imperialisme modern: studi terhadap kebijakan war on terror

advertisement
IMPERIALISME MODERN:
STUDI TERHADAP KEBIJAKAN WAR ON TERROR
PRESIDEN BUSH PASCA 2001
Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Mendapatkan Gelar
Sarjana Strata 1 Jurusan Pemikiran Politik Islam
Oleh
AHMAD ALFAJRI
NIM: 103033227807
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2008 M/1429 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarata
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 7 Maret 2008
Ahmad Alfajri
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT serta selawat dan salam semoga
disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, karena hanya dengan nikmat
dan karunia-Nya lah skripsi “Imperialisme Modern: Analisis Kebijakan War
on Terrorism Presiden Bush Pasca 2001”, ini bisa diselesaikan.
Penulis juga hendak mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah banyak membantu proses penyelesaian skripsi ini. Untuk itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. M. Amin Nurdin selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
Seterusnya kepada Dr, Hamid Nasuhi, Dra. Hermawati, MA dan Dr.
Masri Mansoer selaku Pembantu Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M. Fils, dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA
selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam
4. Selanjutnya kepada Bapak Dr. Nawiruddin, selaku pembimbing skripsi
ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam membimbing penulis,
memberi kritikan dan masukan yang sangat membantu dalam penulisan
skripsi ini
5. Dosen-dosen jurusan pemikiran politik islam, yang telah membimbing
dan mengajari kami –penulis khususnya- akan berbagai hal yang
sebelumnya belum kami ketahui
6. Tak lupa, skripsi ini penulis sembahkan untuk Ayah (H. Mismardi, BA)
dan Ibu (Elidarni) yang selalu memberi dukungan dan semangat kepada
penulis untuk terus maju di setiap jenjang pendidikan. Terima kasih juga
tak lupa penulis ucapkan kepada “uda dan uni”, Da Haris, Uni Yossy dan
Da Icep, serta kepada “adiak-adiak”, Iki dan Ayip.
7. Selanjutnya terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dinda Pratiwi
(sweetheart) yang juga tak bosan mengingatkan penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.
8. Seterusnya kepada teman-teman aktivis Laboratorium Politik Islam (LPI)
yang merangkap sebagai radaksi Jurnal Politik Islam, diantaranya:
Bawono Kumoro, Arya Fernandes, Muamar Lutfi Harun, Shahibah
Yuliani, Rosi Selly, Subairi, Hafiz, Rey dan lain-lain yang mungkin tidak
bisa disebutkan satu per satu. Kebersamaan kita sangat berarti, dan mari
wujudkan semangat “creative minority”.
9. Terakhir kepada teman-teman PPI A dan B Angkatan 2003. Semoga yang
belum wisuda, bisa lekas menyusul.
Ciputat, 8 Maret 2008
Ahmad Alfajri
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………..iii
DAFTAR TABEL …………………………………………………………….v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian ………………………………… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………….. 5
C. Tujuan Penelitian …………………………………………. 6
D. Metode Penelitian ………………………………………… 6
E. Sistematika Penulisan …………………………………….. 7
BAB II
TERORISME DAN IMPERIALISME
A. Definisi dan Sejarah Terorisme …………………………... 9
B. Mengenal Konsep Imperialisme ………………………….. 17
C. Hubungan antara Terorisme dan Imperialisme …………… 29
BAB III
KEBIJAKAN WAR ON TERRORISM PRESIDEN BUSH
A. Latar Belakang Lahirnya Kebijakan War on Terrorism… 32
1. Karakter Presiden Bush ……………………………….. 34
2. Serangan Al-Qaida terhadap Amerika dan Dunia ……. 35
3. Kekhawatiran terhadap Jamaah Islamiyah……………. 36
4. Aktifnya Negara-negara Sponsor Terorisme …………. 37
B. Kebijakan Jangka Panjang ………………………………. 38
1. Penyebaran demokrasi yang Efektif …………………. 40
2. Membangun Fail State ………………………………. 46
3. Memperbaiki Hubungan dengan Negeri Muslim …….. 48
C. Kebijakan Jangka Pendek …………………………………50
1. Mencegah Serangan oleh Jaringan Teroris ………….. 50
2. Menghalangi Para Teroris agar Tidak Mendapatkan
Senjata Pemusnah Masal …………………………….. 57
3. Menghalangi Teroris Mendapatkan Dukungan dan Perlindungan dari Negara Lain ………………………….. 60
4. Menghalangi Kontrol kelompok Teroris atas Sebuah
Negara ……………………………………………….. 62
BAB IV
ANALISIS KEBIJAKAN WAR ON TERRORISM PRESIDEN
BUSH
A. War on Terrorism Menyimpang dari Kriteria Kebijakan yang
Ideal………………………………………………………. 65
B. War on Terrorism adalah Propaganda Realisme Ekonomi dan
Politik ………………………………………………......... 71
C. War on Terrorism Membawa Tindakan-tindakan yang Tidak
Proporsional………………………………………………. 88
D. War on Terrorism Membuat Dunia Semakin Tidak Aman. 94
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………… 99
B. Saran ……………………………………………………. 100
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 102
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasca tragedi World Trade Center pada 11 September 2001, terorisme
menjadi isu utama dunia internasional. Perhatian yang diberikan untuk kasus
ini mungkin bisa disejajarkan dengan perhatian terhadap perkembangan
komunisme pada era perang dingin beberapa dekade lalu.
Tragedi ini kemudian berdampak panjang dengan dikeluarkannya
dekrit perang terhadap terorisme oleh Amerika Serikat dengan bantuan para
sekutu. Namun, kemudian muncul dilema dalam upaya mendefenisikan siapa
yang teroris dan siapa yang bukan, serta bagaimana cara meresponnya.
Belum lagi tercapai kesepakatan masalah defenisi, cakupan dan cara
merespon gejala terorisme, Amerika Serikat langsung mengklaim kelompokkelompok seperti al-Qaida, Hamas, Hizbullah, Jamaah Islamiyyah dan
kelompok lain yang memiliki ciri-ciri yang sama sebagai organisasi teroris.
Kelompok-kelompok tersebut secara sosio-religius merupakan bagian dari
sebuah komunitas muslim yang tersebar di berbagai tempat.
Selain itu, Amerika juga mensinyalir keberadaan beberapa negara
yang dengan sengaja memberi perlindungan dan bantuan terhadap kelompokkelompok tersebut1. Irak, Iran dan Afganistan adalah sebagian negara yang
dianggap memiliki kedekatan tertentu dengan kelompok teroris. Iran adalah
negara sponsor aktifitas kelompok Islam di Lebanon dan Palestina. Irak
1
Lihat Chawat Satha-Anand, “Mitigating the Success of Terrorism with Politic of Truth
and Justice”, dalam Uwe Johannen, et.all., 911: September 11 and Political Freedom (Singapore:
Select Publishing, 2003), p. 18.
diduga dekat dengan al-Qaida dan diperkirakan kalau senjata pemusnah masal
Irak jatuh ke tangan para teroris, maka bencana besar akan melanda dunia.
Sedangkan Afganistan dianggap sebagai markas dan basis utama al-Qaida
yang telah menyebar ke 60 negara di dunia.
Untuk merespon gejala terorisme global ini, tidak ada pilihan lain bagi
Amerika Serikat selain melakukan tindakan pre emptive. Yaitu menyerang
sebelum diserang. Atas dasar inilah, maka Amerika melakukan penyerangan
ke Afganistan dan Irak beberapa tahun lalu. Bagi Amerika Serikat kedua
negara ini telah kehilangan kedaulatan, karena mereka telah mengorbankan
kedaualatannya di saat mereka melindungi atau bekerja sama dengan
kelompok teroris2.
Di samping itu, untuk mencegah agar kelompok teroris baru tidak
muncul, maka Amerika merasa perlu untuk menata ulang sistem
internasional. Dalam upaya ini Amerika memasuki banyak negara dan
mencegah agar tidak ada negara lain di dunia yang menjadi partner kelompok
teroris sekaligus mencegah agar tidak ada kekuatan baru di dunia --selain
Amerika Serikat dan teman-temannya-- yang mampu mengembangkan
teknologi senjata pemusnah masal.
Amerika tidak membutuhkan bukti untuk bertindak. Ada atau tidak
adanya bukti bukanlah sesuatu yang penting. Tidak adanya bukti bukan
berarti tidak ada aktifitas. Di zaman sekarang ini --bagi Amerika-- tidak boleh
ada kesalahan sedikit pun. Ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tidak tahu,
namun juga ada hal-hal yang kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu. Rumsfeld
2
Lihat G. John Ikenberry, “Ambisi Imperial AS”, dalam Council on Foreign Policy,
Amerika dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, Penerjemah Yusi A.
Pareanom dan Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 443.
(Penasehat Presiden sekaligus Menteri Pertahanan pada waktu itu) melakukan
pembenaran terhadap opsi menyerang terlebih dahulu ini dengan mengatakan
bahwa ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tahu,ada hal-hal yang kita tahu
bahwa kita tidak tahu. Namun ada juga hal-hal yang kita tidak tahu bahwa
kita tidak tahu. Setiap tahun kita, kita menjumpai sedikit lagi ketidaktahuanketidaktahuan ini3.
Dengan kekuatannya sekarang, Amerika bisa bertindak hanya dengan
dasar asumsi. Itulah karakter dasar kekuatan uni polar. Tidak adanya
kekuatan penyeimbang sebagai check and balance membuat negara
pemegang kekuatan mampu bertindak hanya dengan asumsi dan pra-sangka.
Tidak adanya penyeimbang juga membuat negara yang berkuasa –dan
Amerika melakukannya-- merasa dirinya bertindak demi kebaikan dan
kemanusiaan4. Kondisi uni polar ini bukanlah situasi yang bagus bagi politik
internasional. Bisa saja –dan memang sering terjadi-- apa yang diinginkan
oleh negara kuat bertentangan dengan pilihan dan kepentingan negara lemah,
sehingga mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Kebijakan baru Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden
Goerge W. Bush ini telah keluar dari kriteria ideal sebuah kebijakan, sehingga
kemudian memunculkan penolakan dan kritik dari dunia internasional.
Kebijakan war on terrorism ini sama sekali tidak mendapatkan legitimasi
utuh dunia. Apa lagi sejak diketahui bahwa di balik kebijakan war on
3
Ibid., h. 441.
Wawancara Harry Kreisler dengan Kanneth Walt dengan tema “Conversations with
History” 10 Februari 2003 di UC. Berkeley diakses dari http//en.wikipedia.org/wiki/Kenneth
Waltz
4
terrorism tersebut, ternyata Amerika Serikat telah merencanakan sebuah
pencapaian politik dan ekonomi yang luar biasa.
Amerika dan sekutu (terutama Inggris) hanya menjadikan terorisme
sebagai justifikasi untuk memasuki wilayah-wilayah potensial yang memang
telah ditargetkan sebelumnya. Terorisme hanya menjadi isu pengantar menuju
isu senjata pemusnah masal Irak. Selanjutnya isu senjata pemusnah masal pun
hanya sebagai langkah awal untuk melakukan perubahan rezim, dari rezim
yang anti- Amerika kepada rezim yang tunduk kepada Amerika.
War on terrorism membawa misi politik dan ekonomi yang sangat
ambisius. Serangan Amerika ke Afganistan dan Irak bukanlah sebuah invansi
pembebasan. Irak merupakan negara penghasil minyak terbesar kedua yang
memiliki 11 persen stok minyak dunia dengan kualitas tinggi dan biaya
produksi yang rendah. Diperkirakan 10 tahun lagi Irak akan menjadi sumber
utama pemasok energi dunia, karena di negara tersebut masih banyak
kekayaan alam (terutama minyak dan gas alam) yang belum dieksplorasi.
Untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional di masa mendatang, maka
”kesempatan” ini harus diambil. Dengan dikuasainya Irak, Amerika otomatis
akan memegang kendali ekonomi dunia termasuk ekonomi negara-negara
yang bergantung kepada energi Irak seperti Uni Eropa dan Jepang yang
dewasa ini menjadi saingan Amerika.
Politik inilah yang disebut sebagai imperialisme modern. Ketertarikan
penulis untuk mengangkat tema: “Imperialisme Modern: Analisis Kebijakan
War on terrorism Presiden Bush Pasca 2001, berangkat dari kenyataan di
atas. Penulis berpandangan bahwa perang Amerika terhadap terorisme
membawa misi politik dan ekonomi yang luar biasa yang pada tahap ekstrem
akan menjaga posisi Amerika sebagai penguasa tunggal dunia untuk jangka
waktu yang sangat lama
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Sebelum
membatasi
dan
merumuskan
masalah,
maka
perlu
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1. Lahirnya gelombang terorisme baru pasca 2001 yang mulai mengancam
keamanan Amerika Serikat khususnya dan dunia internasional
umumnya
2. Pengidentifikasian Islam sebagai agama yang melahirkan para teroris
global
3. Terbentuknya kekuatan-kekuatan baru di dunia -selain Amerika Serikatseperti Uni Eropa, Koalisi Iran-Venezuela, Cina dan Jepang
4. Terjadinya perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam
hubungannya dengan skenario memerangi terorisme
5. Munculnya kecenderungan imperial dalam kebijakan luar negeri
Amerika Serikat berdasarkan fakta-fakta lapangan.
Dari beberapa masalah di atas, penulis hanya akan membatasi pada
dua masalah terakhir yaitu tentang kebijakan luar negeri Amerika Serikat
terhadap terorisme dan kecenderungan imperialistik Amerika Serikat.
Dengan demikian, rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:
1. Apakah kebijakan luar negeri yang diterapkan Pemerintahan Presiden
Bush dalam memerangi terorisme?
2. Mengapa kebijakan luar negeri Pemerintahan Presiden Bush itu disebut
sebagai tindakan imperial?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui apakah kebijakan luar negeri yang diterapkan oleh
Presiden Goerge W Bush dalam memerangi terorisme global pasca
tragedi WTC 2001?
2. Untuk menjawab pertanyaan mengapa kebijakan luar negeri tersebut
dinilai sebagai tindakan imperialisme?
D. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang
cenderung dan banyak digunakan dalam ilmu-ilmu sosial yang berhubungan
dengan perilaku sosial dengan berbagai argumen, yang bersifat deskriptif atau
memaparkan gejala-gejala yang diamati yang tidak harus selalu berbentuk
angka-angka atau koevisien antar variabel dan lebih sering berbentuk studi
kasus, penelitian lapangan dan alamiah atau apa adanya5. Pengumpulan
datanya adalah melalui dokumentasi yaitu dengan mencari data mengenai
masalah bersangkutan melalui literatur buku, surat kabar, jurnal dan
sebagainya6.
5
Subana dan Sudrajat, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h.
17-18.
6
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rieneka
Cipta, 2002), h. 206.
Analisa data menggunakan metode deskriptif analitis. Data-data yang
telah dikumpulkan akan dideskripsikan dan dianalisa sesuai dengan tujuan
penelitian skripsi. Dari segi penulisan, penulis mengikuti berbagai aturan
penulisan skripsi yang diatur dalam buku Pedoman Akademik Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007/2008
E. Sistematika Penulisan
Sistematika pembahasan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
terbagi dalam beberapa bab dan sub-bab yang pada garis besarnya adalah
sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang di dalamnya dibahas tentang latar belakang
masalah, perumusan dan pembatasan masalah, maksud dan tujuan penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II: Terorisme dan Imperialisme. BAB ini akan menjelaskan
pengertian dan sejarah terorisme serta sekelumit konsep imperialisme, tak
lupa akan disertakan penjelasan hubungan yang memungkinkan antara kedua
konsep tersebut.
BAB III: Akan berisi bahasan tentang kebijakan luar negeri Amerika
Serikat dalam memerangi terorisme. Di sini akan dibahas secara berurut dari
latar belakang lahirnya kebijakan tersebut, kebijakan jangka panjang dan
kebijakan jangka pendeknya
BAB IV: Akan menjelaskan alasan mengapa kebijakan Amerika
Serikat disebut kebijakan yang imperial. Alasan-alasan ini akan dibagi kepada
alasan yang bersifat teoritis dan alasan realisme (motif, tindakan dan akibat)
BAB V:
Pada akhir bagian skripsi ini, berisi kesimpulan umum
bahwa kebijakan war on terrorism AS adalah kebijakan yang imperialistik.
Karena telah mengubah status quo dunia untuk kepentingan politik dan
ekonomi se pihak. Pada bagian ini sekaligus juga akan diberikan beberapa
kritik dan saran yang konstruktif
BAB II
TERORISME DAN IMPERIALISME
A. Definisi dan Sejarah Terorisme
1. Definisi
Teror
adalah
usaha
menciptakan
ketakutan,
kengerian
dan
kekejaman oleh seseorang atau golongan. Sedangkan terorisme adalah
paham yang menggunakan cara-cara teror dalam mencapai tujuan7. Dalam
Ensiklopedi Indonesia, teror adalah gambaran suatu keadaan rezim yang
berhasil menumbangkan rezim lama dan berusaha membangun kediktatoran
dengan jalan intimidasi dan kekerasan8.
Memang belum ada satu definisi mengenai terorisme yang bisa
disepakati bersama. Tercatat semenjak tahun 1936 ada 109 definisi yang
dikemukakan
oleh
berbagai
penulis9.
Noam
Chomsky
misalnya
mendefinisikan terorisme sebagai ancaman kekerasan untuk menindas atau
memaksa untuk tujuan-tujuan politik baik yang dilakukan oleh negara
maupun kelompok-kelompok atau perorangan yang melakukan pembalasan
atas serangan sebelumnya10.
Martha
Crenshaw
mendefinisikan
terorisme
sebagai
sebuah
organisasi yang memiliki kesepakatan dalam penggunaan strategi dengan
7
Yusmadi N., “Implikasi Kebijakan “War on terror” Amerika Serikat Serikat Bagi Islam
Politik di Indonesia,” (Tesis s2, Universitas Indonesia, 2005), h. 23.
8
Dikutip dari Yusmadi N., “Implikasi Kebijakan “War on terror” Amerika Serikat
Serikat Bagi Islam Politik di Indonesia,” (Tesis s2, Universitas Indonesia, 2005) dari Ensiklopedi
Indonesia, Jilid 6, h. 3518.
9
Yusmadi N., “Implikasi Kebijakan “War on terror” Amerika Serikat Serikat Bagi Islam
Politik di Indonesia”, h. 26.
10
Noam Chomsky, Menguak Tabir Terorisme Internasional, Penerjemah Hamid Basyaib
(Bandung: MIZAN, 1991), h. 20.
jalan kekerasan atau teror untuk mencapai tujuan baik yang bersifat politis
maupun ideologis strategis11
Pemerintah Amerika Serikat Serikat mendefinisikan terorisme
sebagai kekerasan terencana bermotif politik terhadap personil non tempur
yang dilatarbelakangi oleh kelompok sub nasional atau agen rahasia yang
bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat12. Uni Eropa menyebut
terorisme sebagai sebuah usaha yang bertujuan untuk menghancurkan
bangunan fundamental dari sistem politik, konstitusi, ekonomi dan struktur
sosial dalam sebuah negara13.
Dari beberapa definisi di atas, bisa disintesakan bahwa terorisme
adalah kekerasan terencana yang bermotif politik atau ideologi, dilakukan
secara terorganisir dalam sebuah kelompok dan menimbulkan dampak
ketakutan yang luar biasa.
Untuk memudahkan pemahaman kita tentang terorisme, perlu
diberikan beberapa kriteria acuan apakah sebuah tindakan bisa disebut
sebagai aksi terorisme atau pun bukan. Berikut kriterianya:
Pertama, Kekerasan. Menurut Walter Liqueur pada Center for
Strategic and International Studies, satu-satunya karakteristik utama
terorisme yang disepakati secara umum adalah penyertaan kekerasan atau
ancaman kekerasan14. Tapi, kekerasan memang tidak serta merta menjadi
satu-satunya tolak ukur sebuah tindakan disebut sebagai teror atau bukan,
11
M. Hilaly Basya dan David K. Alka, Amerika Serikat Perangi Teroris Bukan Islam
(Jakarta: CMM, 2004), h. 16.
12
Dikutip oleh Yusmadi N dalam tesisnya “Implikasi Kebijakan “War on terror” Amerika
Serikat Serikat Bagi Islam Politik di Indonesia”, dari Budi S. Satari, “Terorisme Internasional
Ancaman Global Abad 21” dalam Jurnal ISIP UNAS No. 5 Tahun II (Desember 2001), h. 56.
13
Lihat, http:/en. wikipedia.org/wiki/terrorism, p. 2.
14
Ibid., p. 4.
kekerasan ini harus diikuti oleh tindakan atau tujuan lain, karena kekerasan
itu juga identik dengan perang, kerusuhan, kriminalitas yang terorganisir
yang sesungguhnya bukan termasuk aksi terorisme.
Kedua, Efek psikologis dan ketakutan. Serangan terorisme memang
dilancarkan untuk menimbulkan ketakutan dan dampak psikologis pada
sasaran-sarasan yang ditargetkan. Inilah mengapa teror terhadap penduduk
sipil menjadi sangat efektif, karena serangan itu bisa mengisyaratkan pesan
menakutkan bahwa setiap orang, kapan saja dan dimana saja bisa saja
menjadi korban. Jika tuntutan sang teroris tidak dipenuhi bisa saja anda atau
keluarga anda menjadi korban selanjutnya.
Kelompok teroris juga sering menyerang simbol dan kebanggan
sebuah negara untuk menunjukkan kekuatannya. Hal seperti ini bisa dilihat
melalui tragedi 11 September 2001 lalu dengan runtuhnya World Trade
Centre yang menjadi lambang supremasi ekonomi Amerika Serikat Serikat.
Rentetan peristiwa tersebut tak bisa dipungkiri, telah menimbulkan
ketakutan yang mendalam bagi rakyat Amerika Serikat.
Ketiga, memiliki tujuan politis. Memang cukup sering sebuah aksi
berujung pada kepentingan politik. Seperti untuk perebutan kekuasaan,
penghancuran negara dan sebagainya. Ini juga sering dijadikan pembeda
antara aksi terorisme dengan kriminalitas biasa. Terorisme merupakan
bagian dari taktik politik, sedangkan kriminalitas biasa tidak. Namun tidak
jarang juga, motivasi politik tersebut dibalut dengan semangat keagamaan.
Ketika keduanya sudah bergabung, maka gagal dalam cita-cita politik akan
diasumsikan menjadi gagal dalam cita-cita agama. Hal seperti ini sering
dicontohkan para pemikir barat dengan kasus Palestina dimana kepentingan
politik untuk merebut kembali daerah atau wilayah dari Israel terintegrasi
dengan motivasi agama15.
Keempat, Collateral demage, yaitu pemilihan target secara acak.
