METODE PENELITIAN KUALITATIF SEMIOTIKA (1) Fakultas Program Studi ILMU KOMUNIKASI HUBUNGAN MASYARAKAT Tatap Muka 12 Kode MK Disusun Oleh 85001 Dr. Dadan Anugrah, M.Si. Abstract Kompetensi Semiotik menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi dalam teori komunikasi. Tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. Semiotik bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan. Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami: 1. Pengertian semiotika 2. Pengertian tanda 3. Macam-macam semiotika MODUL 12 SEMIOTIKA (1) A. PENGERTIAN Meskipun tergolong masih “muda”, kajian-kajian komunikiasi semakin hari-semakin beragam. Ilmu komunikasi sebagaimana dikatakan para pakar sebagai jalan simpang di antara ilmu-ilmu lain. Sifat eklektif ilmu komunikasi sebagaimana dikatakan Schramm (1980) sebagai ”jalan simpang paling ramai dengan segala disiplin yang melintasinya”. Schramm mengumpamakan ilmu komunikasi sebagai suatu oasis yang merupakan persimpangan jalan, tempat bertemunya berbagai ilmu (musafir) yang tengah dalam perjalanan menuju tujuan ilmunya masing-masing. Eklektisme komunikasi pun dapat dilihat pada konsepkonsep komunikasi yang terus berkembang saat ini. Fisher (1984) misalnya, mengemukakan empat perspektif komunikasi, yaitu perspektif mekanistis, perspektif psikologis, perspektif interaksional, dan perspektif pragmatis (Alex Sobur, 2003:68). Perkembangan pola pikir manusia merupakan sebuah bentuk perkembangan yang mendasari terbentuknya suatu pemahaman yang merujuk pada terbentuknya sebuah makna. Apabila kita amati, kehidupan kita saat ini tidak pernah terlepas dari makna, persepsi, atau pemahaman terhadap apapun yang kita lihat. Sekarang kita lihat benda-benda yang ada di sekeliling kita. Sering sekali kita tanpa memikirkan bentuk dan wujud benda tersebut kita sudah bisa mengetahui apa nama dari benda itu. Ketika kita mengendarai sepeda motor atau mobil di jalan raya, maka kita bisa memaknai setiap bentuk tanda lalu lintas yang bertebaran di jalan raya, seperti traffic light misalnya, atau tanda “Dilarang Parkir” dan lain sebagainya. Pernahkah terlintas dalam benak kita sebuah pertanyaan “mengapa tanda ini dimaknai begini? Mengapa simbol itu dimaknai sedemikian rupa”. Kajian keilmuan yang meneliti mengenai simbol atau tanda dan konstruksi makna yang terkandung dalam tanda tersebut dinamakan dengan Semiotik. ‘13 2 PANCASILA Dr. Dadan Anugrah, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Semiotik menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi dalam teori komunikasi. Tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. (Littlejohn, 2009 : 53). Semiotik bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan. Konsep pemaknaan ini tidak terlepas dari perspektif atau nilai-nilai ideologis tertentu serta konsep kultural yang menjadi ranah pemikiran masyarakat di mana simbol tersebut diciptakan. Kode kultural yang menjadi salah satu faktor konstruksi makna dalam sebuah simbol menjadi aspek yang penting untuk mengetahui konstruksi pesan dalam tanda tersebut. Konstruksi makna yang terbentuk inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya ideologi dalam sebuah tanda. Sebagai salah satu kajian pemikiran dalam cultural studies, semiotik tentunya melihat bagaimana budaya menjadi landasan pemikiran dari pembentukan makna dalam suatu tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. (Kriyantono, 2007 : 261). Menurut Alex Sobur (2001:95), secara etimologis, istilah “semiotic” berasal dari Bahasa Yunani “semeion” yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Pengertian semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Menurut Eco, semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang berhubungan dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Menurut Eco, ada sembilan belas bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian untuk semiotik, yaitu semiotik binatang, semiotik tanda-tanda bauan, komunikasi rabaan, kode-kode cecapan, paralinguistik, semiotik medis, kinesik dan proksemik, kode-kode musik, bahasa yang diformalkan, bahasa tertulis, alfabet tak dikenal, kode rahasia, bahasa alam, komunikasi visual, sistem objek, dan sebagainya Semiotika di bidang komunikasi pun juga tidak terbatas, misalnya saja bisa mengambil objek penelitian, seperti