refleksi - PdPersi

advertisement
REFLEKSI
2 TAHUN JKN
(Jaminan Kesehatan Nasional)
PERHIMPUNAN RUMAH SAKIT SELURUH INDONESIA
(INDONESIAN HOSPITAL ASSOCIATION)
1
REFLEKSI 2 TAHUN JKN
(JAMINAN KESEHATAN NASIONAL)
Dimulai sejak 1 Januari 2014, sekarang JKN telah melewati 2 tahun
pertama. PERSI sangat menyadari bahwa JKN adalah program mulia untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan menuju perlindungan kesehatan semesta di
2019. Untuk berhasilnya program tersebut, tentu dibutuhkan semangat dan
komitmen bersama dari seluruh komponen bangsa.
PERSI menyadari posisinya yang diharapkan berperan besar mendukung
keberhasilan JKN. Kesadaran itu terbentuk dalam struktur limas JKN.
Keberhasilan JKN memerlukan dukungan penunjang dari tiga pilar dalam
semangat yang sama, dipayungi oleh pemerintah sebagai regulator dan
pelindung. Di sisi dan sekelilingnya terdapat banyak pihak yang juga sangat
diperlukan peranannya dalam sebuah orkestra besar menuju simfoni pelayanan
kesehatan bagi seluruh rakyat.
2
Dalam bergerak bersama selama 2 tahun ini, tentu saja memang masih
ada beberapa catatan. Tulisan berikut ini berusaha merekam perjalanan 2 tahun
JKN dalam kacamata PERSI.
Sebagai organisasi, PERSI memiliki kebijakan program JKN di tingkat RS
bahwa Melalui program JKN, masyarakat mendapat pelayanan pengobatan yang
efisien, efektif, berkeadilan, rumah sakit tetap bertumbuh melalui pelayanan JKN
tanpa mengorbankan mutu pelayanan, profesional kesehatan dan civitas
hospitalia mendapat imbalan kerja yang layak.
PERSI melihat bahwa “pasar” rumah sakit sekarang ini diwarni dengan
masih timpangnya klaim rasio antara kelompok PBPU dan BP di satu sisi
(disebut kelompok Mandiri) dan kelompok Non-Mandiri (PBI dan PPU). Jumlah
peserta Mandiri sekitar 12 juta tetapi tingkat utilitasnya mencapai 85% dan
banyak menderita penyakit katastropik. Sebaliknya baru 5% pada kelompok non
mandiri.
Hal ini yang menunjukkan bahwa telah terjadi arah terbalik karena
subsidi yang seharusnya untuk kelompok PBI terpaksa digunakan oleh
kelompok yang sebenarnya mampu (mandiri). Secara ideologi hal ini tidak tepat.
Perlu langkah lebih strategis untuk memperbaiknya.
Akibatnya bagi RS beragam bentuknya:
•
RS Premium tidak terlalu berdampak dalam kunjungan, karena pasiennya
tidak terlalu “price sensitive”.
•
RS dengan pangsa pasien kelas menengah dan bawah, yang tidak
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan terjadi penurunan kunjungan.
•
RS yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, jumlah pasien relatif tetap atau
meningkat.
•
Kasus dengan severity “berat” bergeser ke rumah sakit type B dan A,
khususnya rumah sakit pemerintah.
•
Rumah sakit cenderung “memilah” kasus sesuai diagnostik, bukan semata
pertimbangan kompetensi, tetapi pertimbangan tarif pembayaran.
3
•
Melalui pemilahan kasus, dan pengendalian pelayanan rumah sakit dengan
target pasien “menengah” berpotensi mendapat pendapatan lebih.
•
Rumah sakit dengan manajemen berorientasi “fee for service” mengalami
pengurangan pendapatan.
•
Beberapa RS ditunda oleh BPJS menjadi provider JKN dengan alasan kuota
sudah penuh
Selanjutnya, terdapat beberapa catatan penting terkait pelayanan di
rumah sakit selama 2 tahun JKN ini:
•
