File_MYU_buat_di_upload - E

advertisement
PERBEDAAN PENGARUH ANTARA METHYLPREDNISOLONE INTRAVENA DAN
PROGESTERON INTRAMUSKULER TERHADAP FUNGSI EREKSI SETELAH
OPERASI TRANSURETHRAL RESECTION OF THE PROSTAT (TUR-P) PADA PASIEN
BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)
Proposal Karya Akhir
Oleh :
Monica Yolanda Utami Putri
S 561208005
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ……………...……………………………… i
DAFTAR ISI ………………………..…………………………………… iii
DAFTAR GAMBAR …………………..………………………………… v
DAFTAR TABEL ……………………………………………………..... vi
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………….. vii
BAB I PENDAHULUAN…..………………………………..………….. 1
A. LATAR BELAKANG …………………………...…………... 1
B. RUMUSAN MASALAH ………………………..….………... 3
C. TUJUAN PENELITIAN ………………………..…….……… 3
D. MANFAAT PENELITIAN ……………………..…….……… 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………...………….. 4
A. KAJIAN TEORI ………………………………………...……. 4
1. DISFUNGSI EREKSI ……………….……………..…….. 4
1.1 Pengertian …………………………………...………... 4
1.2 Anatomi Fisiologi Ereksi ………………………...…… 6
1.3 Mekanisme Terjadinya Ereksi Penis ………………..... 9
1.4 Etiologi dan Patofisiologi Disfungsi Ereksi ……….... 12
1.5 Diagnosis Disfungsi Ereksi………………………..… 13
1.6 Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi………………...…. 15
2. BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA…………………..… 15
2.1 Definisi …………………………………………..….. 15
2.2 Epidemiologi BPH ………………………………..… 16
2.3 Anatomi Prostat …………………………………...… 16
2.4 Patofisiologi BPH ………………………………...…. 18
2.5 Trans Uretral Resection of Prostat (TURP)…..…...… 29
3. KORTIKOSTEOID ………………………………...……. 32
3.1 Definisi …………………………….…………..…..... 32
3.2 Farmakologi ……………………………….…...…… 32
3.3 Indikasi Penggunaan Kortikosteroid …………..….... 36
4. PROGESTERON …………….………………………..... 39
B. KERANGKA KONSEPTUAL……….…………………...…. 42
C. HIPOTESIS PENELITIAN ……………………….……...…. 45
BAB III METODE PENELITIAN …………………………….……...... 46
A. JENIS DAN DESAIN PENELITIAN ……….…………...… 46
B. TEMPAT DAN WAKTU .………………………………..... 46
C. POPULASI PENELITIAN……….……………………….... 46
D. SAMPEL DAN TEKNIK SAMPLING……….…………..... 47
E. BESAR SAMPEL …………………….…………………..... 47
F. KRITERIA RESTRIKSI ……………………….…………... 48
G. ALOKASI SUBJEK………………..……………………...… 49
H. VARIABEL …………………………..……………………... 49
I. DEFINISI OPERASIONAL ……………………….………... 49
J. OPERASIONAL PENELITIAN ……………….…………… 51
K. RENCANA ANALISA DATA ….………………………….. 52
DAFTAR PUSTAKA ……………….……………………………….. 53
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
2.1
Anatomi Penis …………………………………………………. 6
2.2
Vaskularisasi Penis…………………………………………….. 7
2.3
Neuroanatomi Penis……………………………………………. 8
2.4
Fisiologi Ereksi………………………………………………… 10
2.5
Zona – zona Pada Prostat………………………………………. 18
2.6
Peran androgen terhadap pertumbuhan prostat………………… 20
2.7
Mekanisme efek stimulasi dari progesteron dalam mielinisasi sel Schwann dari regenerasi sel
saraf tepi…………………………. 41
2.8
Kerangka Konsep ……………………………………………... 42
3.1
Desain Penelitian ………………………………………………. 46
3.2
Operasional Penelitian ………………………………………… 51
DAFTAR SINGKATAN
AP Show
: Asia Pacific Sexual Health and Overall Wellness
AR
: Androgen Receptor
AUA
: American Urological Association
bFGF
: Basic Fibroblast Growth Factor
BPH
: Benign Prostat Hyperplasia
cGMP
: Cyclic Guanil Mono Phosfat
DE
: Disfungsi Ereksi
DHT
: Dehidro Testosteron
DM
: Diabetes Mellitus
DNA
: Deoxy Ribo Nucleic Acid
EGF
: Epidermal Growth Factor
FK UNS
: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
GF
: Growth Factor
GnRH
: Gonadotropin Releasing Hormon
GTP
: Guanil Tri Phosfat
HDL
: High Density Lipoprotein
HoLEP
: Holmium Laser Enucleation of the Prostat
IGF
: Insulin like Growth Factor
IIEF5
: International Index of Erectile Function 5
IL 1
: Interleukin I
IL 6
: Interleukin 6
IPSS
: International Prostat Symptom Score
KUB
: Kidney Ureter Bladder radiograph
LH
: Luteinizing Hormon
LHRH
: Luteinizing Hormon Releasing Hormon
LUTS
: Lower Urinary Track Syndrome
MMAS
: Massachusetts Male Aging Study
MPOA
: Medial Preoptic Area
mRNA
: messenger Ribo Nucleic Acid
NANC
: Non Adrenergik Non Kolonergik
NHSLS
: National Health and Social Life Survey
NO
: Nitrit Oksida
PDE-5
: Pospodiesterase – 5
PSA
: Prostat Specific Antigen
PVN
: Nucleus Paraventrikuler
PVR
: Postvoid Residual Urine
RSDM
: Rumah Sakit Umum Daerah dr.Moewardi
RT
: Rectal Toucher
TGF β
: Transforming Growth Factor β
TUIP
: Transurethral Incision of the Prostat
TULIP
: Transurethral Ultrasound guided Laser Incision of the
Prostat
TUMT
: Transurethral Microwave Thermotherapy
TUNA
: Transurethral Needle Ablation
TURP
: Transurethral Resection of the Prostat
USG
: Ultrasonografi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Fungsi ereksi merupakan faktor yang penting bagi semua pria pada kondisi
seksual aktif, hal tersebut sekaligus bisa untuk menilai kualitas dari kehidupan sex
dengan pasangannya. Dari hasil penelitian Asia Pacific Sexual Health and Overall
Wellness (AP Show) pada tahun 2008 di 13 negara termasuk Indonesia menyebutkan
bahwa terdapat korelasi antara kekerasan ereksi dan kualitas hidup. Semakin tinggi
tingkat kekerasan ereksi, semakin tinggi pula kepuasan seksual dan akan meningkatkan
kualitas hidup secara keseluruhan (Goldstein et al 1998; Mulhall,2008).
Disfungsi ereksi (DE) menurut United States National Institude of Health and the
American Urological Association didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mencapai
atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk kepuasan seksual. Penyebab DE dapat
berupa organik dan psikogenik dan dapat secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup.
Selain itu, juga dapat disebabkan oleh tindakan bedah (Berardis er al, 2002, John et al,
2006, Mulhall, 2008). Dari International Journal of Impotence Research (IJIR) tahun
2013 menyebutkan efek TURP pada fungsi ereksi masih kontroversi dan data – data yang
tersedia masih dalam perdebatan.
Transurethral Resection of the Prostat (TURP) merupakan tindakan gold standart
untuk Benign Prostat Hyperplasia (BPH). Salah satu komplikasi setelah operasi yang
dapat ditimbulkan setelah pasien mendapat tindakan tersebut adalah DE (Thorpe et
al,1999; Florator et al,2001). Beberapa pasien mengalami DE sementara segera setelah
TURP dan kembalinya kemampuan ereksinya berkisar 1 sampai dengan 6 bulan segera
setelah TURP. Efek DE pada pasien segera setelah TURP masih menjadi kontroversi,
salah satu kemungkinan penyebab DE adalah akibat trauma panas pada saraf erectile
(Jaidane 2010; Poulakis V et al,2006).
Kortikosteroid mempunyai efek anti inflamasi dan imunosupresif
dengan
menurunkan keluarnya sel – sel dan fungsi sel inflamasi dan permeabilitas pembuluh
darah pada daerah inflamasi. Kortikosteroid juga menghambat sintesis prostaglandin dan
leukotrien dengan menghambat keluarnya asam arachidonat dari fosfolipid. Dengan
mekanisme ini, kortikosteroid
melindungi organ dari kerusakan (Priyanka G. et al,
2008).
Beberapa jurnal menyebutkan mekanisme progesterone, mempunyai efek proteksi
terhadap saraf tepi. Mekanisme aksi nya contoh berupa regulasi ekspresi neurotropin
yang mana mampu membantu sel bertahan. Sebagai tambahan, hasil metabolisme utama
dari progesterone, seperti allopregnanolon, dilaporkan berpartisipasi dalam efek
neuroprotektif.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, terjadi penurunan fungsi ereksi pada 1-3
bulan dan kembali normal sesudah 6 bulan pada penderita BPH tanpa retensi yang
dilakukan tindakan TURP (Hermawan, 2015).
Belum pernah dilakukan penelitian pemberian metilprednisolon dan progesteron
sebagai terapi disfungsi ereksi segera setelah TURP, oleh karena itu peneliti mencoba
melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian kortikosteroid dan
progesteron terhadap fungsi ereksi pada pasien BPH yang telah dilakukan operasi TURP
dengan menggunakan The International Index of Erectile Function 5 (IIEF-5).
Diharapkan fungsi ereksi dapat membaik lebih cepat dengan pemberian metilprednisolon
dan progesterone segera setelah TURP.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah ada pengaruh pemberian metilprednisolon intra vena terhadap fungsi ereksi
pasca operasi TURP pada pasien BPH?
2. Apakah ada pengaruh pemberian progesterone intra muskuler terhadap fungsi ereksi
pasca operasi TURP pada pasien BPH?
3. Apakah ada perbedaan pengaruh antara metilprednisolon intra vena dan progesterone
terhadap fungsi ereksi pasca operasi TURP pada pasien BPH?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui pengaruh pemberian metilprednisolon intra vena dan progesteron
intra muskuler terhadap fungsi ereksi pasca operasi TURP pada pasien BPH.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
1.Menjelaskan manfaat pemberian metilprednisolon intra vena dan progesterone intra
muskuler pada pasien pasca operasi TURP pada pasien BPH.
2.