pemberitaan di media ‘13 3 PANCASILA Dr. Dadan Anugrah, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id massa, komunikasi periklanan, tanda-tanda nonverbal, film, komik kartun, dan sastra sampai kepada musik. Berkenaan dengan hal tersebut, analisis semiotik merupakan upaya untuk mempelajari linguistik-bahasa dan lebih luas dari hal tersebut adalah semua perilaku manusia yang membawa makna atau fungsi sebagai tanda. Bahasamerupakan bagian linguistik, dan linguistik merupakan bagian dari obyek yang dikaji dalam semiologi. Selain bahasa yang merupakan representasi terhadap obyek tertentu, pemikiran tertentu atau makna tertentu, obyek semiotika juga mempelajari pada masalah-masalah non linguistik. Salah seorang sarjana yang secara konservatif menjabarkan teori De de Saussure ialah RolandBarthes (1915 – 1980). Ia menerapkan model Ferdinand De Saussure dalam penelitiannya tentang karya -karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian. Bagi Barthes komponen – komponen tanda penanda – petanda terdapat juga pada tanda -tanda bukan bahasa antara lainterdapat pada bentuk mite yakni keseluruhan si stem citra dan kepercayaan yang dibentukmasyarakat untuk memp-ertahankan dan menonjolkan identitasnya (de Saussure,1988). Selanjutnya Barthes (1957 dalam de Saussure) menggunakan teori signifiant –signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabaha sa dan konotasi. Istilah signifiant menjadi ekspresi (E) dan signifie menjadi isi (C). Namun Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) tertentu, sehingga membentuk tanda ( sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda lebih mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda. Menurut Barthes, ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga ada lebih dari satu dengan isi yang sama. Pengem-bangan ini disebut sebagai gejala meta -bahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman (synonymy). Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal dengan dengan istilah denotasi dan oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian pengembangan -nya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder ke arah ekspresi dise but metabahasa. Sistem sekunder ke arah isi disebut konotasi yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep konotasi ini ‘13 4 PANCASILA Dr. Dadan Anugrah, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id tentunya didasari tidak hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh paham pragmatik yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya. Para pakar memberikian pengertian semiotika yang berbeda-beda, meskioun untuk konteks yang sama, di antaranya: 1. Charles Morris, Semiotika menambahkan bahwa hubungan tanda-tanda untuk designata mereka dan benda-benda yang memungkinkan atau acara; dan, penawaran pragmatik dengan aspek biotik dari semiosis, yaitu dengan semua fenomena psikologis, biologis, dan sosiologis yang terjadi dalam tanda-tanda fungsi. 2. Menurut Eco Semiotika macam acara, benda, seluruh budaya sebgai tanda. Tanda didefinisikan sebagai apa pun di atas konvensi sosial dasar yang sebelumnya masuk, dapat dianggap memiliki sesuatu yang sangat berbeda. 3. Alex Sobur mengatakan secara etimologis, Semiotika berasal dari istilah Yunani “Semion” yang berarti “tanda” .Tanda sendiri didefinisikan sebagai sebuah konvensi sosial atas dasar dimasukkan sebelumnya, dapat dianggap memiliki sesuatu yang lain. 4. Van Zoest (dalam Rahayu S. Hidayat), menjelaskan bahwa semiotika meneliti tanda, penggunaan tanda-tanda, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tanda. Berbicara tentang kegunaan semiotika tidak dapat dipisahkan dari pragamatik, yaitu untuk mengetahui apa yang harus dilakukan dengan tanda, apa reaksi manusia ketika berhadapan dengan tanda. 