BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab 2 ini peneliti akan memaparkan fakta-fakta yang diperoleh dari berbagai sumber terkait variabel penelitian. Pada bab sebelumnya, telah disebutkan bahwa peneliti akan menganalisa hubungan gaya komunikasi orangtua terhadap perilaku asertif. Analisa ini akan diperkuat dengan teori-teori dan pendapat-pendapat para ahli yang ada pada bab 2. Maka pada bab ini, peneliti akan membahas mengenai variabel gaya komunikasi orangtua dan perilaku asertif. Tujuan dari bab ini adalah untuk mengidentifikasi dan menjabarkan konseptualisasi dari variabel penelitian. 2.1 Perilaku Asertif Perilaku asertif adalah perilaku interpersonal individu yang berupa pernyataan mengenai apa yang dirasakan oleh individu tersebut, yang bersifat jujur dan relatif langsung (Rimm & Master dalam Marini, 2005). Perilaku asertif juga meliputi berbagai aspek multidimensi dari ekspresi manusia, seperti aspek perilaku, aspek kognisi, dan aspek afeksi. Perilaku asertif inilah yang memungkinkan manusia untuk mengekspresikan emosi mereka, tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain sehingga mereka mampu mencapai apa yang menjadi tujuan mereka, serta membentuk hubungan yang baik dengan orang lain (Herzberger, Chan & Katz dalam Fung Lan Young, 2010). Alberti & Emmons (Rakos, 1991) menyebutkan bahwa perilaku asertif ini jugalah yang memungkinkan seseorang untuk dapat berperilaku sesuai dengan apa yang mereka inginkan tanpa menyakiti perasaan orang lain, mempertahankan diri tanpa perlu merasa cemas dan takut, mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, serta menggunakan hak pribadi tanpa melanggar hak orang lain. Definisi-definisi perilaku asertif atau asertivitas berdasarkan pendapat para ahli adalah sebagai berikut : a. Davis (1981), perilaku asertif adalah perilaku yang mengarah langsung kepada tujuan, jujur, terbuka, penuh percaya diri, dan teguh pendiriannya. Sedangkan b. Mulvani (1989), perilaku asertif adalah perilaku pribadi menyangkut emosi yang tepat, jujur, relatif terus terang, tanpa perasaan cemas pada orang lain. c. Calhoun (1990), perilaku asertif adalah bertahan pada hak-hak pribadi dan mengekspresikan pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan keyakinan secara langsung, lujur, dan tepat. d. Weaver (Susanto, 1997) mengartikan perilaku asertif sebagai kemampuan untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan dengan yakin dan mampu. e. Perilaku asertif seseorang pada hakekatnya mencakup tiga klasifikasi umum perilaku, yaitu tepat dalam cara menolak permintaan orang lain, ekspresi yang tepat dari pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan seria ekspresi yang tepat dari keinginan-keinginan yang dimiliki (Wood dan Mallinekrodt dalam Prabana, 1997). Berdasarkan dari definisi-definisi menurut para tokoh diatas, dapat disimpulkan bahwa individu yang mempunyai perilaku asertif adalah individu yang dapat berperilaku sesuai dengan apa yang mereka inginkan tanpa menyakiti perasaan orang lain,dapat menolak apa yang tidak ia sukai, secara jujur, nyaman, dan tanpa mengambil hak orang lain. 2.1.1 Komponen Perilaku Asertif Menurut Eisler, Miller dan Hersen, Johnson dan Pinkton (dalam Martin & Poland, 1980) ada beberapa komponen dari asertivitas, antara lain adalah: 1) Compliance Berkaitan dengan usaha seseorang untuk menolak atau tidak sependapat dengan orang lain. Yang perlu ditekankan di sini adalah keberanian seseorang untuk mengatakan “tidak” pada orang lain jika memang itu tidak sesuai dengan keinginannya. Lioyd (1991) juga mengatakan salah satu karakteristik individu yang berperilaku asertif adalah mampu mengatakan tidak dengan sopan dan tegas, individu tersebut mampu menyatakan tidak ketika ada keinginan dari orang lain ataupun pandangannya. 