BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kesehatan merupakan aspek utama dalam menunjang berbagai aktifitas
yang dilakukan oleh manusia. Hal ini secara nyata menunjukkan keterkaitan yang
sangat kuat diantara keduanya. Melihat pada hal tersebut, manusia pada dasarnya
memiliki berbagai cara dalam menjaga kesehatan sesuai dengan pilihan-pilihan
yang mereka tetapkan baik secara individual maupun kolektif. Proses pemilihan
layanan kesehatan ini tentu saja didasari oleh berbagai pertimbangan yang telah
ada sebelumnya. Kualitas dari suatu pelayanan kesehatan juga menjadi salah satu
hal yang cukup penting untuk dilihat. Standarisasi tentang aturan dan kualifikasi
penyembuh serta pelayanan ketika melakukan treatment pada pasien secara
profesional dengan tidak melihat latar belakang sosial merupakan beberapa hal
dasar yang seharusnya dimiliki oleh suatu sistem medis (Whitehead, 1992).
Istilah mengenai sistem medis merupakan suatu unsur universal dari
kebudayaan, istilah ini harus digunakan dalam artian komprehensif yang
mencakup semua aktifitas klinik dan non klinik, pranata-pranata formal dan
informal serta segala aktifitas lain yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan
kelompok serta meningkatkan fungsi masyarakat secara optimal (Foster dan
Anderson, 2006). Di tengah perkembangan sistem medis modern yang sangat
pesat seperti saat ini, masyarakat tidak begitu saja menjatuhkan pilihannya untuk
menggunakan pola medis secara ilmiah tersebut. Terdapat berbagai faktor yang
1
turut mempengaruhi keputusan masyarakat, salah satu faktor yang menyebabkan
hal ini terjadi adalah masih kuatnya nilai-nilai kultural yang berkembang di
masyarakat mengenai efektivitas sistem medis secara tradisional.
Pengobatan tradisional merupakan sebuah konsep pengobatan atau
perawatan kesehatan dimana cara pengobatan dan obat yang digunakan mengacu
kepada pengalaman, keterampilan turun temurun, dan atau pendidikan/pelatihan
yang diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat
(Kepmenkes, 2003). Bila kita membahas secara terminologi tentang pengobatan
tradisional dan pengobatan alternatif maka keduanya merupakan dua terminologi
yang sama untuk menyebutkan satu sistem pengobatan di luar pengobatan modern
yang berasal dari barat. Badan kesehatan dunia (WHO) menyebut hal tersebut
dengan traditional medicine atau pengobatan tradisional sedangkan kalangan
ilmiah banyak yang menyebut dengan traditional healing atau penyembuhan
tradisional bahkan ada juga yang menyebutnya dengan folk medicine, ethno
medicine, indigenous medicine dan alternative medicine (Agoes, 1992).
Pemilihan cara penyembuhan secara tradisional juga tidak lepas dari usaha
untuk memperoleh kesehatan, pada hakekatnya kesehatan mencakup sebagian
besar aspek kehidupan manusia mulai dari proses terbentuknya seseorang sampai
dengan akhir kehidupannya (Ardani, 2013). World Health Organitation (WHO)
menyatakan bahwa pengobatan tradisional adalah ilmu dan seni pengobatan
berdasarkan himpunan dari pengetahuan dan pengalaman praktik, baik yang dapat
diterangkan secara ilmiah maupun tidak dalam melakukan diagnosis, prevensi dan
pengobatan terhadap ketidakseimbangan fisik, mental ataupun sosial. Dewasa ini
2
pengobatan tradisional tidak hanya hadir sebagai fenomena medis dan ekonomi,
tetapi cakupannya lebih luas lagi yakni sebagai suatu fenomena sosial budaya dan
hal ini terjadi di dalam kehidupan masyarakat (Kasniyah, 1997).
Secara keilmuan pola-pola yang ada pada sistem medis modern berbeda
dengan pola yang terdapat dalam sistem medis tradisional. Hal ini tentu saja
disebabkan oleh berbagai faktor yang terdapat di dalam kedua sistem medis
tersebut. Perbedaan yang sangat mencolok dari dua sistem medis ini diantaranya
adalah (Helman, 1994) :
Tabel 1.1 Perbedaan Sistem Medis Modern dan Sistem Medis Tradisional
Sistem Medis Modern :
Sistem Medis Tradisional :
Rasionalitas secara keilmuan
Bersifat objektif melalui sistem
perhitungan yang rinci
Berpatokan pada data-data valid secara
kimiawi
Melihat pada sudut pandang “disease”
sebagai suatu entitas
Lebih terfokus pada pasien secara
individual
dibandingkan
dengan
keluarga atau komunitas
Penafsiran pribadi penyembuh
Bersifat
umum
dan
cenderung
menggunakan perkiraan-perkiraan
Tidak ada patokan yang valid dalam
diagnosa
Melihat pada sudut pandang pribadi
penyembuh
Melayani pasien secara individual
maupun kolektif
Kesehatan dan penyakit merupakan permasalahan utama yang dihadapi
oleh umat manusia sejak awal keberadaan umat manusia itu sendiri. Berbagai
cerita mengenai penyakit selalu muncul dalam setiap peradaban masyarakat dari
masa ke masa (Prasetya, 2009). Ketika individu sedang menderita suatu penyakit,
maka usaha untuk memperoleh kesembuhan akan terus dilakukan. Perilaku
pencarian pelayanan kesehatan secara sederhana terdiri dari beberapa tahapan
yakni : (1) tidak bertindak apa-apa atau tidak melakukan kegiatan apa-apa (no
3
action); (2) tindakan mengobati sendiri (self treatment); (3) mencari pengobatan
ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy); (4) mencari
pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat (chemist shop);
(5) mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan
oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta yang dikategorikan ke
dalam balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit (goverment public medicine)
dan;
(6)
mencari
pengobatan
ke
fasilitas
pengobatan
modern
yang
diselenggarakan oleh dokter praktek (private medicine) (Notoatmodjo, 2007).
