BAB II LANDASAN TEORI A. PERILAKU ASERTIF 1. Pengertian Perilaku Asertif Kata asertif berasal dari bahasa Inggris assertive yang berarti tegas dalam pernyataannya, pasti dalam mengekspresikan dirinya atau pendapatnya. Perilaku asertif adalah perilaku yang menampilkan keberanian untuk secara jujur dalam menyatakan kebutuhan, perasaan dan pikiranpikiran apa adanya, tanpa menyakiti orang lain (Sumintarja, 1997). Menurut Chaplin (1985) asertif adalah kondisi individual yang tidak pasif atau takut pada situasi tertentu. Willis & Daisley (dalam Marini & Andriani, 2005) menyebutkan bahwa asertif sebagai bentuk perilaku dan bukan merupakan sifat kepribadian seseorang yang dibawa sejak lahir, sehingga dapat dipelajari meskipun pola kebiasaan seseorang mempengaruhi proses pembelajaran tersebut. Menurut Rimm & Master (dalam Rakos, 1991) asertif berarti perilaku jujur dan cenderung mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan terus terang, dapat diterima secara sosial di mana perasaan dan kesejahteraan orang lain diperhitungkan. Menurut Galassi & Galassi (dalam Westbrook, 1979) perilaku asertif didefinisikan sebagai perilaku kompleks yang dipancarkan oleh seseorang dalam konteks antarpribadi yang mengungkapkan perasaan orang itu mengenai sikap, keinginan, pendapat atau hak secara 7 8 langsung, tegas dan jujur dengan tetap menghormati perasaan, sikap, keinginan, pendapat, dan hak-hak dari orang lain. Menurut Rini (2001) asertivitas adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain. Dalam bersikap asertif, seseorang dituntut untuk jujur terhadap dirinya dan jujur dalam mengekspresikan perasaan, pendapat dan kebutuhan secara proporsional, tanpa ada maksud untuk memanipulasi, memanfaatkan ataupun merugikan pihak lainnya. Cawood (1988) menyebutkan juga bahwa perilaku asertif adalah ekspresi yang langsung, jujur dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan atau hak-hak individu tanpa kecemasan yang tidak beralasan. Alberti dan Emmons (dalam Abidin, 2011) menyatakan bahwa perilaku asertif dapat mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia, memungkinkan individu untuk bertindak menurut kepentingannya sendiri, untuk membela diri sendiri tanpa kecemasan yang tidak semestinya, untuk mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman serta untuk menerapkan hak-hak pribadi individu tanpa menyangkali hak-hak orang lain. Lioyd (dalam Novalia & Dayakisni, 2013) perilaku asertif adalah perilaku bersifat aktif, langsung, dan jujur. Perilaku ini mampu mengkomunikasikan kesan respek kepada diri sendiri dan orang lain sehingga dapat memandang keinginan, kebutuhan, dan hak kita sama dengan keinginan, kebutuhan dan hak orang lain atau bisa diartikan juga sebagai gaya 9 wajar yang tidak lebih dari sikap langsung, jujur, dan penuh dengan respek saat berinteraksi dengan orang lain. Dalam penelitian ini penulis mengacu pada pengertian Galassi & Galassi (dalam Westbrook, 1979) perilaku asertif didefinisikan sebagai perilaku kompleks yang dipancarkan oleh seseorang mengungkapkan dalam konteks perasaan orang antarpribadi yang mengenai sikap, itu keinginan, pendapat atau hak secara langsung, tegas dan jujur dengan tetap menghormati perasaan, sikap, keinginan, pendapat, dan hak-hak dari orang lain. 2. Komponen Perilaku Asertif Menurut Rakos (1991) komponen-komponen perilaku asertif dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Content Perilaku verbal atau apa yang dikatakan oleh seseorang kepada orang lain dalam mengungkapkan hak dan kesungguhannya. b. Paralingustik elements Karakteristik suara saat menyatakan sesuatu pada orang lain atau bagaimana menyatakan sesuatu dengan memperhatikan nada suara, intonasi, volume dan ekspresi wajah yang kelancaran berbicara. c. Nonverbal behaviors Pergerakan tubuh menyertai perilaku verbal. dan 10 d. Sosial interaction