2) Duration of Reply lamanya waktu bagi seseorang untuk mengatakan apa yang dikehendakinya, dengan menerangkannya pada orang lain. Eisler dkk (dalam Martin & Poland, 1980) menemukan bahwa orang yang tingkat asertifnya tinggi memberikan respons yang lebih lama (dalam arti lamanya waktu yang digunakan untuk berbicara) daripada orang yang tingkat asertifnya rendah. 3) Loudness Berbicara dengan lebih keras biasanya lebih asertif, selama seseorang itu tidak berteriak. Berbicara dengan suara yang jelas merupakan cara yang terbaik dalam berkomunikasi secara efektif dengan orang lain (Eisler dkk dalam Martin & Poland, 1980). 4) Request for New Behavior Meminta munculnya perilaku yang baru pada orang lain, mengungkapkan tentang fakta ataupun perasaan dalam memberikan saran pada orang lain, dengan tujuan agar situasi berubah sesuai dengan yang kita inginkan.Lioyd (1991) mengatakan salah satu karakteristik individu yang berperilaku aserrtif adalah individu yang mampu mengekspresikan perasaan jujur, individu tersebut tidak menyangkal perasaan atau keinginannya terhadap orang lain. bersikap realistis, individu tersebut tidak melebih-lebihkan, mengecilkan sesuatu hal. 5) Affect Afek berarti emosi; ketika seseorang berbicara dalam keadaan emosi maka intonasi suaranya akan meninggi. Pesan yang disampaikan akan lebih asertif jika seseorang berbicara dengan fluktuasi yang sedang dan tidak berupa respons yang monoton ataupun respons yang emosional. 6) Latency of Response Adalah jarak waktu antara akhir ucapan seseorang sampai giliran kita untuk mulai berbicara.Kenyataannya bahwa adanya sedikit jeda sesaat sebelum menjawab secara umum lebih asertif daripada yang tidak terdapat jeda. 7) Non Verbal Behavior Serber (dalam Martin & Poland, 1980) menyatakan bahwa komponenkomponen non verbal dari asertivitas antara lain: a. Kontak Mata secara umum, jika kita memandang orang yang kita ajak bicara maka akan membantu dalam penyampaian pesan dan juga meningkatkan efektifitas pesan. Akan tetapi jangan pula sampai terlalu membelalak ataupun juga merunduk kepala. b. Ekspresi Muka Perilaku asertif yang efektif membutuhkan ekspresi wajah yang sesuai dengan pesan yang di sampaikan. Misalnya, pesan kemarahan akan disampaikan secara langsung tanpa senyuman, ataupun pada saat gembira tunjukkan dengan wajah senang. c. Jarak Fisik Sebaiknya berdiri atau duduk dengan jarak sewajarnya. Jika kita terlalu dekat dapat mengganngu orang lain dan terlihat seperti menantang, sementara terlalu jauh akan membuat orang lain susah untuk menangkap apa maksud dari perkataan kita. d. Sikap Badan Sikap badan yang tegak ketika berhadapan dengan orang lain akan membuat pesan lebih asertif. Sementara sikap badan yang tidak tegak dan terlihat malas-malasan akan membuat orang lain menilai kita mudah mundur atau melarikan diri dari masalah. e. Isyarat Tubuh Pemberian isyarat tubuh dengan gerakan tubuh yang sesuai dapat menambah keterbukaan, rasa percaya diri dan memberikan penekanan pada apa yang kita katakana, misalnya dengan mengarahkan tangan ke luar. Sementara yang lain seperti menggaruk leher, dan menggosok-gosok mata.mendapatkan apa yang diinginkannya, jujur, terbuka, dan memberikan