“Trend” sebelumnya dimana --seperti yang dilakukan kelompok Assassin di
Iran-- aksi teror dilakukan dengan cara membunuh langsung orang-orang
berpengaruh di sebuah negara dengan memakai senjata sederhana seperti
belati, ternyata tidak menarik lagi16. Yang menjadi korban bukan lagi mesti
mereka yang dianggap pelaku/ penyebab “kerusakan” yang dikutuk oleh
para teroris, akan tetapi korban bisa siapa saja, asal mampu dijadikan simbol
dan alat propaganda. Bom Bali di Indonesia merepresentasikan hal ini.
Mereka tidak menargetkan orang-per orang, sehingga siapapun yang
menjadi korban, tidak dipermasalahkan
Apakah yang bukan terorisme?
Beberapa kelompok politik, polisi maupun militer menciptakan
pengecualian terhadap apa yang disebut dengan terorisme, ini bertujuan
untuk menjauhkan mereka dari cengkeraman definisi terorisme tersebut di
atas. Berikut beberapa hal yang bukan disebut sebagai tindakan teroris.
Pertama, konflik militer. Konflik militer atau perang gerilya antara
dua
kelompok
yang
bermusuhan
kadang-kadang
membingungkan
terminologi terorisme, karena dalam hal ini mereka juga menggunakan
kekuatan untuk meraih tujuan yang besar dengan memakai senjata dan
15
Ibid., p. 4.
Bernard Lewis, The Crisis of Islam; Holy War and Unholy Terror (London:
Weidenfield & Nicolson, 2003), p. 113.
16
terorganisir secara langsung17. Namun bedanya dengan terorisme, konflik
militer adalah perang antara dua kelompok militer, bukan antara kelompok
militer dengan sipil, sehingga korban dari kelompok sipil diminimalkan
supaya mendapat dukungan dari orang banyak. Hal ini tentu berbeda dengan
aksi teroris, selain bukan perang terbuka antara dua kelompok militer,
teroris juga menjadikan sipil sebagai target utama.
Kedua, kriminalitas karena kebencian. Maksudnya adalah serangan
yang didorong oleh kebencian karena latar belakang etnis, kebangsaan atau
agama. Kriminalitas seperti ini tidak termasuk tindakan terorisme, karena
tidak memuat tujuan politis, tidak terorganisir dalam kelompok serta tidak
menimbulkan dampak psikologis seperti serangan teroris18. Sebagai contoh,
serangan oleh seorang muslim terhadap orang Israel di Bandara Los Angeles
Tahun 2002 bisa dilihat sebagai aksi teroris karena bertepatan dengan
konflik yang terjadi antara Islam dan Israel, namun faktanya adalah
serangan tersebut cuma dilatar belakangi oleh ekspresi ketidak puasan
karena si pelaku dicaci dengan keras.
Ketiga, lone wolves. Perlu dicatat bahwa seseorang bisa saja
dihubungkan dengan sejumlah aksi yang memiliki kesamaan karakteristik
dasar dengan terorisme. Namun berbeda dengan lone wolves, --sebagaimana
yang disinyalir FBI-- sebuah aksi teror harus dilakukan oleh sebuah
kelompok yang memiliki satu pemahaman dan bukan oleh hanya satu orang.
Tindakan oleh satu orang inilah yang disebut sebagai lone wolves19
17
http:/en. wikipedia.org/wiki/terrorism, p. 3.
Ibid,. p. 3.
19
Ibid., p. 3.
18
2. Sejarah Terorisme
a. Latar Belakang Istilah
Istilah “terorisme” berasal dari bahasa Perancis terrorisme yang
diambil dari kosa kata latin terrere yang berarti menggetarkan (to cause to
tremble). Pertama kali digunakan pada Tahun 1795 untuk mendeskripsikan
gerakan kelompok Yacobin dalam pemerintahan pasca revolusi perancis
yang kemudian dijuluki dengan pemerintahan teror (reign of terror)20.
Yacobin dianggap sengaja menggunakan kata teror ini untuk menunjukkan
aksinya. Di antara tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kelompok
Yacobin ini adalah menahan atau mengeksekusi lawan politiknya sebagai
media untuk memaksakan ketaatan kepada khalayak ramai.
Namun kata terorisme dalam bahasa Inggris mulai populer ketika
seorang konservatif bernama Edmund Burke menggunakan kata itu secara
terang-terangan untuk melawan revolusi Perancis.
b. Pelopor
Aksi teror sesungguhnya sudah ada sebelum istilah itu sendiri
diciptakan. Pada abad pertama masehi kelompok Zealots melakukan
kampanye teror melawan Kerajaan Roma di wilayah Timur Mediterenia.
Kelompok Zealot kemudian mendaftar nama-nama kalangan Yahudi kaya
yang akan dimusnahkan dan beberapa orang dari luar Yahudi yang berteman
dengan romawi. Kelompok teroris itu pada akhirnya bisa dikalahkan oleh
Kerajaan Romawi dalam beberapa kali konflik militer.
20
M. Hilaly Basya dan David K. Alka, Amerika Serikat Perangi Teroris, h. 33.
Pada abad ke-11 Masehi, juga telah muncul kelompok Islam radikal
yang terkenal dengan nama Hashshashin (kata ini lahir dari kata hashish
yang jika diterjemahkan mengandung arti pembunuh (assassin)). Kelompok
ini melakukan sejumlah pembunuhan terencana untuk sebuah alasan yang
mereka yakini benar. Selama dua abad mereka beroperasi, kelompok ini
memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan kepercayaan muslim pada
umumnya terutama dalam konsep jihad. Mereka tidak memerangi para
crusaders, namun mereka melawan para pemimpin muslim yang dianggap
telah murtad atau kafir21.
c. Revolusi Perancis
Estafet sejarah terorisme kemudian dilanjutkan pada masa Revolusi
Perancis. Selama Revolusi Perancis (1789-1799), masa yang paling keras
terjadi pada masa Pemerintahan Komite Keselamatan Publik (1793-1795)
yang dilabelkan sebagai pemerintahan teror, sebuah pemerintahan yang
menggunakan teror secara sistematis yang dicontohkan terutama dengan
penggunaan alat pemenggal kepala dan lain-lain. Rujukan sejarah mengenai
penggunaan kata terorisme dalam arti kekerasan berasal dari masa ini.
d. Abad ke-19
Pada Abad ke-19 Masehi, penggunaan istilah terorisme mulai
meluas. Terorisme menjadi --lebih dari sekedar penggambaran tentang era
revolusi Perancis-- penggunaan teknik pembunuhan terutama oleh kaum
anarkhis dan kelompok Narodniks pada Dinasti Tsar Rusia, yang jelas
tercatat melakukan pembunuhan terhadap Alexander II22.
21
22
Bernard Lewis, The Crisis of Islam, p. 112.
Wikipedia.org/wiki/terrorism, p. 10.
Kelompok
intelegensia (narodniks) tidak sabar terhadap Reformasi Tsar yang berjalan
begitu lambat dan berfikir untuk menggerakkan kelompok yang tidak setuju
kepada sebuah revolusi besar-besaran. Di antara kelompok anarkhi seperti
Mikhail Bakunin menganggap proses ini tidak mungkin bisa berjalan tanpa
ada pengrusakan. Tujuan mereka tidak ada selain penghancuran total sebuah
negara, sehingga setiap tindakan yang berkontribusi terhadap tujuan ini
dianggap sebagai sebuah tindakan moral23. Di antara kelompok yang paling
terkenal pada saat itu adalah People’s Will
Selanjutnya, pada Tahun 1867 di Republik Irlandia, kelompok
nasionalis revolusioner yang didukung oleh orang Irlandia asal Amerika
Serikat Serikat, melakukan penyerangan di Inggris. Itulah aksi teror pertama
kelompok republik yang menjadi pemandangan berulang-ulang dalam
sejarah Inggris
Di negara lain, dua group di dalam dinasti Turki Usmani juga
menggunakan teknik yang disebut oleh para sejarawan memiliki kategori
yang sama dengan apa yang digunakan oleh people’s will dan kelompok
anarkhis di Rusia. Satu kelompok berperang untuk kemerdekaan Armenia
dan kelompok lain berjuang untuk kemerdekaan Macedonia.
e. Abad ke-20
Dewasa ini, teknologi senjata modern memungkinkan seseorang
menjadi sangat kuat untuk menciptakan kerusakan dan penghancuran yang
23
Rikard Bangun, ‘Terorisme Gejala Global” dalam Farid Muttaqin dan Sukidi, ed.,
Terorisme Serang Islam (Bandung: PustakaHidayah, 2001), h. 25.
dasyat hanya dengan seorang diri dan hanya dengan sedikit konspirasi yang
dilakukan oleh organisasi kecil
Semua fakta ini menunjukkan satu hal bahwa perkembangan
peradaban manusia tidak berbanding lurus dengan penurunan aksi teror. Di
setiap masa, akan terus timbul aksi teror dengan berbagai ragam dan cara.
Terorisme atau yang lebih tepatnya hiperteroris24 di era modern ini paling
tidak dicirikan oleh empat hal. Pertama, ada maksimalisasi korban secara
mengerikan. Kedua, keinginan untuk mendapat liputan di media. Ketiga,
serangan teroris tidak pernah bisa diduga, karena sasarannya sama dengan
luasnya seluruh permukaan bumi25. Ke empat, penggunaan teknologi
canggih sebagai media komunikasi dan pengeksekusian. Karakterisitk ini
terlihat dalam sejumlah tragedi pemboman seperti WTC di Amerika Serikat
Serikat 2001, bom Bali di Indonesia 2002 dan sebagainya.
B. Mengenal Konsep Imperialisme
1. Definisi dan Sejarah
Imperialisme memang kosa kata yang sering didengar dan dibaca
dari berbagai tulisan kebudayaan, politik dan ekonomi. Sekilas kata ini
mengandung makna peyoratif, menunjukkan proses jahat di balik rangkaian
kata-katanya. Oleh sebab itu, imperialisme sering dijadikan propaganda
efektif bagi sebagian orang untuk menentang prilaku atau kebijakan yang
dijalankan oleh pihak yang tidak disenangi.
24
Hiperteroris adalah sebutan bagi teroris yang menguasai dan memanfaatkan berbagai
bentuk teknologi mutahir, teknologi pengamatan, pengawasan, teknologi interaktif dan teknologi
komunikasi.
25
M. Hilaly Basya dan David K. Alka, Amerika Serikat Perangi Teroris Bukan Islam, h.
41.
Orang-orang yang tidak senang terhadap Inggris pada awal abad ke20 akan menyebut setiap kebijakan luar negeri Inggris sebagai kebijakan
yang imperialistik. Begitu juga orang yang benci Rusia akan mengatakan
bahwa kebijakan luar negeri Rusia sebagai kebijakan yang imperialistik.
Dan sekarang pendukung gerakan anti-Amerika Serikat juga dengan mudah
mengatakan bahwa Amerika Serikat Serikat adalah negara imperialis,
karena kebijakan luar negerinya yang berusaha memperluas kekuasaan yang
sudah ada.
Penyebutan-penyebutan seperti itu membuat istilah imperialisme
menjadi kosa kata murahan yang bisa diklaim begitu saja. Oleh karena itu,
dalam tulisan ini perlu diberikan penjelasan manakah yang bisa disebut
imperialisme dan mana pula yang bukan imperialisme serta aspek-aspek lain
yang terkait.
Hans Morganthau menyebutkan ada beberapa salah pengertian yang
paling dikenal dalam penggunaan istilah imperialisme ini. Pertama, tidak
semua tujuan politik luar negeri untuk meningkatkan kekuasaan suatu
bangsa merupakan manifestasi imperialisme yang penting26. Hans
membedakan antara politik imperialistik dengan politik konsolidasi atau
status quo. Imperialisme adalah sebutan bagi politik yang bertujuan untuk
menumbangkan status quo, mengubah pola hubungan kekuasaan yang sudah
ada dan menatanya menjadi susunan baru. Sedangkan politik status quo
adalah sebuah usaha untuk mempertahankan kekuasaan pada sebuah
wilayah yang sudah menjadi bagian daerah kekuasaannya. Imperialisme
26
Hans Morganthau, Politik Antar Bangsa, Edisi VI, Buku Pertama, Penerjemah S.
Maimoen (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990), h. 80.
ingin mengubah tatanan yang sudah ada, sedangkan status quo hanyalah
proses konsolidasi.
Kedua, tidak semua politik luar negeri yang bertujuan memelihara
imperium yang telah berdiri adalah imperialisme27. Banyak orang
mengindentifikasikan apa saja yang dilakukan oleh negara-negara besar
untuk memelihara posisinya yang lebih kuat di daerah tertentu dianggap
sebagai imperialisme. Akan tetapi, imperialisme sebetulnya lebih cocok
diidentifikasikan pada proses mendapatkan wilayah baru, bukan pada proses
pemeliharaan kekuasaannya.
Istilah “imperialisme” sendiri sesungguhnya muncul pertama kali di
Inggris pada akhir Abad XIX. Ide ini dipakai oleh kaum konservatif di
bawah pimpinan Disraeli dalam kampanye pemilihan tahun 187428. Ide
imperialisme seperti yang difahami Disraeli dan dikembangkan oleh Joseph
Chamberlian serta Sir Winston Churchiil ternyata bertentangan dengan apa
yang disebut oleh kelompok konservatif sebagai kosmopolitanisme dan
internasionalisme oleh kaum liberal. Golongan oposisi takut kalau-kalau
politik Disraeli itu akan menimbulkan krisis-krisis internasional29. Karena
itu
mereka
menghendaki
pemusatan
perhatian
pemerintah
pada
pembangunan dalam negeri dari pada berkecimpung dalam soal-soal luar
negeri.
27
Ibid., h. 81.
Ibid., h. 81.
29
Yang direncanaan oleh Disraeli dalam federasi imperialnya adalah (1) penyatuan dan
integrasi Inggris serta miliknya ke dalam suatu imperium ang disatukan melalui bantuan
perdagangan yang bersifat protektif, (2)pencadangan tanah jajahan yang leluasa bagi orang
Inggris; (3) angkatan bersenjata yang disatukan dan (4) badan perwakilan pusat di London (lihat
Hans Morganthau, Politik Antar Bangsa, Edisi VI, Buku Pertama, Penerjemah S. Maimoen,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990), h. 81-82).
28
Golongan oposisi ini disebut golongan "Little England" dan
golongan Disraeli (Joseph Chamberlain, Cecil Rhodes) disebut golongan
"Empire" atau golongan "Imperialisme". Timbulnya perkataan imperialis
atau imperialisme, mula-mula hanya untuk membedakan golangan Disraeli
dari golongan oposisinya, kemudian mendapat isi lain hingga mengandung
arti seperti yang kita kenal sekarang.
Imperialisme berasal dari kata Latin "imperare" yang artinya
"memerintah". Hak untuk memerintah (imperare) disebut "imperium".
Orang yang diberi hak itu (diberi imperium) disebut "imperator". Yang
lazimnya diberi imperium itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun raja
disebut imperator dan kerajaannya (ialah daerah dimana imperiumnya
berlaku) disebut imperium30. Pada zaman dahulu kebesaran seorang raja
diukur menurut luas daerahnya, maka seorang raja selalu ingin memperluas
kerajaannya dengan merebut wilayah-wilayah lain. Tindakan raja inilah
yang disebut imperialisme oleh orang-orang sekarang, dan kemudian
ditambah dengan pengertian-pengertian lain hingga perkataan imperialisme
mendapat arti-kata yang kita kenal sekarang ini.
Imperialisme dalam kacamata politik ialah usaha untuk menguasai
(dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang
dijadikan sebagai imperiumnya. "Menguasai" disini tidak perlu berarti
merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan
ekonomi, kultur, agama dan ideologi. Imperium disini pun tidak perlu
30
http://id.wikipedia.org/wiki/Imperialisme.
berarti suatu gabungan dari daerah jajahan-jajahan, tetapi dapat berupa
daerah-daerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri.
2. Teori-Teori Ekonomi Tentang Imperialisme
Mengenal imperialisme dari perspektif ekonomi juga sangat penting
dalam menganalisa hubungan antar bangsa di era modern ini. Teori-teori
ekonomi tentang imperialisme ditelurkan ke dalam tiga mazhab yaitu
Mazhab Marxis, Mazhab Liberal dan Mazhab ‘Iblis”.
a. Mazhab Marxis
Mazhab Marxis berpegangan pada anggapan bahwa segala
aktifitas politik merupakan refleksi dari kekuatan ekonomi31. Alur fikiran
ini pada akhirnya menganggap gejala politis imperialisme merupakan
hasil dari sistem ekonomi yang di dalamnya mengandung sumber
kapitalisme. Sebagaimana logika marxisme bahwa masyarakat kapitalis
telah
kekurangan
mendistribusikan
sumber
hasil
bahan
produksinya,
mentah
untuk
dan
alasan
wilayah
untuk
inilah,
maka
imperialisme menjadi pilihan yang memungkinkan.
b. Mazhab Liberal
Berbeda dengan Mazhab Marxis, mazhab liberal memperhatikan
bahwa imperialisme bukanlah tuntunan kapitalisme. Malah dengan
adanya imperialisme, akan timbul –bukan perluasan kapitaslismeketidak mampuan sistem untuk menyesuaikan diri dengan kapitalisme
31
Hans Morganthau, Politik Antar Bangsa, h. 84.
yang sudah mapan. Dengan demikian, imperialisme akan menghambat
laju kapitalisme.
c. Mazhab “Iblis”
Lain halnya dengan Mazhab “Iblis” yang bekerja pada tingkat
intelektual yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan dua mazhab
rekanannya32. Teori ini muncul dari penyelidikan Komite Nye atas nama
senat Amerika Serikat Serikat tentang campur tangan pihak Amerika
Serikat Serikat dalam masalah industri dan ekonomi negara lain.
Penyelidikan ini memunculkan fakta bahwa terdapat golongan-golongan
tertentu yang memperoleh keuntungan besar dari fenomena dan
intervensi Amerika Serikat terhadap dunia internasional33. Sebut saja
dalam kasus peperangan, dalam perang pasti terdapat pihak pabrikan
yang menyediakan pesawat dan senjata bagi Amerika Serikat. Tentu
pengadaan ini mendatangkan keuntungan besar bagi pabrikan termasuk
juga banker internasional (wallstreet) dan sebagainya. Oleh karena
mereka memperoleh keuntungan dari peperangan tersebut, mereka
cenderungan menghasut supaya peperangan itu terjadi terus agar bisa
memperkaya diri.
3. Dorongan Untuk Imperialisme
a. Perang yang pasti berakhir dengan kemenangan
32
33
Ibid., h. 85.
Ibid., h. 85.
Potensi dorongan seperti ini biasanya terjadi antara dua negara
yang terlibat perang. Dimana satu negara memiliki potensi dan keyakinan
yang kuat untuk memenangkan peperangan. Negara tersebut memilih
jalur politik ini untuk mengubah pola hubungan yang sudah ada dengan
membuat perjanjian-perjanjian yang pada akhirnya mempertahankan
cengkeraman imperialistiknya34.
Potensi seperti ini biasanya dibarengi dengan perasaan bahwa
mereka adalah bangsa istimewa di dunia ini (racial superiority). Tiap
bangsa mempunyai harga diri. Jika harga diri ini menebal, mudah
menjadi kecongkakan dan kemudian menimbulkan anggapan, bahwa
merekalah bangsa teristimewa di dunia ini, dan berhak menguasai, atau
mengatur bahkan memimpin bangsa-bangsa lainnya
b. Kalah Perang
Selain keyakinan akan menang dalam peperangan, imperialisme
dalam arti perjuangan untuk mengubah status quo juga berpotensi
muncul pada pihak yang kalah perang35. Dengan kata lain politik
imperialisme yang diciptakan oleh pemenang mungkin menimbulkan
politik imperialisme dari pihak yang kalah
Imperialisme dalam tipe ini bisa dicontohkan pada imperialisme
Jerman dari Tahun 1935 sampai akhir perang dunia II. Status quo yang
berkuasa di Eropa saat itu adalah aliansi negara-negara besar seperti
Perancis, Inggris, Jerman, Inggris dan Rusia. Namun seiring kemenangan
sekutu dan perjanjian-perjanjian perdamaian sesudah itu, lahirlah
34
35
Ibid., h. 92.
Ibid., h. 93.
Perancis sebagai status quo baru yang menguasai aliansi dan sebagian
besar Eropa Timur dan Eropa Tengah yang baru saja dibentuk.
Jerman Tahun 1919 sampai 1939 berupaya menggulingkan status
quo ini. Usaha inilah yang kemudian memperbaiki posisi internasional
Jerman. Dan sejak berkuasanya kaum nasionalis sosialis di Jerman, maka
seluruh usaha Jerman dalam mengubah status quo ini berhasil
menciptakan imperialisme baru.
c. Sebab Ekonomi
Tiap bangsa ingin menjadi jaya. Menjadi bangsa yang terbesar di
seluruh dunia (ambition, eerzucht). Jika suatu bangsa tidak dapat
mengendalikan keinginan ini, bangsa itu mudah menjadi bangsa
imperialis. Karena itu dapat dikatakan, bahwa tiap bangsa memiliki benih
imperialisme36. Sebab-sebab ekonomi inilah yang merupakan sebab yang
terpenting dari timbulnya imperialisme, teristimewa imperialisme
modern.
Labih rinci, motif ekonomi ini bisa berupa (1) keinginan untuk
mendapatkan kekayaan dari suatu negara, (2) ingin ikut dalam
perdagangan dunia, (3) ingin menguasai perdagangan dan (4) keinginan
untuk menjamin suburnya industri.
d. Menyebarkan Ideologi dan Agama
36
http://id.wikipedia.org/wiki/Imperialisme.
Hasrat
untuk
menyebarkan
agama
atau
ideologi
dapat
menimbulkan imperialisme. Tujuannya bukan imperialisme itu sendiri,
tetapi agama atau ideologi. Imperialisme di sini dapat timbul sebagai
“efek samping” saja. Tetapi jika penyebaran agama itu didukung oleh
pemerintah atau negara, maka sering tujuan pertama terdesak dan
merosot menjadi alasan untuk membenarkan tindakan imperialisme.
e. Kelemahan suatu Negara
Imperialisme juga bisa didorong oleh adanya negara-negara yang
lemah yang menjadi daya tarik bagi negara-negara kuat37. Pola hubungan
yang tercipta antara negara yang kuat dan negara yang lemah akan
memperlihatkan hubungan yang tidak seimbang, dalam arti kata bahwa
pihak yang lemah diekploitasi dan diintervensi dalam segala bidang.
4. Tujuan Imperalisme
a. Imperium Dunia
Sejarah memang sudah mencatat berbagai fakta ambisi imperial
sekelompok orang atau negara. Beberapa yang terkenal adalah politik
ekspansionis Alxander Agung, Roma, Arab pada abad ke-7 M, Napoleon
dan Hitler. Kekuatan-kekuatan ini akan terus memperluas wilayah
kekuasaannya selama mereka belum dikalahkan. Dorongan untuk
menguasai ini tidak akan habis selama masih ada daerah yang mungkin
bisa didominasi.