Lebih jauh lagi Goule dalam Sciortino (1999) memaparkan bahwa pola
pengobatan tradisional lebih dominan dipilih oleh masyarakat yang memiliki
tingkat sosial, ekonomi serta pendidikan yang lebih rendah. Sementara
masyarakat yang termasuk dalam tingkat sosial ekonomi dan pendidikan yang
lebih tinggi cenderung untuk mendukung dan menggunakan pola pengobatan
modern. Adanya perbedaan pandangan masyarakat dalam memilih bentuk
pelayanan kesehatan yang ideal bagi mereka secara nyata telah menjadi faktor
utama munculnya berbagai pilihan layanan kesehatan baik secara tradisional
maupun modern.
Keberadaan sistem pengobatan yang berorientasi pada aspek-aspek medis
tradisional secara umum telah mampu menyatu dengan masyarakat, hal tersebut
terlihat melalui penggunaan konsep medis tradisional didalam mengatasi berbagai
masalah kesehatan baik di desa maupun di kota (Azwar, 1996). Di Indonesia
sendiri sebagian masyarakatnya masih menggunakan pelayanan kesehatan melalui
sistem pengobatan tradisional. Pada tahun 2003, sebanyak 20,67% dari penduduk
4
Indonesia lebih memilih untuk menggunakan sistem pengobatan secara
tradisional.1 Jumlah ini kemudian mengalami perkembangan yang cukup
signifikan dari tahun ke tahun, yakni sebanyak 22,26% pada tahun 2008, 24,24%
tahun 2009, dan 27,58% di tahun 2010.2
Berbicara mengenai proses pengambilan keputusan bagi masyarakat dalam
hal pengobatan, maka koneksi diantara kesadaran dan pengetahuan terhadap
penyakit juga sangat menentukan. Kesadaran seseorang dalam memahami apakah
dirinya sedang sehat atau sakit pada hakikatnya tidak dapat terlepas dari
pengetahuan yang dimilikinya serta gejala-gejala apa saja yang dirasakannya.
Lebih lanjut Sarwono (2004) menjelaskan bahwa secara ilmiah penyakit (disease)
itu diartikan sebagai gangguan terhadap fungsi fisiologis dari suatu organisme
yang berasal dari infeksi atau tekanan yang terjadi di lingkungan tersebut,
sehingga penyakit itu bersifat objektif. Sebaliknya sakit (illness) adalah hasil
penilaian individu terhadap pengalamannya ketika menderita suatu penyakit.
Fenomena subjektif ini ditandai dengan perasaan tidak enak dan hal-hal lainnya.
Mungkin saja terjadi keadaan dimana secara objektif individu terserang suatu
penyakit dan salah satu organ tubuhnya terganggu fungsinya namun individu
tersebut tidak merasa sakit dan tetap menjalankan tugasnya sehari-hari.
Sebaliknya, seseorang mungkin saja bisa merasa sakit namun secara medis tidak
diperoleh bukti bahwa dia sakit. Permasalahan seperti ini sangat berkaitan erat
dengan kondisi sosial budaya yang ada di dalam masyarakat.
1
Data Statistik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2003
2
Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2010
5
Dalam konteks masyarakat Jawa, terdapat dua jenis penyakit yang bersifat
pokok yakni : (1) penyakit yang bisa ditemukan sebab-sebab fisiknya dan bisa
disembuhkan melalui pengobatan dokter yang dididik secara medis barat. (2)
penyakit yang tidak bisa ditemukan sebab-sebab secara medis, namun si pasien
masih saja merasakan sakit. Jenis penyakit yang kedua inilah yang seringkali
hanya mampu diobati oleh para dukun (Geertz, 1989).
Melihat pada latar belakang dan karakteristiknya, ilmu Antropologi
sebenarnya juga melakukan pengamatan tentang perilaku kesehatan serta
bagaimana individu tersebut kemudian merespon kondisi kesehatan mereka.
Selain itu, melakukan diagnosa terhadap diri sendiri dan orang lain serta pilihan
untuk berkonsultasi atau membuat keputusan dengan anggota keluarga dalam hal
pemilihan layanan kesehatan juga telah menjadi perhatian dalam ranah ilmu
Antropologi Kesehatan (Hahn, 1999). Antropologi Kesehatan adalah disiplin biobudaya yang memberikan perhatian terhadap aspek-aspek biologis dan sosial
budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi diantara
keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi kesehatan
dan penyakit (Foster dan Anderson, 2006).
Menengok pada berbagai ulasan di atas, terdapat beberapa hal menarik
yang kemudian muncul di dalam kajian perkembangan pengobatan tradisional
saat ini. Salah satunya adalah jika dahulu penyembuh tradisional identik dengan
orang tua yang dipanggil dengan julukan “mbah”3, maka seiring dengan
perkembangan media komunikasi yang semakin maju saat ini tidak sedikit dari
3
Sebutan Untuk Penyembuh Tradisional Dalam Bahasa Jawa
6
para pelaku atau praktisi penyembuh tradisional tersebut yang mulai membangun
citra dirinya melalui media cetak, radio dan televisi. Hal ini terbukti dengan
semakin banyaknya program acara pengobatan tradisional yang ada di berbagai
stasiun televisi serta radio dengan narasumber praktisi atau penyembuh tradisional
yang mendapat julukan “Gus” (laki-laki) atau “Jeng” (perempuan). Melalui fakta
ini terungkap sebuah keadaan jika di jaman modern seperti saat ini masih banyak
masyarakat yang lebih mendahulukan berobat ke praktisi medis tradisional
daripada ke medis modern. Pilihan masyarakat tersebut juga didukung oleh
berbagai faktor, salah satunya adalah ketidaksembuhan pasien yang pergi berobat
ke medis modern sehingga beranggapan jika berpindah ke medis tradisional maka
nantinya mereka akan mendapatkan kesembuhan yang di inginkan.
Hal penting lainnya yang juga memiliki peranan dalam perkembangan
pilihan sistem medis adalah mengenai pesatnya arus globalisasi. Globalisasi
dalam dunia kesehatan akan memberikan dampak yang sangat luas, dampak ini
diperkirakan akan mampu memberikan pengaruh terhadap penggunaan teknologi
kesehatan, sistem pelayanan kesehatan, penyakit-penyakit baru hingga kondisi
sosial kemasyarakatan lainnya (Achmadi, 2008). Proses globalisasi mempunyai
implikasi yang sangat krusial terhadap potensi-potensi apa saja yang akan
mengarah pada hal-hal yang bersifat positif maupun negatif dalam dunia medis
dan arus globalisasi ini akan terus berlanjut dan berkembang dari masa ke masa.