penghargaan pada orang 2.1.2 Ciri-Ciri Perilaku Asertif Orang asertif adalah orang yang penuh semangat, menyadari siapa dirinya, dan apa yang diinginkannya (Fensterheim & Baer, 1980). Selanjutnya dikatakan bahwa pribadi yang asertif memiliki ciri-ciri: a) Merasa bebas untuk mengemukakan dirinya, artinya ia bebas menyatakan perasaan, pikiran dan mampu menolak hal-hal yang tidak sesuai dengan dirinya seperti permintaan dan gagasan, b) Dapat berkomunikasi dengan semua orang, artinya dengan orang yang telah maupun dengan yang belum dikenalnya, c) Mempunyai pandangan aktif tentang hidupnya, artinya berusaha untuk lain tanpa menyakiti atau mengesampingkan ataupun mengecilkan arti orang lain, d) Bertindak dengan cara yang dihormatinya, artinya dengan menerima keterbatasannya sehingga kegagalan tidak membuatnya kehilangan harga diri. 2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Asertivitas a. Jenis Kelamin Lioyd (1991) mengatakan perilaku asertif dipengaruhi oleh jenis kelamin karena semenjak kanak-kanak, peran dan pendidikan laki-laki dan perempuan telah dibedakan oleh masyarakat, sejak kecil telah dibiasakan bahwa anak laki-laki harus tegas dan kompetitif dan anak perempuan harus pasif menerima perintah dan sensitif. Hal ini berakibat laki-laki akan berperilaku lebih asertif dibandingkan anak perempuan. Menurut Arsante dan Gudykunst (Syarani, 1995) menyatakan bahwa pada umumnya pria banyak memiliki sifat-sifat maskulin yaitu kuat, asertif, kompetitif, dan ambisius.Penelitian Bee (Yogaryjantono, 1991) menambahkan laki-laki cenderung lebih mandiri, tidak mudah terpengaruh, dan lebih tenang.Perempuan lebih mudah terpengaruh dan lebih bersifat mendidik. Budiman dalam Widodo (1998) memperkuat pendapat Bee, dengan mengatakan bahwa laki-laki lebih aktif dan lebih rasional, sedangkan perempuan lebih pasif, lebih emosional, dan lebih submisif. b. Harga Diri Alberti dan Emmons (Hidayati, 1987) mengatakan bahwa orang-orang yang asertif diasumsikan memiliki konsep diri yang positif. Orang yang memiliki konsep diri positif dengan sifat-sifat penerimaan diri, evaluasi diri yang positif dan harga diri yang tinggi, akan membuat mereka merasa aman dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi dalam ranah sosial. c. Pola Asuh Orang Tua dan Lingkungan Kualitas perilaku asertif seseorang sangat dipengarahi pengalaman masa kanak-kanaknya (Andu, 1993). Pengalaman tersebut, yang kebanyakan berupa interaksi dengan orangtua maupun anggota keluarga lainnya, sangat menentukan pola respon seseorang dalam menghadapi berbagai masalah setelah ia menjadi dewasa kelak. Menurut Baumrind (dalam Maccoby, 1982) pola asuh adalah interaksi antara orangtua dengan remaja yang meliputi proses mendidik, membimbing, mendisiplinkan dan melindungi remaja untuk mencapai kedewasaan yang sesuai dengan norma-norma yang ada pada masyarakat. Pola asuh dianggap sebagai pengalaman yang sangat penting yang dapat merubah individu secara emosional, sosial dan intelektual. Hersey & Blanchard (1978) juga menyatakan bahwa parenting styletipe participating mengembangkan kerjasama antara orangtua dan anak dalam menyelesaikan suatu masalah. Disini anak dapat mengatakan apa yang mereka ingin sampaikan kepada orangtua mereka, baik saran, pendapat maupun kritikan, selain itu anak juga tidak merasa terkekang ataupun merasa terlalu dibebaskan dalam berbagai hal. d. Kebudayaan Setiap kebudayaan mempunyai aturan yang berbeda-beda, perbedaan ini dapatmempengaruhi pembentukan pribadi