangan Disraeli dari golongan oposisinya, kemudian mendapat isi lain hingga mengandung arti seperti yang kita kenal sekarang. Imperialisme berasal dari kata Latin "imperare" yang artinya "memerintah". Hak untuk memerintah (imperare) disebut "imperium". Orang yang diberi hak itu (diberi imperium) disebut "imperator". Yang lazimnya diberi imperium itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun raja disebut imperator dan kerajaannya (ialah daerah dimana imperiumnya berlaku) disebut imperium30. Pada zaman dahulu kebesaran seorang raja diukur menurut luas daerahnya, maka seorang raja selalu ingin memperluas kerajaannya dengan merebut wilayah-wilayah lain. Tindakan raja inilah yang disebut imperialisme oleh orang-orang sekarang, dan kemudian ditambah dengan pengertian-pengertian lain hingga perkataan imperialisme mendapat arti-kata yang kita kenal sekarang ini. Imperialisme dalam kacamata politik ialah usaha untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dijadikan sebagai imperiumnya. "Menguasai" disini tidak perlu berarti merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama dan ideologi. Imperium disini pun tidak perlu 30 http://id.wikipedia.org/wiki/Imperialisme. berarti suatu gabungan dari daerah jajahan-jajahan, tetapi dapat berupa daerah-daerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri. 2. Teori-Teori Ekonomi Tentang Imperialisme Mengenal imperialisme dari perspektif ekonomi juga sangat penting dalam menganalisa hubungan antar bangsa di era modern ini. Teori-teori ekonomi tentang imperialisme ditelurkan ke dalam tiga mazhab yaitu Mazhab Marxis, Mazhab Liberal dan Mazhab ‘Iblis”. a. Mazhab Marxis Mazhab Marxis berpegangan pada anggapan bahwa segala aktifitas politik merupakan refleksi dari kekuatan ekonomi31. Alur fikiran ini pada akhirnya menganggap gejala politis imperialisme merupakan hasil dari sistem ekonomi yang di dalamnya mengandung sumber kapitalisme. Sebagaimana logika marxisme bahwa masyarakat kapitalis telah kekurangan mendistribusikan sumber hasil bahan produksinya, mentah untuk dan alasan wilayah untuk inilah, maka imperialisme menjadi pilihan yang memungkinkan. b. Mazhab Liberal Berbeda dengan Mazhab Marxis, mazhab liberal memperhatikan bahwa imperialisme bukanlah tuntunan kapitalisme. Malah dengan adanya imperialisme, akan timbul –bukan perluasan kapitaslismeketidak mampuan sistem untuk menyesuaikan diri dengan kapitalisme 31 Hans Morganthau, Politik Antar Bangsa, h. 84. yang sudah mapan. Dengan demikian, imperialisme akan menghambat laju kapitalisme. c. Mazhab “Iblis” Lain halnya dengan Mazhab “Iblis” yang bekerja pada tingkat intelektual yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan dua mazhab rekanannya32. Teori ini muncul dari penyelidikan Komite Nye atas nama senat Amerika Serikat Serikat tentang campur tangan pihak Amerika Serikat Serikat dalam masalah industri dan ekonomi negara lain. Penyelidikan ini memunculkan fakta bahwa terdapat golongan-golongan tertentu yang memperoleh keuntungan besar dari fenomena dan intervensi Amerika Serikat terhadap dunia internasional33. Sebut saja dalam kasus peperangan, dalam perang pasti terdapat pihak pabrikan yang menyediakan pesawat dan senjata bagi Amerika Serikat. Tentu pengadaan ini mendatangkan keuntungan besar bagi pabrikan termasuk juga banker internasional (wallstreet) dan sebagainya. Oleh karena mereka memperoleh keuntungan dari peperangan tersebut, mereka cenderungan menghasut supaya peperangan itu terjadi terus agar bisa memperkaya diri. 3. Dorongan Untuk Imperialisme a. Perang yang pasti berakhir dengan kemenangan 32 33 Ibid., h. 85. Ibid., h. 85. Potensi dorongan seperti ini biasanya terjadi antara dua negara yang terlibat perang. Dimana satu negara memiliki potensi dan keyakinan yang kuat untuk memenangkan peperangan. Negara tersebut memilih jalur politik ini untuk mengubah pola hubungan yang sudah ada dengan membuat perjanjian-perjanjian yang pada akhirnya mempertahankan cengkeraman imperialistiknya34. Potensi seperti ini biasanya dibarengi dengan perasaan bahwa mereka adalah bangsa istimewa di dunia ini (racial superiority). Tiap bangsa mempunyai harga diri. Jika harga diri ini menebal, mudah menjadi kecongkakan dan kemudian menimbulkan anggapan, bahwa merekalah bangsa teristimewa di dunia ini, dan berhak menguasai, atau mengatur bahkan memimpin bangsa-bangsa lainnya b. Kalah Perang Selain keyakinan akan menang dalam peperangan, imperialisme dalam arti perjuangan untuk mengubah status quo juga berpotensi muncul pada pihak yang kalah perang35. Dengan kata lain politik imperialisme yang diciptakan oleh pemenang mungkin menimbulkan politik imperialisme dari pihak yang kalah Imperialisme dalam tipe ini bisa dicontohkan pada imperialisme Jerman dari Tahun 1935 sampai akhir perang dunia II. Status quo yang berkuasa di Eropa saat itu adalah aliansi negara-negara besar seperti Perancis, Inggris, Jerman, Inggris dan Rusia. Namun seiring kemenangan sekutu dan perjanjian-perjanjian perdamaian sesudah itu, lahirlah 34 35 Ibid., h. 92. Ibid., h. 93. Perancis sebagai status quo baru yang menguasai aliansi dan sebagian besar Eropa Timur dan Eropa Tengah yang baru saja dibentuk. Jerman Tahun 1919 sampai 1939 berupaya menggulingkan status quo ini. Usaha inilah yang kemudian memperbaiki posisi internasional Jerman. Dan sejak berkuasanya kaum nasionalis sosialis di Jerman, maka seluruh usaha Jerman dalam mengubah status quo ini berhasil menciptakan imperialisme baru. c. Sebab Ekonomi Tiap bangsa ingin menjadi jaya. Menjadi bangsa yang terbesar di seluruh dunia (ambition, eerzucht). Jika suatu bangsa tidak dapat mengendalikan keinginan ini, bangsa itu mudah menjadi bangsa imperialis. Karena itu dapat dikatakan, bahwa tiap bangsa memiliki benih imperialisme36. Sebab-sebab ekonomi inilah yang merupakan sebab yang terpenting dari timbulnya imperialisme, teristimewa imperialisme modern. Labih rinci, motif ekonomi ini bisa berupa (1) keinginan untuk mendapatkan kekayaan dari suatu negara, (2) ingin ikut dalam perdagangan dunia, (3) ingin menguasai perdagangan dan (4) keinginan untuk menjamin suburnya industri. d. Menyebarkan Ideologi dan Agama 36 http://id.wikipedia.org/wiki/Imperialisme. Hasrat untuk menyebarkan agama atau ideologi dapat menimbulkan imperialisme. Tujuannya bukan imperialisme itu sendiri, tetapi agama atau ideologi. Imperialisme di sini dapat timbul sebagai “efek samping” saja. Tetapi jika penyebaran agama itu didukung oleh pemerintah atau negara, maka sering tujuan pertama terdesak dan merosot menjadi alasan untuk membenarkan tindakan imperialisme. e. Kelemahan suatu Negara Imperialisme juga bisa didorong oleh adanya negara-negara yang lemah yang menjadi daya tarik bagi negara-negara kuat37. Pola hubungan yang tercipta antara negara yang kuat dan negara yang lemah akan memperlihatkan hubungan yang tidak seimbang, dalam arti kata bahwa pihak yang lemah diekploitasi dan diintervensi dalam segala bidang. 4. Tujuan Imperalisme a. Imperium Dunia Sejarah memang sudah mencatat berbagai fakta ambisi imperial sekelompok orang atau negara. Beberapa yang terkenal adalah politik ekspansionis Alxander Agung, Roma, Arab pada abad ke-7 M, Napoleon dan Hitler. Kekuatan-kekuatan ini akan terus memperluas wilayah kekuasaannya selama mereka belum dikalahkan. Dorongan untuk menguasai ini tidak akan habis selama masih ada daerah yang mungkin bisa didominasi. 37 Hans Morganthau, Politik Antar Bangsa, h. 94. Ambisi klasik itu menurut Kanneth Walt masih ada saat ini, untuk pertama kali nya sejak Roma, satu negara bisa menguasai politik dunia. Sang penguasa tersebut adalah Amerika Serikat Serikat. Tidak adanya penyeimbang kekuatan seperti uni soviet pada beberapa dekade lalu, menyebabkan terciptanya bahaya yang potensial bagi negara lain. Sebuah negara yang sangat kuat –dan Amerika Serikat Serikat melakukannyaakan berfikir dan mendaulat dirinya sebagai pihak yang bertanggung jawab membawa kedamaian, keadilan dan stabilitas dunia. Semangat sepihak ini bisa saja bertentangan dengan kepentingan negara lain. Sewaktu terjadi clash antara kekuatan besar dan kekuatan kecil, maka terjadi potensi atau dorongan untuk imperialistik38. b. Imperium Kontinental Imperium Kontinental berbeda dari imperium dunia dalam cakupan wilayah. Kalau imperium dunia merupakan ambisi menguasai seluruh wilayah di dunia, maka imperium kontinental hanya berambisi menguasai satu kontinental (benua) saja39. Tipe ini jelas sekali terlihat dalam hubungan negara-negara eropa pada era awal abad 20-an. Masingmasing negara berusaha menguasai negara lain dalam kawasan tersebut c. Pengaruh Lokal Yang dimaksud dengan pengaruh lokal adalah keinginan untuk mengubah status qou dan membangun kekuasaan politik yang lebih besar dalam sebuah negara, bukan kontinental dan bukan dunia. Dengan 38 Wawancara Harry Kreisler dengan Kanneth Walt dengan tema “Conversations with History” 10 Februari 2003 di UC. Berkeley, diakses dari http//en.wikipedia.org/wiki/Kenneth Waltz 39 Hans Morganthau, Politik Antar Bangsa, h. 96. demikian perbedaan antara ketiga tujuan ini hanyalah permasalahan luas wilayah, namun substansinya tetap sama yaitu ingin mengubah status quo dan membangun pola kekuasaan yang baru. 5. Imperialisme Modern Imperialisme Modern (Modern Imperialism) adalah usaha untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dijadikan sebagai imperiumnya. "Menguasai" disini tidak perlu berarti merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama dan ideologi. Imperium disini pun tidak perlu berarti suatu gabungan dari daerah jajahan-jajahan, tetapi dapat berupa daerah-daerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri. Gagasan imperialisme modern bermula dari kemajuan ekonomi. Imperialisme modern timbul sesudah revolusi industri. Industri besarbesaran (akibat revolusi industri) membutuhkan bahan mentah yang banyak dan pasar yang luas. Mereka mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri, kemudian juga sebagai tempat penanaman modal bagi kapital surplus. Imperialisme modern bisa diwujudkan dalam beberapa bentuk: 1. Imperialisme politik. Negara imperialis tersebut menguasai politik sebuah bangsa. Menguasai dalam arti mempengaruhi atau mendikte pemerintahan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 2. Imperialisme Ekonomi. Sang imperialis hendak menguasai hanya ekonomi sebuah negara. Jika suatu negara tidak mungkin dapat dikuasai dengan jalan imperialisme politik, maka negara itu masih dapat dikuasai jika ekonominya bisa dikendalikan oleh imperialis. Imperialisme ekonomi inilah yang sekarang sangat disukai oleh negara-negara tertentu untuk menggantikan imperialisme politik. 3. Imperialisme Kebudayaan. Tipe ini menghendaki penguasaan atas jiwa (de geest, the mind) negara lain. Dalam kebudayaan terletak jiwa suatu bangsa. Jika kebudayaannya dapat diubah, berubahlah jiwa bangsa. Menguasai budaya suatu bangsa berarti mengusai segala-galanya. Imperialisme kebudayaan ini adalah imperialisme yang sangat berbahaya, karena infiltrasinya mudah, dan jika sebuah bangsa telah “terbudayakan” sesuai budaya imperialis, maka akan sulit membebaskan diri. 4. Imperialisme Militer (Military Imperialism). Di mana para imperialis hendak menguasai kedudukan militer suatu negara. Ini dijalankan untuk menjamin keselamatan mereka untuk kepentingan agresif atau ekonomi. Tidak perlu seluruh negara diduduki sebagai jajahan, cukup hanya menempati lokasi-lokasi yang strategis sehingga de facto-nya berarti menguasai seluruh negara. Imperialisme modern inilah yang banyak menggambarkan prilaku negara kuat (Amerika Serikat) dewasa ini seperti yang akan dibahas pada bab-bab berikutnya. C. Hubungan Antara Terorisme dan Imperialisme Terorisme dan imperialisme memang dua hal yang berbeda. Keduanya juga memiliki akar kesejarahan yang berbeda. Namun dalam beberapa kondisi, terkhusus pasca tragedi WTC Tahun 2001, kedua nya menjadi dua realitas kembar yang tak terpisahkan dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat Serikat. Kebijakan war on terrorism yang diumumkan oleh Amerika Serikat Serikat telah membangkitkan semangat imperial di sisi lain. Tragedi WTC sepertinya mengisyaratkan banyak hal kepada Amerika Serikat Serikat. Melalui peristiwa ini negara Paman Syam bisa mengambil pelajaran bahwa ternyata pandangan negara atau segmen masyarakat tertentu di belahan dunia cukup rendah terhadap Amerika Serikat Serikat. Ekspresi ‘ketidak sukaan” tersebut tidak hanya disuarakan melalui unjuk rasa atau perang opini, namun sudah ditransformasikan dalam bentuk perjuangan baru dengan menggunakan kekerasan fisik. Peristiwa ini sekaligus juga mengingatkan Amerika Serikat Serikat bahwa negara ini tidaklah sekuat yang mereka duga. Meskipun dalam bidang ekonomi, teknologi dan sebagainya Amerika Serikat jauh lebih unggul (di Tahun 2003 saja misalnya, Amerika Serikat Serikat dengan enteng mengeluarkan belanja pertahanan yang jumlahnya lebih besar dari pada gabungan 15-20 negara pembelanja terbesar40), namun dengan mudah negara ini bisa dimasuki dan diserang, bahkan pada tempat-tempat yang sangat strategis pula. 40 Stephen G. brooks dan William C. Wohlforth, “Keunggulan Amerika Serikat dalam Sejarah” dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, Penerjemah Yusi A. Pareanom dan Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 269. Tentu peristiwa ini menggerogoti kebanggaan Amerika Serikat, untuk itu Amerika Serikat merasa perlu untuk meningkatkan kekuatannya di dunia internasional. Ibaratkan sebuah gelas, kekuatan Amerika Serikat yang sebelumnya hanya mengisi setengah gelas, akan ditingkatkan hingga memenuhi satu gelas penuh Tentu untuk melancarkan “misi” ini Amerika Serikat memerlukan justifikasi yang ampuh. Disinilah peran terorisme. Terorisme langsung mengubah arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat Serikat41. Terorisme menjadi alat propaganda Amerika Serikat untuk meningkatkan pengaruh dan dominasinya di dunia internasional. Dengan terorisme, Amerika Serikat mendapat pembenaran bagi dirinya sendiri untuk memerangi Afganistan dan Irak –kedua-duanya adalah bekas sekutu Amerika Serikat— bahkan Iran. Isu terorisme ini menjadi tangga untuk meraih kepentingan politik dan ekonomi yang jauh lebih luas. Semangat inilah yang disebut dengan imperialisme. Inilah mengapa terorisme dan imperialisme memiliki kedekatan khusus dalam kebijakan war on terrorism AS. Politisasi isu seperti ini bukanlah metode baru yang sulit dianalisa. Jauh sebelum masehi tepatnya di masa dua peradaban besar; Athena dan Sparta masih ada, penggunaan propaganda atau isu demi memperluas kekuasaan sudah sering terjadi. Perang Sparta melawan Athena pada waktu itu ibaratkan perang antara kebaikan melawan kejahatan. Sparta –sebagai pihak yang mengaku 41 membawa kebaikan- terpaksa melakukan perang demi Louis Janowski, “Neo-Imperialism and U.S. Foreign Policy”, dalam Foreign Service Journal, Mei 2004, p. 55. menyelamatkan warga Athena dari pemimpin yang otoriter dan kejam. Atas alasan inilah kekuasaan Athena satu per satu ditaklukkan. Akan tetapi, faktanya tidak pernah ada perang untuk keadilan. Perang di atas ternyata hanya di latar belakangi oleh ketakutan Sparta atas dominasi Athena yang makin meluas. Oleh karena itu, Sparta memerlukan tindakan antisipatif agar dominasi Athena ini terhenti, sehingga posisi Sparta dan wilayah taklukannya tetap aman dari jangkauan Athena42. Dengan demikian perang ini bukanlah perang demi kemanusiaan, namun perang demi kepentingan politik belaka. Pada masa kolonialisme, justifikasi “perang adil” ini pun juga disertakan. Para penjajah termasuk Spanyol dan Belanda pada abad ke-16 juga menjustifikasi perjalannya sebagai usaha untuk menyebarkan kebaikan (agama Kristen) di dunia. Namun faktanya adalah penjelajahan negara-negara Eropa tersebut hanyalah demi sebuah ambisi imperial menaklukkan wilayah baru guna menciptakan koloni dan mendapatkan sumber produksi untuk kelestarian industri ekonomi di negara masing-masing. Perang atau kebijakan luar negeri lainnya memang cenderung memiliki dua wajah; demi kebaikan bersama (idealisme) atau demi kepentingan politik se pihak (realisme). Untuk menentukan motif mana yang dominan, bisa diukur dari motif, strategi dan akibat yang ditimbulkan kemudian. 