Media dan “Suara Bising” Warga di Aceh Oleh: J Anto Pengamat komunikasi dan media, bekerja pada Kajian informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS) Medan Peran dukun kampong dalam membantu persalinan di sejumlah pedesaan di Aceh ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi kehadiran mereka mampu memberi suntikan psikologi bagi ibu yang hendak melahirkan, namun di sisi lain ada fakta bahwa belum semua dukun bayi ini punya pengetahuan medis untuk menangani persalinan aman. Karena itu dibutuhkan kemitraan yang sehat antara tenaga medis profesional, dalam hal ini para bidan desa dengan para dukun kampong. Muaranya agar pelayanan kesehatan pemerintah dapat menekan serendah mungkin angka kematian ibu (AKI). Dan media massa punya peran penting untuk menginisiasi kisah-kisah kemitraan tersebut untuk mendorong lahirnya kebijakan pelayana kesehatan yang berpihak pada rakyat kecil. Demikian salah satu isu yang mengemuka dalam workshop tiga hari (22-24 November), yang diadakan Kinerja-USAID di Banda Aceh belum lama. Workshop membahas isu pelayanan publik di bidang kesehatan, pendidikan dan perizinan usaha terpadu, dan kaitannya dengan peran media massa untuk menangkap “suara-suara bising” publik. Suara bising publik yang dimaksud berupa keluhan atau komplain publik, menyampaikan bukti-bukti kondisi tertentu yang harus diperbaiki, termasuk membuka akses komunikasi antara pemerintah kabupaten/kota dengan masyarakat. Saya sendiri hadir dalam acara itu dalam kapasitas sebagai media assistant bersama sejumlah rekan lain. Masih Kurang Harus diakui, isu pelayanan kesehatan, khususnya persalinan aman dan pentingnya pemberian ASI memang boleh dikata "kurang seksi" bagi media massa. Namun bukan berarti media kurang memberi perhatian terhadap isu pelayanan kesehatan. Berita tentang pelayanan kesehatan ada, namun intensitasnya tergolong rendah. Selain itu, aspek pelayan kesehatan yang diliput media umumnya juga lebih terpusat pada kisruh pemberian jamkesda atau komplain warga terhadap pelayanan rumah sakit yang dinilai kurang profesional. Riset yang dilakukan KIPPAS (Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera) pada tiga surat kabar, yaitu Serambi Indonesia, Waspada dan Analisa dengan sampel pemberitaan Agustus-Oktober 2011 menemukan ada 103 item berita pelayanan publik, dimana isu pelayanan publik di bidang administrasi kependudukan berjumlah 33%, pelayanan kesehatan 29%, dan 17% pelayanan bidang pendidikan. Isu pelayanan publik kesehatan yang diberitakan umumnya menyangkut buruknya pelayanan rumah sakit, puskesmas dan fasilitas kesehatan lain. Isu kemitraan para bidan - dukun bayi di sejumlah kabupaten Aceh dalam rangka memberi pelayanan persalinan aman sangat minim diberitakan media. Padahal, dengan mengutip Devi Meilizar, bidan koordinator Dinas Kesehatan kabupaten Aceh Barat sebagaimana pernah dikatakan kepada reporter Radio Hilversum Belanda, keinginan 1 kaum ibu di Aceh Barat ditolong dukun saat proses persalinan, masih tujuh puluh persen lebih. Masih menurut Meilizar, di Aceh Barat saat ini terdapat 149 orang dukun bayi. 121 orang di antaranya telah dilatih bermitra bersama bidan desa. Kehadiran dukun bayi memang banyak membantu bidan dan pasien selama persalinan. "Ada rasa aman bagi ibu-ibu di pedesaan Aceh jika proses persalinan yang ditangani bidan kampung dihadiri dukun bayi. Ya, ini semacam kebutuhan psikologis pasien,"ungkap dr. Mahlil Ruby, health advisor Kinerja USAID. Dokter yang sering menulis kolom kesehatan di sebuah harian nasional itu memang tak menampik peran penting dukun bayi. Namun menurutnya ada beberapa pengetahuan lokal yang sering diterapkan para dukun bayi yang bertentangan dengan prinsip kedokteran modern. Ia menyontohkan proses pemanasan yang dilakukan terhadap ibu yang baru melahirkan. Biasanya di bawah tempat tidur ibu yang baru melahirkan ditaruh kompor atau tungku untuk memanasi