PERBEDAAN PENGARUH ANTARA METHYLPREDNISOLONE INTRAVENA DAN PROGESTERON INTRAMUSKULER TERHADAP FUNGSI EREKSI SETELAH OPERASI TRANSURETHRAL RESECTION OF THE PROSTAT (TUR-P) PADA PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH) Proposal Karya Akhir Oleh : Monica Yolanda Utami Putri S 561208005 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET / RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA 2016 DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN ……………...……………………………… i DAFTAR ISI ………………………..…………………………………… iii DAFTAR GAMBAR …………………..………………………………… v DAFTAR TABEL ……………………………………………………..... vi DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………….. vii BAB I PENDAHULUAN…..………………………………..………….. 1 A. LATAR BELAKANG …………………………...…………... 1 B. RUMUSAN MASALAH ………………………..….………... 3 C. TUJUAN PENELITIAN ………………………..…….……… 3 D. MANFAAT PENELITIAN ……………………..…….……… 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………...………….. 4 A. KAJIAN TEORI ………………………………………...……. 4 1. DISFUNGSI EREKSI ……………….……………..…….. 4 1.1 Pengertian …………………………………...………... 4 1.2 Anatomi Fisiologi Ereksi ………………………...…… 6 1.3 Mekanisme Terjadinya Ereksi Penis ………………..... 9 1.4 Etiologi dan Patofisiologi Disfungsi Ereksi ……….... 12 1.5 Diagnosis Disfungsi Ereksi………………………..… 13 1.6 Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi………………...…. 15 2. BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA…………………..… 15 2.1 Definisi …………………………………………..….. 15 2.2 Epidemiologi BPH ………………………………..… 16 2.3 Anatomi Prostat …………………………………...… 16 2.4 Patofisiologi BPH ………………………………...…. 18 2.5 Trans Uretral Resection of Prostat (TURP)…..…...… 29 3. KORTIKOSTEOID ………………………………...……. 32 3.1 Definisi …………………………….…………..…..... 32 3.2 Farmakologi ……………………………….…...…… 32 3.3 Indikasi Penggunaan Kortikosteroid …………..….... 36 4. PROGESTERON …………….………………………..... 39 B. KERANGKA KONSEPTUAL……….…………………...…. 42 C. HIPOTESIS PENELITIAN ……………………….……...…. 45 BAB III METODE PENELITIAN …………………………….……...... 46 A. JENIS DAN DESAIN PENELITIAN ……….…………...… 46 B. TEMPAT DAN WAKTU .………………………………..... 46 C. POPULASI PENELITIAN……….……………………….... 46 D. SAMPEL DAN TEKNIK SAMPLING……….…………..... 47 E. BESAR SAMPEL …………………….…………………..... 47 F. KRITERIA RESTRIKSI ……………………….…………... 48 G. ALOKASI SUBJEK………………..……………………...… 49 H. VARIABEL …………………………..……………………... 49 I. DEFINISI OPERASIONAL ……………………….………... 49 J. OPERASIONAL PENELITIAN ……………….…………… 51 K. RENCANA ANALISA DATA ….………………………….. 52 DAFTAR PUSTAKA ……………….……………………………….. 53 LAMPIRAN DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 2.1 Anatomi Penis …………………………………………………. 6 2.2 Vaskularisasi Penis…………………………………………….. 7 2.3 Neuroanatomi Penis……………………………………………. 8 2.4 Fisiologi Ereksi………………………………………………… 10 2.5 Zona – zona Pada Prostat………………………………………. 18 2.6 Peran androgen terhadap pertumbuhan prostat………………… 20 2.7 Mekanisme efek stimulasi dari progesteron dalam mielinisasi sel Schwann dari regenerasi sel saraf tepi…………………………. 41 2.8 Kerangka Konsep ……………………………………………... 42 3.1 Desain Penelitian ………………………………………………. 46 3.2 Operasional Penelitian ………………………………………… 51 DAFTAR SINGKATAN AP Show : Asia Pacific Sexual Health and Overall Wellness AR : Androgen Receptor AUA : American Urological Association bFGF : Basic Fibroblast Growth Factor BPH : Benign Prostat Hyperplasia cGMP : Cyclic Guanil Mono Phosfat DE : Disfungsi Ereksi DHT : Dehidro Testosteron DM : Diabetes Mellitus DNA : Deoxy Ribo Nucleic Acid EGF : Epidermal Growth Factor FK UNS : Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret GF : Growth Factor GnRH : Gonadotropin Releasing Hormon GTP : Guanil Tri Phosfat HDL : High Density Lipoprotein HoLEP : Holmium Laser Enucleation of the Prostat IGF : Insulin like Growth Factor IIEF5 : International Index of Erectile Function 5 IL 1 : Interleukin I IL 6 : Interleukin 6 IPSS : International Prostat Symptom Score KUB : Kidney Ureter Bladder radiograph LH : Luteinizing Hormon LHRH : Luteinizing Hormon Releasing Hormon LUTS : Lower Urinary Track Syndrome MMAS : Massachusetts Male Aging Study MPOA : Medial Preoptic Area mRNA : messenger Ribo Nucleic Acid NANC : Non Adrenergik Non Kolonergik NHSLS : National Health and Social Life Survey NO : Nitrit Oksida PDE-5 : Pospodiesterase – 5 PSA : Prostat Specific Antigen PVN : Nucleus Paraventrikuler PVR : Postvoid Residual Urine RSDM : Rumah Sakit Umum Daerah dr.Moewardi RT : Rectal Toucher TGF β : Transforming Growth Factor β TUIP : Transurethral Incision of the Prostat TULIP : Transurethral Ultrasound guided Laser Incision of the Prostat TUMT : Transurethral Microwave Thermotherapy TUNA : Transurethral Needle Ablation TURP : Transurethral Resection of the Prostat USG : Ultrasonografi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fungsi ereksi merupakan faktor yang penting bagi semua pria pada kondisi seksual aktif, hal tersebut sekaligus bisa untuk menilai kualitas dari kehidupan sex dengan pasangannya. Dari hasil penelitian Asia Pacific Sexual Health and Overall Wellness (AP Show) pada tahun 2008 di 13 negara termasuk Indonesia menyebutkan bahwa terdapat korelasi antara kekerasan ereksi dan kualitas hidup. Semakin tinggi tingkat kekerasan ereksi, semakin tinggi pula kepuasan seksual dan akan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan (Goldstein et al 1998; Mulhall,2008). Disfungsi ereksi (DE) menurut United States National Institude of Health and the American Urological Association didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk kepuasan seksual. Penyebab DE dapat berupa organik dan psikogenik dan dapat secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup. Selain itu, juga dapat disebabkan oleh tindakan bedah (Berardis er al, 2002, John et al, 2006, Mulhall, 2008). Dari International Journal of Impotence Research (IJIR) tahun 2013 menyebutkan efek TURP pada fungsi ereksi masih kontroversi dan data – data yang tersedia masih dalam perdebatan. Transurethral Resection of the Prostat (TURP) merupakan tindakan gold standart untuk Benign Prostat Hyperplasia (BPH). Salah satu komplikasi setelah operasi yang dapat ditimbulkan setelah pasien mendapat tindakan tersebut adalah DE (Thorpe et al,1999; Florator et al,2001). Beberapa pasien mengalami DE sementara segera setelah TURP dan kembalinya kemampuan ereksinya berkisar 1 sampai dengan 6 bulan segera setelah TURP. Efek DE pada pasien segera setelah TURP masih menjadi kontroversi, salah satu kemungkinan penyebab DE adalah akibat trauma panas pada saraf erectile (Jaidane 2010; Poulakis V et al,2006). Kortikosteroid mempunyai efek anti inflamasi dan imunosupresif dengan menurunkan keluarnya sel – sel dan fungsi sel inflamasi dan permeabilitas pembuluh darah pada daerah inflamasi. Kortikosteroid juga menghambat sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan menghambat keluarnya asam arachidonat dari fosfolipid. Dengan mekanisme ini, kortikosteroid melindungi organ dari kerusakan (Priyanka G. et al, 2008). Beberapa jurnal menyebutkan mekanisme progesterone, mempunyai efek proteksi terhadap saraf tepi. Mekanisme aksi nya contoh berupa regulasi ekspresi neurotropin yang mana mampu membantu sel bertahan. Sebagai tambahan, hasil metabolisme utama dari progesterone, seperti allopregnanolon, dilaporkan berpartisipasi dalam efek neuroprotektif. Berdasarkan penelitian sebelumnya, terjadi penurunan fungsi ereksi pada 1-3 bulan dan kembali normal sesudah 6 bulan pada penderita BPH tanpa retensi yang dilakukan tindakan TURP (Hermawan, 2015). Belum pernah dilakukan penelitian pemberian metilprednisolon dan progesteron sebagai terapi disfungsi ereksi segera setelah TURP, oleh karena itu peneliti mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian kortikosteroid dan progesteron terhadap fungsi ereksi pada pasien BPH yang telah dilakukan operasi TURP dengan menggunakan The International Index of Erectile Function 5 (IIEF-5). Diharapkan fungsi ereksi dapat membaik lebih cepat dengan pemberian metilprednisolon dan progesterone segera setelah TURP. B. Rumusan Masalah 1. Apakah ada pengaruh pemberian metilprednisolon intra vena terhadap fungsi ereksi pasca operasi TURP pada pasien BPH? 2. Apakah ada pengaruh pemberian progesterone intra muskuler terhadap fungsi ereksi pasca operasi TURP pada pasien BPH? 3. Apakah ada perbedaan pengaruh antara metilprednisolon intra vena dan progesterone terhadap fungsi ereksi pasca operasi TURP pada pasien BPH? C. Tujuan Penelitian Mengetahui pengaruh pemberian metilprednisolon intra vena dan progesteron intra muskuler terhadap fungsi ereksi pasca operasi TURP pada pasien BPH. D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis 1.Menjelaskan manfaat pemberian metilprednisolon intra vena dan progesterone intra muskuler pada pasien pasca operasi TURP pada pasien BPH. 2. Menjelaskan efek pemberian metilprednisolon intra vena dan progesteron intra muskuler terhadap fungsi ereksi pasca operasi TURP pada pasien BPH. b. Manfaat Aplikatif Diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan apakah pemberian metilprednisolon atau progesteron diperlukan pada pasien segera setelah operasi TURP untuk memperbaiki fungsi ereksi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KAJIAN TEORI 1. Disfungsi Ereksi 1.1 Pengertian Ketidakmampuan mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk mencapai kepuasan seksual. Disfungsi ereksi (DE) merupakan salah satu disfungsi seksual yang banyak dialami oleh banyak pria dan pasangannya di seluruh dunia. Kira – kira ada sekitar 152 juta laki – laki didunia yang mengalami DE pada tahun 1995, dan jumlah ini akan terus meningkat sampai 170 juta, dan diperkirakan tahun 2025 akan terdapat 322 juta laki – laki yang mengalami DE. Insiden DE meningkat seiring dengan bertambahnya usia. The Massachusetts Male Ageing Study (MMAS) melaporkan bahwa 52% responden yang berumur 40-70 tahun dilaporkan menderita DE dengan berbagai tingkatan. Dari data yang dikeluarkan oleh MMAS, kira-kira 18-30 juta laki – laki Amerika mengalami DE. Namun demikian sampai saat ini tidak ada data DE pada laki – laki di Indonesia Salah satu aspek penting yang ikut menentukan kualitas hidup manusia ialah kehidupan seksual. Karena itu aktivitas seksual menjadi salah satu bagian dalam penilaian kualitas hidup manusia. Kehidupan seksual yang menyenangkan memberikan pengaruh positif bagi kualitas hidup. Sebaliknya, kalau kehidupan seksual tidak menyenangkan, maka kualitas hidup terganggu. Disfungsi ereksi atau kesulitan ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap atau terus – menerus untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan seksual yang memuaskan (Feldman, et al.2004). DE tidak dianggap sebagai bagian normal dari penuaan. Namun jumlahnya semakin bertambah sejalan dengan umur. Pada survey komunitas yang diadakan oleh Massachussets Male Aging Study (MMAS) pada laki – laki dengan rentang umur 40-70 tahun, 52% responder dilaporkan memiliki beberapa derajat DE. DE sempurna terjadi pada 10% responder. DE moderat terjadi pada 25% dan DE minimal pada 17% responder. Insiden DE moderat dan berat meningkat dua kali lipat pada umur 40 dan 70. Pada National Health and Social Life Survey (NHSLS), dimana menjadi sampel nasional mewakili populasi pria umur 18-59 tahun, 10% pria dilaporkan tidak dapat menjaga ereksi (serupa dengan proporsi pria dengan DE sempurna pada survey MMAS). Insiden tertinggi adalah pria dengan umur 50-59 tahun (21%) dan pria miskin (14%), perceraian (14%) dan kurang pendidikan (13%) (Fouad,et al.2001;John et al.2006;Mulhall,2008). Insiden terjadinya DE juga meningkat pada pria dengan keadaan medis tertentu seperti Diabetes Mellitus (DM), obesitas, gejala saluran kemih bagian bawah akibat BPH, penyakit jantung, hipertensi, dan penurunan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Merokok merupakan faktor resiko bermakna untuk perkembangan DE. Pengobatan untuk DM dan penyakit jantung merupakan faktor resiko penambah. Terdapat peningkatan resiko DE pada pria yang telah menjalani radiasi atau operasi kanker prostat dan pada mereka dengan cedera medulla spinalis bagian bawah. Penyebab psikologis DE adalah depresi, kemarahan, atau stress akibat kehilangan pekerjaan atau penyebab lainnya (Wespes, et al. 2013). 1.2 Anatomi Fisiologi Ereksi Penis terdiri dari tiga buah silinder jaringan erektil. Dua buah korpus kavernosum yang berpasangan pada sisi kanan dan satu buah dibawah perbatasan kedua korpus kavernosum disebut korpus spongiosum dan melingkupi urethra. Sebuah jaringan kolagen padat yang disebut tunika albugenia melingkari dan membungkus masing – masing silinder jaringan erektil. Ketiga silinder yang telah terbungkus oleh tunika albugenia dilingkari lagi oleh bungkus tambahan yang lebih longgar jaringannya dan disebut fascia Buck’s yang merupakan perpanjangan dari fascia colle’s. Kemudian baru dibungkus oleh kulit yang diinervasi syaraf – syaraf sensoris (Fouad, et al.2001; John et al.2006; Mulhall, 2008) (lihat gambar 2.1). Gambar 2.1. Anatomi Penis (dikutip dari An Atlas of Erectile Dysfunction 2 nd edition 2005) Struktur mikroanatomi dari korpus kavernosum adalah merupakan jaringan berongga (spongious) dari trabekula otot polos yang secara esensial merupakan struktur vaskuler. Rongga antar sinusoid dalam korpus kavernosum dikelilingi oleh otot polos yang berada pada stroma yang terdiri atas jaringan kolagen, elastin, pembuluh darah dan serabut syaraf. Dalam rongga trabekula dinding nya dilapisi oleh endothelium yang mensuplai darah dari cabang – cabang arteri helicinae penis. Struktur dari korpus spongiosum mirip dengan korpus kavernosum hanya saja rongga sinusoidnya lebih luas dan tunikanya lebih tipis dan akan menghilang pada glans penis (Fouad,et al.2001;John,et al.2006;Mulhall,2008). Gambar 2.2. Vaskularisasi Penis (dikutip dari An Atlas of Erectile Dysfunction 2 nd edition 2005) Penis mendapatkan aliran darah dari arteri pudenda interna yang kemudian menjadi arteri penis komunis. Selanjutnya arteri bercabang menjadi arteri kavernosa atau arteri sentralis, arteri dorsalis penis dan arteri bulbo-uretralis. Arteri penis komunis ini melewati kanal dari Alcock yang berdekatan dengan os pubis dan mudah mengalami cedera jika terjadi fraktur pelvis. Arteri sentralis memasuki rongga kavernosa kemudian bercabang – cabang menjadi arteriole helisin, yang kemudian arteriole ini akan mengisikan darah ke dalam sinusoid. Darah vena dari rongga sinusoid dialirkan melalui anyaman/pleksus yang terletak di bawah tunika albugenia. Anyaman/pleksus ini bergabung membentuk venule emisaria dan kemudian menembus tunika albugenia untuk mengalirkan darah ke vena dorsalis penis. Gambar 2.3. Neuroanatomi Penis (dikutip dari An Atlas of Erectile Dysfunction 2 nd edition 2005) Penis diinervasi oleh serabut saraf somatik dan otonom. Saraf somatik mensuplai penis dengan serabut sensoris dan muskulus skeletal perineal secara motorik, kontraksi muskulus skeletal perineal selama ereksi menyebabkan peningkatan tekanan corporeal body sehingga dapat mempertahankan ereksi, sedangkan serabut syaraf otonom yang terdiri atas saraf simpatis dan parasimpatis menyebabkan vasodilatasi dari corporeal body. Neurofisiologi ereksi ini bergabung pada nervus kavernosus yang merupakan cabang dari pleksus pelvis dan memasuki korpus kavernosum dan korpus spongiosum, persarafan somatik bertanggung jawab dalam sensasi dan kontraksi m.ischiokavernosus yang turut berperan dalam ejakulasi (emisis semen). Pusat inervasi somatomotor penis terletak pada nucleus Onuf yang terletak pada S2-S4, selanjutnya nervus pudendus dan nervus dorsalis penis untuk menimbulkan kontraksi muskulus ishiokavernosus dan muskulus bulbokavernosus. Pusat koordinasi ereksi di hypothalamus yaitu Medial Preoptic Area (MPOA). Dan Nukleus Paraventrikuler (PVN) di hypothalamus dan di hipokampus (Fouad, et al.2001;John,et al.2006;Mulhall,2008). 1.3 Mekanisme Terjadinya Ereksi Penis Pada penis dalam keadaan flaksid terjadi kontraksi dari otot polos penis, pelepasan noradrenalin dari sistem simpatis dengan aliran darah minimal (± 5ml/mnt). Apabila terdapat rangsangan seksual, rangsangan erotik, rangsangan taktil akan menimbulkan ereksi refleksogenik melalui jalur spinal, jika mendapatkan rangsangan secara visual, auditory, olfactory dan imaginative akan menimbulkan ereksi psikogenik melalui jalur sistem limbik,MPOA,PVN. Nocturnal Erection terjadi selama fase Rapid Eye Movement (REM) saat tidur, dimana saat itu terdapat aktivasi neuron kolinergik di tegmentum pontin lateral sedangkan neuron adrenergik dan serotonergik tidak mengalami aktivasi (Fouad,et al.2001;John et al.2006;Mulhall,2008). Gambar 2.4. Fisiologi Ereksi (dikutip dari An Atlas of Erectile Dysfunction 2 nd edition 2005) Rangsangan ini akan diterima oleh korda spinalis (S1,S2 dan S4) dan selanjutnya melalui syaraf kavernosa ke penis, kemudian terjadilah vasorelaksasi lokal pada penis. Peran nitrit oksida (NO) sangat diperlukan untuk mempertahankan kondisi ini. NO yang dihasilkan oleh non adrenergik non kolinergik (NANC) disel endotel bekerja sebagai neurotransmitter untuk menstimulasi enzim Guanylate Cyclase memproduksi cyclic Guanil Mono fosfat (c GMP) dari Guanil tri Phosfat (GTP) yang diperlukan untuk relaksasi otot polos. Dilatasi arteri dan arteriole ini meningkatkan aliran darah ke sinusoid menyebabkan peningkatan tekanan intra kavernosa mencapai 100mmHg sehingga penis mengalami fase ereksi penuh, apabila peningkatan tekanan intra kavernosa berjalan terus dan disertai kontraksi muskulus ischiokavernosum terjadilah fase ereksi rigid. Untuk menjaga supaya ereksi tidak terjadi terus menerus, maka c GMP harus dikurangi sehingga tidak terjadi relaksasi otot polos terus menerus. Di dalam sel –sel otot polos di dalam korpus kavernosum ada mekanisme tersendiri, yakni adanya enzim 5 fosfodiesterase (PDE-5) yang mengubah cGMP menjadi Guanil mono phosfat (GMP), sehingga jumlah cGMP menjadi berkurang sehingga penis pada fase flaksid (Fouad, et al.2001; John, et al.2006). Secara fungsional dikenal 3 macam ereksi: a. Ereksi reflek. Rangsang manual pada penis akan menghasilkan ereksi apabila tidak ada kerusakan myelum segmen sacral, radik saraf spinal, saraf pelvis dan saraf pudendalis atau kavernosa. Ereksi ini dapat ditingkatkan dengan pengkhayalan erotik. b. Ereksi nokturnal Normalnya setiap pria mendapatkan ereksi 4-6 kali selama tidur malam kebanyakan terjadi pada fase REM. Disfungsi ereksi pada penderita dengan ereksi nokturnal yang normal sangat mungkin disebabkan oleh psikogen. c. Ereksi psikogenik Ereksi psikogen timbul oleh karena rangsang visual, olfakturi, atau imajinasi. Ereksi psikogen makin menurun dengan bertambahnya usia. Ereksi psikogen dapat meningkatkan ereksi reflek demikian pula sebaliknya (Fouad, et al.2001;John, et al.2006;Mulhall,2008). 