37
Hans Morganthau, Politik Antar Bangsa, h. 94.
Ambisi klasik itu menurut Kanneth Walt masih ada saat ini, untuk
pertama kali nya sejak Roma, satu negara bisa menguasai politik dunia.
Sang penguasa tersebut adalah Amerika Serikat Serikat. Tidak adanya
penyeimbang kekuatan seperti uni soviet pada beberapa dekade lalu,
menyebabkan terciptanya bahaya yang potensial bagi negara lain. Sebuah
negara yang sangat kuat –dan Amerika Serikat Serikat melakukannyaakan berfikir dan mendaulat dirinya sebagai pihak yang bertanggung
jawab membawa kedamaian, keadilan dan stabilitas dunia. Semangat
sepihak ini bisa saja bertentangan dengan kepentingan negara lain.
Sewaktu terjadi clash antara kekuatan besar dan kekuatan kecil, maka
terjadi potensi atau dorongan untuk imperialistik38.
b. Imperium Kontinental
Imperium Kontinental berbeda dari imperium dunia dalam
cakupan wilayah. Kalau imperium dunia merupakan ambisi menguasai
seluruh wilayah di dunia, maka imperium kontinental hanya berambisi
menguasai satu kontinental (benua) saja39. Tipe ini jelas sekali terlihat
dalam hubungan negara-negara eropa pada era awal abad 20-an. Masingmasing negara berusaha menguasai negara lain dalam kawasan tersebut
c. Pengaruh Lokal
Yang dimaksud dengan pengaruh lokal adalah keinginan untuk
mengubah status qou dan membangun kekuasaan politik yang lebih besar
dalam sebuah negara, bukan kontinental dan bukan dunia. Dengan
38
Wawancara Harry Kreisler dengan Kanneth Walt dengan tema “Conversations with
History” 10 Februari 2003 di UC. Berkeley, diakses dari http//en.wikipedia.org/wiki/Kenneth
Waltz
39
Hans Morganthau, Politik Antar Bangsa, h. 96.
demikian perbedaan antara ketiga tujuan ini hanyalah permasalahan luas
wilayah, namun substansinya tetap sama yaitu ingin mengubah status
quo dan membangun pola kekuasaan yang baru.
5. Imperialisme Modern
Imperialisme Modern (Modern Imperialism) adalah usaha untuk
menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri
yang dijadikan sebagai imperiumnya. "Menguasai" disini tidak perlu berarti
merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan
ekonomi, kultur, agama dan ideologi. Imperium disini pun tidak perlu
berarti suatu gabungan dari daerah jajahan-jajahan, tetapi dapat berupa
daerah-daerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri.
Gagasan imperialisme modern bermula dari kemajuan ekonomi.
Imperialisme modern timbul sesudah revolusi industri. Industri besarbesaran (akibat revolusi industri) membutuhkan bahan mentah yang banyak
dan pasar yang luas. Mereka mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan
mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri, kemudian juga sebagai tempat
penanaman modal bagi kapital surplus.
Imperialisme modern bisa diwujudkan dalam beberapa bentuk:
1. Imperialisme politik. Negara imperialis tersebut menguasai politik
sebuah bangsa. Menguasai dalam arti mempengaruhi atau mendikte
pemerintahan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
2. Imperialisme Ekonomi. Sang imperialis hendak menguasai hanya
ekonomi sebuah negara. Jika suatu negara tidak mungkin dapat dikuasai
dengan jalan imperialisme politik, maka negara itu masih dapat dikuasai
jika ekonominya bisa dikendalikan oleh imperialis. Imperialisme
ekonomi inilah yang sekarang sangat disukai oleh negara-negara
tertentu untuk menggantikan imperialisme politik.
3. Imperialisme Kebudayaan. Tipe ini menghendaki penguasaan atas jiwa
(de geest, the mind) negara lain. Dalam kebudayaan terletak jiwa suatu
bangsa. Jika kebudayaannya dapat diubah, berubahlah jiwa bangsa.
Menguasai budaya suatu bangsa berarti mengusai segala-galanya.
Imperialisme kebudayaan ini adalah imperialisme yang sangat
berbahaya, karena infiltrasinya mudah, dan jika sebuah bangsa telah
“terbudayakan”
sesuai
budaya
imperialis,
maka
akan
sulit
membebaskan diri.
4. Imperialisme Militer (Military Imperialism). Di mana para imperialis
hendak menguasai kedudukan militer suatu negara. Ini dijalankan untuk
menjamin keselamatan mereka untuk kepentingan agresif atau ekonomi.
Tidak perlu seluruh negara diduduki sebagai jajahan, cukup hanya
menempati lokasi-lokasi yang strategis sehingga de facto-nya berarti
menguasai seluruh negara.
Imperialisme modern inilah yang banyak menggambarkan prilaku
negara kuat (Amerika Serikat) dewasa ini seperti yang akan dibahas pada
bab-bab berikutnya.
C. Hubungan Antara Terorisme dan Imperialisme
Terorisme dan imperialisme memang dua hal yang berbeda. Keduanya
juga memiliki akar kesejarahan yang berbeda. Namun dalam beberapa kondisi,
terkhusus pasca tragedi WTC Tahun 2001, kedua nya menjadi dua realitas
kembar yang tak terpisahkan dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat
Serikat. Kebijakan war on terrorism yang diumumkan oleh Amerika Serikat
Serikat telah membangkitkan semangat imperial di sisi lain.
Tragedi WTC sepertinya mengisyaratkan banyak hal kepada Amerika
Serikat Serikat. Melalui peristiwa ini negara Paman Syam bisa mengambil
pelajaran bahwa ternyata pandangan negara atau segmen masyarakat tertentu di
belahan dunia cukup rendah terhadap Amerika Serikat Serikat. Ekspresi
‘ketidak sukaan” tersebut tidak hanya disuarakan melalui unjuk rasa atau
perang opini, namun sudah ditransformasikan dalam bentuk perjuangan baru
dengan menggunakan kekerasan fisik.
Peristiwa ini sekaligus juga mengingatkan Amerika Serikat Serikat
bahwa negara ini tidaklah sekuat yang mereka duga. Meskipun dalam bidang
ekonomi, teknologi dan sebagainya Amerika Serikat jauh lebih unggul (di
Tahun 2003 saja misalnya, Amerika Serikat Serikat dengan enteng
mengeluarkan belanja pertahanan yang jumlahnya lebih besar dari pada
gabungan 15-20 negara pembelanja terbesar40), namun dengan mudah negara
ini bisa dimasuki dan diserang, bahkan pada tempat-tempat yang sangat
strategis pula.
40
Stephen G. brooks dan William C. Wohlforth, “Keunggulan Amerika Serikat dalam
Sejarah” dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk
Baru Politik Internasional, Penerjemah Yusi A. Pareanom dan Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005), h. 269.
Tentu peristiwa ini menggerogoti kebanggaan Amerika Serikat, untuk
itu Amerika Serikat merasa perlu untuk meningkatkan kekuatannya di dunia
internasional. Ibaratkan sebuah gelas, kekuatan Amerika Serikat yang
sebelumnya hanya mengisi setengah gelas, akan ditingkatkan hingga
memenuhi satu gelas penuh
Tentu untuk melancarkan “misi” ini Amerika Serikat memerlukan
justifikasi yang ampuh. Disinilah peran terorisme. Terorisme langsung
mengubah arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat Serikat41. Terorisme
menjadi alat propaganda Amerika Serikat untuk meningkatkan pengaruh dan
dominasinya di dunia internasional. Dengan terorisme, Amerika Serikat
mendapat pembenaran bagi dirinya sendiri untuk memerangi Afganistan dan
Irak –kedua-duanya adalah bekas sekutu Amerika Serikat— bahkan Iran. Isu
terorisme ini menjadi tangga untuk meraih kepentingan politik dan ekonomi
yang jauh lebih luas. Semangat inilah yang disebut dengan imperialisme. Inilah
mengapa terorisme dan imperialisme memiliki kedekatan khusus dalam
kebijakan war on terrorism AS.
Politisasi isu seperti ini bukanlah metode baru yang sulit dianalisa. Jauh
sebelum masehi tepatnya di masa dua peradaban besar; Athena dan Sparta
masih ada, penggunaan propaganda atau isu demi memperluas kekuasaan
sudah sering terjadi. Perang Sparta melawan Athena pada waktu itu ibaratkan
perang antara kebaikan melawan kejahatan. Sparta –sebagai pihak yang
mengaku
41
membawa
kebaikan-
terpaksa
melakukan
perang
demi
Louis Janowski, “Neo-Imperialism and U.S. Foreign Policy”, dalam Foreign Service
Journal, Mei 2004, p. 55.
menyelamatkan warga Athena dari pemimpin yang otoriter dan kejam. Atas
alasan inilah kekuasaan Athena satu per satu ditaklukkan.
Akan tetapi, faktanya tidak pernah ada perang untuk keadilan. Perang di
atas ternyata hanya di latar belakangi oleh ketakutan Sparta atas dominasi
Athena yang makin meluas. Oleh karena itu, Sparta memerlukan tindakan
antisipatif agar dominasi Athena ini terhenti, sehingga posisi Sparta dan
wilayah taklukannya tetap aman dari jangkauan Athena42. Dengan demikian
perang ini bukanlah perang demi kemanusiaan, namun perang demi
kepentingan politik belaka.
Pada masa kolonialisme, justifikasi “perang adil” ini pun juga
disertakan. Para penjajah termasuk Spanyol dan Belanda pada abad ke-16 juga
menjustifikasi perjalannya sebagai usaha untuk menyebarkan kebaikan (agama
Kristen) di dunia. Namun faktanya adalah penjelajahan negara-negara Eropa
tersebut hanyalah demi sebuah ambisi imperial menaklukkan wilayah baru
guna menciptakan koloni dan mendapatkan sumber produksi untuk kelestarian
industri ekonomi di negara masing-masing.
Perang atau kebijakan luar negeri lainnya memang cenderung memiliki
dua wajah; demi kebaikan bersama (idealisme) atau demi kepentingan politik
se pihak (realisme). Untuk menentukan motif mana yang dominan, bisa diukur
dari motif, strategi dan akibat yang ditimbulkan kemudian.
42
Lihat Thomas L Pangle dan Peter J. Ahrensdorf, Justice Among Nation; On the Moral
Basis of Power and Peace (Kansas: University Press of Kansas, 1999), p. 19.
BAB III
Kebijakan War on Terrorism Presiden Bush
War on terrorism merupakan sebuah kebijakan. Kebijakan itu sendiri
berarti serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatanhambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan
tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu43.
Dalam konteks hubungan luar negeri, maka kebijakan dapat diartikan
dengan tujuan umum yang memandu aktifitas dan hubungan antara satu negara
dalam berinteraksi dengan negara lain. Pembentukan kebijakan ini dipengaruhi
oleh pertimbangan kepentingan domestik, kebijakan atau prilaku negara lain, atau
rencana untuk mendapatkan disain geopolitik tertentu44
Untuk membahas sisi imperial dari kebijakan Amerika Serikat melalui
teori yang telah dibahas pada bab sebelumnya (bab II), maka perlu dipaparkan
materi kebijakan war on terrorism presiden Bush tersebut secara komprehensif.
Berikut penjelasannya.
A. Latar Belakang Lahirnya Kebijakan War on Terrorism
Terorisme merupakan fenomena yang sudah ada jauh sebelum tragedi
11 September 2001, namun rangkaian aksi teror sebelumnya belum dianggap
begitu membahayakan keamanan dunia umumnya dan keamanan nasional
Amerika Serikat Serikat khususnya. Tahun 1993 misalnya, Yousuf Ramzi,
43
44
Carl J. Friedrick, Man and His Government (New York: Mc Graw Hill, 1963), h.79.
Britannica Concise Encyclopedia 2006, diakses dari http//.en.wikipedia.org
salah seorang anggota al-Qaida mencoba meruntuhkan gedung World Trade
Center menggunakan bom yang cukup kuat, namun berhasil diantisipasi
dengan cepat, sehingga hanya menewaskan beberapa orang dan hanya merusak
sebagian bangunan. Amerika Serikat Serikat pun tidak butuh waktu berbulanbulan untuk menangkap si pelaku
Namun, munculnya teror global yang semakin intens dan terorganisir,
membuat situasi semakin rumit dan berbahaya. Tercatat sejak Tahun 1981
hingga 2000 dunia internasional diguncang oleh 9.181 serangan. Dalam Tahun
2000 saja terjadi 423 kali, meningkat 8% dari Tahun 1999. Tahun 2000, 405
orang terbunuh, meningkat 73% dari Tahun 199945.
Untuk mengatasi problema tersebut, maka Pemerintah Amerika Serikat
Serikat di bawah pimpinan Presiden Goerge W. Bush mensistematiskan
kebijakan serius yang kemudian disebut war on terrorism.
Wacana war on terrorism ini sesungguhnya telah bergulir sejak masa
Pemerintahan Presiden Bill Clinton. Pada tahun terjadinya bom WTC kali
pertama (1993), belum ada kekhawatiran yang berarti terhadap gejala dan
perkembangan terorisme global ini. Barulah pada Tahun 1996 muncul
kekhawatiran, namun pihak Amerika Serikat Serikat belum mengira kalau alQaida akan menjadi organisasi teroris yang besar yang akan menjadi musuh
utama Amerika Serikat Serikat. CIA pun tidak pernah memberikan indikasi
seperti itu dalam laporannya46
45
Uwe Johannen, et.al, 911: September 11 and Political Freedom (Singapore: Select
Publishing, 2003), p. 31.
46
Richard A. Clarke, Menggempur Semua Musuh; di Balik Perang Amerika Serikat
Melawan Teroris (Against all enemies; inside America’s war on terror), Penerjemah Tim Sinergi
(Jakarta: Sinergi Publishing, 2004), h. 95.
Pada tahun yang sama (1996) Bill Clinton mempresentasikan masalah
terorisme di Universitas Goerge Washington dan mendeklarasikan agenda war
on terrorism yang kemudian sangat popular pada masa pemerintahan Presiden
Goerge W. Bush terutama pasca tragedi 11 September 200147. Pada masa
pemerintahan Presiden Bush inilah istilah war on terrorism benar-benar
mendapatkan momentumnya. Hal ini dikarenakan beberapa sebab:
1. Karakter Presiden Bush.
Siapa yang akan mengira kalau Presiden Bush seperti itu?. Pikiran
inilah yang ada dalam benak teman-teman dekat Goerge W Bush. Belum
banyak orang yang mengenal sosok Presiden Bush sebelum tragedi 911.
Sebagian mungkin mengira bahwa Bush junior mewarisi sifat Bush senior,
tapi tidak banyak yang menyangka kalau ternyata sifat Bush junior sangat
mirip dengan sifat ibunya, Barbara Bush.
Barbara Bush dikenal sebagai orang yang suka bicara blak-blakan,
berlidah tajam, keras kepala (kalau punya kemauan harus terlaksana),
percaya pada instink, bersikap hitam-putih terhadap suatu masalah dan tidak
sabaran. Sifat-sifat itulah yang menempel pada diri Presiden Bush48
Sifat mudah naik darah dan suka bertengkar yang dimiliki Barbara
Bush, menurut April Foley, teman Bush di Harvard Business School,
dimiliki pula oleh Bush49. Perintahnya untuk menangkap Usamah bin Laden
yang dituding ada di balik peristiwa 911 itu “hidup atau mati” merupakan
salah satu bukti.
47
Ibid., h. 125.
Trias Kuncahyono, “Terorisme dan Ambisi Neo-Imperialisme AS; Setahun Setelah
Tragedi 11 September”, Kompas, 11 September 2002, h. 30.
49
Ibid., h. 30.
48
Reaksi keras dan emosional ini tidak hanya terulang sekali atau dua
kali saja, Presiden Bush hampir mengulang kata-kata emosional yang sama
kapan pun, dimana pun serta kepada siapa pun. Bob Woodward, pengarang
salah satu buku international best seller mengutip penggalan percakapan
antara Presiden Bush dan Wakil Presiden Dick Cheney, we’re going to find
who did this” Bush said to Cheney, “and we’re going to kick their ass50
Bagitu lah reaksi Presiden Goege W Bush dalam merespon aksi
teror. Oleh karena itu, cukup bisa dimaklumi kenapa pilihan-pilihan militer
lebih diutamakan dari pada opsi diplomasi –meskipun cara diplomasi juga
tetap digunakan.
Selain alasan “instrinsik” di atas, tak kalah andil sebagai
penyumbang lahirnya sistimatisasi kebijakan war on terrorism pada masa
pemerintahan Bush adalah makin intensifnya kegiatan al-Qaida, Jama’ah
Islamiyah dan negara-negara sponsor terorisme.
2. Serangan Al-Qaida terhadap Amerika Serikat dan Dunia51
Al-Qaida telah membuktikan dirinya sebagai organisasi yang
fleksibel, gesit dan cepat. Al-Qaida juga telah berhasil merekonfigurasi
dirinya menjadi organisasi yang lebih reflektif terhadap ideologi.
Konsekuensinya
adalah
Amerika
Serikat
semakin
sulit
untuk
mengalahkannya52.
50
Bob Woodward, Bush at War (London: Pocket Books, 2003), p. 18.
Amerika Serikat menyebut al-Qaida sebagai organisasi teroris. Namun, ada beberapa
hal yang perlu dicermati. Pertama, kalau tudingan itu didasari oleh data dan fakta yang benar,
maka al-Qaida bisa disebut sebagai teroris. Namun, jika tuduhan ini hanya berdasarkan asumsi dan
ketakutan se pihak Amerika Serikat karena al-Qaida pernah mendeklarasikan perang melawan
Amerika Serikat tahun 1998, maka tentu bisa ditegaskan bahwa al-Qaida bukanlah organisasi
teroris.
52
Bruce Hoffman, “Al-Qaida Then and Now”, dalam Karen J. Greenberg, ed., Al-Qaida
Now: Understanding Today’s Terrorists (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), p. 10.
51
Al-Qaida memang dicatat sebagai sasaran utama kampanye war on
terrorism Amerika Serikat. Organisasi Islam radikal ini telah melakukan
sejumlah pem-bom-an yang menewaskan ratusan bahkan ribuan orang. Pada
Tahun 1998, al-Qaida membom kedutaan AS di Kenya dan Tanzania yang
menewaskan 223 orang dan melukai tidak kurang dari 4000 orang. Al-Qaida
juga membidani 20 aksi teror di Saudi Arabia yang menewaskan 50 tenaga
pengamanan dan melukai lebih banyak orang lagi53. Selanjutnya dan yang
paling sukses bagi al-Qaida adalah meruntuhkan menara kembar WTC yang
menewaskan lebih kurang 3000 orang. Teror WTC tersebut sungguh
menimbulkan efek persepsi, efek psikologis dan efek simbolik yang hebat
dalam skala global54
Yang lebih menakutkan lagi bagi Amerika Serikat Serikat adalah
ternyata al-Qaida telah memiliki jaringan di 60 negara di dunia55. Inilah
mengapa al-Qaida disebut sebagai jaringan teroris global, karena
pengaruhnya yang sangat luas, bahkan mungkin sampai ke Indonesia.
3. Kekhawatiran terhadap Jamaah Islamiyah
Selain al-Qaida, Jamaah Islamiyah juga merupakan organisasi yang
dicap sebagai teroris global. Sedikit berbeda dengan al-Qaida yang eksklusif
– mengkhususkan aksinya pada simbol-simbol Amerika Serikat, Jamaah
Islamiyah berperan secara lebih “dinamis”. Dinamis dalam arti bahwa
mereka tidak memaksa diri untuk menyerang simbol-simbol utama negara
53
Steven Simon, “Al-Qaida Then and Now” dalam Karen J. Greenberg, ed., Al-Qaida
Now: Understanding Today’s Terrorists (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), p. 1415.
54
Yasraf Amir Piliang “Hiperterorisme dan Hiperteknologi” dalam Farid Muttaqin dan
Sukidi, ed., Terorisme Serang Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 63.
55
Bob Woodward, Bush at War, p. 33.
kafir (seperti kedutaan, gedung pemerintahan, pusat militer dan sebagainya),
namun bisa juga dengan memilih tempat-tempat atau orang tertentu yang
dianggap representatif.
4. Negara-negara Sponsor Terorisme
Faktor lain yang tak kalah dipertimbangkan dalam kampanye war on
terrorism adalah makin meningkatnya dukungan negara-negara tertentu
terhadap kelompok yang dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh
Pemerintah Amerika Serikat. Dukungan tersebut bisa melalui pemberian
dana, penyediaan tempat perlindungan maupun fasilitas persenjataan.
Amerika Serikat menyebutkan sejumlah negara yang menjadi
sponsor teroris56:
• Iran, karena melindungi dan memberikan fasilitas persenjataan kepada
Hizbullah (Libanon), Hamas (Palestina) dan Jihad Islam
• Irak, karena memiliki kedekatan tertentu dengan kelompok mujahidin
khalq.
• Syiria, karena memberi izin kepada Hamas untuk membuka cabang di
Damaskus
• Libya, karena memberi bantuan kepada Islamic Jihad Palestina
• Kuba, karena keterkaitannya dengan National Liberation Army dan The
Revolusionary Armed Force Colombia
• Korea Utara karena memasok senjata ke sejumlah kelompok ekstrim dan
memiliki senjata nuklir
56
Chawat Satha-Anand, “Mitigating the Success of Terrorism with Politic of Truth and
Justice”, dalam Uwe Johannen, et.all., 911: September 11 and Political Freedom (Singapore:
Select Publishing, 2003), p. 18.
Keberadaan kelompok teroris dan negara sponsor inilah yang
membuat kampanye war on terrorism Amerika Serikat Serikat menjadi
sangat urgen dan ekspansif serta berpengaruh terhadap pola hubungan
internasional. Kebijakan war on terrorism Amerika Serikat Serikat secara
sistematis dibagi ke dalam kebijakan jangka panjang dan kebijakan jangka
pendek
B. Kebijakan Jangka Panjang War on terrorism
Isu terorisme telah mengubah kebijakan luar negeri Amerika Serikat
Serikat secara radikal dari yang bersifat new-isolasionisme menjadi
intervensionisme57. Amerika Serikat Serikat biasanya merencanakan kebijakan
jangka panjangnya untuk cakupan waktu 50 tahun sekali. Sesungguhnya pada
masa Pemerintahan Bill Clinton sampai masa Presiden Bush sebelum terjadi
tragedi WTC, Amerika Serikat Serikat masih memiliki dua arah besar
kebijakan luar negeri.