Menjelaskan efek pemberian metilprednisolon intra vena dan progesteron intra
muskuler terhadap fungsi ereksi pasca operasi TURP pada pasien BPH.
b. Manfaat Aplikatif
Diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan apakah pemberian
metilprednisolon atau progesteron diperlukan pada pasien segera setelah operasi TURP
untuk memperbaiki fungsi ereksi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KAJIAN TEORI
1. Disfungsi Ereksi
1.1 Pengertian
Ketidakmampuan mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk
mencapai kepuasan seksual. Disfungsi ereksi (DE) merupakan salah satu disfungsi
seksual yang banyak dialami oleh banyak pria dan pasangannya di seluruh dunia. Kira –
kira ada sekitar 152 juta laki – laki didunia yang mengalami DE pada tahun 1995, dan
jumlah ini akan terus meningkat sampai 170 juta, dan diperkirakan tahun 2025 akan
terdapat 322 juta laki – laki yang mengalami DE. Insiden DE meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. The Massachusetts Male Ageing Study (MMAS) melaporkan bahwa
52% responden yang berumur 40-70 tahun dilaporkan menderita DE dengan berbagai
tingkatan. Dari data yang dikeluarkan oleh MMAS, kira-kira 18-30 juta laki – laki
Amerika mengalami DE. Namun demikian sampai saat ini tidak ada data DE pada laki –
laki di Indonesia
Salah satu aspek penting yang ikut menentukan kualitas hidup manusia ialah
kehidupan seksual. Karena itu aktivitas seksual menjadi salah satu bagian dalam
penilaian kualitas hidup manusia. Kehidupan seksual yang menyenangkan memberikan
pengaruh positif bagi kualitas hidup. Sebaliknya, kalau kehidupan seksual tidak
menyenangkan, maka kualitas hidup terganggu. Disfungsi ereksi atau kesulitan ereksi
adalah ketidakmampuan yang menetap atau terus – menerus untuk mencapai atau
mempertahankan ereksi penis yang berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan
seksual yang memuaskan (Feldman, et al.2004).
DE
tidak dianggap sebagai bagian normal dari penuaan. Namun jumlahnya
semakin bertambah sejalan dengan umur. Pada survey komunitas yang diadakan oleh
Massachussets Male Aging Study (MMAS) pada laki – laki dengan rentang umur 40-70
tahun, 52% responder dilaporkan memiliki beberapa derajat DE. DE sempurna terjadi
pada 10% responder. DE moderat terjadi pada 25% dan DE minimal pada 17%
responder. Insiden DE moderat dan berat meningkat dua kali lipat pada umur 40 dan 70.
Pada National Health and Social Life Survey (NHSLS), dimana menjadi sampel nasional
mewakili populasi pria umur 18-59 tahun, 10% pria dilaporkan tidak dapat menjaga
ereksi (serupa dengan proporsi pria dengan DE sempurna pada survey MMAS). Insiden
tertinggi adalah pria dengan umur 50-59 tahun (21%) dan pria miskin (14%), perceraian
(14%) dan kurang pendidikan (13%) (Fouad,et al.2001;John et al.2006;Mulhall,2008).
Insiden terjadinya DE juga meningkat pada pria dengan keadaan medis tertentu
seperti Diabetes Mellitus (DM), obesitas, gejala saluran kemih bagian bawah akibat BPH,
penyakit jantung, hipertensi, dan penurunan kadar High Density Lipoprotein (HDL).
Merokok merupakan faktor resiko bermakna untuk perkembangan DE. Pengobatan untuk
DM dan penyakit jantung merupakan faktor resiko penambah.
Terdapat peningkatan resiko DE pada pria yang telah menjalani radiasi atau
operasi kanker prostat dan pada mereka dengan cedera medulla spinalis bagian bawah.
Penyebab psikologis DE adalah depresi, kemarahan, atau stress akibat kehilangan
pekerjaan atau penyebab lainnya (Wespes, et al. 2013).
1.2 Anatomi Fisiologi Ereksi
Penis terdiri dari tiga buah silinder jaringan erektil. Dua buah korpus kavernosum
yang berpasangan pada sisi kanan dan satu buah dibawah perbatasan kedua korpus
kavernosum disebut korpus spongiosum dan melingkupi urethra. Sebuah jaringan
kolagen padat yang disebut tunika albugenia melingkari dan membungkus masing –
masing silinder jaringan erektil. Ketiga silinder yang telah terbungkus oleh tunika
albugenia dilingkari lagi oleh bungkus tambahan yang lebih longgar jaringannya dan
disebut fascia Buck’s yang merupakan perpanjangan dari fascia colle’s. Kemudian baru
dibungkus oleh kulit yang diinervasi syaraf – syaraf sensoris (Fouad, et al.2001; John et
al.2006; Mulhall, 2008) (lihat gambar 2.1).
Gambar 2.1. Anatomi Penis (dikutip dari An Atlas of Erectile Dysfunction 2 nd edition 2005)
Struktur mikroanatomi dari korpus kavernosum adalah merupakan jaringan
berongga (spongious) dari trabekula otot polos yang secara esensial merupakan struktur
vaskuler. Rongga antar sinusoid dalam korpus kavernosum dikelilingi oleh otot polos
yang berada pada stroma yang terdiri atas jaringan kolagen, elastin, pembuluh darah dan
serabut syaraf. Dalam rongga trabekula dinding nya dilapisi oleh endothelium yang
mensuplai darah dari cabang – cabang arteri helicinae penis. Struktur dari korpus
spongiosum mirip dengan korpus kavernosum hanya saja rongga sinusoidnya lebih luas
dan tunikanya lebih tipis dan akan menghilang pada glans penis (Fouad,et al.2001;John,et
al.2006;Mulhall,2008).
Gambar 2.2. Vaskularisasi Penis (dikutip dari An Atlas of Erectile Dysfunction 2 nd edition 2005)
Penis mendapatkan aliran darah dari arteri pudenda interna yang kemudian
menjadi arteri penis komunis. Selanjutnya arteri bercabang menjadi arteri kavernosa atau
arteri sentralis, arteri dorsalis penis dan arteri bulbo-uretralis. Arteri penis komunis ini
melewati kanal dari Alcock yang berdekatan dengan os pubis dan mudah mengalami
cedera jika terjadi fraktur pelvis. Arteri sentralis memasuki rongga kavernosa kemudian
bercabang – cabang menjadi arteriole helisin, yang kemudian arteriole ini akan
mengisikan darah ke dalam sinusoid. Darah vena dari rongga sinusoid dialirkan melalui
anyaman/pleksus yang terletak di bawah tunika albugenia. Anyaman/pleksus ini
bergabung membentuk venule emisaria dan kemudian menembus tunika albugenia untuk
mengalirkan darah ke vena dorsalis penis.
Gambar 2.3. Neuroanatomi Penis (dikutip dari An Atlas of Erectile Dysfunction 2 nd edition 2005)
Penis diinervasi oleh serabut saraf somatik dan otonom. Saraf somatik mensuplai
penis dengan serabut sensoris dan muskulus skeletal perineal secara motorik, kontraksi
muskulus skeletal perineal selama ereksi menyebabkan peningkatan tekanan corporeal
body sehingga dapat mempertahankan ereksi, sedangkan serabut syaraf otonom yang
terdiri atas saraf simpatis dan parasimpatis menyebabkan vasodilatasi dari corporeal
body. Neurofisiologi ereksi ini bergabung pada nervus kavernosus yang merupakan
cabang dari pleksus pelvis dan memasuki korpus kavernosum dan korpus spongiosum,
persarafan somatik bertanggung jawab dalam sensasi dan kontraksi m.ischiokavernosus
yang turut berperan dalam ejakulasi (emisis semen). Pusat inervasi somatomotor penis
terletak pada nucleus Onuf yang terletak pada S2-S4, selanjutnya nervus pudendus dan
nervus dorsalis penis untuk menimbulkan kontraksi muskulus ishiokavernosus dan
muskulus bulbokavernosus. Pusat koordinasi ereksi di hypothalamus yaitu Medial
Preoptic Area (MPOA). Dan Nukleus Paraventrikuler (PVN) di hypothalamus dan di
hipokampus (Fouad, et al.2001;John,et al.2006;Mulhall,2008).
1.3 Mekanisme Terjadinya Ereksi Penis
Pada penis dalam keadaan flaksid terjadi kontraksi dari otot polos penis,
pelepasan noradrenalin dari sistem simpatis dengan aliran darah minimal (± 5ml/mnt).
Apabila terdapat rangsangan seksual, rangsangan erotik, rangsangan taktil akan
menimbulkan ereksi refleksogenik melalui jalur spinal, jika mendapatkan rangsangan
secara visual, auditory, olfactory dan imaginative akan menimbulkan ereksi psikogenik
melalui jalur sistem limbik,MPOA,PVN. Nocturnal Erection terjadi selama fase Rapid
Eye Movement (REM) saat tidur, dimana saat itu terdapat aktivasi neuron kolinergik di
tegmentum pontin lateral sedangkan neuron adrenergik dan serotonergik tidak mengalami
aktivasi (Fouad,et al.2001;John et al.2006;Mulhall,2008).
Gambar 2.4. Fisiologi Ereksi (dikutip dari An Atlas of Erectile Dysfunction 2 nd edition 2005)
Rangsangan ini akan diterima oleh korda spinalis (S1,S2 dan S4) dan selanjutnya
melalui syaraf kavernosa ke penis, kemudian terjadilah vasorelaksasi lokal pada penis.
Peran nitrit oksida (NO) sangat diperlukan untuk mempertahankan kondisi ini. NO yang
dihasilkan oleh non adrenergik non kolinergik (NANC) disel endotel bekerja sebagai
neurotransmitter untuk menstimulasi enzim Guanylate Cyclase memproduksi cyclic
Guanil Mono fosfat (c GMP) dari Guanil tri Phosfat (GTP) yang diperlukan untuk
relaksasi otot polos. Dilatasi arteri dan arteriole ini meningkatkan aliran darah ke sinusoid
menyebabkan peningkatan tekanan intra kavernosa mencapai 100mmHg sehingga penis
mengalami fase ereksi penuh, apabila peningkatan tekanan intra kavernosa berjalan terus
dan disertai kontraksi muskulus ischiokavernosum terjadilah fase ereksi rigid. Untuk
menjaga supaya ereksi tidak terjadi terus menerus, maka c GMP harus dikurangi
sehingga tidak terjadi relaksasi otot polos terus menerus. Di dalam sel –sel otot polos di
dalam korpus kavernosum ada mekanisme tersendiri, yakni adanya enzim 5
fosfodiesterase (PDE-5) yang mengubah cGMP menjadi Guanil mono phosfat (GMP),
sehingga jumlah cGMP menjadi berkurang sehingga penis pada fase flaksid (Fouad, et
al.2001; John, et al.2006).
Secara fungsional dikenal 3 macam ereksi:
a. Ereksi reflek.
Rangsang manual pada penis akan menghasilkan ereksi apabila
tidak ada kerusakan myelum segmen sacral, radik saraf spinal, saraf pelvis
dan saraf pudendalis atau kavernosa. Ereksi ini dapat ditingkatkan dengan
pengkhayalan erotik.
b. Ereksi nokturnal
Normalnya setiap pria mendapatkan ereksi 4-6 kali selama tidur
malam kebanyakan terjadi pada fase REM. Disfungsi ereksi pada
penderita dengan ereksi nokturnal yang normal sangat mungkin
disebabkan oleh psikogen.
c. Ereksi psikogenik
Ereksi psikogen timbul oleh karena rangsang visual, olfakturi, atau
imajinasi. Ereksi psikogen makin menurun dengan bertambahnya usia.
Ereksi psikogen dapat meningkatkan ereksi reflek demikian pula
sebaliknya (Fouad, et al.2001;John, et al.2006;Mulhall,2008).
