TUGAS MANAJEMEN PUBLIK Public Choice Oleh: NOVITA YULIDA PUSPA 125030118113007 BAYU EKA DANA 125030118113022 AGHISTINA WIDYA S 125030118113023 YANTI 125030118113029 Dosen: Drs.Moch Rodzikin., MAP UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK KEDIRI 2013 KATA PENGANTAR Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai Public choice Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian Kediri, 5 Desember 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada masalah yang sangat mendasar, yakni kecelakaan yang terjadi dalam perkembangan ilmu -ilmu humaniora (ekonomi, sosial dan politik) yang terjebak dalam kotak parsial dan sempit, lalu adausaha dari sekelompok ekonom pilihan publik untuk mengkaji lebih jauh bagaimana kelembagaan nonpasar bekerja dalam kerangka kesejahteraan ekonomi. Akibat kesalahan pada tingkat ilmu, kelembaganekonomi dan sosial politik banyak mengalami masalah. Disiplin ilmu humaniora yang tersekat dalamkotak-kotak menyebabkan masing-masing cabang ilmu tersebut mengahadapi krisis yang besar. Banyak fenomena baru yang tidak bisa ditangkap secara sempurna oleh instrument teoritis pada masing-masingcabang ilmu. Ilmu ekonomi tersekat pada paradigm pasar dan ilmu politik terperangkap dalam paradigmakekuasaan. Kedua kelompok ilmuwan tersebut tidak saling bertemu, bahkan saling menjauh satu samalain dalam masa yang panjang.Pada awal krisis ekonomi yang melanda Indonesia hingga sekarang ini, maka dapat dikatakanbahwa bangsa Indonesia tidak memiliki dasar yang kuat untuk dapat tegar menghadapi perubahan-perubahan global. Berbagai tekanan dan tantangan yang datang dari dalam dan luar negeri selalu menghasilkan perubahan ke arah yang lebih buruk dalam kinerja ekonomi, struktur sosial masyarakat, dan struktur politik bangsa. Pemerintah selalu mengalami kesulitan dalam upayanya mengentaskan bangsa ini bangkit dariketerpurukan ekonomi, sosial, dan politik. Krisis demi krisis akhirnya menghancurkan modal sosialbangsa. Pada sisi lain terdapat penurunan kemampuan kinerja birokrasi, yang dalam konteks Negara berkembang, akan sangat berpengaruh terhadap kinerja bangsa secara menyeluruh. Teori pilihan publik ini merupakan sebuah pendekatan ekonomi politik baru dimana dalam teori ini menganggap negara/pemerintah, politisi atau birokrat sebagai agen yang memiliki kepentingan sendiri. Teori Publik Choise memusatkan perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktorpun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan. Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor. Artinya bahwa walaupun orang bertindak dalam pasar politis memiliki sejumlah kepedulian terhadap orang lain, tapi motif utama mereka adalah kepentingan pribadi. Walaupun banyak orang mendasarkan sejumlah tindakan mereka karena kepedulian mereka terhadap orang lain, motif dominan dalam tindakan orang di pasar baik mereka merupakan, pengusaha, pekerja, maupun konsumen, adalah suatu kepedulian terhadap diri mereka sendiri. Ahli ekonomi pilihan publik membuat asumsi yang sama bahwa walaupun orang bertindak dalam pasar politis memiliki sejumlah kepedulian terhadap orang lain, motif utama mereka adalah kepentingan pribadi. Sebagaimana yang di asumsikan oleh Muller bahwa manusia adalah makhluk yang egois, rasional dan selalu memaksimalkan manfaat serta bertekad memahami upaya yang menghubungkan cara-cara dan tujuan-tujuan seefektif mungkin. Dalam model pilihan publik, politik tidak dipandang sekedar sebagai nstitusi-institusi dan proses-proses dimana individu berusaha memenuhi kebutuhan atau pilihan mereka yang terkait dengan barang-barang yang dibutuhkan banyak orang atau bersifat publik. Disini Politik dipandang bukan hanya sebagai arena memperoleh kekuasaan seperti yang digunakan dalam pendekatan politik murni; melainkan lebih dipandang sebagai arena permainan yang memungkinkan terjadinya pertukaran di antara warga negara, partai-partai politik, pemerintah dan birokrat. Aturan yang harus diikuti dalam permainan politik adalah konstitusi dan sistem pemilihan. Ada pun yang menjadi pemain dalam pasar politik adalah para