Pada bayi dengan tanda esefelopati bilirubin akut (hipertoni

advertisement
MAKALAH PRESENTASI KASUS
HIPERBILIRUBINEMIA
Disusun oleh:
Melissa Lenardi
0906508296
Narasumber:
Dr. Risma K. Kaban, SpA (K)
MODUL PRAKTIK KLINIK KESEHATAN ANAK DAN REMAJA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
MARET 2014
BAB I.
ILUSTRASI KASUS
I.
IDENTITAS
Nama
: Bayi Ny. NY
NRM
: 392-48-68
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tanggal Lahir
: 26 Februari 2014
Alamat
: Jl. Pisangan Lama, Pulo gadung, Jakarta Timur, DKI Jakarta
Waktu masuk
: 26 Februari 2014, 23:38 WIB
Nama ayah/ibu
: Tn N / Ny NY
Usia ayah/ibu
: 29 tahun / 28 tahun
Perkawinan ke ayah/ibu
: Pertama/ Pertama
Pendidikan ayah/ibu
: SMA / SMA
Pekerjaan ayah/ibu
: Karyawan swasta / Ibu rumah tangga
Penghasilan
: Rp. 2.400.000,00 / -
Tanggal Pemeriksaan
: 14 Maret 2014
II.
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Kuning pada usia 3 hari.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mulai tampak kuning terang pada usia 3 hari, saat tersebut pasien tengah dirawat di unit
perinatologi karena neonatus kurang bulan yang termasuk berat badan lahir rendah. Pasien juga
sempat mengalami apnea.
Sekitar sepuluh hari sebelum pemeriksaan, pasien mengalami muntah warna kuning sekitar 5 kali per
hari, muntah tidak ditemukan darah. BAB ada mekonium, konsistensi lunak tidak cair. Tidak ada
kembung, tidak ada demam. Pasien kemudian dilakukan pemasangan NGT, keluar cairan berwarna
kecokelatan. Saat ini sudah tidak didapatkan muntah maupun diare.
Riwayat Kehamilan
Pasien G1H33-34 minggu dengan presentasi bokong. Ibu pasien melakukan pemeriksaan antenatal
secara teratur. HPHT 6 Juli 2014. Taksiran partus 12 April 2014. Selama hamil didaparkan hipertensi.
Riwayat anemia, demam, keputihan, anyang-anyangan, penyakit jantung, riwayat batuk lama,
1
diabetes, luka di kemaluan disangkal. Riwayat meminum obat-obatan maupun paparan radiasi
disangkal. Komplikasi kehamilan berupa preeklampsia berat.
Pemeriksaan laboratorium terakhir saat hamil, golongan darah ibu O, suami A. Hb
11,8mg/dL, leukosit 7.560, trombosit 135.000, urinalisis: kuning, agak keruh, berat jenis 1,025, pH6,
protein 3+, Lea 1+. Pada pemeriksaan USG, didapatkan Janin presentasi bokong tunggal hidup, DJJ
150 dpm, BPD 8,22, HC31,22, AC 26,84, FL 6,37, HL 5,49, TBJ 1.876 gr, ICA 8, SDAU 1.
Pemeriksaan CTG didapatkan baseline 130 dpm, variasi 5-25 dpm, kontraksi 2x dalam 10 menit,
deselerasi tidak ada, HIS tidak ada, gerak janin 1 kali dalam 10 menit, kesan reasuring
Riwayat Kelahiran
Ibu pasien datang ke rumah sakit dengan G1 hamil 33-34 minggu, janin presentasi bokong tunggal
hidup dengan ketuban pecah 2 hari SMRS. Ibu pasien juga mengalami preeklampsia berat. Tekanan
darah ibu saat persalinan 160/110 mmHg, nadi 90x/menit, suhu 36,7oC, napas 20x/menit.
Ibu dengan berat badan 73 kg, tinggi badan 158 cm bersalin di RSCM dengan impinan dokter
melalui operasi sectio caesaream dengan indikasi ketuban pecah dini dan PEB. Tanpa komplikasi
persalinan. Obat-obatan yang diberikan berupa bupovacaine sebagai anastesi spinal. Lama ketuban
pecah 2 hari dengan jumlah sedikit dan warna air ketuban keruh.
Laporan operasi: ibu terlentang dalam meja operasi setelah dilakukan anastesi spinal.
Dilakukan metode asepsis dan antisepsis. Dilakukan sayatan melintang, dibuka lapis demi lapis
dinding abdomen, evaluasi perdarahan, identifikasi dan pembukaan uterus, dilahirkan bayi dengan
urutan bokong, badan, dan kepala janin. Bayi tidak langsung menangis, kemudian dikeringkan,
dibersihkan jalan napas dan tubuh sambil dilakukan perangsangan dan dihangatkan di mesin
penghangat bayi. Kemudian bayi menangis. Bayi kemudian dibungkus plastik.
Riwayat Pascakelahiran
Pasien sudah diberikan vitamin K 1 mg IM dan salep mata kloramfenikol.
Riwayat Imunisasi
Imunisasi Hepatitis B dilakukan tangga; 27 Februari 2014
Riwayat Nutrisi
Pasien mendapat ASI dari ibu pasien, terkadang diberikan pula susu formula melalui OGT.
Riwayat Keluarga
Pasien merupakan anak pertama dalam keluarga. Tidak ada riwayat keguguran. Riwayat kelainan
bawaan dalam keluarga disangkal. Tidak ada riwayat diabetes maupun asma dalam keluarha
2
III. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 26 Maret 2014 (Postnatal - dari status)
Tanda Vital
Kesadaran
: compos mentis, tampak aktif
DJ
: 164 bpm
Suhu
: 36,5°C
RR
: 46x/menit, napas cuping hidung (-), retraksi subcostae (-)