1.4 Etiologi dan Patofisiologi Disfungsi Ereksi
Fungsi seksual yang normal digambarkan sebagai suatu proses biopsychosocial
yang merupakan gabungan psikologis, sistem endokrin, sistem vaskuler, dan sistem
neurologis. Disfungsi ereksi biasanya merupakan gabungan dari psikologis dan organik
(Shamloul, et al.2013).
Psikologis merupakan faktor yang mempengaruhi dalam jumlah yang cukup besar
dari berbagai disfungsi ereksi, baik berdiri sendiri atau gabungan dengan organik.
Sebagai faktor penting dalam hal psikogenik disfungsi ereksi adanya ketidakpuasan
dalam berhubungan.
Gangguan neurologis sering dihubungkan dengan disfungsi ereksi, termasuk
multiple sclerosis, epilepsi lobus temporal, penyakit Parkinson’s, stroke, Alzhaimer’s,
dan cedera spinalis. Pasien – pasien yang mendapat terapi operasi yang pada rongga
pelvis (contohnya radikal prostatektomi) mempunyai resiko tinggi terjadinya kerusakan
pada saraf kavernosus (Shamloul, et al.2013).
Androgen
memainkan
peran
penting
dalam
keinginan
seksual
dan
mempertahankan ereksi tetapi mengalami keterbatasan dalam hal induksi seksual secara
visual. Sebagai tambahan, testosteron penting dalam regulasi ekspresi sintesis NO (NOS)
dan PDE5 dalam penis. Hiperprolaktinemia mempengaruhi disfungsi seksual,
sehubungan dengan rendahnya konsentrasi testosterone (Shamloul, et al.2013).
Beberapa faktor resiko lainnya dihubungkan dengan insufisiensi arteri penile,
termasuk arterosklerosis, hipertensi, hiperlipidemia, merokok, diabetes mellitus, dan
radiasi pelvis. Pada pasien hipertensi, disfungsi ereksi bisa mencapai 68% (Shamloul, et
al.2013).
Obat – obat psikotropika dan antihipertensi adalah obat – obatan yang sering
berpengaruh dalam hal disfungsi ereksi. Antidepresan merupakan obat psikotropika yang
sering dihubungkan dengan disfungsi ereksi. Thiazide, diikuti β–blockers merupakan
obat – obatan antihipertensi yang menyebabkan disfungsi ereksi (Baumhakel, et al.2011).
Berdasarkan studi epidemiologi, usia merupakan faktor resiko primer untuk
disfungsi ereksi. Prevalensi terjadinya disfungsi ereksi dan beratnya, meningkat sesuai
usia. Di Massachusetts Male Aging Study, 39% pria mulai mengalami gejala disfungsi
ereksi pada usia 40 tahun. Prevalensi ini meningkat secara bertahap, mencapai 67% pada
usia 70 tahun (Lewis, et al. 2010).
1.5 Diagnosis Disfungsi Ereksi
Indikasi untuk dilakukan tes diagnostik spesifik pada pasien – pasien :
-
Pasien dengan gangguan ereksi primer (tidak disebabkan gangguan organik atau
psikogenik)
-
Pasien usia muda dengan riwayat trauma pelvis atau perineal yang mendapatkan
tindakan operasi
-
Pasien dengan kelainan penis (contoh : penyakit Peyronie’s, kelainan lengkung
congenital) yang membutuhkan koreksi
-
Pasien dengan gangguan psikiatri atau psikoseksual
-
Pasien dengan gangguan endokrin kompleks
-
Tes spesifik juga bisa diindikasikan pada pasien atas permintaan sendiri atau
permintaan pasangannya
-
Untuk alasan medikolegal (contoh : implant penis, kekerasan seksual) (Konstantinos,
et al.2010).
Karena pasein dengan resiko kelainan jantung dihubungkan dengan aktivitas
seksual, the Second Princeton Consensus Conference membagi pasien – pasien dengan
gangguan disfungsi ereksi ke dalam tiga kelompok. Kelompok dengan resiko rendah
termasuk pasien dengan kurang dari tiga faktor untuk penyakit arteri koroner, angina
stabil atau ringan (dievaluasi atau sedang dalam pengobatan), infark myocard, disfungsi
ventrikel kiri atau gagal jantung (New York Heart Association class I) (Konstantinos, et
al.2010).
Pasien dengan keluhan disfungsi ereksi dilakukan anamnesa mengenai aktivitas
seksual, psikologis pasien, serta pengetahuan pasien mengenai seksual. Penting juga
untuk mengetahui obat – obatan yang sedang dikonsumsi oleh pasien saat ini, minum
alkohol atau tidak, merokok, obat – obatan psikotropika, atau obat- obatan yang
sebelumnya dipakai atau tindakan bedah yang pernah didapat (Shmaloul, et al.2013).
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien, yaitu pemeriksaan secara
keseluruhan maupun lokal dilakukan untuk semua kasus disfungsi ereksi. Pemeriksaan
lokalis merupakan kesempatan baik untuk tenaga medis memberikan edukasi kepada
pasien, jika dibutuhkan, mengenai ukuran normal penis dan mencari tahu tentang
kesalahpahaman pasien mengenai hubungan antara panjang nya penis, maskulinitas, dan
disfungsi ereksi. Pemeriksaan gula darah puasa dan total testosteron merupakan
pemeriksaan laboratorium dasar yang harus dilakukan. Karena gangguan vaskuler
merupakan predisposisi kuat terjadinya disfungsi ereksi, bisa juga diperiksa profil lipid
dan tes lainnya (Shamloul, et al.2013).
1.6 Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi
Hanya beberapa jenis disfungsi ereksi yang harus diobati dengan pengobatan yang
spesifik. Untuk pasien post traumatik, revaskularisasi mempunyai angka kesuksesan 6070%. Untuk penyebab hormonal, terapi pengganti testosterone efektif, tetapi jika
digunakan setelah penyakit endokrin dapat disingkirkan atau bukan menjadi peyebab
disfungsi ereksi (Wespes, et al.2003).
2. Benign Prostat Hyperplasia
2.1 Definisi
Benign Prostat Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat. Hal
ini mengacu pada stroma dan hyperplasia epitel yang terjadi di zona transisi periuretra
dari prostat yang mengelilingi uretra. Manifestasi klinis dari BPH sebagai gejala saluran
kemih bagian bawah yang terdiri dari gejala iritatif (urgensi, frekuensi, dan nokturia) dan
gejala obstruktif (pancaran lemah dan terputus – putus, mengedan saat mulai berkemih,
tidak lampias, hesitensi) (Miller, et al. 2011).
2.2 Epidemiologi BPH
BPH merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah
batu saluran kemih. Semakin bertambahnya umur harapan hidup, maka jumlah penderita
BPH akan semakin bertambah pula, namun di Indonesia belum terdapat angka pasti
jumlah pasien BPH dengan Lower urinary tract symptoms (LUTS). Sedangkan di
Amerika, BPH ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria diatas umur 60 tahun. Angka ini
akan meningkat hingga 90% pada pria diatas 80 tahun. Sedangkan penelitian pada
autopsy ditemukan 20% BPH terdapat pada pria usia 41-50 tahun, 50% BPH pada pria
usia 51-60 tahun, 65% BPH pada pria usia 61-70 tahun, 80% BPH pada pria 71-80 tahun
dan 90% BPH pada pria usia 81-90 tahun (McConnell, 2008). Sedangkan berdasarkan
keluhannya, sekitar 25% laki – laki pada umur 55 tahun mengeluhkan gejala obstruksi
traktus urinarius. Pada umur 75 tahun, 50% laki – laki mengeluhkan penurunan pancaran
dan kaliber miksi (Presti,2004; Roehrborn,et al.2002).
2.3 Anatomi Prostat
Berat prostat normal 18g, dengan ukuran panjang 3cm, lebar 4cm, dan tebal 2cm
yang dilalui oleh uretra. Prostat berbentuk ovoid yang memiliki bagian anterior, posterior,
dan permukaan lateral, dengan puncak menyempit dan dasar yang luas yang berdekatan
dengan kandung kemih. Prostat dilapisi oleh kapsul yang terdiri dari kolagen, elastin dan
otot halus (Walsh, et al.2012).
Prostat dibentuk oleh 70% kelenjar dan 30% stroma fibromuskular. Uretra
berjalan di sepanjang prostat dan biasanya dekat pada bagian anterior. Dibatasi oleh sel
epitel transisional, yang mana meluas sampai kelenjar prostatika. Kelenjar prostat terbagi
menjadi zona yang berbeda, yaitu zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
preprostatik sfingter dan zona anterior. Secara histopatologik kelenjar prostat terdiri atas
komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiri dari otot polos, fibroblas,
pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyangga yang lain (Walsh et al.2012).
Prostat menghasilkan cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan
ejakulat.Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior
untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume
cairan prostat meurpakan ± 25% dari seluruh volume ejakulat (Walsh, et al.2012).
Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus
prostatika. Pleksus prostatikus (pleksus pelvikus) menerima masukan serabut
parasimpatik dari korda spinalis S2-4 dan simpatik dari nervus hipogastrikus (T10-L2).
Stimulasi parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan
rangsang simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior,
seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat,
kapsul prostat, dan leher buli – buli. Di tempat – tempat itu banyak terdapat reseptor
adrenergik – α. Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos
tersebut (Walsh, et al.2012).
Jika kelenjar ini mengalami hyperplasia jinak atau berubah menjadi kanker ganas
dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.
Gambar 2.5. Zona – zona pada prostat (diambil dari Walsh P.C, et al: Campbell’s Urology, 10 th edition,
2012)
2.4 Patofisiologi BPH
Prostat tumbuh membesar secara bertahap setelah umur 50 tahun keatas. Setelah
umur 70 tahun, sekitar 8 dari 10 laki – laki mengalami pembesaran prostat (McConnell,
2005). Pembesaran prostat melibatkan faktor hormonal yang terjadi dalam tipe jaringan
berbeda yaitu otot dan glandular. Faktor hormonal tersebut mempunyai pengaruh yang
berbeda pada masing – masing laki – laki dewasa (Roehrborn, et al.2002). Pertumbuhan
prostat terjadi melalui dua cara. Cara pertama, multiplikasi sel disekitar uretra, sedangkan
cara kedua melalui pertumbuhan lobus medius dimana sel – sel prostat tumbuh mendesak
ke arah uretra daan daerah bladder neck (Greenstein, 2009).
Jumlah sel dan volume dari suatu organ, termasuk prostat tergantung pada
keseimbangan antara proliferasi sel dan kematian sel. Sebuah organ dapat membesar
tidak hanya disebabkan oleh meningkatnya proliferasi sel, tetapi dapat juga disebabkan
oleh menurunnya kematian sel. Meskipun androgen dan faktor pertumbuhan pada sebuah
model eksperimen menstimulasi proliferasi sel, tetapi proliferasi sel yang menyebabkan
pembesaran kelenjar prostat pada manusia masih menjadi pertanyaan, sebab tidak secara
jelas terjadi proses proliferasi yang aktif. Androgen tidak hanya dibutuhkan untuk proses
proliferasi yang normal dan diferensiasi dan kelenjar prostat saja, tetapi juga secara aktif
menghambat kematian sel.