Pertama, pengimbangan kekuatan lawan (deterrence). Kebijakan ini
dilatar belakangi oleh konflik dan persaingan Amerika Serikat Serikat dengan
Uni Soviet. Amerika Serikat Serikat selalu berupaya mengimbangi kekuatan
militer Uni Soviet untuk menjadi penyeimbang bagi stabilitas dunia
internasional. Kedua belah pihak tidak saling menyerang, namun sadar bahwa
mereka bermusuhan. Inilah mengapa masa itu disebut dengan parang dingin
(cold war). Strategi ini masih dipertahankan pada masa Pemerintahan Bill
57
Lihat Majid Tehranian, “The Center Cannot Hold: Terrorism and Global Change”
dalam Uwe Johannen, et.all, 911: September 11 and Political Freedom (Singapore: select
Publishing, 2003), p. 46. Lihat juga Louis Janowski, “Neo-Imperialism and U.S. Foreign Policy”
dalam Foreign Service Journal, Mei, 2004, p. 55.
Clinton. Oleh karena itu, Clinton berusaha mengisolasi Amerika Serikat agar
tidak terlibat langsung dalam konflik internasional.
Kedua adalah penyebaran liberalisme. Liberalisme secara umum adalah
ideologi
yang
menegaskan
komitmen
pada
kesetaraan,
kebebasan,
individualitas dan rasionalitas58. Dalam perspektif ekonomi, Liberalisme
berarti mendukung pasar bebas dan “kapitalisme”. Ekonomi memang
merupakan sasaran utama kebijakan Amerika Serikat Serikat, karena dengan
menguasai perekonomian sebuah negara, berarti juga menguasai kekuatan
politik negara tersebut. Strategi ini diwujudkan oleh Amerika Serikat Serikat
melalui pemberian berbagai bantuan kepada negara-negara berkembang
sebagai modal pengembangan ekonomi nasional mereka. Namun, bagi
Amerika Serikat sendiri, bantuan itu akan menjadi modal dasar untuk
menanamkan pengaruhnya di negara tersebut.
Namun bagi kebinet war on terrorism yang dibentuk oleh Presiden
Bush, pendekatan lama ini dianggap kurang memadai. Untuk itu diciptakanlah
kebijakan baru dalam usaha memenangkan perang melawan terorisme.
Kebijakan ini bisa dibedakan menjadi kebijakan jangka panjang dan kebijakan
jangka pendek.
Kebijakan jangka panjang yang diterapkan Amerika Serikat Serikat
dalam usaha
memenangkan
perang
melawan
terorisme
antara
lain,
menyebarkan demokrasi, membangun fail state dan memperbaiki hubungan
dengan negeri-negeri muslim.
1. Penyebaran Demokrasi yang Efektif
58
Richard Bellamy, “Liberalisme” dalam Roger Eatwell dan Anthony Wright, ed.,
Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer, Penerjemah R.M. Ali (Yojyakarta: Jendela, 2004), h. 32.
Salah satu kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh Amerika
Serikat Serikat adalah menyebarkan isu kebebasan dan hak asasi manusia
melalui penerapan demokrasi yang efektif59. Di antara penanda utama
sistem demokrasi ini adalah pengangkatan pemimpin melalui mekanisme
pemilihan umum dimana masyarakat memberikan suara kepada calon
pemimpin yang disukai dengan berbagai pertimbangan. Proses ini tentunya
mencerminkan kebebasan individu sekaligus memberikan legitimasi yang
kuat bagi seorang pemimpin.
Tapi demokrasi memang tidak hanya direpresentasikan melalui
pemilihan umum semata. Demokrasi juga mesti menghargai dan membuka
kebebasan
dasar
manusia
termasuk
beragama,
berfikir,
berbicara,
berorganisasi dan kebebasan pers. Secara otomatis –kalau kebebasan ini
dibuka-- pemerintah akan dipaksa untuk bertanggung jawab kepada
rakyatnya dan berusaha memenuhi keinginan rakyat tersebut.
Demokrasi yang efektif juga secara otomatis akan menciptakan
kedaulatan yang efektif dan menjamin keamanan di dalam teritorial negara,
menyelesaikan konflik secara damai, melindungi sistem peradilan yang
independen, menghukum yang bersalah, dan memerangi tindak korupsi.
Demokrasi yang efektif juga akan membatasi kekuasaan pemerintah
sehingga memungkinkan munculnya civil society. Dalam sebuah demokrasi
yang efektif, kebebasan tidaklah terbagi, kebebasan bukan menjadi milik
sebagian orang atas sebagian yang lain.
59
Homeland Security Council, 9/11 Five Years Later: Successes and Challenges
(Washington: White House, September 2006), p. 5.
Semua yang digambarkan melalui penegakan demokrasi yang efektif
ini merupakan anti-tesa dari ideologi yang dipegang oleh kelompok teroris.
Untuk melihat lebih jauh “perang ide” antara demokrasi dan ideologi
kelompok teroris tersebut, Amerika Serikat Serikat menekankan beberapa
hal mengenai terorisme.
Pertama, terorisme bukanlah produk dari kemiskinan. Banyak
pelaku aksi teror seperti tragedi 11 September 2001 ternyata bukan berasal
dari kelompok ekonomi rendah60. Misal saja Usama bin Laden, ia adalah
seorang milyarder asal Arab Saudi yang sampai sekarang memiliki asset
kekayaan yang cukup banyak61.
Kedua, terorisme bukan semata lahir karena kebencian pihak lain
atas kebijakan Amerika Serikat Serikat kepada Irak62. Sesungguhnya
Amerika Serikat Serikat sudah diserang sejak Tahun 2001 dan bahkan jauh
sebelum itu, sebelum Amerika Serikat Serikat meruntuhkan rezim Saddam
Hussain.
Ketiga, terorisme bukanlah dampak dari isu pertikaian Israel Palestina. Amerika Serikat menyebutkan bahwa serangan al-Qaida Tanggal
60
Homeland Security Council, Strategies for Winning the War on terror (Washington:
White House, 2003), p. 1.
61
Asumsi pemerintahan Amerika Serikat Serikat ini cukup berbeda dari keyakinan
banyak pemikir sosial dan sejarawan di berbagai negara. Motif ekonomi bagi sebagian pemikir
sama kuatnya dengan motif politik maupun agama. Para eksekutor bom pada umumnya berasal
dari keluarga kelas ekonomi menengah ke bawah. Dan pelaku adalah tulang punggung keluarga
yang sangat mengharapkan kesejahteraan yang cukup bagi anak dan istrinya. Oleh sebab itu,
tatkala datang tawaran untuk melakukan pem-bom-an dengan imbalan kesejahteraan bagi
keluarga, mereka menerima tawaran tersebut. Kemudian desakan ekonomi ini dibumbuhi
semangat ideologis atau semangat keagamaan. Ini juga sekaligus menjadi penjelasan mengapa aksi
pem-bom-an banyak terjadi di negara-negara berkembang (miskin).
62
Homeland Security Council, Strategies, p. 1.
11 September 2001 sesungguhnya telah dimulai dengan skala berbeda sejak
Tahun 1990 yang nota bene adalah masa damai antara kedua belah pihak63.
Keempat, terorisme bukanlah respon balik terhadap war on terrorism
ala Amerika Serikat Serikat. Al-Qaida telah menyerang Amerika Serikat
Serikat jauh sebelum Amerika Serikat Serikat menyerang Irak dan alQaida64. Selain keyakinan di atas, Amerika Serikat Serikat juga mengatakan
bahwa mereka saat ini menghadapi kelompok teroris yang memiliki latar
belakang yang beragam mulai dari65:
• Political alienation yaitu kelompok teroris yang muncul dari masyarakat
yang tidak memiliki suara dalam pemerintahan dan tidak memiliki cara
yang terlegitimasi untuk mengubah hal tersebut. Dengan eksistensi
pemerintahan
seperti
ini,
pemerintahan
tersebut
sangat
mudah
dimanipulasi oleh sekelompok orang dengan cara kekerasan dan
penghancuran.
• Aksi balas dendam yang tidak bisa dilampiaskan kepada orang lain.
Dilema psikologis yang dirasakan oleh para teroris adalah bahwa mereka
merasa tidak mendapat keadilan dari masa lalu. Trauma dari masa lalu
63
Asumsi ini memang ada benarnya bahwa tidak semata lahirnya terorisme karena isu
Israel-Palestina. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa isu Israel-Palestina menjadi salah satu
motivasi yang membakar semangat perjuangan kelompok yang dianggap teroris. Lahirnya
terorisme secara umum merupakan sebuah respon keras atas dominasi Amerika Serikat Serikat
yang secara struktural telah mengintervensi dan mendikte para pemimpin di negeri muslim.
Intervensi ini kemudian mengakibatkan liberalisasi dan westernisasi di segala bidang dan akhirnya
menjadi cikal bakal rusaknya ekonomi, politik bahkan moral umat. Jika intervensi Amerika Serikat
ini adalah bara-nya, maka keberpihakan Amerika Serikat kepada Israel adalah api-nya.
64
Hal ini tentu benar jika orang menganggap bahwa intervensi Amerika Serikat Serikat di
wilayah muslim jauh sebelum deklarasi war on terrorism bukanlah sebuah tindakan yang bisa
dilabelkan dengan “kejahatan”. Namun jika orang menganggap bahwa intervensi Amerika Serikat
di berbagai wilayah muslim sebagai kejahatan, maka sanggahan Amerika Serikat tentulah tak
beralasan.
65
Homeland Security Council, Strategies, p. 1.
inilah yang selalu menjadi retorika dan motivasi yang kuat untuk balas
dendam dan teror.
• Kelompok masyarakat korban konspirasi dan informasi yang tidak benar.
Kelompok teroris merekrut --secara lebih efektif dari-- populasi yang
perbendaharaan informasinya tentang dunia telah terkontaminasi atau
terjerat oleh konspirasi66. Distorsi informasi ini menjaga kebencian
mereka terhadap musuh sehingga menutup mata dari fakta yang
sebetulnya bisa mengubah sangkaan dan propaganda se pihak tersebut.
• Adanya ideologi yang membenarkan pembunuhan. Inilah point terakhir
yang menakutkan bagi Amarika Serikat. Di saat sebuah aksi sudah
dibenarkan oleh ideologi seperti agama, maka pelakunya tidak akan
merasa takut. Bahkan mati dalam misi adalah sebuah status istimewa
yang pantas mendapat imbalan surga.
Mengalahkan terorisme dalam kurun waktu jangka panjang
membutuhkan penyelesaian pada bidang-bidang tersebut di atas. Demokrasi
yang efektiflah satu-satunya cara untuk menyelesaikan setiap problem di
atas, karena demokrasi adalah sebuah sistem yang mampu menghancurkan
kondisi-kondisi yang bisa dieksploitasi oleh kelompok teroris. Dengan
demokrasi, maka:
•
Problem alienasi bisa diatasi. Demokrasi menawarkan partisipasi serta
kepemilikan di dalam masyarakat. Dengan adanya partisipasi dan
kepemilikan tersebut masyarakat bisa menciptakan masa depannya
sendiri.
66
Ibid., p. 2.
•
Untuk latar belakang dendam dan informasi yang salah, demokrasi
menawarkan kebebasan berbicara, media yang independen dan
pertukaran ide yang bisa meng-ekspos dan mengkoreksi hal yang salah,
serta anggapan-anggapan dan propaganda yang tidak jujur.
•
Dalam kaitannya dengan ideologi yang membolehkan pembunuhan,
maka demokrasi menawarkan penghargaan terhadap derajat manusia
yang membenci penyerangan terhadap warga yang tak bersalah.
Demokrasi dengan demikian adalah anti tesis sikap tirani kelompok
teroris. Demokrasi didasarkan pada penguatan masyarakat sementara
ideologi teroris berdasarkan perbudakan. Demokrasi mengangkat kebebasan
masyarakat, sementara teroris berusaha memaksakan satu kepercayaan yang
sempit kepada semua orang. Demokrasi melihat seorang individu setara
harkat dan derajatnya dengan orang lain, individu memiliki nilai dasar yang
bisa dikembangkan, mengatur diri sendiri dan melaksanakan haknya berupa
kebebasan berbicara dan berpendapat. Di lain pihak teroris hanya melihat
seorang individu sebagai objek eksploitasi, bisa diatur dan ditekan.
Adapun langkah-langkah strategis yang dijalankan Amerika Serikat
Serikat dan sekutu dalam menyebarkan demokrasi yang efektif adalah:
Pertama, mengoperasikan USAID (lembaga bantuan Amerika Serikat
Serikat) di lebih dari 26 negara baik di Asia, Timur Tengah maupun Afrika
Utara dengan program-program yang inovatif yang menekankan pada
perdagangan, pendidikan dan demokrasi. Kedua, Membentuk Millenium
Challenge Account yang diperuntukkan guna mempercepat reformasi global
dengan cara memberikan bantuan-bantuan tambahan kepada negara-negara,
berinvestasi di negara tersebut dan mempromosikan ekonomi bebas. Ketiga,
membentuk “Partnership for Progress and a Common Future”, untuk
mendukung reformasi politik, ekonomi dan sosial di Timur Tengah yang di
prakarsai oleh negara G-8 Tahun 200467.
Demokrasi di sisi lain memang tidak kebal terhadap terorisme.
Demokrasi juga tidak melulu menjanjikan kesejahteraan. Dalam beberapa
kondisi yang dianggap demokratis, kadang masih terdapat beberapa etnik
atau kelompok agama yang tidak bisa dan tidak mau memanfaatkan
keuntungan dari kebebasan yang disediakan untuk masyarakat. Kelompokkelompok tersebut akan menjadi bibit alienasi yang bisa dieksploitasi oleh
kelompok teroris.
Strategi melawan landasan ideologis kelompok teroris dan mencegah
mereka agar tidak bisa merekrut di masa mendatang hanya bisa dilakukan
dengan betul betul menguatkan masyarakat yang berpotensi di eksploitasi
oleh para teroris yang pada umumnya dikategorikan sebagai muslim
fundamentalis. Untuk itu pemerintah Amerika Serikat Serikat sangat
mendukung gerakan reformasi yang akan menguatkan muslim yang
berorientasi pada kedamaian agar mereka kemudian berpartisipasi dan
menafsirkan agamanya dengan lebih bijak. Amerika Serikat serikat juga
akan bekerja keras untuk menghancurkan tiang-tiang ideologi kelompok
Islam ekstrem dan menggalang dukungan dari kelompok muslim yang anti
kekerasan di seluruh dunia.
67
Homeland Security Council, 9/11 Five Years Later, p. 5.
Kerja yang paling vital untuk mencapai tujuan itu tentunya akan
berlangsung di dalam dunia Islam itu sendiri seperti Indonesia, Jordan,
Maroco dan lain-lain yang telah memulai usaha ke arah ini. Selain itu peran
pemimpin agama juga sangat dibutuhkan untuk mengalahkan ideologi yang
jahat yang mengeksploitasi Islam untuk membenarkan tindak pembunuhan
orang-orang tak bersalah.
2. Membangun Fail State
Strategi jangka panjang kedua adalah membangun fail state. Fail
state atau negara gagal adalah sebutan bagi negara-negara yang dianggap
telah kehilangan kedaulatan. Kehilangan kedaulatan ini bisa disebabkan
karena negara yang bersangkutan menjadi sarang atau pelindung kelompok
teroris, atau bisa juga karena struktur dan rezim pemerintahannya yang
sangat otoriter.
Afganistan dan Irak adalah contoh negara yang dikategorikan
sebagai fail state, karena Afganistan di satu sisi dianggap sebagai pelindung
kelompok al-Qaida dan Irak di sisi lain, selain dipimpin oleh seorang
diktator, juga disinyalir memiliki senjata pemusnah masal yang berbahaya
bagi dunia.
Pembangunan negara-negara gagal ini –dalam asumsi Amerika
Serikat Serikat- menjadi poin yang cukup determinan, karena kalau negara
ini dibiarkan tetap eksis, maka tidak ada jaminan atas stabilitas dan
keamanan nasional maupun internasional.
Kedua negara ini –serta negara-negara lain yang satu tipe- akan terus
melahirkan “usamah-usamah” baru selama struktur negara dan kultur
masyarakatnya tidak diubah. Dengan latar belakang tersebut, maka tidak ada
jalan lain untuk menghentikan aksi teror global ini selain meruntuhan
pemerintahan otoriter dan menggantinya dengan demokrasi yang efektif.
Amerika Serikat Serikat menjadikan hal ini sebagai poin penting,
karena Amerika Serikat-lah yang nantinya menjadi sasaran utama
pelampiasan dendam kelompok-kelompok ekstrem. Dengan demikian,
membantu penyelesaian konflik yang berlarut-larut di negara-negara gagal
tersebut bukan hanya bagus untuk dunia secara umum, namun juga
membuat Amerika Serikat Serikat lebih aman68.
Amerika Serikat meyakini bahwa dunia ini adalah sebuah struktur
yang memiliki hubungan ketergantungan. Ibaratkan sebuah jasad, apabila
satu bagiannya terluka, maka bagian yang lain pun akan merasakan
sakitnya. Sehingga untuk menghilangkan sakit yang dirasakan semua
anggota jasad, maka bagian yang terluka harus disembuhkan69
Proses
perbaikan
fail
state
dimulai
dengan
meruntuhkan
pemerintahan status quo (Saddam Hussain di Irak dan Taliban di
Afganistan). Setelah ekspansi ini berhasil, maka dilakukan “reformasi”
politik dan ekonomi serta kebudayaan secara radikal.
Reformasi di bidang politik dilakukan melalui demokratisasi di
segala bidang serta mendukung pengangkatan pemimpin yang tunduk
kepada arahan Amerika Serikat Serikat. Di bidang ekonomi dilakukan
68
Stphen M. Walt. “Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Serikat,
dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru
Politik Internasional, Penerjemah Yusi A. Pareanom dan Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), h. 375.
69
Lihat Arif Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2000), h. 63.
melalui liberalisasi ekonomi, membuka pasar bebas termasuk mendatangkan
“arsitek-arsitek” ekonomi dari Amerika Serikat khususnya untuk membidani
sejumlah sektor ekonomi70.
Keseluruhan usaha ini secara otomatis berpengaruh terhadap prospek
serta kultur lokal. Masyarakat yang selama ini hidup dalam struktur sosial
yang hierarkhis dan tertutup, saat diperkenalkan dengan ide masyarakat
bebas dan setara, tentu mengalami dilema tersendiri. Di satu sisi kondisi ini
bisa mengentalkan budaya lama akibat desakan inferiority complex, namun
di sisi lain infiltrasi ini bisa mengubah budaya lokal menjadi budaya baru
yang mengadopsi khazanah barat
3. Memperbaiki Hubungan dengan Negeri Muslim
Strategi ketiga yang dijalankan Amerika Serikat Serikat adalah
memperbaiki hubungan dengan negara-negara muslim. Kebijakan ini
diperlukan untuk menghilangkan anggapan bahwa Amerika Serikat
memerangi Islam. Dengan menjalin hubungan yang lebih baik dengan
negara-negara muslim, diharapkan bisa mengembalikan persepsi tentang
Amerika Serikat Serikat ke posisi netral dan humanis.
Untuk mencapai target tersebut, Amerika Serikat Serikat tidak bisa
hanya mengandalkan pertemuan dengan pemerintahan Arab, ia juga harus
memperbaiki citranya di mata publik luas. Untuk itu Amerika Serikat harus
menerapkan beberapa langkah konkret. Langkah konkret pertama adalah
melakukan pendekatan yang tak se pihak lagi untuk konflik antara Israel dan
70
Lihat Homeland Security Council, Strategies, p. 6.
palestina71. Amerika Serikat Serikat antara lain harus menunjukkan bahwa
para pemimpin Amerika Serikat Serikat mendorong pembentukan sebuah
negara Palestina dan menekankan bahwa pemerintahan Amerika Serikat
melakukan banyak upaya agar negara se macam itu (Palestina) lahir. Untuk
menyelesaikan proses ini secara damai, Amerika Serikat harus menekan
Israel untuk menghentikan penambahan wilayah dan mendorong untuk
memulai perundingan baru.
Langkah kedua, penyesuaian pendirian Amerika Serikat Serikat di
Timur Tengah juga harus menyertakan sebuah pengkajian ulang tentang
hubungan Amerika Serikat Serikat dengan pemerintahan-pemerintahan arab
tertentu72. Misalnya Arab Saudi, terlepas negara ini adalah negara nondemokratis dan terlepas dari dukungannya terhadap kelompok ekstrem
Islam, Amerika Serikat harus tetap menjaga hubungan baik dengan negara
pemasok minyak tersebut. Amerika Serikat tidak berniat untuk mengubah
tatanan yang sudah ada, karena bisa jadi dengan perubahan itu, negara ini
akan berbalik melawan Amerika Serikat.
Sikap
Amerika
Serikat
ini
memang
sering
dianggap
membingungkan, di satu pihak, negara ini menentang otoritarianisme dan
memusuhi negara-negara –yang diduga—memberi dukungan baik dana
maupun fasilitas kepada kelompok teroris. Namun, di sisi lain Amerika
Serikat tetap menjalin hubungan baik dengan negara-negara dalam kategori
di atas. Disinilah terlihat realisme politik Amerika Serikat Serikat
71
Stephen M Walt, “Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Serikat”,
dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru
Politik Internasional , h. 388.
72
Ibid., h. 391.
Akan tetapi, di luar semua itu, guna melancarkan strategi pemulihan
hubungan dan citra Amerika Serikat di negeri-negeri muslim, Amerika
Serikat harus meluncurkan sebuah kampanye informasi publik yang luas,
menggunakan seluruh instrumen dan saluran komunikasi yang dimiliki73
C. Kebijakan Jangka Pendek
Mencanangkan kebebasan, kesempatan dan penghargaan terhadap
derajat manusia melalui demokrasi adalah salah satu solusi jangka panjang
untuk mencegah berlanjutnya gelombang teror saat ini. Agar kebijakan jangka
panjang ini bisa mengakar, Amerika Serikat Serikat mengoperasikan empat
tindakan prioritas dalam bentuk kebijakan jangka pendek74.
1. Mencegah Serangan oleh Jaringan Teroris
Sesungguhnya sebuah negara tidak memiliki kewajiban yang lebih
penting terhadap warganya dari pada melindungi jiwa dan kehidupan
masyarakat. Jiwa keras yang sudah tertanam dalam hati para teroris hampir
tidak bisa diperbaiki, salah satu dan mungkin satu-satunya cara untuk
menghentikan mereka hanyalah dengan melumpuhkan atau menghancurkan
mereka. Jaringan-jaringan yang selama ini menghubungkan antara satu
orang dengan yang lain akan diputuskan, sumber kekuatan, fasilitas dan
pendanaan mereka pun harus dihilangkan. Dengan demikian jaringan itu
tidak akan berkerja dan akan terganggu.
Pemerintah Amerika Serikat Serikat bekerja sama dengan para
partner di seluruh bagian dunia berusaha mengumpulkan dukungan publik
73
74
Ibid., h. 392.
Homeland Security Council, 9/11 Five Years Later, p. 7.
untuk memerangi aksi terorisme, mencegah para teroris memasuki wilayah
Amerika Serikat Serikat dan mendirikan alat protektif untuk mereduksi
kemungkinan diserang.