42 Lihat Thomas L Pangle dan Peter J. Ahrensdorf, Justice Among Nation; On the Moral Basis of Power and Peace (Kansas: University Press of Kansas, 1999), p. 19. BAB III Kebijakan War on Terrorism Presiden Bush War on terrorism merupakan sebuah kebijakan. Kebijakan itu sendiri berarti serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatanhambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu43. Dalam konteks hubungan luar negeri, maka kebijakan dapat diartikan dengan tujuan umum yang memandu aktifitas dan hubungan antara satu negara dalam berinteraksi dengan negara lain. Pembentukan kebijakan ini dipengaruhi oleh pertimbangan kepentingan domestik, kebijakan atau prilaku negara lain, atau rencana untuk mendapatkan disain geopolitik tertentu44 Untuk membahas sisi imperial dari kebijakan Amerika Serikat melalui teori yang telah dibahas pada bab sebelumnya (bab II), maka perlu dipaparkan materi kebijakan war on terrorism presiden Bush tersebut secara komprehensif. Berikut penjelasannya. A. Latar Belakang Lahirnya Kebijakan War on Terrorism Terorisme merupakan fenomena yang sudah ada jauh sebelum tragedi 11 September 2001, namun rangkaian aksi teror sebelumnya belum dianggap begitu membahayakan keamanan dunia umumnya dan keamanan nasional Amerika Serikat Serikat khususnya. Tahun 1993 misalnya, Yousuf Ramzi, 43 44 Carl J. Friedrick, Man and His Government (New York: Mc Graw Hill, 1963), h.79. Britannica Concise Encyclopedia 2006, diakses dari http//.en.wikipedia.org salah seorang anggota al-Qaida mencoba meruntuhkan gedung World Trade Center menggunakan bom yang cukup kuat, namun berhasil diantisipasi dengan cepat, sehingga hanya menewaskan beberapa orang dan hanya merusak sebagian bangunan. Amerika Serikat Serikat pun tidak butuh waktu berbulanbulan untuk menangkap si pelaku Namun, munculnya teror global yang semakin intens dan terorganisir, membuat situasi semakin rumit dan berbahaya. Tercatat sejak Tahun 1981 hingga 2000 dunia internasional diguncang oleh 9.181 serangan. Dalam Tahun 2000 saja terjadi 423 kali, meningkat 8% dari Tahun 1999. Tahun 2000, 405 orang terbunuh, meningkat 73% dari Tahun 199945. Untuk mengatasi problema tersebut, maka Pemerintah Amerika Serikat Serikat di bawah pimpinan Presiden Goerge W. Bush mensistematiskan kebijakan serius yang kemudian disebut war on terrorism. Wacana war on terrorism ini sesungguhnya telah bergulir sejak masa Pemerintahan Presiden Bill Clinton. Pada tahun terjadinya bom WTC kali pertama (1993), belum ada kekhawatiran yang berarti terhadap gejala dan perkembangan terorisme global ini. Barulah pada Tahun 1996 muncul kekhawatiran, namun pihak Amerika Serikat Serikat belum mengira kalau alQaida akan menjadi organisasi teroris yang besar yang akan menjadi musuh utama Amerika Serikat Serikat. CIA pun tidak pernah memberikan indikasi seperti itu dalam laporannya46 45 Uwe Johannen, et.al, 911: September 11 and Political Freedom (Singapore: Select Publishing, 2003), p. 31. 46 Richard A. Clarke, Menggempur Semua Musuh; di Balik Perang Amerika Serikat Melawan Teroris (Against all enemies; inside America’s war on terror), Penerjemah Tim Sinergi (Jakarta: Sinergi Publishing, 2004), h. 95. Pada tahun yang sama (1996) Bill Clinton mempresentasikan masalah terorisme di Universitas Goerge Washington dan mendeklarasikan agenda war on terrorism yang kemudian sangat popular pada masa pemerintahan Presiden Goerge W. Bush terutama pasca tragedi 11 September 200147. Pada masa pemerintahan Presiden Bush inilah istilah war on terrorism benar-benar mendapatkan momentumnya. Hal ini dikarenakan beberapa sebab: 1. Karakter Presiden Bush. Siapa yang akan mengira kalau Presiden Bush seperti itu?. Pikiran inilah yang ada dalam benak teman-teman dekat Goerge W Bush. Belum banyak orang yang mengenal sosok Presiden Bush sebelum tragedi 911. Sebagian mungkin mengira bahwa Bush junior mewarisi sifat Bush senior, tapi tidak banyak yang menyangka kalau ternyata sifat Bush junior sangat mirip dengan sifat ibunya, Barbara Bush. Barbara Bush dikenal sebagai orang yang suka bicara blak-blakan, berlidah tajam, keras kepala (kalau punya kemauan harus terlaksana), percaya pada instink, bersikap hitam-putih terhadap suatu masalah dan tidak sabaran. Sifat-sifat itulah yang menempel pada diri Presiden Bush48 Sifat mudah naik darah dan suka bertengkar yang dimiliki Barbara Bush, menurut April Foley, teman Bush di Harvard Business School, dimiliki pula oleh Bush49. Perintahnya untuk menangkap Usamah bin Laden yang dituding ada di balik peristiwa 911 itu “hidup atau mati” merupakan salah satu bukti. 47 Ibid., h. 125. Trias Kuncahyono, “Terorisme dan Ambisi Neo-Imperialisme AS; Setahun Setelah Tragedi 11 September”, Kompas, 11 September 2002, h. 30. 49 Ibid., h. 30. 48 Reaksi keras dan emosional ini tidak hanya terulang sekali atau dua kali saja, Presiden Bush hampir mengulang kata-kata emosional yang sama kapan pun, dimana pun serta kepada siapa pun. Bob Woodward, pengarang salah satu buku international best seller mengutip penggalan percakapan antara Presiden Bush dan Wakil Presiden Dick Cheney, we’re going to find who did this” Bush said to Cheney, “and we’re going to kick their ass50 Bagitu lah reaksi Presiden Goege W Bush dalam merespon aksi teror. Oleh karena itu, cukup bisa dimaklumi kenapa pilihan-pilihan militer lebih diutamakan dari pada opsi diplomasi –meskipun cara diplomasi juga tetap digunakan. Selain alasan “instrinsik” di atas, tak kalah andil sebagai penyumbang lahirnya sistimatisasi kebijakan war on terrorism pada masa pemerintahan Bush adalah makin intensifnya kegiatan al-Qaida, Jama’ah Islamiyah dan negara-negara sponsor terorisme. 2. Serangan Al-Qaida terhadap Amerika Serikat dan Dunia51 Al-Qaida telah membuktikan dirinya sebagai organisasi yang fleksibel, gesit dan cepat. Al-Qaida juga telah berhasil merekonfigurasi dirinya menjadi organisasi yang lebih reflektif terhadap ideologi. Konsekuensinya adalah Amerika Serikat semakin sulit untuk mengalahkannya52. 50 Bob Woodward, Bush at War (London: Pocket Books, 2003), p. 18. Amerika Serikat menyebut al-Qaida sebagai organisasi teroris. Namun, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama, kalau tudingan itu didasari oleh data dan fakta yang benar, maka al-Qaida bisa disebut sebagai teroris. Namun, jika tuduhan ini hanya berdasarkan asumsi dan ketakutan se pihak Amerika Serikat karena al-Qaida pernah mendeklarasikan perang melawan Amerika Serikat tahun 1998, maka tentu bisa ditegaskan bahwa al-Qaida bukanlah organisasi teroris. 52 Bruce Hoffman, “Al-Qaida Then and Now”, dalam Karen J. Greenberg, ed., Al-Qaida Now: Understanding Today’s Terrorists (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), p. 10. 51 Al-Qaida memang dicatat sebagai sasaran utama kampanye war on terrorism Amerika Serikat. Organisasi Islam radikal ini telah melakukan sejumlah pem-bom-an yang menewaskan ratusan bahkan ribuan orang. Pada Tahun 1998, al-Qaida membom kedutaan AS di Kenya dan Tanzania yang menewaskan 223 orang dan melukai tidak kurang dari 4000 orang. Al-Qaida juga membidani 20 aksi teror di Saudi Arabia yang menewaskan 50 tenaga pengamanan dan melukai lebih banyak orang lagi53. Selanjutnya dan yang paling sukses bagi al-Qaida adalah meruntuhkan menara kembar WTC yang menewaskan lebih kurang 3000 orang. Teror WTC tersebut sungguh menimbulkan efek persepsi, efek psikologis dan efek simbolik yang hebat dalam skala global54 Yang lebih menakutkan lagi bagi Amerika Serikat Serikat adalah ternyata al-Qaida telah memiliki jaringan di 60 negara di dunia55. Inilah mengapa al-Qaida disebut sebagai jaringan teroris global, karena pengaruhnya yang sangat luas, bahkan mungkin sampai ke Indonesia. 3. Kekhawatiran terhadap Jamaah Islamiyah Selain al-Qaida, Jamaah Islamiyah juga merupakan organisasi yang dicap sebagai teroris global. Sedikit berbeda dengan al-Qaida yang eksklusif – mengkhususkan aksinya pada simbol-simbol Amerika Serikat, Jamaah Islamiyah berperan secara lebih “dinamis”. Dinamis dalam arti bahwa mereka tidak memaksa diri untuk menyerang simbol-simbol utama negara 53 Steven Simon, “Al-Qaida Then and Now” dalam Karen J. Greenberg, ed., Al-Qaida Now: Understanding Today’s Terrorists (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), p. 1415. 54 Yasraf Amir Piliang “Hiperterorisme dan Hiperteknologi” dalam Farid Muttaqin dan Sukidi, ed., Terorisme Serang Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 63. 55 Bob Woodward, Bush at War, p. 33. kafir (seperti kedutaan, gedung pemerintahan, pusat militer dan sebagainya), namun bisa juga dengan memilih tempat-tempat atau orang tertentu yang dianggap representatif. 4. Negara-negara Sponsor Terorisme Faktor lain yang tak kalah dipertimbangkan dalam kampanye war on terrorism adalah makin meningkatnya dukungan negara-negara tertentu terhadap kelompok yang dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh Pemerintah Amerika Serikat. Dukungan tersebut bisa melalui pemberian dana, penyediaan tempat perlindungan maupun fasilitas persenjataan. Amerika Serikat menyebutkan sejumlah negara yang menjadi sponsor teroris56: • Iran, karena melindungi dan memberikan fasilitas persenjataan kepada Hizbullah (Libanon), Hamas (Palestina) dan Jihad Islam • Irak, karena memiliki kedekatan tertentu dengan kelompok mujahidin khalq. • Syiria, karena memberi izin kepada Hamas untuk membuka cabang di Damaskus • Libya, karena memberi bantuan kepada Islamic Jihad Palestina • Kuba, karena keterkaitannya dengan National Liberation Army dan The Revolusionary Armed Force Colombia • Korea Utara karena memasok senjata ke sejumlah kelompok ekstrim dan memiliki senjata nuklir 56 Chawat Satha-Anand, “Mitigating the Success of Terrorism with Politic of Truth and Justice”, dalam Uwe Johannen, et.all., 911: September 11 and Political Freedom (Singapore: Select Publishing, 2003), p. 18. Keberadaan kelompok teroris dan negara sponsor inilah yang membuat kampanye war on terrorism Amerika Serikat Serikat menjadi sangat urgen dan ekspansif serta berpengaruh terhadap pola hubungan internasional. Kebijakan war on terrorism Amerika Serikat Serikat secara sistematis dibagi ke dalam kebijakan jangka panjang dan kebijakan jangka pendek B. Kebijakan Jangka Panjang War on terrorism Isu terorisme telah mengubah kebijakan luar negeri Amerika Serikat Serikat secara radikal dari yang bersifat new-isolasionisme menjadi intervensionisme57. Amerika Serikat Serikat biasanya merencanakan kebijakan jangka panjangnya untuk cakupan waktu 50 tahun sekali. Sesungguhnya pada masa Pemerintahan Bill Clinton sampai masa Presiden Bush sebelum terjadi tragedi WTC, Amerika Serikat Serikat masih memiliki dua arah besar kebijakan luar negeri. Pertama, pengimbangan kekuatan lawan (deterrence). Kebijakan ini dilatar belakangi oleh konflik dan persaingan Amerika Serikat Serikat dengan Uni Soviet. Amerika Serikat Serikat selalu berupaya mengimbangi kekuatan militer Uni Soviet untuk menjadi penyeimbang bagi stabilitas dunia internasional. Kedua belah pihak tidak saling menyerang, namun sadar bahwa mereka bermusuhan. Inilah mengapa masa itu disebut dengan parang dingin (cold war). Strategi ini masih dipertahankan pada masa Pemerintahan Bill 57 Lihat Majid Tehranian, “The Center Cannot Hold: Terrorism and Global Change” dalam Uwe Johannen, et.all, 911: September 11 and Political Freedom (Singapore: select Publishing, 2003), p. 46. Lihat juga Louis Janowski, “Neo-Imperialism and U.S. Foreign Policy” dalam Foreign Service Journal, Mei, 2004, p. 55. Clinton. Oleh karena itu, Clinton berusaha mengisolasi Amerika Serikat agar tidak terlibat langsung dalam konflik internasional. Kedua adalah penyebaran liberalisme. Liberalisme secara umum adalah ideologi yang menegaskan komitmen pada kesetaraan, kebebasan, individualitas dan rasionalitas58. Dalam perspektif ekonomi, Liberalisme berarti mendukung pasar bebas dan “kapitalisme”. Ekonomi memang merupakan sasaran utama kebijakan Amerika Serikat Serikat, karena dengan menguasai perekonomian sebuah negara, berarti juga menguasai kekuatan politik negara tersebut. Strategi ini diwujudkan oleh Amerika Serikat Serikat melalui pemberian berbagai bantuan kepada negara-negara berkembang sebagai modal pengembangan ekonomi nasional mereka. Namun, bagi Amerika Serikat sendiri, bantuan itu akan menjadi modal dasar untuk menanamkan pengaruhnya di negara tersebut. Namun bagi kebinet war on terrorism yang dibentuk oleh Presiden Bush, pendekatan lama ini dianggap kurang memadai. Untuk itu diciptakanlah kebijakan baru dalam usaha memenangkan perang melawan terorisme. Kebijakan ini bisa dibedakan menjadi kebijakan jangka panjang dan kebijakan jangka pendek. Kebijakan jangka panjang yang diterapkan Amerika Serikat Serikat dalam usaha memenangkan perang melawan terorisme antara lain, menyebarkan demokrasi, membangun fail state dan memperbaiki hubungan dengan negeri-negeri muslim. 1. Penyebaran Demokrasi yang Efektif 58 Richard Bellamy, “Liberalisme” dalam Roger Eatwell dan Anthony Wright, ed., Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer, Penerjemah R.M. Ali (Yojyakarta: Jendela, 2004), h. 32. Salah satu kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh Amerika Serikat Serikat adalah menyebarkan isu kebebasan dan hak asasi manusia melalui penerapan demokrasi yang efektif59. Di antara penanda utama sistem demokrasi ini adalah pengangkatan pemimpin melalui mekanisme pemilihan umum dimana masyarakat memberikan suara kepada calon pemimpin yang disukai dengan berbagai pertimbangan. Proses ini tentunya mencerminkan kebebasan individu sekaligus memberikan legitimasi yang kuat bagi seorang pemimpin. Tapi demokrasi memang tidak hanya direpresentasikan melalui pemilihan umum semata. Demokrasi juga mesti menghargai dan membuka kebebasan dasar manusia termasuk beragama, berfikir, berbicara, berorganisasi dan kebebasan pers. Secara otomatis –kalau kebebasan ini dibuka-- pemerintah akan dipaksa untuk bertanggung jawab kepada rakyatnya dan berusaha memenuhi keinginan rakyat tersebut. Demokrasi yang efektif juga secara otomatis akan menciptakan kedaulatan yang efektif dan menjamin keamanan di dalam teritorial negara, menyelesaikan konflik secara damai, melindungi sistem peradilan yang independen, menghukum yang bersalah, dan memerangi tindak korupsi. Demokrasi yang efektif juga akan membatasi kekuasaan pemerintah sehingga memungkinkan munculnya civil society. Dalam sebuah demokrasi yang efektif, kebebasan tidaklah terbagi, kebebasan bukan menjadi milik sebagian orang atas sebagian yang lain. 59 Homeland Security Council, 9/11 Five Years Later: Successes and Challenges (Washington: White House, September 2006), p. 5. Semua yang digambarkan melalui penegakan demokrasi yang efektif ini merupakan anti-tesa dari ideologi yang dipegang oleh kelompok teroris. Untuk melihat lebih jauh “perang ide” antara demokrasi dan ideologi kelompok teroris tersebut, Amerika Serikat Serikat menekankan beberapa hal mengenai terorisme. Pertama, terorisme bukanlah produk dari kemiskinan. Banyak pelaku aksi teror seperti tragedi 11 September 2001 ternyata bukan berasal dari kelompok ekonomi rendah60. Misal saja Usama bin Laden, ia adalah seorang milyarder asal Arab Saudi yang sampai sekarang memiliki asset kekayaan yang cukup banyak61. Kedua, terorisme bukan semata lahir karena kebencian pihak lain atas kebijakan Amerika Serikat Serikat kepada Irak62. Sesungguhnya Amerika Serikat Serikat sudah diserang sejak Tahun 2001 dan bahkan jauh sebelum itu, sebelum Amerika Serikat Serikat meruntuhkan rezim Saddam Hussain. Ketiga, terorisme bukanlah dampak dari isu pertikaian Israel Palestina. Amerika Serikat menyebutkan bahwa serangan al-Qaida Tanggal 60 Homeland Security Council, Strategies for Winning the War on terror (Washington: White House, 2003), p. 1. 