POLA MUSIMAN IKAN KURISI (Nemipterus japonicus, Bloach 1791) DI PERAIRAN SELAT SUNDA, KECAMATAN LABUAN, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN YULI HANDAYANI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : Pola Musiman Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus, Bloach 1791) di Perairan Selat Sunda, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2012 Yuli Handayani C24080088 RINGKASAN Yuli Handayani. C24080088. Pola Musiman Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus, Bloach 1791) di Perairan Selat Sunda, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Dibawah bimbingan Luky Adrianto dan Yonvitner Ikan kurisi (Nemipterus japonicus) merupakan kelompok ikan demersal. Tipe substrat sangat mempengaruhi kondisi kehidupan ikan kurisi untuk dapat berkembang dengan baik, karena sedimen dasar laut mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup di dasar perairan. Kebanyakan ikan ini hidup di dasar laut dengan jenis substrat berlumpur atau lumpur bercampur pasir (Burhanuddin et al. 1984 in Siregar 1997). Ikan kurisi merupakan salah satu ikan dominan yang didaratkan di PPP Labuan, Banten. Statistik perikanan TPI I Labuan menunjukkan jumlah produksi penangkapan ikan kurisi mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Meningkatnya kebutuhan manusia menyebabkan permintaan yang tinggi terhadap sumberdaya ikan kurisi karena harga jualnya terjangkau oleh berbagai kalangan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji produksi lestari, upaya optimal penangkapan, pola musiman ikan kurisi serta keuntungan ekonomi sehingga dapat dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan. Pengambilan data sekunder berupa data produksi dan upaya penangkapan serta kondisi PPP Labuan, Banten melalui unit pelaksana teknis (UPT) Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, sedangkan data primer melalui wawancara langsung terhadap 17 nelayan rampus untuk pemetaan partisipatif daerah penangkapan dan 4 nelayan dengan alat tangkap cantrang selama 15 hari. Hal ini dilakukan agar dapat menduga produksi harian ikan kurisi yang didaratkan di PPP Labuan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari hingga April tahun 2012 di PPP Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Hasil analisis standarisasi upaya penangkapan didapatkan bahwa alat tangkap cantrang merupakan alat tangkap yang lebih selektif untuk menangkap ikan kurisi, karena nilai FPI = 1. Dalam menduga produksi lestari dan upaya penangkapan optimal maka menggunakan metode surplus produksi, dan didapatkan nilai maximum sustainable yield (MSY) sebesar 13.790,81 kg/tahun serta upaya optimal sebesar 342 trip penangkapan. Dari data produksi rata rata aktual dapat disimpulkan bahwa ikan kurisi di Selat Sunda telah mengalami over exploitation. Pola musiman ikan kurisi didapatkan bahwa pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan November merupakan musim penangkapan ikan kurisi, untuk bulan Desember, Febuari, Maret dan April merupakan bukan musim penangkapan ikan kurisi. Musim paceklik terjadi pada bulan Januari. Jika dalam kondisi produksi ikan kurisi menurun maka yang terjadi harga akan semakin tinggi, dan menyebabkan keuntungan ekonomi yang didapat akan lebih besar. Begitu pula sebaliknya, jika produksi meningkat maka harga akan turun menjadi lebih kecil dan menyebabkan keuntungan ekonomi yang didapatkan akan lebih sedikit. Berdasarkan hasil analisis keuntungan penerimaan ekonomi maka dapat disimpulkan bahwa ikan kurisi bersifat tidak responsif yang artinya harga ikan kurisi tidak dipengaruhi oleh harga pasar. Kondisi produksi rata rata aktual ikan kurisi yang telah mencapai produksi lestari maka disimpulkan bahwa ikan kurisi telah mengalami over exploitation, sehingga diperlukan suatu alternatif pengelolaan dalam melestarikan ikan kurisi di Perairan Selat Sunda, yaitu dengan cara mengatur upaya penangkapan ikan kurisi di Perairan Selat Sunda sehingga sumberdaya ikan kurisi dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Selain itu, diperlukan suatu pengaturan daerah penangkapan ikan kurisi agar keberadaan sumberdaya ikan kurisi di alam tetap melimpah. Pengaturan ukuran mata jaring agar ikan kurisi yang belum dewasa tidak tertangkap dan pengaturan daerah penangkapan agar nelayan tidak menangkap ikan kurisi di daerah rekruitmen. Hal ini dilakukan agar keberadaan ikan kurisi di Perairan Selat Sunda tetap lestari dan berkelanjutan. Kata kunci : Ikan Kurisi, TPI I Labuan, Pola Musiman, Surplus Produksi. POLA MUSIMAN IKAN KURISI (Nemipterus japonicus, Bloach 1791) DI PERAIRAN SELAT SUNDA, KECAMATAN LABUAN, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN YULI HANDAYANI C24080088 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PENGESAHAN SKRIPSI Judul : Pola Musiman Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus, Bloach 1791) di Perairan Selat Sunda, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten Nama Mahasiswa : Yuli Handayani Nomor Pokok : C24080088 Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Dr. Yonvitner, S.Pi, M.Si NIP. 196910131995121001 NIP. 197508252005011003 Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002 Tanggal lulus : 26 Juli 2012 PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia dan hidayah-Nya kepada penulis. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW dan segenap keluarga, sahabat dan para pengikutnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pola Musiman Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus, Bloach 1791) di Perairan Selat Sunda, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten” Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Bogor, September 2012 Penulis UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku dosen pembimbing I serta tamu serta Dr. Yonvitner, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing II. 2. Dr. Ir. Etty Riani, H. MS selaku dosen penguji Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku Ketua Komisi Pendidikan atas saran serta arahannya. 3. Seluruh staf Tata Usaha dan sivitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor terutama Mba Widar dan Mba Maria atas bantuan, dukungan dan kesabarannya yang telah diberikan kepada penulis. 4. Bapak Didin selaku manager TPI I serta seluruh pegawai TPI I PPP Labuan yang tidak bisa disebutkan satu per satu, atas dukungan dan bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian. 5. Keluarga besar Ibu Hj Kulsum, khususnya Teh Sa’adah dan Keluarga Teh Iyah yang telah banyak membantu selama di lapang serta memberikan dukungannya kepada penulis. 6. Keluarga tercinta; Ibu (Mimin Mintarsih), Bapak (Mohamad Tasrif), Kakak (Danny Ahmad Subari) dan adik (Feby Ramadhan) atas motivasi dan dukungan yang diberikan kepada penulis. 7. Armansyah Dwi Gumilar atas semangat, dukungan, kasih sayang dan bantuannya selama penulis melakukan penelitian. 8. Ria, Ayu, Rani, Fauzia, dan Fair sebagai partner, atas suka duka, perjuangan, kerjasama dan semangatnya. 9. Sahabat-sahabatku MSP 45 Rina, Nidya, Gita, Dina, Vinni, Fitri, Adit, Aang, Pion, Doni, Robin, Hardi, Bagas dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 10. MSP 44 : Ka Alim, Ka Danuta, Ka Endah, serta adik-adik MSP 46 dan MSP 47 atas saran dan arahannya kepada penulis. RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, 12 Juli 1990 dari pasangan Bapak Mohamad Tasrif dan Ibu Mimin Mintarsih. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh yaitu SDN Leuwiliang II, Kabupaten. Bogor dari kelas I hingga pertengahan kelas III, lalu pindah ke SDN Pengadilan IV, Kotamadya Bogor dari kelas III hingga kelas VI. Penulis melanjutkan pendidikan formal di SMPN 7 Bogor, dan SMA Kornita, Dramaga Bogor. Pada tahun 2008, penulis lulus seleksi masuk ke perguruan tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai Asisten Sumberdaya Perikanan tahun 2011. Pengurus Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) tahun 2010-2011, serta aktif mengikuti berbagai macam kepanitiaan. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Pola Musiman Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus, Bloach 1791) di Perairan Selat Sunda, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten”. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xiv 1. PENDAHULUAN ............................................................................... 1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1.2. Perumusan Masalah ...................................................................... 1.3. Tujuan ......................................................................................... 1.4. Manfaat ....................................................................................... 1 1 2 3 3 2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ........................................... 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan ........................................ 2.3. Sistem Perikanan Laut .................................................................. 2.4. Surplus Produksi ........................................................................... 2.5. Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan ...................................... 2.6. Pola Musiman ............................................................................... 2.7. Ikan Kurisi .................................................................................... 2.7.1. Klasifikasi.......................................................................... 2.7.2. Karakter morfologi ............................................................ 2.7.3. Biologi dan habitat ............................................................ 2.7.4. Distribusi dan musim ........................................................ 2.7.5. Alat tangkap ...................................................................... 4 4 4 5 5 8 8 9 9 10 10 12 13 3. METODE PENELITIAN ..................................................................... 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 3.2. Alat dan Bahan ............................................................................. 3.3. Pengumpulan Data........................................................................ 3.4. Analisis Data ................................................................................ 3.4.1. Pemetaan partisipatif daerah penangkapan ....................... 3.4.2. Standarisasi alat tangkap ................................................... 3.4.3. Surplus produksi .............................................................. 3.4.4. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan ............................. 3.4.5. Pola musim penangkapan ikan .......................................... 3.4.6. Analisis CPUE dan RPUE................................................. 14 14 15 15 16 16 17 17 18 18 20 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan ............................... 4.2. Komposisi Alat Tangkap ............................................................. 4.3. Komposisi Hasil Tangkapan ........................................................ 4.4. Produksi Harian Nelayan Cantrang ............................................. 22 22 23 24 25 x 4.5. 4.6. 4.7. 4.8. Hasil Tangkapan Per Upaya Tangkap ........................................ Pola Musim Penangkapan Ikan Kurisi ........................................ Analisis CPUE dan RPUE .......................................................... Alternatif Pengelolaan Ikan Kurisi di Selat Sunda ..................... 27 34 38 39 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 5.1. Kesimpulan ................................................................................... 5.2. Saran ............................................................................................. 41 41 41 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 42 LAMPIRAN.................................................................................................... 45 5. xi DAFTAR TABEL Halaman 1. Jenis dan sumber data ............................................................................ 16 2. Hasil dari pendekatan Schaefer dan Fox ............................................... 32 3. Produksi aktual rata-rata dan upaya aktual rata-rata sumberdaya ikan kurisi di PPP Labuan .............................................................................. 