Proses globalisasi yang menyangkut pada hal-hal mengenai kebudayaaan
secara tidak langsung akan membuat perubahan budaya semakin mudah terjadi,
hal tersebut juga akan merambah pada kajian budaya dalam konteks kesehatan.
7
Hasil yang kemudian muncul dari proses ini salah satunya adalah mengenai
perubahan pola pikir dan cara pandang masyarakat tentang masalah-masalah
sosial budaya dan kesehatan yang ada di sekitarnya. Fenomena semacam ini
merupakan proses perubahan sosial yang relatif baru dan hal-hal baru tersebut
meliputi proses perubahan ide yang semakin cepat, citra, gaya dan media
informasi apa yang akan dipilihnya nanti (Baum, 2008).
Saat ini dimana proses sosialisasi mengenai asuransi kesehatan yang
diselenggarakan oleh pemerintah dan kalangan swasta semakin gencar digalakkan
tidak begitu saja merubah mind set (cara pandang) masyarakat untuk mengikuti
alur tersebut. Banyak dari masyarakat yang tetap bertahan pada pola pelayanan
medis
secara
tradisional,
hal
tersebut
dilatarbelakangi
oleh
berbagai
pertimbangan. Salah satu pertimbangan yang cukup menarik bagi masyarakat
adalah semakin menjamurnya iklan pengobatan tradisional yang memberikan janji
penyembuhan secara instan melalui media televisi. Hal semacam ini tentu saja
sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut karena meskipun berbagai tawaran
asuransi kesehatan telah menjamur, namun keberadaan pengobatan tradisional
tidak begitu saja sepi peminat. Semakin maraknya perkembangan dunia
penyembuhan secara tradisional di era konsumsi seperti saat ini seringkali
dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dimana mereka
hanya mementingkan proses pembentukan citra diri agar dapat menarik perhatian
masyarakat. Hal ini tentu saja akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat
yang benar-benar ingin mencari kesembuhan melalui pelayanan medis secara
tradisional.
8
Bahasan mengenai perubahan pola promosi yang dilakukan oleh
penyembuh tradisional di era saat ini memang menarik untuk dibahas lebih lanjut.
Salah satu penjelasannya adalah jika dahulu proses promosi yang dilakukan oleh
penyembuh tradisional hanya sebatas dari mulut ke mulut (atau dalam istilah Jawa
disebut dengan “getok tular”), namun seiring dengan perkembangan media dan
teknologi yang ada saat ini banyak penyembuh tradisional yang kemudian
memilih cara promosi secara modern. Berdasarkan fungsinya sebagai penyalur
pesan-pesan kesehatan, media promosi secara modern yang dimaksud kemudian
terbagi menjadi tiga bentuk, yakni (1) media cetak (surat kabar, majalah, pamflet,
brosur), (2) media elektronik (televisi, radio) dan (3) media papan (papan nama
praktik) (Notoatmojo, 2007).
Fenomena mengenai menjamurnya praktik pengobatan tradisional sudah
banyak ditemukan di berbagai daerah, termasuk di Propinsi Jawa Timur tepatnya
di Kota Surabaya. Sebagai kota metropolitan nomer dua di Indonesia, Kota
Surabaya banyak dilirik oleh pemerhati bisnis tidak terkecuali dalam bisnis
pengobatan tradisional. Untuk menarik perhatian calon pasien agar menjatuhkan
pilihan pengobatannya kepada praktik pengobatan tradisional banyak penyembuh
tradisional yang kemudian mengubah cara mereka dalam melakukan promosi.
Beberapa hal menarik yang dapat dilihat dari fenomena tersebut adalah mengenai
proses pemasaran atau promosi yang dipilih oleh masing-masing penyembuh
tradisional agar tempat praktiknya dapat tetap eksis. Banyak dari penyembuh
tradisional yang kemudian berani meniru cara medis modern dalam menjalankan
praktik pengobatannya agar dapat meyakinkan calon pasien. Hal ini tentu saja
9
merupakan sebuah gebrakan besar dalam perkembangan pengobatan tradisional
karena secara umum apa yang diterapkan oleh sistem medis tradisional sangat
berbeda dengan apa yang diterapkan oleh sistem medis modern.
Maraknya penyembuh tradisional yang beriklan dapat dilihat dari
banyaknya kemunculan mereka di berbagai media baik cetak maupun visual.
Melalui iklan praktik pengobatan tradisional, seringkali penyembuh tradisional
tersebut memberikan janji yang menggiurkan kepada pasien antara lain dapat
memperoleh kesembuhan dari penyakit yang dideritanya dalam jangka waktu
tertentu, menggunakan metode pengobatan tanpa efek samping, tenaga
ahli/konsultan pengobatan yang berpengalaman, hingga penggunaan bahan-bahan
herbal yang menggunakan resep eksklusif ramuan tertentu. Testimoni beberapa
pasien yang menyatakan kondisi kesehatannya membaik atau sembuh setelah
berobat juga merupakan salah satu bahan iklan yang dianggap akan menarik
perhatian calon pasien.
Perubahan pola promosi yang dilakukan oleh para penyembuh tradisional
ini dapat dikatakan sebagai sebuah strategi untuk menjaga eksistensi mereka di
tengah masyarakat. Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa strategi merupakan
cara untuk mencapai atau mewujudkan tujuan secara efektif dan efisien, hal inilah
yang saat ini sedang gencar dilakukan oleh para penyembuh tradisional melalui
strategi media promosi modern berupa iklan. Dengan semakin banyak praktisi
penyembuh tradisional yang mengiklankan usahanya maka akan muncul dua sisi
pendekatan yakni di satu sisi dapat membuat masyarakat yang menggunakan pola
pengobatan tradisional menjadi semakin mempunyai banyak pilihan namun di sisi
10
lain jika masyarakat kurang teliti terhadap hal tersebut maka mereka dapat
menjadi korban janji-janji manis (Kristiana, 2013).