masing-masing individu terutama dalam perilaku asertifnya. e. Tingkat Pendidikan Caplow (Yogaryiantono, 1991) mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin ada kecenderungan untuk sukses dalam bekerja. Semakin orang berpendidikan akan semakin mengenal dirinya secara lebih baik,termasuk kelebihan dan kekurangannya, sehingga mereka cenderung mempunyai rasapercaya diri. f. Kondisi Sosial Ekonomi dan Intelegensi Faktor sosial dan intelligence seseorang mempengaruhi tinggi rendahnya asertivitas ditunjukkan oleh hasil peneiitian Sehartz dan Gottman (Retnaningsih, 1992)-menunjukkan bahwa individu yang memiliki status sosial ekonomi dan intelegensi yangtinggi pada umumnya tinggi pula nilai asertivitasnya. Jika dilihat dari pembahasan mengenai perilaku asertif, memang tidak semua orang mempunyai perilaku asertif. Perilaku asertif adalah individu yang dapat berperilaku sesuai dengan apa yang mereka inginkan tanpa menyakiti perasaan orang lain,dapat menolak apa yang tidak ia sukai, secara jujur, nyaman, dan tanpa mengambil hak orang lain. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi individu dapat berperilaku asertif, seperti contohnya jenis kelamin, harga diri, pola asuh orangtua, kebudayaan, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan lama kerja, dan kondisi sosial ekonomi. Dengan adanya faktor-faktor tersebut bisa memungkinkan bahwa perilaku asertif itu sebenarnya bisa di bentuk, misalnya dengan pembiasaan yang dilakukan oleh orangtua dengan cara pola asuh orangtua kepada anak sejak kecil. 2.2 Gaya Komunikasi Komunikasi sangat penting dalam kehidupan kita sehari-hari sehingga menjadi komunikasi yang efektif, di mana kedua belah pihak (yaitu antara komunikator dan komunikan) ada feedback. Gaya komunikasi orang tua dalam mengatasi masalah kenakalan remaja menjadi penting karena dengan kesalahan kecil dalam mendidik anak dengan menggunakan gaya komunikasi dapat menyebabkan anak melakukan perilaku yang menyimpang. Setiap orang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Hal tersebut mempengaruhi seseorang dalam cara berkomunikasi baik dalam bentuk perilaku maupun perbuatan atau tindakan. Cara berkomunikasi tersebut disebut gaya komunikasi. Gaya komunikasi adalah cara atau pola yang ditampilkan oleh komunikator untuk mengungkapkan sesuatu (menyampaikan pesan, ide, gagasan) baik melalui sikap, perbuatan, dan ucapannya ketika berkomunikasi dengan komunikan (Suryadi, 2004:33). Gaya komunikasi dapat dilihat dan diamati ketika seseorang berkomunikasi baik secara verbal (bicara) maupun nonverbal (ekspresi wajah, gerakan tubuh dan tangan serta gerakan anggota tubuh lainnya). Berbagai gaya komunikasi yang digunakan orang tua berbeda-beda, meskipun terkadang ada persamaan. Proses sosialisasi anak dalam lingkungan sosial sangat dipengaruhi oleh pola komunikasi yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya. Orang tua yang mempunyai komunikasi yang baik dengan anaknya maka dapat menciptakan hubungan yang harmonis di dalam keluarga sehingga perkembangan kepribadian anak baik. Proses komunikasi yang dilakukan orang tua-nya untuk mendidik anaknya dipengaruhi oleh gaya komunikasi. Gaya komunikasi adalah suatu kekhasan yang dimiliki setiap orang dan gaya komunikasi antara orang yang satu dengan orang lainnya berbeda. Perbedaan antara gaya komunikasi antara satu orang dengan yang lain dapat berupa perbedaan dalam ciri-ciri model dalam berkomunikasi, tata cara berkomunikasi, cara berekspresi dalam berkomunikasi dan tanggapan yang diberikan atau ditunjukkan pada saat berkomunikasi. 