pembangunan manusia indonesia

advertisement
Indikator kenaikan pendapatan perkapita yang pada waktu lalu
menjadi ukuran utama keberhasilan pembangunan telah digugat
bukan saja oleh kalangan non-ekonom, tapi juga oleh para ekonom
sendiri yang melihat ketidak akuratan indikator tersebut dalam
mengukur keberhasilan pembangunan suatu masyarakat, yang
kemudian memunculkan beberapa alternatif dan pelengkap atas
indikator pendapatan per kapita tersebut.
Di antara indikator yang belakangan ini banyak digunakan adalah berkaitan dengan
unsur pembangunan manusia. Cynthia Taft Morris memunculkan indeks yang dikenal
dengan The Physical Quality of Live Index (PQLI), sedangkan United Nation Developmen
Program (UNDP) secara komprehensif mengajukan Human Development Index (HDI)
atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang kini banyak digunakan oleh negara-negara
di dunia. Dalam publikasi UNDP, pembangunan manusia didefinisikan sebagai ‘a process
of enlarging people’s choices, atau proses yang meningkatkan aspek kehidupan
masyarakat. Aspek terpenting kehidupan ini dilihat dari usia yang panjang dan hidup sehat,
tingkat pendidikan yang memadai dan standar hidup yang layak.
Secara spesifik UNDP menetapkan 4 elemen utama dalam pembangunan manusia,
yaitu produktivitas (productivity), pemerataan (equity), keberlanjutan (sustainability) dan
pemberdayaan (empowerment). Indonesia juga banyak memanfaatkan IPM ini untuk
melihat kemajuan nasional maupun daerah.
Bagi Indonesia, perhatian pada variabel Indeks Pembangunan Manusia ini sangat
penting karena : (1) Pembangunan pada hakekatnya merupakan pembangunan manusia itu
sendiri, sehingga aspek ini perlu mendapatkan prioritas anggaran (2) Pembangunan
manusia Indonesia saat ini masih sangat tertinggal dibanding banyak negara lain di dunia.
Laporan pembangunan manusia dari UNDP menyimpulkan Indeks Pembangunan Manusia
Indonesia tahun 1999 berada pada peringkat 105 dari 174 negara yang disurvei dan
merosot pada peringkat 110 dari 173 negara pada tahun 2002, sedangkan di tingkat
ASEAN-6, Indonesia menempati peringkat terendah. (3) Pengeluaran pemerintah yang
dapat berpengaruh pada kualitas Sumber Daya Manusia, yaitu untuk pendidikan dan
kesehatan porsinya sangat kecil (4) Umumnya kajian mengenai desentralisasi fiskal
mengabaikan dampaknya pada pembangunan manusia.
Anggaran pendidikan yang rendah tentu saja mempengaruhi kualitas pendidikan.
Pendidikan yang rendah tersebut akan berdampak pada kemampuan dan kreatifitas peserta
didik. Akibatnya penduduk yang telah mendapatkan pendidikan menengah dan tinggi
sekalipun tidak dapat siap bekerja di berbagai sektor pekerjaan. Persoalan lain menyangkut
pembangunan manusia adalah masalah kesehatan. Sektor kesehatan juga hanya mendapat
porsi yang minim dalam anggaran pembangunan pusat dan daerah. Berdasarkan HDI tahun
1999, kondisi kesehatan masyarakat Indonesia sangat buruk.
Dari perspektif ekonomi, globalisasi merupakan suatu
pengintegrasian ekonomi secara global. Dengan demikian, jika
globalisasi ekonomi terwujudnya dalam arti luas berarti tidak ada
lagi batas-batas negara dalam transaksi ekonomi. Lalu lintas
barang dan jasa menjadi bebas tanpa hambatan untuk berpindah
dari satu negara ke negara lain. Tidak ada lagu hambatanhambatan bisnis atau perdagangan internasional, baik itu tariff
barriers maupun non tariff barriers.