Untuk mencegah serangan dari kelompok teroris ini, maka perlu
dibuat beberapa langkah strategis.
a. Menyerang Jaringan Kerja dan Markas Teroris.
Amerika Serikat Serikat dan koalisinya secara rutin bertindak
aktif dan efektif melawan teroris dan beberapa kelompok ekstrimis
lainnya yang menimbulkan ancaman serius bagi dunia internasional.
Amerika Serikat Serikat dan sekutu berupaya menyerang jaringan dan
markas para teroris baik di dalam negeri maupun di luar negeri dengan
menggunakan elemen kekuatan nasional. Ada beberapa target yang
sesungguhnya sudah ditargetkan oleh Amerika Serikat Serikat dan
sekutu.
• Pemimpin. Yaitu seseorang yang memberikan semangat ideologis
yang
menjadi
pegangan
para
pengikutnya
untuk
kemudian
diperjuangkan. Para pemimpin juga memberikan beberapa arahan,
disiplin dan motivasi untuk menyelesaikan tugas yang sudah
diberikan. Kebanyakan kelompok teroris memiliki figur sentral yang
menjadi ruh perjuangan. Seterusnya untuk beberapa operasi terdapat
beberapa pemimpin dan menejer yang memberikan petunjuk tentang
fungsi dan wilayah yang bersifat lokal. Kehilangan seorang pemimpin
sentral dalam organisasi seperti ini akan menyebabkan menurunnya
kohesivitas kelompok dan pada beberapa kasus bahkan bisa menjadi
pemicu hancurnya kelompok. Namun, di beberapa kelompok lainnya,
kehilangan pemimpin sentral biasanya langsung digantikan dengan
kandidat yang telah berpengalaman atau dengan mendesentralisasikan
struktur komando-komando yang membuat usaha kelompok Amerika
Serikat dan sekutu semakin sulit dalam menghilangkan jaringan
teroris tersebut.
• Kaki tangan pemimpin yang mencakup operator, fasilitator dan
trainner dalam jaringan teroris. Merekalah yang menggerakkan
kelompok teroris. Di lain pihak, teknologi dan globalisasi telah
meningkatkan kemampuan kelompok ini untuk merekrut kaki tangan
termasuk para tenaga terdidik. Ini membuat Amerika Serikat Serikat
dan koalisinya harus lebih gigih dan rutin dalam melacak dan
melumpuhkan bahkan membunuh kaki tangan ini.
• Senjata. Senjata adalah alat yang digunakan untuk membunuh dan
meningkatkan dampaknya. Para teroris mengeksploitasi banyak
sumbangan untuk mengembangkan dan mendapatkan senjata. Dana
ini termasuk dana yang didapatkan dari negara sponsor, pencurian,
perampokan, perdagangan gelap dan lain-lain75. Para teroris kemudian
memanfaatkan teknologi yang sudah ada –bahan peledak, senjata
mini, misil dan alat-alat lain- dengan cara konvensional maupun nonkonvensional untuk melakukan teror dan mendapatkan hasil yang
sukses. Mereka juga menggunakan teknologi non senjata seperti
pesawat terbang pada tragedi 11 Sepetember. Namun di atas semua
75
Homeland Security Council, Strategies , p. 4.
itu, yang paling ditakutkan oleh semua pihak adalah jika senjata
pemusnah masal berhasil didapatkan oleh para teroris. Jika senjata
pemusnah masal ada di tangan mereka, maka kerusakan yang
dihasilkan akan jadi berlipat ganda. Oleh karena itu, mencegah agar
semua tidak terjadi adalah kunci prioritas dari strategi Amerika
Serikat Serikat.
• Pendanaan. Dana lah yang membuat semua aksi ini menjadi mungkin.
Dengan tersedianya dana, maka dengan mudah alat-alat yang
dibutuhkan dalam operasi bisa dibawa dan didapatkan. Kelompok
teroris mendapatkan pendanaan dari berbagai sumber termasuk
sumbangan dari para kontributor, NGO dan sedekah, selain itu dana
ini juga didapatkan dari sejumlah tindak kriminal seperti penipuan,
pemerasan, penculikan dengan tebusan dan sebagainya. Mereka
kemudian mentransfer dana ini melalui berbagai mekanisme, baik
melalui sistem perbankan biasa, debit, kurier uang cash dan “hawalas”
yaitu sebuah alternatif pembayaran yang berlandaskan kepercayaan
semata.
• Komunikasi. Komunikasilah yang membuat para teroris mampu
mendapatkan, menyimpan dan memanipulasi serta mengubah
informasi. Metode komunikasi yang mereka gunakan cukup beragam.
Biasanya mereka menggunakan kurir dan komunikasi dari wajah ke
wajah dan cenderung menggunakan media yang bisa diakses di
wilayah tempat mereka menetap. Para teroris juga menggunakan
teknologi mutahir untuk meningkatkan efisiensi. Metode seperti ini
bisa dengan menggunakan internet yang dieksploitasi untuk
menciptakan propaganda, merekrut anggota baru, mencari sumber
dana dan sumber-sumber meteri lainnya. Tanpa kemampuan
komunikasi seperti ini, kelompok teroris tidak akan mampu
mengorganisir sebuah operasi dengan efektif, mengeksekusi serangan
atau menyebarkan ideologi mereka.
• Propaganda operasi. Yaitu sesuatu yang digunakan oleh kelompok
teroris
untuk
membenarkan
aksi
kekerasan
sekaligus
yang
menginspirasi individu guna mendukung atau bergabung dalam aksi
tersebut. Kemampuan kelompok teroris dalam mengeksploitasi
internet dan media dunia lainnya memudahkan mereka untuk
mempopulerkan ideologi radikal dan teori konspirasi untuk merekrut
siapa saja di belahan bumi ini. Selain pencapaian yang bertaraf global,
teknologi tersebut membuat kelompok teroris mampu menyebarkan
propagandanya secara cepat bahkan lebih cepat dari usaha koordinasi
dan distribusi penghadangan gerakan aksi teror itu sendiri.
Setelah memetakan target-target tersebut, Amerika Serikat Serikat
dan sekutu melakukan penyerangan (seperti di Afganistan dan Irak) dan
penangkapan di sejumlah tempat. Strategi ini sering disebut dengan preemptive. Yaitu strategi menyerang sebelum diserang. Pre-emptive
mencakup penangkapan, pembunuhan dan pelumpuhan kelompok teroris
sebelum mereka sempat melakukan apa-apa.
Bentuk lain dari strategi pre-emptive ini adalah melakukan
interogasi terhadap tersangka teroris untuk mendapatkan informasi
tentang target dan identitas teroris lainnya. Untuk memudahkan
interogasi ini bisa dilakukan dengan cara memberi zat sugesti seperti
narkoba dan lain-lain. Proses ini memang mengenyampingkan hak asasi
manusia.
Dengan alasan pre-emptive ini jugalah Amerika Serikat kemudian
memasuki negara lain guna memberantas bibit-bibit terorisme. Amerika
Serikat masuk ke wilayah Afganistan dan Irak, kemudian melakukan
sejumlah perubahan agar terorisme bisa dihilangkan. Amerika Serikat
juga masuk ke negara-negara muslim yang diperkirakan memiliki potensi
terorisme, seperti Indonesia, Timur Tangah, Afrika Utara serta negaranegara di Asia Tenggara.
Intervensi ini legitimatif, karena negara-negara yang menjadi
sarang terorisme –dalam anggapan Amerika Serikat- telah terancam
kehilangan kedaulatan. Untuk itu, Amerika Serikat lah sebagai satu
satunya polisi dunia yang akan mengambil tanggung jawab untuk
mengatasi potensi terorisme di negara yang telah “kalah” oleh para
teroris.
b. Menghalangi para teroris agar tidak memasuki wilayah Amerika Serikat
Serikat dan menghentikan perjalanan internasional mereka.
Menghadang kelompok teroris agar tidak bisa masuk ke wilayah
Amerika Serikat Serikat akan berpengaruh secara signifikan terhadap
mobilitas gerakan mereka. Strategi ini akan menghambat mobilitas dan
efektifitas jaringan. Kelompok teroris biasanya mendasarkan gerakannya
pada jaringan kecil untuk memfasilitasi perjalanan dan sering
dokumentasinya salah teridentifikasi karena didapatkan melalui operasi
pencurian.
Amerika Serikat Serikat -untuk hal ini- akan memperketat
keamanan melalui sistem pengamanan yang berlapis di setiap perbatasan,
bandara dan jalan lintas. Amerika Serikat Serikat juga akan terus
mengembangkan praktek pengamanan dan peningkatan teknologi untuk
mengurangi kemungkinan serangan dengan mencegah para teroris
menyeberangi wilayah AS. Usaha ini akan mencakup peningkatan semua
aspek keamanan penerbangan, mempromosikan perjalanan yang aman
dan
pemeriksanan
identitas
perjalanan
serta
menciptakan
dan
meningkatkan pertukaran informasi internasional untuk mengamankan
perjalanan dan memerangi laju terorisme.
c. Menjaga Target Potensial Sasaran Serangan.
Para
teroris
tergolong
orang
yang
oportunistik.
Mereka
mengeksploitasi target-target yang rawan diserang dan mencari alternatif
target yang membuat pengamanan ditingkatkan. Sejak tragedi 11
Sepetember 2001 trend target mulai berubah dari yang sebelumnya
hardened sites seperti kantor pemerintahan kepada softer targets seperti
sekolah, restoran, tempat ibadah dan transportasi umum dimana warga
tidak bersalah berkumpul dan tidak selalu mendapat pengamanan76.
Target para teroris memang beragam, namun mereka cenderung
76
Ibid., p. 5.
menyerang target yang telah dipilih, karena akan memberikan dampak
yang lebih luas baik dalam ekonomi, kerusakan dan sebagainya.
2. Menghalangi Para Teroris Agar Tidak Mendapatkan Senjata Pemusnah
Masal
Jika senjata pemusnah masal berada ditangan para teroris, maka akan
menjadi ancaman terbesar yang dihadapi dunia. Amerika Serikat Serikat
sudah mengambil sikap agresif untuk mencegah agar kelompok teroris tidak
memiliki akses terhadap materi-materi, perlengkapan dan industri senjata
pemusnah masal, bahkan negara adi daya ini akan meningkatkan aktivitas
penghalangan bagi kelompok teroris ini melalui sebuah usaha yang
terintegrasi di setiap level pemerintahan, bekerja sama dengan partner untuk
mengawasi ancaman baru ini.
Tahun 2005, Presiden Bush menandatangai Executive Order 13382,
yang membolehkan pemerintah AS untuk mem-blok alat pengayaan senjata
pemusnah masal dan menangkap orang-orang yang menyediakan dukungan
atau jasa bagi pengayaan senjata tersebut. Pada bulan juli 2006 pemerintah
Amerika Serikat Serikat dan Rusia juga meluncurkan inisiatif global untuk
memerangi nuklir milik teroris, inisiatif ini diluncurkan agar mampu
membangun sebuah kerangka kerja internasional untuk meningkatkan kerja
sama, dan melawan ancaman terorisme global77. Inisiatif ini akan sangat
berguna untuk menciptakan fokus internasional guna memastikan bahwa
setiap komunitas internasional akan berusaha semampunya untuk mencegah
77
Homeland Security Council, 9/11 Five years Later, p. 11.
agar senjata nuklir, materi-materi dan pengetahuannya tidak sampai ke
tangan para teroris.
Terkhusus bagi pihak Amerika Serikat Serikat, negara ini memiliki
pendekatan yang komprehensif terkait dengan senjata pemusnah masal78.
• Menentukan dan memahami niat, kemampuan, dan rencana para teroris
untuk mengembangkan atau mendapatkan senjata pemusnah masal.
Amerika Serikat Serikat perlu memahami dan menilai kredibilitas
laporan ancaman dan menyedian penilaian teknis terhadap kapabelitas
senjata pemusnah masal para teroris
• Mencegah akses para teroris terhadap bahan-bahan, keahlian dan hal lain
yang membantu teroris dalam menciptakan senjata pemusnah masal.
Amerika Serikat Serikat memiliki pendekatan yang agresif dan global
untuk mencegah pihak musuh agar tidak mendapatkan akses kepada
materi-materi, keahlian, metode transportasi, sumber dana dan hal lain
yang memfasilitasi senjata pemusnah masal ini.
• Menghalangi para teroris memanfaatkan senjata pemusnah masal.
• Mendeteksi dan merusak gerakan dan usaha kelompok teroris untuk
mendapatkan materi-materi senjata pemusnah masal
• Mencegah dan merespon serangan teroris yang berhubungan dengan
senjata pemusnah masal
• MenDefinisikan/memahami latar belakang dan sumber peralatan sejata
pemusnah masal para teroris
78
Ibid,, p. 11-12.
Sejumlah langkah di atas menunjukkan bagaimana ketakutan
Amerika Serikat khususnya terhadap penggunaan senjata pemusnah masal
itu. Phobia ini sekaligus menjadi alasan tertulis serta retorika invansi
Amerika Serikat Serikat ke wilayah Irak. Irak bagi Amerika Serikat adalah
negara yang berbahaya, karena memiliki senjata pemusnah masal yang bisa
digunakan kapan saja. Amerika Serikat juga berasumsi bahwa Irak memiliki
kedekatan khusus dengan al-Qaida. Asumsi ini menjadi alasan penyerangan
Amerika Serikat Serikat ke Wilayah Irak, meskipun belum ada bukti
autentik apakah Irak memang memiliki senjata pemusnah masal itu atau
tidak.
Amerika Serikat tidak akan menunggu sampai bukti itu di dapatkan,
karena di zaman seperti ini, tidak ada celah untuk membuat kesalahan.
Tidak adanya bukti bukan berarti tidak adanya aktifitas senjata pemusnah
masal. Guna mencegah terjadinya bencana di masa depan, maka tindakan
preemption (penyerangan lebih dahulu) ini perlu dilakukan.
3. Menghalangi Teroris Mendapatkan Dukungan dan Perlindungan dari Negara
Lain
War on terrorism memang menghadapi kendala yang cukup banyak.
Para teroris tetap mampu bertahan meskipun markas dan banyak
pemimpinnya telah dibunuh atau ditangkap. Salah satu yang membuat
perang ini semakin rumit adalah adanya dukungan baik berupa dana,
fasilitas senjata maupun perlindungan dari negara lain.
Amerika Serikat Serikat dan sekutu akhirnya tidak membedakan lagi
antara siapa sesungguhnya pelaku teror dan siapa yang hanya mendukung
dan melindungi kelompok teroris. Negara atau kelompok mana saja yang
memilih untuk menjadi sekutu atau teman kelompok teroris secara otomatis
telah menjadi lawan dari kebebasan dan keadilan. Dunia --dengan demikian- akan menghukum negara tersebut. Untuk mematahkan kerja sama antara
kelompok teroris dengan negara sponsor tersebut, Amerika Serikat Serikat
dan sekutu akan menghancurkan alur pendanaan dari negara kepada
kelompok teroris sembari mengakhiri sponsor mereka terhadap teroris.
a. Mengakhiri Sponsor terhadap Teroris.
Sponsor negara merupakan hal penting bagi kelompok teroris,
sponsor itu bisa dalam bentuk dana, senjata, latihan serta perlindungan.
Beberapa negara sponsor disinyalir telah memiliki kemampuan untuk
mengembangkan senjata pemusnah masal dan teknologi penghancur
lainnya, yang bisa jatuh ke tangan para teroris. Amerika Serikat Serikat
mendaftar lima negara yang dianggap sebagai sponsor utama kelompok
teroris yaitu Iran, Syiria, Sudan, Korea utara dan Cuba. Amerika Serikat
Serikat akan mengupayakan pemberian sanksi atas mereka dan
mengusulkan agar negara tersebut diisolasi dari pergaulan internasional
sampai mereka mengakhiri dukungannya terhadap kelompok teroris
termasuk menyediakan perlindungan.
Iran merupakan negara sponsor teroris yang paling aktif melalui
Garda Revolusi Islam dan Kementerian Inteligen dan Keamanan.
Teheran merencanakan operasi teroris dan mendukung kelompokkelompok seperti Hizbullah di Libanon, Hamas dan kelompok Jihad
Islam di Palestina. Iran juga tidak mau menyerahkan pimpinan senior al-
Qaida yang berada dalam tawanan Iran Tahun 200379. Dan yang paling
menakutkan adalah senjata pemusnah masal yang muncul di Teheran.
Untuk tujuan inilah, Amerika Serikat mendesak PBB sehingga keluarlah
Resolusi 1747 yang melarang pengayaan uranium Iran sekaligus
mengisolasi negara ini dari pergaulan internasional
Syiria juga merupakan negara sponsor yang signifikan dan pantas
mendapat perhatian. Pemerintahan di Damaskus mendukung dan
menyediakan kemudahan bagi Hizbullah, Hamas dan Jihad Islam
palestina. Amerika Serikat Serikat akan terus menentang kedua negara
ini.
b. Mengacaukan Aliran Bantuan dari Negara kepada Kelompok Teroris
Sampai
Amerika
Serikat
Serikat
berhasil
mengeliminasi
sponsorship negara terhadap kegiatan teror, Amerika Serikat akan
mengacaukan dan meniadakan aliran bantuan dari negara kepada
kelompok teroris. Amerika Serikat akan terus menciptakan dan
menguatkan
kemauan
internasional
(international
will)
untuk
menghalangi dukungan materi kepada kelompok teroris. Amerika Serikat
akan membangun kerja sama internasional untuk mengisolasi negara
sponsor secara finasial. Amerika Serikat serikat juga akan terus
mengekspos kelompok dan peralatan yang digunakan negara untuk
mendukung teman terorisnya.
4. Menghalangi Kontrol kelompok Teroris atas Sebuah Negara
79
Homeland Security Council, Strategies, p. 7.
Kelompok teroris berusaha untuk mencari sebuah negara yang
strategis
sebagai
tempat
perlindungan
dan
persembunyian
untuk
merencanakan teror. Dari markas inilah mereka menghancurkan Timur
Tengah, menyerang Amerika Serikat dan negara-negara lain. Dahulu para
teroris pernah membangun markas di Afganistan, dan kemudian pindah ke
Irak sebagai fron sentral untuk melawan Amerika Serikat. Amerika Serikat
akan terus mencegah agar para teroris tidak menduduki wilayah-wilayah
baru yang belum terjaga dan terdemokratisasikan.
Berikut langkah-langkah konkret yang telah dan akan dilakukan
Amerika Serikat Serikat80:
• Di Afganistan dan Irak, Amerika Serikat bekerja untuk membangun
kapasitas pemerintah untuk mengontrol dan menangkap kelompok teroris
dan pemberontak
• Di Afganistan, tentara nasional sudah meningkatkan kemampuan mereka
dengan tambahan 26.000 personel terlatih dan dilengkapi dengan senjata,
sehingga saat ini Afganistan telah memiliki 57.8000 personel terlatih
• Dengan kerja sama bersama Eropa, Amerika Serikat memberi bantuan
kepada Turki untuk menghilangkan dukungan materi dan finansial
kepada kelompok pemberontak Kurdi
• Di Indonesia, Amerika Serikat Serikat menyediakan latihan peningkatan
kemampuan kepada seluruh personel kepolisian dan personel anti terror
untuk meningkatkan kemampuan mendeteksi dan menghancurkan
80
Homeland Security Council, 9/11 Five years Later, p. 14-15.
jaringan teroris. Usaha ini termasuk pengawasan terhadap pondokpondok pesantren
• Di Filipina, Amerika Serikat membantu membangun Light Reaction
Companies untuk melawan teroris di Mindanao, secara rutin juga melatih
kepolisian nasional untuk melawan kelompok teroris di Pulau Jolo
• Di Afganistan dan Kolombia, Amerika Serikat Serikat sudah
meluncurkan kerja sama dengan tenaga militer, dalam menghilangkan
pendanaan narkotik untuk kelompok pemberontak
Inilah langkah-langkah yang diambil oleh pihak Amerika Serikat
Serikat, namun di saat upaya di atas gagal, maka strategi pre emptive
kembali dilaksanakan
BAB IV
ANALISIS KEBIJAKAN WAR ON TERRORISM PRESIDEN BUSH
Kampanye war on terrorism telah melahirkan ide-ide baru yang radikal.
Ide radikal ini terlihat terutama dalam arah baru kebijakan luar negeri Amerika
Serikat Serikat. Seperti yang ditulis di bab III bahwa mulai Tahun 1940-an
Amerika Serikat Serikat menerapkan dua arah besar kebijakan luar negeri yaitu
pengimbangan kekuatan lawan (deterrence) dan penyebaran ide liberal
Strategi tersebut telah menghasilkan berkah kelembagaan dan kemitraan
internasional yang luar biasa. Lahirnya NATO dan Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO) dan sebagainya merupakan sebagian imbas positif kebijakan luar negeri
tersebut. Amerika Serikat Serikat membangun koalisi kemitraan yang
terlembagakan dan memperkuat stabilitas internasional. Amerika Serikat Serikat
membuat kekuatannya aman bagi dunia dan sebagai balasannya dunia setuju
untuk hidup di dalam sistem Amerika Serikat Serikat81.
Namun ide-ide baru yang dijalankan Presiden Bush telah mengacaukan
kondisi tersebut. Amerika Serikat Serikat mulai berambisi untuk menggunakan
kekuatan politik dan militernya yang tak tertandingi untuk mengubah dan
mengatur tatanan dunia. Amerika Serikat ingin memperluas pengaruhnya dari
“setengah gelas” menjadi “satu gelas penuh”.
Richard Haass, Direktur Perencanaan Kebijakan di Departemen Luar
Negeri mengatakan bahwa tujuan utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat
Serikat (saat ini) adalah mengintegrasikan negara dan organisasi lain ke dalam
81
G. John Ikenberry, “Ambisi Imperial AS” dalam Council on Foreign Policy, Amerika
Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, Penerjemah Yusi A.
Pareanom dan Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 439.
kesepakatan yang menjaga sebuah dunia yang konsisten dengan kepentingan dan
nilai-nilai Amerika Serikat Serikat82.
Kebijakan baru Pemerintah Amerika Serikat Serikat di bawah pimpinan
Presiden Goerge W. Bush ini (seperti yang dibahas di bab III) dengan berbagai
sudut pandang bisa disebut sebagai tindakan imperial. Kesimpulan ini bisa
dijelaskan melalui analisis berikut.
A. War on Terrorism Menyimpang dari Kriteria Kebijakan yang Ideal
Ada tiga kriteria ideal untuk sebuah kebijakan luar negeri. Tidak
memenuhi ketiga kriteria ini akan melahirkan kebijakan yang tidak adil dan
imperial
1.
Limited goals. Memiliki tujuan yang jelas dan terbatas. Karakter kebijakan
luar negeri Amerika Serikat Serikat sebelum tragedi WTC 2001 bisa
disebut memenuhi kriteria limited goals ini, karena berpatokan pada
gabungan kepentingan real politik dan idealisme moral83. Gabungan
prinsip itu juga
diwujudkan melalui isolasionisme serta menghindari
penggunaan kekuatan militer.