APGAR score
7 pada menit pertama 9 pada menit ke 5
Antropometri
Panjang badan
: 40 cm
Berat badan
: 1.715 g
Lingkar kepala
: 29 cm
Lingkar dada
: 16 cm
Lingkar perut
: 15 cm
Lingkar lengan
: 8 cm
Panjang lengan
: 16 cm
Panjang tungkai
: 17 cm
Jarak kepala – symphisis : 22 cm
Symphisis – kaki
: 18 cm
Lingkar paha
: 12 cm
Usia Gestasi
Kesimpulan Ballard score: neonates kurang bulan, sesuai masa kehamilan
Pemeriksaan Sistematis
Bentuk kepala : bulat, tidak ada cefal hematoma maupun caput succadenum, fontanel
anterior lunak, sutura sagitalis tepat
Rambut : dalam batas normal
Mata
: dalam batas normal, bersih, jarak interkantus 2,5 cm
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal, simetris
Mulut
: lembab
Tenggorokan
: dalam batas normal
Tonsil
: dalam batas normal
Lidah
: dalam batas normal
Leher
: dalam batas normal
Neurologi
Kesadaran
: sadar dan aktif
3
Refleks : Moro (+), Pegang (+), Babinski (+), Hisap (+), Rooting (+)
Kardiovaskular
Jantung : DJ 164x/menit, S1 S2 normal, murmur (-), gallop (-)
Sirkulasi
: tidak ada sianosis, tidak ada pucat, CRT < 3 detik, akral hangat
Paru
Pergerakan
: simetris
Pernapasan
: frekuensi 46 kali/menit, tidak ada retraksi, tidak ada grunting, tidak tampak
sesak
Auskultasi
: vesikuler (+/+), tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing
Gastrointestinal
Mulut
: mukosa lembab, tidak ada labio/palatoskisis, tidak ada stomatitis, tidak ada
perdarahan guzi, tidak ada muntah, tidak ada residu, tidak ada asites
Abdomen
: limpa dan umbilikus dalam batas normal
Genitalia
Perempuan
Labia minor
: sebagian tertutup labia mayor
Eliminasi
Anus
: ada
Defekasi mekonium via anus
Muskuloskeletal
Tonus
: cukup
Kelainan tulang : tidak ada
Gerakan bayi
: bebas
Spina / Tulang belakang normal
Pemeriksaan Ballard score postpartum 21, sesuai dengan kehamilan 33 minggu dengan berat lahir
1715 gr, dapat ditarik kesimpulan neonatus kurang bulan, sesuai untuk masa kehamilan.
Tanggal 14 Maret 2014
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Kompos mentis
Status nutrisi
: Baik
Frekuensi nadi
: 137 kali/menit
Frekuensi nafas : 50 kali/menit
Suhu
: 36,8 °C
Berat badan
: 1.700
4
Kepala
: normocephal, ubun-ubun besar datar
Kulit
: tampak kuning terang, kulit sedikit retak, tidak tampak gambaran vena, lanugo
banyak, kerutan pada seluruh telapak kaki, payudara areola menimbul, ukuran 3-4
mm,
Mata
: konjungtiva tidak pucat, sclera tidak ikterik
Telinga
: simetris, tidak ada sekret, pina bentuk baik, rekoil segera
Hidung
: tidak ada discharge
Mulut
: terpasang OGT dengan sekret serosa
Tenggorokan
: tidak dapat dinilai
Leher
: tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Dada
: simetris statis dan dinamis, tidak ada retraksi
Jantung
: bunyi jantung I-II normal regular, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Paru
: bunyi paru vesikuler +/+. ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
: datar, lemas, hati teraba 1 cm bawah arkus costae, limpa tidak teraba, bising usus
normal
Genital
: perempuan, labia mayora besar, labia minora kecil.
Ekstremitas
: tidak ada edema, akral hangat, CRT < 2 detik, tampak fleksi, jendela pergelangan
30o, rekoil 90o, sudut popliteal 160o, Tanda Scarf melewati midline, tumit sampai
dada.
Refleks
: Moro kuat, menghisap kuat, babinski tidak ada, rooting kuat
Pemeriksaan Ballard score 32 pada usia 17 hari sesuai dengan kehamilan 36-38 minggu, kesimpulan
neonatus kurang bulan, sesuai masa kehamilan
Foto klinis
5
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
27/2/2014
1/3/2014
12/3/2014
Hemoglobin
18,1
14,2
Hematokrit
55,6
41,4
Leukosit
14.600
16.390
Eritrosit
8'4,8
Trombosit
240.000
395.000
21,00
IT
MCV
113,9
MCH
37,1
MCHC
32,6
HJ:B/E/N/L/M
13/3/2014
0,3/0,1/66,0/24,3/9,3
Bilirubin total
11,1
8,89
Bilirubin direk
1,25
0,46
Bilirubin indirek
9,86
8,43
Kultur
steril
Lt
0,05
CRP
0,2
BLT
30
7-10
PCT
Albumin
3
3,1
Penciteraan
Foto rontgen kranial dan thorax tanggal 27 februari 2014
6
Foto rontgen thorax dan abdomen tanggal 3 maret 2014
Kesan distribusi udara usus berkurang dengan gambaran dilatasi gaster
Foto rontgen thorax 12 maret 2014
V.
DIAGNOSIS
1. Neonatus kurang bulan, sesuai masa kehamilan (33 minggu, BL 1715 gr)
2. Tersangka sepsis neonatorum awitan dini
3. Apnea Of Prematurity
4. Riwayat hipomotilitas usus (ileus fungsionel ec prematuritas dd sepsis)
5. Hiperbilirubinemia hari ke 14
7
VI. TATALAKSANA

