BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan aspek utama dalam menunjang berbagai aktifitas yang dilakukan oleh manusia. Hal ini secara nyata menunjukkan keterkaitan yang sangat kuat diantara keduanya. Melihat pada hal tersebut, manusia pada dasarnya memiliki berbagai cara dalam menjaga kesehatan sesuai dengan pilihan-pilihan yang mereka tetapkan baik secara individual maupun kolektif. Proses pemilihan layanan kesehatan ini tentu saja didasari oleh berbagai pertimbangan yang telah ada sebelumnya. Kualitas dari suatu pelayanan kesehatan juga menjadi salah satu hal yang cukup penting untuk dilihat. Standarisasi tentang aturan dan kualifikasi penyembuh serta pelayanan ketika melakukan treatment pada pasien secara profesional dengan tidak melihat latar belakang sosial merupakan beberapa hal dasar yang seharusnya dimiliki oleh suatu sistem medis (Whitehead, 1992). Istilah mengenai sistem medis merupakan suatu unsur universal dari kebudayaan, istilah ini harus digunakan dalam artian komprehensif yang mencakup semua aktifitas klinik dan non klinik, pranata-pranata formal dan informal serta segala aktifitas lain yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan kelompok serta meningkatkan fungsi masyarakat secara optimal (Foster dan Anderson, 2006). Di tengah perkembangan sistem medis modern yang sangat pesat seperti saat ini, masyarakat tidak begitu saja menjatuhkan pilihannya untuk menggunakan pola medis secara ilmiah tersebut. Terdapat berbagai faktor yang 1 turut mempengaruhi keputusan masyarakat, salah satu faktor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah masih kuatnya nilai-nilai kultural yang berkembang di masyarakat mengenai efektivitas sistem medis secara tradisional. Pengobatan tradisional merupakan sebuah konsep pengobatan atau perawatan kesehatan dimana cara pengobatan dan obat yang digunakan mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun temurun, dan atau pendidikan/pelatihan yang diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat (Kepmenkes, 2003). Bila kita membahas secara terminologi tentang pengobatan tradisional dan pengobatan alternatif maka keduanya merupakan dua terminologi yang sama untuk menyebutkan satu sistem pengobatan di luar pengobatan modern yang berasal dari barat. Badan kesehatan dunia (WHO) menyebut hal tersebut dengan traditional medicine atau pengobatan tradisional sedangkan kalangan ilmiah banyak yang menyebut dengan traditional healing atau penyembuhan tradisional bahkan ada juga yang menyebutnya dengan folk medicine, ethno medicine, indigenous medicine dan alternative medicine (Agoes, 1992). Pemilihan cara penyembuhan secara tradisional juga tidak lepas dari usaha untuk memperoleh kesehatan, pada hakekatnya kesehatan mencakup sebagian besar aspek kehidupan manusia mulai dari proses terbentuknya seseorang sampai dengan akhir kehidupannya (Ardani, 2013). World Health Organitation (WHO) menyatakan bahwa pengobatan tradisional adalah ilmu dan seni pengobatan berdasarkan himpunan dari pengetahuan dan pengalaman praktik, baik yang dapat diterangkan secara ilmiah maupun tidak dalam melakukan diagnosis, prevensi dan pengobatan terhadap ketidakseimbangan fisik, mental ataupun sosial. Dewasa ini 2 pengobatan tradisional tidak hanya hadir sebagai fenomena medis dan ekonomi, tetapi cakupannya lebih luas lagi yakni sebagai suatu fenomena sosial budaya dan hal ini terjadi di dalam kehidupan masyarakat (Kasniyah, 1997). Secara keilmuan pola-pola yang ada pada sistem medis modern berbeda dengan pola yang terdapat dalam sistem medis tradisional. Hal ini tentu saja disebabkan oleh berbagai faktor yang terdapat di dalam kedua sistem medis tersebut. Perbedaan yang sangat mencolok dari dua sistem medis ini diantaranya adalah (Helman, 1994) : Tabel 1.1 Perbedaan Sistem Medis Modern dan Sistem Medis Tradisional Sistem Medis Modern : Sistem Medis Tradisional : Rasionalitas secara keilmuan Bersifat objektif melalui sistem perhitungan yang rinci Berpatokan pada data-data valid secara kimiawi Melihat pada sudut pandang “disease” sebagai suatu entitas Lebih terfokus pada pasien secara individual dibandingkan dengan keluarga atau komunitas Penafsiran pribadi penyembuh Bersifat umum dan cenderung menggunakan perkiraan-perkiraan Tidak ada patokan yang valid dalam diagnosa Melihat pada sudut pandang pribadi penyembuh Melayani pasien secara individual maupun kolektif Kesehatan dan penyakit merupakan permasalahan utama yang dihadapi oleh umat manusia sejak awal keberadaan umat manusia itu sendiri. Berbagai cerita mengenai penyakit selalu muncul dalam setiap peradaban masyarakat dari masa ke masa (Prasetya, 2009). Ketika individu sedang menderita suatu penyakit, maka usaha untuk memperoleh kesembuhan akan terus dilakukan. Perilaku pencarian pelayanan kesehatan secara sederhana terdiri dari beberapa tahapan yakni : (1) tidak bertindak apa-apa atau tidak melakukan kegiatan apa-apa (no 3 action); (2) tindakan mengobati sendiri (self treatment); (3) mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy); (4) mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat (chemist shop); (5) mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta yang dikategorikan ke dalam balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit (goverment public medicine) dan; (6) mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter praktek (private medicine) (Notoatmodjo, 2007). Lebih jauh lagi Goule dalam Sciortino (1999) memaparkan bahwa pola pengobatan tradisional lebih dominan dipilih oleh masyarakat yang memiliki tingkat sosial, ekonomi serta pendidikan yang lebih rendah. Sementara