Belajar bahasa merupakan proses yang kompleks

advertisement
C. Proses Internal Belajar Bahasa
Pernahkah terpikirkan oleh Anda, berapa lama Anda belajar bahasa Inggris? Di
SMP Anda belajar selama tiga tahun; kemudian di SMA Anda belajar selama tiga tahun.
Jumlah keseluruhan Anda belajar bahasa Inggris adalah enam tahun. Sudah lancarkah
Anda berbahasa Inggris? Mungkin Anda tersipu-sipu karena kenyataannya sampai
sekarangpun Anda belum mampu berbahasa Inggris dengan baik. Perhatikan, anak-anak
kita, umur lima tahun sudah pandai berbicara bahasa Indonesia dengan lancar atau sudah
lancar menggunakan bahasa daerah. Mengapa demikian? Mengapa Anda belajar bahasa
Inggris enam tahun dan tidak menampakkan hasil yang memuaskan? Mengapa anak-anak
kecil selama lima tahun relatif sudah menguasai sistem bahasa ibunya? Apa rahasianya?
Bagaimana sebenarnya manusia belajar bahasa?
Cara manusia belajar bahasa tetap merupakan sebuah misteri. Sudah banyak
penjelasan diberikan, namun hal itu tetap belum dapat mengungkap secara tepat
bagaimana manusia belajar bahasa. Proses belajar bahasa itu terjadi dalam alam pikiran
pembelajar bahasa. Para peneliti hanya dapat melacaknya secara elementer dan masih
jauh dari kesempurnaan. Yang dapat kita lakukan adalah mengobservasi yang didengar
dan diproduksi oleh pembelajar bahasa. Para peneliti yang terus menggali penjelasan
proses belajar bahasa itu mencatat bahwa terdapat ketidakcocokan antara keduanya dan
mereka menggabungkan sejumlah bukti yang impresif yang menunjukkan
bahwa
ketidakcocokan itu bersifat sistematis dan merupakan ciri semua kelompok pembelajar
bahasa. Mereka seperti jejak pikiran dalam perilaku pembelajar bahasa.
Ada tiga faktor internal yang bekerja ketika Anda belajar bahasa. Dua faktor
merupakan prosesor subsadar yang disebut filter dan organisator. Satu faktor lagi
merupakan prosesor sadar yang disebut monitor.
Pembelajar bahasa tidaklah selalu menyerap segala sesuatu yang didengarnya.
Motivasi, kebutuhan, sikap, dan emosinya menyaring segala sesuatu yang didengarnya
dan hal itu mempengaruhi derajat dan kualitas pembelajarannya. Kita menggunakan
istilah filter untuk mengacu pada faktor afektif yang menyaring segala sesuatu yang
merupakan masukan di sekitar pembelajar.
Organisator merupakan bagian pikiran pembelajar bahasa yang bekerja secara
subsadar untuk mengorganisasikan sistem bahasa yang baru itu. Ia pelan-pelan
membangun kaidah sistem bahasa baru dengan cara yang spesifik dan digunakan oleh
pembelajar untuk menghasilkan atau membangkitkan kalimat-kalimat yang dipelajari
melalui hafalan.
Monitor merupakan bagian sistem internal pembelajar yang secara sadar
memproses informasi. Apabila pembelajar menghafal kaidah tata bahasa dan mencoba
menerapkannya secara sadar dalam percakapan, misalnya, kita katakan orang itu
mengandalkan monitornya.
Gambar 1. Prosesor Internal
Lingkung-
Filter
Organisator
Monitor
an Bahasa
Kinerja Verbal
Pembelajar
1. Filter Afektif
Filter afektif merupakan bagian dari pemroses internal yang secara sadar
menyaring masukan bahasa yang dilandasi oleh faktor afektif: motif, kebutuhan, dan
emosi pembelajar. Filter afektif itu muncul dan merupakan pintu utama yang harus dilalui
oleh masukan bahasa sebelum ia masuk dalam proses selanjutnya. Ia menentukan:
a. model bahasa sasaran yang dipilih oleh pembelajar;
b. bagian bahasa yang harus dikuasai lebih dahulu;
c. kapan upaya belajar bahasa harus mengalami masa tenang;
d. seberapa cepat pembelajar dapat memperoleh bahasa.
Pembelajar, misalnya, akan memilih tipe frase atau butir kosakata tertentu untuk
dipelajari dan digunakan pada waktu berkomunikasi. Anak-anak, misalnya mempelajari
frase dan kalimat yang esensial untuk berperan serta dalam lingkungannya. Beberapa
pembelajar akan dengan secara jelas menghentikan belajar bahasa sasaran pada suatu titik
tertentu sebelum mereka mencapai kemampuan seperti penutur aslinya. Tetapi, hal itu
dilakukan setelah mereka cukup memperoleh bahasa sasaran untuk berkomunikasi.
Perilaku semacam itu dapat disebabkan oleh penyaringan faktor afektif yang secara
signifikan mengurangi data yang terlalu banyak bagi prosesor yang lain. Lingkungan
sosial mempengaruhi penyaringan. Misalnya, ada tuntutan bahasa asing di sekolah
memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar bahasa yang baru. Karakteristik
masyarakat yang menggunakan bahasa tertentu, sesuai dengan fungsi bahasa itu untuk
pembelajar itu sendiri, mempengaruhi sikap yang dikembangkan pembelajar terhadap
bahasa itu. Bentuk-bentuk motivasi yang khusus, kebutuhan, dan sikap yang
melatarbelakangi pemerolehan bahasa kedua dipengaruhi oleh masyarakat tempat
pembelajar itu bermukim dan juga dipengaruhi oleh aktivitas sosial di mana pembelajar
berperan serta atau ingin berperan serta.
a. Kepercayaan diri
Kepercayan diri mungkin merupakan aspek yang paling tampak dalam perilaku
manusia. Sering dengan mudah dikatakan bahwa keberhasilan kognitif atau afektif
ditentukan oleh derajat kepercayaan diri, derajat kesadaran akan kemampuan sendiri,
serta derajat akan kepercayaan diri seseorang. Jika Anda mau melompati sebuah parit
yang lebarnya dua meter, misalnya, Anda dapat tercebur ke parit itu kalau Anda tidak
percaya diri saat melompat. Jika Anda bermain bulu tangkis atau tenis misalnya, pada
saat memukul bola hasilnya sangat ditentukan apakah anda ragu-ragu atau penuh percaya
diri. Jika ragu-ragu, mungkin pukulan anda meleset, keluar lapangan, menyangkut di
jaring, dan sebagainya.