Saat ini, 70,23% RS menjadi Mitra BPJSK (1729/2462), segmentasi pasar
layanan kesehatan
•
Angka kunjungan pasien cenderung meningkat, karena hilangnya hambatan
ekonomis, tetapi ada disparitas utilitas Mandiri (BPBPU dan BP) dan NonMandiri
•
Angka rujukan dari FKTP masih tinggi, termasuk kasus-kasus dengan level
kompetensi layanan primer
•
Variasi pemahaman tentang JKN antar RS masih lebar
•
Rasionalisasi dalam standar pelayanan dan penerimaan pasien untuk
menghadapi risiko “defisit” yang dalam beberapa kasus terlalu ekstrem.
•
Ada rujukan antar RS bukan atas indikasi kompetensi atau ketersediaan
sarana prasarana, tapi juga karena “selisih tarif INA-CBGs antar RS terlalu
lebar”
•
Variasi antar daerah di Nusantara: faktor jarak, kerapatan penduduk,
maupun ketersediaan sarpras dan SDM. Terjadi “lingkaran setan” antara
kelangkaan sarpras dan SDM kesehatan, rendahnya kunjungan dan mutu
layanan.
4
Hambatan lain adalah dalam hal pengadaan obat melalui e-catalog:
•
Terkendala sistem e-catalog karena beberapa obat tidak masuk dalam daftar
e-catalog.
•
Bagi RS Negeri terpaksa melalui manual, dengan keharusan negosiasi ulang
harga tidak sesuai e-catalog.
•
Bagi RS swasta, belum mendapatkan akses ke e-purchasing.
•
Untuk beberapa obat di luar paket, terhambat proses pencairan klaimnya
karena tidak ada harganya di e-catalog sehingga BPJSK tidak dapat
mencairkan klaimnya (terutama obat-obat kemoterapi, thalassemia dan
hemofilia).
Untuk itu, PERSI berusaha melakukan perbaikan internal:
•
Peningkatan pemahaman tentang JKN melalui sosialisasi, diseminasi dan
diskusi baik dalam asosiasi maupun antar pihak
•
Penguatan Implementasi Standar Pelayanan Kedokteran sebagai Kendali
Mutu dan Kendali Biaya (KMKB)
•
Peningkatan efisiensi kinerja melalui peningkatan kapasitas manajemen RS
dan pemberi pelayanan
•
Mendorong perbaikan pola hubungan antar pihak dalam penyelenggaraan
JKN
Di sisi lain, PERSI juga melihat masih adanya disharmoni dalam hal
regulasi maupun hubungan antar lembaga. Pertama, PERSI melihat bahwa BPJSK
mendapatkan beban yang sangat berlebih oleh regulasi JKN. Beban berlebih itu
tanpa sadar mendorong BPJSK untuk melakukan “monopoli peran” yang
berpotensi terjebak pada abuse of power. Akibatnya anggota-anggota PERSI
sering merasa harus dalam posisi kalah pada kerangka kerjasama dengan BPJSK.
Untuk itu, PERSI mendorong dilakukannya revisi terhadap Perpres JKN
dengan arah membagi beban dan kewenangan agar lebih sesuai dengan konsep
Pemerintah (Kemkes) sebagai regulator dan pelindung bagi semua stake-holder.
5
Sembari menunggu proses tersebut, PERSI berharap para pihak dalam limas JKN
mengedepankan prinsip bahwa diatas regulasi, yang paling penting adalah
kesamaan semangat para penyelenggaranya.
Dari sisi pelayanan terhadap pasien, PERSI mendapat pengalaman selama
2 tahun ini bahwa:
•
Pasien belum teredukasi tentang sistem rujukan berjenjang, masih
memaksakan kehendak. Terjadi konflik antara petugas RS yang akan
menegakkan aturan BPJS dengan pasien.
•
Pasien menghendaki standar pelayanan seperti “fee for service”, tetapi
aturan BPJS Kesehatan tidak memperbolehkan urun biaya kecuali naik kelas
perawatan.
•
Karena kunjungan yang meningkat, dan proses administrasi lebih banyak,