Pemilihan waktu yang tepat, inisiatif, ketekunan dan keterampilan mengontrol tindakan sendiri atau bagaimana bertindak dan dalam proses berinteraksi. Sedangkan menurut Galassi & Galassi (dalam Porpitasari, 2007) menyatakan bahwa asertif mencakup beberapa aspek sebagai berikut: 1) Mengungkapkan perasaan positif (expressing positive feelings) Pengungkapan perasaan positif antara lain: a) Dapat memberikan pujian dan mengungkapkan penghargaan pada orang lain dengan cara asertif adalah keterampilan yang sangat penting. Individu mempunyai hak untuk memberikan balikan positif kepada orang lain tentang aspek-aspek yang spesifik seperti perilaku, pakaian, dan lain-lain, memberikan pujian berakibat mendalam dan kuat terhadap hubungan antara dua orang, ketika seorang di puji kecil kemungkinan mereka merasa tidak dihargai. Menerima pujian minimum dengan ucapan terima kasih, senyuman, atau seperti “saya sangat menghargainya”. b) Aspek meminta pertolongan termasuk di dalamnya yaitu meminta kebaikan hati dan meminta seseorang untuk mengubah membutuhkan perilakunya. pertolongan Manusia orang lain selalu dalam kehidupannya, seperti misalnya meminjam uang. c) Aspek mengungkapkan perasaan suka, cinta, sayang kepada orang yang disenangi. Kebanyakan 11 orang mendengar atau mendapatkan ungkapan tulus merupakan hal yang menyenangkan dan hubungan yang berarti serta selalu memperkuat dan memperdalam hubungan antara manusia. d) Aspek memulai dan terlibat percakapan. Aspek ini diindikasikan oleh frekuensi senyuman dan gerakan tubuh yang mengindikasi reaksi perilaku, respon, kata-kata yang menginformasikan tentang diri/pribadi, atau bertanya langsung. 2) Afirmasi diri (self affirmations) Afirmasi diri terdiri dari tiga perilaku yaitu: a) Mempertahankan hak Mengekspresikan mempertahankan hak adalah relevan pada macam-macam situasi dimana hak pribadi diabaikan atau dilanggar. Misalnya situasi orang tua dan keluarga, seperti anak tidak diizinkan/dibolehkan menjalani kehidupan sendiri, tidak mempunyai hak pribadi sendiri, dan situasi hubungan teman dimana hakmu dalam membuat keputusan tidak dihormati. b) Menolak permintaan Individu berhak menolak permintaan yang tidak rasional dan untuk permintaan yang walaupun rasional, tapi tidak begitu diperhatikan. Dengan berkata “tidak” dapat membantu kita untuk menghindari keterlibatan pada situasi yang akan membuat penyesalan karena terlibat, mencegah terjadinya suatu keadaan dimana individu akan merasa seolah-olah telah mendapatkan keuntungan 12 dari penyalahgunaan atau memanipulasi ke dalam sesuatu yang diperhatikan untuk dilakukan. c) Mengungkapkan pendapat Setiap individu mengungkapkan mempunyai pendapatnya hak untuk secara asertif. Mengungkapkan pendapat pribadi termasuk di dalamnya dapat mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan pendapat orang lain, atau berpotensi untuk menimbulkan perselisihan pendapat dengan orang lain, contohnya adalah mengungkapkan ketidaksepahaman dengan orang lain. 3) Mengungkapkan perasaan negatif (expressing negative feelings) Perilaku ini meliputi pengungkapan perasaan negatif tentang orang per-orang. Perilaku-perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah: a) Mengungkapkan ketidaksenangan Ada banyak situasi dimana individu berhak jengkel atau tidak menyukai perilaku orang lain, seseorang melanggar hakmu, teman meminjam barang tanpa permisi, teman yang selalu datang terlambat ketika berjanji, dan lain-lain. b) Mengungkapkan kemarahan Individu mempunyai tanggung jawab untuk tidak merendahkan, mempermalukan, atau memperlakukan dengan kejam kepada orang lain pada proses ini. Banyak orang telah mempelajari 13 bahwa mereka seharusnya tidak mengekspresikannya. Dalam penelitian ini penulis menggunakan aspek dari Galassi & Galassi (dalam Porpitasari, 2007) sebagai dasar pembuatan skala perilaku asertif. Karena aspek perilaku asertif milik Galassi & Galassi sudah digolongkan menjadi 3 aspek dan dirasa cukup lengkap dan memadai. 