Pemilihan media promosi melalui konsep modern seperti halnya iklan bagi
penyembuh tradisional merupakan sebuah trend baru yang cukup marak dalam
kurun waktu belakangan ini. Hal tersebut dapat dilihat dari data PPPI (Persatuan
Perusahaan Periklanan Indonesia) pada tahun 2004 yang menyatakan bahwa total
belanja iklan televisi mengenai pengobatan tradisional menduduki peringkat ke-11
dari 20 besar belanja iklan secara nasional dengan total anggaran mencapai Rp
121 Milyar. Kemudian terjadi peningkatan belanja iklan televisi pengobatan
tradisional pada tahun berikutnya yaitu dengan total anggaran Rp 136 Milyar.
Peringkat yang ada juga ikut naik yaitu dari peringkat ke-11 menuju peringkat 8
pada 20 besar belanja iklan secara nasional. 4
Pola promosi secara modern yang digunakan oleh penyembuh tradisional
seperti halnya melalui program talkshow di televisi dan radio, iklan di surat kabar,
hingga penyebaran brosur merupakan salah satu bukti jika proses promosi yang
dilakukan oleh penyembuh tradisional tersebut sudah mengalami perubahan. Bila
kita lihat lebih dalam, saat ini penyampaian iklan melalui media televisi lebih
banyak dipilih oleh penyembuh tradisional dan hal tersebut tentu saja dibumbui
oleh aroma komersialisasi. Morissan (2010) menjelaskan bahwa proses
komersialisasi selalu mengacu pada usaha memaksimalisasi keuntungan.
Pandangan semacam inilah yang saat ini menyelimuti para penyembuh tradisional
sehingga promosi melalui iklan di televisi kemudian dipilih oleh mereka. Usaha
4
www.anneahira.com/belanja-iklan.html
11
untuk dapat mengumpulkan keuntungan melalui media promosi di televisi seolaholah menjadi agenda utama bagi para penyembuh tradisional. Berangkat dari hal
inilah kemudian penulis menjadi tertarik untuk mengupas lebih jauh mengenai
fenomena tersebut. Media iklan yang merupakan bentuk budaya kapitalis saat ini
hadir dan digunakan oleh para penyembuh tradisional didalam memasarkan
usahanya. Meskipun demikian, hal tersebut tidak serta merta menghilangkan
secara penuh tradisi “getok tular” yang bersumber dari pengalaman pasien
dimana ia pernah sembuh setelah menjalani pengobatan tradisional.
1.2 Rumusan Masalah
Melihat pada uraian latar belakang masalah yang telah diangkat
sebelumnya, maka beberapa pertanyaan penelitian yang muncul adalah :
1. Mengapa cara promosi modern melalui iklan di televisi dipilih oleh para
penyembuh tradisional?
2. Bagaimana pandangan kacamata praktisi medis modern terkait penyembuh
tradisional yang melakukan promosi melalui iklan di televisi?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami
bagaimanakah proses perubahan yang terjadi di dalam cara promosi atau
pemasaran yang dipilih oleh penyembuh tradisional melalui media iklan di
televisi. Selain itu, alasan apa saja yang mendasari para penyembuh tradisional
12
tersebut memilih media iklan sebagai alat promosi atau pemasaran menjadi
penting untuk dijabarkan. Yang tidak kalah pentingnya adalah untuk mengetahui
dinamika serta pandangan kacamata medis modern mengenai penggunaan media
iklan sebagai alat promosi atau pemasaran oleh penyembuh tradisional. Ketiga hal
tersebut sangat penting untuk dikaji lebih dalam agar nantinya didapatkan
jawaban yang relevan mengenai permasalahan yang diangkat oleh peneliti.
Manfaat akademis atau teoritis yang diharapkan akan muncul dalam
penelitian ini adalah peneliti dapat memberikan gambaran dan juga pemaparan
yang cukup jelas mengenai hal-hal yang terkait dengan permasalahan mengenai
kajian kesehatan dalam perspektif Antropologi Kesehatan. Dalam penelitian ini
hal utama yang ingin dikupas lebih lanjut adalah mengenai perubahan konsep
promosi yang dipilih oleh para penyembuh tradisional melalui media modern.
Perkembangan media yang pesat dihubungkan dengan perkembangan
praktik pengobatan tradisional yang menjamur saat ini menjadi kajian yang cukup
menarik untuk dibahas karena nantinya masyarakat akan mengetahui lebih jauh
tentang dinamika yang muncul diantara keduanya. Tidak lupa, diharapkan hasil
penelitian ini dapat menambah literature dan juga referensi khususnya bagi
peneliti lain yang ingin mengambil tema serupa atau mendekati kajian yang
dilakukan oleh penulis.
1.4 Tinjauan Pustaka
Secara umum dalam studi ilmu Antropologi khususnya Antropologi
Kesehatan belum terlalu banyak peneliti yang memfokuskan kajian pada pola
13
perubahan promosi layanan kesehatan yang dilakukan oleh penyembuh
tradisional. Salah satu hasil penelitian yang membahas mengenai permasalahan ini
adalah penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Irfan Syuhudi, M. Yamin Sani,
dan M. Basir Said (2012) dengan judul “Etnografi Dukun : Studi Antropologi
Tentang Praktik Pengobatan Dukun di Kota Makassar”. Penelitian ini lebih
banyak membahas mengenai teknik-teknik pengobatan yang dilakukan oleh
dukun di Kota Makassar, meskipun demikian pada beberapa bahasan di dalam
penelitian ini juga disinggung mengenai pola promosi beberapa dukun yang sudah
mulai beralih ke pola modern. Beberapa hasil yang dijabarkan dalam tulisan
tersebut yakni karena melihat ketertarikan sebagian masyarakat untuk berobat ke
dukun maka beberapa dukun menggunakan berbagai cara untuk mempromosikan
keahliannya supaya dikenal atau menjadi terkenal. Beberapa dukun ada yang
menggunakan media sosial seperti memasang iklan di koran, televisi, dan radio.
Ada pula dukun yang membuat brosur dan kemudian mengedarkannya di jalanjalan besar tertentu hingga ada juga dukun yang memasang reklame di depan
rumah atau tempat praktiknya. Hal ini mereka lakukan semata-mata sebagai
proses adaptasi untuk bertahan di tengah pluralisme medis yang ada di lingkungan
perkotaan.