Kebebasan lalu lintas ekonomi global ini tergantung kerelaan masing-masing negara.
Apabila suatu negara menolak membuka pasarnya secara bebas maka dengan segala
konsekuensinya ia dapat menghindar atau menunda proses globalisasi ekonomi.
Secara teoritik, globalisasi ekonomi dengan makna keterbukaan dan persaingan bebas
ekonomi dianggap merupakan suatu solusi terbaik dalam hubungan ekonomi antar negara
dan memakmurkan umat manusia. Persaingan akan memaksa masing-masing pihak
mencari metode produksi yang paling efisien, sehingga total output akan meningkat yang
artinya kesejahteraan masyarakat akan meningkat.
Dengan demikian ada persyaratan yang diperlukan untuk mewujudkan kenaikan total
output tersebut. Syaratnya adalah kekuatan ekonomi negara-negara yang membuka diri
harus seimbang. Pada kenyataannya persyaratan ini tidak bisa terpenuhi saat ini. Oleh
karena itu sebelum ada kesetaraan kekuatan ekonomi antar negara harus ada pemberdayaan
ekonomi negara-negara yang relatif lemah sebelum siap berkompetisi secara global.
Artinya globalisasi ekonomi yang dilakukan secara frontal, dalam keadaan belum
terpenuhinya syarat globalisasi akan memakan korban negara berkembang (miskin) seperti
yang terjadi saat ini.
A. Proses Globalisasi Ekonomi Indonesia
Proses Globalisasi ekonomi ditandai dengan terjadinya transaksi antar negara (eksporimpor). Indonesia baru mulai menggencarkan perdagangannya tahun 1980an. Alasan
Indonesia memicu perdagangan luar negeri adalah jatuhnya harga minyak dunia yang
menyebabkan Indonesia tidak dapat mengandalkan devisa dari perdagangan minyak saja.
Menyusul upaya pemerintah melakukan diversifikasi ekspor non migas, Indonesia
mengambil keputusan untuk bergabung dengan berbagai organisasi perdagangan
internasional seperti APEC (1989), AFTA (1992) dan WTO/GATT (1996). Keikut sertaan
Indonesia ke dalam berbagai forum tersebut bukan saja berkaitan dengan masalah ekonomi
yang berorientasi pada globalisasi tetapi juga berkaitan dengan masalah tekanan politik.
Indonesia memiliki kekhawatiran besar jika tidak terlibat dalam globalisasi ekonomi,
sehingga dapat terasing dari perekonomian dunia.
Prinsip dan aturan perdagangan multilateral dalam GATT (General Agreement on
Tariff and Trade), pada dasarnya terdiri dari tiga hal pokok : pertama, prinsip resiprokal
atau timbal balik, artinya perlakuan yang diberikan suatu negara kepada negara lain harus
diimbangi pula dengan perlakuan yang sama dari negara lain ke mitra dagangnya. Kedua,
prinsip non diskriminasi atau perlakuan yang sama. Prinsip ini dikenal pula dengan sebutan
most favored nation (MFN) yang maknanya adalah apabila kita mengistimewakan suatu
negara maka keistimewaan tersebut harus kita berikan ke negara lain. Prinsip ketiga adalah
kejelasan dan keterbukaan. Artinya perlakuan dan kebijakan yang dilakukan suatu negara
harus transparan, jelas dan dapat diketahui mitra dagangnya.
B. Dampak Glonalisasi Ekonomi Bagi Indonesia
Keikutsertaan Indonesia dalam globalisasi ekonomi mungkin tidak berakibat buruk jika
Indonesia memang mampu secara cepat melakukan penyesuaian-penyesuaian ekonomi
sehingga perekonomian menjadi lebih efisien dan daya saingnya meningkat. Bahkan jika
siap, pasar Indonesia menjadi lebih luas yang akan mendorong kegairahan ekonomi
domestik.