waktu tunggu pendaftaran pasien memanjang.
•
Untuk kasus tertentu, ada kebijakan waktu tunggu untuk mendapat layanan,
khususnya kasus non akut yang dibatasi jumlahnya karena masalah tarif.
•
Belum adanya pemetaan kompetensi RS provider BPJS di masing-masing
wilayah sehingga menghambat proses rujukan.
•
Belum
ada SIM informasi yang terintegrasi antara FKTP dan FKTL, terkait
kompetensi dan keterseidaan layanan di FKTL, sehingga menimbulkan
permasalahan dalam proses rujukan vertikal maupun horizontal.
Dalam hal para profesional kesehatan, PERSI memandang bahwa:
•
Dokter merasa terkekang dalam kebebasan profesional, dan penghargaan
jasa medis relatif berkurang. Akibatnya terjadi konflik antara manajemen
dengan dokter.
•
Mengkoordinasikan pelayanan terpadu antar staf profesional kesehatan
(penerapan clinical pathway sebagai kendali mutu dan biaya).
•
Konflik manajemen dan profesi kesehatan mengenai pemilihan / supplai alat
medis habis pakai dan formularium obat.
6
•
Pemenuhan profesional kesehatan, seperti D3 RM masih terkendala di
beberapa daerah. (Perlu adanya standarisasi dan sertifikasi petugas coder
RS)
•
Kompetensi rumah sakit di beberapa daerah masih sub standar, belum sesuai
kelas rumah sakitnya.
Dalam hal finansial, PERSI memandang bahwa RS menghadapi situasi:
•
Aliran kas beberapa rumah sakit terganggu akibat keterlambatan klaim dan
klaim tertunda akibat belum ada kesepakatan penyelesaian kasus , antara
BPJS Kesehatan – rumah sakit. (di usulkan adanya deadline waktu
penyelesaian claim tertunda, misalnya 1 bulan)
•
Beberapa rumah sakit mengalami penurunan pendapatan, akibat perubahan
komposisi pasien umum, walaupun banyak juga yang pendapatan meningkat
akibat kerjasama dengan BPJS Kesehatan.
•
Tarif INA-CBG belum semua kategori sesuai dengan realitas unit cost.
•
Berdasarkan paparan Sekjen Kemkes, pada kegiatan kupas tuntas 2 thn JKN
pada tanggal 29 Des 2015, kenaikan tarif JKN + 6 % pelayan ICU dan Intensif
Care belum ada perlakuan khusus, hal ini akan menjadi kendala bagi RS
apalagi kenaikan tarif rata-rata < inflasi
•
Penggolongan kelompok tarif sesuai kelas RS, tidak berdasar “hospital base
rate” tiap rumah sakit. (Perbedaan tarif RS Pemerintah dan Swasta)
•
Adanya beberapa logic grouper pada INA CBGs yang kurang tepat, sehingga
menimbulkan tarif yang ekstrim rendah. Hal ini menyebabkan kendaladi RS
dalam memberikan pelayanan.
Satu masalah yang krusial juga terkait pengelolaan keuangan di era JKN
adalah ruang untuk urun biaya:
•
Ketentuan tentang urun biaya dan koordinasi manfaat (CoB) perlu ditinjau
kembali, sebaiknya ada urun biaya yang terkendali dan pasien memiliki hak
memilih rumah sakit termasuk pertimbangan urun biaya sesuai kemampuan.
7
•
Rujukan di daerah terkendala kompetensi rumah sakit yang belum standar.
•
Kendala rujukan di daerah adalah biaya transport rujukan yang mahal, tidak
tertanggung.
•
Ketidak jelasan aturan PPN obat untuk penyerahan obat rawat jalan pasien
BPJS Kesehatan.
•
Jaminan akan ketersediaan obat yang tercantum dalam e catalog, serta akses
yang sama terhadap e catalog bagi seluruh provider JKN
Untuk itu ada beberapa Isu yang PERSI memandang perlu segera ada
tindak lanjut perbaikan dan/atau penyesuaiannya:
1. Perpajakan
•
Pokok Masalah :