tubuh sang ibu. "Praktek pemanasan seperti ini membuat pembuluh darah jadi semakin terbuka lebar dan dapat mengakibatkan pendarahan," ujarnya. Ia juga memaparkan kebiasaan cuci tangan yang kerap diabaikan dukun bayi ketika menolong persalinan. Padahal dengan mencuci tangan pakain sabun dapat mencegah hingga 46% kasus diare pada balita, dan dapat mencegah 33% kematian bayi karena diare. Regulasi Yang Memihak Dalam rangka untuk menekan angka kematian bayi, Mahlil juga menyoroti keseriusan pemda Aceh untuk meningkatkan akses pelayanan persalinan aman dan kepastian pemberian ASI. Hasil riset menunjukkan pemberian ASI Eksklusif adalah salah satu intervensi gizi yang paling efektif, dan dapat menurunkan resiko kematian bayi terkait gizi buruk sebanyak 13%. Untuk itu ia berharap setiap pemda di Aceh memilik regulasi untuk memastikan para bidan di puskesmas atau fasilits kesehatan lain tidak mempromosikan susu formula bayi. Sedangkan untuk untuk meningkatkan akses pelayanan persalinan aman hingga menjangkau daerah-daerah terisolir, maka harus ada political action dalam peningkatan distribusi tenaga kesehatan dengan member insentif bagi tenaga kesehatan yang bersedia mengunjungi daerah terisolir. Untuk itu, dibutuhkan adanya jaminan regulasi, berupa peraturan bupati/walikota tentang perbaikan manajemen pelayanan Persalinan Aman, IMD (Inisiasi Menyusu Dini), pemberian ASI Eksklusif di sejumlah kabupaten di Aceh. Regulasi tersebut menurutnya merupakan hak masyarakat sebagai turunan dari Pasal 28H (1) UUD 45 yang memberi jaminan bahwa “setiap orang berhak…memperoleh pelayanan kesehatan” dan Pasal 34 ayat (3) yang menetapkan bahwa ”Negara bertanggung-jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak”. Mengakomodir “Suara Bising” Warga Dalam konteks untuk memastikan adanya regulasi perbaikan manajemen pelayanan Persalinan Aman, IMD (Inisiasi Menyusu Dini), pemberian ASI Eksklusif di Aceh inilah, media massa menurut Imam Prakoso, Accountability and Media Specialist Kinerja - USAID seperti dikutip Wiratmo Probo dari Institut Studi Arus Informasi (ISAI), “suara bising” warga tentang implementasi pelayanan kesehatan pemerintah harus “ditangkap” dan “disuarakan” agar terbangun diskusi publik yang cerdas. 2 Jurnalisme hakikatnya merupakan kegiatan untuk mencari, mengolah (memproses) dan menyebarluaskan fakta publik menjadi informasi publik, dengan menggunakan metode kerja jurnalisme dan dilandasi prinsip etika jurnalisme. Menurut Ashadi Siregar, fakta publik (public issue), yaitu fakta atau kejadian dalam kehidupan masyarakat yang bersentuhan dengan kekuasaan dalam konteks politik, ekonomi dan kultural. Fakta publik diperlukan untuk menentukan pendapat publik (pro – kontra masyarakat terhadap masalah publik yang bersifat aktual). Menurut Siregar, rangkaian proses kebebasan pers mencakup dari kehidupan warga masyarakat yang dikenal sebagai fakta publik (social/public fact), kemudian menjadi informasi publik (public issue) yang disiarkan media pers, untuk menjadi sumber dalam proses pembentukan pendapat publik, lebih jauh sebagai dasar dari kebijakan publik (public policy) dalam memberikan pelayanan publik (public service). Muara dari seluruh proses ini adalah pelayanan publik, sebagai ciri dari birokrasi publik (pemerintahan) dalam norma demokrasi. Muara dari seluruh proses ini adalah pelayanan publik, sebagai ciri dari birokrasi publik (pemerintahan) dalam norma demokrasi. Dengan memahami hakikat kehadiran media jurnalisme adalah untuk menghadirkan “sura-suara bising publik” berkaitan dengan pelayanan kesehatan di Aceh, maka peran penting media tidak hanya terpusat untuk memenuhi hak masyarakat untuk tahu tentang berbagai jenis pelayanan kesehatan semata, tetapi juga untuk mengoreksi, mengritik dan memberikan saransaran dari warga untuk memastikan bahwa pelayanan kesehatan yang ada sudah sesuai dengan prinsip-prinsip pelayanan publik yang baik. 3