Analisa Media - Kalyanamitra

advertisement
Analisa Media
Edisi Oktober 2013
EdEEEEEE
Darurat Kekerasan Seksual, Di mana Negara?
Saat ini, kekerasan seksual menjadi ancaman yang sangat mengerikan bagi
perempuan dewasa, anak, dan remaja perempuan di Indonesia. Setiap hari media
massa elektronik maupun cetak memberitakan kasus kekerasan seksual yang terjadi
di berbagai tempat di Indonesia. Korbannya makin beragam, tak hanya perempuan
dewasa, tetapi dialami oleh bayi berusia satu tahun hingga perempuan lanjut usia.
Demikian juga pelakunya, berasal dari lintas usia, mulai anak-anak hingga manula,
mulai orang yang tak dikenal korban hingga orang yang sangat dekat dengan korban.
Kekerasan seksual yang saat ini menjadi perhatian publik ialah kasus bayi AA (usia 9
bulan), yang meninggal dunia di RS Kramat Jati, Jakarta Timur, pada 11 Oktober
2013 lalu. Bayi tersebut meninggal dunia karena kekerasan seksual, dengan
ditemukannya sejumlah luka di kemaluan dan anus korban. Dengan temuan itu, pihak
rumah sakit melaporkan kejanggalan kematian bayi tersebut ke Polres Jakarta Timur
Dengan laporan tersebut, Polres Jakarta Timur melakukan penyelidikan untuk
mengetahui penyebab kematian bayi AA. Dari hasil penyelidikan, pihak Polres
menemukan sperma dalam tubuh bayi. Untuk menggali informasi temuan itu, Polres
Metro Jakarta Timur memeriksa 11 saksi: enam saksi dari keluarga korban, tiga saksi
ahli, seorang tetangga, dan bidan yang membantu kelahiran bayi tersebut. Hasil
pemeriksaan dan tes DNA yang dilakukan pihak kepolisian, maka pelaku mengerucut
pada tiga orang, yakni ayah, paman dan kakek korban.
Kematian bayi akibat kekerasan seksual yang dilakukan anggota keluarga bukan
pertama kalinya terjadi. Pada awal 2013 lalu, publik sempat digemparkan oleh
kematian RI, anak perempuan berusia 11 tahun yang menjadi korban kebejatan ayah
kandungnya sendiri. Awalnya, kematian RI telah meninggalkan teka-teki tersendiri.
Hal itu muncul karena pihak RSU Persahabatan yang merawat RI menyatakan
bahwa ia meninggal karena tumor otak. Namun selama perawatan, RI diketahui telah
mendapatkan kekerasan seksual. Peradangan otak dan demam tinggi yang
dialaminya, karena penyakit kelamin yang dideritanya yang ditularkan oleh orang
yang telah memperkosanya. Kasus kekerasan seksual yang dialami RI, akhirnya bisa
diungkap pihak kepolisian. Setelah melalui rangkaian penyelidikan, polisi akhirnya
menangkap ayah kandung korban dan menetapkannya sebagai pelaku perkosaan.
Selain dua kasus tersebut, pada 3 September 2013 (www.merdeka.com) diberitakan
seorang anak perempuan berusia 7 tahun yang diperkosa ayah tirinya sendiri. Kasus
tersebut menimpa anak berinisial VF, warga Puri Serpong Kota Tangerang. Korban
diperkosa oleh ayah tirinya sejak umur 3 tahun. Pelaku melancarkan aksinya ketika
istrinya pergi mencari nafkah. Walaupun kasus tersebut sudah dilaporkan ke Unit
Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Tangerang sejak Agutus 2013,
hingga kini belum dilakukan penahanan terhadap pelaku. Menurut Kasat Reskrim
Polresta Tangerang, Kompol Siswo Yuwono mengatakan, pihaknya belum
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630
Tel 021-8004712, Fax 021-8004713
Email: [email protected]
Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media
Edisi Oktober 2013
EdEEEEEE
memproses kasus itu karena korban belum bisa dimintai keterangan akibat kondisi
psikologisnya terganggu. Namun pihak polisi melihat hasil visum, bahwa luka robek di
kemaluan korban sudah menjadi infeksi.