2.
Merepresentasikan kepentingan nasional. Setiap negara memang perlu
memperhatikan kepentingan nasional di balik pengeluaran setiap
kebijakan. Jika keterlibatan dalam sebuah isu atau pun aksi tidak
berimplikasi positif terhadap kepentingan nasional, maka lebih baik tidak
terlibat seutuhnya. Sebaliknya, sebuah negara akan menunjukkan
progresivitas yang tinggi jika kebijakan yang dijalankan berkontribusi
besar bagi kepentingan nasional. Kepentingan nasional yang dimaksud
82
Ibid., h. 438.
Louis Janowski, “Neo-Imperialism and U.S. Foreign Policy” dalam Foreign Service
Journal, May 2004, p. 55.
83
bisa dalam bentuk kepentingan politik --sebagai strategi mendapat self
interest bagi negara kuat dan self preservation untuk negara lemah—atau
kepentingan ekonomi
3.
Mendapat dukungan internasional. Dukungan internasional merupakan
kriteria terpenting, karena dengan adanya dukungan dari banyak pihak,
maka apapun kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh sebuah negara
tidak akan berdampak buruk bagi stabilitas internasional.
Strategi baru Amerika Serikat Serikat jelas tidak memenuhi ketiga
kriteria di atas. Untuk kategori limited goals misalnya, Amerika Serikat Serikat
sesungguhnya tidak memiliki tujuan yang jelas dan konsisten dari awal
memulai war on terrorism sampai detik ini. Tidak adanya tujuan yang jelas dan
terbatas tersebut terlihat dari perubahan fokus yang sangat drastis dari isu
terorisme al-Qaida kepada isu senjata pemusnah masal Irak. Padahal Irak tidak
memiliki hubungan apa-apa dengan al-Qaida. Tidak hanya berhenti disitu, isu
senjata pemusnah masal pun kemudian diganti lagi dengan isu perubahan rezim
(regime change) dan selanjutnya dibumbuhi dengan isu yang lebih ambisius
yaitu demokratisasi Irak dan Timur Tengah
Selain absennya tujuan yang jelas dan terencana dari awal, Amerika
Serikat Serikat juga tidak memiliki konsep serius terhadap upaya pembangunan
wilayah-wilayah yang hancur pasca perang. Pembangunan kembali supra
maupun infra struktur di negara-negara tersebut bukanlah persoalan mudah,
apa lagi kalau dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Itulah mengapa,
sampai saat ini Irak masih belum stabil baik dalam politik maupun keamanan.
Realitas tersebut mengindikasikan kegagalan yang disadari oleh pihak Amerika
Serikat Serikat. Ini jugalah yang menjadi alasan mengapa Amerika Serikat
kemudian mulai memohon bantuan dari PBB dan negara lain untuk ikut serta
membangun dan menstabilkan Irak.
Fenomena ini turut memperlihatkan ambiguitas dan inkonsistensi sikap
Amerika Serikat Serikat. Sedikit menoleh kebelakang, sesungguhnya invansi
Amerika Serikat ke Irak dilakukan tanpa restu PBB dan negara-negara besar di
Eropa. Amerika Serikat Serikat sama sekali tidak menggubris ajakan dan saran
PBB maupun beberapa negara Eropa untuk tidak melakukan serangan militer.
Namun, di saat Amerika Serikat mulai terdesak akibat dampak negatif invansi
ini, di saat itulah negara Paman Syam ini menghargai eksistensi PBB dan
negara lainnya tersebut84.
Untuk kategori kepentingan nasional, tentu kebijakan war on terrorism
memiliki dampak positif bagi Amerika Serikat, baik politik maupun ekonomi
yang akan dibahas pada bagian selanjutnya. Namun, di sisi lain, intervensi
Amerika Serikat Serikat ini akan membuat negara ini semakin rawan menjadi
sasaran teror. Karena, pihak-pihak yang merasa terganggu dan tersakiti oleh
perang Amerika Serikat akan berupaya memberi balasan serupa.
Untuk kategori dukungan internasional, kebijakan luar negeri Amerika
Serikat Serikat sangat kontroversial. Politik luar negeri Amerika Serikat Serikat
beserta presidennya, George W. Bush, makin tidak dipercaya. Hal ini tercatat
dalam opini publik tentang keterlibatan Amerika Serikat dalam beberapa
konflik internasional85
84
Redaksi, “Bush Panik; AS Bakal Lirik PBB”, Kompas, 18 Maret 2004, h. 10.
Steven Kull, Global Polling Data on Opinion of American Policies, Values And People
(Subcommittee on International Organizations, Human Rights, and Oversight of the Committee on
Foreign Affairs House of Representatives, 2007), p. 4.
85
Tabel 1
Opini Dunia terhadap Campur Tangan Amerika Serikat
Data lain dari Survei internasional lembaga non partisan Pew Research
Center juga menunjukkan bahwa dukungan terhadap Amerika Serikat makin
turun sejak Tahun 2002. Itu terbukti dengan rendahnya dukungan publik atas
invansi militer Amerika Serikat Serikat ke Irak dan Afghanistan serta
kampanye war on terrorism yang terus didengungkan86. Tindakan tersebut
justeru memperburuk citra Amerika Serikat di dunia internasional
Hasil
survei
Pew
Research
menggambarkan
fakta
meluasnya
perlawanan publik atas invasi Amerika Serikat ke Irak. Makin banyak orang termasuk di Amerika Serikat sendiri- yang meminta pasukan Amerika Serikat
ditarik dari Irak, Ghana, Nigeria, dan Kenya. Presiden Pew, Andrew Kohut
86
“Bahkan oleh Negara-Negara Sekutu” pada http://www.mcclatch ydc.com/world/
story/17427. html.
bahkan mengatakan bahwa berbagai pandangan (buruk) terhadap Amerika
Serikat telah terakumulasi dari seluruh dunia, sehingga meningkatkan
ketidaksetujuan atas kebijakan luar negerinya87.
Kanada dan Meksiko juga tegas menolak untuk mendukung perang
Amerika Serikat Serikat,
sehingga membuat hubungan bilateral keduanya
terganggu. Amerika Serikat juga tidak bisa meyakinkan negara-negara kecil
yang merupakan anggota non-parlemen DK PBB seperti Anggola, Kamerun
dan Guinea, meski mereka ditawari bantuan keuangan yang cukup signifikan88.
Bahkan dalam sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh sebuah stasiun
televisi di Inggris tersimpulkan bahwa rakyat di sana lebih menganggap Bush
sebagai ancaman terhadap dunia dari pada Saddam Hussain89
Pada akhirnya, keterlibatan Amerika Serikat Serikat di sebuah wilayah
bukan membawa kebaikan, namun makin memperumit konflik yang sudah ada.
Inilah yang diopinikan oleh berbagai lapisan masyarakat di banyak negara90.
Tabel 2
Pandangan Dunia terhadap Pengaruh Amerika Serikat
87
88
ibid
Bara Hasibuan, “Bush Menentang Dunia”, Kompas, 21 Maret 2003, h. 4.
89
Ibid., h. 4.
90
Steven kull, Global Polling Data on Opinion of American Policies, p. 1.
Tanpa memenuhi kriteria di atas, maka kebijakan luar negeri Amerika
Serikat di bawah pimpinan Presiden Bush telah melenceng dari garis
kepatutan. Inilah alasan mengapa muncul asumsi bahwa kebijakan war on
terrorism AS adalah kebijakan yang imperial.
Sebagaimana yang disebutkan pada BAB II, bahwa yang disebut
sebagai imperialisme adalah sebuah usaha untuk mengubah status quo dan
mendirikan tatanan baru. Maka Status quo dalam kasus ini adalah tatanan dunia
yang mulai stabil di bawah kebijakan luar negeri Amerika Serikat Serikat yang
bersifat isolasionisme dan diplomatik. Eksistensi Negara Irak dan Afganistan
yang berdaulat juga merupakan status quo. Sedangkan perubahan status quonya adalah Amerika Serikat Serikat mengubah tatanan internasional yang
sudah ada. Amerika Serikat juga menginvansi Irak dan Afganistan, menjadikan
kedua negara ini sebagai wilayah pengaruh (imperium), sehingga berimplikasi
panjang pada perubahan hubungan antar negara (timur-barat, Islam-barat dan
negara maju-negara berkembang)
Selanjutnya muncul pertanyaan, bukan kah perang ini adalah perang
demi keadilan, kebebasan dan hak asasi manusia? Sehingga cara apapun yang
digunakan bisa dibenarkan? Sebagian orang mungkin mengira bahwa
kerusakan, kematian dan sebagainya hanyalah implikasi rasional dari sebuah
perang, sehingga semuanya bisa dimaklumi, apa lagi kalau perang ini
merupakan perang demi kemanusiaan. Sebagian orang juga mungkin menolak
anggapan bahwa war on terrorism ini adalah tindakan imperialistik, dengan
alasan bahwa intervensi dan penghancuran itu adalah demi menghilangkan
terorisme.
Namun pernahkah mereka berfikir, apakah perang ini (war on
terrorism) benar-benar demi kemanusiaan, keadilan dan kebebasan? Apakah
benar-benar ada perang demi keadilan, kebebasan dan kemanusiaan itu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab dalam bagian berikutnya.
B. War on terror adalah Propaganda Realisme Ekonomi dan Politik
Dalam kampanyenya menuju kursi kepresidenan periode kemarin,
Presiden Goerge W Bush menjabarkan pendekatannya terhadap kebijakan luar
negeri sebagai “realisme baru”91. Realisme adalah faham yang berusaha
melihat pola dan etika hubungan antar bangsa seperti apa adanya. Faham ini
menekankan bahwa dalam hubungan antar bangsa itu tak ada kebajikan dan
moralitas, satu-satunya hal yang ada adalah kepentingan.
Ada dua faktor utama yang selalu mendorong ke arah realisme yaitu
dorongan self preservation dan self interest. Self preservation adalah dorongan
untuk selalu menyelamatkan diri, pola tindakan ini biasanya dilakukan oleh
negara yang lemah supaya mereka tetap bertahan karena satu-satunya cara
bertahan bagi yang lemah hanyalah dengan menggabungkan diri dan berteman
dengan yang kuat. Dorongan kedua adalah dorongan self interest. Ini
91
G. John Ikenberry, “Ambisi imperial Amerika Serikat”, dalam Council on Foreign
Policy, Amerika Serikat dan Dunia: Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, h. 436.
mengandaikan bahwa setiap tindakan dimotivasi untuk melangsungkan
kepentingan pribadi. Self interest ini umumnya akan terlihat dalam pola
tindakan negara yang kuat.
Didasarkan pada dua dorongan utama ini, maka penganut aliran
realisme meyakini bahwa satu-satunya norma dalam hubungan internasional
adalah norma kekuatan. Adil, baik, dan patut diukur berdasarkan kekuatan.
Hal itu pertama kali diungkapkan oleh Thucydides (sejarawan Yunani Kuno
dan sekaligus pendiri aliran realisme) dalam bukunya The Peloponessian War.
Dalam buku itu Thucydides menceritakan kembali dialog yang berlangsung
antara Melos dan utusan Athena yang ingin menjajah negerinya. Dari
percakapan itu terlihat bahwa satu-satunya motif Bangsa Athena untuk
menjajah negeri Melos adalah karena mereka kuat. Kekuatan, bagi bangsa
Athena, adalah segala-galanya. Keadilan hanya ada jika ada dua negara yang
sama kuat (dalam kasus yang diungkapkan Thucydides adalah antara Athena
dan Sparta), jika tidak sama kuat maka sangatlah tidak relevan untuk berbicara
masalah keadilan dan moralitas, karena seperti dalam hukum rimba, sangatlah
adil dan wajar jika yang kuat selalu menindas yang lemah sebagaimana
harimau yang kuat selalu memangsa kijang yang lemah92.
Itulah jawaban dari pertanyaan apakah perang AS adalah perang demi
kemanusiaan dan itulah jawaban dari apakah perang demi kemanusiaan itu
benar-benar ada.
Berdasarkan paradigma realisme di atas, maka Penulis meyakini bahwa
banyak motif kepentingan yang perlu ditelusuri di balik kebijakan war on
92
Thomas L Pangle dan Peter J. Ahrensdorf, Justice Among Nation; On the Moral Basis
of Power and Peace (Kansas: University Press of Kansas, 1999), p. 14-15.
terrorism tersebut. Rangkaian itulah yang kemudian menjadi justifikasi
imperialisme terhadap kebijakan war on terrorism AS. Untuk itu perlu
dipaparkan apa motif di balik semua kebijakan luar negeri ini.
Motif; Mempertahankan Dunia yang Uni Polar
Sejak berakhirnya perang dingin (cold war) dengan runtuhnya Uni
Soviet tahun 1989, praktis dunia punya satu kutub kekuatan yang masih
bertahan hingga sekarang yaitu Amerika Serikat Serikat. Secara otomatis juga
Amerika Serikat Serikat berjalan tanpa pesaing baik dalam bidang ekonomi,
teknologi maupun militer.
Tidak adanya saingan bukanlah kondisi yang bagus bagi politik
internasional. Karena karakter dasar dunia tanpa pesaing (unipolar) adalah
tidak ada check and balance terhadap kekuasaan, sehingga sang pemegang
kekuasaan bisa saja mengikuti imajinasi, dan bebas untuk bertindak
sesukanya93. Tidak adanya penyeimbang kekuatan juga akan menimbulkan
bahaya potensial bagi yang lain. Negara yang memiliki kekuatan besar bisa
saja –dan Amerika Serikat Serikat melakukan itu- menganggap dirinya berbuat
atas nama kedamaian, keadilan dan stabilitas dunia, yang boleh jadi
bertentangan dengan pilihan dan kepentingan negara lain.
Amerika Serikat Serikat tampaknya sangat menikmati posisi puncak ini.
Dengan kekuatan Uni polar, Amerika Serikat bisa melakukan konspirasi,
intervensi
dan
penolakan
tanpa
harus
mempertimbangkan
peraturan
internasional. Dengan kekuatannya, Amerika Serikat bisa menentang
pembentukan Criminal Court (Peradilan Kriminal) untuk mengadili tindak
93
Wawancara Harry Kreisler dengan Kanneth Walt dengan tema “Conversations with
History” 10 Februari 2003 di UC. Berkeley, diakses dari http//en.wikipedia.org/wiki/Kenneth
Waltz
kejahatan internasional. Amerika Serikat menentang pembentukan peradilan ini
karena takut tentaranya diadili di situ. Amerika Serikat sebagai negara
penyumbang karbon terbesar di dunia yang berdampak pada pemanasan global,
juga bisa menolak pelaksanaan Protocol Kyoto yang disepakati oleh negaranegara lain sebagai solusi guna mengurangi dampak pemanasan global
tersebut. Penolakan ini dilakukan Amerika Serikat semata untuk melindungi
kepentingan industri di negaranya.
Bush membuat poin ini- menjaga dunia yang uni polar- sebagai bagian
terpenting kebijakan keamanan dalam pidato sambutannya di West point Juni
2002. Amerika Serikat memiliki dan berniat untuk terus menjaga kekuatan
militer yang melebihi “tantangan” yang ada, yang dengan demikian membuat
perlombaan senjata yang meresahkan jadi tak berarti, membatasi persaingan
dagang dan mengejar perdamaian dengan cara-cara yang lain94.
Semangat untuk mempertahankan posisi penguasa tunggal ini
sebetulnya sudah muncul pada masa pemerintahan Bush senior. Dalam sebuah
pidato yang disusun oleh Asisten Menteri Pertahanan, Paul Wolfowits, dengan
runtuhnya Uni Soviet, tulisnya, Amerika Serikat Serikat harus bertindak untuk
mencegah bangkitnya pesaing-pesaing yang seimbang di Eropa dan Asia95.
Namun dekade 1990 itu membuat ambisi ini bisa diperdebatkan. Akan tetapi,
di tahun-tahun terakhir ini tujuan untuk mempertahankan kekuasaan unipolar
tersebut menjadi sebuah tuntutan.
Saat ini sudah mulai muncul kekuatan-kekuatan baru seperti Uni Eropa,
Jepang dan Cina serta negara-negara berpenduduk muslim seperti Iran dan
94
G. John Ikenberry, “Ambisi imperial Amerika Serikat”, dalam Council on Foreign
Policy, Amerika Serikat dan Dunia: Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, h. 440.
95
Ibid., h. 441.
Irak. Kemunculan negara-negara besar itu, mendesak dilakukannya penguatan
negara demi mempertahankan kekuasaan yang uni polar. Eropa bukanlah
masalah besar bagi Amerika Serikat Serikat, karena mereka (Amerika Serikat
dan Eropa) berasal dari rumpun yang sama dan memiliki kedekatan kultural
yang cukup lama. Lain hal Jepang dan Cina, meskipun memperlihatkan
perkembangan ekonomi yang sangat cepat, namun belum bisa mengejar
kemajuan Amerika Serikat Serikat dalam 20 tahun ke depan.
Irak dan Iran adalah dua negara penghasil minyak yang besar di dunia,
meskipun perkembangan ekonomi dan teknologinya masih di bawah dua
saingan sebelumnya, kedua negara ini dianggap penting karena sangat dikenal
sebagai negara Anti-Amerika Serikat dan pro teroris. Kedua negara ini juga
berpotensi menguasai wilayah timur tengah yang nota bene adalah sumber
minyak utama di dunia.
Dengan menggunakan ise terorisme, Amerika Serikat Serikat akhirnya
memiliki justifikasi untuk menghilangkan calon-calon pesaing besarnya di
masa mendatang, dan yang dijadikan sasaran pertama adalah Irak. Irak
memang memiliki kredit poin istimewa. Dengan menguasai Irak, Amerika
Serikat sangat berpotensi menguasai dunia. Irak merupakan star poin yang
sangat vital, karena dengan menguasai Irak, maka negara yang bersangkutan
akan mendapat keuntungan politik dan ekonomi yang luar biasa.
a.
Keuntungan Politik.
Ada lima alasan yang dikemukakan oleh tiga penasehat senior
Bush (Cheney, Rumsfeld dan Wolfowitz) untuk melakukan intervensi
militer ke Irak96
• Membersihkan kekacauan yang ditinggalkan pemerintahan Bush
pertama Tahun 1991. Pemerintahan tersebut membiarkan Saddam
Hussain mengkonsolidasikan kekuatan untuk membunuh orang-orang
yang menentangnya97.
• Untuk memperbaiki posisi strategis Israel dengan menyingkirkan
seluruh permusuhan militer.
• Menciptakan sebuah demokrasi yang bisa menjadi teladan bagi negara
Arab.
• Mengizinkan penarikan pasukan AS dari Arab Saudi (setelah 12 tahun)
dimana mereka dikerahkan untuk menghadapi militer Irak yang
merupakan sumber ancaman anti Amerika Serikat.
• Menciptakan sumber minyak bagi pasar Amerika Serikat dan
mengurangi ketergantungan akan pasokan minyak Arab Saudi yang
suatu saat nanti mengalami keterpurukan.
Dengan dikuasainya Irak, maka Amerika Serikat Serikat mendapat
keuntungan politik sebagai berikut:
• Bush junior berarti menuntaskan kerja Bush senior yang masih
tertunda. Perang ini akan mengakhiri permusuhan kedua negara
96
Richard A Clarke, Menggempur Semua Musuh; di Balik Perang Amerika Serikat
Melawan Teroris, (Against all enemies; inside America’s war n terror) Penerjemah Tim Sinergi
(Jakarta: Sinergi Publishing, 2004), h 259.
97
Setelah perang Irak-Iran berakhir, Bush senior berencana menaklukkan Irak, namun
rencana ini dibatalkan karena akan memakan cost politik dan ekonomi yang besar, selain itu Irak
masih kuat karena sebelumnya banyak dibantu oleh Amerika Serikat baik dari aspek kemampuan
inteligen, satelit, dana maupun senjata.
• Menjadikan Irak sebagai salah satu wilayah pengaruh berarti mencegah
kebangkitan peradaban besar lainnya di Irak98.
• Dengan hilangnya pemerintahan status quo Irak, berarti Amerika
Serikat telah menghilangkan “selsel” nya di masa lalu. Seperti yang
ditulis di banyak artikel bahwa Afganistan dan Irak adalah “sel” yang
dibina oleh Amerika Serikat. Sadam Hussain contohnya, memulai
karirnya sebagai penjahat politik yang digaji oleh CIA dari Tahun 1950
sampai Tahun 1960. Saddam Hussain diperintahkan untuk membunuh
nama-nama kelompok kiri Irak yang diberikan oleh CIA99. Tahun 1980
Amerika Serikat Serikat juga menyediakan senjata, inteligen, data
satelit dan dana kepada Irak untuk menyerang Iran selama perang 8
tahun.
Serikat
Dengan menguasai wilayah-wilayah bekas binaan, Amerika
bisa
mengontrol
dan
mengantisipasi
gejolak-gejolak
pemberontakan, sehingga Amerika Serikat akan menjadi lebih aman.
• Menaklukkan Irak juga akan membantu memperkuat posisi Israel di
Timur Tengah. Oleh karena Irak merupakan salah satu negara yang
cukup keras menantang dan memberi perlawanan terhadap Israel.
Keinginan Amerika Serikat untuk memanfaatkan isu terorisme
guna menyerang Irak sebetulnya sudah dicurigai oleh negara-negara Eropa
yang memang menentang invansi Amerika Serikat Serikat ke Irak. Sekutusekutu Amerika Serikat Serikat prihatin bahwa Amerika Serikat Serikat
menggunakan kesempatan ini untuk menyerang Irak, sehingga sebuah
98
Irak merupakan tempat lahirnya dua era peradaban besar. Peradaban Mesopotamia di
masa sebelum masehi dan peradaban Islam di era Dinasti Abbasiyyah. Irak menjadi kiblat
peradaban dan pengetahuan yang mengispirasi barat.
99
David Michael Green, “What Every American Should Know about Irak” pada
mailto:dmg@regressi veantidote. net.
kelompok yang terdiri dari kepala negara dari Uni Eropa menekankan
kepada Amerika Serikat untuk melakukannya secara proporsional100
Perang Amerika Serikat atas Irak ini dapat menjadi awal imperial
over stretch. Selain asalan-alasan di atas, ada beberapa indikasi mengapa
tindakan Amerika Serikat Serikat tersebut dinilai sebagai serangan yang
tidak pantas yang pada akhirnya dinilai sebagai sebuah upaya untuk
mempertahankan dunia yang uni polar adalah:
• Kesalahan mengaitkan isu al-Qaida dengan Irak. Irak diperangi karena
alasan terorisme; bahwa al-Qaida memiliki hubungan yang dekat
dengan Irak. Kalau dicermati, Sadam Hussain dan Usamah bin Laden –
meskipun sama-sama anti Amerika Serikat-- memiliki asas dan
pemikiran yang sangat berbeda. Saddam Hussain adalah seorang
sosialis sekuler yang tidak terobsesi dengan pemerintahan Islam,
sedangkan Usamah adalah pemimpin al-Qaida yang anti terhadap
Amerika Serikat Serikat, sekutu dan para pemimpin Islam yang
dianggap kafir atau tidak Islami. Keduanya juga merupakan ideolog
yang kuat dan konsisten. Sehingga cukup mustahil jika kedua spektrum
yang bertolak belakang ini bisa bekerjasama. Mantan Perdana Menteri
Inggris Tony Blair juga mengakui bahwa ia tidak mengetahi adanya
bukti yang secara langsung menghubungkan al-Qaida dan Irak serta
aksi teroris di Inggris101. Hal ini turut dibenarkan oleh Louis Janowski,
it is wrong to relate al-Qaida and Ba’at Irak, because both have
100
Stephen M Walt, “Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Serikat”
dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru
Politik Internasional, Penerjemah Yusi A. Pareanom dan Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), h. 373.