Androgen adalah hormon seks pria yang amat penting pada proses pertumbuhan
dan perkembangan organ aksesori pria serta pertumbuhan BPH. Adanya hormone
Luteinizing Hormon Releasing Hormon (LHRH) yang dihasilkan oleh hipotalamus
merangsang hipofisis untuk menghasilkan Luteinizing Hormon (LH) (gambar 2.1). LH ini
kemudian merangsang sel Leydig dalam testis untuk mensekresi hormon testosteron dan
pregnolon yang bersifat reversibel.
Testosteron adalah androgen utama yang menstimulasi pertumbuhan kelenjar
prostat. Testosteron diproduksi oleh tubuh setiap harinya berkisar antara 6 mg hingga 7
mg. Dari keseluruhan testosterone yang diproduksi oleh tubuh, 95% testosteron
diproduksi oleh sel leydig, sedangkan 5% diproduksi oleh kelenjar adrenal. Testosteron
kemudian mengalami proses reduksi menjadi dehidrotestosteron (DHT) oleh enzim 5 α
reduktase, atau berubah menjadi estrogen oleh pengaruh enzim aromatase, dan proses ini
bersifat irreversible. DHT ini lebih kuat afinitasnya terhadap androgen reseptor daripada
testosterone di dalam inti sel. Setelah berikatan dengan androgen reseptor akan
mempengaruhi deoxyribo nucleic acid (DNA) dalam inti sel, kemudian ditranskripsi
menjadi messenger ribo nucleic acid (mRNA ) selanjutnya terbentuk protein growth
factor dan PSA. Growth factor inilah yang menjadikan prostat tumbuh menjadi besar.
Peranan testosterone ini cukup besar terhadap prostat. Hal ini terbukti apabila anak laki –
laki yang dilakukan kastrasi sebelum dewasa, maka prostatnya tidak akan tumbuh
menjadi BPH pada usia lanjut (Roehrborn,et al.2002). Meskipun diketahui bahwa
androgen memiliki peranan yang penting dalam perkembangan prostat yang normal,
tetapi testosterone atau DHT tidak pernah terbukti berperan secara langsung sebagai
mitogen pertumbuhan BPH pada pria berusia tua. Hal ini dibuktikan pada kultur sel epitel
prostat, yang mana hormon tersebut tidak pernah memiliki efek mitogenik (Hayward, et
al.2009; Brosman, 2009).
Gambar 2.6. Peran androgen terhadap pertumbuhan prostat (diambil dari Walsh P.C, et al: Campbell’s
Urology, 10th edition, 2012)
Hiperplasia prostat mengakibatkan peningkatan tahanan outflow urine pada
daerah bladder neck akibat gangguan mekanisme pembukaan bladder neck sewaktu
miksi. Hiperplasia prostat juga menyebabkan perubahan fungsi buli – buli. Peningkatan
tekanan detrusor diperlukan untuk tetap mempertahankan pancaran miksi normal pada
keadaan peningkatan tahanan outflow urine. Perubahan fungsi detrusor akibat obstruksi
dan perubahan sistem saraf buli – buli pada usia tua menyebabkan beberapa keluhan
utama frequency, urgency, dan nocturia (Claus,et al.2007). Korelasi antara besarnya
prostat dengan gejala gangguan miksi dan residual urin tidak jelas. Prostat yang besar
tidak selalu mengakibatkan gangguan miksi, sebaliknya pada fibrotik prostat dimana
prostatnya kecil dapat timbul gangguan miksi yang hebat (Claus, et al. 2007). (lihat
gambar 2.5)
Buli – buli memompakan urine ke luar tubuh harus berkontraksi lebih kuat untuk
mengimbangi tahanan outflow pada bladder neck. Seiring dengan ini maka otot detrusor
buli – buli mengalami hipertrofi, akibatnya terbentuk trabekula, cellula dan divertikula.
Sedangkan tekanan di dalam buli – buli dapat meningkat dari 20-40 cm air menjadi 50100cm air atau lebih hingga melampaui tahanan outflow. Keadaan ini kita sebut masa
kompensasi. Bila proses berlangsung terus dan tahanan outflow meningkat, maka daya
kontraksi dan tekanan di dalam buli – buli meningkat lebih tinggi lagi untuk
mengimbangi daya tahanan outflow.
Pancaran urine semakin lama semakin lemah, aliran urine kecil sehingga
penderita harus menunggu sebentar untuk memulai miksi. Pada suatu saat daya kontraksi
otot detrusor melemah, masa kontraksi menjadi lebih pendek, otot detrusor menipis
sehingga terjadi masa dekompensasi. Pada masa dekompensasi daya pompa buli – buli
untuk mengalirkan urine keluar tubuh lebih kecil dari pada daya tahanan outflow,
sehingga pengosongan buli – buli tidak sempurna dan terdapat sisa urine (residual urine)
di dalam buli – buli. Pada masa dekompensasi ini sisa urine semakin lama semakin
bertambah banyak. Dengan demikian daya tamping dari buli – buli jadi lebih kecil. Hajat
miksi jadi lebih sering, sedangkan daya kontraksi otot detrusor sudah melemah. Penderita
harus mengejan untuk miksi, tetapi pancaran urine tetap lemah, aliran urine semakin
kecil, menetes dan akhirnya pengeluaran urine menjadi tertahan dari subtotal menjadi
total.
Ada dua macam masa dekompensasi yaitu masa dekompensasi akut dan masa
dekompensasi kronis. Pada masa dekompensasi kronis buli – buli membesar dan
meregang dengan hebatnya sehingga daya kontraksi menghilang dan mengakibatkan
overflow incontinence (Claus, et al.2007).
Secara histopatologis, BPH ditandai dengan peningkatan jumlah sel – sel
epithelial dan stromal di daerah periuretra prostat. Peningkatan jumlah sel disebabkan
oleh proliferasi epithelial dan stromal atau gangguan program kematian sel (impaired
programmed cell death) yang mengakibatkan akumulasi seluler (celluler accumulation).
Hormon
androgen,
estrogens,
interaksi
epitel
stromal,
growth
factors,
dan
neurotransmitter mempunyai peran, baik secara sendiri – sendiri ataupun kombinasi pada
proses hyperplasia prostat (Claus, et al.2007)
Pertumbuhan BPH memerlukan androgen testikular selama pertumbuhan prostat,
saat pubertas, dan penuaan. Pasien yang menjalani kastrasi atau terdapat kelainan genetik
yang menyebabkan gangguan produksi androgen terbukti prostat tidak tumbuh menjadi
BPH. Dari beberapa penelitian, ditemukan tidak ada kaitan yang jelas antara kadar
androgen di dalam serum dengan ukuran prostat. Di dalam prostat, membrane nucleus
(nuclear membrane) mengikat enzyme steroid 5α – reductase untuk mengubah hormone
testosterone menjadi dehydrotestosteron (DHT), yang merupakan androgen utama prostat
(McConnell, 2005). Sembilan puluh persen androgen prostat berbentuk DHT, yang
merupakan derivat utama dari androgen testicular. Sedangkan androgen adrenal
menyumbangkan 10% dari keseluruhan androgen prostat.
Di dalam sel, kedua hormon baik androgen testosteron maupun DHT menempel
pada androgen receptor protein (AR). Androgen DHT lebih potensial dari pada
testosterone karena lebih tinggi afinitasnya (affinity) terhadap AR. Apalagi komplek DHT
– reseptor lebih stabil dari pada komplek testosterone – receptor. Komplek hormon –
reseptor ini kemudian menempel pada spesifik DNA yang terdapat di dalam nucleus,
yang mengakibatkan peningkatan transcription of androgen – dependent genes dan
selanjutnya akan menstimulasi sintesis protein. Sedangkan androgen withdrawal dari
androgen – sensitive tissue menyebabkan penurunan sintesa protein.
Disamping inaktivasi key androgen – dependent genes (misalnya prostate specific
antigen), androgen withdrawal menyebabkan aktivasi spesifik gen yang terlibat dalam
program kematian sel. Walaupun peran androgen penting dalam pertumbuhan prostat
normal dan sekresi fisiologis, namun tidak terdapat bukti bahwa testosterone maupun
DHT memberikan pengaruh langsung sebagai mitogen pertumbuhan prostat pada pria
usia lanjut. Namun demikian , beberapa faktor pertumbuhan dan reseptornya diatur oleh
androgen. Sehingga, peran testosterone dan DHT di dalam prostat adalah sebagai
mediator tidak langsung melalui autocrine dan paracrine pathways (Claus, et al.2007).
Organ prostat tidak seperti organ yang lain dalam hal kemampuannya untuk
merespon androgen. Pada prostat, kadar AR tetap tinggi hingga lanjut usia. Terdapat
bukti bahwa kadar AR lebih tinggi pada jaringan hyperplasia dibandingkan jaringan yang
normal. Peningkatan ekspresi AR pada aging prostate mengakibatkan pertumbuhan
prostat berlangsung terus dan kematian sel menurun, walaupun terdapat penurunan kadar
androgen di sirkulasi perifer dan kadar DHT prostat normal (Claus, et al.2007).
Konsentrasi DHT pada prostat tidak meningkat pada BPH. Pada beberapa
penelitian juga meninjukkan bahwa kadar DHT hyperplasia prostat sama dengan prostat
normal. Namun demikian, kadar DHT dan AR yang tetap tinggi pada usia lanjut
menyebabkan mekanisme androgen – dependent cell growth tetap berlanjut. Tipe 2 5αreductase berperan untuk pertumbuhan normal prostat dan juga pada hyperplasia prostat.
Sedangkan peran tipe 1 5α-reductase pada pertumbuhan prostat normal dan abnormal
masih diteliti lebih lanjut. Kadar estrogen pada prostat juga meningkat pada pasien BPH.
Pasien BPH dengan volume yang lebih besar mempunyai kadar estrogen perifer yang
lebih besar pula. Namun demikian peran estrogen pada pasien BPH tidak sejelas peran
androgen (Claus, et al.2007).
Etiologi BPH belum diketahui secara tuntas tetapi diperkirakan banyak faktor dan
kontrol hormonal mempengaruhi timbulnya BPH. Prostat disusun oleh komponen stroma
dan epitel, masing – masing atau kombinasi diantara keduanya akan dapat memunculkaan
gejala BPH. Masing – masing komponen tersebut dapat menjadi target terapi BPH. Peran
stimulasi adrenergic menyebabkan kontraksi otot polos prostat. Blokade α-adrenergik
pada pasien BPH mempengaruhi penurunan contractile protein gene expression,
khususnya smooth muscle myosin heavy chain (Claus, et al.2007).
Regulasi pertumbuhan prostat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik.
Faktor intrinsik adalah sinyal dari dalam prostat sendiri. Sedangkan faktor ekstrinsik
terdiri dari somatic,, testis, lingkungan,dan genetik (Lee, 2010).
a. Faktor ekstrinsik
Testis merupakan faktor dari luar yang paling berperan pada pengaturan
pertumbuhan prostat. Testis menghasilkan 3 substansi yang penting yaitu
testosterone, estrogen, dan faktor testikuler non androgenik. Meskipun androgen
tidak menyebabkan BPH, tetapi perkembangan prostat memerlukan androgen
selama pubertas dan usia lanjut. Testosteron sebagian besar diproduksi oleh testis
(90%) dan sebagian kecil oleh kelenjar adrenal (10%). Testosteron mengalami
metabolism di membrane nucleus sel prostat menjadi DHT oleh enzim 5αreductase. DHT berikatan dengan reseptor androgen membentuk komplek AR
yang mengikat DNA spesifik di nucleus sel menyebabkan peningkatan transkripsi
gen dan merangsang sintesis protein GF yang mendorong pertumbuhan sel prostat
(Roehrborn, et al.2007;Boyle, et al.2001).