1.4 Etiologi dan Patofisiologi Disfungsi Ereksi Fungsi seksual yang normal digambarkan sebagai suatu proses biopsychosocial yang merupakan gabungan psikologis, sistem endokrin, sistem vaskuler, dan sistem neurologis. Disfungsi ereksi biasanya merupakan gabungan dari psikologis dan organik (Shamloul, et al.2013). Psikologis merupakan faktor yang mempengaruhi dalam jumlah yang cukup besar dari berbagai disfungsi ereksi, baik berdiri sendiri atau gabungan dengan organik. Sebagai faktor penting dalam hal psikogenik disfungsi ereksi adanya ketidakpuasan dalam berhubungan. Gangguan neurologis sering dihubungkan dengan disfungsi ereksi, termasuk multiple sclerosis, epilepsi lobus temporal, penyakit Parkinson’s, stroke, Alzhaimer’s, dan cedera spinalis. Pasien – pasien yang mendapat terapi operasi yang pada rongga pelvis (contohnya radikal prostatektomi) mempunyai resiko tinggi terjadinya kerusakan pada saraf kavernosus (Shamloul, et al.2013). Androgen memainkan peran penting dalam keinginan seksual dan mempertahankan ereksi tetapi mengalami keterbatasan dalam hal induksi seksual secara visual. Sebagai tambahan, testosteron penting dalam regulasi ekspresi sintesis NO (NOS) dan PDE5 dalam penis. Hiperprolaktinemia mempengaruhi disfungsi seksual, sehubungan dengan rendahnya konsentrasi testosterone (Shamloul, et al.2013). Beberapa faktor resiko lainnya dihubungkan dengan insufisiensi arteri penile, termasuk arterosklerosis, hipertensi, hiperlipidemia, merokok, diabetes mellitus, dan radiasi pelvis. Pada pasien hipertensi, disfungsi ereksi bisa mencapai 68% (Shamloul, et al.2013). Obat – obat psikotropika dan antihipertensi adalah obat – obatan yang sering berpengaruh dalam hal disfungsi ereksi. Antidepresan merupakan obat psikotropika yang sering dihubungkan dengan disfungsi ereksi. Thiazide, diikuti β–blockers merupakan obat – obatan antihipertensi yang menyebabkan disfungsi ereksi (Baumhakel, et al.2011). Berdasarkan studi epidemiologi, usia merupakan faktor resiko primer untuk disfungsi ereksi. Prevalensi terjadinya disfungsi ereksi dan beratnya, meningkat sesuai usia. Di Massachusetts Male Aging Study, 39% pria mulai mengalami gejala disfungsi ereksi pada usia 40 tahun. Prevalensi ini meningkat secara bertahap, mencapai 67% pada usia 70 tahun (Lewis, et al. 2010). 1.5 Diagnosis Disfungsi Ereksi Indikasi untuk dilakukan tes diagnostik spesifik pada pasien – pasien : - Pasien dengan gangguan ereksi primer (tidak disebabkan gangguan organik atau psikogenik) - Pasien usia muda dengan riwayat trauma pelvis atau perineal yang mendapatkan tindakan operasi - Pasien dengan kelainan penis (contoh : penyakit Peyronie’s, kelainan lengkung congenital) yang membutuhkan koreksi - Pasien dengan gangguan psikiatri atau psikoseksual - Pasien dengan gangguan endokrin kompleks - Tes spesifik juga bisa diindikasikan pada pasien atas permintaan sendiri atau permintaan pasangannya - Untuk alasan medikolegal (contoh : implant penis, kekerasan seksual) (Konstantinos, et al.2010). Karena pasein dengan resiko kelainan jantung dihubungkan dengan aktivitas seksual, the Second Princeton Consensus Conference membagi pasien – pasien dengan gangguan disfungsi ereksi ke dalam tiga kelompok. Kelompok dengan resiko rendah termasuk pasien dengan kurang dari tiga faktor untuk penyakit arteri koroner, angina stabil atau ringan (dievaluasi atau sedang dalam pengobatan), infark myocard, disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung (New York Heart Association class I) (Konstantinos, et al.2010). Pasien dengan keluhan disfungsi ereksi dilakukan anamnesa mengenai aktivitas seksual, psikologis pasien, serta pengetahuan pasien mengenai seksual. Penting juga untuk mengetahui obat – obatan yang sedang dikonsumsi oleh pasien saat ini, minum alkohol atau tidak, merokok, obat – obatan psikotropika, atau obat- obatan yang sebelumnya dipakai atau tindakan bedah yang pernah didapat (Shmaloul, et al.2013). Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien, yaitu pemeriksaan secara keseluruhan maupun lokal dilakukan untuk semua kasus disfungsi ereksi. Pemeriksaan lokalis merupakan kesempatan baik untuk tenaga medis memberikan edukasi kepada pasien, jika dibutuhkan, mengenai ukuran normal penis dan mencari tahu tentang kesalahpahaman pasien mengenai hubungan antara panjang nya penis, maskulinitas, dan disfungsi ereksi. Pemeriksaan gula darah puasa dan total testosteron merupakan pemeriksaan laboratorium dasar yang harus dilakukan. Karena gangguan vaskuler merupakan predisposisi kuat terjadinya disfungsi ereksi, bisa juga diperiksa profil lipid dan tes lainnya (Shamloul, et al.2013). 1.6 Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi Hanya beberapa jenis disfungsi ereksi yang harus diobati dengan pengobatan yang spesifik. Untuk pasien post traumatik, revaskularisasi mempunyai angka kesuksesan 6070%. Untuk penyebab hormonal, terapi pengganti testosterone efektif, tetapi jika digunakan setelah penyakit endokrin dapat disingkirkan atau bukan menjadi peyebab disfungsi ereksi (Wespes, et al.2003). 2. Benign Prostat Hyperplasia 2.1 Definisi Benign Prostat Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat. Hal ini mengacu pada stroma dan hyperplasia epitel yang terjadi di zona transisi periuretra dari prostat yang mengelilingi uretra. Manifestasi klinis dari BPH sebagai gejala saluran kemih bagian bawah yang terdiri dari gejala iritatif (urgensi, frekuensi, dan nokturia) dan gejala obstruktif (pancaran lemah dan terputus – putus, mengedan saat mulai berkemih, tidak lampias, hesitensi) (Miller, et al. 2011). 2.2 Epidemiologi BPH BPH merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Semakin bertambahnya umur harapan hidup, maka jumlah penderita BPH akan semakin bertambah pula, namun di Indonesia belum terdapat angka pasti jumlah pasien BPH dengan Lower urinary tract symptoms (LUTS). Sedangkan di Amerika, BPH ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria diatas umur 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria diatas 80 tahun. Sedangkan penelitian pada autopsy ditemukan 20% BPH terdapat pada pria usia 41-50 tahun, 50% BPH pada pria usia 51-60 tahun, 65% BPH pada pria usia 61-70 tahun, 80% BPH pada pria 71-80 tahun dan 90% BPH pada pria usia 81-90 tahun (McConnell, 2008). Sedangkan berdasarkan keluhannya, sekitar 25% laki – laki pada umur 55 tahun mengeluhkan gejala obstruksi traktus urinarius. Pada umur 75 tahun, 50% laki – laki mengeluhkan penurunan pancaran dan kaliber miksi (Presti,2004; Roehrborn,et al.2002). 2.3 Anatomi Prostat Berat prostat normal 18g, dengan ukuran panjang 3cm, lebar 4cm, dan tebal 2cm yang dilalui oleh uretra. Prostat berbentuk ovoid yang memiliki bagian anterior, posterior, dan permukaan lateral, dengan puncak menyempit dan dasar yang luas yang berdekatan dengan kandung kemih. Prostat dilapisi oleh kapsul yang terdiri dari kolagen, elastin dan otot halus (Walsh, et al.2012). Prostat dibentuk oleh 70% kelenjar dan 30% stroma fibromuskular. Uretra berjalan di sepanjang prostat dan biasanya dekat pada bagian anterior. Dibatasi oleh sel epitel transisional, yang mana meluas sampai kelenjar prostatika. Kelenjar prostat terbagi menjadi zona yang berbeda, yaitu zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona preprostatik sfingter dan zona anterior. Secara histopatologik kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiri dari otot polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyangga yang lain (Walsh et al.2012). Prostat menghasilkan cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat.Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat meurpakan ± 25% dari seluruh volume ejakulat (Walsh, et al.2012). Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatika. Pleksus prostatikus (pleksus pelvikus) menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis S2-4 dan simpatik dari nervus hipogastrikus (T10-L2). Stimulasi parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsang simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsul prostat, dan leher buli – buli. Di tempat – tempat itu banyak terdapat reseptor adrenergik – α. Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos tersebut (Walsh, et al.2012). Jika kelenjar ini mengalami hyperplasia jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih. Gambar 2.5. Zona – zona pada prostat (diambil dari Walsh P.C, et al: Campbell’s Urology, 10 th edition, 2012) 2.4 Patofisiologi BPH Prostat tumbuh membesar secara bertahap setelah umur 50 tahun keatas. Setelah umur 70 tahun, sekitar 8 dari 10 laki – laki mengalami pembesaran prostat (McConnell, 2005). Pembesaran prostat melibatkan faktor hormonal yang terjadi dalam tipe jaringan berbeda yaitu otot dan glandular. Faktor hormonal tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda pada masing – masing laki – laki dewasa (Roehrborn, et al.2002). Pertumbuhan prostat terjadi melalui dua cara. Cara pertama, multiplikasi sel disekitar uretra, sedangkan cara kedua melalui pertumbuhan lobus medius dimana sel – sel prostat tumbuh mendesak ke arah uretra daan daerah bladder neck (Greenstein, 2009). Jumlah sel dan volume dari suatu organ, termasuk prostat tergantung pada keseimbangan antara proliferasi sel dan kematian sel. Sebuah organ dapat membesar tidak hanya disebabkan oleh meningkatnya proliferasi sel, tetapi dapat juga disebabkan oleh menurunnya kematian sel. Meskipun androgen dan faktor pertumbuhan pada sebuah model eksperimen menstimulasi proliferasi sel, tetapi proliferasi sel yang menyebabkan pembesaran kelenjar prostat pada manusia masih menjadi pertanyaan, sebab tidak secara jelas terjadi proses