masyarakat yang termasuk dalam tingkat sosial ekonomi dan pendidikan yang lebih tinggi cenderung untuk mendukung dan menggunakan pola pengobatan modern. Adanya perbedaan pandangan masyarakat dalam memilih bentuk pelayanan kesehatan yang ideal bagi mereka secara nyata telah menjadi faktor utama munculnya berbagai pilihan layanan kesehatan baik secara tradisional maupun modern. Keberadaan sistem pengobatan yang berorientasi pada aspek-aspek medis tradisional secara umum telah mampu menyatu dengan masyarakat, hal tersebut terlihat melalui penggunaan konsep medis tradisional didalam mengatasi berbagai masalah kesehatan baik di desa maupun di kota (Azwar, 1996). Di Indonesia sendiri sebagian masyarakatnya masih menggunakan pelayanan kesehatan melalui sistem pengobatan tradisional. Pada tahun 2003, sebanyak 20,67% dari penduduk 4 Indonesia lebih memilih untuk menggunakan sistem pengobatan secara tradisional.1 Jumlah ini kemudian mengalami perkembangan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun, yakni sebanyak 22,26% pada tahun 2008, 24,24% tahun 2009, dan 27,58% di tahun 2010.2 Berbicara mengenai proses pengambilan keputusan bagi masyarakat dalam hal pengobatan, maka koneksi diantara kesadaran dan pengetahuan terhadap penyakit juga sangat menentukan. Kesadaran seseorang dalam memahami apakah dirinya sedang sehat atau sakit pada hakikatnya tidak dapat terlepas dari pengetahuan yang dimilikinya serta gejala-gejala apa saja yang dirasakannya. Lebih lanjut Sarwono (2004) menjelaskan bahwa secara ilmiah penyakit (disease) itu diartikan sebagai gangguan terhadap fungsi fisiologis dari suatu organisme yang berasal dari infeksi atau tekanan yang terjadi di lingkungan tersebut, sehingga penyakit itu bersifat objektif. Sebaliknya sakit (illness) adalah hasil penilaian individu terhadap pengalamannya ketika menderita suatu penyakit. Fenomena subjektif ini ditandai dengan perasaan tidak enak dan hal-hal lainnya. Mungkin saja terjadi keadaan dimana secara objektif individu terserang suatu penyakit dan salah satu organ tubuhnya terganggu fungsinya namun individu tersebut tidak merasa sakit dan tetap menjalankan tugasnya sehari-hari. Sebaliknya, seseorang mungkin saja bisa merasa sakit namun secara medis tidak diperoleh bukti bahwa dia sakit. Permasalahan seperti ini sangat berkaitan erat dengan kondisi sosial budaya yang ada di dalam masyarakat. 1 Data Statistik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2003 2 Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2010 5 Dalam konteks masyarakat Jawa, terdapat dua jenis penyakit yang bersifat pokok yakni : (1) penyakit yang bisa ditemukan sebab-sebab fisiknya dan bisa disembuhkan melalui pengobatan dokter yang dididik secara medis barat. (2) penyakit yang tidak bisa ditemukan sebab-sebab secara medis, namun si pasien masih saja merasakan sakit. Jenis penyakit yang kedua inilah yang seringkali hanya mampu diobati oleh para dukun (Geertz, 1989). Melihat pada latar belakang dan karakteristiknya, ilmu Antropologi sebenarnya juga melakukan pengamatan tentang perilaku kesehatan serta bagaimana individu tersebut kemudian merespon kondisi kesehatan mereka. Selain itu, melakukan diagnosa terhadap diri sendiri dan orang lain serta pilihan untuk berkonsultasi atau membuat keputusan dengan anggota keluarga dalam hal pemilihan layanan kesehatan juga telah menjadi perhatian dalam ranah ilmu Antropologi Kesehatan (Hahn, 1999). Antropologi Kesehatan adalah disiplin biobudaya yang memberikan perhatian terhadap aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi diantara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit (Foster dan Anderson, 2006). Menengok pada berbagai ulasan di atas, terdapat beberapa hal menarik yang kemudian muncul di dalam kajian perkembangan pengobatan tradisional saat ini. Salah satunya adalah jika dahulu penyembuh tradisional identik dengan orang tua yang dipanggil dengan julukan “mbah”3, maka seiring dengan perkembangan media komunikasi yang semakin maju saat ini tidak sedikit dari 3 Sebutan Untuk Penyembuh Tradisional Dalam Bahasa Jawa 6 para pelaku atau praktisi penyembuh tradisional tersebut yang mulai membangun citra dirinya melalui media cetak, radio dan televisi. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya program acara pengobatan tradisional yang ada di berbagai stasiun televisi serta radio dengan narasumber praktisi atau penyembuh tradisional yang mendapat julukan “Gus” (laki-laki) atau “Jeng” (perempuan). Melalui fakta ini terungkap sebuah keadaan jika di jaman modern seperti saat ini masih banyak masyarakat yang lebih mendahulukan berobat ke praktisi medis tradisional daripada ke medis modern. Pilihan masyarakat tersebut juga didukung oleh berbagai faktor, salah satunya adalah ketidaksembuhan pasien yang pergi berobat ke medis modern sehingga beranggapan jika berpindah ke medis tradisional maka nantinya mereka akan mendapatkan kesembuhan yang di inginkan. Hal penting lainnya yang juga memiliki peranan dalam perkembangan pilihan sistem medis adalah mengenai pesatnya arus globalisasi. Globalisasi dalam dunia kesehatan akan memberikan dampak yang sangat luas, dampak ini diperkirakan akan mampu memberikan pengaruh terhadap penggunaan teknologi kesehatan, sistem pelayanan kesehatan, penyakit-penyakit baru hingga kondisi sosial kemasyarakatan lainnya (Achmadi, 2008). Proses globalisasi mempunyai implikasi yang sangat krusial terhadap potensi-potensi apa saja yang akan mengarah pada hal-hal yang bersifat positif maupun negatif dalam dunia medis dan arus globalisasi ini akan terus berlanjut dan berkembang dari masa ke masa. Proses globalisasi yang menyangkut pada hal-hal mengenai kebudayaaan secara tidak langsung akan membuat perubahan budaya semakin mudah terjadi, hal tersebut juga akan merambah pada kajian budaya dalam konteks kesehatan. 