Perkembangan kepribadian secara universal mencakup pertumbuhan konsep diri
seseorang, penerimaan dirinya sendiri, dan refleksi diri seperti yang tampak dalam
interaksi antara diri seseorang dengan orang lain. Manusia memperoleh rasa percaya diri
dari akumulasi pengalaman dengan dirinya sendiri dan dengan berinteraksi dengan orang
lain, serta dari penilaiannya atas dunia yang ada di sekitarnya. Ada tiga tataran umum
rasa percaya diri dan itu menunjukkan ciri multidimensional rasa percaya diri itu.
1) Rasa percaya diri global, rasa percaya diri dikatakan relatif stabil pada orang
dewasa yang benar-benar matang, dan resisten untuk berubah kecuali dengan
terapi yang aktif dan diperluas. Ia adalah asesmen umum yang dilakukan oleh
seseorang dalam berbagai situasi. Kira-kira dapat dianalogikan pujian dengan
rerata di dalam statistik atau tataran median atas pujian terhadap diri sendiri.
2) Rasa percaya diri situasional atau spesifik mengacu pada diri dalam situasi
kehidupan yang spesial, seperti interaksi sosial, kerja, pendidikan, rumah, atau
atas bakat-bakat, seperti inteligensi, kemampuan berkomunikasi, kemampuan
atletik, atau seperti bawaan kepribadian seperti empati, fleksibilitas. Derajat rasa
percaya diri spesifik yang dimiliki seseorang beragam dan bergantung pada situasi
atau bakat.
3) Rasa percaya diri tugas berkaitan dengan tugas tertentu di dalam situasi khusus.
Misalnya, dalam ranah pendidikan, ia mengacu pada sebuah kawasan mata
pelajaran. Dalam konteks atletik, keterampilan dalam olahraga—atau bahkan faset
olahraga seperti permainan net atau melempar bola dalam baseball—akan
dievaluasi dalam tataran rasa percaya diri tugas. Rasa percaya diri spesifik,
menjelaskan pemerolehan bahasa secara umum, dan ia akan menjelaskan
swaevaluasi seseorang dalam hal aspek tertentu dari sebuah proses: berbicara,
menulis, kelas tertentu dalam bahasa kedua, atau bahkan jenis khusus pelatihan
dalam kelas.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi yang positif antara rasa percaya
diri dengan kemampuan anak belajar bahasa. Semakin tinggi rasa percaya diri anak,
semakin tinggi pula kinerja dalam belajar bahasa. Hal itu menunjukkan bahwa variabel
rasa percaya diri merupakan variabel penting dalam pembelajaran bahasa.
Apa yang tidak ketahui sampai sekarang adalah jawaban atas pertanyaan dulu mana
telur atau ayam: Apakah rasa percaya diri menyebabkan keberhasilan berbahasa ataukah
sebaliknya keberhasilan berbahasa menyebabkan tumbuhnya rasa percaya diri. Yang jelas
adalah bahwa keduanya itu saling berinteraksi. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan apakah
sebaiknya guru mengembangkan rasa percaya diri ataukah rasa percaya diri akan tumbuh
dengan sendirinya jika guru mengembangkan kemampuan berbahasa siswa.
b. Hambatan (Inhibisi)
Semua manusia dalam upaya memahami dirinya sendiri, mengembangkan
seperangkat pertahanan diri untuk melindungi egonya. Bayi yang baru lahir tidak
mempunyai konsep tentang dirinya sendiri; dan secara perlahan belajar untuk
mengidentifikasikan dirinya yang berbeda dengan yang lain. Dalam masa kanak-kanak,
derajat perkembangan kesadaran diri, tanggapan, dan penilaian mulai menciptakan sistem
afektif digunakan oleh individu untuk mengideentifikasi dirinya sendiri. Pada saat remaja
perubahan fisik, emosi, dan kognitif praremaja dan remaja akan membawanya ke arah
hambatan (inhibisi) defensif untuk melindungi egonya yang masih rapuh dalam
menghadapai tantangan terhadap berbagai gagasan, pengalaman, dan perasaan yang
mengancam upaya pengorganisasian nilai dan keyakinan untuk membangun rasa percaya
diri. Proses membangun pertahanan itu akan berlanjut sampai pada usia dewasa.
Beberapa orang – yakni yang memiliki rasa percaya diri tinggi dan kekuatan ego yang
tinggi juga – akan lebih dapat mengatasi semua tantangan itu dan pertahanannya menjadi
lebih rendah. Mereka yang memiliki rasa percaya diri yang rendah mempertahankan
dinding inhibisi untuk melindungi pribadinya yang lemah dan egonya yang rapuh, atau
kurang rasa percaya diri dalam situasi dan tugas.
Dalam pembelajaran bahasa, Guiora (1927) memperkenalkan istilah yang
disebutnya sebagai ego bahasa, yakni hakikatnya pembelajaran bahasa itu sangat personal
dan egoistis. Pemerolehan bahasa yang bermakna dalam batas tertentu melibatkan konflik
identitas ketika pembelajar bahasa mencari identitas baru dengan kompetensi yang baru
diperolehnya. Sebuah ego bahasa yang adaptif memungkinkan pembelajar memperendah
inhibisi yang dapat meningkatkan keberhasilan belajar bahasa.