Setelah testosterone dan DHT, estrogen atau estradiol adalah hormone
steroid ketiga yang diduga berperan pada pathogenesis BPH. Estrogen terutama
dihasilkan oleh proses aromatase jaringan lemak, yang mengatur kerja androgen
dengan mengubah sensitifitas prostat terhadap androgen. Peningkatan sejumlah
kecil estrogen menyebabkan peningkatan jumlah reseptor androgen dan ukuran
prostat. Pada percobaan binatang anjing diduga estrogen berperan pada
pathogenesis BPH dengan merangsang timbulnya reseptor androgen, merubah
metabolism steroid sehingga kadar DHT didalam prostat meningkat, menghambat
kematian sel dan merangsang produksi kolagen stroma. Sedangkan pada manusia
hal ini belum jelas (Roehrborn,et al,.007; Boyle,et al. 2001; Presti,2004).
Peran faktor testikuler non androgen pada pathogenesis BPH masih belum
jelas. Hal ini berdasarkan beberapa hipotesis bahwa BPH terjadi pada laki – laki
tua dengan kadar androgen rendah, penelitian pada tikus menunjukkan bahwa
testis menghasilkan faktor stimulasi pertumbuhan prostat yang berbeda dengan
androgen. Cairan spermatocele, dan plasma epididimis manusia dapat merangsang
pertumbuhan sel stroma prostat (Roehrborn, et al. 2007;Lee, et al. 2010).
Faktor somatik (non testikuler) yang berperan pada pertumbuhan prostat
adalah komplek hypothalamus – hypophysis dan neurotransmitter. Hypothalamus
– hypophysis menghasilkan sejumlah hormone antara lain GF, prolaktin,
gonadrotroopin releasing hormone (GnRH). GF berperan pada pertumbuhan
prostat melalui Insulin Growth Factor 1 (IGF-I) yang diproduksi di hepar
sedangkan peran prolaktin pada pertumbuhan prostat masih belum jelas meskipun
terdapat reseptor prolaktin di prostat manusia. Komplek hypothalamus –
hypophysis juga mempengaruhi pertumbuhan prostat secara tidak langsung
melalui testis dan adrenal yang menghasilkan hormone steroid. Neurotransmitter
berperan pada awal perjalanan sinyal intraseluler di sel otot polos prostat yang
berhubungan dengan permukaan reseptor sel sehingga terjadi kontraksi
(Roehrborn,et al.2007; Lee,et al.2010).
Faktor lingkungan yang berperan pada pathogenesis BPH adalah diit dan
mikroorganisme (respon imun). Pada orang tua, prostat mudah diinfiltrasi oleh
limfosit dan makrofag. Limfosit T akan melepaskan sitokin seperti Interleukin
1(IL-1) dan Interleukin 6 (IL-6) yang merangsang pembentukan matrik kolagen
sehingga terjadi proliferasi sel epitel dan stroma prostat. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa diit rendah lemak, tinggi serat, padi, tumbuhan polong,
sayuran yang merupakan sumber lignan akan menurunkan kadar estrogen
sehingga mencegah terjadinya BPH (Lee,et al.2010).
Sampai sekarang peranan faktor genetik pada BPH belum jelas. Beberapa
penelitian menunjukkan DNA yang abnormal mungkin berperan pada
pathogenesis BPH yaitu gen p53 tumor suppressor dan p27 (Lee,et al.2010).
b. Faktor intrinsik
Faktor intrinsik adalah faktor yang terdapat di dalam prostat yaitu interaksi
antara stroma dan epitel. Cunha dkk membuktikan bahwa terdapat keseimbangan
epitel – stroma di dalam prostat. Sel stroma dengan pengaruh androgen akan
mengatur pertumbuhan sel epitel atau sel stroma lain melalui mekanisme parakrin
atau autokrin dengan mengeluarkan GF. Interaksi antara GF dan hormon steroid
akan merubah keseimbangan antara proliferasi sel dengan kematian sel
terprogram sehingga terjadi BPH. GF yang berperan pada proliferasi sel adalah
basic fibroblastic growth factor (bFGF), epidermal growth factor (EGF),
keratinocyte growth factor (KGF), dan insulin – like growth factor (IGF)
sedangkan yang menghambat proliferasi sel adalah transforming growth factor β
(TGF β) (Wein, et al. 2001; Roehrborn, et al.2007).
Ukuran prostat tidak berkaitan dengan derajat obstruksi. Terdapat
beberapa faktor lain yang lebih berperan terhadap timbulnya symptoms klinis
selain dari pada ukuran prostat yaitu dynamic uretral resistance, kapsul prostat,
dan
anatomic
pleomorphism.
Stimulasi
pada
sistem
saraf
adrenergic
menyebabkan peningkatan retensi dinamik uretra prostatika. Blokade terhadap
stimulasi tersebut dengan α-receptor blockers menyebabkan berkurangnya
resistensi uretra prostatika. Namun demikian, α-blocker tidak mengurangi passive
tension di dalam prostat (Claus,et al.2007).
Terdapat dua komponen penting yang menimbulkan bladder outlet obstruction
karena BPH yaitu komponen static dan komponen dinamik (Roehrborn, et al. 2007;
Wein, et al.2001; Nordling, et al.2001).
a. Komponen statik
Komponen statik terjadi karena pembesaran jaringan prostat yang menyumbat
ke dalam uretra atau bladder neck sehingga menyebabkan tahanan bladder outlet
yang tinggi.
b. Komponen dinamik
Komponen dinamik disebabkan oleh peningkatan tonus otot polos prostat yang
dipengaruhi oleh saraf otonom khususnya dari sistem saraf simpatik. Aktivasi
reseptor alpha adrenergik mengakibatkan kontraksi otot polos stroma prostat. Sekitar
98% reseptor alpha adrenergik terdapat pada stroma prostat. Reseptor alpha
adrenergik juga terdapat pada kapsul prostat dan bladder neck. Hal ini
mengakibatkan peningkatan tekanan pada uretra sehingga terjadi retensio urine.
Dikatakan bahwa sekitar 40% peningkatan tekanan uretra pada penderita BPH
diakibatkan oleh tonus alpha adrenergik (komponen dinamik). Menurut Shapiro dkk,
39% volume total prostat pada laki – laki dengan BPH terdiri atas jaringan otot polos.
Prosentase ini bervariasi pada satu penderita dengan penderita yang lain dan
tergantung pada aktifitas saraf simpatik.
2.5 Trans Uretral Resection of Prostat (TURP)
Tindakan TURP merupakan prosedur pembedahan secara endoskopi melalui
uretra dimaksudkan untuk menghilangkan bagian dari prostat yang menekan uretra dengan
mereseksi jaringan dari pembesaran prostat. Prosedur TURP secara umum dilakukan pada
posisi dorsal litotomi melalui uretra, baik dilakukan atau tidak kalibrasi, hal ini ditujukan
agar baiknya passage resectoscope. Sebelum TURP dilakukan sistoskopi untuk
mengevaluasi uretra, prostat dan buli. Pasien diseleksi untuk TURP yang memiliki gejala
dan tanda klinis yang disebabkan bladder outlet obstruction oleh BPH karena tindakan ini
menghilangkan obstruksi jaringan prostat. Kebanyakan pasien (90%) dilakukan TURP
dikarenakan keluhan yang mengganggu seperti iritatif dan obstruksi yang berhubungan
dengan BPH, Prostatism, LUTS, retensio urin. Dilakukan dibawah general anestesi atau
sub arachnoid blok atau epidural blok berguna menutup interaksi pasien saat tindakan,
kemudian surgical loop dari resectoscope dipakai untuk mereseksi jaringan prostat yang
menyebabkan obstruksi atau membesar dengan dialiri cairan irigasi saat tindakan (Foster,
et al.2004).
Beberapa kesulitan TURP secara umum yang berkaitan dengan tindakan. Secara
umum komplikasi terbagi menjadi tiga kategori : intraoperative, perioperative, dan
morbiditas jangka panjang. Walaupun komplikasi secara keseluruhan hampir sama
diantaranya ketiga periode waktu tersebut diatas sekitar 20%, namun penyebab komplikasi
berbeda. Pada tahun 1960, persentase yang besar termasuk infeksi sistemik disebabkan
pneumonia dan pyelonefritis, sedangkan tahun 1980 hingga 1990, retensi urin dan infeksi
traktus urinarius merupakan komplikasi yang paling banyak, membandingkan angka
mortalitas antara open prostatektomi dengan TURP didapatkan kelompok TURP lebih
besar, kira – kira 3% (Foster, et al.2004).
Terdapat beberapa komplikasi yang berpotensial terjadi saat TURP, perdarahan,
perforasi kapsul prostat, peforasi buli, cedera hingga ke rectum dan sindroma TURP yang
disebabkan absorbsi berlebihan cairan hipotonik dan dilusi hiponatremia. Perdarahan yang
memerlukan transfusi intraoperatif umum nya lebih dari 2%, sindroma TURP 2% dan
myocardial aritmia hanya 1%. Setelah berkembangnya waktu operasi menjadi lebih
pendek dan baiknya cairan irigasi, serta persiapan transfuse sekarang ini sindroma TURP
menjadi kurang dari 1% pasien (Foster, et al. 2004)
Komplikasi perioperatif yang sering termasuk perdarahan, infeksi traktus urinarius
dan retensi urin. Hal ini terjadi berkisar 7% dari pasien hingga rawat inap beberapa hari
atau pasien meminta sampai penggantian kateter (Foster, et al.2004).
Komplikasi jangka panjang sering termasuk infeksi traktus urinarius, obstruksi
seperti kontraktur bladder neck, striktur uretra, inkontinensia, disfungsi ereksi, walaupun
masih terus diperdebatkan apakah hal ini terjadi berhubungan dengan tindakan. Insiden
disfungsi ereksi setelah TURP dilaporkan berbeda – beda (Foster, et al. 2004).
Setelah TURP terjadi perkembangan reaksi inflamasi yang akan diikuti oleh
granulasi jaringan dan stroma fibroblastic akan tergorganisir dengan baik dalam suatu
proses perbaikan jaringan. Komplit reepitelisasi dan penyembuhan luka belum dapat
diobservasi sebelum 12 minggu pertama penyembuhan luka. Tindakan TURP adalah
partial thickness injuries karena berkenaan dengan panas. Respon penyembuhan luka
uretra prostatika berlangsung secara relative tapi bukan berarti bebas dari kontraktur dan
hal ini dapat disamakan seperti luka bakar derajat dua (Poulakis, et al. 2006).