proliferasi yang aktif. Androgen tidak hanya dibutuhkan untuk proses proliferasi yang normal dan diferensiasi dan kelenjar prostat saja, tetapi juga secara aktif menghambat kematian sel. Androgen adalah hormon seks pria yang amat penting pada proses pertumbuhan dan perkembangan organ aksesori pria serta pertumbuhan BPH. Adanya hormone Luteinizing Hormon Releasing Hormon (LHRH) yang dihasilkan oleh hipotalamus merangsang hipofisis untuk menghasilkan Luteinizing Hormon (LH) (gambar 2.1). LH ini kemudian merangsang sel Leydig dalam testis untuk mensekresi hormon testosteron dan pregnolon yang bersifat reversibel. Testosteron adalah androgen utama yang menstimulasi pertumbuhan kelenjar prostat. Testosteron diproduksi oleh tubuh setiap harinya berkisar antara 6 mg hingga 7 mg. Dari keseluruhan testosterone yang diproduksi oleh tubuh, 95% testosteron diproduksi oleh sel leydig, sedangkan 5% diproduksi oleh kelenjar adrenal. Testosteron kemudian mengalami proses reduksi menjadi dehidrotestosteron (DHT) oleh enzim 5 α reduktase, atau berubah menjadi estrogen oleh pengaruh enzim aromatase, dan proses ini bersifat irreversible. DHT ini lebih kuat afinitasnya terhadap androgen reseptor daripada testosterone di dalam inti sel. Setelah berikatan dengan androgen reseptor akan mempengaruhi deoxyribo nucleic acid (DNA) dalam inti sel, kemudian ditranskripsi menjadi messenger ribo nucleic acid (mRNA ) selanjutnya terbentuk protein growth factor dan PSA. Growth factor inilah yang menjadikan prostat tumbuh menjadi besar. Peranan testosterone ini cukup besar terhadap prostat. Hal ini terbukti apabila anak laki – laki yang dilakukan kastrasi sebelum dewasa, maka prostatnya tidak akan tumbuh menjadi BPH pada usia lanjut (Roehrborn,et al.2002). Meskipun diketahui bahwa androgen memiliki peranan yang penting dalam perkembangan prostat yang normal, tetapi testosterone atau DHT tidak pernah terbukti berperan secara langsung sebagai mitogen pertumbuhan BPH pada pria berusia tua. Hal ini dibuktikan pada kultur sel epitel prostat, yang mana hormon tersebut tidak pernah memiliki efek mitogenik (Hayward, et al.2009; Brosman, 2009). Gambar 2.6. Peran androgen terhadap pertumbuhan prostat (diambil dari Walsh P.C, et al: Campbell’s Urology, 10th edition, 2012) Hiperplasia prostat mengakibatkan peningkatan tahanan outflow urine pada daerah bladder neck akibat gangguan mekanisme pembukaan bladder neck sewaktu miksi. Hiperplasia prostat juga menyebabkan perubahan fungsi buli – buli. Peningkatan tekanan detrusor diperlukan untuk tetap mempertahankan pancaran miksi normal pada keadaan peningkatan tahanan outflow urine. Perubahan fungsi detrusor akibat obstruksi dan perubahan sistem saraf buli – buli pada usia tua menyebabkan beberapa keluhan utama frequency, urgency, dan nocturia (Claus,et al.2007). Korelasi antara besarnya prostat dengan gejala gangguan miksi dan residual urin tidak jelas. Prostat yang besar tidak selalu mengakibatkan gangguan miksi, sebaliknya pada fibrotik prostat dimana prostatnya kecil dapat timbul gangguan miksi yang hebat (Claus, et al. 2007). (lihat gambar 2.5) Buli – buli memompakan urine ke luar tubuh harus berkontraksi lebih kuat untuk mengimbangi tahanan outflow pada bladder neck. Seiring dengan ini maka otot detrusor buli – buli mengalami hipertrofi, akibatnya terbentuk trabekula, cellula dan divertikula. Sedangkan tekanan di dalam buli – buli dapat meningkat dari 20-40 cm air menjadi 50100cm air atau lebih hingga melampaui tahanan outflow. Keadaan ini kita sebut masa kompensasi. Bila proses berlangsung terus dan tahanan outflow meningkat, maka daya kontraksi dan tekanan di dalam buli – buli meningkat lebih tinggi lagi untuk mengimbangi daya tahanan outflow. Pancaran urine semakin lama semakin lemah, aliran urine kecil sehingga penderita harus menunggu sebentar untuk memulai miksi. Pada suatu saat daya kontraksi otot detrusor melemah, masa kontraksi menjadi lebih pendek, otot detrusor menipis sehingga terjadi masa dekompensasi. Pada masa dekompensasi daya pompa buli – buli untuk mengalirkan urine keluar tubuh lebih kecil dari pada daya tahanan outflow, sehingga pengosongan buli – buli tidak sempurna dan terdapat sisa urine (residual urine) di dalam buli – buli. Pada masa dekompensasi ini sisa urine semakin lama semakin bertambah banyak. Dengan demikian daya tamping dari buli – buli jadi lebih kecil. Hajat miksi jadi lebih sering, sedangkan daya kontraksi otot detrusor sudah melemah. Penderita harus mengejan untuk miksi, tetapi pancaran urine tetap lemah, aliran urine semakin kecil, menetes dan akhirnya pengeluaran urine menjadi tertahan dari subtotal menjadi total. Ada dua macam masa dekompensasi yaitu masa dekompensasi akut dan masa dekompensasi kronis. Pada masa dekompensasi kronis buli – buli membesar dan meregang dengan hebatnya sehingga daya kontraksi menghilang dan mengakibatkan overflow incontinence (Claus, et al.2007). Secara histopatologis, BPH ditandai dengan peningkatan jumlah sel – sel epithelial dan stromal di daerah periuretra prostat. Peningkatan jumlah sel disebabkan oleh proliferasi epithelial dan stromal atau gangguan program kematian sel (impaired programmed cell death) yang mengakibatkan akumulasi seluler (celluler accumulation). Hormon androgen, estrogens, interaksi epitel stromal, growth factors, dan neurotransmitter mempunyai peran, baik secara sendiri – sendiri ataupun kombinasi pada proses hyperplasia prostat (Claus, et al.2007) Pertumbuhan BPH memerlukan androgen testikular selama pertumbuhan prostat, saat pubertas, dan penuaan. Pasien yang menjalani kastrasi atau terdapat kelainan genetik yang menyebabkan gangguan produksi androgen terbukti prostat tidak tumbuh menjadi BPH. Dari beberapa penelitian, ditemukan tidak ada kaitan yang jelas antara kadar androgen di dalam serum dengan ukuran prostat. Di dalam prostat, membrane nucleus (nuclear membrane) mengikat enzyme steroid 5α – reductase untuk mengubah hormone testosterone menjadi dehydrotestosteron (DHT), yang merupakan androgen utama prostat (McConnell, 2005). Sembilan puluh persen androgen prostat berbentuk DHT, yang merupakan derivat utama dari androgen testicular. Sedangkan androgen adrenal menyumbangkan 10% dari keseluruhan androgen prostat. Di dalam sel, kedua hormon baik androgen testosteron maupun DHT menempel pada androgen receptor protein (AR). Androgen DHT lebih potensial dari pada testosterone karena lebih tinggi afinitasnya (affinity) terhadap AR. Apalagi komplek DHT – reseptor lebih stabil dari pada komplek testosterone – receptor. Komplek hormon – reseptor ini kemudian menempel pada spesifik DNA yang terdapat di dalam nucleus, yang mengakibatkan peningkatan transcription of androgen – dependent genes dan selanjutnya akan menstimulasi sintesis protein. Sedangkan androgen withdrawal dari androgen – sensitive tissue menyebabkan penurunan sintesa protein. Disamping inaktivasi key androgen – dependent genes (misalnya prostate specific antigen), androgen withdrawal menyebabkan aktivasi spesifik gen yang terlibat dalam program kematian sel. Walaupun peran androgen penting dalam pertumbuhan prostat normal dan sekresi fisiologis, namun tidak terdapat bukti bahwa testosterone maupun DHT memberikan pengaruh langsung sebagai mitogen pertumbuhan prostat pada pria usia lanjut. Namun demikian , beberapa faktor pertumbuhan dan reseptornya diatur oleh androgen. Sehingga, peran testosterone dan DHT di dalam prostat adalah sebagai mediator tidak langsung melalui autocrine dan paracrine pathways (Claus, et al.2007). Organ prostat tidak seperti organ yang lain dalam hal kemampuannya untuk merespon androgen. Pada prostat, kadar AR tetap tinggi hingga lanjut usia. Terdapat bukti bahwa kadar AR lebih tinggi pada jaringan hyperplasia dibandingkan jaringan yang normal. Peningkatan ekspresi AR pada aging prostate mengakibatkan pertumbuhan prostat berlangsung terus dan kematian sel menurun, walaupun terdapat penurunan kadar androgen di sirkulasi perifer dan kadar DHT prostat normal (Claus, et al.2007). Konsentrasi DHT pada prostat tidak meningkat pada BPH. Pada beberapa penelitian juga meninjukkan bahwa kadar DHT hyperplasia prostat sama dengan prostat normal. Namun demikian, kadar DHT dan AR yang tetap tinggi pada usia lanjut menyebabkan mekanisme androgen – dependent cell growth tetap berlanjut. Tipe 2 5αreductase berperan untuk pertumbuhan normal prostat dan juga pada hyperplasia prostat. Sedangkan peran tipe 1 5α-reductase pada pertumbuhan prostat normal dan abnormal masih diteliti lebih lanjut. Kadar estrogen pada prostat juga meningkat pada pasien BPH. Pasien BPH dengan volume yang lebih besar mempunyai kadar estrogen perifer yang lebih besar pula. Namun demikian peran estrogen pada pasien BPH tidak sejelas peran androgen (Claus, et al.2007). Etiologi BPH belum diketahui secara tuntas tetapi diperkirakan banyak faktor dan kontrol hormonal mempengaruhi timbulnya BPH. Prostat disusun oleh komponen stroma dan epitel, masing – masing atau kombinasi diantara keduanya akan dapat memunculkaan gejala BPH. Masing – masing komponen tersebut dapat menjadi target terapi BPH. Peran stimulasi adrenergic menyebabkan kontraksi otot polos prostat. Blokade α-adrenergik pada pasien BPH mempengaruhi penurunan contractile protein gene expression, khususnya smooth muscle myosin heavy chain (Claus, et al.2007). Regulasi pertumbuhan prostat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah sinyal dari dalam prostat sendiri. Sedangkan faktor ekstrinsik