2.2.1 Jenis-Jenis Gaya Komunikasi Gaya komunikasi menurut Heffer (dalam The Language Of Jury Trial, 2005) ada tiga macam yaitu: 1. Gaya Komunikasi Pasif Gaya komunikasi ini lebih mendahulukan hak orang lain tanpa melihat pendapat kita atau hak kita agar menghindari konflik, gaya komunikasi ini lebih merendahkan diri sendiri ketika berkomunikasi. 2. Gaya Komunikasi Asertif Gaya asertif ini lebih mempertahankan hak atau pendapat kita untuk mempertahankan posisi dan kehormatan pendapat kita atas orang lain. 3. Gaya Komunikasi Agresif Gaya agresif ini lebih kepada mempertahankan dan memaksa pendapat atau hak pribadi pada orang lain tetapi dengan perlawanan bahkan dengan melakukan kekerasan fisik. Selain gaya komunikasi di atas, menurut Effendy (1989) dominasi gaya komunikasi seseorang tergantung pada keadaan komunikasi yang berasal dari pola sikap, yaitu ada pendapat yang sama mengenai gaya komunikasi sebagai berikut: 1. Pasif Gaya komunikasi yang lebih memilih untuk menuruti apapun respon orang lain agar menghindari konflik yang akan timbul. Gaya ini biasanya digunakan untuk menghadapi situasi yang sulit atau tidak menyenangkan dengan orang lain (perbedaan pendapat, tidak senang terhadap perilaku orang lain, membutuhkan bantuan, tetangga sangat berisik, dan sebagainya). Gaya komunikasi ini sangat tidak efektif dan tidak menguntungkan dalam perkembangan hubungan selanjutnya, apapun bentuk responnya. 2. Agresif Gaya komunikasi yang berusaha mendominasi dalam interaksi dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal, komunikasi ini juga sangat tidak efektif karena ada pemaksaan hak pada orang lain. 3. Asertif Gaya komunikasi ini lebih mengembangkan pada hubungan antarpribadi atau interpersonal yang sifatnya member (menyatakan hubungan, perasaan dan pikiran secara langsung, jujur dan dalam kesempatan yang tepat), dan sekaligus juga menerima (mendengarkan secara aktif apa yang menjadi kebutuhan, pikiran, dan perasaaan orang lain). Tujuan dari perilaku asertif adalah membuat proses komunikasi berjalan lancar dan membangun hubungan yang baik, saling menghormati. Perilaku ini juga merupakan bentuk pemecahan masalah (problem solving). Ada beberapa pendapat mengenai gaya komunikasi menurut Gamble (2005) ada tiga macam gaya komunikasi: 1. Gaya Komunikasi Nonasertif Gaya komunikasi ini lebih menunjukkan perasaan takut dan bimbang kepada perilaku yang mengingkari diri dan gaya komunikasi ini lebih tidak efektif karena dapat memberikan keuntungan kepada orang lain. 2. Gaya Komunikasi Agresif Gaya yang menyatakan perasaan dan harga diri, dan berjuang untuk memperoleh keuntungan orang lain dengan cara tidak adil atau berbuat curang. 3. Gaya Komunikasi Asertif Sikap yang mampu mengekspresikan perasaan dan harga diri yang berdasarkan pikiran yang etis. Pikiran tersebut adalah pikiran yang menghargai dan menganggap bahwa melanggar hak asasi orang lain adalah tidak benar sehingga dalam mengekspresikan diri ataupun diperlakukan dengan memberi perhatian martabat dan rasa hormat. Jika kita lihat dari beberapa tokoh yang menyatakan tentang gaya komunikasi orangtua Heffer [2005], Effendy [1989], dan Gamble [2005], ada kesamaan antara ketiga gaya komunikasi yang di kemukakan oleh ketiganya. Gaya komunikasi asertif adalah gaya komunikasi yang yang bersifat dua arah, komunikator dan komunikan ada feedback, antara kedua belah pihak saling di untungkan; gaya komunikasi