Termoregulasi




Cairan/nutrisi adekuat

IVFD PG2 (4gr/kg/hari) 204, 1:30  8,5cc/jam

IL20% (3gr/kg/hari) 25, 1:5  1 cc/jam

D10 + Ca  0,7 cc/jam
Atasi infeksi

Prptazobactam 3x125 mg

Amikacin 12mg/18 jam
Atasi ikterus


Eritrocyn 3x15 mg (PO)
Atasi hipoalbumin


Penyinaran sinar UV
Prokinetik


Rawat inkubator, target suhu 36,5 – 37,5oC
Transfusi albumin III 6cc + lasix 1 mg
Atasi apnea

Aminofilin 2x4 mg (iv)
Rencana pemeriksaan
DPL ulang, AGD, GDS
VII. PROGNOSIS
Ad vitam
: dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungtionam : dubia ad malam
8
BAB II.
PENELUSURAN LITERATUR
I.
Penghitungan usia kehamilan
Berat badan lahir dan masa gestasi perlu diketahui untuk memprediksi morbiditas dan mortalitas pada
neonatus, serta sebagai upaya antisipasi masalah yang mungkin timbul. Selanjutnya hubungan antara
usia kehamilan dan berat lahir mencerminkan kecukupan pertumbuhan intrauterin, dan dapat
digunakan untuk meramalkan masalah klinis seperti gangguan perkembangan fisik, gangguan
perkembangan mental dan neurologik, peningkatan insiden kelainan kongenital sera beberapa
parameter metabolik (glukosa).1
Penentuan usia kehamilan dapat dilakukan dengan metode menghitung HPHT, mapun dengan
pemeriksaan fisik dan neurologik neonatus (dengan menghitung skor ballard).Usia kehamilan bayi
dalam kandungan dapat dikelompokkan menjadi (a) bayi kurang bulan <37 minggu, (b) bayi cukup
bulan 37-42 minggu, dan (c) bayi lebih bulan>42 minggu. Sedangkan menurut hubungan berat lahir
dengan usia kehamilan, bayi dikelompokkan menjadi (a) sesuai masa kehamilan, (b) kecil masa
kehamilan<10 persentil, dan (c) besar masa kehamilan >10 persentil berdasarkan grafik lubchenko.1
Neonatus juga dapat diklasifikasikan berdasarkan berat lahirnya tanpa memandang masa gestasi,
yaitu, (a) bayi berat lahir rendah yakni <2.500 gram, (b) bayi berat lahir cukup/normal 2.500-4.000
gram, dan (c) bayi berat lahir lebih >4.000 gram.1
Masalah yang sering ditemui pada bayu kurang bulan diantaranya:
a. Ketidakstabilan suhu: kurangnya lemak subkutan, peningkatan hilangnya panas, rasio luas
permukaan besar, lemak cokelat kurang memadai
b. Kesulitan pernapasan: defisiensi surfaktan, risiko aspirasi akibat refleks batuk-menghisapmenelan belum terkoordinasi, otot bantu respirasi lemah, pernapasan periodik dan apnu
c. Kelainan gastrointestinal dan nutrisi: refleks isap<34 minggu buruk, motilitas usus lemah,
pengosongan lambung tertunda, absorbsi vitamin larut lemak kurang, difisiensi laktase pada
brush border usus, cadangan kalium-fosfor-potein-besi turun, risiko NEC meningkat
d. Imaturitas hati: gangguan konjugasi dan ekskresi billirubin, defisiensi faktor pembekuan
berfantung pada vitamin K
e. Imaturitas ginjal: gangguan ekskresi, akumulasi asam organik dengan asidosis metabolik,
ketidakseimbangan elektrolit (hiponatremia, hiperkalemia, dan glikosuria ginjal)
f.
Imaturitas imunologis:transfer IgG maternal kurang, fagositosis terganggu, penurunan faktor
komplemen
g. Kelainan neurologis: refleks isap terganggu, motilitas usus berkurang, apnu dan bradikardi
berulang, perfusi serebral buruk
h. Kelainan kradiovaskular: PDA, hipotensi, hipertensi
9
i.
Kelainan hematologis: anemia, hiperbilirubinemia, disseminated intravascular coagulation,
hemorrhagic disease of newborn
j.
II.
Metabolisme:hipokalsemia, hipoglikemia, hiperglikemia.1
Sepsis Neonatorum awitan dini
Sepsis atau septikemia merupakan keadaan timbulnya gejala klinis terhadap suatu penyakit
infeksi yang berat, disertai dengan ditemukannya respons sistemik yang dapat berupa hipotermia,
hipertermia, takikardia, hiperventilasi dan letargi. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada ank
dengan sepsis mungkin ditemukan adanya leukopenia, leukositosis, adanya granula toksik, shift to the
left pada pemeriksaan darah tepi dan trombositopenia.2
Penyebab sepsis terbanyak pada masa neonatus diantaranya E.coli, S.aureus, Streptococcus grup
B, dan L. monositogens.a Sepsis lebih mudah terjadi pada anak dengan faktor risiko berupa (1)
prematuritas, (2) usia anak, (3) defisiensi sistem imun, pada malnutrisi, agamaglobulinemia,
neutropenia dengan imunosupresi, anemia bulan sabit, AIDS, asplenia, defisiensi komplemen,
maupun defek neutrofil, (3) menderita penyakit keganasan, galaktosemia, paraplegi, luka bakar,
sindroma nefrotik, infeksi saluran kemih gonokokal.(4) Menjalani prosedur/ Instrumen medik berupa
pemasangan kateter IV maupun urin, intubasi ETT, AV shunt, Peritoneal dialisa kontinu,
pembedahan, pemakaian katup dan jantung prostesa.2
Sepsis terjadi akibat adanya respon tubuh terhadap adanya mikroorganisme maupun produk
mikrorganisme baik dalam fokus infeksi lokal maupun sistemik dalam upaya mempertahankan
suasana fisiologis tubuh. Substansi yang terlibat misalnya TNF, IL-1, IF-γ. IF-β, PAF dan leukotrien
berlebihan dapat merugikan tubuh, menyebabkan gangguan sistemik misalnya depresi miokardium,
hipotensi, peningkatan permeabiliras dan gangguan perfusi organ.2
Gejala klinis yang ditunjukkan pada neonatus sulit dibedakan dari infeksi lain, tetapi kemudian
akan timbul tanda sepsis berupa mengigil, hiperventilasi, takikardia, vasodilatasi yang disusun dengan
hipotensi. Hipotensi ini dapat menimbulkan kegagalan berbagai organ yang memperburuk prognosis.
Gejala lain yang mungkin tampak misalnya letarfi, muntah, perut kembung dan hipotermia. DIC juga
dapat terjadi pada pasien sepsis, terutama pada pasien dengan purpura dan perdarahan bekas jarum
suntuk maupun bentuk perdarahan lain.2
Sebagai metode menegakkan sepsis dapat dilakukan pemeriksaan biakan arah berulang (untuk
mencari bakterimia), biakan fokus infeksi, tes kepekaan kuman, leukosit dengan apus tepi, kadar
hemoglobin, jumlah trombosit, urinalisis dan foto thoraks. Pengukuran kadar asam laktat, analisis gas
darah, elektrolit, fungsi hati, dan EKG. Jika ditemukan tanda-tanda DIC perlu dilakukan pemeriksaan
faktor pembekuan.2
Tatalaksana yang diberikan dengan prinsip pengendalian indeksi, memperbaiki perfusi jaringan,
mempertahankan fungsi respirasi (oksigenasi hingga penggunaan ventilator), renal support untuk
mencegah gagal ginjal akut, kortikosteroid (metil prednisolon 30 mg/kgBB/dosis iv maupun
10
deksametason 3 mg/KgBB/dosis/iv; dianjurkan pada sepsis awal)a Pengendalian infeksi sebaiknya
dilakukan setelah didapatkan hasil uji kepekaan, namun pada fase inisial dapat diberikan:

Ampisilin 200 mg/KgBB/hari/iv dalam 4 dosis, dikombinasikan

Aminoglikosida

garamisin
5-7
mg/KgBB/hari.iv,
amikasin
15-20
mg/KgBB/hari/iv, netilmisin 5-6 mg/KgBBB/hari/iv dalam 2 dosis