5. Menurut Ferdinand De Saussure dan Charles Sanders Pierce, Semiotika sebagai metode untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk melihat berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Semiotika sering dipandang memiliki dimensi antropologis penting; misalnya, Umberto Eco mengusulkan bahwa setiap fenomena budaya dapat ‘13 5 PANCASILA Dr. Dadan Anugrah, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dipelajari sebagai komunikasi. Namun, beberapa ahli semiotik fokus pada dimensi logis dari ilmu pengetahuan. Mereka juga menguji area untuk ilmu kehidupan – seperti bagaimana membuat prediksi tentang organisme, dan beradaptasi, semiotik relung mereka di dunia (lihat semiosis). Secara umum, teori-teori semiotik mengambil tandatanda atau sistem tanda sebagai objek studi mereka: komunikasi informasi dalam organisme hidup tercakup dalam biosemiotik (termasuk zoosemiotik). B. KARAKTERISTIK TANDA ( ARBITRER ) Bahasa, dalam perspektif semiotika hanyalah salah satu sistem tandatanda (system of signs). Dalam wujudnya sebagai suatu sistem, pertama-tama, bahasa adalah sebuah institusi sosial otonom, yang keberadaannya terlepas dari individu-individu pemakainya. Bahasa merupakan seperangkat konvensi sistematis, produk dari kontrak kolektif, yang bersifat memaksa. Saussere (dalam Kris Budiman 2011: 66 ) menyebutnya sebagai lengue. Kedua, bahasa tersusun dari tanda-tanda, yakni entitas fisik, yang di dalam bahasa lisan berupa citra-bunyi (sound image), yang berelasi dengan konsep tertentu. Selanjutnya, Saussere menamakan entitas material-sensoris ini sebagai penanda (signifier atau signifiant) dan konsep yang berkait dengannya sebagai petanda (signified atau signifie). Masih menurut Saussure, tanda-tanda, khususnya tanda-tanda kebahasaan, setidak-tidaknya memiliki dua buah karakteristik primordial, yakni bersifat linear dan arbitrer. Karakteristik pertama, linearitas penanda (linear nature of the signifier), berkaitan dengan dimensi kewaktuannya. Penanda-penanda kebahasaan harus diproduksi secara beruntun, satu demi satu, tidak mungkin secara sekaligus atau simultan. Artinya, penanda tersebut bersifat linier karena "pendengaran penanda memiliki perintah mereka hanya dimensi waktu." Ini "merupakan sejengkal, dan rentang yang dapat diukur dalam dimensi tunggal" - yaitu waktu. Saussure says that linguistic signs are by nature linear, because they represent a span in a single dimension. Auditory signifiers are linear, because they succeed each other or form a chain. Visual signifiers, in contrast, may be grouped simultaneously in ‘13 6 PANCASILA Dr. Dadan Anugrah, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id several dimensions (tanda-tanda linguistik secara alami linear, karena mereka mewakili rentang dalam dimensi tunggal. Penanda pendengaran adalah linear, karena mereka berhasil satu sama lain atau membentuk rantai. Penanda visual, sebaliknya, dapat dikelompokkan secara bersamaan dalam beberapa dimensi). Karakteristik kedua, kearbitreran tanda (the arbitrary nature of the signs), bersangkutan dengan relasi di antara penanda dan petanda yang “semenamena” atau “tanpa alasan”—tak bermotivasi (unmotivated). Relasi di antara penanda dan petanda adalah semata-mata berdasarkan konvensi (Kris Budiman 2011, 66). Selanjutnya Seassure di kesempatan yang lain mengatakan bahwa bahasa lisan mencakup komunikasi konsep melalui suara-gambar dari pembicara ke pendengar. Bahasa adalah produk komunikasi pembicara dari tanda-tanda untuk pendengar. Tanda linguistik adalah kombinasi dari konsep dan suara-gambar. Konsepnya adalah apa yang ditandakan, dan suara-gambar penanda. Kombinasi signifier dan signified adalah sewenang-wenang, yaitu, suara apapun citra dibayangkan dapat digunakan untuk menandakan sebuah konsep tertentu. Namun, terkadang ada perubahan-perubahan dalam hubungan signifier dan signified dan perubahan tanda-tanda linguistik berasal dari perubahan kegiatan sosial. Tanda-tanda arbitrer disebut secara khusus oleh Pierce, sebagai simbol (symbol) (Kris Budiman 2011: 66). Oleh karena itu, dalam terminologi Pierce, bahasa dapat dikatakan juga sebagai sistem simbol lantaran tanda-tanda yang membentuknya bersifat arbitrer dan konvensional. Misalnya, Hewan yang menggonggong dikatakan anjing oleh orang Indonesia dan dog oleh Inggris. Masing-masing bangsa itu sungguh “semena-mena” dalam menamakan hewan yang menggonggong tadi. Di dalam tatanan budaya itu ‘bermacam area kehidupan sosial terlihat dipetakan ke dalam wilayah diskursif, wilayah itu secara hierarkis terorganisasi menjadi pemaknaanpemaknaan yang dominan atau yang disukai’. Karena tatanan budaya itu tidak tunggal dan bukannya tidak dipersoalkan, maka pemaknaan yang disukai menjadi bisa dijamin. Tapi karena tatanan itu dominan, maka tatanan itu pastilah mendukung suatu keseimbangan