Berdasar hasil perhitungan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia relatif
tinggi jauh di atas Singapura, Malaysia, Thailand atau Filipina. Penilaian ICOR tersebut
menggambarkan untuk memperoleh output yang sama kita membutuhkan input yang lebih
besar. Jadi jika pasar input juga bebas maka kita tidak dapat bersaing di pasar ASEAN
terlebih pasar dunia. Kita umumnya memiliki daya saing atas produk-produk primer atau
industri karena ditopang input yang murah seperti produk-produk yang bersifat padat karya
karena upah buruh murah.
Pukulan paling besar yang disebabkan oleh globalisasi ekonomi Indonesia diterima
oleh sektor jasa. Dengan berbagai proteksi selama ini saja sektor jasa sudah
‘menghapuskan’ surplus dari nilai perdagangan Indonesia, terlebih jika sektor jasa tidak
diproteksi akibat kesepakatan GATS (General Agreement on Trade and Services) yang
akan dilaksanakan secara bertahap. Meskipun neraca perdagangan Indonesia surplus,
namun dalam neraca berjalan (current account) defisit, sebagai akibat ekspor jasa yang
jauh lebih kecil daripada impornya sehingga ‘menyerap’ surplus pada neraca perdagangan
tersebut. Dengan globalisasi ada ancaman bahwa suatu negara tidak bisa lagi secara
ekonomi menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Gambaran tersebut melihat globalisasi
dari perspektif pesimistik.
Proses transmisi dan reformasi yang sedang berjalan, jika berhasil, akan membuat
dampak globalisasi yang lebih menguntungkan bagi kita. Globalisasi akan memberikan
akses pasar yang lebih luas bagi produk Indonesia di luar negeri yang hingga saat ini sulit
dimasuki karena berbagai proteksi. Proses reformasi ekonomi diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas dari setiap sumber daya yang digunakan. Ini akan
menimbulkan tingkat daya saing yang lebih tinggi sehingga akan lebih memudahkan
produk kita bersaing di pasar domestik maupun global. Makin banyak permintaan atas
produk nasional maka makin banyak permintaan tenaga kerja dan daya beli masyarakat,
artinya makin tinggi pula kemakmuran masyarakat.
Globalisasi tidak saja berdampak terhadap kondisi makro ekonomi, tetapi juga pada
perilaku masyarakat. Keterbukaan ekonomi mengakibatkan : pertama, makin ketatnya
persaingan antar individu yang memperkuat individualitas. Kedua, munculnya sifat
hedonisme yang membuat manusia selalu memaksa dirinya untuk mencapai kepuasan dan
kenikmatan pribadinya. Ketiga, sikap individualistis menimbulkan pula ketidakpedulian
antar sesama.
C. Resistensi Terhadap Globalisasi Ekonomi
Globalisasi ekonomi yang dianggap merugikan negara miskin dan berkembang
memicu berbagai gerakan untuk menentangnya. Awal 2004 gugatan sudah muncul dalam
tiga forum internasional. Gugatan terhadap globalisasi dan perangkatnya tidak hanya
datang dari negara berkembang, melainkan juga oleh negara yang berpendapatan
menengah atas seperti negara-negara Amerika Latin.
Secara teoritik memang perdagangan bebas dunia akan dapat mendorong terjadinya
peningkatan efisiensi melalui spesialisasi produk. Dalam perdagangan bebas dunia asumsi
yang selalu didengungkan adalah bahwa semua negara dan pelaku ekonomi akan
diuntungkan dari adanya keterbukaan ekonomi tersebut. Oleh karena itu berbagai
hambatan perdagangan, baik itu yang berupa tarif yang tinggi (tarif barrier) maupun yang
bukan tarif (non tariff barrier) seperti quota, larangan impor, lisensi dan sebagainya harus
diminimalkan atau dihilangkan. Melalui WTO dan berbagai lembaga internasional hal itu
selalu dijadikan tekanan untuk dilaksanakan.