33 Matriks hubungan musim dengan derah penangkapan ......................... 37 4. xii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran sumberdaya ikan kurisi di Perairan Selat Sunda ............................................................................................. 2 2. Morfometrik contoh ikan kurisi yang diamati ...................................... 9 3. Daerah penyebaran ikan kurisi .............................................................. 13 4. Peta lokasi penelitian ............................................................................ 14 5. Pemetaan partisipatif daerah penangkapan ikan kurisi di Perairan Selat Sunda....................................................................................................... 22 6. Komposisi alat tangkap di PPP Labuan tahun 2011 ............................... 23 7. Komposisi hasil tangkapan yang didaratkan di TPI I Labuan ............... 24 8. Produksi dari 4 orang nelayan cantrang saat sampling ......................... 25 9. Produksi dan upaya penangkapan ikan kurisi di PPP Labuan .............. 28 10. Hasil tangkapan per unit upaya ............................................................. 30 11. Grafik hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Schaefer ........... 31 12. Grafik hubungan effort dan Ln CPUE dengan pendekatan Fox ........... 31 13. Nilai rata-rata indeks musim penangkapan ikan kurisi ......................... 35 14. Keterkaitan antara CPUE dan RPUE .................................................... 38 xiii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Gambar kondisi kapal perikanan PPP Labuan ........................................ 46 2. Alat dan bahan yang digunakan ............................................................. 47 3. Komposisi hasil tangkapan yang didaratkan di TPI I PPP Labuan, Provinsi Banten ...................................................................................... 48 Hasil analisis standarisasi upaya penangkapan ikan kurisi di PPP Labuan .................................................................................................... 49 Hasil analisis daerah penangkapan ikan kurisi di Perairan Selat Sunda, Kecamatan Labuan berdasarkan hasil wawancara nelayan ................... 50 Analisis indeks musim penangkapan ikan kurisi di Perairan Selat Sunda, Labuan ........................................................................................ 51 Data harian ikan kurisi per trip penangkapan berdasarkan hasil wawancara nelayan Labuan ................................................................... 56 8. Analisis estimasi keuntungan ekonomi .................................................. 57 9. Identitas diri nelayan dengan alat tangkap jaring rampus Labuan, Banten berdasarkan hasil wawancara .................................................... 58 10. Identitas diri nelayan dengan alat tangkap cantrang Labuan, Banten berdasarkan hasil wawancara ................................................................. 66 11. 69 4. 5. 6. 7. Biaya operasional hasil wawancara nelayan Labuan, Banten ................ xiv 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selat Sunda termasuk perairan laut dalam dengan kisaran kedalaman air 26 meter sampai 1800 meter. Berdasarkan zonasi yang telah dibuat oleh Boersma (1987) in Rakhmani (2008), Paparan Selat Sunda terdiri dari paparan dalam, paparan luar dan lereng. Selat Sunda merupakan selat yang menghubungkan Pulau Jawa dengan selatan Pulau Sumatra. Perairan Selat Sunda memiliki potensi perikanan yang meliputi sumberdaya ikan dan non ikan. Menurut Wisudo dan Nuraini (1994) menyatakan bahwa pada tahun 1992 tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Selat Sunda diduga baru mencapai 21,26%. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi sumberdaya ikan (SDI) di Selat Sunda jauh lebih baik dibandingkan dengan Laut Jawa yang sebagian besar kelompok-kelompok jenis ikannya telah “over exploited”. Sumberdaya ikan yang berada di Perairan Selat Sunda diantaranya yaitu ikan kurisi, kuniran, tembang, kembung dan raja gantang. Ikan kurisi (Nemipterus japonicus) merupakan salah satu ikan demersal ekonomis penting yang banyak tersebar dan tertangkap di Perairan Indonesia. Potensi sumberdaya ikan kurisi yang besar ini belum dikelola secara optimal. Sejauh ini informasi tentang ikan kurisi sangat sedikit, terbatas pada jumlah tangkapan dan areal penangkapannya. Hasil tangkapan ikan kurisi yang didaratkan di TPI Labuan biasanya dijual dalam bentuk segar. Harga ikan kurisi di pasaran relatif terjangkau oleh masyarakat pada umumnya. Pemenuhan terhadap permintaan ikan kurisi yang terus meningkat menyebabkan semakin tinggi tingkat eksploitasi terhadap sumberdaya ikan kurisi. Menurut Widodo dan Suadi (2006) proses penipisan stok di wilayah Indonesia merupakan konsekuensi alamiah dari penangkapan dalam perikanan yang pemanfaatannya bersifat open access. Kondisi open access menyebabkan tidak ada pemilikan individual atas daerah penangkapan, nelayan secara individu tidak dapat melindungi stok ikan. Penipisan stok berlangsung sering diiringi dengan kombinasi lingkungan yaitu penurunan produksi perikanan, penurunan hasil tangkapan yang didaratkan. Pemanfaatan stok tersebut secara umum terlihat pada besarnya tangkapan ikan kurisi. Ikan kurisi yang didaratkan di PPP Labuan ini diperkirakan mengalami over-exploitation atau penangkapan secara berlebih. Hal ini yang 2 mendorong perlunya kajian mengenai potensi sumberdaya ikan kurisi agar tetap lestari dan berkelanjutan. 1.2. Perumusan Masalah Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih, namun apabila pemanfaatannya dilakukan secara terus menerus tanpa diikuti oleh pengelolaan, dapat menyebabkan penurunan stok ikan. Kondisi ini dapat menyebabkan keterancaman dan keberlangsungan stok sumberdaya ikan kurisi di perairan tersebut. Ikan kurisi termasuk hasil tangkapan yang menjadi milik bersama (common property) sehingga setiap orang berhak untuk memanfaatkannya (open access). Pola pemanfaatan seperti ini mengakibatkan terjadinya persaingan antara setiap pelaku perikanan yang akan menangkap sumberdaya ikan dengan sebanyakbanyaknya. Penurunan stok ikan kurisi dapat terjadi karena adanya upaya penangkapan yang berlebih seperti peningkatan jumlah armada, alat tangkap dan intensitas penangkapan. Diperlukan suatu pengelolaan untuk menjamin keberlanjutan ikan kurisi di alam. Pengelolaan yang dapat dilakukan yaitu dengan mengetahui potensi stok melalui pendekatan surplus produksi, pola musiman dan penerimaan ekonomi. Kerangka pemikiran penelitian di tampilkan pada Gambar 1. Armada Intensitas c Penangkapan Penangkapan berlebih Stok ikan kurisi Stok menipis Upaya Alat Tangkap Ikan kurisi Permintaan tinggi produksi pengelolaan Lestari dan berkelanjutan Gambar 1. Kerangka pemikiran sumberdaya ikan kurisi di Perairan Selat Sunda 3 1.3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui produksi lestari dan upaya optimal yang akan dibandingkan dengan produksi rata-rata untuk mengindikasikan kondisi ikan kurisi di Perairan Selat Sunda serta untuk mengetahui penerimaan keuntungan ekonomi ikan kurisi yang didaratkan di PPP Labuan 2. Menentukan pola musiman dan daerah penangkapan ikan kurisi di Perairan Selat Sunda 3. Menetukan alternatif pengelolaan sumberdaya ikan kurisi di Perairan Selat Sunda agar tetap lestari dan berkelanjutan sehingga dapat dimanfaatkan untuk generasi masa kini maupun masa yang akan datang 1.4. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai sumber informasi mengenai sumberdaya ikan kurisi di Perairan Selat Sunda. Selain itu, dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya mengenai sumberdaya ikan kurisi. Hasil penelitian ini pun diharapkan dapat dijadikan dasar untuk menentukan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya ikan kurisi di Perairan Selat Sunda. 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan perikanan adalah proses terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari berbagai aturan dibidang perikanan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumberdaya dan pencapaian tujuan perikanan lainnya (FAO 1997 in Cressidanto 2010). Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah menjamin bahwa mortalitas akibat penangkapan tidak melampaui kemampuan populasi untuk bertahan dan tidak mengancam atau merusak kelestarian dan produktivitas dari populasi ikan yang dikelola (Widodo dan Suadi 2006). Menurut Sinaga (2010), pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan. Besarnya sumberdaya ikan laut di Indonesia dapat menimbulkan persaingan dalam proses penangkapannya, karena sumberdaya ikan ini merupakan milik bersama (common property) yang setiap orang berhak memanfaatkannya (open access). Persaingan yang dilakukan oleh pelaku perikanan terlihat dari usaha yang dilakukan menggunakan teknologi yang terus berkembang dan dieksploitasi secara terus menerus hingga terjadi konflik antar pelaku perikanan saat sumberdaya ikan yang ada semakin menipis. Pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan untuk tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasil devisa dan mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan serta menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari (Boer dan Azis 2007). 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Pengertian pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan adalah pengelolaan yang mengarah kepada bagaimana sumberdaya ikan yang ada saat ini mampu memenuhi kebutuhan sekarang dan kebutuhan generasi yang akan datang. Pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan tidak melarang aktivitas penangkapan 5 yang bersifat ekonomi atau komersial, tetapi menganjurkan dengan persyaratan bahwa tingkat pemanfaatan tidak melampaui daya dukung lingkungan perairan atau kemampuan pulih sumberdaya ikan (MSY), sehingga generasi mendatang tetap memiliki aset sumberdaya ikan yang sama atau lebih banyak dari generasi saat ini. 2.3. Sistem Perikanan Laut Perikanan merupakan semua kegiatan yang terorganisir berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari tahap praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. menurut Charles (2001) in Mallawa (2006), mengatakan bahwa sistem perikanan merupakan sebuah kesatuan yang terdiri dari tiga komponen utama yaitu, 1) Sistem alam (natural system) yang mencakup ekosistem, ikan dan lingkungan biofisik; 2) Sistem manusia (human system) yang terdiri dari unsur nelayan, pelaku pasar dan konsumen, rumah tangga perikanan dan lingkungan sosial ekonomi yang terkait dalam sistem ini; 3) Sistem perikanan pengelolaan perikanan yang mencakup unsur-unsur kebijakan dan perencanaan perikanan, pembangunan perikanan, rezim pengelolaan perikanan dan riset perikanan. Sehingga, dalam pengelolaan sumberdaya perikanan harus memperhatikan ketiga komponen tersebut. Keanekaragaman jenis ikan dan alat tangkap serta tingginya populasi penduduk yang terjadi mengakibatkan sulitnya menerapkan pengembangan sistem perikanan yang sesuai untuk keberlanjutan sumberdaya ikan serta potensi perikanan lainnya di Indonesia. Sistem perikanan yang kompleks dapat didekati dari perspektif keragaman yang terdiri dari empat jenis keragaman dalam sistem ini, yaitu keragaman spesies, keragaman genetik, keragaman fungsi dan keragaman sosial ekonomi (Adrianto 2002). 2.4. Surplus Produksi Menurut Sparre dan Venema (1999) pada umumnya hasil tangkapan (C) per trip upaya penangkapan (f) atau CPUE, dapat digunakan sebagai indeks kelimpahan 6 relatif. Metode surplus produksi mendasarkan diri pada asumsi bahwa CPUE merupakan fungsi dari f, baik bersifat linier seperti pada model Schaefer maupun bersifat eksponensial seperti pada model Fox. Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum (biasa disebut fmsy atau effort MSY), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield/MSY) (Sparre dan Venema 1999). Dari model ini dapat diperoleh estimasi besarnya kelimpahan atau biomassa dan estimasi potensi dari suatu jenis atau kelompok jenis (species group) sumberdaya ikan (Widodo et al. 1998 in Syakila 2009). Model surplus produksi merupakan model yang sangat sederhana dan murah biayanya (Widodo et al. 1998 in Syakila 2009). Model ini dikatakan sederhana karena data yang diperlukan sangat sedikit, sebagai contoh tidak perlu menentukan kelas umur sehingga dengan demikian tidak perlu penentuan umur dan hanya memerlukan data tentang hasil tangkapan atau produksi yang biasanya tersedia disetiap tempat pendaratan ikan, dan upaya penangkapan (Sparre dan Venema 1999). Selain itu, model ini dikatakan murah biayanya karena dalam penggunaan model ini biaya yang dikeluarkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan model lain seperti dengan penggunaan trawl dan echosounder yang tergolong sangat mahal karena pelaksanaan kegiatan tersebut harus menggunakan kapal riset khusus, sehingga jumlah dana yang harus dikeluarkan untuk mengkaji seluruh perairan sangat besar (Wiyono 2005 in Sulistiyawati 2011). Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa model surplus produksi banyak digunakan di dalam estimasi stok ikan di perairan tropis. Model surplus produksi dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total berdasarkan spesies dan hasil tangkapan per trip upaya (catch per trip effort/CPUE) per spesies atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre dan Venema 1999). Namun, jumlah upaya penangkapan yang dapat menggambarkan upaya yang benar-benar efektif dan bukan sekedar nominal amat sulit ditentukan. Oleh sebab itu, penggunaan model ini memerlukan kehati-hatian dan sedapat mungkin dibarengi dengan berbagai 7 informasi tambahan. Model ini dapat dipergunakan dalam menganalisis sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil, demersal kecil, demersal besar, udang dan krustasea lainnya, serta moluska (Widodo et al. 1998 in Syakila 2009). Persyaratan untuk analisis model surplus produksi adalah sebagai berikut (Sparre dan Venema 1999) : (1) Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap relatif (2) Distribusi ikan menyebar merata (3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap yang seragam. Asumsi yang digunakan dalam model surplus produksi menurut Sparre dan Venema (1999) adalah : (1) Asumsi dalam keadaan ekuilibrium Pada keadaan ekuilibrium, produksi biomassa per satuan waktu adalah sama dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu) ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam. (2) Asumsi biologi Alasan biologi yang mendukung model surplus produksi telah dirumuskan dengan lengkap oleh Ricker (1975) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut : a. Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi berkurang, dan sering terjadi jumlah rekrut lebih sedikit daripada densitas yang lebih kecil. Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan meningkatkan rekrutmen. b. Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan menjadi daging oleh stok yang besar daripada oleh stok yang lebih kecil. c. Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan terdapat kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan stok yang telah dieksploitasi (3) Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap Pada model surplus produksi diasumsikan bahwa mortalitas penangkapan proporsional terhadap upaya. Namun demikian, upaya ini tidak selamanya benar sehingga kita harus memilih dengan tepat upaya penangkapan yang 8 benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan. 2.5. Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan Bila penangkapan ikan lebih banyak dibandingkan kemampuan ikan memijah, maka wilayah laut tersebut akan miskin. Hal tersebut yang dikenal sebagai kondisi upaya tangkap lebih (overfishing). Sehubungan dengan hal itu terdapat analisis total allowable catch (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) dan maximum sustainable yield (jumlah maksimum tangkapan lestari). Analisis surplus produksi juga dapat menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch/TAC) dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan. Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai tangkapan maksimum lestari suatu sumberdaya perikanan yang perhitungannya didasarkan atas berbagai pendekatan atau metode (Boer dan Aziz 1995). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) adalah 80% dari potensi maksimum lestarinya (FAO 1995). Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) in Sulistiyawati (2011) telah mengeluarkan daftar potensi sumberdaya ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Potensi sumberdaya ikan di Perairan Indonesia sebesar 6,25 juta ton per tahun. Potensi tersebut terdiri dari 4,4 juta ton per tahun yang berasal dari perairan teritorial dan perairan wilayah serta 1,85 juta ton per tahun dari perairan ZEEI. 2.6. Pola Musiman Pola musim yang berlangsung di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh pola arus dimana terjadi interaksi antara udara dan laut (Nontji 1987 in Sulistyawati 2011). Angin yang dapat menentukan terjadinya gelombang dan arus permukaan air laut serta curah hujan yang dapat menentukan kadar salinitas air laut. Perubahan cuaca tersebut yang dapat mempengaruhi kondisi laut. Berdasarkan arah utama angin yang bertiup dari suatu daerah ke daerah lain, dikenal istilah musin timur dan musim barat. Di Indonesia terdapat empat musim yang dapat mempengaruhi 9 kegiatan penangkapan, yaitu musim barat, musin timur, musim peralihan awal tahun dan musim peralihan akhir tahun kedua. Pada bulan Mei hingga September terjadi musim timur sedangkan pada bulan November hingga Maret terjadi musim barat. Pada bulan April dan Oktober mengalami musim peralihan. Selama bulan Maret, angin yang bertiup adalah angin barat akan tetapi kecepatannya telah berkurang. Memasuki bulan April, arah angin sudah tidak menentu dan pada periode tersebut dikenal dengan musim peralihan. Siklus ini berlangsung kembali ketika memasuki bulan Oktober yang disebut dengan musim peralihan akhir tahun (Djufri 2002 in Sulistyawati 2011). 2.7. Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus) 2.7.1. Klasifikasi Ikan kurisi merupakan salah satu ikan demersal yang hidup soliter. Morfologi ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 2. Menurut Bloach (1791) in www. fishbase. org (2012), klasifikasi ikan kurisi adalah sebagai berikut : Kelas Ordo Famili Genus Spesies Nama FAO Nama Lokal : Actinopterygii : Perciformes : Nemipteridae : Nemipterus : Nemipterus japonicus (Bloach, 1791) : Japanese threadfin bream : Ikan terisi (Jakarta) Ikan kurisi (Jawa) Panjang baku = 14,2 cm Panjang total = 20 cm Gambar 2. Morfometrik contoh ikan kurisi yang diamati 10 2.7.2. Karakter morfologi Ikan kurisi dicirikan dengan bentuk mulut yang letaknya agak ke bawah dan adanya sungut yang terletak di dagunya yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan makanan (Burhanuddin et al. 1994 in Siregar 1997). Ciri-ciri ikan kurisi menurut Fischer dan Whitehead (1974) in Siregar (1997) adalah berukuran kecil, badan langsing dan padat. Tipe mulut terminal dengan bentuk gigi kecil membujur dan gigi taring pada rahang atas (kadang-kadang ada juga pada rahang bawah). Rahang atas dan bawah ukurannya hampir sama dengan rahang bawah lebih menyembul. Bagian depan kepala tidak bersisik. Sisik dimulai dari pinggiran depan mata dan keping tutup insang. Selain itu, ikan kurisi memiliki 7-8 tulang tapis insang pada bagian lengkung atas dan 15-18 tulang tapis insang pada lengkung bawah, dengan jumlah total 22-26 tulang tapis insang (Hukom et al. 2004 in Harahap et al. 2008). Pada bagian dorsal dan lateral tubuh ikan kurisi terdapat gradiasi warna kecoklatan. Sirip kaudal dan sirip dorsal berwarna biru terang atau keunguan dengan warna merah kekuningan pada bagian tepi siripnya. 2.7.3. Biologi dan habitat Habitat ikan kurisi meliputi perairan estuari dan perairan laut. Tipe substrat sangat mempengaruhi kondisi kehidupan ikan kurisi untuk dapat berkembang dengan baik, karena sedimen dasar laut mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup di dasar perairan. Kebanyakan ikan ini hidup di dasar laut dengan jenis substrat berlumpur atau lumpur bercampur pasir (Burhanuddin et al. 1984 in Siregar 1997). Hidup di dasar, karang-karang, dasar lumpur atau lumpur berpasir pada kedalaman 10-50 m (Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan 2005 in Sulistiyawati 2011). Selain itu, ikan kurisi biasanya hidup berasosiasi dengan karang (www.fishbase.org 2012). Ikan kurisi bersifat dioecious yaitu organ reproduksi jantan dan betina terbentuk pada individu berlainan. Fertilisasi terjadi secara eksternal yaitu pembuahan telur oleh sperma yang berlangsung di luar tubuh induk betina. Ikan ini bersifat karnivora, makanan utamanya adalah nekton seperti krustacea (Daphnia spp.) dan sotong (Loligo spp.) (Allen 1985 in Harahap et al. 2008). Berdasarkan 11 pola rasio kelamin dengan ukuran panjang ikan, ikan kurisi digolongkan ke dalam kelompok yang terdiri dari ikan betina matang gonad lebih awal dan biasanya mati lebih dahulu daripada ikan jantan, sehingga ikan-ikan dewasa yang lebih muda terutama terdiri dari ikan betina, sementara ikan yang lebih besar ukurannya adalah ikan jantan. Menurut Sentan dan Tan (1975) in Brojo dan Sari (2002), laju pertumbuhan ikan kurisi betina di Laut Andaman lebih rendah daripada ikan jantan setelah tahun kedua. Hal ini terjadi karena untuk mencapai matang gonad, energi yang digunakan untuk pertumbuhan gonad lebih besar daripada untuk pertumbuhan tubuhnya. Beberapa peneliti menemukan ukuran maksimum ikan kurisi betina lebih kecil daripada ikan jantan (Chullasorn dan Marlosubloto 1986 in Brojo dan Sari 2002). Dugaan lain sehubungan dengan relatif sedikitnya jumlah ikan kurisi betina berukuran besar yang tertangkap, yaitu adanya migrasi ikan kurisi di sekitar Selat Sunda untuk memijah. Tempat pemijahan diperkirakan berada di sekitar daerah penangkapan utama di perairan bagian barat Pulau Jawa. Kebanyakan ikan akan berimigrasi untuk pemijahan setelah ovarium matang, dan akan kembali ke daerah penangkapan setelah memijah (Brojo dan Sari 2002). Berdasarkan pengamatan Brojo dan Sari (2002) menyatakan bahwa ukuran pertama kali ikan betina matang gonad (Lm) adalah pada ukuran sekitar 17 cm (kisaran 15-18 cm) yaitu sekitar 63% dari panjang maksimumnya. Boorrvarich dan Vadhnakul in Brojo dan Sari (2002) memperoleh ikan kurisi pertama kali matang gonad pada ukuran antara 45-66% dari panjang maksimumnya. Menurut Food and Agricultural Organization (1972) in Siregar (1997), ciri-ciri khusus dari ikan kurisi adalah panjang tubuh tidak termasuk flagel pada sirip ekor maksimum 32 cm dan umumnya 12-25 cm. Ikan jantan tumbuh lebih cepat menjadi besar dibandingkan dengan ikan betina. Menurut Udupa in Brojo dan Sari (2002), ukuran pada waktu kematangan gonad pertama kali bervariasi diantara dan di dalam spesies. Menurut Sjafei dan Robiyani (2001) kelompok ikan kurisi yang tertangkap di Perairan Labuan diduga pada saat penelitian (April - Mei) merupakan masa perkembangan bagi populasi ikan kurisi dan juga ukuran mata jaring nelayan tepat untuk ukuran pada bulan tersebut. Ikan kurisi ditemukan pada kedalaman lebih dari 100 m (Masuda 1984 in Harahap et al. 2008). Menurut Allen (1985) in Harahap et al. (2008), ikan ini 12 terdapat pada lingkungan laut pada kedalaman mencakup 100-330 m. Ikan kurisi merupakan hasil tangkapan nelayan dengan menggunakan alat tangkap cantrang yang temasuk ke dalam kategori Danish Seine. Habitatnya di daerah karang dan area dasar berbatu-batu dengan kedalaman minimal 100 m. Menurut Myers (1991) in Harahap et al. (2008), menyatakan bahwa ikan ini ditemukan pada kedalaman 90 m sampai 360 m. Hukom et al. (2004) in Harahap et al. (2008) mengatakan bahwa ikan kurisi terdapat pada kedalaman lebih dari 100 m (antara 100-500 m). 2.7.4. Distribusi dan musim Daerah penyebaran ikan kurisi hampir terdapat di seluruh perairan Indonesia, ke utara meliputi Teluk Siam dan Philipina (Pusat informasi Pelabuhan Perikanan 2005 in Sulistiyawati 2011). Distribusi ikan kurisi meliputi bagian utara sampai selatan Jepang, secara luas ditemukan di Indo Pasifik (Masuda 1984 in Harahap et al. 2008). Allen (1985) in Harahap et al. (2008) menyatakan bahwa ikan ini penyebarannya selain di Indo Pasifik juga terdapat di timur Afrika, Kepulauan Hawai, utara Ryukyu, Kepulauan Ogasawara, Australia selatan dan Atlantik Tenggara: Port Alfred, Afrika Selatan. Menurut Myers (1991) in Harahap et al (2008), penyebaran ikan ini meliputi Indo-Pasifik (Laut Merah ke Mangareva dan Hawai), Bonins, selatan Caledonia Baru. Di Indonesia ikan kurisi menyebar hampir di seluruh Perairan Indonesia (lihat Gambar 3). 