terdiri dari somatic,, testis, lingkungan,dan genetik (Lee, 2010). a. Faktor ekstrinsik Testis merupakan faktor dari luar yang paling berperan pada pengaturan pertumbuhan prostat. Testis menghasilkan 3 substansi yang penting yaitu testosterone, estrogen, dan faktor testikuler non androgenik. Meskipun androgen tidak menyebabkan BPH, tetapi perkembangan prostat memerlukan androgen selama pubertas dan usia lanjut. Testosteron sebagian besar diproduksi oleh testis (90%) dan sebagian kecil oleh kelenjar adrenal (10%). Testosteron mengalami metabolism di membrane nucleus sel prostat menjadi DHT oleh enzim 5αreductase. DHT berikatan dengan reseptor androgen membentuk komplek AR yang mengikat DNA spesifik di nucleus sel menyebabkan peningkatan transkripsi gen dan merangsang sintesis protein GF yang mendorong pertumbuhan sel prostat (Roehrborn, et al.2007;Boyle, et al.2001). Setelah testosterone dan DHT, estrogen atau estradiol adalah hormone steroid ketiga yang diduga berperan pada pathogenesis BPH. Estrogen terutama dihasilkan oleh proses aromatase jaringan lemak, yang mengatur kerja androgen dengan mengubah sensitifitas prostat terhadap androgen. Peningkatan sejumlah kecil estrogen menyebabkan peningkatan jumlah reseptor androgen dan ukuran prostat. Pada percobaan binatang anjing diduga estrogen berperan pada pathogenesis BPH dengan merangsang timbulnya reseptor androgen, merubah metabolism steroid sehingga kadar DHT didalam prostat meningkat, menghambat kematian sel dan merangsang produksi kolagen stroma. Sedangkan pada manusia hal ini belum jelas (Roehrborn,et al,.007; Boyle,et al. 2001; Presti,2004). Peran faktor testikuler non androgen pada pathogenesis BPH masih belum jelas. Hal ini berdasarkan beberapa hipotesis bahwa BPH terjadi pada laki – laki tua dengan kadar androgen rendah, penelitian pada tikus menunjukkan bahwa testis menghasilkan faktor stimulasi pertumbuhan prostat yang berbeda dengan androgen. Cairan spermatocele, dan plasma epididimis manusia dapat merangsang pertumbuhan sel stroma prostat (Roehrborn, et al. 2007;Lee, et al. 2010). Faktor somatik (non testikuler) yang berperan pada pertumbuhan prostat adalah komplek hypothalamus – hypophysis dan neurotransmitter. Hypothalamus – hypophysis menghasilkan sejumlah hormone antara lain GF, prolaktin, gonadrotroopin releasing hormone (GnRH). GF berperan pada pertumbuhan prostat melalui Insulin Growth Factor 1 (IGF-I) yang diproduksi di hepar sedangkan peran prolaktin pada pertumbuhan prostat masih belum jelas meskipun terdapat reseptor prolaktin di prostat manusia. Komplek hypothalamus – hypophysis juga mempengaruhi pertumbuhan prostat secara tidak langsung melalui testis dan adrenal yang menghasilkan hormone steroid. Neurotransmitter berperan pada awal perjalanan sinyal intraseluler di sel otot polos prostat yang berhubungan dengan permukaan reseptor sel sehingga terjadi kontraksi (Roehrborn,et al.2007; Lee,et al.2010). Faktor lingkungan yang berperan pada pathogenesis BPH adalah diit dan mikroorganisme (respon imun). Pada orang tua, prostat mudah diinfiltrasi oleh limfosit dan makrofag. Limfosit T akan melepaskan sitokin seperti Interleukin 1(IL-1) dan Interleukin 6 (IL-6) yang merangsang pembentukan matrik kolagen sehingga terjadi proliferasi sel epitel dan stroma prostat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diit rendah lemak, tinggi serat, padi, tumbuhan polong, sayuran yang merupakan sumber lignan akan menurunkan kadar estrogen sehingga mencegah terjadinya BPH (Lee,et al.2010). Sampai sekarang peranan faktor genetik pada BPH belum jelas. Beberapa penelitian menunjukkan DNA yang abnormal mungkin berperan pada pathogenesis BPH yaitu gen p53 tumor suppressor dan p27 (Lee,et al.2010). b. Faktor intrinsik Faktor intrinsik adalah faktor yang terdapat di dalam prostat yaitu interaksi antara stroma dan epitel. Cunha dkk membuktikan bahwa terdapat keseimbangan epitel – stroma di dalam prostat. Sel stroma dengan pengaruh androgen akan mengatur pertumbuhan sel epitel atau sel stroma lain melalui mekanisme parakrin atau autokrin dengan mengeluarkan GF. Interaksi antara GF dan hormon steroid akan merubah keseimbangan antara proliferasi sel dengan kematian sel terprogram sehingga terjadi BPH. GF yang berperan pada proliferasi sel adalah basic fibroblastic growth factor (bFGF), epidermal growth factor (EGF), keratinocyte growth factor (KGF), dan insulin – like growth factor (IGF) sedangkan yang menghambat proliferasi sel adalah transforming growth factor β (TGF β) (Wein, et al. 2001; Roehrborn, et al.2007). Ukuran prostat tidak berkaitan dengan derajat obstruksi. Terdapat beberapa faktor lain yang lebih berperan terhadap timbulnya symptoms klinis selain dari pada ukuran prostat yaitu dynamic uretral resistance, kapsul prostat, dan anatomic pleomorphism. Stimulasi pada sistem saraf adrenergic menyebabkan peningkatan retensi dinamik uretra prostatika. Blokade terhadap stimulasi tersebut dengan α-receptor blockers menyebabkan berkurangnya resistensi uretra prostatika. Namun demikian, α-blocker tidak mengurangi passive tension di dalam prostat (Claus,et al.2007). Terdapat dua komponen penting yang menimbulkan bladder outlet obstruction karena BPH yaitu komponen static dan komponen dinamik (Roehrborn, et al. 2007; Wein, et al.2001; Nordling, et al.2001). a. Komponen statik Komponen statik terjadi karena pembesaran jaringan prostat yang menyumbat ke dalam uretra atau bladder neck sehingga menyebabkan tahanan bladder outlet yang tinggi. b. Komponen dinamik Komponen dinamik disebabkan oleh peningkatan tonus otot polos prostat yang dipengaruhi oleh saraf otonom khususnya dari sistem saraf simpatik. Aktivasi reseptor alpha adrenergik mengakibatkan kontraksi otot polos stroma prostat. Sekitar 98% reseptor alpha adrenergik terdapat pada stroma prostat. Reseptor alpha adrenergik juga terdapat pada kapsul prostat dan bladder neck. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan pada uretra sehingga terjadi retensio urine. Dikatakan bahwa sekitar 40% peningkatan tekanan uretra pada penderita BPH diakibatkan oleh tonus alpha adrenergik (komponen dinamik). Menurut Shapiro dkk, 39% volume total prostat pada laki – laki dengan BPH terdiri atas jaringan otot polos. Prosentase ini bervariasi pada satu penderita dengan penderita yang lain dan tergantung pada aktifitas saraf simpatik. 2.5 Trans Uretral Resection of Prostat (TURP) Tindakan TURP merupakan prosedur pembedahan secara endoskopi melalui uretra dimaksudkan untuk menghilangkan bagian dari prostat yang menekan uretra dengan mereseksi jaringan dari pembesaran prostat. Prosedur TURP secara umum dilakukan pada posisi dorsal litotomi melalui uretra, baik dilakukan atau tidak kalibrasi, hal ini ditujukan agar baiknya passage resectoscope. Sebelum TURP dilakukan sistoskopi untuk mengevaluasi uretra, prostat dan buli. Pasien diseleksi untuk TURP yang memiliki gejala dan tanda klinis yang disebabkan bladder outlet obstruction oleh BPH karena tindakan ini menghilangkan obstruksi jaringan prostat. Kebanyakan pasien (90%) dilakukan TURP dikarenakan keluhan yang mengganggu seperti iritatif dan obstruksi yang berhubungan dengan BPH, Prostatism, LUTS, retensio urin. Dilakukan dibawah general anestesi atau sub arachnoid blok atau epidural blok berguna menutup interaksi pasien saat tindakan, kemudian surgical loop dari resectoscope dipakai untuk mereseksi jaringan prostat yang menyebabkan obstruksi atau membesar dengan dialiri cairan irigasi saat tindakan (Foster, et al.2004). Beberapa kesulitan TURP secara umum yang berkaitan dengan tindakan. Secara umum komplikasi terbagi menjadi tiga kategori : intraoperative, perioperative, dan morbiditas jangka panjang. Walaupun komplikasi secara keseluruhan hampir sama diantaranya ketiga periode waktu tersebut diatas sekitar 20%, namun penyebab komplikasi berbeda. Pada tahun 1960, persentase yang besar termasuk infeksi sistemik disebabkan pneumonia dan pyelonefritis, sedangkan tahun 1980 hingga 1990, retensi urin dan infeksi traktus urinarius merupakan komplikasi yang paling banyak, membandingkan angka mortalitas antara open prostatektomi dengan TURP didapatkan kelompok TURP lebih besar, kira – kira 3% (Foster, et al.2004). Terdapat beberapa komplikasi yang berpotensial terjadi saat TURP, perdarahan, perforasi kapsul prostat, peforasi buli, cedera hingga ke rectum dan sindroma TURP yang disebabkan absorbsi berlebihan cairan hipotonik dan dilusi hiponatremia. Perdarahan yang memerlukan transfusi intraoperatif umum nya lebih dari 2%, sindroma TURP 2% dan myocardial aritmia hanya 1%. Setelah berkembangnya waktu operasi menjadi lebih pendek dan baiknya cairan irigasi, serta persiapan transfuse sekarang ini sindroma TURP menjadi kurang dari 1% pasien (Foster, et al. 2004) Komplikasi perioperatif yang sering termasuk perdarahan, infeksi traktus urinarius dan retensi urin. Hal ini terjadi berkisar 7% dari pasien hingga rawat inap beberapa hari atau pasien meminta sampai penggantian kateter (Foster, et al.2004). Komplikasi jangka panjang sering termasuk infeksi traktus urinarius, obstruksi seperti kontraktur bladder neck, striktur uretra, inkontinensia, disfungsi ereksi, walaupun masih terus diperdebatkan apakah hal ini terjadi berhubungan dengan tindakan. Insiden disfungsi ereksi setelah TURP dilaporkan berbeda – beda (Foster, et al. 2004). Setelah TURP terjadi perkembangan reaksi inflamasi yang akan diikuti oleh granulasi jaringan dan stroma fibroblastic akan