probabilitas, sebab tatanan itu menguntungkan bagi beberapa pembacaan- ‘13 7 PANCASILA Dr. Dadan Anugrah, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id pembacaan yang bersifat pribadi varian. Seperti contoh di atas jika kata anjing disepakati oleh masyarakat internasional untuk menamakan hewan menggonggong, maka akan kesulitan bagi mereka yang sulit mengucapkan kata anjing. Jadi ada kesewenang-wenangan dalam memaknai dan menamai tanda gonggong itu dimiliki oleh anjing bagi orang Indonesia, begitu juga di seluruh dunia yang tidak sama menamai hewan menggonggong. Tetapi “perspektif selektif” hampir tidak pernah secara seselektif, seacak, dan sepribadi apa yang dikatakan oleh konsepnya. Namun, dalam masalah peristilahan ini pula kemudian timbul kesengkarutan karena Saussure dan Pierce ternyata menggunakan satu istilah yang sama untuk menunjuk kepada konsep yang sama sekali bertolak-belakang. Menurut terminologi Pierce, simbol adalah tanda arbitrer, sementara Saussure sebaliknya, dan mengatakan bahwa simbol adalah tanda-tanda yang tidak sepenuhnya arbitrer. Kerancuan ini dapat menjadi pelajaran bagi siapa saja yang belajar semiotika agar senantiasa waspada dan tidak sembrono dengan terminologi dan konsep-konsep karena nyaris setiap pemikir dan “selebriti” semiotika menggunakan istilah yang sama atau hampir sama, namun pengertiannya bisa berbeda sama sekali. Akan tetapi terlepas dari kerancuan konseptual tersebut, boleh dikatakan bahwa hampir sepanjang riwayatnya linguistik dan semiotika terlampau menekankan pada konvensionalitas atau kearbitreran tanda sehingga kerap mengabaikan karakteristik tanda yang sebaliknya—seolah-olah bahasa tidak mungkin berkarakteristik ikonitas menurut Saussure yang menurut Pierce menaruh perhatiannya terhadap masalah ikonitas. Begitu peliknya masalah yang dihadapi dalam artikulasi serat memaknai tanda-tanda menurut Saussure dan Pierce. Meskipun keduanya hidup bersamaan di zamannya, namun mereka tidak pernah saling kenal dan bertemu. Akan tetapi para murid-muridnya mencoba merangkum apa yang dimaksudkan oleh Saussure dengan linguistik dan Pierce mengatakan dengan nama lain dari semiotika adalah Logika atau permainan logika. Perkembangan yang semakin menunjukkan eksitensi tentang semiotika berkaitan dengan pemaknaan tanda. Kami akan mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan ikon dan ikonitas yang merupakan tanda-tanda non-atbitrer menurut Pierce. ‘13 8 PANCASILA Dr. Dadan Anugrah, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Ikon dan Ikonisitas Bagi Pierce, ikon termasuk dalam tipologi tanda pada trikotomi kedua. Ikon merupakan sebutan bagi tanda yang non-arbitrer (bermotivasi). Menurut Pierce, Ikon adalah hubungan antara tanda dan objeknya atau acuan yang bersifat kemiripan (Sobur, 2004:41). Dia menyatakan bahwa ikon adalah tanda yang memiliki kemiripan/similaritas dengan objeknya (Budiman, 2005:45). Ikon, jika ia berupa hubungan kemiripan (Nurgiyantoro, 1995:45). Ikon merupakan tanda yang didasarkan oleh adanya similaritas (similarity) atau “keserupaan” (resemblance) di antara kedua kolerat tersebut (Budiman 2011: 69). Jenis tanda yang didasari resemblance itu adalah tanda ikonis dan gejalanya dapat disebut sebagai ikonisitas. Ikonisitas merupakan salah satu gejala yang tidak kurang penting di dalam semiotika. Padahal, berbagai tanda ikonis berserakan di sekitar kita dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: gambar wajah Dian Sastro tersenyum manja dengan bibir merah basah merekah sedikit terbuka dalam bungkus sabun, wajah Hitler pada kaos kita, atau gambar group band Peterpan dalam poster (ketiganya adalah ikon Images). Betapa terpolusinya kehidupan kita dengan tanda ikonis, tetapi kadang tidak terpikirkan. Di dalam bahasa, kita menemukan kata onomatope sebagai tanda ikonis, misalnya kata ku ku ru yuk yang mengacu pada objek suara yang diacunya, yaitu Ayam Jago. Selain itu, kata dangdut yang juga mengacu pada objek suara yang diacunya. suatu tanda, atau representamen, merupakan sesuatu yang menggantikan sesuatu bagi seseorang dalam beberapa hal atau kapasitas. Ia tertuju kepada seseorang, artinya di dalam benak orang itu tercipta suatu tanda lain yang ekuivalen, atau mungkin suatu tanda yang lebih terkembang. Tanda yang tercipta itu saya sebut