13 Gambar 3. Daerah penyebaran ikan kurisi Sumber : http://www.fishbase.org (2012) 2.7.5. Alat tangkap Ikan kurisi dapat tertangkap dengan alat tangkap pukat tarik, cantrang, payang, jaring insang, rawai, pancing, sero, trawl, dan bubu (Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan 2005 in Sulistiyawati 2011). Alat tangkap yang digunakan di Perairan Selat Sunda untuk menangkap ikan kurisi adalah cantrang dan jaring rampus. cantrang merupakan alat tangkap yang dominan menangkap ikan kurisi di Labuan Banten. Alat tangkap cantrang dalam pengertian umum digolongkan pada kelompok danish seine yang terdapat di Eropa dan beberapa di Amerika. Dilihat dari bentuknya alat tangkap tersebut menyerupai payang tetapi ukurannya lebih kecil. Cantrang merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan demersal yang dilengkapi dua tali penarik yang cukup panjang yang dikaitkan pada ujung sayap jaring. Bagian utama dari alat tangkap ini terdiri dari kantong, badan, sayap, mulut jaring, tali penarik, pelampung dan pemberat (George et al. 1953 in Subani dan Barus 1989). 14 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai bulan April tahun 2012. Pengambilan data primer dilakukan pada bulan April tahun 2012 sedangkan pengambilan data sekunder dilakukan pada bulan Januari sampai Maret tahun 2012. Lokasi penelitian berada di pesisir Selat Sunda, adapun pengumpulan data dilakukan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Pengambilan data primer melalui wawancara nelayan Labuan Banten berupa data harian 4 nelayan dengan alat tangkap cantrang selama 15 hari dan lokasi pengambilan data sekunder dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pandeglang, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten serta Tempat Pelelangan Ikan I (TPI I) berupa data hasil tangkapan dan upaya penangkapan tahunan. Identifikasi ikan kurisi dilakukan di Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perikanan, Departemen Manajemen Sunberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Gambar 4. Peta lokasi penelitian Sumber : Dinas Perikanan Kecamatan Labuan (1999) 15 3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, alat tulis (buku, pensil dan pena) serta kuisioner. Dalam penelitian ini bahan yang digunakan adalah ikan kurisi di TPI Labuan, peta lokasi TPI, formulir kuisioner, dan bahan pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini. 3.3. Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dilakukan melalui pengumpulan data sekunder yang meliputi data hasil tangkapan bulanan ikan kurisi yang didaratkan di PPP Labuan dan upaya penangkapan (kapal perikanan, alat tangkap dan jumlah nelayan) serta keadaan umum Labuan Banten. Data tersebut dikumpulkan dari TPI I. Selain itu, dilakukan pengumpulan data primer, yaitu berupa wawancara 4 nelayan dengan alat tangkap cantrang dan 15 nelayan dengan alat tangkap jaring rampus yang menangkap ikan kurisi di Perairan Selat Sunda, Labuan Banten. Dalam penelitian ini pun dilakukan pengambilan data primer berupa wawancara 4 orang nelayan cantrang selama 10 kali trip keberangkatan. Hal ini dilakukan karena setelah dilakukan analisis standarisasi upaya penangkapan, alat tangkap cantrang merupakan alat tangkap yang lebih selektif. Pengambilan data wawancara ini dilakukan selama 10 kali pendaratan hasil tangkapan nelayan. Data berupa produksi harian dari tangkapan 4 nelayan yang dikumpulkan dengan cara mencatat hasil tangkapan setelah didaratkan oleh nelayan. Pengambilan data ini dilakukan dengan tehnik wawancara (lihat Tabel 1). 16 Tabel 1. Jenis dan sumber data Jenis data Primer Sekunder 3.4. Data • Informasi lokasi daerah penangkapan 9 Jaring rampus 9 cantrang • Biaya operasi penangkapan 9 BBM 9 Es batu 9 Air bersih 9 Konsumsi • Data produksi nelayan cantrang selama 10 kali trip 9 Produksi 9 Harga • Data bulanan 9 Produksi 9 Harga 9 Upaya • Data tahunan 9 Produksi 9 Harga 9 Upaya Analisis Sumber • Wawancara • Pemetaan nelayan jaring partisipatif daerah rampus dan penangkapan nelayan cantrang • Deskriftif, RPUE • Wawancara nelayan • Deskriftif • Wawancara nelayan cantrang • Pola musim penangkapan • CPUE TPI 1 Labuan • Surplus produksi Analisis Data 3.4.1. Pemetaan partisipatif daerah penangkapan Langkah-langkah dalam melakukan pemetaan daerah penangkapan adalah sebagai berikut : 1. Penentuan jumlah sampel atau responden untuk alat tangkap cantrang melalui purposive sampling sedangkan nelayan dengan alat tangkap jaring rampus melalui random sampling. 2. Pembuatan peta dasar geografis penelitian. 3. Penentuan lokasi daerah penangkapan menurut responden. 4. Formulasi peta daerah penangkapan. 17 3.4.2. Standarisasi alat tangkap Standarisasi dilakukan karena alat tangkap yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap target sumberdaya perikanan beragam, sehingga sangat dimungkinkan satu spesies ikan tertangkap oleh dua alat tangkap yang memiliki produktivitas tinggi (dominan). Sumberdaya perikanan yang menjadi objek penelitian atau memiliki nilai rata-rata CPUE terbesar pada suatu periode waktu dan memiliki nilai faktor daya tangkap sama dengan satu. Standarisasi dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut (Prasetya 2010 in Sulistiyawati 2010) : 1. Upaya dan hasil tangkapan dihitung masing-masing hingga tahun ke-i, dimana i = 1, 2, 3, ..........., n 2. CPUE dihitung untuk masing-masing upaya 3. Total upaya yang terbesar dari beberapa jenis upaya dipilih sebagai standar dalam menghitung fishing power index (FPI) 4. Jika upaya yang diperoleh terbesar misalnya alat tangkap cantrang, maka FPI cantrang adalah 1 dan FPI jaring rampus adalah , demikian pula sebaliknya 5. Upaya standar dihitung melalui persamaan sebagai berikut : Upaya standar = upaya cantrang tahun ke-i x FPI cantrang) + (upaya jaring rampus tahun ke-i x FPI jaring rampus) dst 3.4.3. Surplus produksi Model surplus produksi yang digunakan adalah model Schaefer dan Fox. Pada model Schaefer menggambarkan pengaruh dari upaya tangkapan (f) terhadap hasil tangkapan per trip upaya penangkapan (CPUE). Adapun perumusan model Schaefer sebagai berikut (King 1995) : 18 Model berikutnya dalah model Fox. Model ini akan menghasilkan garis lengkung bila Y/f diplot dalam bentuk logaritma terhadap upaya maka akan mengahasilkan garis lurus. Adapun perumusan model Fox sebagai berikut (King 1995) : Keterangan : F msy = Upaya penangkapan optimum MSY = Hasil tangkapan optimum a, b = Konstanta 3.4.4. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) adalah 80% dari potensi maksimum lestarinya (MSY) (FAO 1995). Hal ini berdasarkan prinsip kehati-hatian dalam pendugaan stok sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan dapat terus lestari. TAC = MSY x 80% Keterangan : MSY : Jumlah tangkapan maksimum lestari (kg); dan TAC : Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (kg) 3.4.5. Pola musim penangkapan ikan Perhitungan pola musim penangkapan menggunakan data CPUE bulanan, namun karena data CPUE yang diperoleh di lapangan memiliki peluang yang tidak sama besar dengan distribusi normal maka metode rata-rata bergerak digunakan agar data yang diperoleh mendekati keadaan yang sebenarnya. Pola musim penangkapan ikan kurisi dapat dihitung menggunakan analisis deret waktu terhadap data hasil tangkapan menurut Dajan (1986) in Taeran (2007). Langkah-langkah sebagai berikut : 1) Menyusun deret CPUE dalam periode kurun waktu tertentu : CPUEi = ni 19 CPUEi adalah CPUE urutan ke-i sedangkan ni adalah CPUE urutan ke-i dan i adalah 1, 2, 3, ...., dst. 2) Menyusun rata-rata bergerak CPUE selama 12 bulan (RGi) RGi adalah rata-rata bergerak 12 bulan urutan ke-i, CPUEi adalah CPUE urutan ke-i dan i adalah 7, 8, 9, .... n-5 3) . Menyusun rata-rata bergerak CPUE terpusat (RGPi) RGPi adalah rata-rata bergerak CPUE terpusat ke-i, RGi adalah rata-rata bergerak 12 bulan urutan ke-i dan i adalah 7, 8, 9, .... , n-5 4) Rasio rata-rata tiap bulan (Rb) Rbi adalah rasio rata-rata bulan urutan ke-i, CPUEi adalah CPUE urutan ke-i dan RGPi adalah rata-rata bergerak CPUE terpusat urutan ke-i. 5) Menyusun nilai rata-rata dalam suatu matriks berukuran i x j yang disusun untuk setiap bulan, yang dimulai dari bulan Juli-Juni. Selanjutnya menghitung nilai total rasio rata-rata tiap bulan (RBBi) dengan menggunakan rumus : RBBi adalah rata-rata Rbij untuk bulan ke-i, Rbij adalah rasio rata-rata bulanan dalam matriks ukuran i x j, i adalah 1, 2, 3, ... , 12 dan j adalah 1, 2, 3 ... , n. 6) Menghitung jumlah rasio rata-rata bulanan (JRBB) 20 JRBBi adalah jumlah rasio rata-rata bulanan, RBBi adalah rata-rata RBij untuk bulan ke-i dan i adalah 1, 2, 3....., 12. 7) Indeks musim penangkapan (IMP) Idealnya jumlah rasio rata-rata bulanan (JRBB) sama dengan 1200. Namun, banyak faktor yang menyebabkan sehingga JRBB tidak selalu sama dengan 1200. Oleh karena itu, nilai rasio rata-rata bulanan harus dikoreksi dengan suatu nilai koreksi yang disebut dengan nilai faktor koreksi (FK). Rumus untuk memperoleh nilai faktor koreksi adalah sebagai berikut : FK adalah nilai faktor koreksi dan JRBB adalah jumlah rasio rata-rata bulanan. Indeks musim penangkapan (IMP) dihitung dengan menggunakan rumus : IMPi adalah indeks musim penangkapan bulan ke-i , RBBi adalah rasio rata-rata untuk bulan ke-i, FK adalah nilai faktor koreksi dan i adalah 1, 2, 3 .... , 12. Kriteria indeks musim penangkapan (IMP) : IMP < 50% 50% <IMP < 100% IMP > 100% : Musim paceklik : Bukan musim penangkapan : Musim penangkapan 3.4.6. Analisis CPUE dan RPUE Tujuan analisis ini yaitu untuk melihat alokasi penangkapan ikan berdasarkan laba atau keuntungan yang diperoleh. Keuntungan ini dapat dilihat dari nilai pasar suatu komoditas atau produksinya. Prediksi keuntungan ekonomi tidak dapat dihitung secara langsung tetapi dapat diestimasi melalui perhitungan pendapatan per trip upaya (RPUE), dengan modifikasi persamaan Bene dan Tewfik (2000) sebagai berikut : 21 Keterangan : RPUEj adalah pendapatan per trip upaya pada hari ke-j, CPUEj adalah tangkapan per trip upaya pada hari ke-j, dan P adalah harga pada hari ke-j. Dengan persamaan CPUE : Dimana : Cj adalah tangkapan pada hari ke-j dan Ej adalah jumlah upaya pada hari ke-j 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki ukuran sebesar 10-24 GT yang lebih sering dioperasikan di daerah yang cukup jauh dari kawasan PPP Labuan, sedangkan kapal dengan alat tangkap jaring rampus memiliki ukuran kapal sebesar 2-3 GT lebih sering dioperasikan di daerah yang tidak terlalu jauh dari PPP Labuan. Gambar 5. Pemetaan partisipatif daerah penangkapan ikan kurisi di Perairan Selat Sunda Kedua alat tangkap ini memiliki lama trip atau lamanya penangkapan pun berbeda. Nelayan dengan alat tangkap jaring rampus akan melakukan penangkapan selama satu hari, sedangkan nelayan dengan alat tangkap cantrang sekali berangkat lamanya adalah 3-4 hari. Selain itu yang membedakan kedua alat tangkap ini adalah daerah penangkapan yang berbeda. Nelayan dengan alat tangkap jaring rampus lebih banyak menangkap ikan di daerah Carita, Panimbang, Tanjung Lesung dan Pulau Papole. Nelayan dengan menggunakan alat tangkap cantrang lebih banyak 23 menangkap di daerah Sumur, Panaitan, Rakata, Sebesi dan Leukecang (lihat Gambar 5). Biasanya nelayan di TPI Labuan, setiap berangkat menangkap ikan, akan melakukan penangkapan di daerah sama. Namun, jika di tempat tersebut tidak ada ikan, maka nelayan akan pindah tempat ke suatu tempat dimana terdapat banyak ikannya. Jika pada musim paceklik dimana tidak terdapat ikan maka banyak nelayan yang melakukan andon, yaitu nelayan berangkat melaut ke suatu daerah dengan lama yang tidak ditentukan. Biasanya, nelayan melakukan andon ke daerah Binuangen atau Lampung dengan lama yang tidak ditentukan biasanya selama 8-30 hari. 4.2. Komposisi Alat Tangkap PPP Labuan merupakan salah satu PPP yang memiliki jumlah nelayan terbanyak. PPP Labuan terdapat tiga TPI yang aktif yaitu TPI I untuk kapal-kapal berukuran >24 GT dengan alat tangkap kursin, obor dan bagan. Selain itu terdapat TPI II untuk kapal-kapal berukuran 10-24 GT dengan menggunakan alat tangkap jaring rampus, cantrang, rawai dan payang. TPI III digunakan untuk mendaratkan hasil tangkapan kapal perikanan berukuran 2-10 GT dengan alat tangkap arad dan payang. Gambar 6. Komposisi alat tangkap di PPP Labuan tahun 2011 PPP Labuan merupakan PPP dengan jumlah penduduk yang cukup banyak. Sebagian besar penduduk Labuan merupakan nelayan, baik berasal dari Labuan itu sendiri maupun penduduk pendatang dari luar Pulau Jawa. PPP Labuan memiliki 139 unit alat tangkap. Alat tangkap yang digunakan pun berbagai macam, seperti 24 terlihat pada Gambar 6, sehingga dapat disimpulkan bahwa nelayan Labuan lebih banyak menggunakan jaring arad yaitu sebesar 27%, kemudian alat tangkap payang, kursin, bagan, gardan, obor, rawe dan jaring. Dengan komposisi sebesar 13%, 11%, 10%, 9%, 10%, 12% dan 7%. Jaring arad merupakan alat tangkap yang lebih banyak digunakan oleh nelayan PPP Labuan, kondisi alat tangkap arad adalah indikasi sebagian besar nelayan Labuan adalah nelayan yang menangkap sehari (one day fishing) kondisi nelayan Labuan yang memiliki tingkat keterbatasan biaya, faktor lain karena biasanya nelayan jaring arad hanya melakukan penangkapan selama satu hari saja (one day fishing), sehingga biaya yang dibutuhkan untuk modal awal tidak terlalu banyak. Hal ini terjadi karena untuk satu kali melaut nelayan membutuhkan modal untuk membeli keperluan melaut seperti es balok, bahan bakar, air bersih dan persediaan makanan, untuk mendapatkan perbekalan maka membutuhkan biaya yang cukup besar, sehingga banyak nelayan yang hanya menggunakan alat tangkap arad dengan one day fishing sehingga biaya yang digunakan lebih kecil. 