tergorganisir dengan baik dalam suatu proses perbaikan jaringan. Komplit reepitelisasi dan penyembuhan luka belum dapat diobservasi sebelum 12 minggu pertama penyembuhan luka. Tindakan TURP adalah partial thickness injuries karena berkenaan dengan panas. Respon penyembuhan luka uretra prostatika berlangsung secara relative tapi bukan berarti bebas dari kontraktur dan hal ini dapat disamakan seperti luka bakar derajat dua (Poulakis, et al. 2006). Seperti diketahui bahwa TURP merupakan gold standar untuk tindakan operasi untuk BPH. Namun tindakan ini bisa menyebabkan disfungsi ereksi yang akan dialami oleh pasien. Studi terdahulu menyebutkan bahwa terjadinya disfungsi ereksi antara 4% sampai 40%. Perbedaan angka yang mencolok ini bisa diakibatkan oleh karena metode yang digunakan untuk menilai DE ataupun lama waktu follow up dilakukan oleh peneliti. Sejumlah pasien mengalami DE temporer paska TURP dan kembalinya terhadap kemampuan ereksinya dalam 1-6 bulan paska TURP (Taher, 2004; Poulakis , et al.2006). Penyebab DE pasca TURP belum diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan karena kerusakan neurovaskuler bundle karena trauma panas pada saat dilakukan tindakan (Taher,2004;Poulakis ,et al. 2006). Nervus simpatis dan parasimpatis yang bergabung menjadi plexus pelvikus berjalan ke arah posterolateral ke dalam kelenjar prostat yang terkenal dengan nama neurovascular bundle dari walsh yang bisa mengalami kerusakan saat dilakukan radical prostatektomi ataupun TURP. Untuk membantu mengidentifikasi kemungkinan adanya perubahan fungsi ereksi beberapa ahli telah merancang suatu indeks fungsi ereksi dan diantaranya adalah Indeks Internasional untuk Fungsi Ereksi ke – 5 (IIEF -5). Indeks ini terdiri atas 5 butir pertanyaan, dan tiap – tiap pertanyaan diberi nilai 0 sampai 5. Jika penjumlahan dari 5 pertanyaan hasilnya kurang atau sama dengan 21, menunjukkan adanya gejala disfungsi ereksi IIEF-5 dievaluasi pada keadaan pasien masih seksual aktif dalam jangka waktu 6 bulan terakhir (Taher,2004; Poulakis ,et al.2006). 3 Kortikosteroid 3.1 Definisi Kortikosteroid disebut juga sebagai glucocorticoids atau steroids, merupakan hormon yang diproduksi oleh korteks adrenal, bagian dari glandula adrenal. Kortikosteroid merupakan obat yang banyak dan luas dipakai dalam dunia kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Hormon - hormon ini mempengaruhi hampir seluruh organ – organ tubuh. Kortikosteroid eksogen digunakan sebagai obat – obatan pada beberapa kasus atau gangguan ( Abraham, et al.2002). Sekresi kortikosteroid dikontrol oleh hypothalamus, pituitary anterior, dan korteks adrenal (the hypothalamic – pituitary – adrenal, HPA). Kortikosteroid disekresi langsung ke aliran darah. Korteks adrenal memproduksi hampir 30 hormon steroid, yang mana dibagi menjadi glucocorticoids, mineralocorticoids, dan adrenal sex hormones (Abraham , et al.2002). 3.2 Farmakologi Kortikosteroid merupakan terapi anti inflamasi yang paling efektif untuk penyakit inflamasi kronis. Efek dominan dari kortikosteroid adalah untuk mematikan beberapa gen inflamasi (sitokin, molekul adhesi, enzim – enzim inflamasi, reseptor dan protein) yang diaktifkan selama proses inflamasi (Peter , 2006). a. Struktur dan Mekanisme Glukokortikoid dibentuk oleh gugus hydroxyl pada molekul steroid carbon – 11. Cortisone dan prednisone merupakan senyawa 11-keto. Kortisol dan prednisone dibentuk di hati, sesuai senyawa 11-β hydroxyl. Kortikoseteroid selanjutnya berperan didalam sel bahkan setelah menghilang dari sirkulasi, dan produk – produk dari kortikosteroid ini (seperti protein spesifik) mungkin muncul setelah kortikosteroid menghilang dari sirkulasi (Priyanka , et al.2008). b. Farmakodinamik Secara sistematis penggunaan kortikosteroid diklasifikasikan sebagai short acting, intermediate acting dan long acting (Tabel 1) berdasarkan durasi supresi ACTH. Hal yang penting diingat adalah walaupun kortikosteroid yang mempunyai aktivitas mineralokortikoid rendah (contoh hydrocortisone) mungkin mempunyai efek mineralokortikoid ketika digunakan pada dosis yang tinggi (Pyranka, et al.2008). Tabel 2.1. Klasifikasi glukokortikoid berdasarkan durasi kerja Short acting (waktu paruh Intermediate acting ( waktu Long acting (waktu 8-12 jam) paruh 12-36 jam) paruh 36 -72 jam) Kortisol (hydrocortisone) Kortison Prednisolone, prednisone Triamcinolone Bethamethasone Dexametason Metilprednisolon Kerja kortikosteroid 1. Glukokortikoid a. Metabolisme karbohidrat : glukokortikoid meningkatkan glukoneogenesis dan mempertahankan glukosa untuk jaringan penting seperti otak, otak, dan sel darah merah selama stress atau kelaparan. b. Metabolisme protein : keseluruhan efek adalah proses katabolik yang menyebabkan keseimbangan nitrogen berkurang dengan ditandai atrofi otot, osteoporosis, perlambatan pertumbuhan, atrofi kulit, peningkatan kerapuhan kapiler, memar. Penyembuhan luka terhambat. c. Deposit lemak : meningkat pada bagian bahu, wajah dan perut. d. Mempertahankan tekanan darah : glukokortikoid menambah reaktivi tas pembuluh darah ke substansi lain yang aktif seperti nor – epinefrin dan angiotensin II. e. Kerja anti – vitamin D: menurunkan absorbs kalsium dari usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di urin, berguna pada pengobatan hiperkalsemia pada sarkoidosis dan intoksikasi vitamin D. f. Keseimbangan cairan dan elektrolit :glukokortikoid menggunakan efek nya pada funsi tubular dan filtrasi glomerulus. g. Ekskresi urat melalui ginjal meningkat. h. Efek anti inflamasi dan imunosupresif : glukokortikoid menurunkan keluarnya sel – sel dan fungsi sel inflamasi dan permeabilitas pembuluh darah pada daerah inflamasi. Kortikosteroid juga menghambat sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan menghambat keluarnya asam arachidonat dari fosfolipid. Dengan mekanisme ini, glukokortikoid melindungi organ dari kerusakan dikarenakan reaksi defensive dan memproduksi reaksi ini pada saat stress (Priyanka , et al.2008). 2. Mineralokortikoid Mineralokortikoid terutama bekerja pada tubulus distal dan duktus collecting ginjal, disamping bekerja pada usus, kelenjar keringat dan liur, dimana menstimulasi reabsorbsi dari natrium dan ekskresi kalium dan ion hydrogen, yang menjaga keseimbangan elektrolit. Hiperaldosteron menyebabkan kelebihan natrium dengan konsekuensi keluarnya natrium ke ekstraseluler, normal nya konsentrasi natrium lebih banyak di plasma, hipokalemia dan alkalosis. Kekurangan mineralokortikoid menyebabkan kekurangan natrium, hiponatremia, hiperkalemia dan asidosis (Priyanka, et al.2008). Secara fisiologis sekresi kortisol pada sistem normal berkisar 6mg/m2/hari. Dosis maintenance glukokortikoid disesuaikan diatas perkiraan rata – rata sekresi sebagai bioavailabilitas dari kortisol dikurangi oleh asam lambung dan melalui metabolisme pertama di hati. Metilprednisolon sodium succinate (Solu – Medrol) diberikan dosis inisial 10-40mg, dapat ditambahkan sesuai kondisi dan respon, diberikan secara intravena atau bisa juga intramuscular. Bayi dan anak – anak dengan dosis tidak kurang dari 0,5mg/kg/24 jam. Hidrokortison oral sebagai dosis awal dapat diberikan 8-10mg/m2/hari, jika pasien dengan insufisiensi adrenal dapat diberikan dosis yang lebih tinggi 10-12mg/m2/hari (Priyanka, et al.2008). 3.3 Indikasi Penggunaan Kortikosteroid Kortikosteroid digunakan secara luas untuk mengobati berbagai kelainan. Karena obat – obat ini mempengaruhi aspek inflamasi dan respon imun, kortikosteroid digunakan untuk pengobatan secara luas dengan komponen inflamasi dan imunologi. Kegunaan kortikosteroid dapat diberikan pada gangguan sebagai berikut: a. Alergi atau gangguan hipersensitivitas, seperti reaksi alergi terhadap obat, transfusi darah, dan reaksi alergi pada kulit b. Gangguan kolagen, seperti systemic lupus erythematosus, scleroderma, dan periarteritis nodosa. Kolagen merupakan struktur dasar protein atau jaringan ikat, tendon, kartilago, dan tulang, dan terdapat pada hampir seluruh jaringan tubuh dan sistem organ. Gangguan kolagen ditandai dengan inflamasi pada jaringan tubuh. Gejala dan tanda tergantung pada bagian jaringan atau organ yang terkena dan beratnya proses inflamasi. c. Gangguan kulit dapat diobati dengan kortikosteroid sistemik termasuk dermatitis kontak akut, erythema multiforme, herpes zoster, lichen planus, pemphigus, kulit kemerahan akibat obat. d. Gangguan endokrin, seperti insufisiensi adrenal dan hyperplasia adrenal kongenital. Kortikosteroid diberikan untuk menggantikan hormon alami ( glukokortikoid dan mineralokortikoid) pada kasus insufisiensi dan penekanan kortikotropin ketika terjadi sekresi hyperplasia adrenal. Kondisi ini jarang dan persentasi nya kecil untuk penggunaan kortikosteroid. e. Gangguan gastrointestinal, seperti kolitis ulseratif dan enteritis reginal (Chron’s disease) f. Gangguan hematologi seperti tromboositopeni purpura atau anemia hemolitik g. Gangguan hepatik ditandai dengan edema, seperti sirosi dan asites h. Gangguan neoplasma, seperti leukemia akut dan kronis, Hodgkin’s disease, limfoma lainnya, dan multiple myeloma. Efektifitas kortikosteroid pada kondisi ini kemungkinan dari kemampuan kortikosteroid untuk menekan limfosit dan jaringan limfoid lainnya. i. Kondisi neurologis, seperti oedem cerebri, tumor otak, trauma spinal akut, dan myasthenia gravis j. Gangguan mata, seperti optik neuritis, oftalmia simpatetik, dan choriorenitis k. Transplantasi organ atau jaringan ( contoh ginjal, hati, sumsum