sebagai interpretan dari tanda yang pertama. Tanda yang menggantikan sesuatu, yaitu objeknya, tidak dalam segala hal, melainkan dalam rujukannya pada sejumput gagasan, yang kadang saya sebut sebagai latar dari representamen (Budiman, 2011: 73). Pierce, menyusun tipe ikon secara triparit. Yang mana karakteritik arbitrer dan konvesional itu hanya terdapat pada salah satu sub-tipe tanda yang dinamakannya sebagai simbol (Budiman, 2011: 69). Tipe-tipe ikon itu misalnya, ikon image, ikon diagram, dan ikon metaforis. Ikon metafora (metaphor) merupakan suatu meta-tanda (metasign) yang ikonisitasnya berdasarkan pada ‘13 9 PANCASILA Dr. Dadan Anugrah, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id kemiripan atau similaritas di antara objek-objek dari dua tanda simbolis. Biasanya berupa hubungan similaritas relasi abstrak seperti kemiripan sifat. Contoh ikon metafora : Metafora “Kaki Gunung” dapat dihasilkan dengan mempersamakan objek yang berupa gunung dengan objek lain yang berupa tubuh manusia (atau hewan) yang memilih kaki. Kemiripannya, sama-sama berada di bawah dan berfungsi untuk menopang tubuh atau gunung. C. MACAM-MACAM SEMIOTIK Hingga saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang (Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis -jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural. 1. Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu. 2. Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. 3. Semiotik faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah system tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat. 4. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan c erita lisan (folklore). 5. Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Semiotik normative merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma. ‘13 10 PANCASILA Dr. Dadan Anugrah, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 6. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambing rangkaian kata berupa kalimat. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah system tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa. Referensi Abdul Chaer, 2007. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta Akhyar Lubis, 2004. Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuan. Bogor: Akademia. Alex Sobur, 2001. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar. Bandung: Rosda. Alex Sobur, 2002 , Analisis Teks Media Massa: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Simiotika dan Framing. Bandung: Remaja Rosda Karya. Aminuddin, dkk, 2002. Analisis wacana. Yogyakarta: Kanal Anang Santoso, 2006. Bahasa, Masyarakat, dan Kuasa: Topik-topik Kritis dalam Kajian Ilmu Bahasa. Malang: Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang Basrowi dan Sukidin, 2002. Metode Mikro.Surabaya: Insan Cemdekia. Penelitian Kualitatif Perspektif Eriyanto, 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS, 2001 Fatimah Djajasudarma, 2006. Wacana. Bandung: PT Refika Aditama Hamid Hasan Lubis, 1993. Analisis Wacana Pragmatik, Bandung: Angkasa Kris Budiman, 2001. Kris Semiotika Visual, Yogyakarta: Jalasutra Cetakan I, September 2011 (hal. 3) Walker, John A. Desain, Sejarah, Budaya; Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra Lukmana, dkk, 2006. Linguistik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia M. Antonius Birowo, 2004. Metode Penelitian Komunikiasi. Yogyakarta: Gitanyali Marianne W. Jorgensen, 2007. Analisis Wacana: Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar ‘13 11 PANCASILA Dr. Dadan Anugrah, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Mulyana, 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi, Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana Noeng Muhadjir, 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: RakeSarasin Norman Fairclough, 1997. Media Discourse. London: Edward Arnold Pawito, 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKis Pe;angi Aksara. Peter Salim, 2002. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press Ruth Wodak, 1997. Critical Dis¬course Ana¬lysis” dalam Teun Van Dijk (ed.) Discourse as Sosial Interaction: Discourse Studies a Multidisciplinary Introduction, Vol 2. London: Sage Publication. ‘13 12 PANCASILA Dr. Dadan Anugrah, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id