4.3. Komposisi Hasil Tangkapan Hasil penelitian pada TPI I Labuan, di dapatkan nelayan jaring rampus lebih dominan menangkap Ikan Kurisi. Komposisi hasil tangkapan kurisi mencapai 29% dari total tangkapan lainnya. Komposisi tangkapan seperti di sajikan pada Gambar 7. Gambar 7. Komposisi hasil tangkapan yang didaratkan di TPI I Labuan 25 Dari Gambar 7, dapat dilihat bahwa ikan dominan lainnya yang tertangkap dan di daratkan di TPI I Labuan adalah ikan kurisi, kuniran, raja gantang, banyar dan layur. Jika cuaca dan kondisi perairan baik, maka ikan kurisi dan ikan kuniran lebih banyak tertangkap sedangkan untuk ikan layur hanya sedikit. Sebaliknya jika pada musim paceklik ikan layur yang banyak tertangkap sedangkan ikan lainnya tertangkap dalam jumlah yang sedikit bahkan tidak ada yang tertangkap sama sekali. Komposisi tangkapan nelayan juga di pengaruhi oleh cuaca pada setiap tahunnya. Hasil tangkapan juga digunakan oleh nelayan untuk mengindikasikan kondisi perairan. 4.4. Produksi Harian Nelayan Cantrang Dalam penelitian ini dilakukan analisis produksi harian dari empat orang nelayan cantrang. Dalam menganalisis produksi harian ini diambil 6-10 kali trip keberangkatan untuk masing-masing nelayan. Gambar 8. Produksi dari 4 orang nelayan cantrang saat sampling Dari Gambar 8, dapat dilihat bahwa produksi harian dari masing-masing nelayan mengalami fluktuasi. Hasil tangkapan ikan kurisi oleh nelayan Mashuri mengalami fluktuasi. Pada trip ke-5 merupakan trip dimana hasil tangkapan ikan kurisi dalam jumlah yang paling besar selama 10 kali trip penangkapan yaitu sebesar 26 161,3 kg, sedangkan untuk hasil tangkapan ikan kurisi terendah selama 10 kali trip terjadi pada trip ke-1 sebesar 23,8 kg. Hasil tangkapan ikan kurisi nelayan Terso lebih besar daripada hasil tangkapan ikan kurisi nelayan Mashuri. Produksi terendah terjadi pada trip ke-1 sebesar 53,4 kg, sedangkan produksi tertinggi selama 10 kali trip terjadi pada trip ke-3 sebesar 170 kg. Nelayan Tohari merupakan salah satu nelayan dengan alat tangkap cantrang yang lebih sering melaut. Selama 10 kali trip, produksi terendah terjadi pada trip ke-9 sebesar 40 kg dan produksi tertinggi terjadi pada trip ke-10 sebesar 95,8 kg. Berbeda dengan nelayan Tohari, pengambilan data nelayan Anshori hanya dilakukan selama 5 kali trip penangkapan. Produksi tertinggi terjadi pada trip ke-10 yaitu sebesar 275 kg dan produksi terendah terjadi pada trip ke-6 sebesar 53,4 kg. Pada nelayan Anshori terlihat bahwa terjadi peningkatan hasil tangkapan, karena pengambilan data hasil tangkapan ini berbeda dengan nelayan lain yang diambil data hasil tangkapan selama 10 kali trip keberangkatan, namun kapal Mina Bakti ini hanya dilakukan sebanyak 5 kali trip keberangkatan. Hal disebabkan karena selang waktu dari trip pertama dan kedua dan seterusnya tidak dapat ditentukan bahkan dapat mencapai satu bulan untuk pengecekan kapal dan alat tangkap. Berbeda dengan kapal nelayan cantrang yang lain, biasanya memiliki selang waktu dari trip satu ke trip lainnya selama 3-4 hari. Oleh karena itu, grafik yang didapatkan pada nelayan Anshori mengalami peningkatan (lihat Gambar 8). Dari Gambar 8, dapat disimpulkan bahwa nelayan Terso merupakan nelayan dengan hasil tangkapan terbanyak dan nelayan Tohari memiliki hasil tangkapan terendah selama 10 kali trip penangkapan ikan kurisi di Perairan Selat Sunda. Hal ini dapat disebabkan karena kapal dari nelayan Terso memiliki ukuran kapal yang lebih besar apabila dibandingkan dengan kapal yang dimilik oleh tiga nelayan lainnya. Keempat dari nelayan ini, secara relatif mengalami peningkatan hasil tangkapan ikan kurisi. Pada Gambar 8, untuk keempat nelayan menggunakan model eksponensial, sehingga terlihat produksi dari keempat nelayan mengalami peningkatan secara relatif. Produksi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi harian adalah cuaca, sehingga menyebabkan produksi harian dari masing-masing nelayan tidak dapat ditentukan, karena biasanya jika 27 kondisi cuaca buruk maka hasil tangkapan nelayan sedikit. Sebaliknya jika cuaca baik maka hasil tangkapan nelayan pun akan semakin banyak. 4.5. Hasil Tangkapan Per Upaya Tangkap Di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, ikan kurisi merupakan ikan yang dominan ditangkap menggunakan alat tangkap cantrang. Menurut hasil wawancara dengan nelayan di PPP Labuan, ikan kurisi juga ditangkap oleh alat tangkap selain cantrang yaitu jaring rampus. Pada penelitian ini, dikhususkan untuk sumberdaya ikan kurisi yang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Berdasarkan data statistik perikanan Labuan alat tangkap ikan kurisi yang dominan adalah cantrang dan jaring rampus. Dengan melakukan standarisasi alat tangkap, kedua alat tangkap ini dipilih untuk menentukan upaya yang tepat. Hasil produksi dari alat tangkap yang telah distandarisasi disajikan pada Lampiran 6. Data hasil tangkapan (catch), upaya penangkapan (effort) di Perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan menggunakan alat tangkap jaring rampus dan cantrang dengan perahu motor 2-3 GT dan 10-24 GT, berdasarkan Statistik Perikanan PPP Labuan dari tahun 2001-1011 disajikan pada Gambar 9. Hal ini berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh Sulistiyawati (2011) yang dilakukan di Perairan Teluk Banten, dimana ikan kurisi ditangkap oleh alat tangkap dogol. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Fitriyanti (2011) di Perairan Teluk Jakarta dimana ikan kurisi ditangkap menggunakan alat tangkap dogol. Dari Gambar 9, dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan kurisi di PPP Labuan, Banten mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 13.421,88 kg, sedangkan hasil tangkapan terendah terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 7.626,00 kg. Dari tahun 2001 ke tahun 2002 mengalami kenaikan sebesar 3.134,64 kg. Kemudian mengalami penurunan pada tahun 2006 sebesar 4.655,00 kg. Pada tahun pada tahun 2010 mengalami kenaikan menjadi sebesar 1.2740,16 kg dan kembali mengalami penurunan pada tahun 2011 sebesar 4.844,00 kg dari tahun 2010. Upaya penangkapan ikan kurisi dari tahun ke tahun mengalami penurunan, namun dari tahun 2001 ke tahun 2002 mengalami kenaikan sebesar 73 trip alat tangkap. Dari 28 tahun 2002 ke tahun 2006 mengalami penurunan yang cukup besar yaitu sebesar 291 trip alat tangkap, sedangkan dari tahun 2006 ke tahun 2010 mengalami penurunan trip alat tangkap menjadi 153 trip, dan ke tahun 2011 terjadi penurunan yang tidak terlalu besar yaitu sebesar 21 trip alat tangkap. Gambar 9. Produksi dan upaya penangkapan ikan kurisi di PPP Labuan Hasil tangkapan pada prinsipnya merupakan keluaran dari kegiatan penangkapan atau effort. Hasil tangkapan ikan kurisi di Selat Sunda pada tahun 2001 sampai 2011 dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9, dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan kurisi mengalami fluktuasi. Pada tahun 2006 dan 2011, hasil tangkapan ikan kurisi mengalami penurunan. Penurunan hasil tangkapan ini dapat disebabkan oleh faktor cuaca, misalnya pada saat keberadaaan ikan kurisi yang melimpah, di daerah penangkapan tersebut terjadi gelombang laut tinggi menyebabkan nelayan tidak melaut dan menyebabkan jumlah hasil tangkapan ikan kurisi berkurang. Pada tahun 2002 dan 2010 terjadi peningkatan hasil tangkapan dari tahun-tahun sebelumnya, hal ini dapat disebabkan karena sumberdaya tersebut sudah pulih kembali sehingga produksi ikan kurisi meningkat. Peningkatan hasil tangkapan ikan kurisi juga dapat disebabkan oleh upaya penangkapan yang meningkat sehingga daerah penangkapannya pun meluas dari sebelumnya. Menurut Widodo dan Suadi (2006), laju produksi sangat bervariasi karena faktor fluktuasi lingkungan, pemangsaan dan berbagai interaksi dengan 29 populasi lain. Fluktuasi hasil tangkapan terjadi dikarenakan faktor lingkungan, ekonomi dan nelayan. Faktor lingkungan merupakan faktor umum yang mempengaruhi hasil tangkapan ikan kurisi karena lingkungan memberikan pengaruh yang langsung terhadap ikan kurisi. Contohnya, jika keadaan lingkungan perairan yang buruk maka akan mempengaruhi kisaran ukuran ikan yang tertangkap dalam kaitannya dengan ketersediaan makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan ikan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan ikan kurisi adalah jenis subtrat, ketersediaan makanan dan pemangsaan. Upaya penangkapan merupakan masukan dari kegiatan penangkapan. Upaya penangkapan ikan kurisi di Selat Sunda terdiri dari 2 macam yaitu cantrang dan jaring rampus. Ikan kurisi merupakan hasil tangkapan dominan bagi alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Adapun kapal motor yang digunakan untuk alat tangkap jaring rampus adalah 2-3 GT dengan operasi penangkapan selama satu hari sedangkan untuk alat tangkap cantrang sebesar 10-24 GT dengan operasi penangkapan selama 3-4 hari per trip atau keberangkatan. Upaya penangkapan tahunan ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 9. Upaya penangkapan mengalami peningkatan dan penurunan. Hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan ekonomi. Faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi adalah cuaca atau musim yang mempengaruhi operasi penangkapan ikan. Faktor ekonomi meliputi kecenderungan nelayan dalam memperhitungkan untung atau ruginya dalam melakukan operasi penangkapan ikan sehingga upaya penangkapan terkadang mengalami peningkatan dan terkadang mengalami penurunan. Pada tahun 2002 upaya penangkapan sebanyak 516 trip namun pada tahun 2006 hingga 2011 mengalami penurunan, hal ini dapat diakibatkan karena faktor ekonomi nelayan dan faktor ketersediaan ikan kurisi di alam yang berkurang sehingga banyak nelayan yang beralih profesi. Tangkapan per satuan upaya (CPUE) atau sering disebut dengan catch per unit effort dapat menggambarkan suatu kelimpahan ikan di suatu wilayah. Menurut Widodo dan Suadi (2006), kecenderungan kelimpahan relatif selang beberapa tahun sering dapat diukur dengan menggunakan data hasil tangkapan per satuan upaya yang diperoleh dari suatu perikanan atau dari penelitian penarikan contoh. Pola 30 sebaran hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) ikan kurisi dari tahun 2001 hingga 2011 ditampilkan pada Gambar 10. Gambar 10. Hasil tangkapan per unit upaya Dari Gambar 10, dapat dilihat bahwa CPUE ikan kurisi tiap tahunnya memiliki fluktuasi yang berbeda-beda. Nilai CPUE tertinggi berada pada tahun 2010 sebesar 83, 27 kg/trip, sedangkan nilai CPUE terendah terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 23,22 kg/trip. Pada tahun 2001 hingga 2010 terjadi peningkatan, hal ini menggambarkan pada masa tersebut kelimpahan ikan kurisi cukup banyak serta merupakan musim penangkapan yang baik bagi nelayan. Nilai CPUE yang rendah seperti pada tahun 2011 disebabkan karena kelimpahan ikan yang cenderung menurun akibat sudah ditangkap pada tahun sebelumnya. Dengan adanya data hasil tangkapan per unit penangkapan serta data upaya penangkapan per tahun maka dapat dilakukan suatu analisis regresi untuk mendapatkan tingkat produksi lestari atau maximum sustainable yield (MSY) serta untuk mendapatkan upaya penangkapan yang optimal. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan, salah satunya pendekatan surplus produksi menggunakan model Schaefer dan Fox yang sering digunakan. 31 Hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Schaefer dan Fox disajikan pada Gambar 11 dan Gambar 12. Dimana pendekatan Schaefer merupakan hasil regresi dari upaya penangkapan dengan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE), Gambar 11. Grafik hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Schaefer Sedangkan grafik dengan menggunakan pendekatan Fox, dimana pendekatan Fox merupakan hasil regresi dari upaya penangkapan dengan logaritma natural dari CPUE. Grafik hubungan pendekatan Fox adalah sebagai berikut : Gambar 12. Grafik hubungan effort dan Ln CPUE dengan pendekatan Fox 32 Dari hasil regresi yang dilakukan dengan pendekatan model Schaefer dan Fox dapat diketahui nilai tangkapan lestari atau sering disebut dengan maximum sustainable yield (MSY) dan upaya penangkapan optimal yang harus dilakukan (lihat Tabel 2) Tabel 2. Hasil dari pendekatan Schaefer dan Fox Parameter Schaefer Fox a 80,68 4,52 b -0,12 0,00 r 0,69 0,81 R 68,90 80,80 Fmsy 342 500 MSY 13.790,81 16.875,33 Berdasarkan Tabel 2, maka dapat dilihat bahwa hasil hubungan regresi antara effort per tahun dengan CPUE yang menggunakan model Schaefer dan Fox didapatkan koefisien determinasi (R2) sebesar 68,90% dan 80,80%. Koefisien determinasi model Schaefer lebih kecil daripada koefisien determinasi model Fox. Namun, model Schaefer yang digunakan untuk menggambarkan dinamika stok ikan kurisi di Perairan Selat Sunda pada periode 2001-2011. Potensi lestari merupakan suatu parameter pengelolaan yang dihasilkan dalam pengkajian stok sumberdaya perikanan dan merupakan suatu unsur penunjang bagi peluang pengembangan di suatu wilayah (Badrudin 1992 in Syamsiah 2010). Hasil analisis model stok Schaefer memperoleh nilai upaya penangkapan optimum (fMSY) sebesar 342 trip per tahun dengan jumlah tangkapan maksimum lestari (MSY) sebesar 13.790,81 kg per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) sebesar 11.032,65 kg per tahun. Secara umum menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan kurisi di perairan Selat Sunda telah melebihi potensi lestarinya (MSY) yang terjadi pada tahun 2001-2010. Selain itu, pada tahun 2011 produksi ikan kurisi belum mencapai produksi lestari. TAC merupakan 80% dari nilai MSY, sehingga berdasarkan Tabel 3, pada tahun 2002 dan 2006 produksi aktual sudah 33 melebihi produksi lestari berdasarkan model Schaefer. Upaya penangkapan ikan kurisi dari tahun 2001 hingga 2006 telah melebihi upaya penangkapan optimum. Penurunan hasil tangkapan terjadi karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor ekonomi nelayan (lihat Tabel 3). Tabel 3. Produksi aktual rata-rata dan upaya aktual rata-rata sumberdaya ikan kurisi di PPP Labuan Tahun produksi aktual ratarata (kg) upaya aktual ratarata (trip) 2001 24.689,35 1.063 2002 32.212,50 1.238 2006 17.533,75 450 2010 19.110,24 230 2011 7.626,00 132 Fox Fmsy MSY (trip) (kg/trip) 500 16.875,33 Schaefer Fmsy MSY (trip) (kg/trip) 342 13.790,81 Menurut Widodo dan Suadi (2006) beberapa ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi upaya tangkap lebih adalah waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil yang kemudian diikuti penurunan produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya). Berdasarkan tangkapan per satuan upaya ikan kurisi di PPP Labuan menunjukkan adanya trend (kecenderungan) yang menurun. Analisis hasil tangkapan yang telah dilaksanakan di PPP Labuan terhadap sumberdaya ikan kurisi diperoleh model Fox. Oleh karena itu, untuk pengelolaan perikanan yang bersifat multispesies dengan alat tangkap yang sama digunakan pendekatan Fox. Pertimbangannya, jika dalam pelaksanaannya digunakan upaya penangkapan optimum dengan model Fox maka kelestarian sumberdaya ikan kurisi akan terancam. Dapat disimpulkan bahwa ikan kurisi di Perairan Selat Sunda telah mengalami overfishing dari tahun 2001 hingga 2010, sedangkan pada tahun 2011 hasil tangkapan ikan kurisi belum mencapai MSY sehingga pada tahun 2011 ikan kurisi di Perairan Selat Sunda belum mengalami overfishing. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi jumlah armada penangkapan di PPP Labuan dari tahun ke tahun mengalami penurunan. 34 Berdasarkan Sulistiyawati (2011), ikan kurisi di Teluk Banten didapatkan upaya penangkapan telah melebihi upaya penangkapan optimum, selain itu berdasarkan hasil tangkapan ikan kurisi di Teluk Banten telah melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan sehingga disimpulkan bahwa ikan kurisi di Teluk Banten telah mengalami overfishing. 4.6. Pola Musim Penangkapan Ikan Kurisi Analisis pola musim penangkapan bertujuan untuk melihat musim atau waktu penangkapan yang tepat bagi ikan kurisi sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam operasi penangkapan ikan. Analisis pola musim penangkapan ikan kurisi di perairan selat sunda menggunakan metode rata-rata bergerak (moving average) dengan menghitung nilai indeks musim penangkapan (IMP) pada setiap bulannya. Hasil perhitungan pola musim penangkapan ikan kurisi dapat dilihat pada Lampiran 6. Pergerakan nilai IMP ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 13. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola musim penangkapan ikan adalah cuaca dan iklim pada suatu daerah. Menurut Nuraini (2004) in Sulistiyawati (2011) menyatakan bahwa cuaca yang buruk biasanya akan mempengaruhi tingkah laku ikan kurisi yang akan migrasi ke tempat yang lebih dalam. Oleh karena itu ketika cuaca buruk biasanya banyak nelayan yang tidak melaut, beberapa nelayan tetap melaut dengan hasil tangkapan yang tidak maksimal artinya hasil tangkapan ikan kurisi hanya sedikit. Pola musim yang berlangsung di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh pola arus dimana terjadi interaksi antara udara dan laut (Nontji 1987 in Sulistyawati 2011). 35 Gambar 13. Nilai rata-rata indeks musim penangkapan ikan kurisi Berdasarkan Gambar 13, pergerakan nilai IMP ikan kurisi mengalami kenaikan dari bulan Juli ke bulan Agustus, kemudian mengalami penurunan dari bulan Agustus sampai bulan Oktober, dan mengalami kenaikan kembali pada bulan November. Kemudian mengalami penurunan yang besar pada bulan November sampai Januari, lalu mulai mengalami kenaikan kembali sampai bulan Mei. Dari bulai Mei sampai Juni mengalami penurunan kembali. Nilai IMP tertinggi terdapat pada bulan Agustus yaitu sebesar 154,45 % dan nilai IMP terendah pada bulan Januari sebesar 25,83 %. Analisis pola musim penangkapan bertujuan untuk melihat musim atau waktu penangkapan ikan kurisi yang tepat, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam operasi penangkapan ikan. Indeks musim penangkapan ikan kurisi dihitung dengan memakai data tangkapan per satuan upaya bulanan ikan kurisi dari Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan. Data bulanan tersebut kemudian diurutkan dari tahun 2001 sampai 2011 kemudian dihitung menggunakan metode rata-rata bergerak dan setelah itu dilakukan perhitungan dengan prosedur yang berlaku. Kriteria yang dipakai untuk menentukan musim penangkapan ikan kurisi adalah jika nilai indeks musim penangkapan (IMP) lebih besar dari 100%, sedangkan jika nilai kurang dari 100% maka bukan musim penangkapan ikan. Nilai indeks musim penangkapan juga mengidentifikasikan kehadiran ikan di perairan 36 tersebut. Jika nilai IMP lebih dari 100% maka kehadiran ikan di perairan tersebut cukup melimpah dibandingkan kondisi normal. Apabila nilai IMP dibawah 100% maka jumlah ikan dibawah kondisi normal. diketahui pola musim paceklik. Selain musim penangkapan, dapat Musim paceklik ditentukan apabila nilai IMP kurang dari 50%. Berdasarkan Gambar 13, musim penangkapan ikan kurisi adalah pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan November dengan nilai IMP masing-masing sebesar 123,14%, 106,50%, 119,05%, 154,45%, 149,02%, 120,65% dan 131,06%. selain itu, pada bulan Febuari, Maret, April dan Desember diduga bukan merupakan musim penangkapan ikan kurisi karena nilai IMP yang dibawah 100%, sedangkan pada bulan Januari merupakan musim paceklik dimana nilai IMP kurang dari 50%. Menurut Nontji (2007) in Yuwana (2011), angin yang berhembus di Perairan Indonesia terutama angin musim (moonsoon) yang dalam setahun terjadi dua kali pembalikan arah yang mantap masing-masing disebut dengan angin musim barat dan musim timur, sedangkan diantara dua kali perubahan musim tersebut terdapat juga dua kali musim peralihan yaitu musim peralihan Barat-Timur dan musim peralihan Timur-Barat. Bulan Desember, Januari dan Febuari adalah musim angin di belahan bumi bagian utara dan musim panas di belahan bumi bagian selatan. Pada saat itu, terjadilah pusat tekanan tinggi di atas daratan Asia dan pusat tekanan rendah di atas daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin berhembus dari Asian menuju Australia, yang di Indonesia umumnya dikenal sebagai angin musim barat (West Moonsoon). Sebaliknya pada bulan Juli hingga Agustus, terjadi pada pusat tekanan tinggi di atas daratan Australia dan pusat tekanan rendah di atas daratan Asia hingga Indonesia berhembuslah Angin Musim Timur (East Moonsoon). Dalam bulan Maret, angin barat masih berhembus tetapi kecepatannya berkurang, dalam bulan April dan Mei arah angin sudah tidak menentu dan periode ini dikenal sebagai musim pancaroba. Demikian pula yang terjadi dalam bulan Oktober dan November arah angin tidak menentu dan periode ini dikenal sebagai musim pancaroba akhir tahun. Apabila dikaitkan dengan musim perairan di Indonesia, maka musim penangkapan ikan kurisi di Selat Sunda terjadi empat musim yaitu musim timur, musim barat, musim pancaroba awal dan musim pancaroba akhir. 37 Berdasarkan hasil wawancara nelayan Labuan, beberapa nelayan menyatakan bahwa pada bulan Januari merupakan musim dimana hasil tangkapan ikan dalam jumlah yang sedikit. Pada bulan Febuari hingga bulan Agustus merupakan musim dimana hasil tangkapan nelayan dalam jumlah yang besar. Namun, beberapa nelayan menyatakan bahwa musim penangkapan berawal dari bulan Januari hingga Agustus, hal ini dapat disebabkan karena pada tahun tersebut, kondisi cuaca dan kondisi perairan tidak dapat diprediksi sehingga hasil tangkapan nelayan pun tidak dapat ditentukan. Apabila pola musim penangkapan ikan kurisi dikaitkan dengan daerah penangkapan ikan kurisi maka didapatkan bahwa pada musim panen dan musim paceklik didapatkan bahwa nelayan menangkap ikan kurisi di daerah yang sama. Namun, hal yang berbeda adalah pada saat musim paceklik. Pada musim paceklik nelayan menangkap ikan di daerah yang berbeda dan cukup jauh dari PPP Labuan. Nelayan Labuan melakukan andon, yaitu menangkap ikan di daerah yang cukup jauh dengan lama waktu yang tidak ditentukan biasanya 10 hingga 30 hari lamanya (lihat Tabel 4). Tabel 4. Matriks hubungan musim dengan daerah penangkapan Daerah Rakata Panaitan Binuangeun Tanjung Lesung Carita Papole Sebesi Leukeucang Lampung 1 2 3 4 5 Bulan 6 7 8 musim tangkapan musim paceklik musim sedang 9 10 11 12 38 Jika dilihat dari Tabel 4, terlihat bahwa pada musim paceklik banyak nelayan yang menjadi andon ke daerah Perairan Lampung, Binuangeun selama 8-30 hari. Pada musim sedang dan musin panen nelayan menangkap di daerah yang sama, yang membedakan hanyalah hasil produksinya. Hasil produksi pada musim panen akan lebih banyak daripada hasil produksi pada musim sedang. 