HUBUNGAN MENYUSUI LANGSUNG OLEH IBU DAN MENGGUNAKAN PACIFIER DENGAN PERKEMBANGAN BICARA PADA BAYI USIA 0-6 BULAN Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Oleh: ANIS KURNIA WATI J 120 151 088 PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI TRANSFER FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017 i ii iii HUBUNGAN MENYUSUI LANGSUNG OLEH IBU DAN MENGGUNAKAN PACIFIER DENGAN PERKEMBANGAN BICARA PADA BAYI USIA 0-6 BULAN Abstrak Latar Belakang: Kemampuan berbicara terbentuk melalui proses pemerolehan dari sejak dini. Prevalensi keterlambatan bicara diperkirakan sekitar 3–10% di seluruh dunia. Pemberian ASI eksklusif dari tahun ke tahun terus menurun, karena beberapa faktor ibu memilih menggunakan pacifier/dot, yang berisikan Air Susu Ibu (ASI) maupun susu formula. Periode kritis perkembangan pendengaran dan berbicara dimulai dalam usia 6 bulan pertama kehidupan. Bayi yang mengalami keterlambatan yang diintervensi sebelum usia 6 bulan, pada usia 3 tahun akan mempunyai kemampuan berbahasa normal dibandingkan dengan bayi yang baru diintervensi setelah usia 6 bulan. Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui hubungan menyusui langsung oleh ibu dan menggunakan pacifier dengan perkembangan bicara pada bayi usia 0-6 bulan. Metode Penelitian: Jenis penelitian adalah observasional dengan pendekatan cross sectional. Teknik pengambilan sampel menggunakan quota sampling, yaitu peneliti menentukan jumlah tertentu sebagai target yang harus dipenuhi dari pengambilan sampel dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengukuran perkembangan bicara dilakukan dengan menggunakan Early Language Milestone Scale-2 (ELMS-2). Teknik analisis data menggunakan uji Chi Square. Hasil Penelitian: Responden berjumlah 60 bayi, yang mengalami keterlambatan bicara berjumlah 27 bayi (45%). Responden yang mengalami keterlambatan bicara paling banyak menggunakan pacifier berjumlah 13 bayi. ρhitung sebesar 0,028 dengan signifikansi (α) 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara menyusui langsung oleh ibu dan menggunakan pacifier dengan penilaian bicara dengan Early Language Milestone Scale-2 (ELMS-2). Kesimpulan: Ada hubungan antara menyusui langsung oleh ibu dan menggunakan pacifier dengan perkembangan bicara pada bayi usia 0-6 bulan. Kata Kunci: Menyusui, pacifier, keterlambatan bicara, ELMS-2. Abstract Background: Speaking ability was built through acquisition process in early stage. The prevalence of speech delay is estimated 3-10% in around the world. The exclusive breastfeeding decreases continuously from year to year due to several factors such as mothers choose using pacifier that contains breast milk or formula milk. Critical period of listening and speaking development starts from the first 6 month of life. Baby who had delayed which intervened before 6 months old, when they are 3 years old will have normal language skill if compared with the baby who intervened after 6 months old. Purpose: To know the relationship direct breastfeeding by mothers and use pacifier with the speech development of baby aged 0-6 months. Methods: This study was observational with cross sectional approach. The sampling technique is using quota sampling, investigators identified to be met from the sampling of the population that met the criteria of 1 inclusion and exclusion. The measurement of speech development is done by using Early Language Milestone Scale-2 (ELMS-2). Data analysis technique is using Chi Square test. Results: Total respondents were 60 babies and the babies who had speech delay were 27 babies (45%). The respondent who got speech delay mostly the babies who use pacifier, there are 13 babies. Ρvalue 0.028 with the significance (α) 0.05, which means that there is a relationship significance between direct breastfeeding by mothers and use pacifier with Early Language Milestone Scale-2 (ELMS-2) assessment. Conclusion: There is a relationship direct breastfeeding by mothers and use pacifier with speech development of baby aged 0-6 months. Key Words: breastfeeding, pacifier, speech delay, ELMS-2. 