Seperti diketahui bahwa TURP merupakan gold standar untuk tindakan operasi
untuk BPH. Namun tindakan ini bisa menyebabkan disfungsi ereksi yang akan dialami
oleh pasien. Studi terdahulu menyebutkan bahwa terjadinya disfungsi ereksi antara 4%
sampai 40%. Perbedaan angka yang mencolok ini bisa diakibatkan oleh karena metode
yang digunakan untuk menilai DE ataupun lama waktu follow up dilakukan oleh peneliti.
Sejumlah pasien mengalami DE temporer paska TURP dan kembalinya terhadap
kemampuan ereksinya dalam 1-6 bulan paska TURP (Taher, 2004; Poulakis , et al.2006).
Penyebab DE pasca TURP belum diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan karena
kerusakan neurovaskuler bundle karena trauma panas pada saat dilakukan tindakan
(Taher,2004;Poulakis ,et al. 2006).
Nervus simpatis dan parasimpatis yang bergabung menjadi plexus pelvikus
berjalan ke arah posterolateral ke dalam kelenjar prostat yang terkenal dengan nama
neurovascular bundle dari walsh yang bisa mengalami kerusakan saat dilakukan radical
prostatektomi ataupun TURP. Untuk membantu mengidentifikasi kemungkinan adanya
perubahan fungsi ereksi beberapa ahli telah merancang suatu indeks fungsi ereksi dan
diantaranya adalah Indeks Internasional untuk Fungsi Ereksi ke – 5 (IIEF -5). Indeks ini
terdiri atas 5 butir pertanyaan, dan tiap – tiap pertanyaan diberi nilai 0 sampai 5. Jika
penjumlahan dari 5 pertanyaan hasilnya kurang atau sama dengan 21, menunjukkan
adanya gejala disfungsi ereksi IIEF-5 dievaluasi pada keadaan pasien masih seksual aktif
dalam jangka waktu 6 bulan terakhir (Taher,2004; Poulakis ,et al.2006).
3 Kortikosteroid
3.1 Definisi
Kortikosteroid disebut juga sebagai glucocorticoids atau steroids, merupakan hormon
yang diproduksi oleh korteks adrenal, bagian dari glandula adrenal. Kortikosteroid
merupakan obat yang banyak dan luas dipakai dalam dunia kedokteran terutama golongan
glukokortikoid. Hormon - hormon ini mempengaruhi hampir seluruh organ – organ
tubuh. Kortikosteroid eksogen digunakan sebagai obat – obatan pada beberapa kasus atau
gangguan ( Abraham, et al.2002).
Sekresi kortikosteroid dikontrol oleh hypothalamus, pituitary anterior, dan korteks
adrenal (the hypothalamic – pituitary – adrenal, HPA). Kortikosteroid disekresi langsung
ke aliran darah. Korteks adrenal memproduksi hampir 30 hormon steroid, yang mana
dibagi menjadi glucocorticoids, mineralocorticoids, dan adrenal sex hormones (Abraham
, et al.2002).
3.2 Farmakologi
Kortikosteroid merupakan terapi anti inflamasi yang paling efektif untuk penyakit
inflamasi kronis. Efek dominan dari kortikosteroid adalah untuk mematikan beberapa gen
inflamasi (sitokin, molekul adhesi, enzim – enzim inflamasi, reseptor dan protein) yang
diaktifkan selama proses inflamasi (Peter , 2006).
a. Struktur dan Mekanisme
Glukokortikoid dibentuk oleh gugus hydroxyl pada molekul steroid carbon –
11. Cortisone dan prednisone merupakan senyawa 11-keto. Kortisol dan
prednisone dibentuk di hati, sesuai senyawa 11-β hydroxyl. Kortikoseteroid
selanjutnya berperan didalam sel bahkan setelah menghilang dari sirkulasi, dan
produk – produk dari kortikosteroid ini (seperti protein spesifik) mungkin muncul
setelah kortikosteroid menghilang dari sirkulasi (Priyanka , et al.2008).
b. Farmakodinamik
Secara sistematis penggunaan kortikosteroid diklasifikasikan sebagai short
acting, intermediate acting dan long acting (Tabel 1) berdasarkan durasi supresi
ACTH. Hal yang penting diingat adalah walaupun kortikosteroid yang mempunyai
aktivitas mineralokortikoid rendah (contoh hydrocortisone) mungkin mempunyai
efek mineralokortikoid ketika digunakan pada dosis yang tinggi (Pyranka, et
al.2008).
Tabel 2.1. Klasifikasi glukokortikoid berdasarkan durasi kerja
Short acting (waktu paruh Intermediate acting ( waktu Long acting (waktu
8-12 jam)
paruh 12-36 jam)
paruh 36 -72 jam)
Kortisol (hydrocortisone)
Kortison
Prednisolone, prednisone
Triamcinolone
Bethamethasone
Dexametason
Metilprednisolon
Kerja kortikosteroid
1. Glukokortikoid
a. Metabolisme karbohidrat : glukokortikoid meningkatkan glukoneogenesis dan
mempertahankan glukosa untuk jaringan penting seperti otak, otak, dan sel darah
merah selama stress atau kelaparan.
b. Metabolisme protein :
keseluruhan
efek
adalah
proses
katabolik
yang
menyebabkan keseimbangan nitrogen berkurang dengan ditandai atrofi otot,
osteoporosis, perlambatan pertumbuhan, atrofi kulit, peningkatan kerapuhan
kapiler, memar. Penyembuhan luka terhambat.
c. Deposit lemak : meningkat pada bagian bahu, wajah dan perut.
d. Mempertahankan tekanan darah : glukokortikoid menambah reaktivi tas
pembuluh darah ke substansi lain yang aktif seperti nor – epinefrin dan
angiotensin II.
e. Kerja anti – vitamin D: menurunkan absorbs kalsium dari usus dan meningkatkan
ekskresi kalsium di urin, berguna pada pengobatan hiperkalsemia pada
sarkoidosis dan intoksikasi vitamin D.
f. Keseimbangan cairan dan elektrolit :glukokortikoid menggunakan efek nya pada
funsi tubular dan filtrasi glomerulus.
g. Ekskresi urat melalui ginjal meningkat.
h. Efek anti inflamasi dan imunosupresif : glukokortikoid menurunkan keluarnya sel
– sel dan fungsi sel inflamasi dan permeabilitas pembuluh darah pada daerah
inflamasi. Kortikosteroid juga menghambat sintesis prostaglandin dan leukotrien
dengan menghambat keluarnya asam arachidonat dari fosfolipid. Dengan
mekanisme ini, glukokortikoid melindungi organ dari kerusakan dikarenakan
reaksi defensive dan memproduksi reaksi ini pada saat stress (Priyanka , et
al.2008).
2. Mineralokortikoid
Mineralokortikoid terutama bekerja pada tubulus distal dan duktus collecting
ginjal, disamping bekerja pada usus, kelenjar keringat dan liur, dimana menstimulasi
reabsorbsi dari natrium dan ekskresi kalium dan ion hydrogen, yang menjaga
keseimbangan elektrolit. Hiperaldosteron menyebabkan kelebihan natrium dengan
konsekuensi keluarnya natrium ke ekstraseluler, normal nya konsentrasi natrium lebih
banyak di plasma, hipokalemia dan alkalosis. Kekurangan mineralokortikoid
menyebabkan kekurangan natrium, hiponatremia, hiperkalemia dan asidosis
(Priyanka, et al.2008).
Secara fisiologis sekresi kortisol pada sistem normal berkisar 6mg/m2/hari. Dosis
maintenance glukokortikoid disesuaikan diatas perkiraan rata – rata sekresi sebagai
bioavailabilitas dari kortisol dikurangi oleh asam lambung dan melalui metabolisme
pertama di hati. Metilprednisolon sodium succinate (Solu – Medrol) diberikan dosis inisial
10-40mg, dapat ditambahkan sesuai kondisi dan respon, diberikan secara intravena atau
bisa juga intramuscular. Bayi dan anak – anak dengan dosis tidak kurang dari 0,5mg/kg/24
jam. Hidrokortison oral sebagai dosis awal dapat diberikan 8-10mg/m2/hari, jika pasien
dengan insufisiensi adrenal dapat diberikan dosis yang lebih tinggi 10-12mg/m2/hari
(Priyanka, et al.2008).
3.3
Indikasi Penggunaan Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan secara luas untuk mengobati berbagai kelainan. Karena
obat – obat ini mempengaruhi aspek inflamasi dan respon imun, kortikosteroid digunakan
untuk pengobatan secara luas dengan komponen inflamasi dan imunologi.
Kegunaan kortikosteroid dapat diberikan pada gangguan sebagai berikut:
a. Alergi atau gangguan hipersensitivitas, seperti reaksi alergi terhadap obat, transfusi
darah, dan reaksi alergi pada kulit
b. Gangguan kolagen, seperti systemic lupus erythematosus, scleroderma, dan
periarteritis nodosa. Kolagen merupakan struktur dasar protein atau jaringan ikat,
tendon, kartilago, dan tulang, dan terdapat pada hampir seluruh jaringan tubuh dan
sistem organ. Gangguan kolagen ditandai dengan inflamasi pada jaringan tubuh.
Gejala dan tanda tergantung pada bagian jaringan atau organ yang terkena dan
beratnya proses inflamasi.
c. Gangguan kulit dapat diobati dengan kortikosteroid sistemik termasuk dermatitis
kontak akut, erythema multiforme, herpes zoster, lichen planus, pemphigus, kulit
kemerahan akibat obat.
d. Gangguan endokrin, seperti insufisiensi adrenal dan hyperplasia adrenal kongenital.
Kortikosteroid diberikan untuk menggantikan hormon alami ( glukokortikoid dan
mineralokortikoid) pada kasus insufisiensi dan penekanan kortikotropin ketika terjadi
sekresi hyperplasia adrenal. Kondisi ini jarang dan persentasi nya kecil untuk
penggunaan kortikosteroid.
e. Gangguan gastrointestinal, seperti kolitis ulseratif dan enteritis reginal (Chron’s
disease)
f. Gangguan hematologi seperti tromboositopeni purpura atau anemia hemolitik
g. Gangguan hepatik ditandai dengan edema, seperti sirosi dan asites
h. Gangguan neoplasma, seperti leukemia akut dan kronis, Hodgkin’s disease, limfoma
lainnya, dan multiple myeloma. Efektifitas kortikosteroid pada kondisi ini
kemungkinan dari kemampuan kortikosteroid untuk menekan limfosit dan jaringan
limfoid lainnya.
i. Kondisi neurologis, seperti oedem cerebri, tumor otak, trauma spinal akut, dan
myasthenia gravis
j. Gangguan mata, seperti optik neuritis, oftalmia simpatetik, dan choriorenitis
k. Transplantasi organ atau jaringan ( contoh ginjal, hati, sumsum tulang).
Kortikosteroid menekan respon imun sel dan humoral dan membantu mencegah
penolakan dari jaringan transplantasi. Terapi obat – obatan biasanya dilanjutkan
sepanjang transplantasi jaringan.
l. Gangguan ginjal ditandai dengan edema, seperti sindroma nefrotik
m. Gangguan pernafasan, seperti asma, status asmatikus, chronic obstructive pulmonary
disease (COPD), dan gangguan inflamasi mukosa hidung (rhinitis).
n. Gangguan rheumatic, seperti ankylosing spondylitis, bursitis akut dan kronik, arthritis
gout akut, rheumatoid arthritis dan osteoarthritis
o. Syok, kortikosteroid diindikasikan hanya untuk syok yang disebabkan oleh
insufisiensi adrenokortikal, yang mana menyebabkan syok hipovolemik dan syok
sepsis. Penggunaan kortikosteroid pada syok sepsis masih kontroversi, dan beberapa
penelitian metaanalisis menyatakan bahwa kortikosteroid untuk pengobatan syok
tidak ada keuntungannya.