Aturan Dirjen pajak (Surat Dirjen Pajak No. S-424/PJ.52/2000 tanggal
28 Maret 2000) tentang pengenaan selisih PPN masukan dan keluaran
pada
penyerahan
obat
rawat
jalan,
belum
dicabut
untuk
mengecualikan pasien BPJS-K. Permasalahannya adalah perhitungan
pembayaran klaim pasien BPJS Kesehatan dengan cara pembayaran
prospektif, yang tidak bisa dipilahkan harga obatnya. Bagaimana cara
menghitung PPN Keluaran atas obat yang diserahkan ?

Belum ada Insentif pajak untuk rumah sakit yang berpartisipasi dalam
pelayanan pasien BPJS kesehatan.
•
Sikap PERSI:

penyusunan Surat untuk penghapusan PPN atas Obat rawat jalan
untuk pasien rawat jalan. Poin 2: Surat permohonan penghapusan
restitusi alkes.
8
2. Standar Akuntansi
•
Pokok Masalah :

Belum ada standar akuntansi rumah sakit yang sah, untuk
mengakomodir pembayaran prospektif dalam porsi besar.
•
Sikap PERSI:

Perlu Standarisasi Akuntasi RS untuk pengelolaan keuangan berbasis
sistem keuangan untuk dana dari JKN.
3. Urun biaya dan CoB:
•
Pokok Masalah :

Perbedaan penafsiran Kementrian kesehatan BPJS-K dengan PERSI
tentang regulasi urun biaya pasien BPJS-K.
•
Sikap PERSI:

Penyusunan Policy paper tentang Urun Biaya berbasis data dari ARSSI
dengan target “revisi Perpres dengan memberikan slot untuk urun
biaya” sebagai dasar untuk penyusunan Permenkes.

Urun biaya membuat peluang lebih mudah menarik calon peserta
yang sekarang belum masuk
•
Telah dilaksanakan FGD dengan para pihak yaitu AAJI, PERSI dan BPJS
Kesehatan.pada tanggal 18 Januari 2016, dengan hasil:

Pembayaran on top benefit asuransi ke FKRTL adalah prospective
payment untuk kelas perawatan 1-2-3, yang persentasenya terhadap
tarif INA-CBG akan ditentukan kemudian.

Untuk di atas kelas 1 tetap balance billing.

Untuk kasus ICU dan outliers, menggunakan balance billing dengan
discount.
9
4. Regionalisasi Tarif INA-CBGs yang lebih adil:
•
Pokok Masalah :

Adakah revisi PMK 59/2014 tentang regionalisasi ?

Regionalisasi berdasarkan “hospital base rate” atau wilayah (provinsi
/ kabupaten-kota) ?
•
Sikap PERSI:
 Mendorong penilaian ulang pembagian regionalisasi berbasis Indeks
Harga Konsumen agar lebih mendekati kondisi di lapangan.
5. Keberadaan TKMKB:
•
Pokok Masalah :

Berdasarkan PMK 36/2015 diamanatkan tim pencegahan dan
pengendalian kecurangan JKN. Bagaimana posisi tim TKMKB ?
•
Sikap PERSI:

Revisi regulasi bahwa TKMKB seharusnya dibentuk dan dibawah
Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan

Untuk operasionalisasi menggunakan Juknis.

Tidak ada tumpang tindih keanggotaan TKMKB dan Tim Pencegahan
Kecurangan (PMK 36/2015)
6. Rujukan berjenjang:
•
Pokok Masalah :

Rujukan antar rumah sakit masih berbasis kelas rumah sakit,yang
harus diakui tidak selalu sejalan dengan kompetensi rumah sakit.
Bagaimana menyusun sistem rujukan berjenjang yang berkeadilan
dan tidak “saling melemahkan” antar rumah sakit.
10

Proses rujukan berjenjang dimana Permenkes 01/2012 membagi
primer-spesialis-subspesialis.
Sementara
Permenkes
56/2014
membagi RS ke 4 tipe. Akibatnya berpotensi membingungkan dalam
pelaksanaan rujukan berjenjang.

Di lapangan, BPJSK cenderung mengambil alih atas nama beban tugas
“efisiensi dan efektivitas”, secara “kaku”.

Seharusnya, kewenangan dan tanggung jawab rujukan berjenjang ada
pada Kemenkes/Dinkes dan Organisasi Profesi Pembinaan dan
pengawasan menyertakan Asosiasi Perumahsakitan dan Organisasi
Profesi Kesehatan. (Pasal 20 Permenkes 01/2012).
•
Sikap PERSI:

Diserahkan kepada Dinkes dan Organisasi Profesi berbasis kompetesi
dan kapasitas Faskes untuk memenuhi portabilitas (Permenkes
1/2012).
7. Supply chain obat dan alkes melalui e-catalog:
•
Pokok Masalah :

Kesulitan rumah sakit non pemerintah mengakses obat dengan harga
e catalog.

•
Kekosongan perbekalan farmasi tertentu dengan harga e catalog.
Sikap PERSI:

Advokasi ke LKPP

Rapat triparti antara PERSI-BinFar-LKPP-GP Farmasi
8. Imbal jasa profesional:
•
Pokok Masalah :

Profesional kesehatan mengharapkan ada standar imbalan jasa
pelayanan yang layak.
11
•
Sikap PERSI:

Perlu telaah dan kebijakan lebih komprehensif terkait jasa medis bagi
penyedia layanan.