101
Redaksi, “Blair lihat Hubungan al-Qaida dan Irak”, Kompas, 22 Januari 2003, h. 3.
different spectrum. It is wrong either to link Iran and Irak and North
Korea102.
Amerika Serikat menganggap bahwa Irak dan al-Qaida akan
bergabung dalam sebuah usaha menciptakan sebuah kekhalifahan di
muka bumi103. Kalau pun asumsi Amerika Serikat itu benar adanya,
lagi-lagi ini menunjukkan ketakutan Amerika Serikat Serikat akan
munculnya kekuatan baru di dunia.
• Inkonsistensi tujuan. Semula disebutkan bahwa perang hanya untuk
melucuti senjata pemusnah masal kepunyaan Saddam Hussain. Bush
lalu melangkah lebih jauh dan mengatakan tujuan perang adalah regime
change (perubahan rezim). Setelah itu diungkapkan lagi tujuan yang
amat ambisius, yaitu perang demi menanamkan demokrasi bukan hanya
di Irak tapi juga di seluruh Timur Tengah
Jika memang betul tujuannya adalah melucuti senjata, apakah
perlu serangan militer? Apakah tidak cukup dengan pendekatan
inspeksi? Dan kalau pun Irak memilki senjata itu, apakah ada bukti
bahwa senjata itu akan digunakan untuk menyerang Amerika Serikat
Serikat dan sekutu? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sangat sulit
dijawab secara konkret.
• Amerika Serikat tidak bisa membuktikan bahwa Irak memiliki senjata
pemusnah masal yang berbahaya bagi dunia. Laporan CIA (Irak Survey
Group) Tahun 2003 menyimpulkan bahwa setelah ahli persenjataan
melakukan pencarian intensif selama berbulan-bulan di Irak, ternyata
102
Louis Janowski, “Neo-Imperialism and U.S. Foreign Policy” dalam Foreign Service
Journal, p. 55.
103
National Security Council, Highlights of the Irak Strategy Review, January 2007, p. 1.
tidak ditemukan bukti adanya senjata pemusnah masal104 Tanpa adanya
bukti, Amerika Serikat tetap melakukan penyerangan dengan
mengabaikan hukum internasional.
• Amerika Serikat Serikat lebih tertarik kepada isu Irak dari pada ise alQaida. Ini membuktikan bahwa terorisme hanya dijadikan sebagai alat
propaganda belaka (seperti yang disinyalir Uni Eropa di atas). Kalau
memang kebijakan war on terrorism konsisten dengan latar belakang
lahirnya kebijakan tersebut, maka seharusnya pemburuan kelompok
teroris selalu menjadi prioritas, karena kelompok teroris yang didaftar
oleh Amerika Serikat Serikat bukan hanya al-Qaida, namun juga
Jamaah Islamiyah, Hamas, Hizbullah dan sebagainya.
Benar lah apa yang dikatakan Kenneth Walt bahwa kekuatan uni
polar mengakibatkan tidak akan ada check and balance yang membuat
negara tersebut bisa bekerja sesuai imajinasi dan prasangka belaka.
b. Keuntungan Ekonomi
Invansi Amerika Serikat Serikat ke wilayah Irak memang sangat
menarik untuk ditelusuri. Irak merupakan negara yang strategis. Dengan
menguasai Irak, selain mendapatkan keuntungan politik seperti disebutkan
di atas, juga akan mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar bagi
Amerika Serikat Serikat.
Irak merupakan negara sumber minyak terbesar kedua di dunia,
dilaporkan terdapat sekitar 112, 5 milyar barel minyak mentah di Irak, atau
11 persen jumlah total minyal dunia. Namun banyak ahli menyakini bahwa
104
Myrna Ratna, “Bush, Irak dan Terorisme”, Kompas, 28 September 2003, h. 3.
Irak masih memiliki sumber minyak lain yang belum ditemukan yang bisa
mencapai 250 milyar barel105.
Ada tiga faktor yang membuat minyak Irak menjadi sangat
istimewa106:
• Kualitas tinggi. Minyak Irak memiliki kualitas tinggi karena minyak Irak
memiliki unsur kimia yang menarik, mengandung karbon yang tinggi dan
rendah sulfur serta berkilau yang sangat cocok untuk dikembangkan
menjadi produk bernilai tinggi.
• Memiliki suplai yang sangat Banyak. Minyak Irak sangat berlimpah.
Tahun 2002 tercatat 112.5 milyar barel, atau sekitar 11% jumlah total
minyak dunia. Sejak nasionalisasi industri Tahun 1972 minyak Irak
masih kurang tereksplorasi. Para pakar yakin bahwa Irak memiliki
potensi sumber minyak di atas 200 milyar barel. Bahkan Departemen
Energi Amerika Serikat mengatakan bahwa Irak memiliki sumber
minyak mencapai sekitar 400 milyar barel.
“Irak memiliki 112 milyar barel seperti yang telah
dilaporkan, sebuah negara penghasil minyak terbesar di dunia
setelah Arab Saudi. Potensi minyak Irak mungkin lebih besar dari
pada ini, sesungguhnya negara ini belum dieksplorasi dikarenakan
perang dan sanksi. Di daerah barat gurun misalnya terdapat
sekitar 100 milyar barel yang belum dieksplorasi”107.
• Sangat rendah biaya produksi sehingga mempertinggi keuntungan
minyak per barel. Departemen Energi Amerika Serikat Serikat
menegaskan bahwa produksi minyak Irak minyak merupakan yang
105
James A. Paul, “Irak: the Struggle for Oil”, Global Policy Forum, August 2002
(direvisi Desember, 2002)
106
James A. Paul, “Oil in Irak: the heart of the Crisis”, Global Policy Forum, Desember,
2002.
107
http://www.eia.doe.gov/emeu/cabs/Irak.html.
paling rendah di dunia, sehingga menjadikan daerah ini sebagai sumber
yang sangat prospektif. Minyak Irak terdapat di tanah-tanah lapang yang
tidak membutuhkan penggalian sumur yang dalam, minyak Irak pun
sangat mudah naik ke permukaan karena adanya dorongan oleh air yang
bercampur gas alam.
Faktor di atas melatar belakangi ketertarikan para pemilik
perusahaan minyak untuk selalu berharap mendapatkan izin produksi di
wilayah tersebut dengan harapan keuntungan ratusan milyar dolar AS.
Dalam 10-15 tahun lagi diperkirakan minyak Irak akan menjadi
suplai energi paling penting. Sehingga para pakar industri mengatakan
bahwa tidak ada satu perusahaan minyak pun di dunia ini yang tidak tertarik
kepada Irak108. Pertarungan negara-negara di masa lalu cukup menjadi
pembenaran terhadap fenomena ini.
Ada lima perusahaan besar yang mendominasi industri minyak dunia
(Exxon Mobil (AS), BP Amoco (UK), Royal Dutch Shell (UK), and
Chevron Texaco (US). France’s TotalElfFina. Dua diantaranya berbasis di
Amerika Serikat, dua lagi berbasis di Inggris dan satu di Perancis. Exxon
Mobil yang berbasis di Amerika Serikat merupakan perusahaan minyak
terbesar di dunia. Dengan demikian, Amerika Serikat secara otomatis berada
di peringkat pertama dalam urutan sektor perusahaan minyak, Inggris ke dua
dan Perancis ketiga. Mengingat bahwa Amerika Serikat dan Inggris adalah
dua urutan pertama negara dengan perusahaan minyak terbesar, maka kita
108
James A. Paul, “Irak: the Struggle for Oil”, Global Policy Forum.
tidak bisa mengenyampingkan kemungkinan rasional antara kebijakan
mereka dengan kepentingan perusahaan109.
Perusahaan Amerika Serikat dan Inggris pernah menguasai tiga perempat produksi minyak Irak, namun karena ada nasionalisasi Tahun 1972,
maka dominasi ini berakhir. Dengan momentum yang tersedia saat ini,
perusahaan Amerika Serikat dan Inggris kembali berhasrat untuk
mendapatkan posisi lama yang mereka anggap sangat penting bagi masa
depan industri di negara masing-masing. Minyak merupakan sumber
persoalan yang memicu perang Amerika Serikat terhadap Irak. Lebih dari
ratusan tahun, kekuatan-kekutan besar telah bertarung untuk mendapatkan
sumber harta dan kekuasaan strategis ini. Perusahaan minyak terbesar di
dunia yang bermarkas di Amerika Serikat dan Inggris berusaha untuk
mendapatkan kembali dominasinya di Irak setelah nasioalisasi tahun 1972.
We will review all these agreements, definitely," said Faisal
Qaragholi to a Washington Post reporter in September. Quaragholi is
a petroleum engineer who directs the London office of the Iraki
National Congress (INC), an umbrella organization of opposition
groups that is backed by the United States. "Our oil policies should
be decided by a government in Irak elected by the people.110"
Perkiraan keuntungan dari minyak Irak
Setelah perang Irak Tahun 2003, Amerika Serikat Serikat dan
Inggris mendapat akses istimewa terhadap sumber minyak Irak. Exxon, BP,
Shell dan Chevron sekarang mendapatkan bagian di tempat yang paling
109
110
Ibid,.
James A. Paul, “Irak: the Struggle for Oil”, Global Policy Forum.
menguntungkan di dunia111. Berikut perkiraan keuntungan yang bisa
didapatkan oleh perusahaan minyak Amerika Serikat dan Inggris
Table 3
Potensi dan Keuntangan Minyak Irak
“Oil reserves” merupakan perkiraan yang diberikan oleh para pakar
industri dan yang dipublikasikan di Departemen Energi Amerika Serikat
Serikat. “Oil Rent Average” adalah keuntungan dari selisih harga produksi
(1 dolar per barel) dengan harga minyak di pasar internasional. “Recovery
Rate” adalah persentasi sumber minyak yang telah dibawa ke permukaan.
“Rent
Appropriated
by
Private
Companies”
merupakan
perkiraan
banyaknya persentase keuntungan yang diperoleh perusahan minyak setelah
dibagi dengan pihak pemerintah setempat.
Table dua menunjukkan empat variable untuk memperkirakan
keuntungan bagi perusahaan minyak.
Table 4112
Perkiraan Keuntungan
111
James A. Paul, “The Irak Oil Bonanza: Estimating Future Profits”, Global Policy
Forum, Januari 2004.
112
Ibid,.
Analisis serupa menyebutkan, harga minyak memang sangat
fluktuatif, sehingga pembicaraan mengenai harga minyak harus dimulai
dengan melihat rata-rata harga minyak dalam interval waktu yang cukup
lama. Kita perkirakan saja harganya 25 dolar per barel (meskipun saat ini
hampir mencapai 100 dolar per barel).
Kita akan menaksir bahwa minyak Irak berjumlah 250 milyar barel
(ini penghitungan minimal) dan tingkat recovery sekitar 50%. Dalam
kondisi seperti itu minyak Irak akan bernilai 3,125 triliun dolar. Biaya
produksi diperkirakan 1,5 dolar per barel, total biaya produksi berarti 188
milyar. Dengan demikian masih tersisi 2,937 triliun dolar. Kalau
diperkirakan eksplorasi ini berjalan dalam 50 tahun. Setelah di bagi 50-50
dengan pemerintah, maka perusahaan minyak akan mendapat keuntungan
bersih sekitar 29 milyar dolar pertahun113. Sungguh merupakan pencapaian
yang besar.
Analisis minyak percaya bahwa kontrol Amerika Serikat atas
Pemerintah Irak akan menghasilkan kesepakatan privatisasi produksi.
Kesepakatan itu, akan disepakati dengan dalih bahwa hanya perusahaanperusahaan ini yang akan mengembalikan kesejahteraan Irak pasca perang
guna mendapatkan obat-obatan, bahan pokok dan sebagainya. Biaya itu bisa
113
James A. Paul, “Oil in Irak: the Heart of the Crisis”, Global Policy Forum.
didapatkan dari bagi hasil privatisasi produksi minyak antara pemerintah
dengan perusahaan-perusahaan luar.
Sebelumnya Irak berhasil memproduksi 8 juta barel minyak perhari,
kalau minyak di Irak digarap oleh perusahaan internasional, maka rataratanya akan naik secara drastis. Kalau hal ini memang terjadi, OPEC pun
akan kesulitan bahkan melemah dengan keluarnya Irak yang selama ini
menjadi salah satu produsen kunci dalam sistem kuota OPEC.
Fenomena itu selanjutnya akan menekan produsen besar minyak
lainnya seperti Kuwait, Iran, Arab Saudi dan Venezuela untuk men-denasionalisasi perusahaan minyaknya dan memberikan peluang kepada
perusahaan minyak Amerika Serikat dan Inggris untuk bekerja sama
meningkatkan profit di daerah itu.
Di luar semua itu, dengan menguasai minyak Irak, maka semua
negara yang bergantung pada minyak Irak akan berada dalam kontrol
Amerika Serikat Serikat. Sebuah negara seperti Jepang yang 60 persen
kebutuhan minyaknya berasal dari Teluk Persia (Irak) akan dihadapkan pada
kenyataan bahwa pesaing utamanya dalam bidang ekonomi (Amerika
Serikat) akan memegang kendali langsung atas pengiriman minyak yang
amat dibutuhkannya. AS sebagai kekuatan politik utama dunia saat ini tibatiba berpeluang menggunakan keperkasaan politik untuk mengontrol
ekonomi dunia.
Selain media AS yang tampaknya tabu membicarakan hal ini,
banyak media di mancanegara percaya, invasi AS ke Irak bukan berkait
senjata pemusnah massal, tetapi perang untuk memperoleh kendali atas
minyak. Fakta ini didukung oleh keterlibatan Australia di Irak yang memang
hanya dilatar belakangi oleh keinginan mendapat daerah pemasok minyak
bumi tersebut. Menteri Pertahanan Australia Brendan Nelson – diketahui
oleh John Howard, Perdana Menteri saat itu- mengakui bahwa menjamin
pasok minyak adalah alasan utama di belakang keberadaan pasukan
Australia di Irak. Dia mengatakan, menjaga "keamanan sumber" di Timur
Tengah adalah prioritas.
"Sudah jelas Timur Tengah sendiri, dan tidak hanya khusus
Irak namun seluruh kawasan, adalah pemasok energi yang penting,
khususnya minyak, bagi seluruh dunia. Rakyat Australia dan kita
semua harus memikirkan apa yang akan terjadi jika pasukan ditarik
lebih cepat dari Irak. Ini adalah kepentingan kita, kepentingan
dalam hal keamanan, untuk memastikan kita keluar dari Timur
Tengah, dan khususnya dari Irak, dalam posisi yang aman”114
Australia terlibat dalam invasi ke Irak pada tahun 2003, dan
memiliki sekitar 1.500 personil angkatan bersenjata yang masih bertugas di
kawasan itu. Pemerintah negara Australia tidak memiliki rencana untuk
menarik pasukan dalam waktu dekat pasca invansi Amerika Serikat. Dalam
komentar yang dia sampaikan kepada Australian Broadcasting Corporation
(ABC), dia mengakui bahwa pasok minyak mempengaruhi perencanaan
strategis Australia di kawasan tersebut115.
Penguasaan atas Irak dengan demikian akan mengukuhkan posisi
Amerika Serikat Serikat sebagai penguasa tunggal dunia. Dengan
menguasai Irak, secara otomatis akan melemahkan Jepang dan Eropa yang
sumber energinya berasal dari Irak.
114
BBC, “Australia 'Has Irak Oil Interest'”, 5 Juli 2007. Lihat juga James Paul,
“Confidential Document on Irak Oil Lobbying”, Global Policy Forum, 14 Juli 2006.
115
BBC, “Australia 'Has Irak Oil Interest'”.
C. War on terror Membawa Tindakan-tindakan yang Tidak Proporsional
a. Membongkar Makna Kedaulatan
Kedaulatan (sovereignty) merupakan ruh dalam sebuah bangsa.
Tanpa kedaulatan maka tidak mungkin ada negara. Menurut Jacobson dan
Lipman kedaulatan memiliki empat unsur116:
Pertama, absolute. Tidak ada kekuasaan legal dalam sebuah negara yang
lebih tinggi dari pada kekuatan kedaulatan. Kedua, universal, maksudnya
kekuatan kedaulatan ini mencakup semua orang dan setiap asosiasi di dalam
negara tanpa terkecuali. Ketiga permanen, selama negara itu masih ada,
maka kedaulatan juga akan tetap eksis meskipun banyak terjadi perubahan
dalam pemerintahan. Keempat, tidak terbagi, hanya boleh ada satu
kedaulatan dalam suatu negara. Kemudian dalam pelaksaan mandat
kedaulatan ini bisa didistribusikan ke berbagai organ pemerintahan, namun
kedaulatan itu tetap satu. Membaginya berarti juga menghancurkannya.
Dalam hubungan internasional, satu negara wajib menghormati
kedaulatan negara lain, selama negara itu masih ada, berarti negara tersebut
masih memiliki kedaulatan untuk dihormati.
Amerika
Serikat
Serikat
dalam
proses
war
on
terrorism
membongkar dan menyusun ulang pengertian kedaulatan ini sebagai
implikasi doktrin keamanan baru117. Sebuah negara akan kehilangan
kedaulatan bukan lagi karena negara itu memang hancur atau hilang.
116
Jacobson and Lipman, An Outline of Political Science (New York: Barnes and Noble,
1951), p. 34.
117
Trias Kuncahyono, “Terorisme dan Ambisi Neo-Imperialisme AS”, Kompas, 11
September 2002, h. 30.
Amerika Serikat memahami negara-negara yang menjadi sarang teroris,
baik karena persetujuan maupun karena tidak mampu memerangi teroris
secara
efektif
telah
mengorbankan
kedaulatan
mereka,
sehingga
kedaulatannya bisa diambil oleh negara lain. Richard Haass, Direktur
Perencanaan Kebijakan di Departemen Luar Negeri, mengungkapkan dalam
the New Yorker
Apa yang anda lihat dalam pemerintahan ini adalah
munculnya sebuah prinsip atau sejumlah gagasan baru…tentang apa
yang mungkin anda sebut batas-batas kedaulatan. Kedaulatan
menuntut adanya kewajiban. Salah satunya adalah tidak membantai
rakyat sendiri. Yang lain adalah tidak mendukung terorisme dalam
cara apa pun. Jika sebuah pemerintahan gagal memenuhi kewajibankewajiban ini, maka ia mengorbankan sebagian keuntungan lazim
dari kedaulatan, temasuk hak untuk dibiarkan sendiri di dalam
wilayah sendiri. Pemerintahan-pemerintahan yang lain, termasuk
Amerika Serikat Serikat, mendapat hak untuk campur tangan. Dalam
kasus terorisme, hal ini bahkan bisa mengarah pada tindakan
preventif, .pertahanan diri118.
Pembongkaran makna kedaulatan ini bukan sekedar wacana politik
demi mendapatkan dukungan internasional. Wacana ini lebih merupakan
pembenaran teoritis terhadap invansi yang telah dilakukan Amerika Serikat
Serikat ke Irak dan Afganistan serta negara-negara target berikutnya.
Tindakan Amerika Serikat Serikat ini sangat berbahaya apalagi kalau
dicontoh oleh negara-negara kuat lainnya. Kita tidak bisa membayangkan
bagaimana mungkin satu negara menyerang negara lain hanya karena alasan
antisipatif. Formulasi defenisi baru ini sungguh mengancam keamanan
internasional
118
G. John Ikenberry, “Ambisi Imperial AS”, dalam Council on Foreign Policy, Amerika
Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, h. 443-444.
Pemahaman baru tentang kedaulatan ini bukan lahir dari pengkajian
ilmiah yang mendalam oleh para pakar kenegaraan. Inilah salah satu faktor
utama mengapa Amerika Serikat semakin tidak popular di muka
internasional. Dengan justifikasi tersebut, agenda war on terrorism
kemudian bisa dilanjutkan ke tahapan baru yaitu menyerang sebelum
diserang (pre emptive).
b. Kebijakan Pre emptive
Pre emptive adalah kebijakan menyerang sebelum mendapat
serangan. Strategi bertahan gaya lama dengan membangun peluru kendali
yang bisa menangkal serangan dan bisa digunakan untuk serangan balasan
guna menghukum si penyerang tak lagi menjamin keamanan. Maka satusatunya pilihan adalah menyerang. Tanpa ancaman yang nyata pun Amerika
Serikat kini menyatakan bahwa dia memiliki hak untuk menggunakan
kekuatan militer terlebih dahulu atau preventif.
Rumsfeld melakukan pembenaran terhadap opsi menyerang terlebih
dahulu ini dengan mengatakan bahwa, ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita
tahu, ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tidak tahu. Namun ada juga halhal yang kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu. Setiap tahun kita, kita
menjumpai sedikit lagi ketidaktahuan-ketidaktahuan ini119.
Bagi Amerika Serikat Serikat, ketiadaan bukti (baik dalam kasus
terorisme maupun senjata pemusnah masal) bukan berarti bahwa aksi itu
tidak ada. Di zaman sekarang, tidak boleh ada kesalahan sedikit pun karena
kesalahan itu bisa menyesangsarakan dunia. Untuk itu, tidak cukup hanya
119
Ibid., h. 441.
dengan menungu dan membalas serangan musuh, Amerika Serikat harus
menyerang.
Menurut penulis, rasionalisasi pre-emptive ini lahir akibat euforia
kekuasaan tunggal dunia. Tidak adanya kekuatan penyeimbang membuat
tidak adanya check and balance atas penguasa utama dunia. Sehingga sang
penguasa bebas bertindak sesuai asumsi dan prasangkanya untuk
mendapatkan kepentingan yang telah direncanakan.
Bagaimana bisa kita membenarkan tindakan satu pihak menyerang
pihak lain tanpa bukti dan hanya demi antisipasi. Namun, Amerika Serikat
bisa melakukannya meskipun mendapat kecaman dari berbagai pihak. Inilah
tindakan imperial yang harus dikoreksi.
c. Tanpa Penghormatan terhadap Peraturan Internasional
“Powers tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely”.