Kontraindikasi penggunaan kortikosteroid adalah infeksi jamur yang sistemik dan
pasien yang hipersensitif terhadap kortikosteroid. Pasien dengan infeksi jamur, dengan
pemberian kortikosteroid dapat memperberat infeksi, diabetes mellitus (kortikosteroid
dapat menyebabkan peningkatan glukosa darah), ulkus peptikum, infeksi usus, hipertensi,
gagal jantung, dan gagal ginjal (Abraham , et al. 2002).
Metilprednisolon merupakan golongan steroid sintetis dari derivate glukokortikoid
yang mempunyai aktivitas biologis untuk mengurangi efek anti inflamasi setelah
terjadinya lesi (Nash HH,et al, 2002). Efek antiinflamasi dari metilprednisolon melalui
berbagai cara yakni:
1. Menghambat produksi berbagai bahan inflamasi seperti kemotaksis, ensim lisosom
2. Menghambat aktivitas ensim phospolipase A, berikutnya akan menyebabkan penurunan
produksi metabolit kaskade asam arakhidonat, kemudian akan menurunkan pembentukan
radikal bebas
3. Menurunkan ekspresi TNF – α, menurunkan aktivitas dari nuklear faktor yang akan
menurunkan respon inflamasi
4. PROGESTERON
Progesteron adalah hormon steroid primer yang disekresi oleh sel – sel granulosit
dan korpus luteum pada ovarium. Selama kehamilan, sumber utama dari progesteron juga
datang dari plasenta. Pria juga memproduksi progesteron dari kelenjar adrenal dan testis,
sebagai precursor testosterone. Pada wanita, hormone ini berperan pada perkembangan
kelenjar payudara, ovulasi, implantasi embrio, dan mempertahankan kehamilan. Efek
progesteron pada imunitas juga telah dilaporkan dan dipelajari dalam kehamilan, yang
mana meningkatkan level dari hormon steroid, termasuk progesteron di produksi.
Kehamilan dihubungkan dengan terhambatnya sinyal TH1 oleh sel T limfosit dan
progesteron telah menunjukkan terhambatnya sel T, makrofag, dan aktifitas sel NK
(Milani P, et al, 2010).
Medroksiprogesteron asetat (MPA) dan progesteron mikronisasi oral digunakan
secara luas bersama dengan estrogen pada terapi penggantian hormone pasca menopause
dan keadaan lain yang membutuhkan efek progestasional dan dalam bentuk depo, MPA
digunakan sebagai kontrasepsi injeksi jangka panjang, untuk kasus – kasus pencegahan
abortus, penundaan haid, korpus lutheal support (Milani P, et al, 2010)
Dilaporkan progesterone diproduksi di susunan saraf pusat dan susunan saraf tepi,
dan dianggap sebagai suatu neurosteroid. Ensim yang bertanggung jawab dalam
biosintesis progesterone terlokalisir di glia dan sel Schwann pada susunan saraf pusat.
Biosintesis progesteron terjadi di mitokondria, sintesis progesteron di susunan saraf
mempunyai peran penting dalam regulasi pembentukan myelin dan modulasi fungsi
reseptor GABA type A (Milani P,et al,2010).
Progesteron mungkin merangsang mielinisasi dengan cara merangsang aktivasi
ekspresi kode gen untuk transkripsi protein myelin dan secara tidak langsung meregulasi
pembentukan myelin dengan cara mempengaruhi ekspresi gen pada neuron dan
mendukung regenerasi neuron dengan beberapa cara antara lain : mengurangi inflamasi,
edema dan apoptosis, dengan cara merangsang meningkatkan hidup neuron melalui
pembentukan selubung myelin baru (Milani P,et al,2010).
Gambar 2.7. Mekanisme efek stimulasi dari progesteron dalam mielinisasi sel Schwann
dari regenerasi sel saraf tepi (diambil dari Milani P, et al, 2010).
B. KERANGKA KONSEPTUAL
Umur
Diabetes Mellitus
Benign Prostat
Hhyperplasia (BPH)
Gagal ginjal kronis
Hipertensi
Pemakaian obat
psikotropika
Trauma spinal
TURP
Cedera saraf tepi
(neurovaskular bundle)
Disfungsi Ereksi
METILPREDNISOLON
PROGESTERON
TNF – α
GABA type A
Aktivasi sintesis mielin
Respon inflamasi
Respon inflamasi, edema & apoptosis
Jaringan fibrotik
Jaringan fibrotik
Perbaikan fungsi ereksi
lebih cepat
Gambar 2.8 Kerangka konseptual
Keterangan :
----- Tidak diteliti
Diteliti
Regulasi pertumbuhan prostat dipengaruhi oleh
faktor intrinsik dan ekstrinsik.
Faktor ekstrinsik terdiri dari somatik, testis, lingkungan dan genetik. Faktor intrinsik
adalah faktor yang terdapat di dalam prostat yaitu interaksi antara stroma dan epitel
(Taher,2004; Poulakis, et al.2006)
Interaksi antara stroma dan epitel dan faktor ekstrinsik mempengaruhi growth factor
dan terjadi proliferasi sel sehingga terjadi BPH. Seperti diketahui bahwa TURP
merupakan gold standar untuk tindakan operasi untuk BPH. Namun tindakan ini bisa
menyebabkan disfungsi ereksi yang akan dialami oleh pasien. Studi terdahulu
menyebutkan bahwa terjadinya disfungsi ereksi antara 4% sampai 40%. Perbedaan angka
yang mencolok ini bisa diakibatkan oleh karena metode yang digunakan untuk menilai DE
ataupun lama waktu follow up dilakukan oleh peneliti. Sejumlah pasien mengalami DE
termporer pasca TURP. Penyebab DE pasaca TURP belum diketahui secara pasti, tetapi
diperkirakan karena kerusakan neurovaskuler bundle karena trauma panas pada saat
dilakukan tindakan (Taher,2004; Poulakis, et al. 2006).
Beberapa faktor yang diduga sebagai prediktor terjadinya DE adalah : umur, lama
menderita diabetes, hipertensi, gagal ginjal kronik, hiperkolesterolemia, penggunaan obat
psikotropika (Berardis, et al.2002; John, et al.2006; Mulhall,2008).
Penelitian ini secara umum untuk mengetahui adanya perbedaan fungsi ereksi
sebelum dan setelah dilakukan tindakan TURP pada pasien BPH dengan IIEF – 5.
Pemberian Methylprednisolon intravena diharapkan dapat memperbaiki fungsi
ereksi lebih cepat. Efek dominan dari kortikosteroid adalah untuk mematikan beberapa
gen inflamasi (sitokin, molekul adhesi, enzim – enzim inflamasi, reseptor dan protein)
yang diaktifkan selama proses inflamasi (Peter , 2006).
Glukokortikoid menurunkan keluarnya sel – sel dan fungsi sel inflamasi dan
permeabilitas pembuluh darah pada daerah inflamasi. Kortikosteroid juga menghambat
sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan menghambat keluarnya asam arachidonat
dari fosfolipid. Dengan mekanisme ini, glukokortikoid melindungi organ dari kerusakan
dikarenakan reaksi defensive dan memproduksi reaksi ini pada saat stress (Priyanka , et
al.2008)
Sintesis progesteron berperan penting dalam regulasi pembentukan myelin dan
modulasi fungsi reseptor GABA tipe A. Progesteron merangsang mielinisasi dengan cara
merangsang aktivasi ekspresi kode gen untuk transkripsi protein myelin dan secara tidak
langsung meregulasi pembentukan myelin dengan cara mempengaruhi ekspresi gen pada
neuron dan mendukung regenerasi neuron dengan beberapa cara antara lain : mengurangi
inflamasi, edema dan apoptosis, dengan cara merangsang meningkatkan hidup neuron
melalui pembentukan selubung myelin baru (Milani P, et al, 2010).
C. HIPOTESIS PENELITIAN
1. Ada pengaruh pemberian metilprednisolon intra vena terhadap fungsi ereksi pasca operasi
TURP pada pasien BPH. Pemberian metilprednisolon akan memperbaiki fungsi ereksi
pasien pasca operasi TURP.
2. Ada pengaruh pemberian progesteron intra muskular terhadap fungsi ereksi pasca operasi
TURP pada pasien BPH. Pemberian progesterone akan memperbaiki fungsi ereksi pasien
pasca operasi TURP.
3. Ada perbedaan pengaruh pemberian metilprednisolon intra vena dan progesterone
terhadap fungsi ereksi pasca operasi TURP pada pasien BPH.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi eksperimen klinis dengan menggunakan rancangan
penelitian Post test-Only Control Design
Post Test
Pasien BPH:
Dibagi 3
Kelompok
Perlakuan 1:
Methylprednisolone IV
Fungsi
Ereksi
Perlakuan 2:
Progesteron IM
Fungsi
Ereksi
Perlakuan 3:
Kontrol
Fungsi
Ereksi
Gambar 3.1 Desain Penelitian
B. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di bagian bedah sub bagian urologi RSDM Surakarta. Waktu
penelitian : Desember 2016 – Mei 2017
C. Populasi Penelitian
Semua penderita BPH yang dilakukan operasi TUR-P di sub bagian urologi RSUD
Dr. Moewardi Surakarta.
D. Sampel dan Teknik Sampling
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah insidental sampling, yaitu
semua dari populasi yang secara insidental bertemu dengan peneliti digunakan sebagai
sampel dan subjek tersebut telah disesuaikan dengan kriteria restriksi.
E. Besar Sampel
Besar subjek ditentukan dengan menggunakan rumus subjek untuk penelitian
crossectional study (subjek tunggal untuk uji hipotesis suatu populasi) yaitu:
𝑛 = 38
Keterangan:
N : Jumlah subjek minimal yang diperlukan
Zα : Tingkat kepercayaan 95%  Z=1,96
Zβ : Power 80%
P : R / (1+R)
Q : 1 – P8
R : Perkiraan Odds Ratio = 3
Berdasarkan hasil tersebut, sampel minimal yang akan digunakan adalah 38 sampel,
yang selanjutnya akan dibagi menjadi 3 kelompok secara random dengan rincian masingmasing kelompok sebagai berikut:
1. Kelompok pasien BAP yang diberikan methylprednisolone IV sebanyak 13 sampel.
2. Kelompok pasien BAP yang diberikan Progesteron IM sebanyak 13 sampel.
3. Kelompok pasien BAP yang dijadikan kontrol sebanyak 13 sampel
F. Kriteria Restriksi
1. Kriteria inklusi
a. Pasien dengan diagnosis BPH dan dilakukan operasi TURP
b. Pasien BPH dengan usia antara 50 sampai 70 tahun
c. Pasien bersedia mengikuti penelitian dan mengisi informed consent
d. Pasien BPH dengan fungsi ereksi yang normal sebelum dilakukan TURP.