Dalam realitas, pasar tidak bekerja seperti yang dinyatakan teori konvensional di atas.
Menurut Shipman (2002:61-98) tidak ada satu negarapun yang menjadi kaya melalui
terjadinya spesialisasi. Kekuatan-kekuatan besar yang dimiliki perusahaan raksasa dunia
yang mengendalikan pasar yang akan memberikan keuntungan pada mereka. Globalisasi
juga dikecam Shipman sebagai ‘Amerikanisasi’. Hal ini ditunjukkan dari menyebarnya
perusahaan pengecer Amerika seperti bank-bank dan restauran di seluruh dunia.
Dalam bukunya ‘The No-nonsens Guide to Globalization’ (2001) Wayne Ellwood,
mengecam globalisasi karena telah meningkatkan ketidakmerataan dan kemiskinan di
seluruh dunia. Hal ini terjadi karena pemerintah sudah kehilangan kemampuannya untuk
mengontrol strategi dan kebijakan pembangunannya. Oleh karena itu disarankan beberapa
langkah konkret untuk mengatasi hal tersebut. Langkah-langkah tersebut antara lain adalah
:
1. Meningkatkan partisipasi warga negara melalui perombakan IMF.
2. Mendirikan lembaga keuangan global yang baru
3. Menghargai alam (honor the earth)
A.
Kegagalan Ilmu Ekonomi Konvensional
Dunia sedang mengalami masalah besar pasca berkembang
pesatnya globalisasi ekonomi (pasar bebas). Ditengah arus kemajuan
ekonomi terselip tanda-tanda krisis global yang inheren dalam
kemajuan tersebut. Krisis tersebut meliputi makin parahnya
degradasi moral (spiritualitas), makin lebarnya ketimpangan sosial
ekonomi dan makin rusaknya sistem ekologis (lingkungan)
penyangga kehidupan bumi. Krisis-krisis tersebut tidak lain adalah
manifestasi kegagalan sistem ekonomi global dalam menyejahterakan manusia secara
berkeadilan dan berkelanjutan. Di sisi lain, krisis tersebut merupakan refleksi kegagalan
ilmu ekonomi konvensional yang menjadi pondasi berkembangnya sistem ekonomi
global.
Ilmu ekonomi yang mengedepankan pandangan rasionalisme, kompetitivisme, self
interest, orientasi pertumbuhan dan profit maximization ini telah mendorong perebutan
penguasaan sumber daya yang berujung pada eksploitasi satu negara terhadap negara lain
beserta kekayaan alam (lingkungan)nya. Ilmu ini makin bias pada (kepentingan) negara
maju (kaya) yang lebih memfokuskan perhatian pada ekonomi modern (usaha besar)
sehingga mengabaikan perhatian pada pemecahan masalah-masalah riil yang dihadapi
pelaku ekonomi rakyat. Bahkan teori-teori tentang ekonomi rakyat tidak dikembangkan
karena asumsi pelaku produksi hanyalah perusahaan (besar). Ilmu ekonomi inipun
dikembangkan secara positivistik, sehingga mengabaikan faktor-faktor kelembagaan sosial
budaya dan nilai-nilai kerja sama, kebersamaan dan moralitas/etika lokal yang dimiliki
ekonomi rakyat. Jelas ilmu ekonomi seperti ini makin tidak cocok untuk dikembangkan
dan diterapkan di negra sedang berkembang seperti Indonesia.
B. Kebutuhan Ilmu Ekonomi Alternatif
Berbagai kritik mendasar terhadap ilmu ekonomi konvensional makin menunjukkan
kebutuhan akan adanya ilmu ekonomi alternatif. Kebutuhan inipun telah dirasakan oleh
pakar-pakar ekonomi di negara maju (Barat). Ini berkaitan dengan ditawarkannya mata
kuliah pengantar ekonomi alternatif di fakultas ekonomi terkemuka di dunia, seperti di
Harvard University. Asumsi dasar pengajaran ini bertolak belakang dengan yang diajarkan
oleh ekonomi neo-klasik. Dengan menggunakan pendekatan psikologi, para ekonom ini
menolak konsep homoekonomikus, yang selalu menganggap manusia bertindak rasional.