Ada sebuah penelitian yang menarik dalam rangka membuktikan hubungan antara
inhibisi dengan pembelajaran bahasa. Guiora merancang sebuah penlitian eksperimental
dengan menggunakan alkohol dalam jumlah yang kecil. Kelompok eksperimen oleh
peneliti diberi minuman alkohol dalam kadar rendah sedangkan kelompok kontrrol
dibiarkan tanpa minuman alkohol. Performansi siswa yang minum alkohol dalam hal
lafal ternyata lebih baik daripada kelompok kontrol. Mengapa demikian? Kelompok
eksperimen karena pengaruh alkohol inhibisinya menjadi rendah, sedangkan kelompok
kontrol karena tidak minum alkohol masih tetap mengembangkan inhibisi. Anda tahu,
bukan, alkohol itu dapat menurunkan tingkat kesadaran pikiran dan mengakibatkan orang
menjadi lebih berani dalam berbicara, tidak memiliki rasa malu dan sebagainya. Lihatlah
fenomena orang yang sedang mabuk. Semakin mabuk seseorang semakin mengoceh dia
tanpa ada rasa malu sama sekali. Tampaknya anak-anak yang mendapatkan alkohol
dalam kadar rendah itu juga terpengaruh dan kemudian inhibisinya menurun. Dampak
dari turunnya inhibisi itu performansi mereka dalam belajar bahasa meningkat. Tentu
saja, Anda tidak perlu meniru penelitian semacam itu. Di samping tidak etis juga tidak
bermoral menggunakan anak-anak untuk eksperimen semacam itu.
Yang dapat Anda petik dari penelitian semacam itu tidak lain adalah bahwa di
dalam kelas kalau guru dapat menurunkan inhibisi maka pembelajaran akan berhasil
dengan baik. Lalu banyak guru yang berupaya untuk menurunkan inhibisi itu dengan cara
yang lebih bermoral dan lebih etis menurut tatanan pendidikan. Pembelajaran bahasa
dalam beberapa dekade terakhir ini mencoba mengembangkan pembelajaran di kelas
yang menciptakan suasana yang bebas, tetapi bertanggung jawab. Diciptakanlah konteks
pembelajaran yang menyennagkan yang memberdayakan pembelajar bahasa supaya
mereka tidak merasa terkungkung dan takut berbuat salah dalam berbahasa.
Setiap guru, termasuk Anda pasti tahu bahwa dalam proses belajar bahasa itu
anak tidak akan luput dari berbuat salah. Namun, kesalahan itu bukan untuk dihujat,
dicaci dengan keras, dan sebagainya. Koreksi langsung bahkan akan melemahkan
semangat anak-anak dalam belajar bahasa. Bahkan kita harus yakin bahwa dengan
berbuat kesalahan itulah anak-anak akan berkembang maju. Kesalahan adalah indikator
awal sebuah keberhasilan.
Ciri yang menonjol sebagai pembelajar bahasa yang baik ialah kemampuan untuk
membuat terkaan secara cerdas. Impulsivitas juga digambarkan sebagai gaya yang
mempunyai dampak positif dalam keberhasilan berbahasa. Anda baru saja juga
mempelajari bahwa inhibisi, mengembangkan pertahanan seputar ego dapat menghambat
pembelajaran. Faktor-faktor itu menyarankan bahwa pengambilan risiko merupakan
karakteristik pembelajaran bahasa yang berhasil. Pembelajar harus dapat berjudi sedikit
untuk mau mencobakan bahasa itu dan mengambil risiko untuk berbuat salah. Di kelas
obat penawar yang mujarab untuk mengatasi ketakutan belajar bahasa adalah
menciptakan kerangka afektif yang layak sehingga pembelajar itu merasa nyaman ketika
mencoba menggunakan atau belajar bahasa tanpa rasa takut untuk menjadi malu karena
dicerca atau ditertawakan guru atau teman. Oleh sebab itu, kesalahan itu jangan
ditertawakan, jangan dihujat apalagi. Siswa harus dirangsang untuk dapat percaya diri
dan didorong agar berperan serta untuk dapat bereksperimen dan bereksplorasi dan
mengambil risiko dalam belajar bahasa.
Diasumsikan bahwa siswa yang berani
mengambil risiko dalam belajar bahasa akan berdampak positif dalam perolehan
pembelajarannya.
c. Kecemasan
Konsep yang berhubungaan erat dengan inhibisi, rasa percaya diri, dan
pengambilan risiko adalah kecemasan yang memegang peranan penting dalam
pembelajaran bahasa. Kecemasan pada dasarnya adalah perasaan tidak nyaman, frustrasi,
ragu-ragu, khawatir. Pada hakikatnya manusia menghadapi berbagai kecemasan.
Kecemasan sebenarnya bertingkat jenjangnya. Ada kecemasan yang berada pada tataran
paling dalam atau global. Kecemasan semacam itu lebih bersifat permanen. Sementara itu
ada orang-orang yang mengalami kecemasan momentaris, atau pada tataran situasional.
Rasa cemas itu tumbuh karena pengalamannya yang berhubungan dengan peristiwa atau
tindakan tertentu. Misalnya, ada siswa yang selalu cemas kalau menghadapi ulangan; ada
yang cemas ketika menghadapi guru baru; ada yang cemas kalau pembelajaran
dilaksanakan di luar kelas, dan sebagainya. Oleh sebab sangat penting bagi guru untuk
melacak apakah kecemasan siswa itu berakar pada kecemasan global ataukah berakar
pada kecemasan situasional.
Kecemasan bawaan karena sifatnya global dan sering ambigu batasannya tidak
dapat digunakan untuk meramalkan keberhasilan belajar bahasa. Tetapi, akhir-akhir ini,
penelitian dalam hal kecemasan bahasa, memumpunkan pada kecemasan situasional.
Tiga komponen kecemasan belajar bahasa kedua
telah diidentifikasi, yakni sebagi
berikut.
1) Komunikasi dan pengertian, yang muncul dari ketidakmampuan pembelajar untuk
mengekspresikan secara layak pemikiran atau gagasan yang matang.
2) Takut akan evaluasi sosial yang negatif, muncul dari kebutuhan untuk membuat
kesan sosial yang positif pada yang lain; dan
3) tes kecemasan, atau pengertian akan evaluasi akademik.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa kecemasan belajar bahasa kedua atau bahasa
asing berdampak negatif pada proses belajar bahasa. Kecemasan dapat dipilahkan
menjadi kecemasan debilitatif dan fasilitatif. Dapat juga disebut sebagai kecemasan yang
mengganggu dan membantu. Kita cenderung mengatakan bahwa kecemasan itu
merupakan faktor negatif dan harus dihilangkan dengan segala macam usaha, daya,
tenaga, dan dana.
d. Motivasi
Motivasi pada hakikatnya adalah insentif, kebutuhan, atau keinginan yang
dirasakan pembelajar bahasa untuk belajar bahasa. Penelitian dalam dunia pembelajaran
bahasa menunjukkan bahwa motivasi itu mempengaruhi pembelajaran bahasa. Ada tiga
jenis motivasi yang mempengaruhi pembelajaran bahasa, yakni (1) motivasi integratif,
(2) motivasi instrumental, (3) identifikasi kelompok sosial.