Rumusan lebih lengkap akan disusun Kompartemen Remunerasi
(tidak hanya untuk JKN, tetapi untuk semua pendapatan RS)
9. Pemenuhan Tenaga Profesional:
•
Pokok Masalah :

Rumah sakit masih kekurangan staf dokter spesialis, perawat yang
kompeten dan beberapa jenis staf professional kesehatan lainnya.
•
Sikap PERSI:

Surat rekomendasi kepada Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan
tenaga profesional kesehatan.
•

Konsistensi pemahaman dan implementasi aturan.

Sinkronisasi dengan regulasi MEA
PERSI menjadi salah satu narasumber dalam Webinar tentang Kesiapan
RS menghadapi MEA di Jogjakarta, tanggal 12 Januari 2016. Dalam
kesempatan tersebut, disampaikan pokok-pokok pikiran sesuai hasil
diskusi tanggal 5 Januari 2016.
10. Proses Verifikasi Klaim:
•
Pokok Masalah :

Banyak laporan rumah sakit yang merasa dirugikan oleh persepsi
verifikator dan BPJS Kesehatan dalam menafsirkan diagnosis menjadi
kode diagnosis.

Masih sering terjadi perbedaan pendapat dalam proses verifikasi.
Masih ada beda persepsi dan implementasi terhadap SE Kemkes
bahkan “rekomendasi DPM”.
12

Tentang hak akses verifikator ke RM seharusnya sesuai Permenkes
269/2008 tetapi dalam Permenkes 28/2014 memberikan hak itu
kepada proses verifikasi BPJSK sesuai Juknis terbitan BPJSK.

Belum ada standar baku: berapa lama proses verifikasi dilakukan?
Yang ada: setelah diverifikasi, dibayarkan paling lambat 15 hari.
•
Sikap PERSI:

•
Mendorong kesepahaman para pihak terkait proses verifikasi.
Telah dilaksanakan FGD tentang proses verifikasi pada tanggal 12 Januari
2016
11. Posisi Dinas Kesehatan dalam JKN
•
Pokok Masalah :

Implementasi Posisi Kementrian Kesehatan dan Dinas keshatan
sebagai regulator layanan BPJS Keehatan belum dirumuskan dengan
tepat.
•
Sikap PERSI:

Mendorong kebijakan yang lebih mampu laksana bagi Dinkes untuk
berperan dalam JKN

Mengawal proses tersebut bersama dengan ARSADA
12. KIS (Kartu Indonesia Sehat)
•
Pokok Masalah :

Pelayanan kasus non rujukan terutama yang datang di luar jam kerja
(malam hari), menjadi dilema bagi RS.

Ada keraguan dalam pelayanan KIS karena sesuai SE Dirjen BUK
3555/2014 tanggal 5 November 2014, diperlakukan sebagaimana
peserta PBI, tetapi per Maret 2015, KIS juga diterbitkan untuk peserta
mandiri.
13

Belum cukup jelas mekanisme pertanggungan untuk yang berpotensi
pertanggungan ganda seperti Kecelakaan Lalu Lintas. Regulasi antar
pihak terkait belum sinkron, berisiko pasien dan RS yang menanggung
beban.
•
Sikap PERSI:

Mengadvokasi agar landasan hukum KIS dapat dilengkapi
13. Dashboard pemantauan utilitas dan kinerja RS
•
Pokok Masalah :

PERSI belum memiliki model sistem informasi dan “dashboard” data
untuk evaluasi utilias, kinerja dan pengambilan keputusan dalam
pelayanan JKN.

PERSI belum memiliki akses untuk meminta data evaluasi utilitas dan
kinerja rumah sakit secara umum ke BPJS Kesehatan
•
Sikap PERSI:

Mendorong dimasukkannya Wakil Asosiasi Faskes dalam TKMKB
sehingga memiliki akses ke UR.
Terhadap poin-poin tersebut, PERSI mendudukkan diri sebagai loyalis
kritis untuk senantiasa bersama-sama komponen lain dalam JKN maupun
seluruh bangsa guna terus mengawal dan memperbaiki JKN menuju
perlindungan semesta yang menjadi harapan bersama.
Jakarta, 25 Januari 2016
Pengurus Pusat
PERHIMPUNAN RUMAH SAKIT SELURUH INDONESIA
dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes
Ketua Umum
dr. Sri Rachmani, MKes, MH.Kes
Sekretaris Jenderal
14
Download