1. PENDAHULUAN Kemampuan berbicara terbentuk melalui proses pemerolehan dari sejak dini. Gerak refleks merupakan kemampuan khusus yang dimiliki oleh bayi sejak lahir berupa pergerakan spontan yang aktif. Refleks primitif bayi akan dipergunakan sampai sepanjang kehidupan (long life refleks). Refleks ini merupakan gerakan involuntary/tidak terkontrol. Refleks digunakan untuk mendeteksi secara dini penyimpangan tumbuh kembang (Trisnowiyanto, 2012). Menurut Komnas Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT) Indonesia pada tahun 2011, prevalensi keterlambatan bicara diperkirakan sekitar 3–10% di seluruh dunia. Refleks Morro akan berangsur menghilang biasanya usia 5 bulan, sedangkan refleks yang berubah jadi terkendali adalah refleks rooting dan sucking. Fungsinya pun jadi berkembang, yaitu kemampuan untuk minum dan feeding. Dimana feeding mempunyai beberapa fungsi, yaitu kemampuan mengunyah dan menelan, serta hal yang tidak terlalu penting adalah kemampuan komunikasi. Refleks rooting merupakan refleks diamana bayi mencari puting susu ibu, sedangkan refleks sucking merupakan refleks menghisap yang muncul saat bayi minum ASI (nipple) maupun pacifier/dot. Setelah bayi berusia 1 bulan, tangisan atau suaranya mulai berbeda, namun masih dikategorikan dalam refleks. Kesan bunyi tangisan-tangisan bayi tersebut mirip dengan bunyi-bunyi vokal (oeee...ooaaa), yang disebut dengan suara refleks/Reflexive Vocalization. Pada usia 1,5 bulan, bayi mengeluarkan bunyi yang diulang-ulang tetapi ini masih tergolong refleks. 2 Bunyinya bermacam-macam (pa... ba... ga... en... na...), kemampuan tersebut berkembang sampai usia 5 bulan. Kombinasi bunyi yang sering diucapkan adalah konsonan dan vokal a. Pada usia 6 bulan, ocehan yang diperdengarkan sudah membentuk kombinasi konsonan (gub...gub...gup). Pada tahap ini, bayi telah memiliki feedback auditory (Pranindyo, 2009). Menyusui secara eksklusif didefinisikan sebagai pemberian Air Susu Ibu (ASI) saja tanpa makanan tambahan lainnya, seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih maupun makanan padat sejak bayi lahir hingga bayi usia 6 bulan baik melalui puting susu ibu ataupun melalui pacifier/dot (Sugiarti dkk, 2011). Penilaian Early Language Milestone Scale 2 (ELMS-2) pada 49 anak dengan keterlambatan bicara, anak berusia 1-36 bulan. Penelitian pada kelompok usia 1-12 bulan (6 anak), usia >12-24 bulan (24 anak) dan usia >24-36 bulan (19 anak), didapatkan hasil bahwa adanya keterlambatan dalam aspek auditory expressive, auditory receptive dan visual. ELMS-2 metode lulus/tidak lulus mendapatkan sensitivitas 97% (Martira dkk, 2007). 2. METODE Jenis penelitian ini menggunakan observasional dengan metode cross sectional. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 15 November sampai 15 Desember 2016 dilakukan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Wonogiri, dengan jumlah populasi 228 bayi, terdapat 60 bayi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan peneliti. Teknik pengambilan sampel dengan cara quota sampling, yaitu peneliti menentukan jumlah tertentu sebagai target yang harus dipenuhi dari pengambilan sampel dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (Susila dkk, 2014). Sampel penelitian ini adalah pasien bayi usia 0-6 bulan yang datang ke bagian Fisioterapi di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Wonogiri yang bersedia menjadi responden dalam penelitian yang memenuhi syarat kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria yang termasuk inklusi dam eksklusi, kriteria inklusi: Bayi yang perkembangannya 3 normal (mengukur dan bertanya kepada orangtua bayi) usia 0-6 bulan yang datang ke bagian Fisioterapi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Wonogiri, bayi