Cefotaksim 100 mg/KgBB/hari/iv dalam 3 dosis
Jika terdapat kecurigaan bakteri anaerob (fokus infeksi intaabdomen, panggul, rongga mulut
maupun rektum, metronidazol atau klindamisin dapat diberikan dengan antibiotik lain untuk kuman
enterik gram negatif.
Sepsis masih memiliki angka morbiditas yang tinggi, yakni antara 40-70%. Hal ini akan lebih
berat terutama jika disertai dengan gagal organ multipel (seperti shock lung, gangguan hepar dan
ginjal) hingga mencapai 90-100%.2
III. Apnu of prematurity
Distress respirasi merupakan keluhan yang sering dijumpai, ditandai dengan takipnea, napas cuping
hidung, retraksi interkostal, sianosis hingga apnu. Gangguan napas bermanifestasi sebagai takipnea
(sebagai peningkatan frekuensi napas >60-80 kali/menit), retraksi (cekungan interkostal dan
substernal selama inspirasi), napas cuping hidung, merintih/grunting (terdengar merintih atau
menangis saat inspirasi), sianosis tipe sentral, hingga apnu.1
Faktor risiko terjadinya distress pernapasan pada neonatus misalnya pada bayi kurang bulan
(karena paru secara kimiawi masih imatur dan kekurangan surfaktan yang melapisi rongga alveoli),
depresi neonatal (pada kehilangan darah da;am periode perinatal, aspirasi mekonium, pneumothoraks
akibat resusitasi, maupun adanya hipertensi pulmonal), bayi dengan ibu diabetes (berkaitan dengan
keterlambatan pematangan paru), bayi lahir dengan operasi sesar, dan bayi yang lahir dari ibu yang
demam, ketuban pecah dini atau air ketuban yang berbau busuk (dapat terjadi pneumonia
bakterial/sepsis), dan bayi dengan kulit berwarna seper mekonium.1
Neonatus dengan gangguan napas dapat terjadi hipoksia (hingga menyebabkan gangguan organ
vital: otak, paru, jantung, ginjal), asidosis metabolik (hipoglikemia dan hipotermua), maupun masalah
hamatologik (anemia, polisitemia).1
Pemeiksaan penunjang yang dibutuhkan diantaranya pemeriksaan AGD (gagal napas akut 
PCO2 >50 mmHg, PAO2 <60 mmHg, SaO2 arterial <90%), elektrolit (peningkatan serum bikarbonat
akibat kompensasi metabolik adanya hiperkapnu kronik, adanya hipokalemia, hipokalsemia,
hipofisfatemia  gangguan kontraksi otot), jumlah sel darah (polisitemia akibat hipoksemia kronik),
radiologi thoraks, air bronchogram.1
Penanganan yang dilakukan bergantung pada beratnya gangguan napas yang terjadi. Pada
gangguan napas berat, dapat dilakukan pemberian O2 kecepatan aliran sedang, tangani sebagai sepsis.
11
Jika belum membaik, oksigenasi dapat ditingkatkan hingga aliran tinggi. Jika masih menetap hingga 2
jam, perlu dilakukan pemasangan pipa lambung untuk evakuasi adanyacairan lambung dan udara. Jika
terdapat tanda perbaikan, kurangi oksigenasi bertahap. Pemberian nutrisi melalui pipa lambung, bayi
mulai dilatih menyusu setelah pemberian oksigen tidak diperlukan lagi. Pemeriksaan setiap tiga hm
untuk mengevaluasi frekuensi napas, tarikan dinding dada atau suara merintih, episode apnu.
Pemeriksaan kadar gula darah diperlukan untuk mengetahui adekuatnya pemberian nutrisi. Observasi
hingga 24 jam bebas antibiotik, dengan kemerahan selama 3 hari bebas oksigen, bayi sudah boleh
pulang.1
Pada kondisi apnu (RR<80x/menit dengan sianosis sentral), amati bayi secara ketat, dapat
dilakukan perangsangan napas baui dengan mengusap dada atau punggung. Jika perangsangan tidak
berhasil, dapat dilakukan resusitasi balon dan sungkup. Jika bayi mengalami episode apnu lebih dari
sekali dan membutuhkan resusitasi tiap jam, hindari pemberian minum (nutrisi dan cairan lewat jalur
iv), jika tidak memerlukan resusitasi selama 6 jam, bayi masih boleh menyusu. BAyi dengan apnu
dapat dilakukan kontak kulit bayi jika emmungkinkan, lakukan pemeriksaan kultur dan sensitifitas,
berikan antibiotika. Nilai kondisi 4 kali perharri. Pengamatan 24 jam setelah lepas antibiotik. Jika
dalam 7 hari tidak ada periode apnu, bayi dapat dipulangkan. Prinsip pengobatan adalah jaga ventilasi,
sirkulasi, koreksi asidosis metabolik, jaga kehangatan suhu (36,5-26,8oC) cari penyebab distress,
dterapi pemberian surfaktan, hingga perawatan di NICU.1
IV. Hiperbilirubinemia
Tampilan klinis yang mengarahkan pada hiperbilirubinemia adalah adanya gambaran kekuningan.
Maka dari itu akan dibahas sedikit mengenai kuning pada neonatus. Kuning pada hiperbilirubinemia
diakibatkan adanya akumulasi pigmen bilirubin pada sklera dan kulit. Bilirubin ini merupakan hasil
degradasi heme (komponen hemoglobin).1
Ikterus neonatorum merupakan keadaan klinis bayi yang ditandai pewarnaan ikterus kulit dan
sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi. Ikterus terlihat jika bilirubin mencapai 5-7 md/dL.
Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar plasma bilirubin 2 SD atau lebih dari kadar yang
diharapkan berdasarkan usia bayi atau lebih dari persentil 90. Ikterus fisiologis terjadi pada bayi baru
lahir, kadar bilirubin tidak terkonjugasi minggu pertama >2mg/dL. Kadarnya berbeda antara bayi
yang mendapat susu formula ( hari ke3,  2-3 hari, kadar puncak 6-7 mg/dL) dan ASI ( 2-3 hari,
 2-4 minggu , puncak 7-14 mg/dL) Peningkatan 10-12 hingga 15 mg/dL masih dalam kisaran
fisiologis selama tidak disertai kelainan metabolisme bilirubin.
Ikterus non fisiolgis dapat dibedakan dengan ikterus fisiologis jika ikterus terjadi <24 jam
pertama, peningkatan bilirubin serum yang memerlukan fototerapi. Peningkatan kadar bilirubin serum
total >0,5 mg/dL/jam atau 5 mg/dL/hari, adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari (muntah,
letargis, malas menyusu, penurunan berat badan cepat, apnu, takipnea atau suhu tidak stabil), bilirubin