pasif yaitu gaya komunikasi yang lebih cenderung merugikan salah satu pihak untuk mengikuti apa yang menjadi keinginan salah satu agar terhindar dari konflik; sedangkan gaya komunikasi agresif (nonasertif) jenis komunikasi yang berusaha untuk mendapatkan keinginan salah satu pihak dengan cara pemaksaan hak pada orang lain. 2.2.2 Gaya Komunikasi yang Efektif Komunikasi dikatakan efektif jika menimbulkan lima hal, yaitu pengertian kesenangan, berpengaruh pada perubahan sikap, hubungan semakin baik, dan tindakan yang dilakukan semakin positif (Stewart L.Tubbs & Sylvia Moss,1974: 9-13). 1). Pengertian Penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksud oleh komunikator. Orang tua sering bertengkar hanya karena pesan yang disampaikan diartikan lain oleh anak/remaja yang diajak bicara. Kegagalan menerima isi pesan secara cermat disebut kegagalan komunikasi primer (primary breakdown in communication).Jika orang tua dan anak remaja mengalami gangguan hubungan yang ditimbulkan oleh salah pengertian disebut kegagalan komunikasi sekunder (secondary breakdown communication). 2). Kesenangan Jika orang tua berkomunikasi dengan anak perlu dipikirkan apakah isi pesan disampaikan membuat mereka senang. Komunikasi dilakukan untuk mengupayakan agar mereka sama-sama merasa senang. Sebagaimana yang disebut pada analisis transaksional (Eric Berne, 1982) sebagai “ Saya Oke - Kamu Oke “ ( “I am oke - You are oke “ ). Komunikasi ini disebut Komunikasi Fatis (Phatic Communication), dimaksudkan untuk menimbulkan kesenangan.Komunikasi inilah yang menjadikan hubungan antara orang tua dengan anaknya menjadi harmonis (hangat, akrab, dan menyenangkan). 3). Mempengaruhi Sikap Orang tua melakukan komunikasi dengan anaknya bertujuan untuk mempengaruhinya, inilah yang disebut komunikasi persuasif.Komunikasi persuasif memerlukan pemahaman tentang faktorfaktor pada diri orang tua dan pesan yang menimbulkan efek pada anak remaja. Persuasisi di definisikan sebagai "proses mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan orang dengan menggunakan manipulasi psikologis sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri". 4). Hubungan sosial yang baik Komunikasi ditujukan untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Manusia yang merupakan makhluk individu dan sosial, mempunyai kebutuhan sosial yaitu ingin berhubungan dengan orang lain secara positif. Kebutuhan sosial ini hanya dapat dipenuhi dengan komunikasi interpersonal yang efektif. 5). Tindakan Komunikasi ditujukan untuk mendorong seseorang bertindak.Persuasi sebagai komunikasi ditujukan untuk mempengaruhi sikap, dan melahirkan tindakan yang dikehendaki.Meskipun sangat sulit untuk mempengaruhi seseorang bertindak, namun dengan komunikasi yang efektif dan hubungan interpersonal yang baik antara orang tua – anak remaja maka perbuatan untuk tindakan yang positif bisa terwujud. 2.2.3 Aspek Komunikasi Ibu dan Anak Terdapat lima aspek komunikasi yang terjadi pada komunikasi ibu dan anak (De Vito, dalam Widuri, 2011): 1. Keterbukaan Keterbukaan yang ada memberikan ruang bagi anak untuk menyampaikan isi dari pikiran dan perasaan yang dirasakan sehingga komunikasi bisa dilakukan secara jujur dan bertanggung jawab. Keterbukaan anak akan membuat ibu lebih memahami anakterutama ketika anak mula remaja. 