61 Asumsi pemerintahan Amerika Serikat Serikat ini cukup berbeda dari keyakinan banyak pemikir sosial dan sejarawan di berbagai negara. Motif ekonomi bagi sebagian pemikir sama kuatnya dengan motif politik maupun agama. Para eksekutor bom pada umumnya berasal dari keluarga kelas ekonomi menengah ke bawah. Dan pelaku adalah tulang punggung keluarga yang sangat mengharapkan kesejahteraan yang cukup bagi anak dan istrinya. Oleh sebab itu, tatkala datang tawaran untuk melakukan pem-bom-an dengan imbalan kesejahteraan bagi keluarga, mereka menerima tawaran tersebut. Kemudian desakan ekonomi ini dibumbuhi semangat ideologis atau semangat keagamaan. Ini juga sekaligus menjadi penjelasan mengapa aksi pem-bom-an banyak terjadi di negara-negara berkembang (miskin). 62 Homeland Security Council, Strategies, p. 1. 11 September 2001 sesungguhnya telah dimulai dengan skala berbeda sejak Tahun 1990 yang nota bene adalah masa damai antara kedua belah pihak63. Keempat, terorisme bukanlah respon balik terhadap war on terrorism ala Amerika Serikat Serikat. Al-Qaida telah menyerang Amerika Serikat Serikat jauh sebelum Amerika Serikat Serikat menyerang Irak dan alQaida64. Selain keyakinan di atas, Amerika Serikat Serikat juga mengatakan bahwa mereka saat ini menghadapi kelompok teroris yang memiliki latar belakang yang beragam mulai dari65: • Political alienation yaitu kelompok teroris yang muncul dari masyarakat yang tidak memiliki suara dalam pemerintahan dan tidak memiliki cara yang terlegitimasi untuk mengubah hal tersebut. Dengan eksistensi pemerintahan seperti ini, pemerintahan tersebut sangat mudah dimanipulasi oleh sekelompok orang dengan cara kekerasan dan penghancuran. • Aksi balas dendam yang tidak bisa dilampiaskan kepada orang lain. Dilema psikologis yang dirasakan oleh para teroris adalah bahwa mereka merasa tidak mendapat keadilan dari masa lalu. Trauma dari masa lalu 63 Asumsi ini memang ada benarnya bahwa tidak semata lahirnya terorisme karena isu Israel-Palestina. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa isu Israel-Palestina menjadi salah satu motivasi yang membakar semangat perjuangan kelompok yang dianggap teroris. Lahirnya terorisme secara umum merupakan sebuah respon keras atas dominasi Amerika Serikat Serikat yang secara struktural telah mengintervensi dan mendikte para pemimpin di negeri muslim. Intervensi ini kemudian mengakibatkan liberalisasi dan westernisasi di segala bidang dan akhirnya menjadi cikal bakal rusaknya ekonomi, politik bahkan moral umat. Jika intervensi Amerika Serikat ini adalah bara-nya, maka keberpihakan Amerika Serikat kepada Israel adalah api-nya. 64 Hal ini tentu benar jika orang menganggap bahwa intervensi Amerika Serikat Serikat di wilayah muslim jauh sebelum deklarasi war on terrorism bukanlah sebuah tindakan yang bisa dilabelkan dengan “kejahatan”. Namun jika orang menganggap bahwa intervensi Amerika Serikat di berbagai wilayah muslim sebagai kejahatan, maka sanggahan Amerika Serikat tentulah tak beralasan. 65 Homeland Security Council, Strategies, p. 1. inilah yang selalu menjadi retorika dan motivasi yang kuat untuk balas dendam dan teror. • Kelompok masyarakat korban konspirasi dan informasi yang tidak benar. Kelompok teroris merekrut --secara lebih efektif dari-- populasi yang perbendaharaan informasinya tentang dunia telah terkontaminasi atau terjerat oleh konspirasi66. Distorsi informasi ini menjaga kebencian mereka terhadap musuh sehingga menutup mata dari fakta yang sebetulnya bisa mengubah sangkaan dan propaganda se pihak tersebut. • Adanya ideologi yang membenarkan pembunuhan. Inilah point terakhir yang menakutkan bagi Amarika Serikat. Di saat sebuah aksi sudah dibenarkan oleh ideologi seperti agama, maka pelakunya tidak akan merasa takut. Bahkan mati dalam misi adalah sebuah status istimewa yang pantas mendapat imbalan surga. Mengalahkan terorisme dalam kurun waktu jangka panjang membutuhkan penyelesaian pada bidang-bidang tersebut di atas. Demokrasi yang efektiflah satu-satunya cara untuk menyelesaikan setiap problem di atas, karena demokrasi adalah sebuah sistem yang mampu menghancurkan kondisi-kondisi yang bisa dieksploitasi oleh kelompok teroris. Dengan demokrasi, maka: • Problem alienasi bisa diatasi. Demokrasi menawarkan partisipasi serta kepemilikan di dalam masyarakat. Dengan adanya partisipasi dan kepemilikan tersebut masyarakat bisa menciptakan masa depannya sendiri. 66 Ibid., p. 2. • Untuk latar belakang dendam dan informasi yang salah, demokrasi menawarkan kebebasan berbicara, media yang independen dan pertukaran ide yang bisa meng-ekspos dan mengkoreksi hal yang salah, serta anggapan-anggapan dan propaganda yang tidak jujur. • Dalam kaitannya dengan ideologi yang membolehkan pembunuhan, maka demokrasi menawarkan penghargaan terhadap derajat manusia yang membenci penyerangan terhadap warga yang tak bersalah. Demokrasi dengan demikian adalah anti tesis sikap tirani kelompok teroris. Demokrasi didasarkan pada penguatan masyarakat sementara ideologi teroris berdasarkan perbudakan. Demokrasi mengangkat kebebasan masyarakat, sementara teroris berusaha memaksakan satu kepercayaan yang sempit kepada semua orang. Demokrasi melihat seorang individu setara harkat dan derajatnya dengan orang lain, individu memiliki nilai dasar yang bisa dikembangkan, mengatur diri sendiri dan melaksanakan haknya berupa kebebasan berbicara dan berpendapat. Di lain pihak teroris hanya melihat seorang individu sebagai objek eksploitasi, bisa diatur dan ditekan. Adapun langkah-langkah strategis yang dijalankan Amerika Serikat Serikat dan sekutu dalam menyebarkan demokrasi yang efektif adalah: Pertama, mengoperasikan USAID (lembaga bantuan Amerika Serikat Serikat) di lebih dari 26 negara baik di Asia, Timur Tengah maupun Afrika Utara dengan program-program yang inovatif yang menekankan pada perdagangan, pendidikan dan demokrasi. Kedua, Membentuk Millenium Challenge Account yang diperuntukkan guna mempercepat reformasi global dengan cara memberikan bantuan-bantuan tambahan kepada negara-negara, berinvestasi di negara tersebut dan mempromosikan ekonomi bebas. Ketiga, membentuk “Partnership for Progress and a Common Future”, untuk mendukung reformasi politik, ekonomi dan sosial di Timur Tengah yang di prakarsai oleh negara G-8 Tahun 200467. Demokrasi di sisi lain memang tidak kebal terhadap terorisme. Demokrasi juga tidak melulu menjanjikan kesejahteraan. Dalam beberapa kondisi yang dianggap demokratis, kadang masih terdapat beberapa etnik atau kelompok agama yang tidak bisa dan tidak mau memanfaatkan keuntungan dari kebebasan yang disediakan untuk masyarakat. Kelompokkelompok tersebut akan menjadi bibit alienasi yang bisa dieksploitasi oleh kelompok teroris. Strategi melawan landasan ideologis kelompok teroris dan mencegah mereka agar tidak bisa merekrut di masa mendatang hanya bisa dilakukan dengan betul betul menguatkan masyarakat yang berpotensi di eksploitasi oleh para teroris yang pada umumnya dikategorikan sebagai muslim fundamentalis. Untuk itu pemerintah Amerika Serikat Serikat sangat mendukung gerakan reformasi yang akan menguatkan muslim yang berorientasi pada kedamaian agar mereka kemudian berpartisipasi dan menafsirkan agamanya dengan lebih bijak. Amerika Serikat serikat juga akan bekerja keras untuk menghancurkan tiang-tiang ideologi kelompok Islam ekstrem dan menggalang dukungan dari kelompok muslim yang anti kekerasan di seluruh dunia. 67 Homeland Security Council, 9/11 Five Years Later, p. 5. Kerja yang paling vital untuk mencapai tujuan itu tentunya akan berlangsung di dalam dunia Islam itu sendiri seperti Indonesia, Jordan, Maroco dan lain-lain yang telah memulai usaha ke arah ini. Selain itu peran pemimpin agama juga sangat dibutuhkan untuk mengalahkan ideologi yang jahat yang mengeksploitasi Islam untuk membenarkan tindak pembunuhan orang-orang tak bersalah. 2. Membangun Fail State Strategi jangka panjang kedua adalah membangun fail state. Fail state atau negara gagal adalah sebutan bagi negara-negara yang dianggap telah kehilangan kedaulatan. Kehilangan kedaulatan ini bisa disebabkan karena negara yang bersangkutan menjadi sarang atau pelindung kelompok teroris, atau bisa juga karena struktur dan rezim pemerintahannya yang sangat otoriter. Afganistan dan Irak adalah contoh negara yang dikategorikan sebagai fail state, karena Afganistan di satu sisi dianggap sebagai pelindung kelompok al-Qaida dan Irak di sisi lain, selain dipimpin oleh seorang diktator, juga disinyalir memiliki senjata pemusnah masal yang berbahaya bagi dunia. Pembangunan negara-negara gagal ini –dalam asumsi Amerika Serikat Serikat- menjadi poin yang cukup determinan, karena kalau negara ini dibiarkan tetap eksis, maka tidak ada jaminan atas stabilitas dan keamanan nasional maupun internasional. Kedua negara ini –serta negara-negara lain yang satu tipe- akan terus melahirkan “usamah-usamah” baru selama struktur negara dan kultur masyarakatnya tidak diubah. Dengan latar belakang tersebut, maka tidak ada jalan lain untuk menghentikan aksi teror global ini selain meruntuhan pemerintahan otoriter dan menggantinya dengan demokrasi yang efektif. Amerika Serikat Serikat menjadikan hal ini sebagai poin penting, karena Amerika Serikat-lah yang nantinya menjadi sasaran utama pelampiasan dendam kelompok-kelompok ekstrem. Dengan demikian, membantu penyelesaian konflik yang berlarut-larut di negara-negara gagal tersebut bukan hanya bagus untuk dunia secara umum, namun juga membuat Amerika Serikat Serikat lebih aman68. Amerika Serikat meyakini bahwa dunia ini adalah sebuah struktur yang memiliki hubungan ketergantungan. Ibaratkan sebuah jasad, apabila satu bagiannya terluka, maka bagian yang lain pun akan merasakan sakitnya. Sehingga untuk menghilangkan sakit yang dirasakan semua anggota jasad, maka bagian yang terluka harus disembuhkan69 Proses perbaikan fail state dimulai dengan meruntuhkan pemerintahan status quo (Saddam Hussain di Irak dan Taliban di Afganistan). Setelah ekspansi ini berhasil, maka dilakukan “reformasi” politik dan ekonomi serta kebudayaan secara radikal. Reformasi di bidang politik dilakukan melalui demokratisasi di segala bidang serta mendukung pengangkatan pemimpin yang tunduk kepada arahan Amerika Serikat Serikat. Di bidang ekonomi dilakukan 68 Stphen M. Walt. “Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Serikat, dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, Penerjemah Yusi A. Pareanom dan Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 375. 69 Lihat Arif Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 63. melalui liberalisasi ekonomi, membuka pasar bebas termasuk mendatangkan “arsitek-arsitek” ekonomi dari Amerika Serikat khususnya untuk membidani sejumlah sektor ekonomi70. Keseluruhan usaha ini secara otomatis berpengaruh terhadap prospek serta kultur lokal. Masyarakat yang selama ini hidup dalam struktur sosial yang hierarkhis dan tertutup, saat diperkenalkan dengan ide masyarakat bebas dan setara, tentu mengalami dilema tersendiri. Di satu sisi kondisi ini bisa mengentalkan budaya lama akibat desakan inferiority complex, namun di sisi lain infiltrasi ini bisa mengubah budaya lokal menjadi budaya baru yang mengadopsi khazanah barat 3. Memperbaiki Hubungan dengan Negeri Muslim Strategi ketiga yang dijalankan Amerika Serikat Serikat adalah memperbaiki hubungan dengan negara-negara muslim. Kebijakan ini diperlukan untuk menghilangkan anggapan bahwa Amerika Serikat memerangi Islam. Dengan menjalin hubungan yang lebih baik dengan negara-negara muslim, diharapkan bisa mengembalikan persepsi tentang Amerika Serikat Serikat ke posisi netral dan humanis. Untuk mencapai target tersebut, Amerika Serikat Serikat tidak bisa hanya mengandalkan pertemuan dengan pemerintahan Arab, ia juga harus memperbaiki citranya di mata publik luas. Untuk itu Amerika Serikat harus menerapkan beberapa langkah konkret. Langkah konkret pertama adalah melakukan pendekatan yang tak se pihak lagi untuk konflik antara Israel dan 70 Lihat Homeland Security Council, Strategies, p. 6. palestina71. Amerika Serikat Serikat antara lain harus menunjukkan bahwa para pemimpin Amerika Serikat Serikat mendorong pembentukan sebuah negara Palestina dan menekankan bahwa pemerintahan Amerika Serikat melakukan banyak upaya agar negara se macam itu (Palestina) lahir. Untuk menyelesaikan proses ini secara damai, Amerika Serikat harus menekan Israel untuk menghentikan penambahan wilayah dan mendorong untuk memulai perundingan baru. Langkah kedua, penyesuaian pendirian Amerika Serikat Serikat di Timur Tengah juga harus menyertakan sebuah pengkajian ulang tentang hubungan Amerika Serikat Serikat dengan pemerintahan-pemerintahan arab tertentu72. Misalnya Arab Saudi, terlepas negara ini adalah negara nondemokratis dan terlepas dari dukungannya terhadap kelompok ekstrem Islam, Amerika Serikat harus tetap menjaga hubungan baik dengan negara pemasok minyak tersebut. Amerika Serikat tidak berniat untuk mengubah tatanan yang sudah ada, karena bisa jadi dengan perubahan itu, negara ini akan berbalik melawan Amerika Serikat. Sikap Amerika Serikat ini memang sering dianggap membingungkan, di satu pihak, negara ini menentang otoritarianisme dan memusuhi negara-negara –yang diduga—memberi dukungan baik dana maupun fasilitas kepada kelompok teroris. Namun, di sisi lain Amerika Serikat tetap menjalin hubungan baik dengan negara-negara dalam kategori di atas. Disinilah terlihat realisme politik Amerika Serikat Serikat 71 Stephen M Walt, “Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Serikat”, dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional , h. 388. 72 Ibid., h. 391. Akan tetapi, di luar semua itu, guna melancarkan strategi pemulihan hubungan dan citra Amerika Serikat di negeri-negeri muslim, Amerika Serikat harus meluncurkan sebuah kampanye informasi publik yang luas, menggunakan seluruh instrumen dan saluran komunikasi yang dimiliki73 C. Kebijakan Jangka Pendek Mencanangkan kebebasan, kesempatan dan penghargaan terhadap derajat manusia melalui demokrasi adalah salah satu solusi jangka panjang untuk mencegah berlanjutnya gelombang teror saat ini. Agar kebijakan jangka panjang ini bisa mengakar, Amerika Serikat Serikat mengoperasikan empat tindakan prioritas dalam bentuk kebijakan jangka pendek74. 