pemilih sebagai konsumen atau pembeli barang-barang publik, dan wakil rakyat sebagai legislatif dan politikus, yang bertindak layaknya seorang wirausahawan yang menginterpretasikan permintaan rakyat terhadap barang-barang publik dan mencarikan jalan sekaligus memperjuangkan agar barang-barang publik tersebut sampai pada kelompok-kelompok pemilih yang memilih mereka dalam pemilihan. Mitchell memandang bahwa pelaku diasumsikan memiliki sifat-sifat spesifik tertentu termasuk sekumpulan selera atau urutan preferensi dan kapasitas membuat keputusan-keputusan rasional atau kemampuan untuk memilih penyelesaian terefisien atas dilema pilihan yang dihadapinya. Teori pilihan publik ini terbagi dalam dua aliran yaitu teori pilihan publik normatif dan teori pilihan publik positif. Dalam aliran teori publik normatif ini merupakan proses menganalisa sifat-sifat dari sistem politik yang dianggap menguntungkan. Sejalan dengan Caporaso, Erani menekankan bahwa focus dari teori pilihan publik ini adalah pada isu-isu yang terkait dengan desain politik dan aturan-aturan politik dasar. Pendeknya teori ini berhubungan dengan kerangka kerja konstitusi yang mengambil tempat dalam proses politik. Teori pilihan publik positif berusaha untuk merancang penjelasan bagi aturan-aturan dan proses-proses pemilihan yang ada dan menelaah bagaimana konsekuensinya. B.Rumusan Masalah Apa yang dimaksud Public Choice ? Bagaimana perkembangan Public Choice ? Apa saja ruang lingkup Public Choice ? Bagaimana perspektif Public Choice ? BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut Didik J. Rachbini, public choice diartikan sebagai penerapan metode-metode ekonomi terhadap bidang politik dengan dua masalah pokok yaitu masalah tindakan kolektif dan masalah mengorganisasikan preperensi. Sedangkan politik diartikan sebagai seni bagaimana sistem pemerintahan dilaksanakan. Menurut samuelson & Nordhaus (1991), teori pilihan adalah salah satu cabang ilmu ekonomi yang mempelajari bagaimana pemerintah membuat keputusan yang terkait dengan kepentingan masyarakat (public). Lebih jelas, samuelson & Nordhaus mendifinisikan teori pilihan public sebagai berikut: “ Public Choice Theory asks about `how`, `what`, and ` for whom` of the public sectors just as supply and demand theory examines choices for the private sectors”. Definisi yang lebih sederhana diberikan oleh Caporaso & Levine (1993), yang mengertikan pilihan public sebagai aplikasi metode-metode ekonomi terhadap politik. Definisi tersebut sesuai dengan pendapat Buchanan (1984) yang mengatakan bahwa teori pilihan public mengguakan alat-alat dan metode-metode yang sudah dikembangkan hingga tingkat analisa canggih ke dalam teori-teori ekonomi dan diaplikasikan ke sector politik atau pemerintah, ke ilmu politik atau ke ekonomi public. Teori Publik Choice ini merupakan sebuah pendekatan ekonomi politik baru dimana dalam teori ini menganggap negara/pemerintah, politisi atau birokrat sebagai agen yang memiliki kepentingan sendiri. Teori Publik Choise memusatkan perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktorpun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan. Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor. Artinya bahwa walaupun orang bertindak dalam pasar politis memiliki sejumlah kepedulian terhadap orang lain, tapi motif utama mereka adalah kepentingan pribadi. Walaupun banyak orang mendasarkan sejumlah tindakan mereka karena kepedulian mereka terhadap orang lain, motif dominan dalam tindakan orang di pasar baik mereka merupakan, pengusaha, pekerja, maupun konsumen, adalah suatu kepedulian terhadap diri mereka sendiri. Ahli Ekonomi Pilihan Publik membuat asumsi yang sama bahwa walaupun orang bertindak dalam pasar politis memiliki sejumlah kepedulian terhadap orang lain, motif utama mereka adalah kepentingan pribadi. Sebagaimana yang di asumsikan oleh Muller bahwa manusia adalah makhluk yang egois, rasional dan selalu memaksimalkan manfaat serta bertekad memahami upaya yang menghubungkan cara-cara dan tujuan-tujuan seefektif mungkin. Dalam model pilihan publik, politik tidak dipandang