Kasus kekerasan seksual lainnya dialami seorang anak perempuan berusia 13 tahun
di Bali (www.merdeka.com), pada 20 Oktober 2013. Kejahatan itu berawal saat
korban (Pt) yang bekerja sebagai pedagang souvenir keliling sedang menawarkan
dagangannya di kawasan pantai Kuta, Jumat (18/10). Saat itu, Pt tiba-tiba dihampiri
Santiasa yang sehari-hari bekerja sebagai sopir angkot dan ditawari pulang bersama.
Kebetulan malam itu Pt memang hendak pulang ke rumahnya di Denpasar. Di tengah
perjalanan, Santiasa menawari Pt makan malam di daerah Sanur. Ajakan itu di-yakan Pt. Setibanya di kawasan Sanur, korban ternyata dibawa ke sebuah bungalow
dan langsung diajak masuk ke dalam kamar. Tak lama, datang pria negro berbadan
besar yang diketahui sebagai Jimmy Cissier. Di kamar itu, korban lalu dipaksa
membuka baju dan celana. Jimmy menyuruh korban untuk berbuat tak senonoh.
Setelah itu, Jimmy menyetubuhi korban. Namun karena korban berontak dan
menangis, maka Jimmy mengurungkan niatnya. Jimmy lalu memberikan uang Rp 1
juta kepada korban.
Kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru juga sudah sering terjadi. Guru yang
harusnya menjadi panutan bagi anak didiknya, justru menjadi pelaku kekerasan
seksual. Seperti yang diberitakan (www.jpnn.com) pada 28 Oktober 2013, seorang
guru ngaji di Duren Sawit, Jakarta Timur, mencabuli muridnya sendiri yang berusia 15
tahun hingga hamil dan melahirkan bayi laki-laki. Dalam melakukan aksinya, pelaku
memanfaatkan kondisi rumah yang sepi. Yang lebih tragis, aksi biadab tersebut
dilakukan pelaku terhadap korban di Musola. Demikian juga diberitakan di
(www.sindonews.com) pada 23 Oktober 2013, seorang guru ngaji di Pondok
Pesantren Al Baroyan, Kampung Sidorejo, Parakan Kauman, Temanggung,
menggauli enam santri perempuannya.
Kasus kekerasan seksual lainnya diberitakan (www.okezone.com) tanggal 30 Oktober
2013 mengenai siswi kelas 6 SD di Muara Enim, Sumatera Selatan, yang melahirkan
bayi laki-laki di kamar mandi rumahnya. Ironisnya, selama tujuh bulan terakhir, orang
tua korban tidak mengetahui perihal kehamilan anaknya. Itu terjadi karena tak ada
tanda-tanda kehamilan pada anaknya. Kehamilan yang terjadi pada siswi tersebut
diduga akibat pemerkosaan gurunya.
Darurat kekerasan seksual
Kasus yang menimpa bayi AA menambah panjang daftar kekerasan yang dialami
anak-anak. Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak (KPA), jumlah kekerasan
terhadap anak hingga Agustus 2013 mencapai 2.263 kasus. Dalam data tersebut
58,2 % adalah kasus kejahatan seksual, yang pelakunya orang terdekat korban.
Hampir seluruh kekerasan seksual terjadi di dalam rumah oleh orang-orang terdekat
korban, seperti paman, kakek atau orang tua sendiri dan lainnya.
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630
Tel 021-8004712, Fax 021-8004713
Email: [email protected]
Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media
Edisi Oktober 2013
EdEEEEEE
Dari data, 90% kasus kekerasan seksual terjadi pada anak perempuan, dan 85,5%
cenderung terjadi di kalangan ekonomi menengah ke bawah. Berdasarkan laporan
Komnas Perlindungan Anak tahun 2012, di wilayah Jabodetabek ada 2367 kasus dan
sebanyak 666 kasus terjadi di Jakarta.
Tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di
Jabodetabek. Di Palopo, Sulawesi Selatan, kasus kekerasan terhadap perempuan
termasuk kekerasan terhadap anak dibawah umur meningkat tajam. Oktober 2013,
kasus tersebut menjadi 17 kasus. Berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Perempuan dan Anak, Kota Palopo, kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai
47 kasus, 21 kasus di antaranya yakn kekerasan seksual terhadap anak. Untuk tahun
2013 ini, Januari hingga Oktober, tercatat 41 kasus yang ditangani LBH Perempuan
dan Anak, Kota Palopo. Dari data tersebut, sebagian besar merupakan kasus
perkosaan anak dibawah umur dan pencabulan.