1. Mencegah Serangan oleh Jaringan Teroris Sesungguhnya sebuah negara tidak memiliki kewajiban yang lebih penting terhadap warganya dari pada melindungi jiwa dan kehidupan masyarakat. Jiwa keras yang sudah tertanam dalam hati para teroris hampir tidak bisa diperbaiki, salah satu dan mungkin satu-satunya cara untuk menghentikan mereka hanyalah dengan melumpuhkan atau menghancurkan mereka. Jaringan-jaringan yang selama ini menghubungkan antara satu orang dengan yang lain akan diputuskan, sumber kekuatan, fasilitas dan pendanaan mereka pun harus dihilangkan. Dengan demikian jaringan itu tidak akan berkerja dan akan terganggu. Pemerintah Amerika Serikat Serikat bekerja sama dengan para partner di seluruh bagian dunia berusaha mengumpulkan dukungan publik 73 74 Ibid., h. 392. Homeland Security Council, 9/11 Five Years Later, p. 7. untuk memerangi aksi terorisme, mencegah para teroris memasuki wilayah Amerika Serikat Serikat dan mendirikan alat protektif untuk mereduksi kemungkinan diserang. Untuk mencegah serangan dari kelompok teroris ini, maka perlu dibuat beberapa langkah strategis. a. Menyerang Jaringan Kerja dan Markas Teroris. Amerika Serikat Serikat dan koalisinya secara rutin bertindak aktif dan efektif melawan teroris dan beberapa kelompok ekstrimis lainnya yang menimbulkan ancaman serius bagi dunia internasional. Amerika Serikat Serikat dan sekutu berupaya menyerang jaringan dan markas para teroris baik di dalam negeri maupun di luar negeri dengan menggunakan elemen kekuatan nasional. Ada beberapa target yang sesungguhnya sudah ditargetkan oleh Amerika Serikat Serikat dan sekutu. • Pemimpin. Yaitu seseorang yang memberikan semangat ideologis yang menjadi pegangan para pengikutnya untuk kemudian diperjuangkan. Para pemimpin juga memberikan beberapa arahan, disiplin dan motivasi untuk menyelesaikan tugas yang sudah diberikan. Kebanyakan kelompok teroris memiliki figur sentral yang menjadi ruh perjuangan. Seterusnya untuk beberapa operasi terdapat beberapa pemimpin dan menejer yang memberikan petunjuk tentang fungsi dan wilayah yang bersifat lokal. Kehilangan seorang pemimpin sentral dalam organisasi seperti ini akan menyebabkan menurunnya kohesivitas kelompok dan pada beberapa kasus bahkan bisa menjadi pemicu hancurnya kelompok. Namun, di beberapa kelompok lainnya, kehilangan pemimpin sentral biasanya langsung digantikan dengan kandidat yang telah berpengalaman atau dengan mendesentralisasikan struktur komando-komando yang membuat usaha kelompok Amerika Serikat dan sekutu semakin sulit dalam menghilangkan jaringan teroris tersebut. • Kaki tangan pemimpin yang mencakup operator, fasilitator dan trainner dalam jaringan teroris. Merekalah yang menggerakkan kelompok teroris. Di lain pihak, teknologi dan globalisasi telah meningkatkan kemampuan kelompok ini untuk merekrut kaki tangan termasuk para tenaga terdidik. Ini membuat Amerika Serikat Serikat dan koalisinya harus lebih gigih dan rutin dalam melacak dan melumpuhkan bahkan membunuh kaki tangan ini. • Senjata. Senjata adalah alat yang digunakan untuk membunuh dan meningkatkan dampaknya. Para teroris mengeksploitasi banyak sumbangan untuk mengembangkan dan mendapatkan senjata. Dana ini termasuk dana yang didapatkan dari negara sponsor, pencurian, perampokan, perdagangan gelap dan lain-lain75. Para teroris kemudian memanfaatkan teknologi yang sudah ada –bahan peledak, senjata mini, misil dan alat-alat lain- dengan cara konvensional maupun nonkonvensional untuk melakukan teror dan mendapatkan hasil yang sukses. Mereka juga menggunakan teknologi non senjata seperti pesawat terbang pada tragedi 11 Sepetember. Namun di atas semua 75 Homeland Security Council, Strategies , p. 4. itu, yang paling ditakutkan oleh semua pihak adalah jika senjata pemusnah masal berhasil didapatkan oleh para teroris. Jika senjata pemusnah masal ada di tangan mereka, maka kerusakan yang dihasilkan akan jadi berlipat ganda. Oleh karena itu, mencegah agar semua tidak terjadi adalah kunci prioritas dari strategi Amerika Serikat Serikat. • Pendanaan. Dana lah yang membuat semua aksi ini menjadi mungkin. Dengan tersedianya dana, maka dengan mudah alat-alat yang dibutuhkan dalam operasi bisa dibawa dan didapatkan. Kelompok teroris mendapatkan pendanaan dari berbagai sumber termasuk sumbangan dari para kontributor, NGO dan sedekah, selain itu dana ini juga didapatkan dari sejumlah tindak kriminal seperti penipuan, pemerasan, penculikan dengan tebusan dan sebagainya. Mereka kemudian mentransfer dana ini melalui berbagai mekanisme, baik melalui sistem perbankan biasa, debit, kurier uang cash dan “hawalas” yaitu sebuah alternatif pembayaran yang berlandaskan kepercayaan semata. • Komunikasi. Komunikasilah yang membuat para teroris mampu mendapatkan, menyimpan dan memanipulasi serta mengubah informasi. Metode komunikasi yang mereka gunakan cukup beragam. Biasanya mereka menggunakan kurir dan komunikasi dari wajah ke wajah dan cenderung menggunakan media yang bisa diakses di wilayah tempat mereka menetap. Para teroris juga menggunakan teknologi mutahir untuk meningkatkan efisiensi. Metode seperti ini bisa dengan menggunakan internet yang dieksploitasi untuk menciptakan propaganda, merekrut anggota baru, mencari sumber dana dan sumber-sumber meteri lainnya. Tanpa kemampuan komunikasi seperti ini, kelompok teroris tidak akan mampu mengorganisir sebuah operasi dengan efektif, mengeksekusi serangan atau menyebarkan ideologi mereka. • Propaganda operasi. Yaitu sesuatu yang digunakan oleh kelompok teroris untuk membenarkan aksi kekerasan sekaligus yang menginspirasi individu guna mendukung atau bergabung dalam aksi tersebut. Kemampuan kelompok teroris dalam mengeksploitasi internet dan media dunia lainnya memudahkan mereka untuk mempopulerkan ideologi radikal dan teori konspirasi untuk merekrut siapa saja di belahan bumi ini. Selain pencapaian yang bertaraf global, teknologi tersebut membuat kelompok teroris mampu menyebarkan propagandanya secara cepat bahkan lebih cepat dari usaha koordinasi dan distribusi penghadangan gerakan aksi teror itu sendiri. Setelah memetakan target-target tersebut, Amerika Serikat Serikat dan sekutu melakukan penyerangan (seperti di Afganistan dan Irak) dan penangkapan di sejumlah tempat. Strategi ini sering disebut dengan preemptive. Yaitu strategi menyerang sebelum diserang. Pre-emptive mencakup penangkapan, pembunuhan dan pelumpuhan kelompok teroris sebelum mereka sempat melakukan apa-apa. Bentuk lain dari strategi pre-emptive ini adalah melakukan interogasi terhadap tersangka teroris untuk mendapatkan informasi tentang target dan identitas teroris lainnya. Untuk memudahkan interogasi ini bisa dilakukan dengan cara memberi zat sugesti seperti narkoba dan lain-lain. Proses ini memang mengenyampingkan hak asasi manusia. Dengan alasan pre-emptive ini jugalah Amerika Serikat kemudian memasuki negara lain guna memberantas bibit-bibit terorisme. Amerika Serikat masuk ke wilayah Afganistan dan Irak, kemudian melakukan sejumlah perubahan agar terorisme bisa dihilangkan. Amerika Serikat juga masuk ke negara-negara muslim yang diperkirakan memiliki potensi terorisme, seperti Indonesia, Timur Tangah, Afrika Utara serta negaranegara di Asia Tenggara. Intervensi ini legitimatif, karena negara-negara yang menjadi sarang terorisme –dalam anggapan Amerika Serikat- telah terancam kehilangan kedaulatan. Untuk itu, Amerika Serikat lah sebagai satu satunya polisi dunia yang akan mengambil tanggung jawab untuk mengatasi potensi terorisme di negara yang telah “kalah” oleh para teroris. b. Menghalangi para teroris agar tidak memasuki wilayah Amerika Serikat Serikat dan menghentikan perjalanan internasional mereka. Menghadang kelompok teroris agar tidak bisa masuk ke wilayah Amerika Serikat Serikat akan berpengaruh secara signifikan terhadap mobilitas gerakan mereka. Strategi ini akan menghambat mobilitas dan efektifitas jaringan. Kelompok teroris biasanya mendasarkan gerakannya pada jaringan kecil untuk memfasilitasi perjalanan dan sering dokumentasinya salah teridentifikasi karena didapatkan melalui operasi pencurian. Amerika Serikat Serikat -untuk hal ini- akan memperketat keamanan melalui sistem pengamanan yang berlapis di setiap perbatasan, bandara dan jalan lintas. Amerika Serikat Serikat juga akan terus mengembangkan praktek pengamanan dan peningkatan teknologi untuk mengurangi kemungkinan serangan dengan mencegah para teroris menyeberangi wilayah AS. Usaha ini akan mencakup peningkatan semua aspek keamanan penerbangan, mempromosikan perjalanan yang aman dan pemeriksanan identitas perjalanan serta menciptakan dan meningkatkan pertukaran informasi internasional untuk mengamankan perjalanan dan memerangi laju terorisme. c. Menjaga Target Potensial Sasaran Serangan. Para teroris tergolong orang yang oportunistik. Mereka mengeksploitasi target-target yang rawan diserang dan mencari alternatif target yang membuat pengamanan ditingkatkan. Sejak tragedi 11 Sepetember 2001 trend target mulai berubah dari yang sebelumnya hardened sites seperti kantor pemerintahan kepada softer targets seperti sekolah, restoran, tempat ibadah dan transportasi umum dimana warga tidak bersalah berkumpul dan tidak selalu mendapat pengamanan76. Target para teroris memang beragam, namun mereka cenderung 76 Ibid., p. 5. menyerang target yang telah dipilih, karena akan memberikan dampak yang lebih luas baik dalam ekonomi, kerusakan dan sebagainya. 2. Menghalangi Para Teroris Agar Tidak Mendapatkan Senjata Pemusnah Masal Jika senjata pemusnah masal berada ditangan para teroris, maka akan menjadi ancaman terbesar yang dihadapi dunia. Amerika Serikat Serikat sudah mengambil sikap agresif untuk mencegah agar kelompok teroris tidak memiliki akses terhadap materi-materi, perlengkapan dan industri senjata pemusnah masal, bahkan negara adi daya ini akan meningkatkan aktivitas penghalangan bagi kelompok teroris ini melalui sebuah usaha yang terintegrasi di setiap level pemerintahan, bekerja sama dengan partner untuk mengawasi ancaman baru ini. Tahun 2005, Presiden Bush menandatangai Executive Order 13382, yang membolehkan pemerintah AS untuk mem-blok alat pengayaan senjata pemusnah masal dan menangkap orang-orang yang menyediakan dukungan atau jasa bagi pengayaan senjata tersebut. Pada bulan juli 2006 pemerintah Amerika Serikat Serikat dan Rusia juga meluncurkan inisiatif global untuk memerangi nuklir milik teroris, inisiatif ini diluncurkan agar mampu membangun sebuah kerangka kerja internasional untuk meningkatkan kerja sama, dan melawan ancaman terorisme global77. Inisiatif ini akan sangat berguna untuk menciptakan fokus internasional guna memastikan bahwa setiap komunitas internasional akan berusaha semampunya untuk mencegah 77 Homeland Security Council, 9/11 Five years Later, p. 11. agar senjata nuklir, materi-materi dan pengetahuannya tidak sampai ke tangan para teroris. Terkhusus bagi pihak Amerika Serikat Serikat, negara ini memiliki pendekatan yang komprehensif terkait dengan senjata pemusnah masal78. • Menentukan dan memahami niat, kemampuan, dan rencana para teroris untuk mengembangkan atau mendapatkan senjata pemusnah masal. Amerika Serikat Serikat perlu memahami dan menilai kredibilitas laporan ancaman dan menyedian penilaian teknis terhadap kapabelitas senjata pemusnah masal para teroris • Mencegah akses para teroris terhadap bahan-bahan, keahlian dan hal lain yang membantu teroris dalam menciptakan senjata pemusnah masal. Amerika Serikat Serikat memiliki pendekatan yang agresif dan global untuk mencegah pihak musuh agar tidak mendapatkan akses kepada materi-materi, keahlian, metode transportasi, sumber dana dan hal lain yang memfasilitasi senjata pemusnah masal ini. • Menghalangi para teroris memanfaatkan senjata pemusnah masal. • Mendeteksi dan merusak gerakan dan usaha kelompok teroris untuk mendapatkan materi-materi senjata pemusnah masal • Mencegah dan merespon serangan teroris yang berhubungan dengan senjata pemusnah masal • MenDefinisikan/memahami latar belakang dan sumber peralatan sejata pemusnah masal para teroris 78 Ibid,, p. 11-12. Sejumlah langkah di atas menunjukkan bagaimana ketakutan Amerika Serikat khususnya terhadap penggunaan senjata pemusnah masal itu. Phobia ini sekaligus menjadi alasan tertulis serta retorika invansi Amerika Serikat Serikat ke wilayah Irak. Irak bagi Amerika Serikat adalah negara yang berbahaya, karena memiliki senjata pemusnah masal yang bisa digunakan kapan saja. Amerika Serikat juga berasumsi bahwa Irak memiliki kedekatan khusus dengan al-Qaida. Asumsi ini menjadi alasan penyerangan Amerika Serikat Serikat ke Wilayah Irak, meskipun belum ada bukti autentik apakah Irak memang memiliki senjata pemusnah masal itu atau tidak. Amerika Serikat tidak akan menunggu sampai bukti itu di dapatkan, karena di zaman seperti ini, tidak ada celah untuk membuat kesalahan. Tidak adanya bukti bukan berarti tidak adanya aktifitas senjata pemusnah masal. Guna mencegah terjadinya bencana di masa depan, maka tindakan preemption (penyerangan lebih dahulu) ini perlu dilakukan. 3. Menghalangi Teroris Mendapatkan Dukungan dan Perlindungan dari Negara Lain War on terrorism memang menghadapi kendala yang cukup banyak. Para teroris tetap mampu bertahan meskipun markas dan banyak pemimpinnya telah dibunuh atau ditangkap. Salah satu yang membuat perang ini semakin rumit adalah adanya dukungan baik berupa dana, fasilitas senjata maupun perlindungan dari negara lain. Amerika Serikat Serikat dan sekutu akhirnya tidak membedakan lagi antara siapa sesungguhnya pelaku teror dan siapa yang hanya mendukung dan melindungi kelompok teroris. Negara atau kelompok mana saja yang memilih untuk menjadi sekutu atau teman kelompok teroris secara otomatis telah menjadi lawan dari kebebasan dan keadilan. Dunia --dengan demikian- akan menghukum negara tersebut. Untuk mematahkan kerja sama antara kelompok teroris dengan negara sponsor tersebut, Amerika Serikat Serikat dan sekutu akan menghancurkan alur pendanaan dari negara kepada kelompok teroris sembari mengakhiri sponsor mereka terhadap teroris. a. Mengakhiri Sponsor terhadap Teroris. Sponsor negara merupakan hal penting bagi kelompok teroris, sponsor itu bisa dalam bentuk dana, senjata, latihan serta perlindungan. Beberapa negara sponsor disinyalir telah memiliki kemampuan untuk mengembangkan senjata pemusnah masal dan teknologi penghancur lainnya, yang bisa jatuh ke tangan para teroris. Amerika Serikat Serikat mendaftar lima negara yang dianggap sebagai sponsor utama kelompok teroris yaitu Iran, Syiria, Sudan, Korea utara dan Cuba. Amerika Serikat Serikat akan mengupayakan pemberian sanksi atas mereka dan mengusulkan agar negara tersebut diisolasi dari pergaulan internasional sampai mereka mengakhiri dukungannya terhadap kelompok teroris termasuk menyediakan perlindungan. Iran merupakan negara sponsor teroris yang paling aktif melalui Garda Revolusi Islam dan Kementerian Inteligen dan Keamanan. Teheran merencanakan operasi teroris dan mendukung kelompokkelompok seperti Hizbullah di Libanon, Hamas dan kelompok Jihad Islam di Palestina. Iran juga tidak mau menyerahkan pimpinan senior al- Qaida yang berada dalam tawanan Iran Tahun 200379. Dan yang paling menakutkan adalah senjata pemusnah masal yang muncul di Teheran. Untuk tujuan inilah, Amerika Serikat mendesak PBB sehingga keluarlah Resolusi 1747 yang melarang pengayaan uranium Iran sekaligus mengisolasi negara ini dari pergaulan internasional Syiria juga merupakan negara sponsor yang signifikan dan pantas mendapat perhatian. Pemerintahan di Damaskus mendukung dan menyediakan kemudahan bagi Hizbullah, Hamas dan Jihad Islam palestina. Amerika Serikat Serikat akan terus menentang kedua negara ini. b. Mengacaukan Aliran Bantuan dari Negara kepada Kelompok Teroris Sampai Amerika Serikat Serikat berhasil mengeliminasi sponsorship negara terhadap kegiatan teror, Amerika Serikat akan mengacaukan dan meniadakan aliran bantuan dari negara kepada kelompok teroris. Amerika Serikat akan terus menciptakan dan menguatkan kemauan internasional (international will) untuk menghalangi dukungan materi kepada kelompok teroris. Amerika Serikat akan membangun kerja sama internasional untuk mengisolasi negara sponsor secara finasial. Amerika Serikat serikat juga akan terus mengekspos kelompok dan peralatan yang digunakan negara untuk mendukung teman terorisnya. 