sekedar sebagai nstitusi-institusi dan proses-proses dimana individu berusaha memenuhi kebutuhan atau pilihan mereka yang terkait dengan barang-barang yang dibutuhkan banyak orang atau bersifat publik. Disini Politik dipandang bukan hanya sebagai arena memperoleh kekuasaan seperti yang digunakan dalam pendekatan politik murni; melainkan lebih dipandang sebagai arena permainan yang memungkinkan terjadinya pertukaran di antara warga negara, partai-partai politik, pemerintah dan birokrat. Aturan yang harus diikuti dalam permainan politik adalah konstitusi dan sistem pemilihan. Ada pun yang menjadi pemain dalam pasar politik adalah para pemilih sebagai konsumen atau pembeli barang-barang publik, dan wakil rakyat sebagai legislatif dan politikus, yang bertindak layaknya seorang wirausahawan yang menginterpretasikan permintaan rakyat terhadap barang-barang publik dan mencarikan jalan sekaligus memperjuangkan agar barang-barang publik tersebut sampai pada kelompok-kelompok pemilih yang memilih mereka dalam pemilihan. Mitchell memandang bahwa pelaku diasumsikan memiliki sifat-sifat spesifik tertentu termasuk sekumpulan selera atau urutan preferensi dan kapasitas membuat keputusan-keputusan rasional atau kemampuan untuk memilih penyelesaian terefisien atas dilema pilihan yang dihadapinya. Teori Publik Choice ini terbagi dalam dua aliran yaitu teori Publik Choice normatif dan teori pilihan publik positif. Dalam aliran teori publik normatif ini merupakan proses menganalisa sifat-sifat dari sistem politik yang dianggap menguntungkan. Sejalan dengan Caporaso, Erani menekankan bahwa focus dari teori pilihan publik ini adalah pada isu-isu yang terkait dengan desain politik dan aturan-aturan politik dasar. Pendeknya teori ini berhubungan dengan kerangka kerja konstitusi yang mengambil tempat dalam proses politik. Teori pilihan publik positif berusaha untuk merancang penjelasan bagi aturan-aturan dan proses-proses pemilihan yang ada dan menelaah bagaimana konsekuensinya. Public Choice adalah sebuah perspektif untuk bidang politik yang muncul dari pengembangan dan penerapan perangkat dan metode ilmu ekonomi terhadapa proses pengambilan keputusan kolektif dan berbagai fenomena non pasar (non market phenomena). Tetapi diakui bahwa keterangan pendek ini tidak cukup memberi deskripsi yang lengkap karena untuk mencapai suatu perspektif bagi politik seperti ini diperlukan pendekatan ekonomi tertentu. PC adalah sebuah perspektif untuk bidang politik yang muncul dari pengembangan dan penerapan perangkat dan metode ilmu ekonomi terhadapa proses pengambilan keputusan kolektif dan berbagai fenomena non pasar (non market phenomena). Tetapi diakui bahwa keterangan pendek ini tidak cukup memberi deskripsi yang lengkap karena untuk mencapai suatu perspektif bagi politik seperti ini diperlukan pendekatan ekonomi tertentu. BAB III PEMBAHASAN Public Choice atau yang dikenal dengan pilihan publik adalah sebuah perspektif untuk bidang politik yang muncul dari pengembangan dan penerapan perangkat dan metode ilmu ekonomi terhadapaproses pengambilan keputusan kolektif dan berbagai fenomena non pasar (non market phenomena).Tetapi diakui bahwa keterangan pendek ini tidak cukup memberi deskripsi yang lengkap karena untuk mencapai suatu perspektif bagi politik seperti ini diperlukan pendekatan ekonomi tertentu.Menurut Samuelson & Nordhaus (1995) teori pilihan publik ialah salah satu cabang ilmu ekonomi yang mempelajari bagaimana pemerintah membuat keputusan yang terkait degan kepentinganmasyarakat (publik). Teori pilihan publik dapat digunakan untuk mempelajari perilaku para actor politik maupun sebagai petunjuk bagi pengambilan keputusan dalam penentuan pilihan kebijakan publik yangpaling efektif. Yang menjadi subjek dalam telaah pilihan publik adalah pemilih, partai politik, politisi,birokrat, kelompok kepentingan, yang semuanya secara tradisional lebih banyak dipelajari oleh pakar-pakar politik. Premis dasar pilihan publik ialah bahwwa pembuat pembuat keputusan politik (pemilih,politisi, birokrat) dan membuat keputusan privat (konsumen, produsen, perantara) bertindak