Letupan-letupan ketidakpuasan pada para ekonom konvensional itu, kemudian
memunculkan berbagai konsep ilmu ekonomi alternatif, seperti Ekonomi kelembagaan
(Kenneth Building), Ekonomika Strukturalis (Raul Prebisch), serta Ekonomi Islami yang
digali oleh ekonom-ekonom muslim. Di Indonesia sejak awal 1980-an ketidakpuasan atas
teori ekonomi konvensional itu sudah diwacanakan oleh Prof. Mubyarto dan kini
dikembangkan melalui PUSTEP (Pusat Studi Ekonomi Pancasila) UGM.
C. Perlunya Ilmu Ekonomi Pancasila
Ilmu ekonomi Pancasila adalah ilmu ekonomi kelembagaan (institutional economics)
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelembagaan Pancasila sebagai ideologi negara, yang
ke-5 silanya secara utuh maupun sendiri-sendiri menjadi rujukan setiap pelaku ekonomi
orang Indonesia. Ekonomi Pancasila merupakan ilmu ekonomi yang khas (berjati diri)
Indonesia yang digali dan dikembangkan berdasar kehidupan ekonomi riil (real-life
economy) rakyat Indonesia. Ilmu ekonomi Pancasila mengacu pada sila-sila dalam
Pancasila yang terwujud dalam lima landasan ekonomi yaitu ekonomi moralistik (berKetuhanan), ekonomi kemanusiaan, nasionalisme ekonomi, demokrasi ekonomi (ekonomi
kerakyatan) dan diarahkan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Secara komprehensif Dawam Rahardjo menguraikan perlunya pengembangan ilmu
ekonnomi Pancasila, yaitu : Pertama, untuk mengembangkan lebih lanjut pemikiranpemikiran di sekitar Ekonomi Pancasila yang telah dirintis oleh Emil Salim sebagai sistem
dan di populerkan sebagai teori/ilmu oleh Mubyarto. Kedua, untuk melakukan sosialisasi
gagasan, baik ke lingkungan akademis, lingkungan biokrasi dan politik, maupun
masyarakat pada umumnya, dengan tujuan agar nalar ekomoni Pancasila dipakai sebagai
pedoman pengembangan ilmu ekonomi baru atau alternafit, dan agar lebih diterima dan
diterapkan dalam praktek pembangunan dan usaha. Ketiga, untuk menjawab kritik,
keraguan, atau skeptisme terhadap gagasan ekonomi Pancasila. Keempat, untuk
menerapkan nalar ekonomi Pancasila dalam menanggapi persoalan-persoalan ekonomi dan
pembangunan, khususnya dalam menanggulani krisis. Kelima, melakukan reformasi
terhadap sistem ekonomi dan perekonomian Indonesia. Keenam, menanggapi
perkembangan pemikiran neo-liberalisme dan globalisasi. Ketujuh, ikut memberikan
jawaban terhadap persepsi mengenai krisis ilmu ekonomi konvensional dan relevansi ilmu
ekonomi. Kedelapan, menyediakan bahan pengajaran ilmu ekonomi yang berdasarkan
kerangka teori ekonomi Pancasila, yang berbeda dengan dan merupakan alternatif terhadap
teori ekonomi konvensional.
D. Filasafat Ilmu Ekonomi Pancasila
Tiga landasan filsafat ilmu ekonomi Pancasila yang sesuai dengan prosedur untuk
mendapatkan legitimasi ilmiah yaitu meliputi aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi adalah wacana mengenai keperiadaan, epistemologi merupakan cara pemahaman
atau metode penelitian dan kajian, sedangkan aksiologi adalah pembahasan mengenai nilai,
khususnya nilai guna, sebagaimana dicerminkan oleh tujuan (aim, goal, dan visi), hasil
atau output dari suatu proses, dalam pelaksanaan Sistem Ekonomi Pancasila.