Kalangie (1994) menjelaskan bahwa pada dasarnya sistem medis terbagi
ke dalam dua golongan besar, yaitu (1) sistem medis ilmiah yang merupakan hasil
perkembangan ilmu pengetahuan (terutama dalam dunia barat) dan (2) sistem
non-medis (tradisional) yang berasal dari aneka warna kebudayaan manusia. Hal
lain yang membedakan kedua golongan ini adalah pengobatan modern berbasis
14
pada pembuktian ilmiah, sedangkan pengobatan tradisional berdasarkan kearifan
lokal yang berasal dari kebudayaan masyarakat termasuk di antaranya pengobatan
dukun yang mengobati penyakit menggunakan tenaga gaib atau kekuatan
supranatural.
Pengobatan maupun diagnosis yang dilakukan dukun selalu identik dengan
campur tangan kekuatan gaib ataupun yang memadukan antara kekuatan rasio dan
batin (Agoes, 1996). Bruce Kapferer dalam Alkumayi (2011) menyatakan jika
kepercayaan kepada dukun dan praktik perdukunan merupakan local beliefs
(kepercayaan lokal) yang tertanam dalam kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai
local beliefs, keduanya (dukun dan praktik perdukunan) tidak bisa dinilai dari
sudut pandang rasionalitas ilmu karena memiliki nalar dan logika sendiri yang
disebut rationality behind irrationality (rasionalitas di belakang irasionalitas).
Pihak-pihak yang kemudian mempercayai dukun dan praktik perdukunan tidak
lantas digolongkan ke dalam masyarakat tradisional yang melambangkan
keterbelakangan.
Pengobatan dukun telah menjadi bagian dalam sistem kognitif masyarakat
yang terdiri atas pengetahuan, kepercayaan, gagasan, dan nilai yang berada
didalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat (Goodenough dalam
Kalangie, 1994). Ketika ada orang yang datang berobat kepada dukun kemudian
ia berhasil disembuhkan, maka jasa pengobatan dukun tersebut biasanya akan
terus digunakan oleh si pasien. Salah satu ciri pengobatan dukun adalah
penggunaan doa-doa atau bacaan-bacaan, air putih, dan ramuan tradisional. Para
dukun di Jawa menggunakan teknik-teknik ilmu gaib, ucapan mantra-mantra, dan
15
memberikan jamu tradisional untuk mengobati pasiennya. Tidak ada sekolahsekolah formal atau sekolah khusus perdukunan. Ada kesan, keahlian menjadi
dukun itu disebabkan atau diwariskan secara turun temurun kepada keturunannya
(Koentjaraningrat, 1984). Namun kenyataannya tidak semua keturunan bisa
mewarisi ilmu dukun dari orang tuanya terlebih jika yang bersangkutan
(keturunannya itu) dianggap tidak memiliki bakat menjadi seorang dukun.
Sebelum mendapat keahlian mengobati, seorang dukun biasanya mengalami
beberapa kali mimpi bertemu orang yang usianya sudah tua dan memakai pakaian
serba putih.
Pengobatan dukun juga mengenal istilah “jodoh-jodohan”, artinya dukun
juga terkadang tidak berhasil menyembuhkan penyakit seseorang meskipun
penyakit yang dialami oleh orang itu pernah dialami orang lain bahkan berhasil
disembuhkan oleh sang dukun (Geertz, 1989). Hal inilah yang kemudian dianggap
sebagai suatu konsep cocok dan tidak cocok, tergantung kepada masing-masing
individu yang mengalaminya.
Hasil penelitian lain yang turut mengulik tentang konsep promosi
penyembuh tradisional secara modern adalah penelitian yang dilakukan oleh Lusi
Kristiana, Pramita Andarwati dan Syarifah Nuraini (2013) dengan judul “Kajian
Regulasi Iklan Sarana Pengobatan Tradisional di Surat Kabar”. Dalam penelitian
ini didapatkan hasil pengamatan jika melalui iklan penyembuh tradisional
seringkali memberikan berbagai janji menggiurkan kepada pasien antara lain
kepastian kesembuhan, tanpa efek samping, tenaga berpengalaman, resep
eksklusif, dan kesaksian pasien yang sembuh. Bentuk iklan dengan janji yang
16
masih diragukan kebenarannya ini mungkin turut berperan juga dalam
kecenderungan masyarakat untuk beralih kepada penyembuh tradisional, bahkan
ada dugaan terjadi pelanggaran periklanan oleh pihak penyembuh tradisional.
Pesatnya perkembangan media ternyata turut membantu keberadaan pengobatan
tradisional agar dapat semakin dikenal oleh masyarakat luas. Maraknya iklan
mengenai keberadaan pengobatan tradisional serta tempat praktiknya akhir-akhir
ini dapat dilihat dari tingginya intensitas kemunculan mereka baik di media cetak
maupun televisi. Testimoni beberapa pasien yang menyatakan kondisi
kesehatannya membaik atau sembuh setelah berobat ke penyembuh tradisional
ternyata dapat dijadikan sebagai salah satu bahan iklan agar bisa menarik
konsumen lebih banyak.
Penelitian selanjutnya yang juga menyinggung mengenai keputusan
penyembuh tradisional untuk beriklan sebagai upaya menjaga eksistensinya
adalah tulisan dari Titik Kuntari (2010). Ia memaparkan bahwa paradigma
pemahaman tentang konsep berobat pada pengobatan tradisional yang diketahui
dari iklan sebenarnya merupakan ekspresi dari rasa frustasi dan respon masyarakat
terhadap tingginya biaya pengobatan dan kesehatan secara medis modern.
Hebatnya lagi tidak jarang masyarakat awam menganggap bahwa suatu metode
pengobatan secara tradisional seringkali dianggap dapat mengakomodir semua
jenis penyakit, pemikiran seperti ini biasanya disebabkan oleh efek dari iklan
pengobatan yang sering muncul di televisi. Dalam program talkshow pengobatan
tradisional biasanya seorang penyembuh tradisional mengaku sanggup untuk
mengobati sakit mata, jantung, prostat dan penyakit mematikan lainnya tanpa
17
harus operasi. Berbagai penyakit seperti halnya kanker ganas konon bisa
disembuhkan dengan cara memindahkan penyakit tersebut melalui media hewan
atau ke dalam telur. Sugesti yang diciptakan oleh penyembuh tradisional semacam
ini sangat tidak bisa diterima oleh medis modern. Ilmu Kedokteran sendiri yang
sudah berkembang selama berabad-abad (sejak zaman Hipocrates-sebelum
masehi) saja untuk setiap keahlian dibutuhkan tahapan pendidikan yang panjang
agar dapat memperoleh kemampuan spesialisasi terhadap penyakit.