1) Motivasi Integratif dan Motivasi Instrumental
Gardner dan Lambert (1959) membedakan antara motivasi integratif dan motivasi
instrumental dalam pembelajaraan bahasa. Motivasi integratif dapat dibatasi sebagai
keinginan atau kehendak untuk mencapai kemmpuan dalam bahasa yang baru agar dapat
berperan serta dalam masyarakat yang menggunakan bahasa itu. Motivasi integratif itu
mencerminkan kepentingan sebenarnya dan sangat pribadi dalam masyarakat dan budaya
yang ditunjukkan oleh budaya lain. Di sisi lain,motivasi instrumental mungkin dapat
dibatasi sebagai keinginan untuk mencapai kemampuan dalam bahasa baru dengan alas
an kemaslahatannya, seperti memperoleh pekerjaan. Motivasi instrumental itu
mencerminkan nilai dan keuntungan praktis dalam hal belajar bahasa.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa motivasi integratif dan motivasi
instrumental itu mempunyai sumbangan yang sangat baik terhadap keberhasilan belajar
bahasa. Artinya, semakin baik atau semakin tingi motivasi seorang pembelajar untuk
belajar bahasa, baik motivasi integratif maupun motivasi instrumental semakin baik pula
penguasaan dan keterampilan berbahasa seseorang. Sebaliknya, semakin rendah dan
semakin tidak baik motivasi seseorang, baik motivasi integratif maupun motivasi
instrumental semakin buruk atau semakin lemah penguasaan atau keterampilan berbahasa
seseorang.
Contoh-contoh konkret banyak terdapat di lingkungan Anda. Cobalah Anda
pikirkan, seandainya anak kelas empat sekolah dasar yang berada di daerah terpencil,
misalnya, pelosok desa di Kabupaten Pacitan, mendapatkan pelajaran bahasa Inggris.
Adakah kira-kira motivasi anak itu untuk belajar bahasa Inggris? Anak-anak berpikir,
untuk apa belajar bahasa Inggris di desanya yang rata-rata penduduknya hanya mampu
berbahasa Jawa? Apa manfaat praktisnya bagi anak-anak? Dalam lingkungan semacam
itu tentulah tidak akan muncul motivasi anak baik motivasi integratif maupun motivasi
instrumental. Jika pelajaran bahasa Inggris itu tetap dipaksakan pada anak-anak tersebut,
apa yang terjadi? Pasti anak-anak tidak bersemangat, tidak tertarik. Jika suasana belajar
sudah lesu semacam itu, dapat diramalkan pelajaran bahasa Inggris tersebut akan gagal.
Bandingkanlah dengan situasi pelajaran bahasa Inggris untuk anak-anak kelas
enam sekolah dasar di kota Denpasar Bali. Anak-anak setiap hari harus berjuang keras
menjajakan souvenir untuk orang-orang asing yang berdatangan ke Bali yang bagi orang
asing atau turis mancanegara merupakan surga dunia. Anak-anak memerlukan dapat
berbahasa Inggris. Maka ketika di sekolahnya ada pelajaran bahasa Inggris, anak-anak
sangat bersemangat sebab kemampuan berbahasa Inggris itu sangat diperlukannya untuk
dapat berjualan dengan baik. Jika bahasa Inggrisnya baik, anak-anak akan dapat
berkomunikasi dengan turis asing guna menawarkan dagangannya. Dapat diyakini,
pembelajaran bahasa Inggris pada anak-anak tersebut akan menarik minat mereka, akan
menimbulkan motivasi yang tinggi. Pada gilirannya prestasi belajar bahasa Inggris anakanak akan tinggi. Pada anak-anak sekolah dasar di Bali itu tumbuh motivasi instrumental.
Bandingkanlah kisah berikut ini. Ada seorang mahasiswa dari Amerika Serikat
yang sedang menyusun tesisnya tentang kesenian tradisional di Indonesia. Kebetulan ia
memilih kesenian tradisional dari kota Malang, yakni wayang topeng Malang. Entah
bagaimana asal-muasalnya sang mahasiswi itu menikah dengan dalang wayang topeng
Malang dan akhirnya menetap di Tumpang, Malang. Agar ia dapat diterima oleh
komunitas orang Jawa, dengan gigih ia belajar bahasa Jawa. Hasilnya luar biasa. Ia
mampu berbahasa Jawa dengan baik, bahkan berbagai tingkat tutur bahasa Jawa pun
dikuasainya. Yang menakjubkan juga ia piawai menyanyikan lagu-lagu klasik Jawa yang
rumit, yang bagi orang Jawa sendiri, tidak setiap orang mampu membawakannya. Ia
sering tampil sebagai pesinden wayang kulit, bahkan sering tampil lewat televisi. Pada
diri mahasiswi yang berasal dari Amerika Serikat itu tumbuh motivasi integratif dalam
dirinya. Oleh sebab itu, ia sangat berhasil dalam mempelajari bahasa Jawa.