12
direk >1,5-2 mg/dL, ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada
bayi kurang bulan.1,3
Mekanisme fisiologis
Beberapa aspek yang berperan penting meliputi peningkatan sintesis bilirubin, kurang efektifnya
pengikatan dan transport, kurang efektifnya konjugasi dan ekskresi di hepar, dan peningkatan absorpsi
bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik.
1. Peningkatan sintesis bilirubin
Heme pada awalnya akan dipecah menjadi biliverdin, besi (akan digunakan untuk pembentukan
eritrosit berikutnya), dan CO (akan dieksresikan melalui paru) oleh enzim heme oksidade dalam
sel hari. Kemudian biliverdin akan direduksi oleh bilirubin reduktase menjadi bilirubin. Bilirubin
bersifat lipofilik, terikat dengan hidrogen dan pada pH normal tidak larut, sehingga diperlukan
mekanisme transport dan eliminasi bilirubin. 75% bilirubin terbentuk dari katabolisme heme ini,
sedangkan 25%nya merupakan earl labelled bilirubin akbat eritropoesis tidak efektif pada
sumsum tulang, jaringan yang mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase,
peroksidase) serta heme bebas.1
Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin. Pada neonatus, kadar sintesis bilirubin
lebih tinggi karena selain pemecahan hemoglobin mencapai 2-3 kali lebih cepat, sel darah merah
neonatus juga mengalami degradasi di sumsum tulang bahkan sebelum dikeluarkan. Hal ini
terjadi karena kadar eritrosit saat lahir lebih besar dan half-life nya lebih singkat.
Kadar hemoglobin neonatus normal berkisar antara 17-19 g/dL dan hematokrit mencapai 5060% (polisitemia jika Ht >65%). Usia eritrosit <70 hari pada bayi prematur dan 70-90 hari pada
bayi cukup bulan (dibandingkan dengan 120 hari pada dewasa).1,3 Bilirubin yng dihasilkan pada
neonatus adalah sekitar 8-10 mg/KgBB/hari sedangkan pada dewasa 3-4 mg/Kg/hari.1
2. Kurang efektifnya pengikatan dan transport
Bilirubin sirkulasi diikat oleh albumin plasma. Peningkatan jumlah bilirubin akan meningkatkan
bilirubin bebas yang dapat menyebabkan neurotoksisitas, sehingga mencukupi kadar albumin
menjadi penting. Sayangnya, kadar albumin pada bayi baru lahir lebih sedikit, terutama pada bayi
prematur. Kadar albumin akan meningkat pada tujuh hari pertama dan mencapai kadar albumin
dewasa pada bulan kelima. Pengikatan dan transport bilirubin juga terganggu akibat adanya agen
endogenus dan perbedaan struktural dengan albumin dewasa yang baru akan terbentuk pada bulan
ke 10-12.3
Penggunaan obat-obatan yang bersifat asal seperti penisilin dan sulfonamid akan menempati
lokasi utama perlekatan albumin untuk bilirubin karena bersifat kompetitior dan dapat
meningkatkan bilirubin bebas, sedangkan obat-obatan yang dapat menurunkan adinitas albumin
terhadap bilirubin misalnya digoxin, gentamisin, furosemid.1
13
Pada bayi prematur, ikatan ini lebih lemah lagi akibat adanya hipoalbumin, hipoksia,
hipoglikemi, asidosis, hipotermia, hemolisis dan septikemia.1
3. Kurang efektifnya konjugasi dan ekskresi di hepar,
Selama janin intrauterin, pembuangan bilirubin terjadi melalui plasenta yang melepaskan bilirubin
tidak terkonjugasi. Fungsi ini seharusnya dapat diambil alih oleh hepar, namun pada masa awal
kelahiran, duktus venosus mungkin belum sepenuhnya tertutup, menyebabkan aliran darah
membypass hepar dan fungsi kliren bilirubin plasma terhambat. Konjugasi bilirubin di hepat juga
dipengaruhi tingkat maturitas sel hepar.3
4. Peningkatan absorpsi bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik
Pada neonatus, penyerapan kembali bilirubin terkonjugasi di intestinal juga dapat meningkatkan
jaundice pada neonatus. Penyerapan ini meningkat pada neonatus akibat:
a. Banyaknya bilirubin tipe monoglukoronide - kurang stabil dan dapat secara spontan maupun
terhidrolisis oleh enzim beta-glukoronidase menjadi bilirubin tak terkonjugasi dan diabsorbsi
pada mukosa usus.
b. Rendahnya kadar flora normal pada usus - pada anak dan dewasa, flora normal akan
membantu pemecahan bolirubin menjadi urobilin dan sterkobilin yang siap diekskresikan.
c. pH lebih basa pada intestinal proksimal, memfasilirasi nonenzimatik hidrolisis.3
Etiologi dan Patogenesis
Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi optimal, sehingga glukoronidase bilirubin di
hepar tidak terjadi secara maksimal. Akibatnya, terjadi dominasi bilirubin tidak terkonjugasi dalam
sirkulasi. Proses ini sesungguhnya merupakan proses yang normal, tetapi pada beberapa bayi,
peningkatan ini berlebihan hingga menjadi toksik dan menyebabkan sekuele neurologis jangka
panjang jika berhasil menghadapi kematian. Adanya peningkatan penghancuran hb 1% akan
meningkatkan kadar bilirubin 4 kali lipat. Dalam tabel, penyebab hiperbilirubinemia indirek neonatal:
Tabel 1. Penyebab neonatal hiperbilirubinemia indirek
Dasar
Peningkatan produksi bilirubin
Peningkatan penghancuran hemoglobin
Peningkatan jumlah hemoglobin
Peningkatan sirkulasi enterohepatik
Perubahan clearance bilirubin hati
Perubahan produksi atau aktivitas uridine
drphosphoglucoronyl transferase
Perubahan fungsi dan perfusi hati
Penyebab
Inkompatibilitas darah fetomaternal (Rh, ABO)
Defisiensi enzim kongenital (G6PD, galaktosemia)
Perdarahan tertutup (sefal hematom, memar)
Sepsis
Polisitemia (twin-to-twin transfusion, SGA)
Keterlambatan klem tali pusat
Leterlambatan pasase mekonium, ileus mekonium,
Meconium plug syndrome
Puasa atau keterlambatan minum
Atresia atau stenosis intestinal
Imaturitas
Gangguan metabolik endokrin
Asfiksia, hipoksia, hipotermi, hipoglikemi