Bila berbicara mengenai biaya yang harus dikeluarkan oleh calon pasien
untuk memperoleh kesembuhan, maka jika kita kalkulasikan dengan cermat upaya
ikhtiar mencari kesembuhan dengan berobat ke dukun, paranormal dan jasa
penyembuh tradisional lainnya biasanya biaya yang harus dikeluarkan bisa jadi
lebih mahal dibandingkan dengan biaya pengobatan medis secara ilmiah. Fakta
lain juga menyebutkan bahwa tidak sedikit dari pasien pengobatan tradisional
yang berujung pada hal-hal yang tidak diinginkan seperti penyakit yang
bertambah parah hingga kematian.
Tidak dapat dipungkiri seringkali pasien baru kembali berobat ke medis
modern ketika efek pengobatan tradisional yang dicobanya melalui iklan di
televisi malah menunjukkan gejala-gejala yang semakin berbahaya/memburuk.
Banyak dokter yang mau tidak mau harus menerima kondisi pasien setelah
“digempur” oleh berbagai jenis terapi yang bisa saja memberikan efek buruk bagi
tubuh bahkan dapat memperlambat pemberian terapi secara medis. Persepsi yang
ditanamkan kepada publik bahwa biaya pengobatan medis modern itu mahal
secara nyata telah menumbuh kembangkan opsi agar mereka berobat ke
18
penyembuh tradisional yang dianggap lebih mujarab. Masyarakat bahkan tidak
jarang rela mengeluarkan uang untuk menyiapkan “ubarampe” dalam proses
pengobatan tradisional dibandingkan dengan membeli obat dari resep dokter atau
di apotik. Sebenarnya anggapan bahwa berobat ke dokter itu mahal pada dasarnya
sama saja seperti biaya yang harus dikeluarkan oleh si pasien ketika mendatangi
penyembuh tradisional satu ke penyembuh tradisional lainnya, padahal kegiatan
seperti
ini
lebih
mahal
biayanya.
Banyak
masyarakat
yang
tidak
mempermasalahkan hal tersebut karena mereka masih mempercayai bahwa
pengobatan tradisional merupakan jenis pengobatan yang lebih familiar bagi
mereka.
1.5 Kerangka Pemikiran
Malefyt dan Morais (2012) dalam bukunya Advertising and Anthropology
: Ethnographic Practice and Cultural Perspectives menjelaskan bahwa posisi
media memiliki peranan yang besar dalam menyampaikan sebuah pesan yang
bersifat komersial. Pendekatan Antropologis dapat digunakan untuk mengamati
dan menggambarkan dari dalam mengenai fenomena iklan yang berkembang
hingga saat ini. Maksud dari pesan yang bersifat komersial jika dikorelasikan
dengan penelitian ini adalah iklan program talkshow kesehatan yang digunakan
oleh penyembuh tradisional. Melalui iklan di televisi, penyembuh tradisional
memiliki cara untuk menyampaikan kepada masyarakat tentang praktik
pengobatan tradisional yang dimilikinya. Proses penyampaian ini tentu saja diikuti
oleh tujuan komersialisasi agar penonton tertarik datang dan berobat kepadanya.
19
Iklan atau dalam Bahasa Inggris Advertise berasal dari Bahasa Latin, yaitu
advere yang berarti menyampaikan pikiran dan gagasan kepada orang lain. Lebih
jauh pengertian iklan adalah segala bentuk pesan tentang suatu layanan yang
disampaikan lewat media dan dibiayai oleh pemrakarsa itu sendiri serta ditujukan
kepada sebagian atau seluruh masyarakat (Restaty, 2005).
Fenomena beriklan juga dipengaruhi oleh efek globalisasi, dampak yang
ditimbulkan dari proses globalisasi terhadap dunia kesehatan memang sangat
kompleks dan hal tersebut bisa terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Dampak langsung misalnya efek terhadap harga obat-obatan yang semakin mahal
karena bahan yang harus di import dari luar negeri. Pada umumnya harga bahan
obat ini disesuaikan dengan ukuran kurs dolar Amerika yang tidak stabil atau
fluktuatif. Hal ini tentu saja menyebabkan kebingungan bagi masyarakat untuk
memilih pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kantong mereka. Dampak tidak
langsung pada dasarnya dapat dilihat melalui perkembangan ekonomi di masingmasing negara, permasalahan mengenai perekonomian sedikit banyak akan
berpengaruh pula pada masalah-masalah kesehatan di negara tersebut (Achmadi,
2008).
Proses pemilihan layanan kesehatan bagi masyarakat tentu saja berkorelasi
dengan apa yang mereka ketahui sebelumnya. Pengetahuan masyarakat tersebut
juga dipengaruhi oleh informasi yang mereka dapatkan, tidak terkecuali yang
berasal dari media cetak maupun visual. Studi-studi Antropologis menunjukkan
bahwa proses globalisasi merupakan proses untuk menciptakan konsep
“masyarakat global” (Sahlins, 1994). Lebih lanjut Alam (1998) menjelaskan
20
bahwa bentuk-bentuk kebudayaan yang ada saat ini sudah sangat dipengaruhi oleh
arus globalisasi.
Kehadiran televisi merupakan tanda dari suatu perubahan peradaban yang
berasal dari satu ujung garis kontinuum budaya kemudian berlanjut ke ujung garis
kontinuum yang lain. Pada saat televisi mulai menggantikan institusi keluarga,
teman dan komunitas sebagai titik pusat peradaban maka titik interaksi dan
pembentukan nilai akan berpusat pada televisi (Abdullah, 2006). Dalam topik
penelitian ini, keterangan tersebut dapat dikoneksikan dengan pergeseran pola
promosi yang digunakan oleh para penyembuh tradisional. Apabila dahulu
penyembuh tradisional lebih banyak mengandalkan efek langsung dari budaya
getok tular (proses promosi dari mulut ke mulut) namun dengan proses perubahan
modernitas yang ada saat ini para penyembuh tradisional kemudian lebih berani
untuk mengambil cara promosi melalui iklan televisi yang dianggap dapat
langsung diterima secara visual oleh masyarakat.