3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Asertif Menurut Rakos (1991) terdapat tiga faktor yang memengaruhi perkembangan perilaku asertif yaitu: a. Jenis Kelamin Rakos menyatakan bahwa pria lebih asertif bila dibandingkan dengan wanita karena adanya tuntutan masyarakat yang menjadikan pria lebih agresif, mandiri, kompetitif. Sedangkan wanita cenderung lebih pasif dan tergantung. b. Pengasuhan orang tua Keluarga yang mendidik anak secara demokratis dan memberikan kebebasan akan menimbulkan sikap asertif pada anak, karena anak memiliki rasa percaya diri yang direflesikan dengan perilaku aktif. c. Kebudayaan Kebudayaan memiliki peran yang besar dalam membentuk perilaku asertif. Biasanya ini berhubungan dengan norma-norma yang ada. Salah satunya contohnya adalah perlakuan orang tua pada anak laki-laki akan berbeda dengan perlakuan pada anak perempuan. Hal ini 14 disesuaikan norma masyarakat atau lingkungan disekitarnya. B. Jenis Kelamin 1. Pengertian Jenis Kelamin Secara umum jenis kelamin diartikan sebagai pembedaan pria dan wanita (Badudu & Zein, 1994 dalam kamus besar bahasa Indonesia). Menurut Sears (1994) menyatakan bahwa jenis kelamin merupakan unsur dari konsep diri pribadi. Banyak orang memandang bahwa mereka memiliki minat dan kepribadian yang bergantung pada jenis kelamin mereka. Ashdown (dalam Indriasari, 2006) menjelaskan bahwa istilah jenis kelamin dipakai untuk pembagian struktur sosial berdasarkan jenis dan juga pada tanda-tanda emotional dan psikologi yang diharapkan oleh suatu budaya dengan bentuk fisik pria dan wanita. Mengacu pada pengertian-pengertian jenis kelamin di atas maka dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin berkaitan dengan pembedaan pria dan wanita berdasarkan ciri-ciri fisik dan anatomis. 2. Perbedaan Laki-laki dan Perempuan Perbedaan sifat-sifat yang dimiliki oleh pria dan wanita disebabkan oleh perbedaan perlakuan pada pria dan wanita. Perbedaan mencolok antara pria dan wanita adalah secara fisik (Monks,dkk 1999). Secara fisik laki-laki dan perempuan berbeda ini dapat dilihat dari identitas jenis kelamin, bentuk dan anatomi tubuh 15 dan juga komposisi kimia dalam tubuh. Perbedaan anatomis biologis dan komposisi kimia dalam tubuh oleh sejumlah ilmuwan dianggap berpengaruh pada perkembangan emosional dan kapasitas intelektual masing-masing (Ekawati & Wulandari, 2011). Psikolog dan penulis terkenal telah menganalisis peran jenis kelamin laki-laki diharapkan untuk menjadi tangguh, kekerasan, dan agresif (Eagly & Steffen, 1986). Jika dibandingkan dengan pria, wanita masih dipandang lebih mengutamakan sisi emosionalitas daripada rasionalitas (Utami & Sumaryono, 2008). Pria lebih banyak berorientasi pada otak kiri, menggunakan logika dan akan lebih banyak daripada kemampuan verbal dan relasi. Secara keseluruhan, perbedaan-perbedaan fisik ini adanya perbedaan-perbedaan hormonal, terutama sekali testoteron dan hormone mengatur segalanya (Sanders, 2002). C. Remaja Awal 1. Pengertian Remaja Awal Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence (dari Bahasa Inggris) yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang cukup luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1999). Menurut Konopka (dalam Yusuf, 2002) masa remaja merupakan masa transisi antara masa anak dan dewasa dalam rentang usia antara 15 sampai dengan 18 tahun. 