4. Menghalangi Kontrol kelompok Teroris atas Sebuah Negara 79 Homeland Security Council, Strategies, p. 7. Kelompok teroris berusaha untuk mencari sebuah negara yang strategis sebagai tempat perlindungan dan persembunyian untuk merencanakan teror. Dari markas inilah mereka menghancurkan Timur Tengah, menyerang Amerika Serikat dan negara-negara lain. Dahulu para teroris pernah membangun markas di Afganistan, dan kemudian pindah ke Irak sebagai fron sentral untuk melawan Amerika Serikat. Amerika Serikat akan terus mencegah agar para teroris tidak menduduki wilayah-wilayah baru yang belum terjaga dan terdemokratisasikan. Berikut langkah-langkah konkret yang telah dan akan dilakukan Amerika Serikat Serikat80: • Di Afganistan dan Irak, Amerika Serikat bekerja untuk membangun kapasitas pemerintah untuk mengontrol dan menangkap kelompok teroris dan pemberontak • Di Afganistan, tentara nasional sudah meningkatkan kemampuan mereka dengan tambahan 26.000 personel terlatih dan dilengkapi dengan senjata, sehingga saat ini Afganistan telah memiliki 57.8000 personel terlatih • Dengan kerja sama bersama Eropa, Amerika Serikat memberi bantuan kepada Turki untuk menghilangkan dukungan materi dan finansial kepada kelompok pemberontak Kurdi • Di Indonesia, Amerika Serikat Serikat menyediakan latihan peningkatan kemampuan kepada seluruh personel kepolisian dan personel anti terror untuk meningkatkan kemampuan mendeteksi dan menghancurkan 80 Homeland Security Council, 9/11 Five years Later, p. 14-15. jaringan teroris. Usaha ini termasuk pengawasan terhadap pondokpondok pesantren • Di Filipina, Amerika Serikat membantu membangun Light Reaction Companies untuk melawan teroris di Mindanao, secara rutin juga melatih kepolisian nasional untuk melawan kelompok teroris di Pulau Jolo • Di Afganistan dan Kolombia, Amerika Serikat Serikat sudah meluncurkan kerja sama dengan tenaga militer, dalam menghilangkan pendanaan narkotik untuk kelompok pemberontak Inilah langkah-langkah yang diambil oleh pihak Amerika Serikat Serikat, namun di saat upaya di atas gagal, maka strategi pre emptive kembali dilaksanakan BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN WAR ON TERRORISM PRESIDEN BUSH Kampanye war on terrorism telah melahirkan ide-ide baru yang radikal. Ide radikal ini terlihat terutama dalam arah baru kebijakan luar negeri Amerika Serikat Serikat. Seperti yang ditulis di bab III bahwa mulai Tahun 1940-an Amerika Serikat Serikat menerapkan dua arah besar kebijakan luar negeri yaitu pengimbangan kekuatan lawan (deterrence) dan penyebaran ide liberal Strategi tersebut telah menghasilkan berkah kelembagaan dan kemitraan internasional yang luar biasa. Lahirnya NATO dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan sebagainya merupakan sebagian imbas positif kebijakan luar negeri tersebut. Amerika Serikat Serikat membangun koalisi kemitraan yang terlembagakan dan memperkuat stabilitas internasional. Amerika Serikat Serikat membuat kekuatannya aman bagi dunia dan sebagai balasannya dunia setuju untuk hidup di dalam sistem Amerika Serikat Serikat81. Namun ide-ide baru yang dijalankan Presiden Bush telah mengacaukan kondisi tersebut. Amerika Serikat Serikat mulai berambisi untuk menggunakan kekuatan politik dan militernya yang tak tertandingi untuk mengubah dan mengatur tatanan dunia. Amerika Serikat ingin memperluas pengaruhnya dari “setengah gelas” menjadi “satu gelas penuh”. Richard Haass, Direktur Perencanaan Kebijakan di Departemen Luar Negeri mengatakan bahwa tujuan utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat Serikat (saat ini) adalah mengintegrasikan negara dan organisasi lain ke dalam 81 G. John Ikenberry, “Ambisi Imperial AS” dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, Penerjemah Yusi A. Pareanom dan Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 439. kesepakatan yang menjaga sebuah dunia yang konsisten dengan kepentingan dan nilai-nilai Amerika Serikat Serikat82. Kebijakan baru Pemerintah Amerika Serikat Serikat di bawah pimpinan Presiden Goerge W. Bush ini (seperti yang dibahas di bab III) dengan berbagai sudut pandang bisa disebut sebagai tindakan imperial. Kesimpulan ini bisa dijelaskan melalui analisis berikut. A. War on Terrorism Menyimpang dari Kriteria Kebijakan yang Ideal Ada tiga kriteria ideal untuk sebuah kebijakan luar negeri. Tidak memenuhi ketiga kriteria ini akan melahirkan kebijakan yang tidak adil dan imperial 1. Limited goals. Memiliki tujuan yang jelas dan terbatas. Karakter kebijakan luar negeri Amerika Serikat Serikat sebelum tragedi WTC 2001 bisa disebut memenuhi kriteria limited goals ini, karena berpatokan pada gabungan kepentingan real politik dan idealisme moral83. Gabungan prinsip itu juga diwujudkan melalui isolasionisme serta menghindari penggunaan kekuatan militer. 2. Merepresentasikan kepentingan nasional. Setiap negara memang perlu memperhatikan kepentingan nasional di balik pengeluaran setiap kebijakan. Jika keterlibatan dalam sebuah isu atau pun aksi tidak berimplikasi positif terhadap kepentingan nasional, maka lebih baik tidak terlibat seutuhnya. Sebaliknya, sebuah negara akan menunjukkan progresivitas yang tinggi jika kebijakan yang dijalankan berkontribusi besar bagi kepentingan nasional. Kepentingan nasional yang dimaksud 82 Ibid., h. 438. Louis Janowski, “Neo-Imperialism and U.S. Foreign Policy” dalam Foreign Service Journal, May 2004, p. 55. 83 bisa dalam bentuk kepentingan politik --sebagai strategi mendapat self interest bagi negara kuat dan self preservation untuk negara lemah—atau kepentingan ekonomi 3. Mendapat dukungan internasional. Dukungan internasional merupakan kriteria terpenting, karena dengan adanya dukungan dari banyak pihak, maka apapun kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh sebuah negara tidak akan berdampak buruk bagi stabilitas internasional. Strategi baru Amerika Serikat Serikat jelas tidak memenuhi ketiga kriteria di atas. Untuk kategori limited goals misalnya, Amerika Serikat Serikat sesungguhnya tidak memiliki tujuan yang jelas dan konsisten dari awal memulai war on terrorism sampai detik ini. Tidak adanya tujuan yang jelas dan terbatas tersebut terlihat dari perubahan fokus yang sangat drastis dari isu terorisme al-Qaida kepada isu senjata pemusnah masal Irak. Padahal Irak tidak memiliki hubungan apa-apa dengan al-Qaida. Tidak hanya berhenti disitu, isu senjata pemusnah masal pun kemudian diganti lagi dengan isu perubahan rezim (regime change) dan selanjutnya dibumbuhi dengan isu yang lebih ambisius yaitu demokratisasi Irak dan Timur Tengah Selain absennya tujuan yang jelas dan terencana dari awal, Amerika Serikat Serikat juga tidak memiliki konsep serius terhadap upaya pembangunan wilayah-wilayah yang hancur pasca perang. Pembangunan kembali supra maupun infra struktur di negara-negara tersebut bukanlah persoalan mudah, apa lagi kalau dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Itulah mengapa, sampai saat ini Irak masih belum stabil baik dalam politik maupun keamanan. Realitas tersebut mengindikasikan kegagalan yang disadari oleh pihak Amerika Serikat Serikat. Ini jugalah yang menjadi alasan mengapa Amerika Serikat kemudian mulai memohon bantuan dari PBB dan negara lain untuk ikut serta membangun dan menstabilkan Irak. Fenomena ini turut memperlihatkan ambiguitas dan inkonsistensi sikap Amerika Serikat Serikat. Sedikit menoleh kebelakang, sesungguhnya invansi Amerika Serikat ke Irak dilakukan tanpa restu PBB dan negara-negara besar di Eropa. Amerika Serikat Serikat sama sekali tidak menggubris ajakan dan saran PBB maupun beberapa negara Eropa untuk tidak melakukan serangan militer. Namun, di saat Amerika Serikat mulai terdesak akibat dampak negatif invansi ini, di saat itulah negara Paman Syam ini menghargai eksistensi PBB dan negara lainnya tersebut84. Untuk kategori kepentingan nasional, tentu kebijakan war on terrorism memiliki dampak positif bagi Amerika Serikat, baik politik maupun ekonomi yang akan dibahas pada bagian selanjutnya. Namun, di sisi lain, intervensi Amerika Serikat Serikat ini akan membuat negara ini semakin rawan menjadi sasaran teror. Karena, pihak-pihak yang merasa terganggu dan tersakiti oleh perang Amerika Serikat akan berupaya memberi balasan serupa. Untuk kategori dukungan internasional, kebijakan luar negeri Amerika Serikat Serikat sangat kontroversial. Politik luar negeri Amerika Serikat Serikat beserta presidennya, George W. Bush, makin tidak dipercaya. Hal ini tercatat dalam opini publik tentang keterlibatan Amerika Serikat dalam beberapa konflik internasional85 84 Redaksi, “Bush Panik; AS Bakal Lirik PBB”, Kompas, 18 Maret 2004, h. 10. Steven Kull, Global Polling Data on Opinion of American Policies, Values And People (Subcommittee on International Organizations, Human Rights, and Oversight of the Committee on Foreign Affairs House of Representatives, 2007), p. 4. 85 Tabel 1 Opini Dunia terhadap Campur Tangan Amerika Serikat Data lain dari Survei internasional lembaga non partisan Pew Research Center juga menunjukkan bahwa dukungan terhadap Amerika Serikat makin turun sejak Tahun 2002. Itu terbukti dengan rendahnya dukungan publik atas invansi militer Amerika Serikat Serikat ke Irak dan Afghanistan serta kampanye war on terrorism yang terus didengungkan86. Tindakan tersebut justeru memperburuk citra Amerika Serikat di dunia internasional Hasil survei Pew Research menggambarkan fakta meluasnya perlawanan publik atas invasi Amerika Serikat ke Irak. Makin banyak orang termasuk di Amerika Serikat sendiri- yang meminta pasukan Amerika Serikat ditarik dari Irak, Ghana, Nigeria, dan Kenya. Presiden Pew, Andrew Kohut 86 “Bahkan oleh Negara-Negara Sekutu” pada http://www.mcclatch ydc.com/world/ story/17427. html. bahkan mengatakan bahwa berbagai pandangan (buruk) terhadap Amerika Serikat telah terakumulasi dari seluruh dunia, sehingga meningkatkan ketidaksetujuan atas kebijakan luar negerinya87. Kanada dan Meksiko juga tegas menolak untuk mendukung perang Amerika Serikat Serikat, sehingga membuat hubungan bilateral keduanya terganggu. Amerika Serikat juga tidak bisa meyakinkan negara-negara kecil yang merupakan anggota non-parlemen DK PBB seperti Anggola, Kamerun dan Guinea, meski mereka ditawari bantuan keuangan yang cukup signifikan88. Bahkan dalam sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh sebuah stasiun televisi di Inggris tersimpulkan bahwa rakyat di sana lebih menganggap Bush sebagai ancaman terhadap dunia dari pada Saddam Hussain89 Pada akhirnya, keterlibatan Amerika Serikat Serikat di sebuah wilayah bukan membawa kebaikan, namun makin memperumit konflik yang sudah ada. Inilah yang diopinikan oleh berbagai lapisan masyarakat di banyak negara90. Tabel 2 Pandangan Dunia terhadap Pengaruh Amerika Serikat 87 88 ibid Bara Hasibuan, “Bush Menentang Dunia”, Kompas, 21 Maret 2003, h. 4. 89 Ibid., h. 4. 90 Steven kull, Global Polling Data on Opinion of American Policies, p. 1. Tanpa memenuhi kriteria di atas, maka kebijakan luar negeri Amerika Serikat di bawah pimpinan Presiden Bush telah melenceng dari garis kepatutan. Inilah alasan mengapa muncul asumsi bahwa kebijakan war on terrorism AS adalah kebijakan yang imperial. Sebagaimana yang disebutkan pada BAB II, bahwa yang disebut sebagai imperialisme adalah sebuah usaha untuk mengubah status quo dan mendirikan tatanan baru. Maka Status quo dalam kasus ini adalah tatanan dunia yang mulai stabil di bawah kebijakan luar negeri Amerika Serikat Serikat yang bersifat isolasionisme dan diplomatik. Eksistensi Negara Irak dan Afganistan yang berdaulat juga merupakan status quo. Sedangkan perubahan status quonya adalah Amerika Serikat Serikat mengubah tatanan internasional yang sudah ada. Amerika Serikat juga menginvansi Irak dan Afganistan, menjadikan kedua negara ini sebagai wilayah pengaruh (imperium), sehingga berimplikasi panjang pada perubahan hubungan antar negara (timur-barat, Islam-barat dan negara maju-negara berkembang) Selanjutnya muncul pertanyaan, bukan kah perang ini adalah perang demi keadilan, kebebasan dan hak asasi manusia? Sehingga cara apapun yang digunakan bisa dibenarkan? Sebagian orang mungkin mengira bahwa kerusakan, kematian dan sebagainya hanyalah implikasi rasional dari sebuah perang, sehingga semuanya bisa dimaklumi, apa lagi kalau perang ini merupakan perang demi kemanusiaan. Sebagian orang juga mungkin menolak anggapan bahwa war on terrorism ini adalah tindakan imperialistik, dengan alasan bahwa intervensi dan penghancuran itu adalah demi menghilangkan terorisme. Namun pernahkah mereka berfikir, apakah perang ini (war on terrorism) benar-benar demi kemanusiaan, keadilan dan kebebasan? Apakah benar-benar ada perang demi keadilan, kebebasan dan kemanusiaan itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab dalam bagian berikutnya. B. War on terror adalah Propaganda Realisme Ekonomi dan Politik Dalam kampanyenya menuju kursi kepresidenan periode kemarin, Presiden Goerge W Bush menjabarkan pendekatannya terhadap kebijakan luar negeri sebagai “realisme baru”91. Realisme adalah faham yang berusaha melihat pola dan etika hubungan antar bangsa seperti apa adanya. Faham ini menekankan bahwa dalam hubungan antar bangsa itu tak ada kebajikan dan moralitas, satu-satunya hal yang ada adalah kepentingan. Ada dua faktor utama yang selalu mendorong ke arah realisme yaitu dorongan self preservation dan self interest. Self preservation adalah dorongan untuk selalu menyelamatkan diri, pola tindakan ini biasanya dilakukan oleh negara yang lemah supaya mereka tetap bertahan karena satu-satunya cara bertahan bagi yang lemah hanyalah dengan menggabungkan diri dan berteman dengan yang kuat. Dorongan kedua adalah dorongan self interest. Ini 91 G. John Ikenberry, “Ambisi imperial Amerika Serikat”, dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia: Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, h. 436. mengandaikan bahwa setiap tindakan dimotivasi untuk melangsungkan kepentingan pribadi. Self interest ini umumnya akan terlihat dalam pola tindakan negara yang kuat. Didasarkan pada dua dorongan utama ini, maka penganut aliran realisme meyakini bahwa satu-satunya norma dalam hubungan internasional adalah norma kekuatan. Adil, baik, dan patut diukur berdasarkan kekuatan. Hal itu pertama kali diungkapkan oleh Thucydides (sejarawan Yunani Kuno dan sekaligus pendiri aliran realisme) dalam bukunya The Peloponessian War. Dalam buku itu Thucydides menceritakan kembali dialog yang berlangsung antara Melos dan utusan Athena yang ingin menjajah negerinya. Dari percakapan itu terlihat bahwa satu-satunya motif Bangsa Athena untuk menjajah negeri Melos adalah karena mereka kuat. Kekuatan, bagi bangsa Athena, adalah segala-galanya. Keadilan hanya ada jika ada dua negara yang sama kuat (dalam kasus yang diungkapkan Thucydides adalah antara Athena dan Sparta), jika tidak sama kuat maka sangatlah tidak relevan untuk berbicara masalah keadilan dan moralitas, karena seperti dalam hukum rimba, sangatlah adil dan wajar jika yang kuat selalu menindas yang lemah sebagaimana harimau yang kuat selalu memangsa kijang yang lemah92. Itulah jawaban dari pertanyaan apakah perang AS adalah perang demi kemanusiaan dan itulah jawaban dari apakah perang demi kemanusiaan itu benar-benar ada. Berdasarkan paradigma realisme di atas, maka Penulis meyakini bahwa banyak motif kepentingan yang perlu ditelusuri di balik kebijakan war on 92 Thomas L Pangle dan Peter J. Ahrensdorf, Justice Among Nation; On the Moral Basis of Power and Peace (Kansas: University Press of Kansas, 1999), p. 14-15. terrorism tersebut. Rangkaian itulah yang kemudian menjadi justifikasi imperialisme terhadap kebijakan war on terrorism AS. Untuk itu perlu dipaparkan apa motif di balik semua kebijakan luar negeri ini. Motif; Mempertahankan Dunia yang Uni Polar Sejak berakhirnya perang dingin (cold war) dengan runtuhnya Uni Soviet tahun 1989, praktis dunia punya satu kutub kekuatan yang masih bertahan hingga sekarang yaitu Amerika Serikat Serikat. Secara otomatis juga Amerika Serikat Serikat berjalan tanpa pesaing baik dalam bidang ekonomi, teknologi maupun militer. Tidak adanya saingan bukanlah kondisi yang bagus bagi politik internasional. Karena karakter dasar dunia tanpa pesaing (unipolar) adalah tidak ada check and balance terhadap kekuasaan, sehingga sang pemegang kekuasaan bisa saja mengikuti imajinasi, dan bebas untuk bertindak sesukanya93. Tidak adanya penyeimbang kekuatan juga akan menimbulkan bahaya potensial bagi yang lain. Negara yang memiliki kekuatan besar bisa saja –dan Amerika Serikat