Media sejatinya menyediakan ruang dan waktu bagi pelaku bisnis untuk
memperkenalkan jasa ataupun produk yang mereka miliki, tidak terkecuali pelaku
pengobatan tradisional. Iklan merupakan informasi yang bersifat komersial atau
berupa layanan masyarakat untuk menawarkan tentang ketersediaan jasa, barang,
dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak luas dengan atau tanpa
imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan (Permenkes, 2010).
Melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 tersebut
proses promosi melalui iklan yang digunakan oleh para penyembuh tradisional
diharuskan sesuai dengan aturan yang berlaku karena hal ini akan diakses oleh
21
pihak luas. Penjelasan tersebut kemudian seolah-olah menjadi tumpang tindih
ketika orientasi yang dipikirkan oleh pelaku iklan dalam hal ini adalah para
penyembuh tradisional lebih mementingkan pada prospek keuntungan dan bukan
kualitas layanan kesehatan yang diberikan.
McCreery (1995) menyatakan jika iklan yang terdapat dalam program
televisi pada dasarnya memiliki magnet yang sangat kuat untuk menarik penonton
sehingga memperdalam pemahaman mengenai iklan akan sangat penting bagi
individu yang akan atau sedang beriklan. Konsep iklan yang dilakukan oleh
penyembuh tradisional pada umumnya memiliki fungsi persuasif, hal itu
seringkali disebut sebagai fungsi mempengaruhi. Fungsi persuasif merupakan
bentuk fungsi komunikasi untuk menyebarkan informasi yang mampu
mempengaruhi atau mengubah sikap penerima agar dia menentukan sikap dan
perilaku yang sesuai dengan kehendak si pengirim (Liliweri, 2007). Melalui iklan,
penyembuh tradisional dapat dengan leluasa menyisipkan pesan-pesan bernada
rayuan kepada calon pasien. Dalam proses modernisasi dewasa ini sistem nilai
tradisional secara nyata mulai digantikan oleh sistem nilai modern sehingga
referensi yang ada tidak lagi berkiblat pada tradisi, tetapi pada nilai-nilai
modernitas dengan logika berpikir yang berbeda (Abdullah, 2006). Hal ini jelas
terlihat pada perubahan pola promosi yang dilakukan oleh para penyembuh
tradisional saat ini, pemilihan media promosi secara modern dianggap sebagai
jalan pintas bagi mereka.
Pengiklan yang cerdik selalu berusaha untuk dapat menciptakan hal baru
bagi pemirsanya, hal ini dirancang agar menimbulkan ketertarikan (Cook, 1997).
22
Berbagai cara kreatif yang digunakan oleh penyembuh tradisional secara nyata
merupakan bentuk usaha mereka untuk keluar dari konsep promosi yang dianggap
kuno. Pada dasarnya apa yang disampaikan melalui iklan biasanya memanipulasi
realitas bukan merefleksikan realitas, hal ini biasanya dilakukan dengan
memanipulasi isi yang ditampilkan secara visual melawan verbal (Liliweri, 2007).
Melalui program talkshow yang ditayangkan oleh pihak stasiun televisi,
penyembuh tradisional dapat dengan mudah memberikan penekanan terhadap apa
yang ingin mereka sampaikan kepada calon pasiennya.
Daya persuasif atau pengaruh suatu pesan sangat tergantung pada media
apa yang dipilih oleh komunikator dalam upaya memindahkan pesan atau
informasi tentang permasalahan kesehatan. Keputusan yang diambil oleh
penyembuh tradisional (komunikator) untuk menggunakan media perantara iklan
di televisi dianggap sebagai bentuk usaha persuasif yang dilakukan kepada calon
pasiennya. Peranan media sangat besar dalam konsep komunikasi kesehatan,
semua yang terjadi tergantung pada peranan komunikator untuk memanfaatkan
atau memanipulasi peranan media tersebut (Liliweri, 2007).
1.6 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Metode kualitatif adalah metode penelitian dengan melakukan
pengamatan langsung (observasi) dan wawancara dengan para infoman yang
terlibat di dalam permasalahan yang akan diteliti. Sedangkan pendekatan kualitatif
adalah sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah
23
manusia berdasarkan pada penciptaan gambar holistik yang dibentuk melalui
kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci, kemudian disusun
dalam sebuah latar ilmiah (Creswell dalam Patilima, 2005).
Data
kualitatif
menurut
Ahimsa-Putra
(2009)
yakni
merupakan
pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri dan keadaan dari sesuatu atau
gejala, atau bisa juga pernyataan-pernyataan mengenai hubungan-hubungan antara
sesuatu dengan sesuatu yang lain. Meskipun ada berbagai macam jenis metode
analisis, namun secara umum kita dapat mengatakan bahwa tujuan akhir analisis
adalah untuk menetapkan hubungan-hubungan diantara suatu variabel atau gejala
atau unsur tertentu dengan variabel atau gejala atau unsur yang lain lalu
menetapkan jenis hubungan apa yang nantinya akan dilihat lebih dalam.
Penelitian ini bermuara pada kajian Antropologis sehingga penggunaan
metode penelitian secara etnografis juga tidak dapat dilepaskan dalam penelitian
ini. Proses pengumpulan data empiris yang relatif tidak terstruktur, sejumlah kecil
kasus, pelaporan dan teknik analisis yang lebih bersifat interpretatif dengan cara
merangkum berbagai deskripsi fenomena merupakan beberapa hal yang identik
dengan metode etnografis (Denzin dan Lincoln, 2009). Berkaca dari hal tersebut,
metode penelitian secara etnografis menjadi penting untuk digunakan dalam
penelitian ini.
1.6.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Surabaya, Jawa Timur selama kurun
waktu lima bulan yakni mulai bulan September 2014 hingga Januari 2015. Alasan
24
utama yang mendasari pemilihan lokasi penelitian ini adalah karena Kota
Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia dan sekaligus menjadi salah
satu pusat perkembangan menjamurnya praktik-praktik pengobatan tradisional.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya penyembuh tradisional yang ada di Kota
Surabaya bahkan tidak sedikit dari mereka yang menggunakan media iklan dalam
berpromosi. Melalui stasiun-stasiun televisi lokal yang tersebar begitu banyak di
Kota Surabaya menjadikan kota ini banyak dipilih oleh penyembuh tradisional
sebagai
tempat
untuk
mengembangkan
ekspansi
praktik
pengobatan
tradisionalnya dengan beriklan. Lokasi penelitian merupakan unsur penting dalam
suatu penelitian, bertumpu pada hal tersebut maka pemilihan Kota Surabaya
sebagai lokasi penelitian tentu saja didasari oleh berbagai pertimbangan.