7 Hasil yang kemudian muncul dari proses ini salah satunya adalah mengenai perubahan pola pikir dan cara pandang masyarakat tentang masalah-masalah sosial budaya dan kesehatan yang ada di sekitarnya. Fenomena semacam ini merupakan proses perubahan sosial yang relatif baru dan hal-hal baru tersebut meliputi proses perubahan ide yang semakin cepat, citra, gaya dan media informasi apa yang akan dipilihnya nanti (Baum, 2008). Saat ini dimana proses sosialisasi mengenai asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan kalangan swasta semakin gencar digalakkan tidak begitu saja merubah mind set (cara pandang) masyarakat untuk mengikuti alur tersebut. Banyak dari masyarakat yang tetap bertahan pada pola pelayanan medis secara tradisional, hal tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai pertimbangan. Salah satu pertimbangan yang cukup menarik bagi masyarakat adalah semakin menjamurnya iklan pengobatan tradisional yang memberikan janji penyembuhan secara instan melalui media televisi. Hal semacam ini tentu saja sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut karena meskipun berbagai tawaran asuransi kesehatan telah menjamur, namun keberadaan pengobatan tradisional tidak begitu saja sepi peminat. Semakin maraknya perkembangan dunia penyembuhan secara tradisional di era konsumsi seperti saat ini seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dimana mereka hanya mementingkan proses pembentukan citra diri agar dapat menarik perhatian masyarakat. Hal ini tentu saja akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat yang benar-benar ingin mencari kesembuhan melalui pelayanan medis secara tradisional. 8 Bahasan mengenai perubahan pola promosi yang dilakukan oleh penyembuh tradisional di era saat ini memang menarik untuk dibahas lebih lanjut. Salah satu penjelasannya adalah jika dahulu proses promosi yang dilakukan oleh penyembuh tradisional hanya sebatas dari mulut ke mulut (atau dalam istilah Jawa disebut dengan “getok tular”), namun seiring dengan perkembangan media dan teknologi yang ada saat ini banyak penyembuh tradisional yang kemudian memilih cara promosi secara modern. Berdasarkan fungsinya sebagai penyalur pesan-pesan kesehatan, media promosi secara modern yang dimaksud kemudian terbagi menjadi tiga bentuk, yakni (1) media cetak (surat kabar, majalah, pamflet, brosur), (2) media elektronik (televisi, radio) dan (3) media papan (papan nama praktik) (Notoatmojo, 2007). Fenomena mengenai menjamurnya praktik pengobatan tradisional sudah banyak ditemukan di berbagai daerah, termasuk di Propinsi Jawa Timur tepatnya di Kota Surabaya. Sebagai kota metropolitan nomer dua di Indonesia, Kota Surabaya banyak dilirik oleh pemerhati bisnis tidak terkecuali dalam bisnis pengobatan tradisional. Untuk menarik perhatian calon pasien agar menjatuhkan pilihan pengobatannya kepada praktik pengobatan tradisional banyak penyembuh tradisional yang kemudian mengubah cara mereka dalam melakukan promosi. Beberapa hal menarik yang dapat dilihat dari fenomena tersebut adalah mengenai proses pemasaran atau promosi yang dipilih oleh masing-masing penyembuh tradisional agar tempat praktiknya dapat tetap eksis. Banyak dari penyembuh tradisional yang kemudian berani meniru cara medis modern dalam menjalankan praktik pengobatannya agar dapat meyakinkan calon pasien. Hal ini tentu saja 9 merupakan sebuah gebrakan besar dalam perkembangan pengobatan tradisional karena secara umum apa yang diterapkan oleh sistem medis tradisional sangat berbeda dengan apa yang diterapkan oleh sistem medis modern. Maraknya penyembuh tradisional yang beriklan dapat dilihat dari banyaknya kemunculan mereka di berbagai media baik cetak maupun visual. Melalui iklan praktik pengobatan tradisional, seringkali penyembuh tradisional tersebut memberikan janji yang menggiurkan kepada pasien antara lain dapat memperoleh kesembuhan dari penyakit yang dideritanya dalam jangka waktu tertentu, menggunakan metode pengobatan tanpa efek samping, tenaga ahli/konsultan pengobatan yang berpengalaman, hingga penggunaan bahan-bahan herbal yang menggunakan resep eksklusif ramuan tertentu. Testimoni beberapa pasien yang menyatakan kondisi kesehatannya membaik atau sembuh setelah berobat juga merupakan salah satu bahan iklan yang dianggap akan menarik perhatian calon pasien. Perubahan pola promosi yang dilakukan oleh para penyembuh tradisional ini dapat dikatakan sebagai sebuah strategi untuk menjaga eksistensi mereka di tengah masyarakat. Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa strategi merupakan cara untuk mencapai atau mewujudkan tujuan secara efektif dan efisien, hal inilah yang saat ini sedang gencar dilakukan oleh para penyembuh tradisional melalui strategi media promosi modern berupa iklan. Dengan semakin banyak praktisi penyembuh tradisional yang mengiklankan usahanya maka akan muncul dua sisi pendekatan yakni di satu sisi dapat membuat masyarakat yang menggunakan pola pengobatan tradisional menjadi semakin mempunyai banyak pilihan namun di sisi 10 lain jika masyarakat kurang teliti terhadap hal tersebut maka mereka dapat menjadi korban janji-janji manis (Kristiana, 2013). Pemilihan media promosi melalui konsep modern seperti halnya iklan bagi penyembuh tradisional merupakan sebuah trend baru yang cukup marak dalam kurun waktu belakangan ini. Hal tersebut dapat dilihat dari data PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) pada tahun 2004 yang menyatakan bahwa total belanja iklan televisi mengenai pengobatan tradisional menduduki peringkat ke-11 dari 20 besar belanja iklan secara nasional dengan total anggaran mencapai Rp 121 Milyar. Kemudian terjadi peningkatan belanja iklan televisi pengobatan tradisional pada tahun berikutnya yaitu dengan total anggaran Rp 136 Milyar. Peringkat yang ada juga ikut naik yaitu dari peringkat ke-11 menuju peringkat 8 pada 20 besar belanja iklan secara nasional. 