Serikat melakukan itu- menganggap dirinya berbuat atas nama kedamaian, keadilan dan stabilitas dunia, yang boleh jadi bertentangan dengan pilihan dan kepentingan negara lain. Amerika Serikat Serikat tampaknya sangat menikmati posisi puncak ini. Dengan kekuatan Uni polar, Amerika Serikat bisa melakukan konspirasi, intervensi dan penolakan tanpa harus mempertimbangkan peraturan internasional. Dengan kekuatannya, Amerika Serikat bisa menentang pembentukan Criminal Court (Peradilan Kriminal) untuk mengadili tindak 93 Wawancara Harry Kreisler dengan Kanneth Walt dengan tema “Conversations with History” 10 Februari 2003 di UC. Berkeley, diakses dari http//en.wikipedia.org/wiki/Kenneth Waltz kejahatan internasional. Amerika Serikat menentang pembentukan peradilan ini karena takut tentaranya diadili di situ. Amerika Serikat sebagai negara penyumbang karbon terbesar di dunia yang berdampak pada pemanasan global, juga bisa menolak pelaksanaan Protocol Kyoto yang disepakati oleh negaranegara lain sebagai solusi guna mengurangi dampak pemanasan global tersebut. Penolakan ini dilakukan Amerika Serikat semata untuk melindungi kepentingan industri di negaranya. Bush membuat poin ini- menjaga dunia yang uni polar- sebagai bagian terpenting kebijakan keamanan dalam pidato sambutannya di West point Juni 2002. Amerika Serikat memiliki dan berniat untuk terus menjaga kekuatan militer yang melebihi “tantangan” yang ada, yang dengan demikian membuat perlombaan senjata yang meresahkan jadi tak berarti, membatasi persaingan dagang dan mengejar perdamaian dengan cara-cara yang lain94. Semangat untuk mempertahankan posisi penguasa tunggal ini sebetulnya sudah muncul pada masa pemerintahan Bush senior. Dalam sebuah pidato yang disusun oleh Asisten Menteri Pertahanan, Paul Wolfowits, dengan runtuhnya Uni Soviet, tulisnya, Amerika Serikat Serikat harus bertindak untuk mencegah bangkitnya pesaing-pesaing yang seimbang di Eropa dan Asia95. Namun dekade 1990 itu membuat ambisi ini bisa diperdebatkan. Akan tetapi, di tahun-tahun terakhir ini tujuan untuk mempertahankan kekuasaan unipolar tersebut menjadi sebuah tuntutan. Saat ini sudah mulai muncul kekuatan-kekuatan baru seperti Uni Eropa, Jepang dan Cina serta negara-negara berpenduduk muslim seperti Iran dan 94 G. John Ikenberry, “Ambisi imperial Amerika Serikat”, dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia: Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, h. 440. 95 Ibid., h. 441. Irak. Kemunculan negara-negara besar itu, mendesak dilakukannya penguatan negara demi mempertahankan kekuasaan yang uni polar. Eropa bukanlah masalah besar bagi Amerika Serikat Serikat, karena mereka (Amerika Serikat dan Eropa) berasal dari rumpun yang sama dan memiliki kedekatan kultural yang cukup lama. Lain hal Jepang dan Cina, meskipun memperlihatkan perkembangan ekonomi yang sangat cepat, namun belum bisa mengejar kemajuan Amerika Serikat Serikat dalam 20 tahun ke depan. Irak dan Iran adalah dua negara penghasil minyak yang besar di dunia, meskipun perkembangan ekonomi dan teknologinya masih di bawah dua saingan sebelumnya, kedua negara ini dianggap penting karena sangat dikenal sebagai negara Anti-Amerika Serikat dan pro teroris. Kedua negara ini juga berpotensi menguasai wilayah timur tengah yang nota bene adalah sumber minyak utama di dunia. Dengan menggunakan ise terorisme, Amerika Serikat Serikat akhirnya memiliki justifikasi untuk menghilangkan calon-calon pesaing besarnya di masa mendatang, dan yang dijadikan sasaran pertama adalah Irak. Irak memang memiliki kredit poin istimewa. Dengan menguasai Irak, Amerika Serikat sangat berpotensi menguasai dunia. Irak merupakan star poin yang sangat vital, karena dengan menguasai Irak, maka negara yang bersangkutan akan mendapat keuntungan politik dan ekonomi yang luar biasa. a. Keuntungan Politik. Ada lima alasan yang dikemukakan oleh tiga penasehat senior Bush (Cheney, Rumsfeld dan Wolfowitz) untuk melakukan intervensi militer ke Irak96 • Membersihkan kekacauan yang ditinggalkan pemerintahan Bush pertama Tahun 1991. Pemerintahan tersebut membiarkan Saddam Hussain mengkonsolidasikan kekuatan untuk membunuh orang-orang yang menentangnya97. • Untuk memperbaiki posisi strategis Israel dengan menyingkirkan seluruh permusuhan militer. • Menciptakan sebuah demokrasi yang bisa menjadi teladan bagi negara Arab. • Mengizinkan penarikan pasukan AS dari Arab Saudi (setelah 12 tahun) dimana mereka dikerahkan untuk menghadapi militer Irak yang merupakan sumber ancaman anti Amerika Serikat. • Menciptakan sumber minyak bagi pasar Amerika Serikat dan mengurangi ketergantungan akan pasokan minyak Arab Saudi yang suatu saat nanti mengalami keterpurukan. Dengan dikuasainya Irak, maka Amerika Serikat Serikat mendapat keuntungan politik sebagai berikut: • Bush junior berarti menuntaskan kerja Bush senior yang masih tertunda. Perang ini akan mengakhiri permusuhan kedua negara 96 Richard A Clarke, Menggempur Semua Musuh; di Balik Perang Amerika Serikat Melawan Teroris, (Against all enemies; inside America’s war n terror) Penerjemah Tim Sinergi (Jakarta: Sinergi Publishing, 2004), h 259. 97 Setelah perang Irak-Iran berakhir, Bush senior berencana menaklukkan Irak, namun rencana ini dibatalkan karena akan memakan cost politik dan ekonomi yang besar, selain itu Irak masih kuat karena sebelumnya banyak dibantu oleh Amerika Serikat baik dari aspek kemampuan inteligen, satelit, dana maupun senjata. • Menjadikan Irak sebagai salah satu wilayah pengaruh berarti mencegah kebangkitan peradaban besar lainnya di Irak98. • Dengan hilangnya pemerintahan status quo Irak, berarti Amerika Serikat telah menghilangkan “selsel” nya di masa lalu. Seperti yang ditulis di banyak artikel bahwa Afganistan dan Irak adalah “sel” yang dibina oleh Amerika Serikat. Sadam Hussain contohnya, memulai karirnya sebagai penjahat politik yang digaji oleh CIA dari Tahun 1950 sampai Tahun 1960. Saddam Hussain diperintahkan untuk membunuh nama-nama kelompok kiri Irak yang diberikan oleh CIA99. Tahun 1980 Amerika Serikat Serikat juga menyediakan senjata, inteligen, data satelit dan dana kepada Irak untuk menyerang Iran selama perang 8 tahun. Serikat Dengan menguasai wilayah-wilayah bekas binaan, Amerika bisa mengontrol dan mengantisipasi gejolak-gejolak pemberontakan, sehingga Amerika Serikat akan menjadi lebih aman. • Menaklukkan Irak juga akan membantu memperkuat posisi Israel di Timur Tengah. Oleh karena Irak merupakan salah satu negara yang cukup keras menantang dan memberi perlawanan terhadap Israel. Keinginan Amerika Serikat untuk memanfaatkan isu terorisme guna menyerang Irak sebetulnya sudah dicurigai oleh negara-negara Eropa yang memang menentang invansi Amerika Serikat Serikat ke Irak. Sekutusekutu Amerika Serikat Serikat prihatin bahwa Amerika Serikat Serikat menggunakan kesempatan ini untuk menyerang Irak, sehingga sebuah 98 Irak merupakan tempat lahirnya dua era peradaban besar. Peradaban Mesopotamia di masa sebelum masehi dan peradaban Islam di era Dinasti Abbasiyyah. Irak menjadi kiblat peradaban dan pengetahuan yang mengispirasi barat. 99 David Michael Green, “What Every American Should Know about Irak” pada mailto:dmg@regressi veantidote. net. kelompok yang terdiri dari kepala negara dari Uni Eropa menekankan kepada Amerika Serikat untuk melakukannya secara proporsional100 Perang Amerika Serikat atas Irak ini dapat menjadi awal imperial over stretch. Selain asalan-alasan di atas, ada beberapa indikasi mengapa tindakan Amerika Serikat Serikat tersebut dinilai sebagai serangan yang tidak pantas yang pada akhirnya dinilai sebagai sebuah upaya untuk mempertahankan dunia yang uni polar adalah: • Kesalahan mengaitkan isu al-Qaida dengan Irak. Irak diperangi karena alasan terorisme; bahwa al-Qaida memiliki hubungan yang dekat dengan Irak. Kalau dicermati, Sadam Hussain dan Usamah bin Laden – meskipun sama-sama anti Amerika Serikat-- memiliki asas dan pemikiran yang sangat berbeda. Saddam Hussain adalah seorang sosialis sekuler yang tidak terobsesi dengan pemerintahan Islam, sedangkan Usamah adalah pemimpin al-Qaida yang anti terhadap Amerika Serikat Serikat, sekutu dan para pemimpin Islam yang dianggap kafir atau tidak Islami. Keduanya juga merupakan ideolog yang kuat dan konsisten. Sehingga cukup mustahil jika kedua spektrum yang bertolak belakang ini bisa bekerjasama. Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair juga mengakui bahwa ia tidak mengetahi adanya bukti yang secara langsung menghubungkan al-Qaida dan Irak serta aksi teroris di Inggris101. Hal ini turut dibenarkan oleh Louis Janowski, it is wrong to relate al-Qaida and Ba’at Irak, because both have 100 Stephen M Walt, “Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Serikat” dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, Penerjemah Yusi A. Pareanom dan Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 373. 101 Redaksi, “Blair lihat Hubungan al-Qaida dan Irak”, Kompas, 22 Januari 2003, h. 3. different spectrum. It is wrong either to link Iran and Irak and North Korea102. Amerika Serikat menganggap bahwa Irak dan al-Qaida akan bergabung dalam sebuah usaha menciptakan sebuah kekhalifahan di muka bumi103. Kalau pun asumsi Amerika Serikat itu benar adanya, lagi-lagi ini menunjukkan ketakutan Amerika Serikat Serikat akan munculnya kekuatan baru di dunia. • Inkonsistensi tujuan. Semula disebutkan bahwa perang hanya untuk melucuti senjata pemusnah masal kepunyaan Saddam Hussain. Bush lalu melangkah lebih jauh dan mengatakan tujuan perang adalah regime change (perubahan rezim). Setelah itu diungkapkan lagi tujuan yang amat ambisius, yaitu perang demi menanamkan demokrasi bukan hanya di Irak tapi juga di seluruh Timur Tengah Jika memang betul tujuannya adalah melucuti senjata, apakah perlu serangan militer? Apakah tidak cukup dengan pendekatan inspeksi? Dan kalau pun Irak memilki senjata itu, apakah ada bukti bahwa senjata itu akan digunakan untuk menyerang Amerika Serikat Serikat dan sekutu? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sangat sulit dijawab secara konkret. • Amerika Serikat tidak bisa membuktikan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah masal yang berbahaya bagi dunia. Laporan CIA (Irak Survey Group) Tahun 2003 menyimpulkan bahwa setelah ahli persenjataan melakukan pencarian intensif selama berbulan-bulan di Irak, ternyata 102 Louis Janowski, “Neo-Imperialism and U.S. Foreign Policy” dalam Foreign Service Journal, p. 55. 103 National Security Council, Highlights of the Irak Strategy Review, January 2007, p. 1. tidak ditemukan bukti adanya senjata pemusnah masal104 Tanpa adanya bukti, Amerika Serikat tetap melakukan penyerangan dengan mengabaikan hukum internasional. • Amerika Serikat Serikat lebih tertarik kepada isu Irak dari pada ise alQaida. Ini membuktikan bahwa terorisme hanya dijadikan sebagai alat propaganda belaka (seperti yang disinyalir Uni Eropa di atas). Kalau memang kebijakan war on terrorism konsisten dengan latar belakang lahirnya kebijakan tersebut, maka seharusnya pemburuan kelompok teroris selalu menjadi prioritas, karena kelompok teroris yang didaftar oleh Amerika Serikat Serikat bukan hanya al-Qaida, namun juga Jamaah Islamiyah, Hamas, Hizbullah dan sebagainya. Benar lah apa yang dikatakan Kenneth Walt bahwa kekuatan uni polar mengakibatkan tidak akan ada check and balance yang membuat negara tersebut bisa bekerja sesuai imajinasi dan prasangka belaka. b. Keuntungan Ekonomi Invansi Amerika Serikat Serikat ke wilayah Irak memang sangat menarik untuk ditelusuri. Irak merupakan negara yang strategis. Dengan menguasai Irak, selain mendapatkan keuntungan politik seperti disebutkan di atas, juga akan mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar bagi Amerika Serikat Serikat. Irak merupakan negara sumber minyak terbesar kedua di dunia, dilaporkan terdapat sekitar 112, 5 milyar barel minyak mentah di Irak, atau 11 persen jumlah total minyal dunia. Namun banyak ahli menyakini bahwa 104 Myrna Ratna, “Bush, Irak dan Terorisme”, Kompas, 28 September 2003, h. 3. Irak masih memiliki sumber minyak lain yang belum ditemukan yang bisa mencapai 250 milyar barel105. Ada tiga faktor yang membuat minyak Irak menjadi sangat istimewa106: • Kualitas tinggi. Minyak Irak memiliki kualitas tinggi karena minyak Irak memiliki unsur kimia yang menarik, mengandung karbon yang tinggi dan rendah sulfur serta berkilau yang sangat cocok untuk dikembangkan menjadi produk bernilai tinggi. • Memiliki suplai yang sangat Banyak. Minyak Irak sangat berlimpah. Tahun 2002 tercatat 112.5 milyar barel, atau sekitar 11% jumlah total minyak dunia. Sejak nasionalisasi industri Tahun 1972 minyak Irak masih kurang tereksplorasi. Para pakar yakin bahwa Irak memiliki potensi sumber minyak di atas 200 milyar barel. Bahkan Departemen Energi Amerika Serikat mengatakan bahwa Irak memiliki sumber minyak mencapai sekitar 400 milyar barel. “Irak memiliki 112 milyar barel seperti yang telah dilaporkan, sebuah negara penghasil minyak terbesar di dunia setelah Arab Saudi. Potensi minyak Irak mungkin lebih besar dari pada ini, sesungguhnya negara ini belum dieksplorasi dikarenakan perang dan sanksi. Di daerah barat gurun misalnya terdapat sekitar 100 milyar barel yang belum dieksplorasi”107. • Sangat rendah biaya produksi sehingga mempertinggi keuntungan minyak per barel. Departemen Energi Amerika Serikat Serikat menegaskan bahwa produksi minyak Irak minyak merupakan yang 105 James A. Paul, “Irak: the Struggle for Oil”, Global Policy Forum, August 2002 (direvisi Desember, 2002) 106 James A. Paul, “Oil in Irak: the heart of the Crisis”, Global Policy Forum, Desember, 2002. 107 http://www.eia.doe.gov/emeu/cabs/Irak.html. paling rendah di dunia, sehingga menjadikan daerah ini sebagai sumber yang sangat prospektif. Minyak Irak terdapat di tanah-tanah lapang yang tidak membutuhkan penggalian sumur yang dalam, minyak Irak pun sangat mudah naik ke permukaan karena adanya dorongan oleh air yang bercampur gas alam. Faktor di atas melatar belakangi ketertarikan para pemilik perusahaan minyak untuk selalu berharap mendapatkan izin produksi di wilayah tersebut dengan harapan keuntungan ratusan milyar dolar AS. Dalam 10-15 tahun lagi diperkirakan minyak Irak akan menjadi suplai energi paling penting. Sehingga para pakar industri mengatakan bahwa tidak ada satu perusahaan minyak pun di dunia ini yang tidak tertarik kepada Irak108. Pertarungan negara-negara di masa lalu cukup menjadi pembenaran terhadap fenomena ini. Ada lima perusahaan besar yang mendominasi industri minyak dunia (Exxon Mobil (AS), BP Amoco (UK), Royal Dutch Shell (UK), and Chevron Texaco (US). France’s TotalElfFina. Dua diantaranya berbasis di Amerika Serikat, dua lagi berbasis di Inggris dan satu di Perancis. Exxon Mobil yang berbasis di Amerika Serikat merupakan perusahaan minyak terbesar di dunia. Dengan demikian, Amerika Serikat secara otomatis berada di peringkat pertama dalam urutan sektor perusahaan minyak, Inggris ke dua dan Perancis ketiga. Mengingat bahwa Amerika Serikat dan Inggris adalah dua urutan pertama negara dengan perusahaan minyak terbesar, maka kita 108 James A. Paul, “Irak: the Struggle for Oil”, Global Policy Forum. tidak bisa mengenyampingkan kemungkinan rasional antara kebijakan mereka dengan kepentingan perusahaan109. Perusahaan Amerika Serikat dan Inggris pernah menguasai tiga perempat produksi minyak Irak, namun karena ada nasionalisasi Tahun 1972, maka dominasi ini berakhir. Dengan momentum yang tersedia saat ini, perusahaan Amerika Serikat dan Inggris kembali berhasrat untuk mendapatkan posisi lama yang mereka anggap sangat penting bagi masa depan industri di negara masing-masing. Minyak merupakan sumber persoalan yang memicu perang Amerika Serikat terhadap Irak. Lebih dari ratusan tahun, kekuatan-kekutan besar telah bertarung untuk mendapatkan sumber harta dan kekuasaan strategis ini. Perusahaan minyak terbesar di dunia yang bermarkas di Amerika Serikat dan Inggris berusaha untuk mendapatkan kembali dominasinya di Irak setelah nasioalisasi tahun 1972. We will review all these agreements, definitely," said Faisal Qaragholi to a Washington Post reporter in September. Quaragholi is a petroleum engineer who directs the London office of the Iraki National Congress (INC), an umbrella organization of opposition groups that is backed by the United States. "Our oil policies should be decided by a government in Irak elected by the people.110" Perkiraan keuntungan dari minyak Irak Setelah perang Irak Tahun 2003, Amerika Serikat Serikat dan Inggris mendapat akses istimewa terhadap sumber minyak Irak. Exxon, BP, Shell dan Chevron sekarang mendapatkan bagian di tempat yang paling 109 110 Ibid,. James A. Paul, “Irak: the Struggle for Oil”, Global Policy Forum. menguntungkan di dunia111. Berikut perkiraan keuntungan yang bisa didapatkan oleh perusahaan minyak Amerika Serikat dan Inggris Table 3 Potensi dan Keuntangan Minyak Irak “Oil reserves” merupakan perkiraan yang diberikan oleh para pakar industri dan yang dipublikasikan di Departemen Energi Amerika Serikat Serikat. “Oil Rent Average” adalah keuntungan dari selisih harga produksi (1 dolar per barel) dengan harga minyak di pasar internasional. “Recovery Rate” adalah persentasi sumber minyak yang telah dibawa ke permukaan. “Rent Appropriated by Private Companies” merupakan perkiraan banyaknya persentase keuntungan yang diperoleh perusahan minyak setelah dibagi dengan pihak pemerintah setempat. Table dua menunjukkan empat variable untuk memperkirakan keuntungan bagi perusahaan minyak. Table 4112 Perkiraan Keuntungan 111 James A. Paul, “The Irak Oil Bonanza: Estimating Future Profits”, Global Policy Forum, Januari 2004. 