4.7. Analisis CPUE dan RPUE Prediksi keuntungan ekonomi tidak dapat dihitung secara langsung tetapi dapat diestimasi melalui perhitungan pendapatan per trip upaya (RPUE). Adapun untuk dapat mendapatkan nilai pendapatan per trip upaya (RPUE) menggunakan data catch per unit effort (CPUE) per trip dan menggunakan data harga. Data CPUE yang digunakan adalah data hasil tangkapan nelayan per trip, dimana diambil contoh responden nelayan dengan alat tangkap cantrang sebanyak 4 orang nelayan dengan 10 kali keberangkatan. Keuntungan ekonomi per trip dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14. Keterkaitan antara CPUE dan RPUE Untuk mengestimasi keuntungan ekonomi menggunakan data hasil tangkapan selama 10 kali trip yang diambil dari beberapa contoh nelayan PPP Labuan. PPP Labuan, memilik 6 kapal Cantrang yang aktif yang dimiliki oleh empat orang nelayan. Adapun data harian yang diambil diambil per trip, dikarenakan untuk 39 nelayan cantrang melaut selama 3-4 hari/trip. Dari Gambar 14, dapat dilihat bahwa keuntungan ekonomi per trip mengalami fluktuasi. Pada tanggal 01 April 2012 dengan keuntungan ekonomi terbesar yaitu sebesar Rp. 3.489.885,00 sedangkan keuntungan ekonomi terendah terjadi pada tanggal 6 Febuari 2012 dengan keuntungan sebesar Rp. 380.000,00. Jika sumberdaya ikan memiliki CPUE dan RPUE berbanding terbalik dimana ketika CPUE tinggi maka keuntungan ekonomi rendah, sebaliknya jika CPUE rendah maka keuntungan ekonomi yang didapatkan akan tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa sumberdaya ikan tersebut bersifat tidak responsif, artinya harga sumberdaya ikan tersebut dipengaruhi oleh harga pasar. Namun, dari Gambar 14, maka dapat dilihat bahwa hubungan hasil tangkapan per satuan upaya dengan keuntungan ekonomi tidak berbeda jauh. Penerimaan ekonomi dan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan ikan kurisi berbanding lurus, artinya ikan kurisi bersifat tidak responsif dimana harga ikan kurisi tidak dipengaruhi oleh harga pasar. CPUE dan RPUE berbanding lurus disebabkan karena untuk mendapatkan nilai RPUE didapatkan dari perkalian CPUE dan harga ikan kurisi. Harga ikan kurisi yang relatif stabil, sehingga menyebabkan CPUE dan RPUE berbanding lurus. 4.8. Alternatif Pengelolaan Ikan Kurisi di Selat Sunda Menurut FAO (1997) in Widodo dan Suadi (2006), pengelolaan perikanan adalah proses perencanaan, yang terintegrasi konsultasi, dalam pembuatan pengumpulan keputusan, alokasi informasi, analisis, sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang ikan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumberdaya, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Pengelolaan terhadap stok ikan kurisi dilakukan agar sumberdaya ikan kurisi dapat berlangsung keberlanjutannya. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai MSY sebesar 13.790,81 kg, apabila dibandingkan dengan produksi aktual tahun 2001, 2002, 2006 dan 2010 yaitu sebesar 24.689,35 kg, 32.212,50 kg, 17.533,75 kg dan 19.110,24 kg maka dapat diindikasikan bahwa ikan kurisi di Perairan Selat Sunda telah mengalami overfishing. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana pengambilan data 40 dalam penelitian sebelumnya dilakukan di Kabupaten Pandeglang dengan sembilan Pelabuhan Perikanan Pantai salah satunya PPP Labuan yang termasuk ke dalam Kecamatan Labuan. Oleh karena ikan kurisi telah mencapai titik maximum sustainable yield maka diperlukan pengaturan upaya penangkapan ikan kurisi agar keberadaan sumberdaya ikan kurisi dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan dengan didasarkan pada analisis produksi lestari dan upaya penangkapan optimal. Selain itu, diperlukan adanya pembatasan daerah penangkapan agar nelayan tidak menangkap ikan kurisi di daerah pemijahan, jika hal ini dibiarkan maka kondisi sumberdaya ikan kurisi di alam lama-kelamaan stoknya menjadi menipis bahkan menjadi langka. Diperlukan suatu komunikasi antar tingkat tinggi seperti KKP Banten, DKP Pandeglang dengan tingkat bawah seperti UPT Labuan dan TPI Labuan. Serta diperlukan suatu pembukuan yang lebih tersusun lagi untuk mendata produksi, upaya penangkapan serta raman yang didapatkan per hari. Hal ini bertujuan agar sumberdaya ikan kurisi dapat dikelola secara bersama. 41 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Dari penelitian yang dilakukan didapatkan beberapa kesimpulan, yaitu : 1. Berdasarkan perhitungan metode surplus produksi didapatkan produksi lestari ikan kurisi sebesar 13.790,81 kg/tahun dan upaya optimal penangkapan sebesar 342 trip/tahun, kondisi sedangkan produksi aktual tahun 2001, 2002, 2006 dan 2010 maka diindikasikan bahwa sumberdaya ikan kurisi telah mengalami overfishing. Ikan kurisi bersifat tidak responsif yang artinya harga ikan kurisi tidak dipengaruhi oleh harga pasar. 2. Musim penangkapan ikan kurisi yaitu pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan November. Musim paceklik terdapat pada bulan Januari, selain bulan tersebut merupakan bukan musim penangkapan. Apabila dikaitkan dengan musim perairan Indonesia maka terdapat 4 musim penangkapan ikan kurisi yaitu musim barat, timur, peralihan awal tahun dan peralihan akhir tahun. Ikan kurisi yang didaratkan di PPP Labuan ditangkap di sekitar daerah Tanjung Lesung, P. Papole, P. Rakata, P. Panaitan, P. Sebesi, P. Carita, Binuangeun dan Perairan Lampung 3. Dari hasil analisis maka diperlukan suatu alternatif pengelolaan perikanan untuk keberlanjutan ikan kurisi salah satunya adalah pengaturan upaya penangkapan dan pembatasan daerah penangkapan ikan kurisi. 5.2. Saran Penelitian ini hanya mengkaji pengelolaan sumberdaya ikan kurisi berdasarkan data sekunder dan data harian yang terdapat di TPI, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai aspek bioekonomi ikan kurisi di perairan Selat Sunda, selain itu juga diperlukan kajian mengenai daerah migrasi ikan kurisi di Perairan Selat Sunda agar menjaga kelestarian sumberdaya ikan kurisi. DAFTAR PUSTAKA [FAO] Food and agriculture Organization. 1995. Code Of Responsible Fisheries. FAO. Rome, Italy. 41P. Conduct For Adrianto L. 2002. Menyoal Kapasitas dan Keberlanjutan Perikanan di Indonesia. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Anjani B. 2010. Analisis Ketidakpastian Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Auxis thazard) di TPI Cilauteureun Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Boer M dan Aziz KA. 1995. Prinsip-Prinsip Dasar Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Melalui Pendekatan Bio-Ekonomi. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan Dan Perikanan Indonesia. III: 109-119. Boer M dan Aziz KA. 2007. Gejala Tangkap Lebih Perikanan Pelagis Kecil Di Indonesia Selat Sunda. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan Dan Perikanan Indonesia 14 (2) :98. Brojo M dan Sari RP. 2002. Biologi Reproduksi Ikan Kurisi (Nemipterus tambuloides Blkr) Yang Didaratkan Di Tempat Pelelangan Ikan Labuan (Pandeglang). Jurnal Iktiologi Indonesia, Vol 2, No.1. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kalautan. Institut Pertanian Bogor. Cressidanto D. 2010. Dinamika stok ikan tembang (Sardinella fimbriata Cuvier and Valenciennes 1847) di teluk banten Kabupaten Serang, Provinsi Banten. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. FAO. 1999. The Living Marine Resources od Western Central Pasific. FAO Species Identification Guide for Fishery Purpose. Department of Biological Sciences Old Dominion University Norfolk, Virginia, USA. Fitriyanti. 2011. Kajian Stok Dan Analisis Ketidakpastian Hasil Tangkapan Sumberdaya Ikan Terisi (Nemipterus balinensis Bleeker 1859) Di Perairan Teluk Jakarta. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Harahap AP dan Bataragoa NE. 2008. Pola Pertumbuhan Dan Faktor Kondisi Ikan Kurisi (Aphareus rutilans Cuvier, 1830) Di Perairan Laut Maluku. Jurnal Pacific. Vol 1(3):267-291. King M. 1995. Fisheries biology, assessment, and management. Fishing News Books. London, USA. 341 p. 43 Mallawa A. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berkelanjutan Dan Berbasis Masyarakat. [Jurnal]. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. UNHAS. Makassar. Rakhmani F. 2008. Prospek Pendaratan Hasil Tangkapan di PPI Labuan Kabupaten Pandeglang-Banten. [Skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Robiyani. 2000. Kebiasaan Makan, Pertumbuhan, dan Faktor Kondisi Ikan Kurisi (Nemipterus tambuloides Blkr) Di Perairan Teluk Labuan, Jawa Barat. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Sinaga P. 2010. Dinamika Stok Dan Analisis Bio-Ekonomi Iakan Kembung Lelaki (Rasterliger kanagurta) Di TPI Blanakan, Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Siregar EB. 1997. Pendugaan Stok Ikan dan Parameter Biologi Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus) Di Perairan Teluk Lampung. [Skripsi]. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 70 Hlm. Sjafei DS dan Robiyani. 2001. Kebiasaan Makanan Dan Faktor Kondisi Ikan Kurisi, (Nemipterus tambuloides Blkr) Di Perairan Teluk Banten. Iktiologi Indonesia, Vol.1. No.1. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Sparre P dan Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis Buku IManual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa Dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 Hlm. Subani W & HR Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut Di Inonesia, Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Sulistiyawati ET. 2011.Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus) Berdasarkan Model Produksi Surplus Di Teluk Banten, Kabuapaten Serang, Provinsi Banten. [Skripsi] Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Syakila S. 2009. Studi Dinamika Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) Di Perairan Teluk Palabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 44 Syamsiah NN. 2010. Studi Dinamika Stok Ikan Biji Nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) Di Perairan Utara Jawa Yang Didaratkan Di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Taeran I. 2007. Tingkat Pemanfaatan dan Pola Musim Penangkapan Beberapa Jenis Ikan Ekonomis Penting di provinsi Maluku Utara [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 126 hlm. Widodo J dan Suadi 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 252 Hlm. Wisudo SH, TW Nuraini. 1994. Teknologi Penangkapan Ikan Pilihan yang Layak Dikembangkan di Labuan, Jawa Barat. Makalah Seminar Hasil Penelitian. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. www.fishbase.org. Nemipterus japonicus. [terhubung berkala]. http://www.fishbase.org/summary/SpeciesSummary.php?id=1507&genusnam e=Sardinella&speciesname=fimbriata [7 Juni 2012]. Yuwana KE. 2011. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) Di Teluk Banten, Yang Didaratkan Di Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu, Serang, Provinsi Banten. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 45 LAMPIRAN 46 Lampiran 1. Gambar kondisi kapal perikanan PPP Labuan 47 Lampiran 2. Alat dan bahan yang digunakan 48 Lampiran 3. Komposisi hasil tangkapan yang didaratkan di TPI I PPP Labuan, Provinsi Banten Ikan Produksi (kg) persentase Kurisi 20498 28% Kuniran 15927 22% Raja gantang 6635 9% Banyar 13849 19% Layur 15100 21% JUMLAH 72009 49 Lampiran 4. Hasil analisis standarisasi upaya penangkapan ikan kurisi di PPP Labuan, Banten Tahun Alat tangkap C(kg) E(trip) 2001 cantrang 5297,69 238 rampus 4989,54 205 cantrang 10928,58 388 rampus 2493,29 128 cantrang 4923,17 115 rampus 3843,70 110 cantrang 7042,28 78 rampus 5697,88 75 cantrang 6751,00 109 rampus 875,00 23 2002 2006 2010 2011 cantrang Tahun Y jaring rampus F Y F 2001 5297,69 238 4989,54 205 2001 10928,58 388 2493,29 128 2006 4923,17 115 3843,70 110 2010 7042,28 78 5697,88 75 2011 6751,00 109 875,00 23 C F alat tangkap CPUE FPI Cantrang 34942,72 928 37,65 1 jaring rampus 17899,42 541 33,09 0,88 50 Lampiran 5. Hasil analisis daerah penangkapan ikan kurisi di Perairan Selat Sunda, Kecamatan Labuan berdasarkan wawancara nelayan Alat Tangkap Jaring Rampus NO NAMA NELAYAN/JURAGAN 1 Husin 2 Haerudin 3 Mukri 4 Supriadi 5 Darini 6 Samsuri 7 Wartini 8 ibu ribut 9 Dulwahid 10 Dahrum 11 Kastini DAERAH PENANGKAPAN ujung kulon,panaitan,rakata. Paceklik : binuangen 8-30 hari Rakata (utama). Pindah ke tanjung lesung jongor klo g dpt di rakata. Rakata 5 jam Binuangen (9 jam), ujung kulon, 3 malam-2siang Sering :Carita, Panimbang . 