4 Pola promosi secara modern yang digunakan oleh penyembuh tradisional seperti halnya melalui program talkshow di televisi dan radio, iklan di surat kabar, hingga penyebaran brosur merupakan salah satu bukti jika proses promosi yang dilakukan oleh penyembuh tradisional tersebut sudah mengalami perubahan. Bila kita lihat lebih dalam, saat ini penyampaian iklan melalui media televisi lebih banyak dipilih oleh penyembuh tradisional dan hal tersebut tentu saja dibumbui oleh aroma komersialisasi. Morissan (2010) menjelaskan bahwa proses komersialisasi selalu mengacu pada usaha memaksimalisasi keuntungan. Pandangan semacam inilah yang saat ini menyelimuti para penyembuh tradisional sehingga promosi melalui iklan di televisi kemudian dipilih oleh mereka. Usaha 4 www.anneahira.com/belanja-iklan.html 11 untuk dapat mengumpulkan keuntungan melalui media promosi di televisi seolaholah menjadi agenda utama bagi para penyembuh tradisional. Berangkat dari hal inilah kemudian penulis menjadi tertarik untuk mengupas lebih jauh mengenai fenomena tersebut. Media iklan yang merupakan bentuk budaya kapitalis saat ini hadir dan digunakan oleh para penyembuh tradisional didalam memasarkan usahanya. Meskipun demikian, hal tersebut tidak serta merta menghilangkan secara penuh tradisi “getok tular” yang bersumber dari pengalaman pasien dimana ia pernah sembuh setelah menjalani pengobatan tradisional. 1.2 Rumusan Masalah Melihat pada uraian latar belakang masalah yang telah diangkat sebelumnya, maka beberapa pertanyaan penelitian yang muncul adalah : 1. Mengapa cara promosi modern melalui iklan di televisi dipilih oleh para penyembuh tradisional? 2. Bagaimana pandangan kacamata praktisi medis modern terkait penyembuh tradisional yang melakukan promosi melalui iklan di televisi? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah proses perubahan yang terjadi di dalam cara promosi atau pemasaran yang dipilih oleh penyembuh tradisional melalui media iklan di televisi. Selain itu, alasan apa saja yang mendasari para penyembuh tradisional 12 tersebut memilih media iklan sebagai alat promosi atau pemasaran menjadi penting untuk dijabarkan. Yang tidak kalah pentingnya adalah untuk mengetahui dinamika serta pandangan kacamata medis modern mengenai penggunaan media iklan sebagai alat promosi atau pemasaran oleh penyembuh tradisional. Ketiga hal tersebut sangat penting untuk dikaji lebih dalam agar nantinya didapatkan jawaban yang relevan mengenai permasalahan yang diangkat oleh peneliti. Manfaat akademis atau teoritis yang diharapkan akan muncul dalam penelitian ini adalah peneliti dapat memberikan gambaran dan juga pemaparan yang cukup jelas mengenai hal-hal yang terkait dengan permasalahan mengenai kajian kesehatan dalam perspektif Antropologi Kesehatan. Dalam penelitian ini hal utama yang ingin dikupas lebih lanjut adalah mengenai perubahan konsep promosi yang dipilih oleh para penyembuh tradisional melalui media modern. Perkembangan media yang pesat dihubungkan dengan perkembangan praktik pengobatan tradisional yang menjamur saat ini menjadi kajian yang cukup menarik untuk dibahas karena nantinya masyarakat akan mengetahui lebih jauh tentang dinamika yang muncul diantara keduanya. Tidak lupa, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah literature dan juga referensi khususnya bagi peneliti lain yang ingin mengambil tema serupa atau mendekati kajian yang dilakukan oleh penulis. 1.4 Tinjauan Pustaka Secara umum dalam studi ilmu Antropologi khususnya Antropologi Kesehatan belum terlalu banyak peneliti yang memfokuskan kajian pada pola 13 perubahan promosi layanan kesehatan yang dilakukan oleh penyembuh tradisional. Salah satu hasil penelitian yang membahas mengenai permasalahan ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Irfan Syuhudi, M. Yamin Sani, dan M. Basir Said (2012) dengan judul “Etnografi Dukun : Studi Antropologi Tentang Praktik Pengobatan Dukun di Kota Makassar”. Penelitian ini lebih banyak membahas mengenai teknik-teknik pengobatan yang dilakukan oleh dukun di Kota Makassar, meskipun demikian pada beberapa bahasan di dalam penelitian ini juga disinggung mengenai pola promosi beberapa dukun yang sudah mulai beralih ke pola modern. Beberapa hasil yang dijabarkan dalam tulisan tersebut yakni karena melihat ketertarikan sebagian masyarakat untuk berobat ke dukun maka beberapa dukun menggunakan berbagai cara untuk mempromosikan keahliannya supaya dikenal atau menjadi terkenal. Beberapa dukun ada yang menggunakan media sosial seperti memasang iklan di koran, televisi, dan radio. Ada pula dukun yang membuat brosur dan kemudian mengedarkannya di jalanjalan besar tertentu hingga ada juga dukun yang memasang reklame di depan rumah atau tempat praktiknya. Hal ini mereka lakukan semata-mata sebagai proses adaptasi untuk bertahan di tengah pluralisme medis yang ada di lingkungan perkotaan. Kalangie (1994) menjelaskan bahwa pada dasarnya sistem medis terbagi ke dalam dua golongan besar, yaitu (1) sistem medis ilmiah yang merupakan hasil perkembangan ilmu pengetahuan (terutama dalam dunia barat) dan (2) sistem non-medis (tradisional) yang berasal dari aneka warna kebudayaan manusia. Hal lain yang membedakan kedua golongan ini adalah pengobatan modern berbasis 14 pada pembuktian ilmiah, sedangkan pengobatan tradisional berdasarkan kearifan lokal yang berasal dari kebudayaan masyarakat termasuk di antaranya pengobatan dukun yang mengobati penyakit menggunakan tenaga gaib atau kekuatan supranatural. Pengobatan maupun diagnosis yang dilakukan dukun selalu identik dengan campur tangan kekuatan gaib ataupun yang memadukan antara kekuatan rasio dan batin (Agoes, 1996). Bruce Kapferer dalam Alkumayi (2011) menyatakan jika kepercayaan kepada dukun dan praktik perdukunan merupakan local beliefs (kepercayaan lokal) yang tertanam dalam kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai local beliefs, keduanya (dukun dan praktik perdukunan) tidak bisa dinilai dari sudut pandang rasionalitas ilmu karena memiliki nalar dan logika sendiri yang disebut rationality behind irrationality (rasionalitas di belakang irasionalitas). Pihak-pihak yang kemudian mempercayai dukun dan praktik perdukunan tidak lantas digolongkan ke dalam masyarakat tradisional yang melambangkan keterbelakangan. Pengobatan dukun telah menjadi bagian dalam sistem kognitif masyarakat yang terdiri atas pengetahuan, kepercayaan, gagasan, dan nilai yang berada didalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat (Goodenough dalam Kalangie, 1994). Ketika ada orang yang datang berobat kepada dukun kemudian ia berhasil disembuhkan, maka jasa pengobatan dukun tersebut biasanya akan terus digunakan oleh si pasien. Salah satu ciri pengobatan dukun adalah penggunaan doa-doa atau bacaan-bacaan, air putih, dan ramuan tradisional. Para dukun di Jawa menggunakan teknik-teknik ilmu gaib, ucapan mantra-mantra, dan 15 memberikan jamu tradisional untuk mengobati pasiennya. Tidak ada sekolahsekolah formal atau sekolah khusus perdukunan. Ada kesan, keahlian menjadi dukun itu disebabkan atau diwariskan secara turun temurun kepada keturunannya (Koentjaraningrat, 1984). Namun kenyataannya tidak semua keturunan bisa mewarisi ilmu dukun dari orang tuanya terlebih jika yang bersangkutan (keturunannya itu) dianggap tidak memiliki bakat menjadi seorang dukun. Sebelum mendapat keahlian mengobati, seorang dukun biasanya mengalami beberapa kali mimpi bertemu orang yang usianya sudah tua dan memakai pakaian serba putih. Pengobatan dukun juga mengenal istilah “jodoh-jodohan”, artinya dukun juga terkadang tidak berhasil menyembuhkan penyakit seseorang meskipun penyakit yang dialami oleh orang itu pernah dialami orang lain bahkan berhasil disembuhkan oleh sang dukun (Geertz, 1989). Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai suatu konsep cocok dan tidak cocok, tergantung kepada masing-masing individu yang mengalaminya. Hasil penelitian lain yang turut mengulik tentang konsep promosi penyembuh tradisional secara modern adalah penelitian yang dilakukan oleh Lusi Kristiana, Pramita Andarwati dan Syarifah Nuraini (2013) dengan judul “Kajian Regulasi Iklan Sarana Pengobatan Tradisional di Surat Kabar”. Dalam penelitian ini didapatkan hasil pengamatan jika melalui iklan penyembuh tradisional seringkali memberikan berbagai janji menggiurkan kepada pasien antara lain kepastian kesembuhan, tanpa efek samping, tenaga berpengalaman, resep eksklusif, dan kesaksian pasien yang sembuh. Bentuk iklan dengan janji yang 16 masih diragukan kebenarannya ini mungkin turut berperan juga dalam kecenderungan masyarakat untuk beralih kepada penyembuh tradisional, bahkan ada dugaan terjadi pelanggaran periklanan oleh pihak penyembuh tradisional. Pesatnya perkembangan media ternyata turut membantu keberadaan pengobatan tradisional agar dapat semakin dikenal oleh masyarakat luas. Maraknya iklan mengenai keberadaan pengobatan tradisional serta tempat praktiknya akhir-akhir ini dapat dilihat dari tingginya intensitas kemunculan mereka baik di media cetak maupun televisi. Testimoni beberapa pasien yang menyatakan kondisi kesehatannya membaik atau sembuh setelah berobat ke penyembuh tradisional ternyata dapat dijadikan sebagai salah satu bahan iklan agar bisa menarik konsumen lebih banyak. Penelitian selanjutnya yang juga menyinggung mengenai keputusan penyembuh tradisional untuk beriklan sebagai upaya menjaga eksistensinya adalah tulisan dari Titik Kuntari (2010). Ia memaparkan bahwa paradigma pemahaman tentang konsep berobat pada pengobatan tradisional yang diketahui dari iklan sebenarnya merupakan ekspresi dari rasa frustasi dan respon masyarakat terhadap tingginya biaya pengobatan dan kesehatan secara medis modern. Hebatnya lagi tidak jarang masyarakat awam menganggap bahwa suatu metode pengobatan secara tradisional seringkali dianggap dapat mengakomodir semua jenis penyakit, pemikiran seperti ini biasanya disebabkan oleh efek dari iklan pengobatan yang sering muncul di televisi. Dalam program talkshow pengobatan tradisional biasanya seorang penyembuh tradisional mengaku sanggup untuk mengobati sakit mata, jantung, prostat dan penyakit mematikan lainnya tanpa 17 harus operasi. Berbagai penyakit seperti halnya kanker ganas konon bisa disembuhkan dengan cara memindahkan penyakit tersebut melalui media hewan atau ke dalam telur. Sugesti yang diciptakan oleh penyembuh tradisional semacam ini sangat tidak bisa diterima oleh medis modern. Ilmu Kedokteran sendiri yang sudah berkembang selama berabad-abad (sejak zaman Hipocrates-sebelum masehi) saja untuk setiap keahlian dibutuhkan tahapan pendidikan yang panjang agar dapat memperoleh kemampuan spesialisasi terhadap penyakit. Bila berbicara mengenai biaya yang