16 Monks, dkk (1999) menyatakan bahwa batasan usia remaja antara 12 hingga 21 tahun, yang terbagi dalam tiga fase, yaitu remaja awal (usia 12 hingga 15 tahun), remaja tengah/ madya (usia 15 hingga 18 tahun), dan remaja akhir (usia 18 hingga 21 tahun). Senada dengan Santrock (2002) bahwa remaja awal berada rentang usia 12-17 tahun, sedangkan masa remaja akhir berada pada rentang usia 1721 tahun. Hurlock (1980) mengutarakan bahwa masa remaja awal berlangsung kira-kira dari 13 tahun sampai dengan 16 tahun atau 17 tahun, usia ini dikenal dengan usia tidak menyenangkan karena banyaknya perubahan baik fisik maupun psikologis, sehingga memerlukan penyesuaian mental dan sikap, nilai dan minat yang baru. Blos (dalam Sarwono, 2006) mengutarakan bahwa terdapat tiga tahapan dalam masa remaja, antara lain adalah remaja, remaja madya dan remaja akhir. Perubahan pertama yang dirasakan pada remaja awal berasal dari fase pubertas, yang menjadi ciri utama pada masa remaja (Willis, 1981). Pada masa remaja awal individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak tergantung pada orang tua. Fokus pada tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman sebaya (Konopka dalam Agustiani, 2006) . Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja awal adalah yang berusia 12-17 tahun. 17 2. Ciri-ciri Remaja Awal Menurut Mappiare (1982) ciri-ciri khas remaja awal adalah sebagai berikut: a. Ketidakstabilan perasaan dan emosi, pada masa ini sebagai perasaan yang sangat peka, remaja mengalami badai dan topan dalam kehidupan perasaan dan emosinya. b. Sikap dan moral, terutama menonjol menjelang akhir remaja awal, organ-organ seks yang telah matang menyebabkan remaja mendekati lawan seks. Ada dorongan-dorongan seks yang ada dan kecenderungan memenuhi dorongan itu dengan keberanian dan tindakan ini membuat remaja rentan berselisih paham dengan orangtua atau orang dewasa lainnya. c. Kecerdasan atau kemampuan mental, kemampuan mental atau kemampuan berpikir remaja awal mulai sempurna. Keadaan ini terjadi dalam usia 12 sampai 16 tahun. Remaja awal suka menolak hal-hal yang tidak masuk akal yang menyebabkan pertentangan remaja dengan orangtua maupun orang dewasa lainnya. d. Hal status remaja awal sangat sulit ditentukan, perlakuan yang diberikan oleh orang dewasa terhadap remaja awal sering berganti-ganti. Ada keraguan orang dewasa untuk memberikan tanggung jawab kepada remaja awal dengan dalil mereka masih kanak-kanak. e. Remaja awal banyak kemampuan berpikir masalah yang dihadapinya, lebih dikuasai emosionalitasnya sehingga kurang mampu mengadakan konsesus dengan pendapat orang lain yang bertentangan dengan 18 pendapatnya, akibat, masalah yang menonjol adalah pertentangan sosial. f. Masa remaja awal adalah masa yang kritis, dikatakan kritis sebab dalam masa ini remaja akan dihadapkan dengan persoalan apakah ia dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya atau tidak. Ketidakmampuan menghadapi masalah dalam masa ini akan menjadikannya orang “dewasa” yang bergantung. 3. Tugas Perkembangan Remaja Awal Tugas perkembangan remaja awal menurut Mappiare (1982) adalah: a. Memiliki kemampuan mengontrol diri sendiri seperti orang dewasa. Remaja awal harus memahami bahwa dalam melakukan suatu perbuatan atau pekerjaan itu ada yang boleh dan ada yang tidak boleh dilakukannya. Untuk itu perlu adanya kontrol agar dirinya dapat berperilaku yang diterima oleh masyarakat lingkungannya. b. Memperoleh kebebasan Remaja awal diharapkan belajar dan berlatih bebas membuat rencana, bebas membuat alternatif pilihan, bebas menentukan keputusan - pilihan keputusan dan bebas sendiri; membuat melaksanakan keputusannya itu serta bertanggung jawab sendiri atas keputusan dan pelaksanaan keputusannya. c. Bergaul dengan lawan jenis Remaja awal sadar bahwa dirinya ada rasa simpatik, rasa tertarik untuk selalu bersama-sama dengan lawan jenisnya. 