3-4 hari rakata P. Rakata, liwungan -ke arah sumur- (puncak), Papole (paceklik), ke arah lampung Terjauh : P. Rakata 3 jam tempuh. Musim Puncak : Carita jalur kapal 1. Paceklik : P.Papole. Puncak bulan 4,5 : Liwungan (sumur), Rakata tdk tentu, kadang rakata sampai Panaitan Tanjung lesung, Sanggar, Rakata, jarak 3 jam ke fishing area, 2 jam operasi alat Barat Laut dr Labuan, 3,5 jam sebelum Rakata Rakata Alat Tangkap Cantrang NO 1 2 3 4 NAMA KAPAL / JURAGAN SPB 1 dan 2 / Mashuri mina bakti / Hj Umi Kulsum Tohari Bunga dan Putra mahkota / Terso DAERAH PENANGKAPAN Jongor, Sumur, Panaitan, Rakata, Tujuan Utama : Timur Panaitan, Rakata Rakata, Papole, Sebesi, Panaitan Rakata, Panaitan, Leukecang 50 50 Lampiran 6. Analisis indeks musim penangkapan ikan kurisi di Perairan Selat Sunda, Labuan Cantrang Tahun 2001 2002 i 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei C(kg) Rampus E(trip) C(kg) E(trip) Standarisasi C E (Kg) (trip) CPUE Rgi 9,96 9,96 11,88 14,68 17,14 19,20 20,94 18,81 16,28 14,42 12,82 1340 1668 1127 676 487 66 61 52 34 25 1124 1298 1246 774 548 36 42 59 44 24 2463 2966 2373 1450 1035 96 98 107 75 47 25,56 30,34 22,27 19,31 22,08 1603 4411 2536 1596 71 125 84 70 171 1172 382 584 9 59 22 26 1774 5584 2919 2180 77 166 99 88 22,98 33,68 29,42 24,78 RGPi Rbi 9,96 10,9 13,3 15,9 18,2 20,1 19,9 17,5 15,4 13,6 0 3,04 2,04 1,45 1,39 0 0 1,16 1,92 1,92 1,82 51 51 Lampiran 6. (lanjutan) Cantrang Tahun 2002 2006 i 18 19 20 21 22 23 24 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 Bulan Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rampus C(kg) 782 E(trip) 38 C(kg) 184 E(trip) 12 233 1725 1537 180 682 566 8 47 27 5 12 16 482 1898 324 191 206 743 13 53 9 5 6 24 Standarisasi C (Kg) E (trip) 966 46 CPUE 20,86 714 3623 1860 371 889 1309 38,39 40,14 54,17 40,86 52,61 36,78 19 90 34 9 17 36 Rgi 10,98 10,98 10,98 9,06 6,25 3,80 1,74 0,00 3,20 6,54 11,06 14,46 18,85 21,91 21,91 21,91 21,91 21,91 29,76 RGPi 11,9 11 11 10 7,66 5,03 2,77 0,87 1,6 4,87 8,8 12,8 16,7 20,4 21,9 21,9 21,9 21,9 25,8 Rbi 1,75 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1,88 1,83 2,47 1,86 2,4 1,42 52 52 Lampiran 6. (lanjutan) Tahun 2010 2011 i 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Cantrang C(kg) E(trip) 1286 938 495 986 605 1527 Rampus C(kg) E(trip) 14 11 5 13 6 13 192 426 1934 1248 308 182 Standarisasi C (Kg) E (trip) 2 7 12 26 6 5 1478 1363 2429 2234 914 1708 CPUE 16 17 15 35 11 17 94,21 80,72 160,9 64,05 82,71 99,29 Rgi 36,49 46,70 48,69 51,07 55,94 59,85 63,17 70,13 77,37 82,60 RGPi 33,1 41,6 47,7 49,9 53,5 57,9 61,5 66,7 73,8 80 Rbi 0 0 0 0 1,76 1,39 2,62 0,96 1,12 1,24 83 84 85 86 87 88 November Desember Januari Februari Maret April 554 651 835 984 815 573 6 10 10 11 13 7 714 695 0 186 0 81 8 9 0 4 0 4 1268 1346 835 1170 815 654 13 18 10 13 13 9 99,57 76,61 83,5 86,94 62,69 69,16 88,36 86,54 84,52 74,73 72,32 68,73 85,5 87,5 85,5 79,6 73,5 70,5 1,16 0,88 0,98 1,09 0,85 0,98 53 53 Lampiran 6. (lanjutan) Cantrang Tahun 2011 C(kg) Rampus E(trip) C(kg) E(trip) Standarisasi C (Kg) E (trip) CPUE Rgi RGPi Rbi i Bulan 89 Mei 217 2 283 8 500 7 72,32 65,89 67,3 1,07 90 Juni 411 7 19 1 430 8 56,47 62,77 64,3 0,88 91 Juli 284 7 20 0 304 7 43,43 92 Agustus 343 11 65 1 408 12 35,13 93 September 379 10 42 1 421 11 39,66 94 Oktober 922 14 70 2 992 15 65,14 95 November 845 14 64 1 909 15 62,2 96 Desember 143 3 45 1 188 4 52,02 54 54 Lampiran 6. (lanjutan) Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni 2001-2002 Juli-Juni 2002-2006 2006-2010 2010-2011 0,00 3,04 2,04 1,45 1,39 0,00 0,00 1,16 1,92 1,92 1,82 1,75 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,88 1,83 2,47 1,86 2,40 1,42 0,00 0,00 0,00 0,00 1,76 1,39 2,62 0,96 1,12 1,24 1,16 0,88 0,98 1,09 0,85 0,98 1,07 0,88 Total Rrbi 4,50 5,84 5,63 4,56 4,95 2,30 0,98 2,25 2,77 2,90 4,65 4,03 JRRB FK Rata2 1,12 1,46 1,41 1,14 1,24 0,57 0,24 0,56 0,69 0,72 1,16 1,01 IMPi 119,05 154,45 149,02 120,65 131,06 60,84 25,83 59,48 73,34 76,64 123,14 106,50 11,34 105,83 55 56 Lampiran 7. Data Harian ikan kurisi per trip penangkapan berdasarkan hasil wawancara nelayan Labuan Data Produksi Harian Trip N1 N2 N3 N4 Jumlah (Kg) 1 97 53,4 43 193,4 2 117,5 54,6 86,4 258,5 3 57 170,0 92,5 319,5 4 65,8 161,8 85 312,6 5 30,8 56,7 62,6 111,2 261,3 6 161,3 280,9 39,5 53,4 535,1 7 119,6 88,2 37,2 107,2 352,2 8 39,7 133,5 90,2 160,9 424,3 9 65,9 151,2 40 140,7 397,8 10 103,3 121,7 95,8 275 595,8 Data Harga Harian Trip N1 N2 N3 1 11546 14981 2 9021 3 N4 Jumlah (Rp.) Rata2 13256 39783 13261 14103 14583 37707 12569 14386 11353 10919 36658 12219 4 13222 9209 12000 34431 11477 5 13961 8995 14377 16547 53880 13470 6 7998 11991 17975 14981 52944 13236 7 14716 13039 13978 13246 54979 13745 8 15617 11760 13415 9447 50239 12560 9 15326 14352 12000 13646 55324 13831 10 12488 13996 12735 3018 42237 10559 57 Lampiran 8. Analisis estimasi keuntungan ekonomi Trip ke- C E CPUE P RPUE 1 193,4 3 64,5 13261 854903 2 258,5 3 86,2 12569 1083034 3 319,5 3 106,5 12219 1301353 4 312,6 3 104,2 11477 1195896 5 261,3 4 65,3 13470 879920 6 535,1 4 133,8 13236 1770653 7 352,2 4 88,1 13745 1210226 8 424,3 4 106,1 12560 1332273 9 397,8 4 99,5 13831 1375497 10 595,8 4 149,0 10559 1572816 63 Lampiran 9. Identitas diri nelayan dengan alat tangkap jaring rampus Labuan, Banten berdasarkan hasil wawancara Nama Haerudin Umur Alat tangkap Kapal 40 30 pis, 2 inch, 1 pis=27 depa, 1 depa,1,5 m 5 ABK, p 9, t 3, l 27, 24 PK Mukri 25 30-35 pis, 80 m/pis, 2 inch 3 buah, 6 GT, p 12 &11 m, t 2,5 m, l 26/27/28 m, 24 & 30 PK Supriadi 42 30 pis, 2 inch & 1 3/4 inch 1 buah, 5 ABK, p 8 l 2,8 24 PK 1 buah, p 7, l 3,5 22 PK Ibu Darini 35 Status Pendidikan Pekerjaan Utama Fishing ground SD Binuangen (9 jam), ujung kulon, 3 malam-2siang Sering :Carita, Panimbang . 3-4 hari rakata P. Rakata, liwungan -ke arah sumur- (puncak), Papole (paceklik), ke arah lampung 58 67 Lampiran 9. (lanjutan) Nama Umur Alat tangkap Kapal Supran 40 m 2 inci, 40 pis 1 buah, 2 GT, 23 PK, p 12 m, l 2,6 m, 5 ABK Danujen 25 m 2-2,5 inch, 40 ting 1 buah, p 12 m, l 3,5 m, 33 PK, 5 ABK Husin 42 40 ting2, m 2 inch 1 buah, 3 GT, 24 PK, 5 ABK Ibu Somilah 50 60 pis 1 buah p 9 l 5, 30 PK, 5 ABK Status Pendidikan Pekerjaan Utama Fishing ground Nelayan (30 thn) ujung kulon,panaitan,rakata. Paceklik : binuangen 8-30 hari Menikah 59 68 Lampiran 9. (lanjutan) Nama Umur Alat tangkap Kapal Status 40 ting2, l 2,5 m, p 25 m 1 buah p 7 m 2 anak Wati/Samsuri Wartini 35 30 pis, 1,5 inch 1 buah, p 7 m, l 3,5 m 25 PK 5 ABK Ibu Ribut 49 40 pis, p 2,5 m 3 buah, p 7m, t 2m 30 PK, 5-6 ABK, 30 PK Dulwahid 50 30 ting2, 40 m 1 buah, p 7 m, 1822 PK, 5 ABK Pendidikan Pekerjaan Utama Fishing ground Terjauh : P. Rakata 3 jam tempuh. Musim Puncak : Carita jalur kapal 1. Paceklik : P.Papole. Puncak bulan 4,5 : Liwungan (sumur), Rakata SD tdk tentu, kadang rakata sampai Panaitan Tanjung lesung, Sanggar, Rakata, jarak 3 jam ke fishing area, 2 jam operasi alat 60 69 Lampiran 9. (lanjutan) Nama Umur Alat tangkap Kapal Dahrum 52 40 pis, 2 inch 1 buah, p 11,5 m l 3m, t 1,5 m, 24 PK, 5 ABK Kastini 55 25 pis, 1,5-1,25 inch 1 buah, p 8 m l 1,5 m, 22 PK, 4-5 ABK Jai 30 25 ting2, 2 inch 1 buah, p 7 m, l 3 m t 3 m muatan 1 ton, 24 PK, 5 ABK Status Pendidikan Pekerjaan Utama Fishing ground Barat Laut dr Labuan, 3,5 jam sebelum Rakata Nelayan (40 th ngelaut) Rakatau 61 70 Lampiran 9 (lanjutan) Bulan Nama PU B PA Trip/hari (jam) Trip/bln (hari) Pu Pu B Pa 25 hari Supran Danujen Husin 6,7,8 4,5,6 5,6 1,2, 3,4, 5 1 20 hari 7 nga ngg ur 21 hari B 20 hari 1421 hari 21 hari Puncak Pa 7 hari 7 hari 4 hari Biasa Price HT Paceklik LYR HT 4-5 kg Price HT KRS 4-5 kg KRS KNR 4-5 kg KNR BYR 8-10 kg BYR LYR 1 ton 15000 LYR LYR KRS 5 kw 5000 KRS KRS BYR 1 kw 15000 BYR BYR LYR 1 kw 13000 KNR 1 kw 5000 BYR 3 kw 15000 Price LYR LYR KNR/ KRS BYR 40 ekor 1 kw 20000 10000 10 kg 10-15 kg 15-50 kg 18000 7000 20000 62 71 Lampiran 9. (lanjutan) Trip/hari (jam) Bulan Nama Ibu Somilah Haerudin PU 1,2,3,4 11 B PA 11,1 2,1 12 Pu 12 11 B Pa 1 Trip/bln (hari) Pu 27 hari 20 B 30 hari 20 Puncak Pa KRS HT 3 basket Price 13000 RG 2-3 basket 13000 Mukri 12 11 2630 hari 3,4 1,2 KRS HT 15 kg LYR 15 kg 10 10 kg 15000 BYR 1,5 kg 15000 KRS 11 kg 8000 KRS 1 kg 8000 RG 12 kg 8000 RG 10 ekor KNR 2 3000 TBG 1 2000 8000 LYR 15 hari Price 15000 BYR BYR 20000 KRS KRS 15000 LYR RG 12-15000 RG BYR 7000 BYR 8000 LYR 14000 BYR BYR Supriadi Price 15000 LYR 20 hari HT Paceklik 0 KRS 2630 hari Biasa 1 kw 120000 1-2 drum 20000 35000 3 13000 13000 1 hari 63 72 Lampiran 9. (lanjutan) Trip/hari (jam) Bulan Nama Ibu Darini Wati/Sa msuri PU 4 B 7,8 12 PA 1,1 2 3,4 Pu 10 B 1 0 Pa 10 Trip/bln (hari) P u 2 5 2 6 12 B 2 5 2 1 Puncak Pa 15 HT Wartini 8 1,1 2 10 1 0 10 2 5 Ibu Ribut 4 5,6, 7,8, 9 12 1 2 12 1 5 1 5 Price HT 12000 LYR KRS 8 basket 10000 KRS KNR 8basket 10000 KNR KRS 15000 RG BYR BYR 25000 Price 2000 1 ember /1basket 15000 15000 KRS 17000 15000 RG 17000 25000 BYR 30000 20000 LYR 1 ember 15-20000 8000 KRS 1 ember 15-20001 Jul-00 KNR 1 ember 15-20002 8000 RG 1 ember 15-20003 LYR LYR 6-7 kg 5 kg 14 KNR RG 1-2 basket 1-2 basket 1-2 basket 1-2 basket 15 LYR 10, 11, 12, 1 HT 8 basket KRS 4,5,6 ,7 Price Paceklik LYR LYR 2 02 5 Biasa KRS 1 kw 10000 KRS KRS RG 10 kg 10000 RG RG 15000 15000 BYR 10 64 73 Lampiran 9. (lanjutan) Trip/hari (jam) Bulan Nama PU B PA Pu B Pa Trip/bln (hari) Pu B Puncak Pa TBG Dulwahid 12 12 12 10 25 20 15 HT 20 kg BYR KRS 30 kg KNR Dahrum 4,5,6,12 1,2,3 12 8 25 25 5,6 8,9 1,11,12 12 15 8 25 20 15 Price 500 HT Paceklik BYR Price 10000 HT KNR Price 7000/2000 12000 TBG 1500 TBG 100-1500 8000 KRS 6000 BYR 15000 4000 KNR KRS 12000 KRS 5 basket 4000 KRS KRS RG 1 basket 4000 RG RG BYR 2 basket BYR Jai Biasa 10000 300/bas KRS KNR 50 kg KRS 1-2 kw RG BYR 7000 BYR 10-20 e 20 biji 50000 KRS 20 biji 50000 LYR 7000 BYR 25000 4000 TBG 2000 40-50 kg 3000 KRS 10000 TBG 5 kw 1500 RG 5000 BYR 1 kw 20000 KNR 4-5 rb 65 74 Lampiran 10. Identitas diri nelayan dengan alat tangkap cantrang, Labuan, Banten berdasarkan hasil wawaancara Nama Umur Alat tangkap Kapal Masudi 28 p 20 m, l 5 m, 1 buah 2 buah 6 GT 24 PK Puso B16 Terso 2 buah, p 18 m, t 3 m 24 GT, 190 PK Puso Anshori 1 buah, ms 400 mm, 24 GT, 190 PK Puso, 12 ABK 1 buah, 25 m 10 GT, 24 PK Wirsad 33 Pend Pekerjaan Utama Pekerjaan Sampingan Fishing ground Jongor, Sumur, Panaitan, Rakata,Tujuan Utama : Timur SD Rakata, Panaitan, Leukecang Panaitan, Rakata Nelayan (20 th) Rakata, Papole, Sebesi dan Panaitan 66 75 Lampiran 10 (lanjutan) Bulan Nama Masudi Pu 2,3,4,5,6,7 B 12 Trip/hari Pa 10 Pu B Trip/bln Pa Pu B 4 hari Puncak Pa 1-3 hari HT 5,6,7,8 - 12 5-6 hari 4 4 6,12 1 4 4 3 HT Price HT Price 1 ton 15000 RG 0,5 kw 10000 KRS 2-3 kuintal 13000 KRS 0,5-2 kw 10000 LYR 0,5 kw KNR 0,5 kw 3000 KNR 1 ton 7000 LYR 30 kg 17000 17000 BYR 22000 KRS 8 kw 13000 KRS 3 kw 21000 RG 8 kw 13000 RG 3 kw 21000 KNR 5-7 kw 8000 KNR 3 kw 8000 15000 BYR BYR Ashori Price Paceklik RG BYR Terso Biasa KRS 1 ton KNR 2 ton RG 5 kw BYR 200000 /tumpuk 150000 /tumpuk 250000 /tumpuk 15000 250000 KRS KNR RG /tumpuk 175000 24 blong /tumpuk 250000 /tumpuk 22000 KRS 8 kw 300000 KNR 4 blong 200000 RG 1-2 blong BYR 25000 67 76 Lampiran 10. (lanjutan) Bulan Nama Pu B Trip/hari Pa Pu B Trip/bln Pa Pu B Puncak Pa HT RG Wirsad 4,5 1,2,3,4,12 12 jam 12 jam 12 jam 3-4 hari 3-4 hari 1-2 hari KNR KRS BYR 2 drum 8-7 drum 3-4 drum Biasa Price HT Paceklik Price HT Price 7000 RG 1 drum 10500 RG 1 drum 14000 4000 KNR 1 drum 5500 KNR 8000 7000 KRS 1 drum 10500 KRS 1 blong <1 drum 15000 BYR 14000 20000 68 69 Lampiran 11. Biaya oprasional hasil wawancara nelayan Labuan, Banten • No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Alat tangkap jaring rampus Nama Darini Danujen Supriyadi ana husim syamsuri Dul Wahid ribut wartini Somilati khairuddin Mukri dahrum Kastini Warta Es batu BBM 137500 0 1100000 225000 82500 9000 55000 10000 1375000 270000 150000 0 300000 104000 110000 90000 79500 825000 105000 71500 100000 0 180000 0 160000 20000 240000 180000 9000 160000 Operasional Air bersih konsumsi izin Retribusi 30000 250000 0 0 425000 0 30000 150000 0 5000 65000 0 20000 700000 0 0 150000 0 40000 10000 4000 10000 0 20000 0 1000 10000 0 Rata-rata 200000 200000 250000 250000 150000 1300000 1715000 150000 200000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 total 417500 1750000 271500 135000 2365000 300000 540000 494000 364000 510000 249500 2385000 2000000 231500 470000 12483000 832200 • Alat tangkap cantrang No Nama 1 2 3 Mashuri Anshori Tarso BBM 550000 1000000 1166000 Operasional total Es Air batu bersih konsumsi izin Retribusi 450000 45000 1000000 0 2045000 720000 50000 200000 0 1970000 900000 60000 170000 0 2296000 Total 6311000 Rata-rata 2103667