2) Identifikasi Kelompok Sosial
Bahasa atau variasi bahasa yang digunakan seseorang itu mengindikasikan bahwa
seseorang itu merupakan warga kelompok sosial tertentu. Oleh sebab itu, motif
identifikasi kelompok sosial dapat dibatasi keinginan untuk memperoleh kemampuan
dalam sebuah bahasa atau sebuah variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial
yang oleh pembelajar dijadikan identitasnya. Banyak penelitian menunjukkan bahwa
pembelajar itu menjadikan teman-temannya yang berbahasa tertentu yang dipelajarinya
itu sebagai modelnya. Motif identifikasi kelompok sosial ini mirip dengan motivasi
integratif, tetapi ia lebih dari sekadar itu. Pembelajar yang memiliki motivasi integratif
belajar bahasa yang lain agar ia dapat berperan serta dalam kehidupan dan budaya bahasa
yang dipelajarinya itu, tetapi ia tetap mempertahankan identitas sebagai orang yang tetap
berada pada budaya bahasanya sendiri. Misalnya, Anda orang Jawa. Anda bertugas di
Madura. Anda ingin dapat berperan serta dalam berbagai kegiatan dan dapat
berkomunikasi dengan baik dalam masyarakat budaya Madura. Dalam diri Anda tumbuh
motivasi integratif. Tetapi, Anda tidak melepaskan budaya Anda sebagai pengguna
bahasa Jawa. Lain halnya dengan orang yang memiliki motif identifikasi kelompok
sosial. Jika Anda memiliki motif semacam itu maka Anda akan melepaskan identitas
Anda sebagai orang Jawa dan Anda mengidentifikasi diri Anda sebagai orang Madura.
Anda ingin jadi anggota masyarakat Madura sepenuhnya. Hal semacam itu sering terjadi
pada orang Jawa, misalnya, yang kawin dengan gadis Madura dan kemudian tinggal dan
bekerja dalam budaya bahasa Madura. Orang itu hidupnya sepenuhnya menyatu dengan
budaya Madura; jadilah dia orang Jawa yang berbudaya Madura. Maka dapat diyakini
orang semacam itu akan dapat belajar bahasa Madura dengan sangat baik. Berbeda,
misalnya, ketika saya menempuh program doktoral saya dan diwajibkan untuk
mengambil minor bahasa lain selain bahasa ibu saya yang bahasa Jawa. Saya mengambil
bahasa Madura. Meskipun dosen saya penutur asli bahasa Madura, rasanya selama satu
tahun, saya tidak mendapatkan apa-apa, dan saya tetap tidak dapat berbahasa Madura.
Tidak ada motivasi apapun pada saya, hanya sekadar asal mengambil saja.
2. Organisator
Organisator merupakan bagian dari sistem pemrosesan internal yang bertanggung
jawab terhadap pengorganisasian pembelajar secara gradual terhadap sistem bahasa yang
baru. Organisator bekerja secara subsadar dan dilandasi oleh prinsip kognitif: kriteria
logis dan analitik bagi organisasi pengetahuan perilaku.
Dalam mengkaji bahasa yang dihasilkan pembelajar, peneliti dapat melihat
bekerjanya organisator itu yang tercermin dalam tiga fenomena yang pervasif, yakni:
a. Kemajuan sistematik perubahan kaidah yang bersifat sementara, atau konstruksi
transisional yang digunakan pembelajar sebelum struktur itu akhirnya diperoleh.
b. Kesalahan yang terjadi secara sistematik di dalam tuturan pembelajar;
c. Urutan umum di mana struktur yang mantap dipelajari.
Hubungan antara temuan itu dan bekerjanya organisator sangat informatif. Analisis aspek
bahasa kedua yang dikembangkan pembelajar menunjukkan faset yang berbeda tentang
tata kerja prinsip-prinsip internal yang menjadi patokan pemerolehan bahasa.
Berbagai macam kaidah ditemukan untuk memberikan ciri khusus pada tuturan
bahasa pembelajar. Istilah yang sering digunakan untuk gejala semacam itu adalah
konstruksi transisional. Istiah itu mengacu pada struktur khusus yang secara teratur
digunakan pembelajar selama pemerolehan struktur bahasa sasaran secara khusus.
Adanya banyak struktur yang sistematis yang dikembangkan pembelajar yang berbedabeda merupakan salah satu indikator penting yang menunjukkan bahwa pembelajaran
menggunakan faktor organisator dalam proses mempelajari bahasa.
Bukti bahwa seseorang dalam belajar bebahasa menggunakan organisatornya
tampak pada kesalahan-kesalahan yang dibuat pembelajar. Ketika belajar bahasa
Indonesia, misalnya, tampak anak-anak sering menghilangkan awalan atau akhiran,
menghilangkan subjek, menghilangkan kata-kata depan, atau menambahkan kata depan
yang tidak diperlukan, membuat penandaan ganda, salah dalam membuat urutan kata
dalam kalimat, dan sebagainya.
Contoh:
Penghilangan awalan
Ayah kerja di kantor.
Ia suka nonton sepak bola.
Anak itu kalau bicara tidak ada ujung pangkalnya.
Tampaknya anaknya sudah ngantuk.
Siapa yang ngarang lagu itu?
Penghilangan subjek
Contoh:
Di Surabaya menyelenggarakan konser musik pop.
Dengan semangat tinggi memproklamasikan dirinya sebagai ketua kelompok.
Bagi yang kehilangan uang supaya melapor ke polisi.
Bagi saya sangat menguntungkan.
Dari Surabaya ke Madiun membawa beban yang berat.
Penandaan ganda
Contoh:
Demi untuk rakyat ia berjuang keras.
Pancasila adalah merupakan falsafah bangsa.
Pendapatnya sangat baik sekali.
Para guru-guru sedang sangat sibuk sekarang.
Ia belajar keras agar supaya lulus dengan baik.
Kesalahan urutan kata
Contoh:
Anak itu memukul kemarin dengan keras bola itu.
Sebaiknya kamu harus bicarakan dengan teman-temanmu hal itu.
Apakah hal itu kamu telah sarankan kepada sahabatmu?
Bila hal ini kamu ingin lakukan, sebaiknya dulu tanyakan pada pamanmu.
Akan apapun yang terjadi, kamu dahulu bersiap-siap sebaiknya.
Penghilangan kata tugas
Contoh:
Tarian semacam itu tidak sesuai kepribadian bangsa.
Ayah sedang pergi kantor.
Urutan pemerolehan bahasa, merupakan indikator penting bahwa organisator itu
bekerja selama anak-anak belajar bahasa.