14
(kemampuan konjugasi)
Sepsis
Obat-obatan hormon (novobiastin, pregnanediol)
Obstruksi hepatik (berhubungan dengan
Anomali kongenital (atresia biliarin, fibrosis kistik)
hiperbilirubinemia direk
Stasis biliaris (hepatitis, sepsis)
Bilirubin load berlebihan (pada hemolisis berat)
Sumber: Kosim SM, et al. Buku Ajar neonatologi. Edisi pertama. 2008. IDAI: Jakarta. P 154
Perbedaan golongan darah antara ibu dan anak dapat menyebabkan inkompatibilitas, terutama
pada golongan darah ibu O sedangkan golongan darah anak A atau B. Golongan darah O memiliki
antibodi Anti A dan Anti B dalam bentuk IgG (berbeda dengan iebtuk IgA pada ibu golongan darah A
atau B), sehingga dapat melewati sawar darah plasenta, masuk dalam sirkulasi janin dan berikatan
dengan permukaan sel darah merah. Kelainan ini jauh lebih ringan dibandingkan inkompatibilitas
resus.5
Inkompatibilitas resus terjadi jika rhesus ibu (-) sedangkan rhesus anak (+). Pada
inkompatibilitas Rhesus, diperlukan sensitisasi telebih dahulu, sekitar selama 1 bulan. Sentisisasi ini
terjadi saat persalinan sehingga belum terbentuk antibodi pada anak pertama. Anak kedua biasanya
mengalami anemia ringan selama masa kehamilan, sedangkan anak ketiga dan seterusnya seringkali
meninggal akibat anemia hemolitik berat dan terjadi hydrops.5
Ikterus akibat defisiensi G6PD (gen dalam kromosom X) terjadi karena sel darah merah dengan
defisiensi G6PD tidak dapat mengaktifkan jalur metabolik fosfatase-fosfat sehingga tidak dapat
mempertahankan dirinya terhadap stress oksidan. Hemolisis terjadi jika terdapat paparan dengan obatobat oksidatif, setelah infeksi.5
Pada anak yang diberikan ASI, risiko hiperbilirubinemia meningkat akibat kurangnya asupan
cairan (karena kelaparan, frekuensi menyusu yang tidak adekuat, dan dehidrasi), hambatan ekskresi
bilirubin hepatik (Pregnandiol, lipase-free fatty acid, unidentified inhibitor), dan karena reabsorbsi.1
Faktor risiko
Faktor risiko hiperbilirubinemia diantaranya anak yang diberikan ASI, anak prematur, lahir dari ibu
diabetes, setiap gangguan patologis lain, mengonsumsi obat-obatan yang bersifat asam (penisilin,
sulfonamid).1,3
Diagnosis
Anamnesis
-
Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa 6-fosfat
dehidrogenase (G6PD)
-
Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan adanya kemungkinan galaktosemia,
defisiensi alfa-I-antitripsin, tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit Gilbert, sindrom CriglerNajjar tipe I dan II, atau fibrosis kistik
15
-
Riwayat
saudara
dengan
ikterus
atau
anemia,
mengarahkan
pada
kemungkinan
inkompatibilitas golongan darah
-
Riwayat sakit selama kehamilan menandakan kemungkinan infeksi virus atau toksoplasma
-
Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan bilirubin
dengan albumin (sulfonamide)
-
Riwayat persalinan traumatic yang mungkin menyebabkan hemolisis dan perdarahan. Bayi
asfiksia mungkin akan mengalami ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin sehingga
dapat mengalami hiperbilirubinemia. Keterlambatan klem tali pusat juga dapat menyebabkan
polisitemia neonatal dan hiperbilirubinemia.
-
Pemberian ASI, dimana harus dibedakan antara breastfeeding jaundice (ikterus yang
disebabkan oleh kekurangan asupan ASI) dan breastmilk jaundice (ikterus yang disebabkan
oleh air susu ibu).4
Pemeriksaan fisik
Inspeksi warna kulit merupakan cara untuk mendeteksi ikterus. Ikterus akan terliat pada kadar
bilirubin serum > 5 mg/dL. Pada saat inspeksi, kulit ditekan dan dilakukan dibawah cahaya yang
adekuat. Manifestasi klinis ikterus utamanya adalah warna kuning di kulit, sklera dan mukosa. Ikterus
berkembang melalui arah sefalokaudal. Untuk mendeteksi dengan mudah dan menginterpretasikannya
dapat dilakukan sesuai aturan Cramer yang terdapat pada tabel berikut:
Tabel 2. Aturan Cramer untuk menginterpretasi jaundis neonatal
Zona
Lokasi
TSB
TSB
(umol/L)
(mg/dL)
1
Kepala dan leher
100
8-Jun
2
Badan (upper trunk)
150
12-May
3
Abdomen dan paha
200
16-Aug
4
Lengan dan tungkai bawah
250
18-Nov
5
Telapak kaki dan tangan
>250
>15
Selanjutnya pemeriksaan berfokus pada identifikasi penyebab ikterus patologis: tanda prematuritas,
status gizi, tanda infeksi intrauterine, pucat, petekie, ekstravasasi darah, memar kulit yang berlebihan,
tanda hipotiroid, hepatosplenomegali, keilangan berat adan, bukti dehidrasi, petekie (berhubungan
infeksi kongenital, sepsis, eritroblastosis.1,4
Pemeriksaan penunjang
-
Bilirubin serum total. Bilirubin direk diperiksa bila ikterus menetap > 2 minggu atau dicurigai
kolestasis
16
-
Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi eritrosit dan
ada tidaknya hemolisis.
-
Golongan darah, rhesus, dan direct Coombs’ test dari ibu dan bayi untuk mencari adanya
penyakit hemolitik
-
Kadar enzim G6PD
-
Pada ikterus berkepanjangan, periksa uji fungsi hati, pemeriksaan urin untuk mencari infeksi
saluran kemih, serta pemeriksaan untuk mencari infeksi congenital, sepsis, defek metabolic
atau hipotiroid4
Dalam menentukan komplikasi, kadar bilirubin total anak dapat dimasukkan dalam grafik berikut:
Gambar 1. Normogram untuk menentukan risiko hiperbilirubinemia berat pada
bayi sehat usia gestasi ≥ 36 minggu berdasar kadar bilirubin serum total dan usia4
Komplikasi
Bilirubin ensefalopati. Bilirubin ensefalopati menunjukkan manifestasi klinis yang timbul akibat
toksisitas SSP tepatnya di basal ganglia dan nuklei batang otak dengan klinis tampak pada minggu
pertama: awal – letargi, hipotonik, refleks hisap buruk, fase imidiate – moderate supor, iritabilitas,