Ekonomi Pancasila sebenarnya merupakan istilah dan pengetahuan yang relatif baru
dan hingga kini masih dalam proses pengkajian dan uji coba (eksperimen). Dengan
demikian maka ekonomi Pancasila adalah sebuah gagasan yang masih harus
diperjuangkan, tidak saja melalui kajian dan pengajaran tetapi juga melaui praktek dan
bahkan gerakan.
RANGKUMAN
Sistem ekonomi adalah cara sebuah negara untuk mengatur jenis produk yang
dihasilkan, menghasilkan barang itu dan bagaimana barang tersebut didistribusikan kepada
masyarakat. Penentuan sistem ekonomi tidak dapat dilepaskan dari ideologi yang diyakini
oleh negara. Pada dasarnya kita dapat membaginya menjadi dua titik ekstrim, yaitu Sistem
Ekonomi kapitalis dan Sistem Ekonomi Sosialis.
Kebijakan pemerintah dalam membangun pertanian bertumpu pada tiga pilar utama,
yaitu kebijakan harga (harga pangan murah), kebijakan pemasaran, kebijakan struktural
dan kebijakan yang terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan. Kebijakan ini
belum sepenuhnya mampu memecahkan masalah struktural pertanian yang terkait
intensifnya liberalisasi pertanian yang merugikan petani dalam negeri. Liberalisasi
pertanian meliputi pengurangan dukungan domestik, pengurangan subsidi ekspor dan
perluasan akses pasar.
APBN yang berfungsi sebagai sarana peningkatan kesejahteraan rakyat seharusnya
dapat menekankan pada fungsi turunannya sebagai instrumen pemerataan (redistribusi)
pendapatan dan kekayaan. Dalam hal ini kebijakan anggaran mengatur dan memastikan
terjadinya aliran dana (anggaran) dari kelompok masyarakat mampu ke kelompok rakyat
kecil yang miskin, bukan sebaliknya. Kedua instrumen yang terkait secara spesifik dengan
fungsi ini adalah pajak di sisi penerimaan dan subsidi di sisi pengeluaran pemerintah.
Investasi mempunyai dua peran penting dalam makro ekonomi. Pertama, pengaruhnya
terhadap permintaan agregat yang akan mendorong meningkatnya output dan kesempatan
kerja. Kedua efeknya terhadap pembentukan kapital. Konsep bangun usaha yang berjiwa
koperasi disebut sebagai Tripel-Co, yaitu co-ownership (pemilikan bersama), codeterminant (penentuan bersama) dan co-responsibility (tanggung jawab bersama).
Selama ini pola kebijakan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan yang telah
dilakukan masih mengandung beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi secara mendasar
melalui perubahan paradikma. Jika selama ini program kengentasan kemiskinan dilakukan
secara terpusat maka sudah seharusnya diubah menjadi bottom up. Pola pikir ekonomi
yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi diubah menjadi tindakan ekonomi yang
didasarkan pada moral dan etika.
Beberapa masalah mendasar yang dihadapi pemerintah daerah yang terkait dengan
kurangnya sumber daya keuangan adalah : fiscal gap kualitas pelayanan publik yang masih
memprihatinkan, rendahnya kualitas sarana dan prasarana, DAU dari pemerintah pusat
yang tidak mencukupi dan belum diketahui potensi PAD yang mendekati kondisi riil.
Deregulasi perdagangan yang ditetapkan pemerintah pada tahun 1980-an mendorong
terjadinya globalisasi ekonomi di Indonesia. Masuknya modal asing secara besar-besaran
dan berkurangnya hambatan perdagangan membuat Indonesia terbuka pada globalisasi.
Selain itu, Indonesia juga terlibat dengan berbagai perjanjian ekonomi yang mendukung
globalisasi.
Download