tulang). Kortikosteroid menekan respon imun sel dan humoral dan membantu mencegah penolakan dari jaringan transplantasi. Terapi obat – obatan biasanya dilanjutkan sepanjang transplantasi jaringan. l. Gangguan ginjal ditandai dengan edema, seperti sindroma nefrotik m. Gangguan pernafasan, seperti asma, status asmatikus, chronic obstructive pulmonary disease (COPD), dan gangguan inflamasi mukosa hidung (rhinitis). n. Gangguan rheumatic, seperti ankylosing spondylitis, bursitis akut dan kronik, arthritis gout akut, rheumatoid arthritis dan osteoarthritis o. Syok, kortikosteroid diindikasikan hanya untuk syok yang disebabkan oleh insufisiensi adrenokortikal, yang mana menyebabkan syok hipovolemik dan syok sepsis. Penggunaan kortikosteroid pada syok sepsis masih kontroversi, dan beberapa penelitian metaanalisis menyatakan bahwa kortikosteroid untuk pengobatan syok tidak ada keuntungannya. Kontraindikasi penggunaan kortikosteroid adalah infeksi jamur yang sistemik dan pasien yang hipersensitif terhadap kortikosteroid. Pasien dengan infeksi jamur, dengan pemberian kortikosteroid dapat memperberat infeksi, diabetes mellitus (kortikosteroid dapat menyebabkan peningkatan glukosa darah), ulkus peptikum, infeksi usus, hipertensi, gagal jantung, dan gagal ginjal (Abraham , et al. 2002). Metilprednisolon merupakan golongan steroid sintetis dari derivate glukokortikoid yang mempunyai aktivitas biologis untuk mengurangi efek anti inflamasi setelah terjadinya lesi (Nash HH,et al, 2002). Efek antiinflamasi dari metilprednisolon melalui berbagai cara yakni: 1. Menghambat produksi berbagai bahan inflamasi seperti kemotaksis, ensim lisosom 2. Menghambat aktivitas ensim phospolipase A, berikutnya akan menyebabkan penurunan produksi metabolit kaskade asam arakhidonat, kemudian akan menurunkan pembentukan radikal bebas 3. Menurunkan ekspresi TNF – α, menurunkan aktivitas dari nuklear faktor yang akan menurunkan respon inflamasi 4. PROGESTERON Progesteron adalah hormon steroid primer yang disekresi oleh sel – sel granulosit dan korpus luteum pada ovarium. Selama kehamilan, sumber utama dari progesteron juga datang dari plasenta. Pria juga memproduksi progesteron dari kelenjar adrenal dan testis, sebagai precursor testosterone. Pada wanita, hormone ini berperan pada perkembangan kelenjar payudara, ovulasi, implantasi embrio, dan mempertahankan kehamilan. Efek progesteron pada imunitas juga telah dilaporkan dan dipelajari dalam kehamilan, yang mana meningkatkan level dari hormon steroid, termasuk progesteron di produksi. Kehamilan dihubungkan dengan terhambatnya sinyal TH1 oleh sel T limfosit dan progesteron telah menunjukkan terhambatnya sel T, makrofag, dan aktifitas sel NK (Milani P, et al, 2010). Medroksiprogesteron asetat (MPA) dan progesteron mikronisasi oral digunakan secara luas bersama dengan estrogen pada terapi penggantian hormone pasca menopause dan keadaan lain yang membutuhkan efek progestasional dan dalam bentuk depo, MPA digunakan sebagai kontrasepsi injeksi jangka panjang, untuk kasus – kasus pencegahan abortus, penundaan haid, korpus lutheal support (Milani P, et al, 2010) Dilaporkan progesterone diproduksi di susunan saraf pusat dan susunan saraf tepi, dan dianggap sebagai suatu neurosteroid. Ensim yang bertanggung jawab dalam biosintesis progesterone terlokalisir di glia dan sel Schwann pada susunan saraf pusat. Biosintesis progesteron terjadi di mitokondria, sintesis progesteron di susunan saraf mempunyai peran penting dalam regulasi pembentukan myelin dan modulasi fungsi reseptor GABA type A (Milani P,et al,2010). Progesteron mungkin merangsang mielinisasi dengan cara merangsang aktivasi ekspresi kode gen untuk transkripsi protein myelin dan secara tidak langsung meregulasi pembentukan myelin dengan cara mempengaruhi ekspresi gen pada neuron dan mendukung regenerasi neuron dengan beberapa cara antara lain : mengurangi inflamasi, edema dan apoptosis, dengan cara merangsang meningkatkan hidup neuron melalui pembentukan selubung myelin baru (Milani P,et al,2010). Gambar 2.7. Mekanisme efek stimulasi dari progesteron dalam mielinisasi sel Schwann dari regenerasi sel saraf tepi (diambil dari Milani P, et al, 2010). B. KERANGKA KONSEPTUAL Umur Diabetes Mellitus Benign Prostat Hhyperplasia (BPH) Gagal ginjal kronis Hipertensi Pemakaian obat psikotropika Trauma spinal TURP Cedera saraf tepi (neurovaskular bundle) Disfungsi Ereksi METILPREDNISOLON PROGESTERON TNF – α GABA type A Aktivasi sintesis mielin Respon inflamasi Respon inflamasi, edema & apoptosis Jaringan fibrotik Jaringan fibrotik Perbaikan fungsi ereksi lebih cepat Gambar 2.8 Kerangka konseptual Keterangan : ----- Tidak diteliti Diteliti Regulasi pertumbuhan prostat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik terdiri dari somatik, testis, lingkungan dan genetik. Faktor intrinsik adalah faktor yang terdapat di dalam prostat yaitu interaksi antara stroma dan epitel (Taher,2004; Poulakis, et al.2006) Interaksi antara stroma dan epitel dan faktor ekstrinsik mempengaruhi growth factor dan terjadi proliferasi sel sehingga terjadi BPH. Seperti diketahui bahwa TURP merupakan gold standar untuk tindakan operasi untuk BPH. Namun tindakan ini bisa menyebabkan disfungsi ereksi yang akan dialami oleh pasien. Studi terdahulu menyebutkan bahwa terjadinya disfungsi ereksi antara 4% sampai 40%. Perbedaan angka yang mencolok ini bisa diakibatkan oleh karena metode yang digunakan untuk menilai DE ataupun lama waktu follow up dilakukan oleh peneliti. Sejumlah pasien mengalami DE termporer pasca TURP. Penyebab DE pasaca TURP belum diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan karena kerusakan neurovaskuler bundle karena trauma panas pada saat dilakukan tindakan (Taher,2004; Poulakis, et al. 2006). Beberapa faktor yang diduga sebagai prediktor terjadinya DE adalah : umur, lama menderita diabetes, hipertensi, gagal ginjal kronik, hiperkolesterolemia, penggunaan obat psikotropika (Berardis, et al.2002; John, et al.2006; Mulhall,2008). Penelitian ini secara umum untuk mengetahui adanya perbedaan fungsi ereksi sebelum dan setelah dilakukan tindakan TURP pada pasien BPH dengan IIEF – 5. Pemberian Methylprednisolon intravena diharapkan dapat memperbaiki fungsi ereksi lebih cepat. Efek dominan dari kortikosteroid adalah untuk mematikan beberapa gen inflamasi (sitokin, molekul adhesi, enzim – enzim inflamasi, reseptor dan protein) yang diaktifkan selama proses inflamasi (Peter , 2006). Glukokortikoid menurunkan keluarnya sel – sel dan fungsi sel inflamasi dan permeabilitas pembuluh darah pada daerah inflamasi. Kortikosteroid juga menghambat sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan menghambat keluarnya asam arachidonat dari fosfolipid. Dengan mekanisme ini, glukokortikoid melindungi organ dari kerusakan dikarenakan reaksi defensive dan memproduksi reaksi ini pada saat stress (Priyanka , et al.2008) Sintesis progesteron berperan penting dalam regulasi pembentukan myelin dan modulasi fungsi reseptor GABA tipe A. Progesteron merangsang mielinisasi dengan cara merangsang aktivasi ekspresi kode gen untuk transkripsi protein myelin dan secara tidak langsung meregulasi pembentukan myelin dengan cara mempengaruhi ekspresi gen pada neuron dan mendukung regenerasi neuron dengan beberapa cara antara lain : mengurangi inflamasi, edema dan apoptosis, dengan cara merangsang meningkatkan hidup neuron melalui pembentukan selubung myelin baru (Milani P, et al, 2010). C. HIPOTESIS PENELITIAN 1. Ada pengaruh pemberian metilprednisolon intra vena terhadap fungsi ereksi pasca operasi TURP pada pasien BPH. Pemberian metilprednisolon akan memperbaiki fungsi ereksi pasien pasca operasi TURP. 2. Ada pengaruh pemberian progesteron intra muskular terhadap fungsi ereksi pasca operasi TURP pada pasien BPH. Pemberian progesterone akan memperbaiki fungsi ereksi pasien pasca operasi TURP. 3. Ada perbedaan pengaruh pemberian metilprednisolon intra vena dan progesterone terhadap fungsi ereksi pasca operasi TURP pada pasien BPH. BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian Penelitian ini merupakan studi eksperimen klinis dengan menggunakan rancangan penelitian Post test-Only Control Design Post Test Pasien BPH: Dibagi 3 Kelompok Perlakuan 1: Methylprednisolone IV Fungsi Ereksi Perlakuan 2: Progesteron IM Fungsi Ereksi Perlakuan 3: Kontrol Fungsi Ereksi Gambar 3.1 Desain Penelitian B. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di bagian bedah sub bagian urologi RSDM Surakarta. Waktu penelitian : Desember 2016 – Mei 2017 C. Populasi Penelitian Semua penderita BPH yang dilakukan operasi TUR-P di sub bagian urologi RSUD Dr. Moewardi Surakarta. D. Sampel dan Teknik Sampling Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah insidental sampling, yaitu semua dari populasi yang secara insidental bertemu dengan peneliti digunakan sebagai sampel dan subjek tersebut telah disesuaikan dengan kriteria restriksi. E. Besar Sampel Besar subjek ditentukan dengan menggunakan rumus subjek untuk penelitian crossectional study (subjek tunggal untuk uji hipotesis suatu populasi) yaitu: 𝑛 = 38 Keterangan: N : Jumlah subjek minimal yang diperlukan Zα : Tingkat kepercayaan 95% Z=1,96 Zβ : Power 80% P : R / (1+R) Q : 1 – P8 R : Perkiraan Odds Ratio = 3 Berdasarkan hasil tersebut, sampel minimal yang akan digunakan adalah 38 sampel, yang selanjutnya akan dibagi menjadi 3 kelompok secara random dengan rincian masingmasing kelompok sebagai berikut: 1. Kelompok pasien BAP yang diberikan methylprednisolone IV sebanyak 13 sampel. 