yang menyusui langsung oleh ibu, menyusui langsung oleh ibu+pacifier, dan pacifier, bayi usia 0-6 bulan yang belum diberi Makanan Pendamping ASI (MPASI), bersedia menjadi responden dengan persetujuan orang tua bayi. Sedangkan kriteria eksklusi: bersedia menjadi responden namun tidak mengisi kuesioner dengan lengkap atau tidak melanjutkan penelitian, bayi prematur, bayi berkebutuhan khusus (Cerebral Palsy, Down Syndrome, dan lain-lain). Pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, memberikan penjelasan kepada responden tentang maksud dan tujuan penelitian ini. Penjelasan ini diberikan kepada orang tua yang bayinya menjadi sampel dalam penelitian ini. Kemudian melakukan penelitian dengan menggunakan kuesioner. Langkah pertama, responden yang bersedia sebagai sampel dimohon untuk mengisi dan menandatangani lembar “surat persetujuan menjadi responden”. Langkah kedua, peneliti melakukan wawancara untuk mengisi “kuesioner identitas responden”. Langkah ketiga, peneliti melakukan wawancara untuk mengisi “kuesioner menyusui langsung oleh ibu, menyusui langsung oleh ibu+pacifier atau menyusui menggunakan pacifier”. Langkah keempat, peneliti bertanya kepada orang tua bayi untuk melakukan penilaian perkembangan bicara dengan ELMS-2. Setelah dilakukan pengumpulan data, kemudian dilakukan analisis data, karena data berskala nominal di kedua variabel, tidak ada angka Fh<5, dan data berjumlah 20 responden untuk mengetahui hubungan menyusui langsung oleh ibu dan menggunakan pacifier dengan perkembangan bicara pada bayi usia 0-6 bulan menggunakan uji Chi Square dan untuk mengetahui ukuran asosiasi (hubungan) paparan (faktor risiko) dengan kejadian penyakit, dihitung dari angka kejadian penyakit pada kelompok berisiko (terpapar faktor risiko) dibanding angka kejadian pada kelompok yang tidak berisiko (tidak terpapar faktor risiko) menggunakan uji Odds Ratio (OR). 4 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan uji Chi Square diketahui bahwa nilai ρhitung sebesar 0,028 dibandingkan dengan significant (α) 0,05. Sehingga ρhitung<α, maka H0 ditolak dan dapat diartikan ada hubungan menyusui langsung oleh ibu dan menggunakan pacifier dengan perkembangan bicara pada bayi usia 0-6 bulan. Hasil Oods Ratio (OR) menunjukkan bahwa cara menyusui langsung oleh ibu lebih beresiko 0,29 kali terjadi keterlambatan bicara daripada menyusui menggunakan pacifier. Bayi yang menyusui langsung oleh ibu sekurangkurangnya lebih beresiko sebesar 0,09 kali lipat dapat mengalami keterlambatan bicara dan paling besar lebih beresiko sebesar 0,89 kali lipat dapat mengalami keterlambatan bicara. 3.1 Jenis Kelamin Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin sebagian besar adalah laki-laki berjumlah 32 bayi (53,3%), sedangkan perempuan berjumlah 28 bayi (46,7%). Hasil penelitian menyatakan bahwa sebagian besar laki-laki mengalami keterlambatan bicara berjumlah 14 bayi daripada perempuan berjumlah 13 bayi. Menurut Hartanto dkk (2011), jenis kelamin anak dengan keterlambatan bicara lebih banyak laki-laki (77,8%) dibandingkan perempuan, rasio laki-laki dibanding dengan perempuan mencapai 8:1. Hal ini didukung oleh Hidayat (2012), janin laki-laki terpapar testosteron 10 kali lebih banyak daripada perempuan ketika didalam kandungan. Hormon testosteron (seks) ini memiliki peran penting dalam proses perkembangan otak. 3.2 Usia Distribusi responden berdasarkan usia sebagian besar usia 4 bulan berjumlah 30 bayi (50%), sedangkan usia 5 bulan berjumlah 18 bayi (20%) dan distribusi usia 6 bulan jumlahnya paling sedikit, berjumlah 12 bayi (30%). Hasil penelitian menyatakan bahwa yang paling banyak mengalami keterlambatan bicara adalah usia 6 bulan berjumlah 10 bayi. Bayi usia 4 bulan mengalami keterlambatan bicara paling banyak pada item raspberry (menggetarkan bibir untuk membuat suara-suara untuk 5 bermain-main dengan suara tersebut), usia 5 bulan mengalami