Demikian juga di Palembang, Sumatera Selatan, kasus kekerasan seksual
meningkat. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID)
Kota Palembang tercatat hingga Oktober 2013, ada 66 kasus kekerasan seksual
terhadap anak. Angka tersebut tergolong tinggi jika dibandingkan tahun 2012, yang
hanya 24 kasus.
Di Kalimatan Barat, kasus kekerasan seksual pada anak mengalami peningkatan.
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Kalimantan Barat,
hingga Oktober 2013, pihaknya menerima 41 pengaduan. Tahun 2012, sekitar 47
kasus dan tahun 2011, ada 31 kasus.
Tingginya angka kekerasan seksual pada anak tahun 2013 ini, Indonesia sudah
dalam kondisi darurat kekerasan seksual, tak saja pada anak-anak tetapi juga pada
perempuan dewasa. Tiada ruang aman bagi perempuan dan anak perempuan.
Kondisi ini mendorong sejumlah Pemda memberlakukan status darurat kekerasan
seksual terhadap anak. Salah satu status darurat kekerasan seksual ditetapkan
Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat,
untuk Kabupaten Garut. Berdasarkan catatan P2TP2A hingga Juni 2013, ada 45
kasus pelecehan dan kekerasan seksual di Kabupaten Garut. Dari angka tersebut,
80% pelakunya adalah keluarga korban sendiri, seperti ayah tiri, kakek, dan paman.
Sisanya dilakukan oleh orang terdekat, seperti tetangga, pacar dan teman. Garut
mendapatkan peringkat ke-4 daerah yang jumlah kasus kekerasan seksualnya
terbanyak di Jawa Barat, setelah Depok, Indramayu, dan Sukabumi.
Fenomena “gunung es”
Kekerasan seksual yang terjadi pada bayi AA, RI dan lainnya hanya kasus yang
berhasil diungkapkan oleh media massa. Ribuan kasus lainnya tidak terungkap oleh
media massa dan tidak dilaporkan ke aparat penegak hukum. Berbagai alasan
mengapa korban tidak melaporkan apa yang dialaminya ke aparat penegak hukum.
Bisa saja korban tidak tahu ke mana akan melaporkannya, namun lebih sering
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630
Tel 021-8004712, Fax 021-8004713
Email: [email protected]
Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media
Edisi Oktober 2013
EdEEEEEE
korban takut untuk menceritakan kasus yang dialaminya, meskipun kepada orang
terdekatnya.
Kasus yang dialami RI misalnya, tidak menceritakan apa yang dialaminya kepada
orang terdekatnya, seperti ibu atau saudaranya, karena menganggap kekerasan
seksual yang dialaminya adalah aib keluarga yang harus ditutupi rapat-rapat.
Demikian juga yang terjadi pada siswi SD yang melahirkan bayinya di kamar mandi,
ia lebih memilih memendam apa yang dialaminya dan menjalaninya sendiri, hingga
harus melahirkan bayinya tanpa menceritakan pada guru atau orang tuanya.
Ketidakberanian korban mengungkapkan apa yang dialaminya, seperti terjadi pada
RI, karena relasi keluarga. Terutama bapak adalah sosok yang harus dihormati,
maka apapun yang ia katakan harus dituruti, tidak boleh dilawan ketika mereka
melakukan pemerkosaan. Karena harus menghormati orang tua terutama bapak,
maka ketika terjadi hal-hal yang tak diinginkan, korban tak berani melaporkannya.
Selain tidak mau mengungkapkan aib keluarga, biasanya korban dalam situasi
dibawah ancaman, seperti akan dibunuh atau tidak akan diberi nafkah. Selain
ancaman, maka pelaku akan menceraikan ibu korban. Ketakutan-ketakutan itulah
yang sering terjadi hingga pelaku bebas melakukan aksinya tanpa diketahui oleh
orang lain.
Ketika pelaku adalah orang yang dihormati, seperti guru, maka korban cenderung
memendamnya karena menganggap sosok tersebut adalah orang yang harus
dihormati. Sering korban justru disalahkan karena dianggap terlalu genit, dan
sebagainya. Padahal masyarakat tidak pernah mengetahui mengapa hal tersebut
terjadi. Bisa jadi korban dibawah ancaman dan sebagainya.