2. Kelompok pasien BAP yang diberikan Progesteron IM sebanyak 13 sampel. 3. Kelompok pasien BAP yang dijadikan kontrol sebanyak 13 sampel F. Kriteria Restriksi 1. Kriteria inklusi a. Pasien dengan diagnosis BPH dan dilakukan operasi TURP b. Pasien BPH dengan usia antara 50 sampai 70 tahun c. Pasien bersedia mengikuti penelitian dan mengisi informed consent d. Pasien BPH dengan fungsi ereksi yang normal sebelum dilakukan TURP. 2. Kriteria eksklusi a. Pasien BPH yang telah dilakukan operasi TURP sebelumnya b. Pasien yang dicurigai kanker prostat c. Pasien BPH dengan riwayat disfungsi ereksi sebelum dilakukan operasi TURP d. Pasien BPH dengan penyakit penyerta : 1) Hipertensi 2) Diabetes mellitus 3) Gagal jantung 4) Stroke 5) Trauma tulang belakang G. Alokasi Subjek Cara pengelompokan subjek yang mendapat kelompok kontrol dan perlakuan adalah dengan simple random sampling. Pasien yang datang kemudian diberi nomor urut, nomor 1 untuk perlakuan kelompok 1, nomor 2 untuk kelompok perlakuan 2, nomor 3 untuk kelompok perlakuan 3 dan berulang setelah nomor 3, hingga subjek terpenuhi. H. Variabel Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah variabel fungsi ereksi pasien pasca operasi TUR-P yang kemudian diberikan perlakuan yang berbeda-beda, yaitu dengan diberikan methylprednisolone IV, Progesteron IM dan diberikan obat – obatan sesuai protocol terapi post TURP untuk kontrol. 1. Variabel terikat : Fungsi ereksi 2. Variabel bebas : Pemberian metilprednisolon 30mg/kgBB intra vena dan progesterone 100mg intra muskular I. Definisi Operasional 1. Variabel terikat: Fungsi ereksi a. Definisi : Kemampuan mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk mencapai kepuasan seksual. b. Alat ukur : International Index of Erectile Function (IIEF-5) Nilai Variasi Kriteria Normal Skor 21-25 DE Ringan Skor 16 - 20 DE Sedang Skor 11-15 DE Berat Skor <10 c. Satuan : skor d. Skala : interval 2. Variabel bebas : Antiinflamasi a. Definisi : Merupakan zat atau pengobatan yang mengurangi peradangan atau pembengkakan. b. Alat Ukur :- c. Satuan :- d. Skala :Nominal J. Operasional Penelitian Pasien BPH Kriteria restriksi IIEF -5 Informed consent/ Ethical clearance Operasi TURP Post Operasi TURP IIEF -5 Perlakuan 1: Methylprednisolone IV Menilai fungsi ereksi IIEF-5 pada bulan 1 dan 3 post TURP Perlakuan 2: Progesteron IM Menilai fungsi ereksi IIEF-5 pada bulan 1 dan 3 post TURP Perlakuan 3: Kontrol Menilai fungsi ereksi IIEF-5 pada bulan 1 dan 3 post TURP Uji Analisis: ANOVA Gambar 3.2 Operasional Penelitian Keterangan : Pasien BPH yang dirawat di RSUD Dr Moewardi Surakarta dan dilakukan operasi TUR-P serta memenuhi kriteria restriksi akan ditanyakan kesanggupan mengikuti penelitian dan menandatangani lembar informed consent. Pasien yang masuk dibagi menjadi 3 kelompok yang sebelumnya diberikan nomor urut. Pada kelompok perlakuan 1 mendapatkan terapi methylprednisolone 30mg/kgBB intravena pada hari ke-0 sampai dengan hari ke-5 setelah operasi. Pasien kelompok perlakuan 2 diberikan progesteron 100mg intra muskular pada hari ke – 0 sampai dengan hari ke – 5. Kelompok ke – 3 merupakan kontrol, diberikan obat –obatan sesuai protokol terapi pasca TURP. Pasien kelompok perlakuan dan kontrol akan dinilai fungsi ereksi dengan menggunakan International Index of Erection Fuction pada bulan ke-1 dan ke-3 setelah operasi TURP. Kemudian setelah seluruh data terkumpul akan dilakukan analisa data. K. Rencana Analisa Data Uji analisis yang digunakan dalam penelitian ini, karena membandingkan 3 kelompok yang berbeda saling independent dan skala data variabel yang diukur berskala interval, maka uji statistik yang digunakan adalah uji ANNOVA. DAFTAR PUSTAKA Akbal C, Turker R & Tavukeu H,2007, Erectile function in Benign prostate hyperplasia – patients who underwent transuretrhral resection, European Urology, vol 53,pp.540-46. Anjum I, Ahmad M, Azzopardi A, & Mutfi GR, 1998. Prostatic infection in acute urinary retention secondary to benign prostate hyperplasia. American Journal of Urology, 160, 792-3 Berardis GD, Francoisi M, Belfiglio M, Dinardo B, & Kaplan SH, 2002, Erectile dysfunction and quality of life in type 2 diabetics patients. Diabetic Care,25, 284-91 Boyle P & Liu GF, 2001. Epidemiology and Natural History. In the: Chatelain, Denis L, eds. Benign Prostat Hyperplasia, 5th United Kingdom : Plymbrige, 19-61 Brosman SA,2009. Prostate Specific Antigen. Diambil dari: http://www.emedicine.com./ articles Choi SB, Zhao C, Park JK, 2010. The Effect of Transuretrhal Resection of the Prostate on Erectile Function in Patients with Benign Prostate Hyperplasia, Korean Journal of Urology, DOI:10.4111/kju.2010.51.8.557, diambil dari: www.kjurology.org. Claus G, Roehrborn, John D & Connell MJ,2007. Benign Prostatic Hyperplasia: Etiology, Patophysiology, Epidemiology, and Natural History. In the: Walsh PC: Campbell’s Urology, 10th ed: chapter 86 Connell MJ & Abrahams P,2009. Evaluation and Treatment of LUTS in Older Men. In the: Male urinary tract dysfunction evaluation and management.4,342-349 Connell MJ,2005. Combination Theraphy Significantly Delays Progression of Benign Prostatic Hyperplasia. Diambil dari : www.nyp.org/news/hospital. Feldman, HA, Goldstein,I & Krane, RJ,2004. ‘Impotence and its Medical and Psycosocial Correlates : results of the Massachussetts Male Ageing Study’, J Urol, vol 151 (1),pp 54-61 Foster HE & Jacobs MB, 2004. Transuretrhal Resection of the Prostate. In: Management of Benign Prostatic Hypertrophy. Northwestern University Feinberg School of Medicine, Chicago ,IL;vol: 10,chapter 11, 163-193 Fouad RK, Vivien KT, & Ronald S, 2001. Male Sexual Function and its Disorders : Physiology, Patophysiology, Clinical Investigation and Treatment. Endocrine Reviews,22,342-348 Goldstein I, Lue TF, Padma NH, Rosen RC, Steers WD & Wicker PA, 1998. Oral Sildenafil in the Treatment of Erectile Dysfunction. Sildenafil Study Group. N Eng J Med,338,13971404 Greenstein MA, 2009. Enlarged Prostate. Medical Encyclopedia. Diambil dari: www.emedicine health.com/enlargedprostate/article Jaidane M, Arfa NB, Hmida W, Hidoussi A, Slama A, Sorba NB and Mosbah F, 2013. Effect of Transurethral Resection of the Prostate in Erectile Function: A Prospective Comparative Study, International Journal of Impotence Research Nov 22,146-15 Jeong HJ & Lee DH, 2009. The Efficacy of Every Other Day Alpha – blocker Theraphy in Men with Benign Prostatic Hyperplasia. Korean J Urol. Apr;46(4):366-9 Johanes BC, Araujo AB & Feldman HA, 2000. Incidence of Erectile Dysfunction in Men 40 to 69 years old: Longitudinal Results from the Massachussetts Male Aging Study, The Journal of Urology, vol 163, pp 460-63 Kirby R & Lepor H, 2012. Evaluation and Nonsurgical Management of Benign Prostatic Hyperplasia. In the : Walsh PC, et al : Campbell’s Urology, 10th ed : Chapter 87 Klein T, Eric A & Platz E A, 2012, Epidemiology, Etiology, and Prevention of Benign Prostate Hyperplasia. In the Walsh PC, et al: Campbell’s Urology, 10th ed, WB Saunders – Elsevier, Philadelphia Klein T, Palisaar RJ & Holz A, 2010. ‘The Impact TURP and Perprostatic Nerve Block on Erectile and Voiding Function : A Prospective Study’, The Journal of Urology, vol 184, pp 1456-52 Lee C & Cockett A, 2010. Regulation of Prostate Growth. In the : Chatelain C, Denis L, et al : Benign Prostate Hyperplasia, 5th :81-99 Mulhall J,2008. Erectile Dysfunction : Monitoring Response to Treatment in Clinical Practise – Recommendation an International Study Panel. J Sex Med; 4:448-64 Poulakis V, Ferakis N, Witzsch U, et al, 2006. Erectile Dysfunction After Transurethral Prostatectomy for Lower Urinary Tract Symptoms : Results from A Center with Over 500 Patients. Asian J Androl; 8:69-74 Presti JC,2004. Neoplasms of the Prostate Gland. In the: Tanangho EA, Mc Aninch JW, editors. Smith’s General Urology. 16th ed New York : Lange Medical Books/Mc Graw – Hill ;p.367-385 Roehrborn CG & Connell MJ, 2002. Etiology, Patophysiology and Natural History of Benign Prostatic Hyperplasia. In the : Whals PC, Retik AB, Eds: Campbels Urology 9th. Philadelphia: WB Saunders; 1297-1330 Rhodes T, Marks LS, Dorey FJ, Shery ED, Rittenhouse H, Partin AW & Dekernion JB: 2009. Serum Prostate Specific Antigen Level After Transurethral Resection of The Prostate : Longitudinal Characterization In Men With Benign Prostatic Hyperplasia. In : Journal of Urology, September 2010;vol 156: 1035-1039 Rosen RC, Cappeleri JC, Smith MD & Lipsky J, 1999. Development and Evaluation of an Abridged, 5-item version of the International Index of Erectile Function (IIEF-5) as a Diagnostic Tool for Erectile Dysfunction. International Journal of Impotence Research.11:319-326 Taher A,2004. Erectile Dysfunction After Transurethral Resection of the Prostate, Incidence and Risk Factors. World Journal Urology,22:457-460 Wein AJ & Rovner ES, 2001.Benign Prostatic Hyperplasia. In the : Hanno PM, Malkowicz SB, et al: Clinical Manual oof Urology, 3rd,437-470 Wespes E, Eardley I, Giuliano F, Hatzichristou D, Hatzimouratidis K, Moncada I, Salonia A, Vardi Y, 2013. Guidelines on Male Sexual Dysfunction : Erectile Dysfunction and Premature Ejaculation. Arnhem (The Netherlands) : European Association of Urology (EAU); Mar.54 p.326 Zisman A, Leibovici & Kleinman J, 2001. ‘ The Impact of TURP on Patient Well Being : A Prospective Study of Pain, Anxiety and Erectile Dysfunction’, The Journal of Urology; vol 165,p 445-454