keterlambatan bicara paling banyak pada item mono babbling (ba..da..ga) dan mengucapkan kata mama atau dada secara tidak sengaja, sedangkan usia 6 bulan mengalami keterlambatan bicara paling banyak pada item polysylabic babbling (bababa...lalala). Menurut Pranindyo (2009), babbling terbentuk dari bunyi konsonan dan vokal yang disuarakan dengan durasi panjang, pendek maupun diulang-ulang. Kemampuan bunyi babbling yang pertama adalah /pa/ dan /ba/, sangat erat kaitannya dengan reflek menyusui. Sensasi sentuhan terhadap bibir atas dan bibir bawah secara tidak sengaja membentuk kombinasi /a/, sedangkan kombinasi /ga/ terbentuk dari gerakan menelan, /m/ terbentuk dari pertemuan bibir atas dan bibir bawah. Keterlambatan dalam babbling bisa dikarenakan kurangnya stimulasi dari orang sekitar, bayi dilatih untuk berbicara dengan intonasi naik turun dan ekspresif agar mudah dipahami. Babbling merupakan fondasi berbahasa, dimana bayi akan mentransformasikan suara atau kata-kata yang didengarnya untuk diselaraskan dengan kemampuan bicara. 3.3 Cara Menyusui Distribusi responden berdasarkan cara pemberian susu masingmasing berjumlah 20 bayi (33,3%) dengan menyusui langsung oleh ibu, menyusui langsung oleh ibu+pacifier maupun menyusui menggunakan pacifier. Hasil penelitian menyatakan bahwa yang paling banyak yang mengalami keterlambatan bicara adalah bayi yang menggunakan pacifier berjumlah 13 bayi. Bayi yang paling sedikit mengalami keterlambatan bicara adalah bayi yang menyusui langsung oleh ibu berjumlah 4 bayi. Menurut Sekartini dan Jeanne (2013) dalam artikel Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), bayi yang mendapat ASI kurang dari 3 bulan memiliki IQ yang lebih rendah dibanding bayi yang mendapat ASI 6 bulan atau lebih. Proses menyusui akan meningkatkan hubungan atau ikatan batin antara ibu dan anak. Ikatan batin sangat penting karena akan 6 menentukan perilaku anak di kemudian hari, menstimulasi perkembangan otak anak, serta merangsang kedekatan antara ibu dan anak. Dekapan ibu akan memenuhi kebutuhan emosi anak (asih) melalui kontak fisik (kontak kulit), psikis (kontak mata), suara, dan penciuman. Ibu mengajak berbicara dengan penuh kasih sayang, ini akan memenuhi stimulasi mental secara dini (asah) anak dan secara tidak langsung memenuhi kebutuhan psikologis ibu. Proses ini tidak terdapat pada bayi yang diberi pacifier. Hasil penelitian diatas tidak sesuai dengan pernyataan Yunanto (2013), penggunaan pacifier akan menenangkan bayi yang memunculkan rasa nyaman sama seperti ketika bayi menghisap ibu jari atau jari lainnya, selain itu pacifier juga digunakan untuk bayi yang dirawat di Neonatal Intensive Care Unit (NICU). Pacifier akan membantu memperkuat otot-otot mulut sehingga memudahkan untuk proses pemberian minum oral setelah sebelumnya menggunakan selang. Selain itu, penggunaan pacifier akan memperpendek masa rawat bayi di NICU, menurunkan resiko terjadinya Sudden Infant Death Syndrome/SIDS, yaitu kematian bayi secara mendadak dengan sebab yang tidak diketahui. 3.4 Penilaian Early Language Milestone Scale-2 (ELMS-2) Distribusi responden berdasarkan penilaian perkembangan bicara dengan menggunakan blangko Early Language Milestone Scale-2 (ELMS-2) sebagian besar responden tidak mengalami keterlambatan bicara berjumlah 33 bayi (55%), sedangkan responden yang mengalami keterlambatan bicara berjumlah 27 bayi (45%). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Rosalia dkk (2012), yang menyatakan bahwa angka kejadian keterlambatan bicara sebanyak 8,62% dari 148 anak, yaitu 13 anak. Resiko keterlambatan bicara meningkat apabila terdapat riwayat keluarga yang mengalami keterlambatan bicara. Menurut Martira dkk (2007), berbicara merupakan interaksi fisiologi komplek yang berkaitan dengan pernapasan, laring dan struktur oral. Secara umum dikatakan terlambat bicara jika perkembangan bicara anak 7 secara signifikan di bawah standar untuk anak normal dengan usia yang sama. Keterlambatan bicara pada anak dapat disebabkan oleh faktor lingkungan sosial anak, masalah sistem masukan/input, sistem pusat bicara, sistem produksi bicara dan penyakit. Menurut Judarwanto (2009), berbicara terjadi dalam 2 proses (proses sensoris dan motoris). Aspek sensoris meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa raba berfungsi untuk memahami apa yang didengar, dilihat, dan dirasa. Aspek motoris yaitu mengatur laring dan artikulasi yang berfungsi untuk mengeluarkan suara. Saat mendengar pembicaraan maka getaran udara yang ditimbulkan akan masuk dari telinga luar, terjadi getaran membran timpani, rangsangan diteruskan ke ketiga tulang kecil dalam telinga tengah ke telinga bagian dalam, reseptor sensoris (coclea) akan meneruskan rangsangan ke saraf VIII untuk diteruskan ke area wernick, kemudian dalam bentuk artikulasi diteruskan ke motoris di otak untuk mengontrol bicara. Selanjutnya pita suara terjadi getaran dibantu aliran udara dari paru-paru, sedangkan bunyi terbentuk oleh gerakan bibir, lidah, dan langit-langit. 4. PENUTUP Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka dapat ditarik kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara menyusui langsung oleh ibu dan menggunakan pacifier dengan perkembangan bicara pada bayi usia 0-6 bulan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Wonogiri. Saran-saran yang dapat diajukan berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah diperoleh: kepada orang tua responden hendaknya memberikan ASI eksklusif dan lebih memperhatikan perkembangan bicara bayinya, untuk selanjutnya diharapkan dilaksanakan penelitian yang lebih lama waktu dan lebih banyak sampel yang digunakan, serta meneliti secara langsung apa yang di katakan orang tua responden dan meneliti secara langsung kemampuan kognitif responden. 8 PERSANTUNAN Terimakasih kepada Agus Widodo, S.Fis., M.Fis selaku pembimbing penelitian, pihak Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian, dan semua responden yang telah bersedia menjadi subjek penelitian. DAFTAR PUSTAKA Hartanto F, Hendriani S, Zuhriah H, dan Saldi F. 2011. Pengaruh Perkembangan Bahasa Terhadap Perkembangan Kognitif Anak Usia 1-3 Tahun. Jurnal Sari Pediatri. Vol.12 No:6. April 2011. Hidayat D. 2012. Mengapa Anak Laki-Laki Lebih Lambat Bisa Bicara. Artikel Tempo. Jumat, 27 Januari 2012 jam 06:46 WIB. WEBMD News. Judarwanto W. 2009. Proses Mekanisme Bicara dan Bahasa (Proses Fisiologi Bicara). Artikel Childreen Speech Clinic Information Education Network. Yudhasmara Foundation. Martira M dan Soedjatmiko. 2007. Penilaian Early Language Milestone Scale 2 (ELM Scale 2) pada Anak dengan Keterlambatan Bicara. Jurnal Sari Pediatri. Vol.9. No:2. Agustus 2007. Pranindyo K. 2009. Wicara pada Usia Perkembangan dan Permasalahannya. Jakarta Selatan: Maibel Rosalia B, Soetjiningsih, dan Windiani T. 2012. Prevalensi dan Karakteristik Keterlambatan Bicara pada Anak Prasekolah di TPA Werdhi Kumara I dengan Early Language Milestone Scale-2. Jurnal Ilmu Kesehatan Anak. Vol I. No:1. Desember 2012. 12-17. Sekartini R dan Jeanne RT. 2013. Air Susu Ibu Dan Tumbuh Kembang Anak. Public Articles Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Indoensian Pediatric Society, Committed in Immproving The Health of Indonesian Children. Sugiarti E, Siti S, dan Susi DP. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif di Kecamatan Karangmalang, Kabupaten Sragen. Jurnal Kesehatan ISSN 1979-7621. Vol.4. No:2, Desember 2011. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Trisnowiyanto B. 2012. Instrumen Pemeriksaan Fisioterapi dan Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. Yunanto A. 2013. Masalah Penggunaan Dot pada Bayi. Public Articles Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 26 Agustus 2013. Indoensian Pediatric Society. Committed in Immproving The Health of Indonesian Children. 9