Perlindungan anak perempuan
Banyak kasus kekerasan seksual dilakukan anggota keluarga, seperti bapak, paman,
kakek, kakak dan sebagainya, memperlihatkan bahwa kini terjadi pergeseran nilainilai sosial di Masyarakat. Nilai-nilai moral yang dipegang masyarakat sudah tidak
dianggap. Dengan demikian, tidak ada patokan-patokan yang menentukan suatu hal
boleh dilakukan atau tidak, patokan baik dan buruk, di kalangan masyarakat. Ini
menyebabkan tiap orang saling tidak peduli dengan orang lain.
Tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak memperlihatkan tidak ada
perlindungan hukum yang pasti yang bisa menjamin keselamatan mereka. Di sisi lain,
istilah kekerasan seksual tidak dikenal dalam hukum kita (KUHP). Beberapa
bentuknya, seperti pemerkosaan, perbuatan cabul, dan prostitusi, dikategorikan
dalam kejahatan kesusilaan. Padahal istilah “kesusilaan” sendiri tak ada
penjelasannya secara resmi dalam hukum. Penjelasan istilah ini dapat ditemukan
dalam buku non resmi yang disusun oleh R. Sugandhi tentang "KUHP dan
Penjelasannya" maupun oleh R. Soesilo dalam tema yang sama, yang banyak
menjadi rujukan praktisi hukum.
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630
Tel 021-8004712, Fax 021-8004713
Email: [email protected]
Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media
Edisi Oktober 2013
EdEEEEEE
Dalam kedua buku, kata "kesusilaan" diartikan sebagai rasa kesopanan yang berkait
dengan nafsu perkelaminan. Lebih jauh, sebagai perasaan malu yang berhubungan
dengan nafsu kelamin. Misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba
tempat kemaluan perempuan atau laki-laki, mencium dan sebagainya. Yang
semuanya dilakukan dengan "perbuatan". Juga dikatakan dalam buku tersebut (R.
Soesilo) bahwa "sifat merusak kesusilaan perbuatan tersebut kadang-kadang amat
bergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempat itu".
Sementara bila dilihat lebih jauh, apa yang diatur dalam bab kesopanan/kesusilaan
itu sendiri, seperti pasal perkosaan, perbuatan cabul, pelacuran dan perdagangan
perempuan dan anak laki-laki, pada dasarnya merupakan kejahatan seksual (sexual
violence). Artinya, bahwa perbuatan-perbuatan tersebut adalah tindak kejahatan
terhadap diri seseorang, yakni berkaitan dengan persoalan seksual.
Hal itu akhirnya menyebabkan aparat penegak hukum yang harusnya bisa
memberikan perlindungan hukum, justru sering menjadi pelaku kekerasan itu sendiri.
Selain aparat penegak hukum lamban menangani kasus kekerasan karena terjebak
dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan
pelanggaran terhadap nilai budaya, norma agama atau sopan santun berkaitan
dengan nafsu perkelaminan, bukan kejahatan terhadap orang.
Selain itu, dengan alasan korban sulit dimintai keterangan, akhirnya pelaku tak
ditangkap. Padahal dalam kondisi demikian, bisa saja nyawa korban terancam. Di sisi
lain, hukuman yang dijatuhkan pada pelaku sering terlalu ringan. Tidak sebanding
dengan derita seumur hidup yang ditanggung korban. Karena tidak ada hukuman
yang berat itulah, kekerasan seksual terhadap anak terus saja terulang. Anak yang
belum dewasa masih mempunyai ketergantungan pada orang tua, maka ia pun
dengan terpaksa menerima apa yang diperlakukan tuanya terhadapnya.
Banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa, remaja dan anak
perempuan harusnya mendorong DPR memprioritaskan UU Penanganan Kekerasan
terhadap Perempuan (kekerasan seksual). Hal tersebut hingga kini belum menjadi
perhatian serius anggota dewan yang terhormat, padahal adanya undang-undang
tersebut diharapkan sebagai kebijakan dan sistem dukungan bagi korban untuk
mengakses pengaduan yang ramah terhadap korban, pemulihan integratif dari
keluarga, komunitas, dan negara.
Kekerasan seksual yang terus terjadi memperlihatkan bahwa negara abai
memberikan perlindungan terhadap warganya. Padahal
Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 dinyatakan tugas negara ialah memberikan perlindungan kepada
seluruh warga negara. Lantas, di mana negara saat ini? Apa yang telah dilakukan
negara untuk memberikan perlindungan kepada warganya?
*****
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630
Tel 021-8004712, Fax 021-8004713
Email: [email protected]
Website: www.kalyanamitra.or.id
Download