Pepatah ini sangat cocok menggambarkan kondisi Amerika Serikat Serikat
terkait dengan penggunaan kekuasaannya.
Dalam kampanye war on terrorism, cukup banyak peraturan
internasional yang dilanggar oleh Amerika Serikat Serikat. Pendekatanpendekatan yang dilakukan Amerika Serikat dinilai telah mengabaikan
norma-norma internasional mengenai pembelaan diri dalam pasal 51 Piagam
PBB120
120
Ibid.,, h. 442.
Piagam PBB di atas dikeluarkan untuk dipatuhi bersama. Pada
beberapa kasus, Piagam PBB ini bisa menjadi landasan pemberian sanksi
terhadap negara-negara yang melanggar. Sebut saja pada Tahun 1981 di saat
Israel membom reaktor nuklir Irak di OsIrak. Israel menganggap
tindakannya
ini
sebagai
tindakan
pembelaan
diri,
namun
dunia
mengutuknya sebagai tindakan agresi. Bahkan Perdana Menteri Margaret
Thatcher dan duta besar Amerika Serikat Serikat untuk PBB, Jaene
Kirkpatrik, mengecam tindakan ini dan Amerika Serikat Serikat ikut
meloloskan sebuah resolusi PBB dan mengutuknya121
Namun pasal 51 Piagam PBB ini tak bisa berbuat apa-apa terhadap
Amerika Serikat Serikat yang melakukan tindakan yang sama seperti yang
dilakukan Israel. Selain piagam PBB, Amerika Serikat juga dianggap
melecehkan hukum internasional. Dalam laporan tahunan yang diumumkan
bulan Mei 2003, Amnesty Internasional menyatakan, perang melawan
terorisme yang dicanangkan Amerika Serikat Serikat merupakan pelecehan
terhadap hukum internasional122 . Ratusan tahanan yang berasal dari perang
Afganistan dan berbagai operasi lain yang digelar sejak peristiwa 11
September 2001 mengaku diabaikan hak-hak mereka yang sesungguhnya
diakui oleh hukum internasional.
Lebih dari 600 warga negara asing (sebagian besar dari Afganistan)
ditahan di Guantanamo tanpa adanya tuntutan resmi, tanpa proses
pengadilan dan tanpa akses kepada penasehat hukum maupun kepada
keluarga mereka. Menurut Amnesty Internasional terdapat sekitar 1.200
121
Ibid.,, h. 443.
Amnesty International, “Perang AS Melawan Terorisme Lecehkan Hukum
Internasional”, Kompas, 2 Juni 2003, h. 34.
122
warga negara asing, sebagian besar muslim yang ditangkap setelah peristiwa
bom WTC. Lebih dari 700 diantaranya ditahan karena pelanggaran hukum
biasa dan sebagian lagi karena pelanggaran peraturan keimigrasian
Sampai akhir Tahun 2002 sebagian besar di antara mereka yang
terjaring dalam operasi sweeping dibebaskan atau dideportasi atau dituntut
telah melakukan kejahatan yang tidak punya sangkut pautnya dengan
peristiwa 11 September atau aksi terorisme.
Laporan Amnesty International juga menyebutkan adanya perlakuan
yang tidak semestinya terhadap para tahanan, seperti penyiksaan,
pembunuhan serta penggunaan kekerasan secara berlebihan. Tercatat
sedikitnya tiga orang tewas setelah mengalami penyiksaan yang dilakukan
dengan menggunaan alat pelumpuh listrik bertegangan tinggi yang
dikembangkan oleh badan kepolisian. Amnesty Internasional juga
mengkritik masalah eksekusi. Sejumlah 69 laki-laki dan 2 perempuan telah
dieksekusi pada tahun 2002123. Sebanyak 820 orang dihukum mati. Amerika
Serikat Serikat menurut Amnesty International selalu melanggar standarstandar internasional tentang menjatuhkan hukuman.
Ini juga merupakan misteri politik internasional yang sangat tidak
adil. Bagaimana mungkin sebuah negara bisa melepaskan diri dari ikatan
internasional dan melakukan sejumlah pelanggaran, namun bebas dari
sanksi internasional.
123
Ibid., h. 34.
Sekali lagi ini merupakan dampak dari absennya kekuatan check and
balance
dalam
dunia
internasional.
Amerika
Serikat
berupaya
mempertahankan dunia unipolar yang tidak adil ini.
D. War on terror Membuat Dunia Semakin Tidak Aman
Kebijakan war on terrorism Amerika Serikat Serikat menyisakan
dampak yang cukup serius. Dampak tersebut bisa diukur dari jumlah dan
kualitas kerusakan yang diakibatkan perang. Dari segi korban dan kerusakan,
sungguh sulit menghitung berapa jumlah faktual korban yang tewas akibat
perang ini baik dari pihak militer Amerika Serikat, sekutu, pihak teroris
ataupun pihak sipil. Tidak kurang telah tercatat 500.000 anak-anak serta 3.550
orang pasukan Amerika Serikat tewas124.
Kalau dibandingkan baik kualitas maupun kuantitas antara korban aksi
terorisme dengan korban akibat kampanye perang melawan terorisme ala
Amerika Serikat, tentu jumlah di atas jauh lebih besar dari apa yang bisa
dilakukan oleh kelompok teroris.
Kampanye war on terorism tidak hanya menewaskan ratusan ribu
orang.
Kebijakan war on terrorism juga telah menghancurkan peradaban
masyarakat. Irak dan Afganistan, merupakan dua negara yang telah memiliki
akar budaya yang bersejarah. Irak misalnya, merupakan negara pewaris dua
peradaban besar yang pernah ada di dunia (Mesopotamia dan dinasti
abbasiyah).
124
David Michael Green, “What Every American Should Know about Irak” pada
mailto:dmg@regressi veantidote. net.
Kalau memang pluralitas dan hak asasi manusia adalah nilai universal
yang perlu dihormati setiap negara, maka sepatutnya war on terrorism pun
hendaknya mencerminkan penghormatan tersebut. Akan tetapi, nilai-nilai
esensi demokrasi di atas, tidak menjadi pedoman Amerika Serikat Serikat
dalam memenangkan perang melawan terorisme125.
Tidak hanya di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, implikasi war
on terrorism juga terasa sampai ke Asia Tenggara. Amerika Serikat Serikat
sebagai “bapak” negara-negara berkembang di Asia Tenggara memerintahkan
kepada negara “asuhannya” untuk mewaspadai segmen tertentu dalam
masyarakat, terkhusus muslim. Tidak jarang ajakan ini berujung pada
perubahan perlakuan negara se tempat terhadap kelompok muslim, mulai dari
pengusiran, penangkapan maupun perlakuan sebagai warga negara kelas
dua126.
Kondisi yang terus berlangsung selama berbulan bahkan bertahuntahun ini menimbulkan efek psikologis yang dalam bagi masyarakat di daerah
konflik khususnya dan masyarakat dunia umumnya. Selain efek ketakutan
karena bisa menjadi korban kapan saja, perang ini juga menimbulkan dendam
yang besar di kalangan kelompok tertentu terhadap Amerika Serikat khususnya
serta peradaban barat umumnya.
Untuk selanjutnya dendam ini menjadi embrio munculnya gerakan
radikal yang bertujuan untuk balas dendam.
Perang ini ternyata tidak
menyelesaikan persoalan, tapi malah memperlebar persoalan. Bahkan
125
Selain laporan yang diberikan oleh Amnesty Internasional pada bagian terdahulu,
Amerika Serikat Serikat tidak lagi menjadikan demokrasi sebagai barometer kerja sama dengan
negara lain. Amerika Serikat tetap menjalin kerja sama dengan Pemerintahan Pakistan yang jelas
diperoleh secara non-demokratis.
126
Lebih jelasnya baca John Funston, dkk, Voice of Islam in the South East Asia.
kebijakan ini –para tahap tertentu-- bisa mengubah posisi seorang moderat
menjadi seorang fundamentalis, karena intensitas dan arogansi Amerika Serikat
yang tak berbatas127.
Tidak dapat dibantah, serangan pre emptive ke Irak akan membuat
dunia semakin tidak aman dan rentan terhadap berbagai serangan teroris.
Begitu juga, susah untuk membantah argumentasi bahwa perang ini bukan the
last
resort
(cara
terakhir),
karena
Amerika
Serikat
Serikat
belum
memaksimalkan penggunaan semua langkah dan jalur128. Sepak terjang AS
memerangi terorisme justru mendorong perlawanan sporadik secara global dan
kebangkitan pan-Islamisme di Timur Tengah. Inilah mengapa sejumlah aksi
bom semakin sering terjadi pasca 2001, karena respon keras Amerika Serikat
dibalas dengan respon keras serupa meskipun berbeda cara dan tingkatannya.
Serangan yang terjadi di Bali, Tahun 2002, Marirott 2003 serta di Turki dan
Arab Saudi November 2003 bisa dijadikan acuan untuk memperkuat asumsi
tersebut
Lebih lanjut, lingkaran fenomena terorisme dan feedback negatif dari
berbagai lapisan masyarakat dunia menimbulkan dampak yang lebih
mengglobal yaitu pengelompokan negara kepada negara teroris dan negara
anti-teroris. Bush dengan tegas mengatakan, negara mana saja yang tidak
mendukung war on terror berarti musuh Amerika Serikat. Pilihannya cuma
dua, bersama kelompok teroris atau bersama kami, Amerika Serikat Serikat.
127
Seseorang yang awalnya berfikir moderat, bisa saja bergeser menjadi sangat
fundamentalis terkhusus untuk kasus perang Amerika Serikat. Ini terjadi selain karena adanya
dorongan solidaritas keagamaan dan kemanusiaan, juga karena sifat war on terror itu sendiri yang
diketahui cacat dalam dirinya karena memiliki tujuan terselubung. Fenomena ini terbukti dari
wawancara Ulil Absar Abdalla dengan Prof. Dr. Nurcholish Madjid, 30 Maret 2003 yang diberi
judul dengan “Omong Kosong Bush Membebaskan Rakyat Irak”.
128
Bara Hasibuan, “Bush Menentang Dunia”, Kompas, h. 4.
Sikap hitam putih ini menyulitkan banyak negara yang memiliki posisi
dilematis, terutama negara yang berpenduduk muslim. Sebagian kelompok
muslim saat ini telah diidentikkan sebagai teroris global yang memiliki
jaringan komunikasi yang luas (seperti al-Qaida dsb). Dan mereka yang
diklaim sebagai teroris –tidak bisa dipungkiri-- juga memiliki tradisi ibadah
yang hampir sama dengan muslim-muslim lainnya di dunia, sehingga mereka
sangat sulit teridentifikasi. Kalau lah disebutkan bahwa mereka berasal dari
kelompok fundamentalisme, sesungguhnya fundamentalisme agama ada di
setiap negara dengan tradisi yang hampir mirip.
Desakan-desakan ini akhirnya berakibat pada pengkotakkan kekuatan
dunia. Masyarakat yang memiliki satu akar peradaban mulai berbagi
solidaritas. Ketidak adilan yang diterima satu segmen masyarakat di satu
negara mulai direspon secara serius atas dasar persaudaraan satu peradaban.
Mudah-mudahan asumsi akan terjadinya benturan antara peradaban
cuma ada dalam tataran asumsi. Namun sayangnya, sikap dan kebijakan war
on terrorism Amerika Serikat Serikat telah menyumbangkan sejumlah saham
yang memungkinkan benturan antara peradaban ini terjadi. Secara formal,
benturan ini mungkin belum terjadi, namun secara kultural, bentural itu
sesungguhnya telah di mulai.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
•
Untuk menghentikan terorisme global, Pemerintah Amerika Serikat
dibantu oleh sekutu menerapkan sebuah kebijakan yang disebut dengan
war on terrorism. War on terrorism ini berisi upaya jangka panjang dan
jangka pendek. Kebijakan jangka panjangnya adalah penyebaran
demokrasi dan pembangunan “negara-negara gagal” serta memperbaiki
hubungan dengan negara serta komunitas muslim. Sedangkan kebijakan
jangka pendeknya adalah menyerang markas teroris, mencegah agar
kelompok teroris tidak mendapatkan senjata pemusnah masal dan
menghalangi agar kelompok teroris tidak mendapatkan bantuan dan
perlindungan dari negara lain. Keseluruhan upaya ini sering disebut
dengan strategi pre-emptive. Dengan alasan pre-emptive inilah Pemerintah
Amerika Serikat melakukan sejumlah penyerangan, penangkapan dan
intervensi ke berbagai negara agar benih-benih terorisme di dunia bisa
dimusnahkan. Sikap ini adalah sikap yang legal dalam pandangan Amerika
Serikat, karena bagi Negara Paman Sam ini, setiap negara yang terlibat
dalam aktifitas terorisme atau pun negara yang bersifat otoriter telah
kehilangan kedaulatannya, sehingga fungsi kedaulatan negara tersebut bisa
diambil alih.
•
Kebijakan war on terrorism di atas bisa disebut sebagai kebijakan yang
imperial karena dua hal. Pertama, karena kebijakan war on terror tidak
memenuhi kriteria ideal untuk sebuah kebijakan luar negeri. Kebijakan
war on terrorism sesungguhnya tidak memiliki tujuan yang jelas dan
terbatas dari awal, kebijakan ini juga melanggar berbagai peraturan
internasional, sehingga tidak mendapatkan legitimasi dari publik
internasional Kedua, perang terhadap terorisme hanya dijadikan isu atau
alat propaganda untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi yang
ambisius. Dengan menggunakan isu terorisme, Amerika menundukkan
Irak dan Afganistan untuk sebuah cita-cita realis. Menguasai Afganistan
berarti menguasai negara bekas binaan Amerika sekaligus mendapat
”jatah” atas kandungan gas alam yang ada di negeri tersebut. Menguasai
Irak berarti “menguasai dunia”. Irak adalah surga keuntungan. Irak
merupakan negara suplai minyak terpenting 10-15 tahun mendatang.
Menguasai Irak berarti menguasai ekonomi di masa depan, sekaligus bisa
mengontrol perekonomian negara-negara yang tergantung pada minyak
Irak seperti Jepang dan Eropa.
Keinginan Amerika untuk memperluas pengaruh dan kekuasaannya ini
yang penulis sebut dengan imperial. Amerika telah melakukan perubahan
yang sejauh ini belum mendatangkan dampak positif. Malah keterlibatan
Amerika tersebut, hanya menyisakan kerusakan dan ketegangan baru yang
lebih berbahaya.
B. Saran
• Harus ada kekuatan penyeimbang dalam politik internasional. Kekuatan
inilah yang berfungsi sebagai pengontrol kekuasaan serta penjamin
keadilan dan stabilitas internasional. Selama dunia masih dipimpin oleh
satu kekuatan yang cukup absolut, maka akan tetap terjadi “misteri-misteri
internasional” yang tak bisa diprotes oleh satu negara pun.
• Lembaga-lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa harus
semakin dikuatkan posisi dan reputasinya. Setelah itu, lembaga ini perlu
dipimpin oleh seseorang yang independen.dan berani melihat realitas.
Dengan demikian lembaga ini akan semakin tegas terhadap setiap
pelanggaran dan memberi sangsi terhadap siapa saja yang terbukti
melanggar.
• Diperlukan kajian-kajian kritis untuk melihat fenomena global seperti
terorisme maupun imperialisme. Disinilah peran para akedemisi baik
mahasiswa maupun pengajar demi menghasilkan pemahaman yang
komprehensif
• Terakhir, skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi siapa saja yang membaca
terutama pada panulis sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bartlett, C J. Fall of Americana: United State Foreign Policy in the Twentieth
Century. New York: St. Martin’s Press, 1974.
Basya, M. Hilaly dan Alka, David K. Amerika Perangi Teroris Bukan Islam.
Jakarta: CMM, 2004.
Budiman, Arif. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2000.
Chomsky, Noam. Menguak Tabir Terorisme Internasional. Penerjemah Hamid
Basyaib. Bandung: MIZAN, 1991.
---------------------. Power and Terror.
Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003.
Penerjemah
Syafruddin
Hasani.
Clarke, Richard A. Menggempur Semua Musuh; di Balik Perang Amerika
Melawan Teroris. (Against All Enemies; Inside America’s War on Terror).
Penerjemah Tim Sinergi. Jakarta: Sinergi Publishing, 2004.
Council on Foreign Policy. Amerika dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru
Politik Internasional. Penerjemah Yusi A. Pareanom dan Zaim Rofiqi,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Eatwell, Roger dan Wright, Anthony. ed. Ideology-Ideologi Politik Kontemporer.
Penerjemah R.M. Ali. Yojyakarta: Jendela, 2004.
Gerges, Fawaz A. Amerika dan Islam Politik; Benturan Peradaban atau Benturan
Kepentingan. Penerjemah Kili Pringgodigdo dan Hamid Basyaib. Jakarta:
Alvabet, 2002.
Greenberg, Karen J. ed. Al-Qaeda Now: Understanding Today’s Terrorists,
Cambridge: Cambridge University Press, 2005.
Jacobson and Lipman. An Outline of Political Science. New York: Barnes and
Noble, 1951.
Johannen, Uwe. et.al. 911: September 11 and Political Freedom. Singapore:
Select Publishing, 2003.
Kegley, Charles W dan Wittkopf, Eugene R. Global Agenda: Issues and
Perspectives. New York: Mc Graw Hill, 2001.
Lewis, Bernard. The Crisis of Islam; Holy War and Unholy Terror. London:
Weidenfield & Nicolson, 2003.
--------------------. What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern
Response. Oxford: Oxford University Press, 2003.
Lutz, James M dan Lutz, Brenda J. Global Terrorism. New York: Routledge,
2004.
Mamdani, Mahmood. Good Muslim, Bad Muslim; Amerika, the Cold War and the
Roots of Terror. New York: Pantheon books, 2004.
Morganthau, Hans. Politik Antar Bangsa. Edisi VI. Buku Pertama, Penerjemah S.
Maimoen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990.
Muttaqin, Farid dan Sukidi. ed. Terorisme Serang Islam. Bandung: Pustaka
Hidayah, 2001.
Napoleoni, Loretta. Modern Jihad: Tracing the Dollars Behind the Terror
Networks. London: Pluto Press, 2003.
Nye, Joseph S. Memimpin Dunia; Sifat Kekuatan Amerika yang Berubah.
Penerjemah Budhy Kusworo. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1992.
Pangle, Thomas L dan Ahrensdorf, Peter J. Justice Among Nation; On the Moral
Basis of Power and Peace. Kansas: University Press of Kansas, 1999.
Stern, Jessica. The Ultimate Terrorists. Harvard: Harvard University Press, 2001.
Woodward, Bob. Bush at War. London: Pocket Books, 2003.
Yusmadi N. “Implikasi Kebijakan “War on Terror” Amerika Serikat Bagi Islam
Politik di Indonesia”. Tesis s2, Universitas Indonesia, 2005.
Koran
“Amerika dan Eropa bersaing Kuasai dunia.” Pikiran Rakyat, 16 Desember 2004.
“AS dan Terorisme Internasional.” KOMPAS, 13 September 2001.
“Blair Lihat Hubungan al-Qaeda dan Irak.” KOMPAS, 22 Januari 2003.
“Bush Beri Kesaksian atas Serangan 11/9.” Media Indonesia, 30 April 2004.
“Bush Panik, AS Bakal Lirik PBB.” Republika, 18 Maret 2004.
“Bush Says War on Terrorism is Succeeding.” The Jakarta Post, 05 Maret 2003.
“Dua Tahun Teror “Nine-One-One.” Media Indonesia, 11 September 2003.
“Irak dan Menguatnya Terorisme serta Radikalisme Global.” KOMPAS, 14
Desember 2003.
“Ketika AS dengan Hegemoninya Menuai Teror.” KOMPAS, 15 November 2003.
“Pemimpin AS Diharapkan Hati-hati soal Antiterorisme.” KOMPAS, 22
September 2001.
“Richard Clarke Bersaksi: Bush Kacaukan Perang terhadap Terorisme.” Media
Indonesia, 26 Maret 2004.
“The War on Terror.” The Jakarta Post, 20 November 2002.
“U.S. Warns that al-Qaeda Network is Looking for “Soft Targets.” The Jakarta
Post, 06 November 2002.
“War on Terrorism Must be Within Limits of the Law.” The Jakarta Post, 30
September 2002.
Aminy, Aisyah. “Perang terhadap Terorisme.” Republika, 27 Agustus 2003.
Amnesty International. “Perang AS Melawan Terorisme Lecehkan Hukum
Internasional.” KOMPAS, 02 Juni 2003.
Baasir, Faisal. “Dunia dalam Perangkap AS.” Republika, 12 April 2003.
Ghulam Dz, Rifma. “Kebijakan Antiterorisme Bush.” Republika, 31 Oktober
2003.
Habu, Shuichi. “Sept. 11 One Year Later: Terror Aftermath Opens Cracks in the
West.” The Jakarta Post, 11 September 2002.
Hasibuan, Bara. “Bush Menentang Dunia.” KOMPAS, 21 Desember 2003.
Hussain, Mushahid. “Bush Reinventing “War on Terror” in Response to
Opposition.” The Jakarta Post, 14 Oktober 2003.
Kuncahyono, Trias. “Terorisme dan Ambisi Neo-Imperialisme AS.” KOMPAS,
11 September 2002.
Noer, Daliar. “Melongok Ulah Adikuasa AS.” Republika, 14 Februari 2003.
Presse, Agence France. “U.S. Popularity in the Muslim World Falls Despite
Massive PR Campaign.” The Jakarta Post, 06 September 2003.
Ratna, Myrna. “Bush, Irak dan Terorisme.” KOMPAS, 28 September 2003.
Rumadi. “Terorisme dan Agresi AS ke Irak.” Media Indonesia, 21 Maret 2003.
Sengupta, Arnab Neil. “America Losing the War of Ideas.” The Jakarta Post, 06
Oktober 2003.
Sihbudi, Riza. “Teka-teki Tragedi 911.” Republika, 14 April 2004.
Wirayuda, Hassan. “Sept. 11 Changed American Foreign Policy.” The Jakarta
Post, 11 Desember 2003.
Dokumen:
Homeland Security Council. 9/11 Five Years Later: Successes and Challenges.
Washington: White House, 2006.
Homeland Security Council. Highlights of the Irak Strategy Review. Washington:
White House, 2007.
Homeland Security Council. National Strategy for Homeland Security.
Washington: White House, 2007.
Homeland Security Council. Strategy for Winning the War on Terror.
Washington: White House, 2006.
Website
http//www.whitehouse.com
http//www.wikipedia, the free encyclopedia.com
http//www.thirdworldtraveler.com
http//www.cdi.org
http//www.washingtonpost.com
http//www.dansargis.org
http://www.archives.nouvelobs.com/
http://www.soaw.org
http/www.americandiplomacy.org
http://islamlib.com/id
http//www.worldpublicopinion.org
http//www.globalpolicy.org
Download