harus dikeluarkan oleh calon pasien untuk memperoleh kesembuhan, maka jika kita kalkulasikan dengan cermat upaya ikhtiar mencari kesembuhan dengan berobat ke dukun, paranormal dan jasa penyembuh tradisional lainnya biasanya biaya yang harus dikeluarkan bisa jadi lebih mahal dibandingkan dengan biaya pengobatan medis secara ilmiah. Fakta lain juga menyebutkan bahwa tidak sedikit dari pasien pengobatan tradisional yang berujung pada hal-hal yang tidak diinginkan seperti penyakit yang bertambah parah hingga kematian. Tidak dapat dipungkiri seringkali pasien baru kembali berobat ke medis modern ketika efek pengobatan tradisional yang dicobanya melalui iklan di televisi malah menunjukkan gejala-gejala yang semakin berbahaya/memburuk. Banyak dokter yang mau tidak mau harus menerima kondisi pasien setelah “digempur” oleh berbagai jenis terapi yang bisa saja memberikan efek buruk bagi tubuh bahkan dapat memperlambat pemberian terapi secara medis. Persepsi yang ditanamkan kepada publik bahwa biaya pengobatan medis modern itu mahal secara nyata telah menumbuh kembangkan opsi agar mereka berobat ke 18 penyembuh tradisional yang dianggap lebih mujarab. Masyarakat bahkan tidak jarang rela mengeluarkan uang untuk menyiapkan “ubarampe” dalam proses pengobatan tradisional dibandingkan dengan membeli obat dari resep dokter atau di apotik. Sebenarnya anggapan bahwa berobat ke dokter itu mahal pada dasarnya sama saja seperti biaya yang harus dikeluarkan oleh si pasien ketika mendatangi penyembuh tradisional satu ke penyembuh tradisional lainnya, padahal kegiatan seperti ini lebih mahal biayanya. Banyak masyarakat yang tidak mempermasalahkan hal tersebut karena mereka masih mempercayai bahwa pengobatan tradisional merupakan jenis pengobatan yang lebih familiar bagi mereka. 1.5 Kerangka Pemikiran Malefyt dan Morais (2012) dalam bukunya Advertising and Anthropology : Ethnographic Practice and Cultural Perspectives menjelaskan bahwa posisi media memiliki peranan yang besar dalam menyampaikan sebuah pesan yang bersifat komersial. Pendekatan Antropologis dapat digunakan untuk mengamati dan menggambarkan dari dalam mengenai fenomena iklan yang berkembang hingga saat ini. Maksud dari pesan yang bersifat komersial jika dikorelasikan dengan penelitian ini adalah iklan program talkshow kesehatan yang digunakan oleh penyembuh tradisional. Melalui iklan di televisi, penyembuh tradisional memiliki cara untuk menyampaikan kepada masyarakat tentang praktik pengobatan tradisional yang dimilikinya. Proses penyampaian ini tentu saja diikuti oleh tujuan komersialisasi agar penonton tertarik datang dan berobat kepadanya. 19 Iklan atau dalam Bahasa Inggris Advertise berasal dari Bahasa Latin, yaitu advere yang berarti menyampaikan pikiran dan gagasan kepada orang lain. Lebih jauh pengertian iklan adalah segala bentuk pesan tentang suatu layanan yang disampaikan lewat media dan dibiayai oleh pemrakarsa itu sendiri serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat (Restaty, 2005). Fenomena beriklan juga dipengaruhi oleh efek globalisasi, dampak yang ditimbulkan dari proses globalisasi terhadap dunia kesehatan memang sangat kompleks dan hal tersebut bisa terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung misalnya efek terhadap harga obat-obatan yang semakin mahal karena bahan yang harus di import dari luar negeri. Pada umumnya harga bahan obat ini disesuaikan dengan ukuran kurs dolar Amerika yang tidak stabil atau fluktuatif. Hal ini tentu saja menyebabkan kebingungan bagi masyarakat untuk memilih pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kantong mereka. Dampak tidak langsung pada dasarnya dapat dilihat melalui perkembangan ekonomi di masingmasing negara, permasalahan mengenai perekonomian sedikit banyak akan berpengaruh pula pada masalah-masalah kesehatan di negara tersebut (Achmadi, 2008). Proses pemilihan layanan kesehatan bagi masyarakat tentu saja berkorelasi dengan apa yang mereka ketahui sebelumnya. Pengetahuan masyarakat tersebut juga dipengaruhi oleh informasi yang mereka dapatkan, tidak terkecuali yang berasal dari media cetak maupun visual. Studi-studi Antropologis menunjukkan bahwa proses globalisasi merupakan proses untuk menciptakan konsep “masyarakat global” (Sahlins, 1994). Lebih lanjut Alam (1998) menjelaskan 20 bahwa bentuk-bentuk kebudayaan yang ada saat ini sudah sangat dipengaruhi oleh arus globalisasi. Kehadiran televisi merupakan tanda dari suatu perubahan peradaban yang berasal dari satu ujung garis kontinuum budaya kemudian berlanjut ke ujung garis kontinuum yang lain. Pada saat televisi mulai menggantikan institusi keluarga, teman dan komunitas sebagai titik pusat peradaban maka titik interaksi dan pembentukan nilai akan berpusat pada televisi (Abdullah, 2006). Dalam topik penelitian ini, keterangan tersebut dapat dikoneksikan dengan pergeseran pola promosi yang digunakan oleh para penyembuh tradisional. Apabila dahulu penyembuh tradisional lebih banyak mengandalkan efek langsung dari budaya getok tular (proses promosi dari mulut ke mulut) namun dengan proses perubahan modernitas yang ada saat ini para penyembuh tradisional kemudian lebih berani untuk mengambil cara promosi melalui iklan televisi yang dianggap dapat langsung diterima secara visual oleh masyarakat. Media sejatinya menyediakan ruang dan waktu bagi pelaku bisnis untuk memperkenalkan jasa ataupun produk yang mereka miliki, tidak terkecuali pelaku pengobatan tradisional. Iklan merupakan informasi yang bersifat komersial atau berupa layanan masyarakat untuk menawarkan tentang ketersediaan jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak luas dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan (Permenkes, 2010). Melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 tersebut proses promosi melalui iklan yang digunakan oleh para penyembuh tradisional diharuskan sesuai dengan aturan yang berlaku karena hal ini akan diakses oleh 21 pihak luas. Penjelasan tersebut kemudian seolah-olah menjadi tumpang tindih ketika orientasi yang dipikirkan oleh pelaku iklan dalam hal ini adalah para penyembuh tradisional lebih mementingkan pada prospek keuntungan dan bukan kualitas layanan kesehatan yang diberikan. McCreery (1995) menyatakan jika iklan yang terdapat dalam program televisi pada dasarnya memiliki magnet yang sangat kuat untuk menarik penonton sehingga memperdalam pemahaman mengenai iklan akan sangat penting bagi individu yang akan atau sedang beriklan. Konsep iklan yang dilakukan oleh penyembuh tradisional pada umumnya memiliki fungsi persuasif, hal itu seringkali disebut sebagai fungsi mempengaruhi. Fungsi persuasif merupakan bentuk fungsi komunikasi untuk menyebarkan informasi yang mampu mempengaruhi atau mengubah sikap penerima agar dia menentukan sikap dan perilaku yang sesuai dengan kehendak si pengirim (Liliweri, 2007). Melalui iklan, penyembuh tradisional dapat dengan leluasa menyisipkan pesan-pesan bernada rayuan kepada calon pasien. Dalam proses modernisasi dewasa ini sistem nilai tradisional secara nyata mulai digantikan oleh sistem nilai modern sehingga referensi yang ada tidak lagi berkiblat pada tradisi, tetapi pada nilai-nilai modernitas dengan logika berpikir yang berbeda (Abdullah, 2006). Hal ini jelas terlihat pada perubahan pola promosi yang dilakukan oleh para penyembuh tradisional saat ini, pemilihan media promosi secara modern dianggap sebagai jalan pintas bagi mereka. Pengiklan yang cerdik selalu berusaha untuk dapat menciptakan hal baru bagi pemirsanya, hal ini dirancang agar menimbulkan ketertarikan (Cook, 1997). 22 Berbagai cara kreatif yang digunakan oleh penyembuh tradisional secara nyata merupakan bentuk usaha mereka untuk keluar dari konsep promosi yang dianggap kuno. Pada dasarnya apa yang disampaikan melalui iklan biasanya memanipulasi realitas bukan merefleksikan realitas, hal ini biasanya dilakukan dengan memanipulasi isi yang ditampilkan secara visual melawan verbal (Liliweri, 2007). Melalui program talkshow yang ditayangkan oleh pihak stasiun televisi, penyembuh tradisional dapat dengan mudah memberikan penekanan terhadap apa yang ingin mereka sampaikan kepada calon pasiennya. Daya persuasif atau pengaruh suatu pesan sangat tergantung pada media apa yang dipilih oleh komunikator dalam upaya memindahkan pesan atau informasi tentang permasalahan kesehatan. Keputusan yang diambil oleh penyembuh tradisional (komunikator) untuk menggunakan media perantara iklan di televisi dianggap sebagai bentuk usaha persuasif yang dilakukan kepada calon pasiennya. Peranan media sangat besar dalam konsep komunikasi kesehatan, semua yang terjadi tergantung pada peranan komunikator untuk memanfaatkan atau memanipulasi peranan media tersebut (Liliweri, 2007). 1.6 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif adalah metode penelitian dengan melakukan pengamatan langsung (observasi) dan wawancara dengan para infoman yang terlibat di dalam permasalahan yang akan diteliti. Sedangkan pendekatan kualitatif adalah sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah 23 manusia berdasarkan pada penciptaan gambar holistik yang dibentuk melalui kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci, kemudian disusun dalam sebuah latar ilmiah (Creswell dalam Patilima, 2005). Data kualitatif menurut Ahimsa-Putra (2009) yakni merupakan pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri dan keadaan dari sesuatu atau gejala, atau bisa juga pernyataan-pernyataan mengenai hubungan-hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Meskipun ada berbagai macam jenis metode analisis, namun secara umum kita dapat mengatakan bahwa tujuan akhir analisis adalah untuk menetapkan hubungan-hubungan diantara suatu variabel atau gejala atau unsur tertentu dengan variabel atau gejala atau unsur yang lain lalu menetapkan jenis hubungan apa yang nantinya akan dilihat lebih dalam. Penelitian ini bermuara pada kajian Antropologis sehingga penggunaan metode penelitian secara etnografis juga tidak dapat dilepaskan dalam penelitian ini. Proses pengumpulan data empiris yang relatif tidak terstruktur, sejumlah kecil kasus, pelaporan dan teknik analisis yang lebih bersifat interpretatif dengan cara merangkum berbagai deskripsi fenomena merupakan beberapa hal yang identik dengan metode etnografis (Denzin dan Lincoln, 2009). Berkaca dari hal tersebut, metode penelitian secara etnografis menjadi penting untuk digunakan dalam penelitian ini. 1.6.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Surabaya, Jawa Timur selama kurun waktu lima bulan yakni mulai bulan September 2014 hingga Januari 2015. Alasan 24 utama yang mendasari pemilihan lokasi penelitian ini adalah karena Kota Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia dan sekaligus menjadi salah satu pusat perkembangan menjamurnya praktik-praktik pengobatan tradisional. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya penyembuh tradisional yang ada di Kota Surabaya bahkan tidak sedikit dari mereka yang menggunakan media iklan dalam berpromosi. Melalui stasiun-stasiun televisi lokal yang tersebar begitu banyak di Kota Surabaya menjadikan kota ini banyak dipilih oleh penyembuh tradisional sebagai tempat untuk mengembangkan ekspansi praktik pengobatan tradisionalnya dengan beriklan. Lokasi penelitian merupakan unsur penting dalam suatu penelitian, bertumpu pada hal tersebut maka pemilihan Kota Surabaya sebagai lokasi penelitian tentu saja didasari oleh berbagai pertimbangan. Ketersedian data dan adanya fenomena yang diteliti menjadi dasar pemilihan lokasi tersebut. 