3. Monitor
Monitor merupakan bagian sistem internal pembelajar yang bertanggung jawab
terhadap proses kebahasaan secara sadar. Proses kebahasaan secara sadar oleh Krashen
(1981) disebut sebagai belajar. Bila seseorang mencoba belajar kaidah dengan
membacanya dari buku tata bahasa atau mengikuti pelajaran di kelas di mana guru secara
eksplisit memberikan kaidah, orang itu sudah berada di dalam belajar secara sadar. Di
manapun proses kebahasaan sadar itu terjadi, dikatakan bahwa pembelajar itu
menggunakan monitornya. Sama halnya, apabila pembelajar menampilkan penubian
(drill) yang memerlukan perhatian sadar pada bentuk bahasa, atau manakala dia
menghafal dialog, proses sadar sedang terjadi dan pada saat itu monitor digunakan.
Pengetahuan bahasa yang diperoleh seseorang melalui pemonitoran dapat
digunakan secara sadar untuk merumuskan kalimat-kalimat dan membetulkan tuturan
atau tulisannya. Fungsi menyunting monitor itu memainkan peranan apabila siswa
mencoba menyunting karangan dan membetulkan kalaimat-kalimat yang tidak gramatikal
dalam butir-butir tes bahasa, juga manakala siswa secara spontan melakukan swakoreksi
terhadap kesalahan yang dibuatnya selama berbicara atau menulis.
Pemrosesan secara sadar mungkin juga melandasi penggunaan struktur bahasa
pertama untuk merumuskan kalimat-kalimat bahasa kedua dalam situasi khusus. Ketika
diminta memproduksi struktur yang belum merupakan bagian dari sistem bahasa yang
subsadar, beberapa pembelajar, khususnya orang dewasa, cenderung secara sadar mengisi
kosakata bahasa kedua ke dalam kalimat bahasa pertama mereka. Proses terjemahan kata
demi kata secara sadar itu mungkin merupakan strategi komunikasi sebagai upaya
terakhir.
Derajat penggunaan monitor itu bergantung pada sekurang-kurangnya faktor
berikut ini.
a) usia pembelajar;
b) jumlah pengajaran formal yang diperoleh pembelajar;
c) hakikat dan pumpunan yang diminta oleh tugas verbal yang dilakukan;
d) kepribadian pembelajar.
Tampaknya pemonitoran lebih mudah dilakukan manakala pembelajar itu telah
mencapai tahap operasi formal. Pada tahap itu pembelajar dapat memanipulasikan
hubungan abstrak antara beberapa gagasan. Anak-anak pada masa puber lazimnya
sudah dapat memanipulasikan hubungan abstrak semacam itu, meskipun sebenarnya
tahap operasi formal itu sudah dimulai pada masa adolesen (remaja).
Pemonitoran juga sangat dipengaruhi oleh pengajaran formal. Seseorang tidak akan
dapat mengadakan pemonitoran tuturannya, tidak dapat menerapkan kaidah kecuali jika
kaidah itu sudah dipelajarinya, sudah diinternalisasikannya. Tetapi, yang sebaliknya
tidaklah selalu benar. Artinya, tidak berarti bahwa apabila seorang pembelajar sudah
menguasai kaidah kemudian akan menggunakan kaidah itu untuk melakukan
pemonitoran. Sebuah penelitian yang dikerjakan oleh Krashen, dan kawan-kawan (1976)
menunjukan bahwa bahwa permintaan untuk mengecek kembali tugas tertulisnya
ternyata tidak menjamin penggunaan kaidah yang dipelajarinya secara sadar.
Pemonitoran dipengaruhi oleh bentuk tugas yang diberikan oleh guru. Tugas yang
lebih memfokuskan perhatian pembelajar pada bentuk kebahasaan akan meningkatkan
penggunaan monitor. Misalnya, jika seorang guru minta kepada siswa untuk mengubah
kalimat Ardo sangat suka donat menjadi kalimat negatif, maka siswa akan memainkan
fungsi monitor guna mengecek kembali apakah bentuk negatifnya sudah benar atau tidak.
Tetapi, bila dihadapkan
pada tugas komunikasi alamiah, siswa akan memfokuskan
perhatiannya pada pengkomunikasi gagasannya atau pendapatnya kepada orang lain dan
tidak memfokuskan perhatiannya pada bentuk bahasa yang digunakannya. Dalam kasus
semacam itu pembelajar hanya menggunakan monitornya, menerapkan kaidah secara
subsadar untuk menyampaaikan pesannya. Jelaslah bahwa bila pembelajar dihadapkan
pada memumpunkan perhatiannya pada bentuk bahasa, mereka akan menerapkan secara
formal kaidah yang dipelajarinya, secara sadar ia akan menerapkan kaidah yang telah
dikuasainya.
Pemonitoran dipengaruhi oleh kepribadian pembelajar. Pembelajar yang merasa tidak
aman, sadar diri, dan takut berbuat kesalahan cenderung menggunakan monitornya
daripada yang lain.
Belajar bahasa pada hakikatnya mempunyai satu fungsi penting, yakni sebagai
monitor atau editor. Belajar bahasa memainkan peranan yang penting dalam mengubah
bentuk tuturan kita sesudah dihasilkan oleh sistem kebahasaan kita. Peristiwa semacam
itu terjadi sebelum dan sesudah kita menghasilkan ujaran, baik lisan maupun tulis.
Dengan adanya pemonitoran semacam itu, berarti bahwa peranan kaidah formal,
dan peranan belajar bahasa secara sadar, hanya terbatas pada performansi bahasa kedua.
Orang yang sedang menggunakan bahasa kedua dapat menggunakan kaidah itu jika tiga
syarat terpenuhi.
Syarat itu perlu dan cukup. Artinya, pembelajar mungkin tidak
memanfaatkan secara tuntas kaidah itu meski ketiga syarat itu dipenuhi. Ketiga syarat
tersebut adalah waktu, bentuk, dan kaidah. Penutur harus mempunyai waktu yang cukup;
harus terfokus pada bentuk; berpikir pada bentuk yang benar serta harus tahu kaidah.