2. Kriteria eksklusi
a. Pasien BPH yang telah dilakukan operasi TURP sebelumnya
b. Pasien yang dicurigai kanker prostat
c. Pasien BPH dengan riwayat disfungsi ereksi sebelum dilakukan operasi TURP
d. Pasien BPH dengan penyakit penyerta :
1) Hipertensi
2) Diabetes mellitus
3) Gagal jantung
4) Stroke
5) Trauma tulang belakang
G. Alokasi Subjek
Cara pengelompokan subjek yang mendapat kelompok kontrol dan perlakuan adalah
dengan simple random sampling. Pasien yang datang kemudian diberi nomor urut, nomor 1
untuk perlakuan kelompok 1, nomor 2 untuk kelompok perlakuan 2, nomor 3 untuk
kelompok perlakuan 3 dan berulang setelah nomor 3, hingga subjek terpenuhi.
H. Variabel
Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah variabel fungsi ereksi pasien pasca
operasi TUR-P yang kemudian diberikan perlakuan yang berbeda-beda, yaitu dengan
diberikan methylprednisolone IV, Progesteron IM dan diberikan obat – obatan sesuai
protocol terapi post TURP untuk kontrol.
1. Variabel terikat : Fungsi ereksi
2. Variabel bebas : Pemberian metilprednisolon 30mg/kgBB intra vena dan progesterone
100mg intra muskular
I. Definisi Operasional
1. Variabel terikat: Fungsi ereksi
a. Definisi :
Kemampuan mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk mencapai kepuasan
seksual.
b. Alat ukur
: International Index of Erectile Function (IIEF-5)
Nilai Variasi
Kriteria
Normal
Skor 21-25
DE Ringan
Skor 16 - 20
DE Sedang
Skor 11-15
DE Berat
Skor <10
c. Satuan
: skor
d. Skala
: interval
2. Variabel bebas : Antiinflamasi
a.
Definisi :
Merupakan zat atau pengobatan yang mengurangi peradangan atau pembengkakan.
b. Alat Ukur
:-
c. Satuan
:-
d. Skala
:Nominal
J. Operasional Penelitian
Pasien BPH
Kriteria restriksi
IIEF -5
Informed consent/ Ethical clearance
Operasi TURP
Post Operasi TURP
IIEF -5
Perlakuan 1:
Methylprednisolone IV
Menilai fungsi ereksi
IIEF-5 pada bulan 1
dan 3 post TURP
Perlakuan 2:
Progesteron IM
Menilai fungsi ereksi
IIEF-5 pada bulan 1 dan
3 post TURP
Perlakuan 3:
Kontrol
Menilai fungsi
ereksi IIEF-5 pada
bulan 1 dan 3 post
TURP
Uji Analisis:
ANOVA
Gambar 3.2 Operasional Penelitian
Keterangan :
Pasien BPH yang dirawat di RSUD Dr Moewardi Surakarta dan dilakukan operasi
TUR-P serta memenuhi kriteria restriksi akan ditanyakan kesanggupan mengikuti penelitian
dan menandatangani lembar informed consent.
Pasien yang masuk dibagi menjadi 3 kelompok yang sebelumnya diberikan nomor
urut.
Pada kelompok perlakuan 1 mendapatkan terapi methylprednisolone 30mg/kgBB
intravena
pada hari ke-0 sampai dengan
hari ke-5 setelah operasi. Pasien kelompok
perlakuan 2 diberikan progesteron 100mg intra muskular pada hari ke – 0 sampai dengan
hari ke – 5. Kelompok ke – 3 merupakan kontrol, diberikan obat –obatan sesuai protokol
terapi pasca TURP. Pasien kelompok perlakuan dan kontrol akan dinilai fungsi ereksi
dengan menggunakan International Index of Erection Fuction pada bulan ke-1 dan ke-3
setelah operasi TURP. Kemudian setelah seluruh data terkumpul akan dilakukan analisa
data.
K. Rencana Analisa Data
Uji analisis yang digunakan dalam penelitian ini, karena membandingkan 3
kelompok yang berbeda saling independent dan skala data variabel yang diukur berskala
interval, maka uji statistik yang digunakan adalah uji ANNOVA.
DAFTAR PUSTAKA
Akbal C, Turker R & Tavukeu H,2007, Erectile function in Benign prostate hyperplasia –
patients who underwent transuretrhral resection, European Urology, vol 53,pp.540-46.
Anjum I, Ahmad M, Azzopardi A, & Mutfi GR, 1998. Prostatic infection in acute urinary
retention secondary to benign prostate hyperplasia. American Journal of Urology, 160,
792-3
Berardis GD, Francoisi M, Belfiglio M, Dinardo B, & Kaplan SH, 2002, Erectile dysfunction
and quality of life in type 2 diabetics patients. Diabetic Care,25, 284-91
Boyle P & Liu GF, 2001. Epidemiology and Natural History. In the: Chatelain, Denis L, eds.
Benign Prostat Hyperplasia, 5th United Kingdom : Plymbrige, 19-61
Brosman SA,2009. Prostate Specific Antigen. Diambil dari: http://www.emedicine.com./ articles
Choi SB, Zhao C, Park JK, 2010. The Effect of Transuretrhal Resection of the Prostate on
Erectile Function in Patients with Benign Prostate Hyperplasia, Korean Journal of
Urology, DOI:10.4111/kju.2010.51.8.557, diambil dari: www.kjurology.org.
Claus G, Roehrborn, John D & Connell MJ,2007. Benign Prostatic Hyperplasia: Etiology,
Patophysiology, Epidemiology, and Natural History. In the: Walsh PC: Campbell’s
Urology, 10th ed: chapter 86
Connell MJ & Abrahams P,2009. Evaluation and Treatment of LUTS in Older Men. In the: Male
urinary tract dysfunction evaluation and management.4,342-349
Connell MJ,2005. Combination Theraphy Significantly Delays Progression of Benign Prostatic
Hyperplasia. Diambil dari : www.nyp.org/news/hospital.
Feldman, HA, Goldstein,I & Krane, RJ,2004. ‘Impotence and its Medical and Psycosocial
Correlates : results of the Massachussetts Male Ageing Study’, J Urol, vol 151 (1),pp
54-61
Foster HE & Jacobs MB, 2004. Transuretrhal Resection of the Prostate. In: Management of
Benign Prostatic Hypertrophy. Northwestern University Feinberg School of Medicine,
Chicago ,IL;vol: 10,chapter 11, 163-193
Fouad RK, Vivien KT, & Ronald S, 2001. Male Sexual Function and its Disorders : Physiology,
Patophysiology, Clinical Investigation and Treatment. Endocrine Reviews,22,342-348
Goldstein I, Lue TF, Padma NH, Rosen RC, Steers WD & Wicker PA, 1998. Oral Sildenafil in
the Treatment of Erectile Dysfunction. Sildenafil Study Group. N Eng J Med,338,13971404
Greenstein MA, 2009. Enlarged Prostate. Medical Encyclopedia. Diambil dari: www.emedicine
health.com/enlargedprostate/article
Jaidane M, Arfa NB, Hmida W, Hidoussi A, Slama A, Sorba NB and Mosbah F, 2013. Effect of
Transurethral Resection of the Prostate in Erectile Function: A Prospective
Comparative Study, International Journal of Impotence Research Nov 22,146-15
Jeong HJ & Lee DH, 2009. The Efficacy of Every Other Day Alpha – blocker Theraphy in Men
with Benign Prostatic Hyperplasia. Korean J Urol. Apr;46(4):366-9
Johanes BC, Araujo AB & Feldman HA, 2000. Incidence of Erectile Dysfunction in Men 40 to
69 years old: Longitudinal Results from the Massachussetts Male Aging Study, The
Journal of Urology, vol 163, pp 460-63
Kirby R & Lepor H, 2012. Evaluation and Nonsurgical Management of Benign Prostatic
Hyperplasia. In the : Walsh PC, et al : Campbell’s Urology, 10th ed : Chapter 87
Klein T, Eric A & Platz E A, 2012, Epidemiology, Etiology, and Prevention of Benign Prostate
Hyperplasia. In the Walsh PC, et al: Campbell’s Urology, 10th ed, WB Saunders –
Elsevier, Philadelphia
Klein T, Palisaar RJ & Holz A, 2010. ‘The Impact TURP and Perprostatic Nerve Block on
Erectile and Voiding Function : A Prospective Study’, The Journal of Urology, vol 184,
pp 1456-52
Lee C & Cockett A, 2010. Regulation of Prostate Growth. In the : Chatelain C, Denis L, et al :
Benign Prostate Hyperplasia, 5th :81-99
Mulhall J,2008. Erectile Dysfunction : Monitoring Response to Treatment in Clinical Practise –
Recommendation an International Study Panel. J Sex Med; 4:448-64
Poulakis V, Ferakis N, Witzsch U, et al, 2006. Erectile Dysfunction After Transurethral
Prostatectomy for Lower Urinary Tract Symptoms : Results from A Center with Over
500 Patients. Asian J Androl; 8:69-74
Presti JC,2004. Neoplasms of the Prostate Gland. In the: Tanangho EA, Mc Aninch JW, editors.
Smith’s General Urology. 16th ed New York : Lange Medical Books/Mc Graw – Hill
;p.367-385
Roehrborn CG & Connell MJ, 2002. Etiology, Patophysiology and Natural History of Benign
Prostatic Hyperplasia. In the : Whals PC, Retik AB, Eds: Campbels Urology 9th.
Philadelphia: WB Saunders; 1297-1330
Rhodes T, Marks LS, Dorey FJ, Shery ED, Rittenhouse H, Partin AW & Dekernion JB: 2009.
Serum Prostate Specific Antigen Level After Transurethral Resection of The Prostate :
Longitudinal Characterization In Men With Benign Prostatic Hyperplasia. In : Journal
of Urology, September 2010;vol 156: 1035-1039
Rosen RC, Cappeleri JC, Smith MD & Lipsky J, 1999. Development and Evaluation of an
Abridged, 5-item version of the International Index of Erectile Function (IIEF-5) as a
Diagnostic Tool for Erectile Dysfunction. International Journal of Impotence
Research.11:319-326
Taher A,2004. Erectile Dysfunction After Transurethral Resection of the Prostate, Incidence and
Risk Factors. World Journal Urology,22:457-460
Wein AJ & Rovner ES, 2001.Benign Prostatic Hyperplasia. In the : Hanno PM, Malkowicz SB,
et al: Clinical Manual oof Urology, 3rd,437-470
Wespes E, Eardley I, Giuliano F, Hatzichristou D, Hatzimouratidis K, Moncada I, Salonia A,
Vardi Y, 2013. Guidelines on Male Sexual Dysfunction : Erectile Dysfunction and
Premature Ejaculation. Arnhem (The Netherlands) : European Association of Urology
(EAU); Mar.54 p.326
Zisman A, Leibovici & Kleinman J, 2001. ‘ The Impact of TURP on Patient Well Being : A
Prospective Study of Pain, Anxiety and Erectile Dysfunction’, The Journal of Urology;
vol 165,p 445-454
Download