19 d. Mengembangkan keterampilan-keterampilan baru Pada masa remaja awal dan sepanjang masa remaja, seseorang diharapkan berlatih dan mengembangkan keterampilan-keterampilan baru yang sesuai dengan tuntutan hidup dan pergaulannya dalam masa dewasa kelak. e. Memiliki citra diri yang realistis Pada masa remaja awal, remaja diharapkan dapat memberikan penilaian terhadap keadaan dirinya secara apa adanya. Mereka diharapkan dapat mengukur atau menafsirkan apa-apa yang lebih dan kurang pada diri mereka serta dapat menerima apa adanya diri mereka, memelihara dan memanfaatkannya secara positif. D. Perbedaan Perilaku Asertif Remaja Awal Ditinjau dari Jenis Kelamin Pada masa remaja awal harus memahami bahwa dalam melakukan suatu perbuatan atau pekerjaan itu ada yang boleh dan ada yang tidak boleh dilakukannya. Untuk itu perlu adanya kontrol agar dirinya dapat berperilaku yang diterima oleh masyarakat lingkungannya (Mappiare, 1982). Hakekatnya manusia merupakan makhluk sosial yang hidup dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya Oleh karena itu kemampuan komunikasi yang baik sangat ditekankan untuk menciptakan hubungan baik dengan lingkungan sekitarnya Komunikasi melibatkan dua unsur pribadi secara penuh dimana keterbukaan dan kejujuran sangat dibutuhkan. Dalam bimbingan dan konseling sikap tersebut disebut sikap asertif. Sikap asertif ialah sikap yang digunakan untuk mengekspresikan dirinya secara terbuka tanpa 20 menyakiti perasaan orang lain, sehingga dibutuhkan sikap asertif yang tinggi agar komunikasi tersebut dapat terbina dengan baik (Trisnaningtyas, 2013). Berkaitan dengan pola komunikasi tersebut, Penelitian yang dilakukan oleh Tannen (dalam Sari, Rejeki & Mujab, 2006) menyatakan ada perbedaan cara berkomunikasi antara pria dan wanita juga dijelaskan bahwa pria dan wanita memiliki tipe pembicaraan yang berbeda. Pria lebih menguasai kemampuan verbal seperti bercerita, bercanda dan berceramah tentang informasi, sedangkan wanita lebih menyenangi percakapan pribadi. Demikian pula, menurut beberapa peneliti Broverman, Vogel, Clarkson, & Rosenkrantz, Rubel, Spence & Helmreich (dalam Eagly & Steffen, 1986) tentang stereotip gender menunjukkan bahwa pria dinilai lebih agresif daripada wanita dan lebih asertif serta menyukai kompetisi. Ariyanto (2005) mengatakan bahwa perbedaan perilaku asertif pada pria dan wanita dikarenakan pria lebih berterus terang dalam menyatakan pendapat, walaupun yang bersifat negatif kepada orang lain, karena mereka tidak menganggap bahwa hal itu dapat menyakiti orang lain. Pria lebih dapat menerima keterusterangan, sementara wanita sering menganggap keterusterangan dapat menyinggung perasaan seseorang. Lioyd (dalam Novalia & Dayakisni, 2013) mengatakan semenjak kanak-kanak, peran dan pendidikan laki-laki dan perempuan telah dibedakan oleh masyarakat, sejak kecil telah dibiasakan bahwa anak laki-laki harus tegas dan kompetitif dan anak perempuan harus pasif menerima perintah. Berbeda dengan penelitan Stebbin, Kelly, Tollor dan Power (1977) 21 mengatakan bahwa perempuan lebih asertif daripada laki-laki. Ditunjukkan bahwa perempuan telah mencapai sebuah ukuran kebebasan yang kuat dari keterbatasan peran yang dikenakan oleh budaya tradisional, dan bahwa mereka cukup bersedia mengekspresikan perasaan mereka secara lebih terbuka. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan berperilaku asertif seseorang tidak ada hanya dipengaruhi oleh budaya tradisional namun juga dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin antar individu. Perbedaan karakteristik laki-laki dan perempuan dalam hubungan sosial mengindikasikan perbedaan perilaku asertif antar keduanya. E. Hipotesis 1. Hipotesis Empirik Berdasarkan dari uraian dalam latar belakang serta kesimpulan landasan teori yang ada, maka dapat ditetapkan hipotesis sebagai berikut ada perbedaan yang signifikan pada perilaku asertif remaja awal ditinjau dari jenis kelamin. 2. Hipotesis Statistik H0: µ1 = µ2, artinya tidak ada perbedaan yang signifikan antara asertif remaja awal ditinjau dari jenis kelamin. H1 : µ1 = µ2, artinya ada perbedaan yang signifikan antara asertif remaja awal ditinjau dari jenis kelamin.