112 Ibid,. Analisis serupa menyebutkan, harga minyak memang sangat fluktuatif, sehingga pembicaraan mengenai harga minyak harus dimulai dengan melihat rata-rata harga minyak dalam interval waktu yang cukup lama. Kita perkirakan saja harganya 25 dolar per barel (meskipun saat ini hampir mencapai 100 dolar per barel). Kita akan menaksir bahwa minyak Irak berjumlah 250 milyar barel (ini penghitungan minimal) dan tingkat recovery sekitar 50%. Dalam kondisi seperti itu minyak Irak akan bernilai 3,125 triliun dolar. Biaya produksi diperkirakan 1,5 dolar per barel, total biaya produksi berarti 188 milyar. Dengan demikian masih tersisi 2,937 triliun dolar. Kalau diperkirakan eksplorasi ini berjalan dalam 50 tahun. Setelah di bagi 50-50 dengan pemerintah, maka perusahaan minyak akan mendapat keuntungan bersih sekitar 29 milyar dolar pertahun113. Sungguh merupakan pencapaian yang besar. Analisis minyak percaya bahwa kontrol Amerika Serikat atas Pemerintah Irak akan menghasilkan kesepakatan privatisasi produksi. Kesepakatan itu, akan disepakati dengan dalih bahwa hanya perusahaanperusahaan ini yang akan mengembalikan kesejahteraan Irak pasca perang guna mendapatkan obat-obatan, bahan pokok dan sebagainya. Biaya itu bisa 113 James A. Paul, “Oil in Irak: the Heart of the Crisis”, Global Policy Forum. didapatkan dari bagi hasil privatisasi produksi minyak antara pemerintah dengan perusahaan-perusahaan luar. Sebelumnya Irak berhasil memproduksi 8 juta barel minyak perhari, kalau minyak di Irak digarap oleh perusahaan internasional, maka rataratanya akan naik secara drastis. Kalau hal ini memang terjadi, OPEC pun akan kesulitan bahkan melemah dengan keluarnya Irak yang selama ini menjadi salah satu produsen kunci dalam sistem kuota OPEC. Fenomena itu selanjutnya akan menekan produsen besar minyak lainnya seperti Kuwait, Iran, Arab Saudi dan Venezuela untuk men-denasionalisasi perusahaan minyaknya dan memberikan peluang kepada perusahaan minyak Amerika Serikat dan Inggris untuk bekerja sama meningkatkan profit di daerah itu. Di luar semua itu, dengan menguasai minyak Irak, maka semua negara yang bergantung pada minyak Irak akan berada dalam kontrol Amerika Serikat Serikat. Sebuah negara seperti Jepang yang 60 persen kebutuhan minyaknya berasal dari Teluk Persia (Irak) akan dihadapkan pada kenyataan bahwa pesaing utamanya dalam bidang ekonomi (Amerika Serikat) akan memegang kendali langsung atas pengiriman minyak yang amat dibutuhkannya. AS sebagai kekuatan politik utama dunia saat ini tibatiba berpeluang menggunakan keperkasaan politik untuk mengontrol ekonomi dunia. Selain media AS yang tampaknya tabu membicarakan hal ini, banyak media di mancanegara percaya, invasi AS ke Irak bukan berkait senjata pemusnah massal, tetapi perang untuk memperoleh kendali atas minyak. Fakta ini didukung oleh keterlibatan Australia di Irak yang memang hanya dilatar belakangi oleh keinginan mendapat daerah pemasok minyak bumi tersebut. Menteri Pertahanan Australia Brendan Nelson – diketahui oleh John Howard, Perdana Menteri saat itu- mengakui bahwa menjamin pasok minyak adalah alasan utama di belakang keberadaan pasukan Australia di Irak. Dia mengatakan, menjaga "keamanan sumber" di Timur Tengah adalah prioritas. "Sudah jelas Timur Tengah sendiri, dan tidak hanya khusus Irak namun seluruh kawasan, adalah pemasok energi yang penting, khususnya minyak, bagi seluruh dunia. Rakyat Australia dan kita semua harus memikirkan apa yang akan terjadi jika pasukan ditarik lebih cepat dari Irak. Ini adalah kepentingan kita, kepentingan dalam hal keamanan, untuk memastikan kita keluar dari Timur Tengah, dan khususnya dari Irak, dalam posisi yang aman”114 Australia terlibat dalam invasi ke Irak pada tahun 2003, dan memiliki sekitar 1.500 personil angkatan bersenjata yang masih bertugas di kawasan itu. Pemerintah negara Australia tidak memiliki rencana untuk menarik pasukan dalam waktu dekat pasca invansi Amerika Serikat. Dalam komentar yang dia sampaikan kepada Australian Broadcasting Corporation (ABC), dia mengakui bahwa pasok minyak mempengaruhi perencanaan strategis Australia di kawasan tersebut115. Penguasaan atas Irak dengan demikian akan mengukuhkan posisi Amerika Serikat Serikat sebagai penguasa tunggal dunia. Dengan menguasai Irak, secara otomatis akan melemahkan Jepang dan Eropa yang sumber energinya berasal dari Irak. 114 BBC, “Australia 'Has Irak Oil Interest'”, 5 Juli 2007. Lihat juga James Paul, “Confidential Document on Irak Oil Lobbying”, Global Policy Forum, 14 Juli 2006. 115 BBC, “Australia 'Has Irak Oil Interest'”. C. War on terror Membawa Tindakan-tindakan yang Tidak Proporsional a. Membongkar Makna Kedaulatan Kedaulatan (sovereignty) merupakan ruh dalam sebuah bangsa. Tanpa kedaulatan maka tidak mungkin ada negara. Menurut Jacobson dan Lipman kedaulatan memiliki empat unsur116: Pertama, absolute. Tidak ada kekuasaan legal dalam sebuah negara yang lebih tinggi dari pada kekuatan kedaulatan. Kedua, universal, maksudnya kekuatan kedaulatan ini mencakup semua orang dan setiap asosiasi di dalam negara tanpa terkecuali. Ketiga permanen, selama negara itu masih ada, maka kedaulatan juga akan tetap eksis meskipun banyak terjadi perubahan dalam pemerintahan. Keempat, tidak terbagi, hanya boleh ada satu kedaulatan dalam suatu negara. Kemudian dalam pelaksaan mandat kedaulatan ini bisa didistribusikan ke berbagai organ pemerintahan, namun kedaulatan itu tetap satu. Membaginya berarti juga menghancurkannya. Dalam hubungan internasional, satu negara wajib menghormati kedaulatan negara lain, selama negara itu masih ada, berarti negara tersebut masih memiliki kedaulatan untuk dihormati. Amerika Serikat Serikat dalam proses war on terrorism membongkar dan menyusun ulang pengertian kedaulatan ini sebagai implikasi doktrin keamanan baru117. Sebuah negara akan kehilangan kedaulatan bukan lagi karena negara itu memang hancur atau hilang. 116 Jacobson and Lipman, An Outline of Political Science (New York: Barnes and Noble, 1951), p. 34. 117 Trias Kuncahyono, “Terorisme dan Ambisi Neo-Imperialisme AS”, Kompas, 11 September 2002, h. 30. Amerika Serikat memahami negara-negara yang menjadi sarang teroris, baik karena persetujuan maupun karena tidak mampu memerangi teroris secara efektif telah mengorbankan kedaulatan mereka, sehingga kedaulatannya bisa diambil oleh negara lain. Richard Haass, Direktur Perencanaan Kebijakan di Departemen Luar Negeri, mengungkapkan dalam the New Yorker Apa yang anda lihat dalam pemerintahan ini adalah munculnya sebuah prinsip atau sejumlah gagasan baru…tentang apa yang mungkin anda sebut batas-batas kedaulatan. Kedaulatan menuntut adanya kewajiban. Salah satunya adalah tidak membantai rakyat sendiri. Yang lain adalah tidak mendukung terorisme dalam cara apa pun. Jika sebuah pemerintahan gagal memenuhi kewajibankewajiban ini, maka ia mengorbankan sebagian keuntungan lazim dari kedaulatan, temasuk hak untuk dibiarkan sendiri di dalam wilayah sendiri. Pemerintahan-pemerintahan yang lain, termasuk Amerika Serikat Serikat, mendapat hak untuk campur tangan. Dalam kasus terorisme, hal ini bahkan bisa mengarah pada tindakan preventif, .pertahanan diri118. Pembongkaran makna kedaulatan ini bukan sekedar wacana politik demi mendapatkan dukungan internasional. Wacana ini lebih merupakan pembenaran teoritis terhadap invansi yang telah dilakukan Amerika Serikat Serikat ke Irak dan Afganistan serta negara-negara target berikutnya. Tindakan Amerika Serikat Serikat ini sangat berbahaya apalagi kalau dicontoh oleh negara-negara kuat lainnya. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana mungkin satu negara menyerang negara lain hanya karena alasan antisipatif. Formulasi defenisi baru ini sungguh mengancam keamanan internasional 118 G. John Ikenberry, “Ambisi Imperial AS”, dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, h. 443-444. Pemahaman baru tentang kedaulatan ini bukan lahir dari pengkajian ilmiah yang mendalam oleh para pakar kenegaraan. Inilah salah satu faktor utama mengapa Amerika Serikat semakin tidak popular di muka internasional. Dengan justifikasi tersebut, agenda war on terrorism kemudian bisa dilanjutkan ke tahapan baru yaitu menyerang sebelum diserang (pre emptive). b. Kebijakan Pre emptive Pre emptive adalah kebijakan menyerang sebelum mendapat serangan. Strategi bertahan gaya lama dengan membangun peluru kendali yang bisa menangkal serangan dan bisa digunakan untuk serangan balasan guna menghukum si penyerang tak lagi menjamin keamanan. Maka satusatunya pilihan adalah menyerang. Tanpa ancaman yang nyata pun Amerika Serikat kini menyatakan bahwa dia memiliki hak untuk menggunakan kekuatan militer terlebih dahulu atau preventif. Rumsfeld melakukan pembenaran terhadap opsi menyerang terlebih dahulu ini dengan mengatakan bahwa, ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tahu, ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tidak tahu. Namun ada juga halhal yang kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu. Setiap tahun kita, kita menjumpai sedikit lagi ketidaktahuan-ketidaktahuan ini119. Bagi Amerika Serikat Serikat, ketiadaan bukti (baik dalam kasus terorisme maupun senjata pemusnah masal) bukan berarti bahwa aksi itu tidak ada. Di zaman sekarang, tidak boleh ada kesalahan sedikit pun karena kesalahan itu bisa menyesangsarakan dunia. Untuk itu, tidak cukup hanya 119 Ibid., h. 441. dengan menungu dan membalas serangan musuh, Amerika Serikat harus menyerang. Menurut penulis, rasionalisasi pre-emptive ini lahir akibat euforia kekuasaan tunggal dunia. Tidak adanya kekuatan penyeimbang membuat tidak adanya check and balance atas penguasa utama dunia. Sehingga sang penguasa bebas bertindak sesuai asumsi dan prasangkanya untuk mendapatkan kepentingan yang telah direncanakan. Bagaimana bisa kita membenarkan tindakan satu pihak menyerang pihak lain tanpa bukti dan hanya demi antisipasi. Namun, Amerika Serikat bisa melakukannya meskipun mendapat kecaman dari berbagai pihak. Inilah tindakan imperial yang harus dikoreksi. c. Tanpa Penghormatan terhadap Peraturan Internasional “Powers tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely”. Pepatah ini sangat cocok menggambarkan kondisi Amerika Serikat Serikat terkait dengan penggunaan kekuasaannya. Dalam kampanye war on terrorism, cukup banyak peraturan internasional yang dilanggar oleh Amerika Serikat Serikat. Pendekatanpendekatan yang dilakukan Amerika Serikat dinilai telah mengabaikan norma-norma internasional mengenai pembelaan diri dalam pasal 51 Piagam PBB120 120 Ibid.,, h. 442. Piagam PBB di atas dikeluarkan untuk dipatuhi bersama. Pada beberapa kasus, Piagam PBB ini bisa menjadi landasan pemberian sanksi terhadap negara-negara yang melanggar. Sebut saja pada Tahun 1981 di saat Israel membom reaktor nuklir Irak di OsIrak. Israel menganggap tindakannya ini sebagai tindakan pembelaan diri, namun dunia mengutuknya sebagai tindakan agresi. Bahkan Perdana Menteri Margaret Thatcher dan duta besar Amerika Serikat Serikat untuk PBB, Jaene Kirkpatrik, mengecam tindakan ini dan Amerika Serikat Serikat ikut meloloskan sebuah resolusi PBB dan mengutuknya121 Namun pasal 51 Piagam PBB ini tak bisa berbuat apa-apa terhadap Amerika Serikat Serikat yang melakukan tindakan yang sama seperti yang dilakukan Israel. Selain piagam PBB, Amerika Serikat juga dianggap melecehkan hukum internasional. Dalam laporan tahunan yang diumumkan bulan Mei 2003, Amnesty Internasional menyatakan, perang melawan terorisme yang dicanangkan Amerika Serikat Serikat merupakan pelecehan terhadap hukum internasional122 . Ratusan tahanan yang berasal dari perang Afganistan dan berbagai operasi lain yang digelar sejak peristiwa 11 September 2001 mengaku diabaikan hak-hak mereka yang sesungguhnya diakui oleh hukum internasional. Lebih dari 600 warga negara asing (sebagian besar dari Afganistan) ditahan di Guantanamo tanpa adanya tuntutan resmi, tanpa proses pengadilan dan tanpa akses kepada penasehat hukum maupun kepada keluarga mereka. Menurut Amnesty Internasional terdapat sekitar 1.200 121 Ibid.,, h. 443. Amnesty International, “Perang AS Melawan Terorisme Lecehkan Hukum Internasional”, Kompas, 2 Juni 2003, h. 34. 122 warga negara asing, sebagian besar muslim yang ditangkap setelah peristiwa bom WTC. Lebih dari 700 diantaranya ditahan karena pelanggaran hukum biasa dan sebagian lagi karena pelanggaran peraturan keimigrasian Sampai akhir Tahun 2002 sebagian besar di antara mereka yang terjaring dalam operasi sweeping dibebaskan atau dideportasi atau dituntut telah melakukan kejahatan yang tidak punya sangkut pautnya dengan peristiwa 11 September atau aksi terorisme. Laporan Amnesty International juga menyebutkan adanya perlakuan yang tidak semestinya terhadap para tahanan, seperti penyiksaan, pembunuhan serta penggunaan kekerasan secara berlebihan. Tercatat sedikitnya tiga orang tewas setelah mengalami penyiksaan yang dilakukan dengan menggunaan alat pelumpuh listrik bertegangan tinggi yang dikembangkan oleh badan kepolisian. Amnesty Internasional juga mengkritik masalah eksekusi. Sejumlah 69 laki-laki dan 2 perempuan telah dieksekusi pada tahun 2002123. Sebanyak 820 orang dihukum mati. Amerika Serikat Serikat menurut Amnesty International selalu melanggar standarstandar internasional tentang menjatuhkan hukuman. Ini juga merupakan misteri politik internasional yang sangat tidak adil. Bagaimana mungkin sebuah negara bisa melepaskan diri dari ikatan internasional dan melakukan sejumlah pelanggaran, namun bebas dari sanksi internasional. 