hipertoni; lanjutan – demam, high pitch cry, drowsiness dan hipotoni.
Kernikterus: perubahan neuropatologi yang ditandai deposisi pigmen bilirubin di beberapa
daerah di otak (ganglia basal, pons dan serebelum) dengan klinis kronik dengan sekuele permanen
karena toksik bilirubin: seperti bilirubin ensefalopati, namun kronis, pada bayi yang bertahan, akan
menjadi cerebral palsy athenoid berat, gangguan pendengaran, displasia dental-enamel, dan paralisis
upward gaze.1 Secara umum bayi akan bertumbuh, namun tidak berkembang.5
17
Tatalaksana
Prinsip tatalaksana bayi dengan hiperbilirubinemia infirek adalah berdasarkan etiologinya..
-
Hentikan semua obat yang mengganggu metabolisme bilirubin, ikatan bilirubin-albumin, atau
integritas sawar darah otak
-
Pada breastfeefing jaundice: pantau jumlah asi, pemberian ASI sejak lahir minimal 8 kali
sehari, pemantauan kenaikan BB dan frekuensi BAK dan BAB. Jika kadar bilirubin mencapai
15 mg/dL, tambahkan volume cairan dan stimulasi produksi ASI dengan pemerasan payudara.
Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan komponen ASI (hanya jika hiperbilirubinemia
mentap >6 har, kadar bilirubin >20 mg/dL, riwayat yang sama pada anak sebelumnya.
-
Pada breastmilk jaundice dapat dilakukan pemberian ASI sementara (Gartner dan Aurbach)
maupun tanpa pemberhentian ASI (AAP),
-
Pemberian hormon hipotiroid pada bayi dengan hipotiroid
-
Pada gangguan hemolitik, jika berat akan membutuhkan transfusi tukar.
Panduan terapi sinar dan transfusi tukar sesuai:
Fototerapi: Fototerapi menggunakan sinar biru dengan panjang gelombang 400-550 nm, sinar hijau
(550-800 nm), maupun sinar putih (300-800 nm). Dari berbagai sinar tersebut, sinar biru merupakan
sinar yang efektif untuk mengurangi kadar bilirubin. Fototerapi dilakukan dengan melakukan
penyinaran dari bagian atas bayi, sehingga perlu diberikan penutup mata serta pelindung genitalia
eksterna.1
Fototerapi bekerja dengan mengubah bilirubin indirek yang lipofilik menjadi hidrofilik, sehingga
dapat dieksresikan melalui empedu atau urin dan tinja. Cahaya yang direabsorbsi oleh bilirubin akan
menyebabkan reaksi isomerisasi dari bentuk trans menjadi bentuk cis. Selain itu, terjadi pula konversi
ireversibel menjadi lumirubin, bentuk isomerisasi lainnya. Lumirubin merupakan produk terbanyak
dari degradasi bilirubin akibat fototerapi dan dapat dengan cepat dibersihkan dari plasma saluran
empedu. Bilirubin plasma tak terkonjugasi oleh fototerapi diubah menjadi dipyrole, suatu produk
fotooksidan yang diksresikan melalui urin.1
Efek samping fototerapi terbanyak adalah skin rash. Selama melakukan fototerapi, karena sinar
dipancarkan dari atas bayi, diperlukan penutup mata serta genitalia. Saat ini telah dikembangkan
fototerapi menggunakan selimut yang digunakan untuk membungkus tubuh bayi. Selimut ini dapat
diresepkan sesuai kebutuhan pasien saat berada di rumah. Indikasi fototerapi berdasarkan kadar
bilirubin serum total maupun berat badan dapat dilihat pada tabel berikut.
18
Gambar 2. Panduan terapi sinar untuk bayi usia gestasi >35 minggu.4
Tabel 3. Indikasi fototerapi berdasarkan kadar TSB.
Usia (hari)
Bayi cukup bulan sehat
mg/dl
1
Bayi dengan faktor risiko*
umol/dL
mg/dl
Umol/dL
Kuning terlihat pada bagian tubuh manapun
2
15
260
13
220
3
18
310
16
270
>4
20
340
17
290
*) faktor risiko terdiri dari bayi kecil (<2500 gram), prematur (<37 minggu), hemolisis, sepsis
Sumber: Pudjiadi AH, et al.PPM IDAI: Hiperbilirubinemia. Jakarta: IDAI; 2011
Tabel 4. Indikasi fototerapi berdasarkan BBLR.
Berat badan (gram)
Kadar bilirubin (mg/dL)
< 1000
Fototerapi dimulai dalam 24 jam pertama
1000 -1500
7-9
1500-2000
10-12
2000-2500
13-15
Sumber: Pudjiadi AH, et al.PPM IDAI: Hiperbilirubinemia. Jakarta: IDAI; 2011
Faktor risiko yang dimaksud: penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi,
instabilitas suhu, sepsis, asodosis, atau albumin <3g/dL. Untuk bayi 35-37 nubffym gunakan kurva
risiko nediun. Jika bilirubin total serum <2-3 mg/dL dari cut-off, maka dipertimbangkan terapi
konvensional di rumah.
Transfusi Tukar. Transfusi tukar dilakukan dengan mengambil sejumlah darah pasien lalu
dilanjutkan dengan pengambalian darah dari donor dengan jumlah yang sama secara kontinu sampai
sebagaian besar darah pasien dan dewasa tertukar. Tindakan ini dapat mencegah ensfalopati biliubin.
19
Pada bayi hiperbilirubinemia karena isoimunisasi, transfusi tukar dapat membantu mengeluarkan
antibodi maternal dari sirkulasi darah neonatus sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut serta
memperbaiki kondisi anemia.Transfusi tukar dilakukan jika fototerapi intesif mengalami kegagalan
dan muncul gejala ensefalopati bilirubin akut yang ditandai dengan hipotonia, melengkung, retrocolli,
opistotonus, demam, dan tangis melengking (high-pitch crying). Darah yang digunakan untuk transufi
tukar adalah whole blood golongan darah O dengan usia < 7 hari. Indikasi transfusi tukar dapat dilihat
pada tabel berikut:
Gambar 3. Panduan transfusi tukar untuk bayi dengan usia gestasi > 35 minggu
Tabel 5. Indikasi transfusi tukar berdasarkan TSB.
Usia (hari)
BCB sehat (mg/dL)
Bayi dengan faktor risiko* (mg/dL)
1
15
13
2
25
15
3
30
20
4
30
20
*) faktor risiko terdiri dari bayi kecil (<2500 gram), prematur (<37 minggu), hemolisis, dan sepsis
Tabel 6 Indikasi transfusi tukar pada BBLR.
Berat badan (gram)
Kadar bilirubin (mg/dL)
< 1000
10-12
1000 -1500
12-15
1500-2000
15-18
2000-2500
18-20
Pada bayi dengan tanda esefelopati bilirubin akut (hipertoni, arching, retrocollis, opistotonus, demam,