Berdasarkan pemakaian monitor itu para penutur dapat dipilahkan menjadi tiga
kelompok, yakni:
a) Penutur yang menggunakan monitornya secara berlebihan;
b) Penutur yang sangat jarang menggunakan monitor;
c) Penutur yang menggunakan monitor secara optimal.
a) Penutur yang menggunakan monitor secara berlebihan
Pernahkan Anda menyaksikan seorang pembicara di televisi atau dalam seminar,
simposium, atau diskusi, yang ketika berbicara sangat berhati-hati, sangat cermat, takut
berbuat kesalahan baik dari sudut isi maupun dari sudut bentuk bahasa? Mungkin Anda
pernah menyaksikan Pembina bahasa Indonesia di televisi, Prof. Dr. Anton M. Moeliono.
Kalau memberikan penyuluhan bahasa Indonesia di TV, Pak Anton, demikian nama
panggilannya, begitu cermat dalam berbahasa, begitu berhati-hati dalam memilih bentuk
kata, ucapan, maupun kalimatnya. Ia berusaha untuk tidak membuat kesalahan dalam
berbahasa. Tipe lain semacam itu adalah Bapak Murdiono, menteri zaman Orde Baru.
Pak Murdiono kalau berbicara di televisi sangat pelan, sangat berhati-hati. Terkesan dia
ingin supaya tidak ada kesalahan dalam hal isi maupun kalimat yang disampaikannya.
Tampak pembicaraannya tersendat-sendat dan sering ada jeda dengan menggunakan jeda
eh, anu, dan sejenisnya. Orang semacam itu adalah orang yang dalam berbahasa terlalu
banyak menggunakan monitornya.
Penutur tipe ini selalu mengadakan pemantauan setiap saat. Ia mengecek secara
taat asas hasil tuturannya dengan pengetahuan yang sangat disadarinya tentang kaidah
bahasa. Akibatnya penutur jenis itu akan berbicara dengan ragu-ragu, sering berhenti di
tengah pembicaraan, mementingkan pembetulan dan tidak dapat berbicara secara lancar.
Penyebab utama penutur mengadakan pemonitoran secara berlebihan itu ialah faktor
sejarah pajanan bahasa kedua, serta faktor kepribadian penutur.
Dalam sejarah pajanan bahasa kedua, penutur yang mengadakan pemantauan
secara berlebihan itu bergantung sekali pada pengajaran tata bahasa. Ia tidak memperoleh
kesempatan cukup banyak untuk memperoleh bahasa kedua. Ia tidak mempunyai pilihan
lain kecuali menggantungkan dirinya pada belajar. Saya masih ingat benar, saya belajar
bahasa Inggris dalam situasi prembelajaran yang masih mengandalkan pada metode tata
bahasa terjemahan. Tata bahasa diajarkan secara ketat oleh guru saya. Tata bahasa
merupakan sentral pengajaran yang diberikan guru saya. Apa yang terjadi pada saya?
Ketika saya mau berbicara bahasa Inggris, maka saya berpikir dahulu, saya menggunakan
monitor saya dulu secara berlebihan untuk mengecek apakah ucapan atau tata bahasa,
atau pilihan kata saya sudah tepat atau belum. Akhirnya saya berbicara terbata-bata tidak
lancar sama sekali.
Dipandang dari sudut kepribadian, penutur yang menggunakan monitornya secara
berlebihan itu biasanya kurang percaya diri akan kemampuan dirinya sendiri untuk
belajar bahasa kedua. Ia hanya merasa aman jika mengacu pada monitornya agar yakin
benar-benar. Ketika kami mendapatkan tugas studi banding ke Universitas London, kami
mempunyai teman yang sama sekali tidak percaya diri akan kemampuannya berbahasa
Inggris. Ia serba ragu, serba takut untuk berbicara. Ia memang termasuk orang yang
merasa rendah diri. Kepercayaan dirinya rendah. Pada setiap kesempatan dialog dengan
mitra dosen dari Universitas London, ia hampir-hampir tak berbicara. Ketika dia terpaksa
berbicara karena ditanyai oleh mitra dosen dari Universitas London, dia berbicara terbata-
bata, dan dipenuhi dengan jeda atau kesenyapan yang agak lama. Orang yang tidak
percaya diri atau kurang percaya diri pasti akan sangat banyak menggunakan monitornya
dalam berbahasa.
b) Penutur yang sangat jarang menggunakan monitornya
Penutur semacam itu tidak memiliki keberanian untuk menggunakan monitornya.
Berarti, ia sebenarnya tidak pernah belajar. Jika pernah, ia cenderung tidak menggunakan
pengetahuan sadarnya meskipun kondisi memungkinkan. Orang semacam itu tidak dapat
dipengaruhi oleh pembetulan kesalahan dan hanya dapat membetulkan kesalahan dengan
perasaan.
Ada kisah yang sangat menarik tentang teman saya ketika kami melakukan studi
banding ke Universitas London. Teman saya itu kalau saya boleh menilai sebenarnya
kemampuan berbahasa Inggrisnya pas-pasan. Tetapi, ia begitu percaya diri (memang ia
mempunyai jabatan yang strategis di universitasnya). Tata bahasa, ucapan, serta pilihan
katanya ketika berbahasa Inggris benar-benar payah. Intonasinya adalah intonasi bahasa
Jawa yang “medhok” sekali; dan tata bahasanya amburadul. Tetapi, ia selalu tampil
pertama untuk berbicara, serta mengabaikan sama sekali bentuk tata bahasa yang
digunakannya. Ketika saya tanyakan kepadanya rumusnya, ia menjawab enteng,
“Ngapain harus takut ngomong sama bule-bule itu? Kita bukan bangsa tempe. Kita harus
tunjukkan kepada mereka bahwa kita tidak kalah pinter sama mereka. Kita bisa bicara
bahasa mereka. Tidak penting tata bahasa itu. Yang penting adalah mereka paham apa
yang kita omongkan. Yang penting adalah komunikatif. Mereka juga ngerti bahwa kita
bukan Inggris. Jadi mereka juga mafhum kalau Inggris kita itu tidak sebaik mereka.”