Ketersedian data dan adanya fenomena yang diteliti menjadi dasar pemilihan
lokasi tersebut.
1.6.2 Pemilihan Informan
Dalam sebuah penelitian kualitatif, informan merupakan faktor penting
yang harus selalu diperhatikan. Maksud dari kata “diperhatikan” di sini adalah
informan merupakan ujung tombak dari keberhasilan peneliti dalam menemukan
informasi yang sesuai dengan apa yang dicarinya. Hal ini disebabkan oleh peran
informan yang sangat dibutuhkan untuk menjawab berbagai permasalahan yang
diangkat oleh peneliti.
Secara jelas Spradley (2007) menjelaskan bahwa informan merupakan
pembicara asli (native speaker) yang memiliki kontribusi penuh dalam
25
menentukan hasil akhir suatu penelitian. Lebih jauh Benard dalam Endraswara
(2006) menyebutkan jika informan kunci (key-informan) merupakan individu
yang dapat bercerita secara mudah, paham terhadap informasi yang dibutuhkan,
serta dapat dengan jelas memberikan informasi kepada peneliti. Melihat pada
fungsi pokok yang sangat dominan dalam suatu penelitian, maka posisi informan
seolah-olah menjadi titik utama agar dapat memperoleh jawaban penelitian yang
akurat.
Dalam penelitian ini informan yang dipilih meliputi :
1.
Penyembuh tradisional yang menggunakan media iklan televisi (TV) lewat
acara talkshow kesehatan.
2.
Pasien yang menggunakan jasa pengobatan tradisional dari iklan di televisi
(TV).
3.
Praktisi kesehatan modern, pihak televisi (TV) serta instansi terkait.
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan tahapan
penting yang harus dikerjakan dengan teliti. Dalam penelitian ini beberapa
tahapan dilakukan demi mendapatkan data yang relevan sehingga dapat digunakan
dalam proses analisis data nantinya. Tahapan tersebut diantaranya :
1. Kajian Pustaka : Peneliti melakukan studi literature melalui buku-buku
yang berhubungan
dengan
perkembangan
pengobatan
tradisional.
Berbagai jurnal serta unduhan online di internet juga menjadi bahan
26
tambahan dalam menentukan konsep penelitian yang ingin dibuat. Metode
ini merupakan langkah awal yang cukup penting dalam penelitian karena
peneliti membutuhkan sumber data sekunder yang akan mendukung
penelitian dan juga digunakan untuk mengetahui sejauh mana ilmu yang
berhubungan dengan penelitian tersebut telah berkembang (Nazir, 1998).
2. Observasi : Kegiatan observasi atau pengamatan dilakukan peneliti
terhadap pola promosi yang dilakukan oleh penyembuh tradisional,
aktifitas praktik hingga saat program talkhsow berlangsung di televisi.
Peneliti juga melakukan observasi partisipasi dengan cara mengunjungi
tempat praktik yang dimiliki oleh penyembuh tradisional secara rutin serta
mengikuti kegiatan penyembuh tradisional ketika sedang mengisi program
talkshow kesehatan di televisi. Memperhatikan secara akurat, mencatat
fenomena yang muncul, serta mempertimbangkan hubungan diantara
aspek-aspek dalam fenomena tersebut merupakan perhatian utama peneliti
(Poerwandari, 2005).
3. Wawancara Mendalam (Indepth-Interview) : Kegiatan ini dilakukan
kepada para informan yang telah ditentukan sebelumnya, tujuan dari
penentuan informan disini adalah untuk mendapatkan data yang relevan
dengan apa yang ingin diteliti. Penyembuh tradisional yang beriklan di
televisi melalui program talkshow kesehatan menjadi informan pokok
dalam penelitian ini. Proses wawancara juga dilakukan pada pasien, pihak
perwakilan stasiun televisi, praktisi medis modern serta instansi terkait
demi memperoleh data secara penuh.
27
4. Dokumentasi : Dalam penelitian ini peneliti juga melakukan proses
dokumentasi melalui pengumpulan foto-foto yang diambil menggunakan
kamera digital. Sumber data pendukung lainnya juga dikumpulkan melalui
arsip-arsip yang dimiliki oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya serta pihak
stasiun televisi. Tujuan utama dari hal ini adalah diharapkan nantinya akan
dapat membantu peneliti dalam melengkapi data penelitian yang disajikan.
1.6.4 Analisis Data
Tahapan akhir yang paling penting dalam suatu penelitian adalah analisis
data, hal ini merupakan usaha untuk menggabungkan berbagai data yang telah
diperoleh untuk dikaji lebih lanjut. Analisis data pada dasarnya merujuk pada
praktik pengujian sistematis terhadap sesuatu untuk menentukan bagianbagiannya, hubungan diantara bagian-bagian, serta hubungan bagian-bagian itu
dengan keseluruhannya (Spradley, 1997). Lebih jauh Milles dan Huberman
(1992) menjelaskan bahwa melalui interactive model analysis kegiatan
pengumpulan data dan analisis data tidak dapat dipisahkan begitu saja.
Pengumpulan data ditempatkan sebagai salah satu komponen yang harus ada
dalam kegiatan analisis data.
Hal tersebut dapat dirumuskan melalui tahapan-tahapan yang dilakukan
dalam penelitian ini yakni : proses reduksi data dilakukan dengan cara
mengumpulkan terlebih dahulu data kasar dan masih mentah yang berlangsung
secara terus menerus selama penelitian, lalu kemudian membuat ringkasan data.
Setelah itu data diolah dan disajikan dengan cara penyampaian berbagai informasi
28
yang telah didapatkan oleh peneliti selama di lapangan. Data yang telah terkumpul
selanjutnya disusun secara runtut dalam bentuk naratif sehingga mudah dipahami.
Setelah data tersusun dan terklasifikasi dalam bab-bab bahasan maka tahapan
proses analisis yang terakhir adalah dengan membuat penarikan kesimpulan
sehingga peneliti dapat memperoleh hasil akhir dari penelitian ini.
29
Download