high pitch cry) atau bilirubin serum total lebih dari 5mg/dL diatas garis yang ditentukan. Faktor risiko
yang dimaksud: hemolirik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, instabilitas suhu, sepsis, dan
asidosis.
20
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien bayi perempuan diperiksa pada usia hari ketujuh belas. Pasien neonatus kurang bulan sesuai
masa kehamilan tampak kuning pada usia 3 hari. Pasien memiliki riwayat apnu, riwayat muntah.
Pasien lahir SC, lahir 33 minggu presentasi bokong dari ibu PEB (tekanan darah 160/110 mmHg)
dengan ketuban pecah 2 hari yang berwarna keruh saat persalinan. Pasien lahir melalui operasi sectio
cesaria tidak kuning dengan skor apgar 7/10 pada menit pertama dan 9/10 pada menit ke-5. Berat lahir
1.715 gram, panjang badan 40 cm. Berdasarkan klasifikasi neonatus menggunakan Ballard score dan
dilanjurkan dengan penilaian Lubchenco tepat post-partum, pasien termasuk neonatus kurang bulan
sesuai masa kehamilan. Pasien juga dapat digolongkan kedalam bayi berat lahir rendah.
Pasien terlihat kuning pada hari ketiga, kemudian diberikan fototerapi. Dengan riwayat apnu,
sepsis, dan riwayat hipomotilitas. Pada hari pemeriksaan (hari ke-17), pasien stabil, masih terlihat
ikterus. Pada pemeriksaan didapatkan ballard score 32 (sesuai dengan usia kehamilan 36 minggu)
berbeda dengan pemeriksaan postnatal dengan score 21 (perkiraan 33 minggu). Pada pemeriksaan
laboratorium hari ketiga didapatkan bilirubin total 11,1 mg/dL /direk 1,25 mg/dL /indirek 9,86mg/dL.
Pasien selanjutnya didiagnosis dengan Neonatus kurang bulan, sesuai masa kehamilan (33 minggu,
BL 1715 gr), tersangka sepsis neonatorum awitan dini, apnea of prematurity; riwayat hipomotilitas
usus, dengan hiperbilirubinemia.
Kelahiran kurang bulan yang dialami pasien menyebabkan adanya beberapa gangguan.
Gangguan yang ditemukan pada pasien diantaranya pernapasan periodik dan apnu berulang, refleks
isap yang masih buruk, gangguan konjugasi dan ekskresi bilirubin, rendahnya imunitas dan
hiperbilirubinemia. Pembahasan ini akan berfokus ke arah hiperbilirubinemia.
Gambaran hiperbilirubinemia pad apasien dapat terjadi karena berbagai penyebab. Pada awalnya
perlu dibedakan apakah ikterus pada pasien bersifat patologis atau fisiologis. Dengan adanya apnea
dan peningkatan kadar bilirubin serum, ikterus pada pasien diduga diakibatkan hiperbilirubinemia
yang
bersifat
gabungan
fisiologis
dan
patologis.
Mekanisme
yang
dapat
menjelaskan
hiperbilirubinemia (indirek) pada pasien yang ada pada pasien berupa:
(a) Peningkatan sintesis bilirubin pada neonatus akibat pemecahan kadar bilirubin yang 2-3 kali
lebih cepat, degradasi di sumsum tulang dan umur eritrosit yang lebih singkat; selain itu
ditemukan bahwa golongan darah pasien A+ sedangkan ibu pasien O+. Hal ini
memungkinkan terjadinya inkompatibilitas golongan darah ABO, namun kuning pada pasien
baru terjadi pada hari ketiga sehingga kemungkinan ini dapat disingkirkan dimana
inkompatibilitas golongan darah biasanya muncul 24 jam pertama setelah lahir.
(b) Peningkatan penghancuran hemoglobin, hal ini didasari adanya sepsis awitan dini pada
pasien.
21
(c) Kurang efektifnya pengikatan dan transport bilirubin akibat rendahnya kadar albumin pada
tubuh bayi prematur (seharusnya pada usia tujuh hari sudah mulai terjadi peningkatan kadar
albumin), namun pada pasien nampaknya perubahan ini tidak signifikan.
(d) Kurang efektifnya konjugasi, clearance dan ekskresi bilirubin di hepar akibat imaturitas
(penurunan uptake bilirubin), belum sempurnanya penutupan duktus venosus pada bayi
prematur, dan diperberat dengan sepsis.
Sedangkan penyebab hiperbilirubin lainnya seperti Breastmilk jaundice, inkompatibilitas
golongan darah, perdarahan internal, obstruksi usus, bayi dari ibu dengan diabetes mellitus, pengaruh
obat-obatan tertentu (seperti sulfonamide) dapat disingkirkan berdasarkan anamnesis dan juga
pemeriksaan fisik. Namun penyebab-penyebab molekuler pada pasien ini seperti adanya gangguan
membran, defek G6Pd dan lainnya tidak dapat dilakukan. Risiko hiperbilirubinemia betrat pada anak
sendiri
termasuk
dalam
low
intermediate.
Tatalaksana
yang
diberikan
pada
bayi
ini
diantaranyafototwrapi sambil dicari penyebab hiperbilirubinemianya.
Sesuai dengan panduan fototrerapi pada bayi prematur, pasien dengan berat 1715 gram dan
kadar bilirubin total 11,1 mg/dL, maka pasien sudah memasukin indikasi fototerapi. Selama pasien
dilakukan fototerapi selama 4x34 jam, terus dilakukan evaluasi dan usaha pencarian etiologi
hiperbilirubinemianya.
22
Daftar Pustaka
1. Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, USman A, et al. Buku ajar neonatologi. Edisi
pertama. Jakarta: IDAI. 2008
2. Soedarmo SS, Harna H. Buku ajar infeksi dan Pediatri tropis. Edisi kelima. Jakarta: IDAI.
2008
3. Taeusch HB, Ballard RA, Gleason CA, et al. Avery’s Diseases of the newborn. 8 th ed.
Philaderlphia: Elsevier. 2005
4. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, et
al. Hiperbilirubinemia. In: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.
5. Hadinegoro SR, Prawitasari Tm Endtami B, Kadim M, Sjakti H. Pendidikan dokter
berkelanjutan ilmu kesehatan anak LIII: Diagnosis dan tatalaksana penyakit anak dengan
gejala kuning. Jakarta: Departemen IKA FKUI RSCM. 2007
6. Qaboos S. Icterus neonatorum in near-term and term infants. Univ Med J. 2012 May;
12 (2): 153-160.
7. Usman A. Ensefalopati bilirubin. Sari Pediatri, 2007; Vol.8 : 94-104.
23
Download