Begitu ia menjawab pertanyaan saya tanpa memberikan kesempatan kepada saya untuk
menginterupsinya. Itu juga menunjukkan bahwa ia memang sangat percaya diri dan
ketika berbicara dalam bahasa Indonesia pun ia hampir-hampir tidak menggunakan
monitornya sama sekali. Perhatikan pilihan kata dan tata bahasa Indonesianya. Banyak
yang tidak beres. Tetapi, ia memang tidak peduli pada bentuk, ia lebih peduli pada
makna. Yang penting komunikatif, katanya.
c) Penutur yang menggunakan monitor secara optimal
Penutur ini menggunakan monitornya secara optimal, yakni menggunakan
monitor manakala dibutuhkan dan apabila tidak mengganggu komunikasi. Dalam
percakapan, misalnya, penutur tipe ini tidak akan menggunakan monitornya jika hal itu
dirasakan akan mengganggu komunikasi. Penutur semacam ini dapat menggunakan
kompetensi yang telah dipelajarinya sebagai suplemen pada kompetensi pemerolehannya.
Jika dugaan adanya monitor itu benar, maka pemerolehan bahasa itu akan menjadi
penting atau sentral sedangkan belajar bahasa itu merupakan bagian periferal. Oleh sebab
itu, yang penting ialah menggalakkan pemerolehan bahasa dan bukan belajar bahasa.
4. Rangkuman
Belajar bahasa terjadi dalam alam pikiran pembelajar. Di situlah struktur mental
atau mekanisme proses dan mengorganisasikan bahasa itu dilakukan. Ada tiga faktor
yang memainkan peranan penting dalam pembelajaran bahasa, yakni filter afektif,
organisator, dan monitor.
Filter afektif menjadi pintu gerbang pertama yang harus dilewati oleh pemrosesan
belajar bahasa di dalam pikiran. Filter afektif itu menyaring semua masukan bahasa yang
bekerja atas dasar faktor afektif, yakni motif pembelajar, sikap pembelajar, dan keadaan
emosi pembelajar. Ada tiga jenis motivasi yang mempengaruhi proses penyaringan
masukan pembelajaran bahasa, yakni motivasi integratif, motivasi instrumental, dan
motif indentifikasi kelompok sosial. Motivasi integratif adalah keinginan untuk berperan
serta di dalam kehidupan masyarakat yang menggunakan bahasa yang dipelajari
pembelajar. Motivasi instrumental adalah keinginan untuk menggunakan bahasa karena
alasan praktis, misalnya, memperoleh pekerjaan. Motif identifikasi kelompok adalah
keinginan untuk menguasai bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial tertentu karena
pembelajar ingin mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian anggota masyarakat itu.
Keadaan emosi pembelajar juga merupakan bagian dari filter afektif. Penelitian
menunjukkan bahwa pembelajar yang tidak cemas, yang lebih santai akan memperoleh
kemajuan yang baik dalam belajar bahasa.
Organisator merupakan faktor yang bertanggung jawab atas pengorganisasian
sistem bahasa yang dipelajari yang dikerjakan secara gradual. Fungsi organisator itu
tercermin dalam tiga aspek performansi verbal pembelajar, yakni (a) konstruksi
transisional yang digunakan pembelajar sebelum struktur itu dikuasai benar-benar; (b)
kesalahan yang secara teratur dan bersistem yang dilakukan pembelajar; (c) urutan umum
dalam pembelajaran bahasa yang ditunjukkan pembelajar bahasa.
Monitor bertanggung jawab untuk pemrosesan bahasa secara sadar. Pembelajar
dapat menggunakan pengetahuan kebahasaan yang didapatnya melalui pemonitoran
untuk memformulasikan, membetulkan, atau menyunting secara sadar tuturannya atau
tulisannya. Derajat penggunaan monitor bergantung pada sejumlah faktor. Faktor
pertama, umur pembelajar atau tataran perkembangan koginitifnya. Pemonitoran lebih
mudah dikerjakan ketika pembelajar telah mencapai tahap operasi formal, yakni ketika
pembelajar dapat memanipulasi hubungan abstrak antara gagasan-gagasan. Faktor kedua,
tugas verbal yang dituntut dari pembelajar akan menentukan derajat pemonitoran. Tugas
yang memfokuskan pada bentuk kebahasaan akan banyak melibatkan monitor. Faktor
ketiga penentu derajat pemonitoran adalah kepribadian pembelajar. Pembelajar yang
merasa kurang aman, sadar diri, dan takut membuat kesalahan cenderung lebih banyak
menggunakan monitornya. Dalam hal penggunaan monitor ini, pembelajar dapat
dikategorikan menjadi tiga tipe, yakni (a) pembelajar yang menggunakan monitornya
secara berlebihan, (b) pembelajar yang hampir tidak menggunakan monitornya, dan (c)
pembelajar yang menggunakan monitornya secara optimal.
Bukti penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan dalam menguasai keterampilan
komunikatif dalam bahasa yang dipelajari seseorang terutama bergantung pada proses
penyaringan dan proses pengorganisasian dan bukan pada proses pemonitoran.
5. Pelatihan
a. Dalam kelas, Anda menjumpai beberapa anak yang gagal dalam performansi
menulisnya. Kemampuan menulis surat, misalnya, baik surat dinas, maupun surat
dagang ternyata tidak baik. Diskusikan dengan teman Anda, faktor yang mungkin
menjadi penyebab kegagalan siswa tersebut dalam menulis. Hubungkan dengan
proses internal belajar bahasa.
b. Seorang siswa SMP yang berusia tiga belas tahun mempunyai latar belakang
keluarga Jawa. Bapaknya orang Jawa; demikian juga ibunya. Bapaknya tukang
becak, dan ibunya pembantu rumah tangga sebuah keluarga kaya di daerahnya.
Motivasi apa yang ada pada anak itu untuk belajar bahasa Inggris? Jelaskan!
c. Jika seorang menulis tata bahasa Indonesia, misalnya, haruskah ia penutur yang
lancar menggunakan bahasa Indonesia? Jelaskan jawaban Anda!
d. Sebuah
laporan
penelitian
menyatakan
bahwa
siswa
yang
dihipnotis,
performansinya dalam lafal bahasa Inggris lebih baik. Dapatkah hal itu
dihubungkan dengan cara kerja filter afektif, organisator, atau monitor?
e. Mengapa, misalnya, seorang pembicara berbicara sangat lancar, tanpa tersendatsendat, meskipun banyak kesalahan lafal, bentuk kata, pilihan kata, maupun
struktur kalimatnya? Faktor apa sebagai penentunya?
Download