1.6.2 Pemilihan Informan Dalam sebuah penelitian kualitatif, informan merupakan faktor penting yang harus selalu diperhatikan. Maksud dari kata “diperhatikan” di sini adalah informan merupakan ujung tombak dari keberhasilan peneliti dalam menemukan informasi yang sesuai dengan apa yang dicarinya. Hal ini disebabkan oleh peran informan yang sangat dibutuhkan untuk menjawab berbagai permasalahan yang diangkat oleh peneliti. Secara jelas Spradley (2007) menjelaskan bahwa informan merupakan pembicara asli (native speaker) yang memiliki kontribusi penuh dalam 25 menentukan hasil akhir suatu penelitian. Lebih jauh Benard dalam Endraswara (2006) menyebutkan jika informan kunci (key-informan) merupakan individu yang dapat bercerita secara mudah, paham terhadap informasi yang dibutuhkan, serta dapat dengan jelas memberikan informasi kepada peneliti. Melihat pada fungsi pokok yang sangat dominan dalam suatu penelitian, maka posisi informan seolah-olah menjadi titik utama agar dapat memperoleh jawaban penelitian yang akurat. Dalam penelitian ini informan yang dipilih meliputi : 1. Penyembuh tradisional yang menggunakan media iklan televisi (TV) lewat acara talkshow kesehatan. 2. Pasien yang menggunakan jasa pengobatan tradisional dari iklan di televisi (TV). 3. Praktisi kesehatan modern, pihak televisi (TV) serta instansi terkait. 1.6.3 Teknik Pengumpulan Data Proses pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan tahapan penting yang harus dikerjakan dengan teliti. Dalam penelitian ini beberapa tahapan dilakukan demi mendapatkan data yang relevan sehingga dapat digunakan dalam proses analisis data nantinya. Tahapan tersebut diantaranya : 1. Kajian Pustaka : Peneliti melakukan studi literature melalui buku-buku yang berhubungan dengan perkembangan pengobatan tradisional. Berbagai jurnal serta unduhan online di internet juga menjadi bahan 26 tambahan dalam menentukan konsep penelitian yang ingin dibuat. Metode ini merupakan langkah awal yang cukup penting dalam penelitian karena peneliti membutuhkan sumber data sekunder yang akan mendukung penelitian dan juga digunakan untuk mengetahui sejauh mana ilmu yang berhubungan dengan penelitian tersebut telah berkembang (Nazir, 1998). 2. Observasi : Kegiatan observasi atau pengamatan dilakukan peneliti terhadap pola promosi yang dilakukan oleh penyembuh tradisional, aktifitas praktik hingga saat program talkhsow berlangsung di televisi. Peneliti juga melakukan observasi partisipasi dengan cara mengunjungi tempat praktik yang dimiliki oleh penyembuh tradisional secara rutin serta mengikuti kegiatan penyembuh tradisional ketika sedang mengisi program talkshow kesehatan di televisi. Memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, serta mempertimbangkan hubungan diantara aspek-aspek dalam fenomena tersebut merupakan perhatian utama peneliti (Poerwandari, 2005). 3. Wawancara Mendalam (Indepth-Interview) : Kegiatan ini dilakukan kepada para informan yang telah ditentukan sebelumnya, tujuan dari penentuan informan disini adalah untuk mendapatkan data yang relevan dengan apa yang ingin diteliti. Penyembuh tradisional yang beriklan di televisi melalui program talkshow kesehatan menjadi informan pokok dalam penelitian ini. Proses wawancara juga dilakukan pada pasien, pihak perwakilan stasiun televisi, praktisi medis modern serta instansi terkait demi memperoleh data secara penuh. 27 4. Dokumentasi : Dalam penelitian ini peneliti juga melakukan proses dokumentasi melalui pengumpulan foto-foto yang diambil menggunakan kamera digital. Sumber data pendukung lainnya juga dikumpulkan melalui arsip-arsip yang dimiliki oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya serta pihak stasiun televisi. Tujuan utama dari hal ini adalah diharapkan nantinya akan dapat membantu peneliti dalam melengkapi data penelitian yang disajikan. 1.6.4 Analisis Data Tahapan akhir yang paling penting dalam suatu penelitian adalah analisis data, hal ini merupakan usaha untuk menggabungkan berbagai data yang telah diperoleh untuk dikaji lebih lanjut. Analisis data pada dasarnya merujuk pada praktik pengujian sistematis terhadap sesuatu untuk menentukan bagianbagiannya, hubungan diantara bagian-bagian, serta hubungan bagian-bagian itu dengan keseluruhannya (Spradley, 1997). Lebih jauh Milles dan Huberman (1992) menjelaskan bahwa melalui interactive model analysis kegiatan pengumpulan data dan analisis data tidak dapat dipisahkan begitu saja. Pengumpulan data ditempatkan sebagai salah satu komponen yang harus ada dalam kegiatan analisis data. Hal tersebut dapat dirumuskan melalui tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini yakni : proses reduksi data dilakukan dengan cara mengumpulkan terlebih dahulu data kasar dan masih mentah yang berlangsung secara terus menerus selama penelitian, lalu kemudian membuat ringkasan data. Setelah itu data diolah dan disajikan dengan cara penyampaian berbagai informasi 28 yang telah didapatkan oleh peneliti selama di lapangan. Data yang telah terkumpul selanjutnya disusun secara runtut dalam bentuk naratif sehingga mudah dipahami. Setelah data tersusun dan terklasifikasi dalam bab-bab bahasan maka tahapan proses analisis yang terakhir adalah dengan membuat penarikan kesimpulan sehingga peneliti dapat memperoleh hasil akhir dari penelitian ini. 29