BAB VI KESIMPULAN Upaya menegakkan kesetaraan gender di Sri Lanka telah dilakukan oleh berbagai pihak, salah satunya adalah UNDP. Program yang dilakukan oleh organisasi internasional tersebut bukan tanpa hambatan. Tesis ini mencoba mempelajari faktor-faktor penghambat tersebut. Beberapa hal yang dapat menjadi acuan dalam memahami sulitnya UNDP dalam menyetarakan gender di Sri Lanka adalah adanya konflik separatis, kurangnya dukungan pemerintah, serta budaya patriaki. Penjelasan tersebut dapat dipahami dalam beberapa poin berikut: Pertama, Konflik separatis etnis Tamil terutama LTTE telah menghambat berbagai upaya yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun organisasi internasional. Dengan adanya situasi yang tidak aman dan berkepanjangan, program-program UNDP sulit dilaksanakan. Kedua, Kurangnya komitmen pemerintah telah menyulitkan pelaksanaan program kesetaraan gender. Pemerintah tidak membuat payung hukum yang jelas terhadap perempuan terutama undang-undang yang mengatur jumlah partisipasi perempuan dalam politik. Hal ini berkaitan dengan sikap politik pemerintah yang enggan dalam mendukung dan mengeluarkan kebijakan tentang kesetaraan gender. Kondisi ini menyebabkan seringnya perempuan menghadapi kendala terutama di tengah kepercayaan masyarakat/publik. Dalam bidang politik, perempuan kemudian sering mendapatkan intimidasi. Ketiga, Berkaitan dengan poin dua, budaya patriaki telah mengakar pada sisi sosiokultural masyarakat Sri Lanka. Ajaran agama – terutama Budha dan Hindu – yang dipahami mayoritas masyarakat membuahkan keutamaan bagi kaum laki-laki di atas perempuan. Kuatnya ajaran ini telah masuk pada tataran adat istiadat atau budaya patriaki. Dalam tataran tertentu, semangat kepemimpinan jarang muncul dari kaum perempuan. Pola pikir perempuan cenderung ‘taken for granted’ atas budaya yang mengunggulkan kaum Adam. Berangkat dari ketiga hambatan tersebut, studi ini menggarisbawahi beberapa hal. Pertama, suatu rezim atau organisasi internasional tidak bisa memaksimalkan tujuannya di suatu negara ketiga negara tersebut dalam keadaan tidak stabil serta kurangnya dukungan dari pemerintah. Dalam suasana konfliktual, UNDP akan selalu menghadapi kendala. Sudah menjadi paradigma umum bahwa kondisi yang tidak aman akan menghambat setiap tindakan/kebijakan tanpa terlebih menyelesaikan konflik tersebut. selain itu, UNDP mengalami hambatan karena di satu sisi organisasi ini harus berjalan pada pihak otoritas pemerintahan, namun di sisi lain gerakan LTTE juga dinilai sebagai perjuangan hak gender di negara tersebut. Hal ini menyulitkan UNDP untuk melakukan setiap pendekatan dalam mencapai program MDGs terutama dalam misi “Empowering Women”. Kedua, Dalam menghadapi kondisi masyarakat yang ada, UNDP perlu menitik beratkan pada budaya yang ada. Dengan memahami bahwa budaya patriaki telah mengakar pada setiap sendi masyarakat, penelitian ini menyimpulkan suatu proposisi bahwa UNDP perlu menggalakkan program-program yang dapat menghilangkan animo ‘pengesampingan perempuan’. Program semacam WLDP terkesan sepihak hanya bagi perempuan dalam peningkatan persepsi kesetaraan. Sementara sistem patriarki masih sangat kental di masyarakat. Untuk itu, program yang langsung menjurus pada penghapusan patriarki perlu digalakkan. Ini ditujukan untuk meningkatkan pemahaman akan kesetaraan gender bagi masyarakat yang lebih luas terutama juga bagi kaum laki-laki agar lebih seimbang. Sebagaimana konsep orientasi dominasi sosial – yang merupakan komponen psikologis – pemahaman masyarakat perlu dibangun secara seimbang untuk mengurangi budaya hierarkis dalam masyarakat.