2. Empati Kemampuan dalam merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Dalam halini adalah ibu yang mencoba memahami apa yang dirasakan oleh anaknya. Begitu pula pada anak yang memahami apa yang dirasakan oleh ibunya. Tanpa anak maupun ibu menghilangkan perannya masing-masing.Sehingga tumbuh perasaan nyaman dan peduli dalam diri ibu dan anak. Rasa nyaman dan peduli yang dirasakan oleh anak akan membuat anak mampu menghadapi tekanan dalam perkembangannya. Empati yang mampu dirasakan oleh ibu terhadap anak dan begitu pula sebaliknya akan mengakrabkan hubungan ibu dan anak juga menumbuhkan anak yang memiliki sifat peduli. 3. Dukungan Komunikasi ibu dan anak bersifat deskriptif daripada evaluatif hingga dalam mengemukakan pemikirannya dan perasaanya anak tidak perlu merasa takut. Ibu yang melakukan komunikasi dengan evaluative akan lebih menyalahkan segala yang menjadi pikirannya dan perasaan anak apabila tidak sesuai dengan keinginan ibu maka anak akan merasa tidak dihargai dan tidak mendaptkan toleransi. Keadaan seperti ini yang membuat anak enggan untuk mencurahkan segala perasaan dan pikirannya (Widuri, 2011). 4. Sifat Positif Komunikasi ibu dan anak baiknya mengandung nilai-nilai penghargaan dan pujian apa yang disampaikan anak kepada ibunya. Pujian dapat meningkatkan rasa percaya diri anak dalam mengemukakan pendapat yang dirasakan dan dipikirkan anak dan membuat anak lebih menghargai dirinya, dan anak akan merasa hidupnya lebih bermakna. 5. Kesetaraan 2.2.4 Komunikasi Keluarga dengan Remaja Komunikasi di dalam keluarga sangat penting bagi para remaja.Komunikasi dalam keluarga mempengaruhi formasi identitas dan kemampuan memilih peran bagi remaja.(Cooper et al, dalam Barnes 1985).Dinyatakan remaja yang mendapatkan dukungan dari keluarga lebih bebas dalam menyelami permasalahan identitasnya.Holstein dan Stanly (dalam Barnes, 1985) menemukan bahwa diskusi yang dilakuka antara anak dan orang tua secara signifikan memfasilitasi perkembangan moral pada remaja. Grotevant dan Cooper (dalam Barnes, 1985) mempelajari peran dari komunikasi sebagai proses pemisahan diri remaja dari lingkungan keluarga. Mereka menggaris bawahi pentingnya komunikasi dalam membantu anggota keluarga untuk menciptkan keseimbangan antara keterpisahan dengan keterhubungan antara anggota keluarga satu sama lainnya (Barnes, 1985). 2.3 Remaja 2.3.1 Definisi Remaja Menurut Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 20 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa. Papalia dan Olds (2001) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara kanak-kanak dan dewasa. Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka. Pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan. Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah.Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organtubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai denganmampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001). 2.3.2 Pembagian Masa Remaja Masa remaja dikelompokan lagi menjadi : 1. Remaja awal (early adolescence) Sub-tahap ini ditunjukan untuk individu yang berusia 11-14 tahun. Umumnya sama dengan siswa yang duduk di bangku sekolah menengah pertama dan individu ini tengah mengalami banyak perubahan untuk pubertas. 2. Remaja akhir (late adolescence) Sub tahap ini ditunjukan untuk individu yang berusia 15-19 tahun. Umumnya sama dengan siswa yang duduk di sekolah menengah atas atau mahasiswa pada awal tahun perkuliahan. Dalam sub-tahap ini muncul minta lebih nyata untuk karir, pacaran, dan eksplorasi identitas (Santrock, 2003). 