123 Ibid., h. 34. Sekali lagi ini merupakan dampak dari absennya kekuatan check and balance dalam dunia internasional. Amerika Serikat berupaya mempertahankan dunia unipolar yang tidak adil ini. D. War on terror Membuat Dunia Semakin Tidak Aman Kebijakan war on terrorism Amerika Serikat Serikat menyisakan dampak yang cukup serius. Dampak tersebut bisa diukur dari jumlah dan kualitas kerusakan yang diakibatkan perang. Dari segi korban dan kerusakan, sungguh sulit menghitung berapa jumlah faktual korban yang tewas akibat perang ini baik dari pihak militer Amerika Serikat, sekutu, pihak teroris ataupun pihak sipil. Tidak kurang telah tercatat 500.000 anak-anak serta 3.550 orang pasukan Amerika Serikat tewas124. Kalau dibandingkan baik kualitas maupun kuantitas antara korban aksi terorisme dengan korban akibat kampanye perang melawan terorisme ala Amerika Serikat, tentu jumlah di atas jauh lebih besar dari apa yang bisa dilakukan oleh kelompok teroris. Kampanye war on terorism tidak hanya menewaskan ratusan ribu orang. Kebijakan war on terrorism juga telah menghancurkan peradaban masyarakat. Irak dan Afganistan, merupakan dua negara yang telah memiliki akar budaya yang bersejarah. Irak misalnya, merupakan negara pewaris dua peradaban besar yang pernah ada di dunia (Mesopotamia dan dinasti abbasiyah). 124 David Michael Green, “What Every American Should Know about Irak” pada mailto:dmg@regressi veantidote. net. Kalau memang pluralitas dan hak asasi manusia adalah nilai universal yang perlu dihormati setiap negara, maka sepatutnya war on terrorism pun hendaknya mencerminkan penghormatan tersebut. Akan tetapi, nilai-nilai esensi demokrasi di atas, tidak menjadi pedoman Amerika Serikat Serikat dalam memenangkan perang melawan terorisme125. Tidak hanya di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, implikasi war on terrorism juga terasa sampai ke Asia Tenggara. Amerika Serikat Serikat sebagai “bapak” negara-negara berkembang di Asia Tenggara memerintahkan kepada negara “asuhannya” untuk mewaspadai segmen tertentu dalam masyarakat, terkhusus muslim. Tidak jarang ajakan ini berujung pada perubahan perlakuan negara se tempat terhadap kelompok muslim, mulai dari pengusiran, penangkapan maupun perlakuan sebagai warga negara kelas dua126. Kondisi yang terus berlangsung selama berbulan bahkan bertahuntahun ini menimbulkan efek psikologis yang dalam bagi masyarakat di daerah konflik khususnya dan masyarakat dunia umumnya. Selain efek ketakutan karena bisa menjadi korban kapan saja, perang ini juga menimbulkan dendam yang besar di kalangan kelompok tertentu terhadap Amerika Serikat khususnya serta peradaban barat umumnya. Untuk selanjutnya dendam ini menjadi embrio munculnya gerakan radikal yang bertujuan untuk balas dendam. Perang ini ternyata tidak menyelesaikan persoalan, tapi malah memperlebar persoalan. Bahkan 125 Selain laporan yang diberikan oleh Amnesty Internasional pada bagian terdahulu, Amerika Serikat Serikat tidak lagi menjadikan demokrasi sebagai barometer kerja sama dengan negara lain. Amerika Serikat tetap menjalin kerja sama dengan Pemerintahan Pakistan yang jelas diperoleh secara non-demokratis. 126 Lebih jelasnya baca John Funston, dkk, Voice of Islam in the South East Asia. kebijakan ini –para tahap tertentu-- bisa mengubah posisi seorang moderat menjadi seorang fundamentalis, karena intensitas dan arogansi Amerika Serikat yang tak berbatas127. Tidak dapat dibantah, serangan pre emptive ke Irak akan membuat dunia semakin tidak aman dan rentan terhadap berbagai serangan teroris. Begitu juga, susah untuk membantah argumentasi bahwa perang ini bukan the last resort (cara terakhir), karena Amerika Serikat Serikat belum memaksimalkan penggunaan semua langkah dan jalur128. Sepak terjang AS memerangi terorisme justru mendorong perlawanan sporadik secara global dan kebangkitan pan-Islamisme di Timur Tengah. Inilah mengapa sejumlah aksi bom semakin sering terjadi pasca 2001, karena respon keras Amerika Serikat dibalas dengan respon keras serupa meskipun berbeda cara dan tingkatannya. Serangan yang terjadi di Bali, Tahun 2002, Marirott 2003 serta di Turki dan Arab Saudi November 2003 bisa dijadikan acuan untuk memperkuat asumsi tersebut Lebih lanjut, lingkaran fenomena terorisme dan feedback negatif dari berbagai lapisan masyarakat dunia menimbulkan dampak yang lebih mengglobal yaitu pengelompokan negara kepada negara teroris dan negara anti-teroris. Bush dengan tegas mengatakan, negara mana saja yang tidak mendukung war on terror berarti musuh Amerika Serikat. Pilihannya cuma dua, bersama kelompok teroris atau bersama kami, Amerika Serikat Serikat. 127 Seseorang yang awalnya berfikir moderat, bisa saja bergeser menjadi sangat fundamentalis terkhusus untuk kasus perang Amerika Serikat. Ini terjadi selain karena adanya dorongan solidaritas keagamaan dan kemanusiaan, juga karena sifat war on terror itu sendiri yang diketahui cacat dalam dirinya karena memiliki tujuan terselubung. Fenomena ini terbukti dari wawancara Ulil Absar Abdalla dengan Prof. Dr. Nurcholish Madjid, 30 Maret 2003 yang diberi judul dengan “Omong Kosong Bush Membebaskan Rakyat Irak”. 128 Bara Hasibuan, “Bush Menentang Dunia”, Kompas, h. 4. Sikap hitam putih ini menyulitkan banyak negara yang memiliki posisi dilematis, terutama negara yang berpenduduk muslim. Sebagian kelompok muslim saat ini telah diidentikkan sebagai teroris global yang memiliki jaringan komunikasi yang luas (seperti al-Qaida dsb). Dan mereka yang diklaim sebagai teroris –tidak bisa dipungkiri-- juga memiliki tradisi ibadah yang hampir sama dengan muslim-muslim lainnya di dunia, sehingga mereka sangat sulit teridentifikasi. Kalau lah disebutkan bahwa mereka berasal dari kelompok fundamentalisme, sesungguhnya fundamentalisme agama ada di setiap negara dengan tradisi yang hampir mirip. Desakan-desakan ini akhirnya berakibat pada pengkotakkan kekuatan dunia. Masyarakat yang memiliki satu akar peradaban mulai berbagi solidaritas. Ketidak adilan yang diterima satu segmen masyarakat di satu negara mulai direspon secara serius atas dasar persaudaraan satu peradaban. Mudah-mudahan asumsi akan terjadinya benturan antara peradaban cuma ada dalam tataran asumsi. Namun sayangnya, sikap dan kebijakan war on terrorism Amerika Serikat Serikat telah menyumbangkan sejumlah saham yang memungkinkan benturan antara peradaban ini terjadi. Secara formal, benturan ini mungkin belum terjadi, namun secara kultural, bentural itu sesungguhnya telah di mulai. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan • Untuk menghentikan terorisme global, Pemerintah Amerika Serikat dibantu oleh sekutu menerapkan sebuah kebijakan yang disebut dengan war on terrorism. War on terrorism ini berisi upaya jangka panjang dan jangka pendek. Kebijakan jangka panjangnya adalah penyebaran demokrasi dan pembangunan “negara-negara gagal” serta memperbaiki hubungan dengan negara serta komunitas muslim. Sedangkan kebijakan jangka pendeknya adalah menyerang markas teroris, mencegah agar kelompok teroris tidak mendapatkan senjata pemusnah masal dan menghalangi agar kelompok teroris tidak mendapatkan bantuan dan perlindungan dari negara lain. Keseluruhan upaya ini sering disebut dengan strategi pre-emptive. Dengan alasan pre-emptive inilah Pemerintah Amerika Serikat melakukan sejumlah penyerangan, penangkapan dan intervensi ke berbagai negara agar benih-benih terorisme di dunia bisa dimusnahkan. Sikap ini adalah sikap yang legal dalam pandangan Amerika Serikat, karena bagi Negara Paman Sam ini, setiap negara yang terlibat dalam aktifitas terorisme atau pun negara yang bersifat otoriter telah kehilangan kedaulatannya, sehingga fungsi kedaulatan negara tersebut bisa diambil alih. • Kebijakan war on terrorism di atas bisa disebut sebagai kebijakan yang imperial karena dua hal. Pertama, karena kebijakan war on terror tidak memenuhi kriteria ideal untuk sebuah kebijakan luar negeri. Kebijakan war on terrorism sesungguhnya tidak memiliki tujuan yang jelas dan terbatas dari awal, kebijakan ini juga melanggar berbagai peraturan internasional, sehingga tidak mendapatkan legitimasi dari publik internasional Kedua, perang terhadap terorisme hanya dijadikan isu atau alat propaganda untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi yang ambisius. Dengan menggunakan isu terorisme, Amerika menundukkan Irak dan Afganistan untuk sebuah cita-cita realis. Menguasai Afganistan berarti menguasai negara bekas binaan Amerika sekaligus mendapat ”jatah” atas kandungan gas alam yang ada di negeri tersebut. Menguasai Irak berarti “menguasai dunia”. Irak adalah surga keuntungan. Irak merupakan negara suplai minyak terpenting 10-15 tahun mendatang. Menguasai Irak berarti menguasai ekonomi di masa depan, sekaligus bisa mengontrol perekonomian negara-negara yang tergantung pada minyak Irak seperti Jepang dan Eropa. Keinginan Amerika untuk memperluas pengaruh dan kekuasaannya ini yang penulis sebut dengan imperial. Amerika telah melakukan perubahan yang sejauh ini belum mendatangkan dampak positif. Malah keterlibatan Amerika tersebut, hanya menyisakan kerusakan dan ketegangan baru yang lebih berbahaya. B. Saran • Harus ada kekuatan penyeimbang dalam politik internasional. Kekuatan inilah yang berfungsi sebagai pengontrol kekuasaan serta penjamin keadilan dan stabilitas internasional. Selama dunia masih dipimpin oleh satu kekuatan yang cukup absolut, maka akan tetap terjadi “misteri-misteri internasional” yang tak bisa diprotes oleh satu negara pun. • Lembaga-lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa harus semakin dikuatkan posisi dan reputasinya. Setelah itu, lembaga ini perlu dipimpin oleh seseorang yang independen.dan berani melihat realitas. Dengan demikian lembaga ini akan semakin tegas terhadap setiap pelanggaran dan memberi sangsi terhadap siapa saja yang terbukti melanggar. • Diperlukan kajian-kajian kritis untuk melihat fenomena global seperti terorisme maupun imperialisme. Disinilah peran para akedemisi baik mahasiswa maupun pengajar demi menghasilkan pemahaman yang komprehensif • Terakhir, skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi siapa saja yang membaca terutama pada panulis sendiri. DAFTAR PUSTAKA Buku Bartlett, C J. Fall of Americana: United State Foreign Policy in the Twentieth Century. New York: St. Martin’s Press, 1974. Basya, M. Hilaly dan Alka, David K. Amerika Perangi Teroris Bukan Islam. Jakarta: CMM, 2004. Budiman, Arif. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000. Chomsky, Noam. Menguak Tabir Terorisme Internasional. Penerjemah Hamid Basyaib. Bandung: MIZAN, 1991. ---------------------. Power and Terror. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003. Penerjemah Syafruddin Hasani. Clarke, Richard A. Menggempur Semua Musuh; di Balik Perang Amerika Melawan Teroris. (Against All Enemies; Inside America’s War on Terror). Penerjemah Tim Sinergi. Jakarta: Sinergi Publishing, 2004. Council on Foreign Policy. Amerika dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional. Penerjemah Yusi A. Pareanom dan Zaim Rofiqi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Eatwell, Roger dan Wright, Anthony. ed. Ideology-Ideologi Politik Kontemporer. Penerjemah R.M. Ali. Yojyakarta: Jendela, 2004. Gerges, Fawaz A. Amerika dan Islam Politik; Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan. Penerjemah Kili Pringgodigdo dan Hamid Basyaib. Jakarta: Alvabet, 2002. Greenberg, Karen J. ed. Al-Qaeda Now: Understanding Today’s Terrorists, Cambridge: Cambridge University Press, 2005. Jacobson and Lipman. An Outline of Political Science. New York: Barnes and Noble, 1951. Johannen, Uwe. et.al. 911: September 11 and Political Freedom. Singapore: Select Publishing, 2003. Kegley, Charles W dan Wittkopf, Eugene R. Global Agenda: Issues and Perspectives. New York: Mc Graw Hill, 2001. Lewis, Bernard. The Crisis of Islam; Holy War and Unholy Terror. London: Weidenfield & Nicolson, 2003. --------------------. What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response. Oxford: Oxford University Press, 2003. Lutz, James M dan Lutz, Brenda J. Global Terrorism. New York: Routledge, 2004. Mamdani, Mahmood. Good Muslim, Bad Muslim; Amerika, the Cold War and the Roots of Terror. New York: Pantheon books, 2004. Morganthau, Hans. Politik Antar Bangsa. Edisi VI. Buku Pertama, Penerjemah S. Maimoen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990. Muttaqin, Farid dan Sukidi. ed. Terorisme Serang Islam. Bandung: Pustaka Hidayah, 2001. Napoleoni, Loretta. Modern Jihad: Tracing the Dollars Behind the Terror Networks. London: Pluto Press, 2003. Nye, Joseph S. Memimpin Dunia; Sifat Kekuatan Amerika yang Berubah. Penerjemah Budhy Kusworo. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1992. Pangle, Thomas L dan Ahrensdorf, Peter J. Justice Among Nation; On the Moral Basis of Power and Peace. Kansas: University Press of Kansas, 1999. Stern, Jessica. The Ultimate Terrorists. Harvard: Harvard University Press, 2001. Woodward, Bob. Bush at War. London: Pocket Books, 2003. Yusmadi N. “Implikasi Kebijakan “War on Terror” Amerika Serikat Bagi Islam Politik di Indonesia”. Tesis s2, Universitas Indonesia, 2005. Koran “Amerika dan Eropa bersaing Kuasai dunia.” Pikiran Rakyat, 16 Desember 2004. “AS dan Terorisme Internasional.” KOMPAS, 13 September 2001. “Blair Lihat Hubungan al-Qaeda dan Irak.” KOMPAS, 22 Januari 2003. “Bush Beri Kesaksian atas Serangan 11/9.” Media Indonesia, 30 April 2004. “Bush Panik, AS Bakal Lirik PBB.” Republika, 18 Maret 2004. “Bush Says War on Terrorism is Succeeding.” The Jakarta Post, 05 Maret 2003. “Dua Tahun Teror “Nine-One-One.” Media Indonesia, 11 September 2003. “Irak dan Menguatnya Terorisme serta Radikalisme Global.” KOMPAS, 14 Desember 2003. “Ketika AS dengan Hegemoninya Menuai Teror.” KOMPAS, 15 November 2003. “Pemimpin AS Diharapkan Hati-hati soal Antiterorisme.” KOMPAS, 22 September 2001. “Richard Clarke Bersaksi: Bush Kacaukan Perang terhadap Terorisme.” Media Indonesia, 26 Maret 2004. “The War on Terror.” The Jakarta Post, 20 November 2002. “U.S. Warns that al-Qaeda Network is Looking for “Soft Targets.” The Jakarta Post, 06 November 2002. “War on Terrorism Must be Within Limits of the Law.” The Jakarta Post, 30 September 2002. Aminy, Aisyah. “Perang terhadap Terorisme.” Republika, 27 Agustus 2003. Amnesty International. “Perang AS Melawan Terorisme Lecehkan Hukum Internasional.” KOMPAS, 02 Juni 2003. Baasir, Faisal. “Dunia dalam Perangkap AS.” Republika, 12 April 2003. Ghulam Dz, Rifma. “Kebijakan Antiterorisme Bush.” Republika, 31 Oktober 2003. Habu, Shuichi. “Sept. 11 One Year Later: Terror Aftermath Opens Cracks in the West.” The Jakarta Post, 11 September 2002. Hasibuan, Bara. “Bush Menentang Dunia.” KOMPAS, 21 Desember 2003. Hussain, Mushahid. “Bush Reinventing “War on Terror” in Response to Opposition.” The Jakarta Post, 14 Oktober 2003. Kuncahyono, Trias. “Terorisme dan Ambisi Neo-Imperialisme AS.” KOMPAS, 11 September 2002. Noer, Daliar. “Melongok Ulah Adikuasa AS.” Republika, 14 Februari 2003. Presse, Agence France. “U.S. Popularity in the Muslim World Falls Despite Massive PR Campaign.” The Jakarta Post, 06 September 2003. Ratna, Myrna. “Bush, Irak dan Terorisme.” KOMPAS, 28 September 2003. Rumadi. “Terorisme dan Agresi AS ke Irak.” Media Indonesia, 21 Maret 2003. Sengupta, Arnab Neil. “America Losing the War of Ideas.” The Jakarta Post, 06 Oktober 2003. Sihbudi, Riza. “Teka-teki Tragedi 911.” Republika, 14 April 2004. Wirayuda, Hassan. “Sept. 11 Changed American Foreign Policy.” The Jakarta Post, 11 Desember 2003. Dokumen: Homeland Security Council. 9/11 Five Years Later: Successes and Challenges. Washington: White House, 2006. Homeland Security Council. Highlights of the Irak Strategy Review. Washington: White House, 2007. Homeland Security Council. National Strategy for Homeland Security. Washington: White House, 2007. Homeland Security Council. Strategy for Winning the War on Terror. Washington: White House, 2006. Website http//www.whitehouse.com http//www.wikipedia, the free encyclopedia.com http//www.thirdworldtraveler.com http//www.cdi.org http//www.washingtonpost.com http//www.dansargis.org http://www.archives.nouvelobs.com/ http://www.soaw.org http/www.americandiplomacy.org http://islamlib.com/id http//www.worldpublicopinion.org http//www.globalpolicy.org