2.3.3 Dimensi perkembangan remaja Perkembangan Kognitif Mengacu pada teori milik Piaget, remaja berusia 11 hingga 15 tahun berada pada tahap operasional formal. Pada tahap ini, individu bergerak melebihi dunia pengalaman yang aktual dan konkrit, serta berpikir secara abstrak dan logis. Sebagai bagian dari kemampuan berpikir abstrak, remaja mengembangkan citra tentang hal yang ideal. Remaja mulai berpikir mengenai kemungkinan tentang masa depan dan terpesona dengan apa yang mungkin mereka capai. Dalam memecahkanmasalah,pemikiran operasional lebih sistematis, mengembangkan hipotesis tentang bagaimana satu hal dapat terjadi (Santrock, 2003). Perkembangan Sosial Pada teori Erikson, usia remaja yang berada antara 10 sampai 20 tahun berada pada tahap identity versus identity confusion. Remaja di hadapkan pada pertanyaan siapakah diri mereka sebenarnya, apakah mereka, dan hendak kemana mereka menuju dalam hidupnya.Remaja di hadapkan pada peran baru dan status dewasa yang berkaitan dengan pekerjaan dan asrama.Orang tua seharusnya memberikan kesempatan pada remaja untuk mengeksplorasi peran yang berbeda dan jalan yang berbeda dalam peran tertentu. Bila remaja mengeksplorasi peran tersebut dalam cara yang baik dan mendapatkan jalan yang positif untuk diikuti dalam hidupnya, identitas positif akan terbentuk. Jika remaja kurang mengeksplorasi peran yang berbeda dan jalan ke masa depan yang positif tidak ditentukan maka kekacauan identitas akan terjadi (Santrock, 2003). Banyak remaja memandang teman sebaya adalah aspek terpenting dalam kehidupan mereka. Beberapa remaja akan melakukan apapun supaya menjadi anggota dalam sebuah kelompok. Bagi remaja dikucilkan berarti stress, frustasi dan kesedihan.Sullivan (dalam Santrock, 2003) alasan remaja memilih teman adalah mereka yang memiliki kesensitifan terhadap hubungan yang lebih akrab dan menciptakan persahabatan dengan teman sebaya yang dipilih (Santrock, 2003). 2.4 Kerangka Berfikir Berdasarkan fenomena bullying yang peneliti temukan di masyrakat, salah satunya masyarakat Indonesia sejak kurang lebih tahun 2005 dan sampai saat ini tahun 2015 masih sering terdengar, kasus bullying biasanya sering terjadi di kalangan sekolah, pada banyak kasus bullying yang sudah di survey pada peneliti, biasanya bullying dilakukan oleh senior kepada juniornya atau dilakukan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan atas siswa/siswi yang lebih lemah, secara berulang-ulang dengan tujuan untuk menyakiti orang tersebut. Dalam kasus bullying biasanya ada karakteristik anak yang di bully, dan karakteristik anak yang mem-bully. Pada kasus bullying yang peneliti temui di masyarakat, biasanya anak yang tidak memiliki perilaku asertif memiliki kecenderung menjadi korban bully. Berdasarkan kesimpulan hasil wawancara singkat yang dilakukan oleh peneliti kepada 10 orang mahasiswa/I yang berusia 19-21 tahun dan 10 remaja di Jakarta yang berusia 11-14 tahun 80% diantaranya mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi anak berperilaku asertif atau tidak asertif karena pengaruh komunikasi yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak. Gaya komunikasi orangtua yang efektif harus menimbulkan lima kriteria yaitu, pengertian, kesenangan, mempengaruhi sikap, hubungan sosial yang baik, dan tindakan. dengan adanya hal tersebut, dapat dilihat melalui ketiga jenis gaya komunikasi (gaya komunikasi agresif, gaya komunikasi pasif dan gaya komunikasi asertif) mana yang paling efektif yang dapat mempengaruhi anak dapat berperilaku asertif atau tidak asertif. Gambar 2.1 Kerangka Berfikir