dengan carayang sama : mereka bertindak sesuai kepentingan pribadi. Dalam kenyataan, pembuat keputusan ekonomi(misalnya, konsumen) dan pembuat keputusan politik (pemilih) biasanya adalah orang yang sama.Tegasnya, orang yang membeli barang-barang keperluan sehari-hari (konsumen) adalah juga orang-orangyang menjadi pemilih dalam pemilu.Dalam model pilihan publik, politik tidak dipandang sebagai arena permainan yangmemungkinkan terjadinya pertukaran di antara warga Negara, partai-partai politik, pemerintah danbirokrat. Seperti halnya dalam permainan olahraga dan permainan pasar ekonomi, permainan dalam pasarpolitik juga memiliki aturan-aturan yang harus dipatuhi dan para pemain dengan tujuan utamamemenangkan pertandingan. Aturan yang harus diikuti dalam permainan politik adalah konstitusi dansistem pemilihan. Adapun yang menjadi pemain dalam pasar politik adalah para pemilih sebagaikonsumen dan pembeli barang-barang publik, dan wakil rakyat sebagai legislatif atau politikus yang bertindak layaknya seorang wirausahawan yang menginterprestasikan permintaan rakyat terhadap barang-barang publik dan mencarikan jalan sekaligus memperjuangkan agar barang-barang publik tersebut sampaipada kelompok-kelompok pemilih yang memilih mereka dalam pemilihan.Selain pemilih sebagai konsumen dan legislatif sebagai pemasok, kadang-kadang ikut sertaorganisasi kelompok kepentingan dalam permainan politik. Mereka mewakili suatu kelompok masyarakatatau bisnis tertentu yang diorganisasi untuk melobi pengambil keputusan untuk mengeluarkan kebijakanyang mengakomodikasikan kepentingan para anggotanya. Kadang-kadang kelompok kepentingan ini memilih kekuatan politik melebihi jumlah anggotanya. Jika kelompok kepentingan menguasai badanpengaturan dan badan legislatif, ia bisa berubah menjadi apa yang disebut non-representative government. Dalam model pilihan publik, hasil politik ditentukan oleh permintaan dan penawaran, persis samaseperti halnya proses terbentuknya harga dalam pasar persaingan sempurna. Hanya saja dengan pilihanpublik, konsep barter dan pertukaran yang sederhana, sesuai konsep ekonomi murni, menjadi lebihkompleks sifatnya. Pertukaran dalam pengertian yang lebih kompleks ini diartikan sebagai suatu prosespersetujuan kontrak yang lebih luas makna dan cakupannya dari pertukaran yang dilakukan oleh duaorang yang melakukan transaksi, sebab tekanan akhir dari persetujuan kontrak adalah proses persetujuansukarela di antara banyak orang dalam masyarakat. Dalam hal ini, pilihan publik tidak menolak kemungkinan adanya kepentingan kolektif dan tindakan kolektif, tetapi kalaupun ada maka semua ituhanya merupakan hasil dari segenap kepentingan individu yang ada dalam kelompok.Transformasi konsep pertukaran ekonomi yang sederhana dalam keputusan-keputusan ekonomi menjadi perjanjian atau consensus sukarela yang lebih kompleks dalam keputusan-keputusan politik,sangat menarik sebagai pilihan paradigma baru dalam ilmu politik yang secara tradisional berbasis padaanalisis tentang kekuasaan. Kelebihan pendekatan pilihan publik yang langsung dirasakan ialah bahwaproses politik tentang permainan kekuasaan menjadi lebih lunak karena didasarkan pada kesukarelaan diantara partisipan dalam proses dan pengambilan keputusan politik sesuai aturan dan konstitusi, tidak sekedar didominasi oleh pihak yang dominan dan berkuasa. 3.1 Perkembangan Publik Choice Serta Penerapan di Indonesia Pemikiran public choise dalam merombak bidang – bidang sosial maupun politik sesuai hukumekonomi klasik yang analog dengan permintaan dan penawaran komoditas. Dengan analogi tersebut ,maka pemerintah bisa diasumsikan sebagai supplier , yang bisa menyediakan komoditas publik untuk masyarakat. Selain itu public choise perhatiannya tertuju terhadap fungsi pilihan sosial atau eksplorasi terhadap kepemilikan kesejahteraan sosial. Publik choise bukan suatu objek studi tetapi sebuah carauntuk menelaah subyek , jadi public choise tersebut bisa menjadi petunjuk bagi pengambil keputusanuntuk menentukan pilihan kebijakan yang paling efektif. Pilihan Publik di awali setelah karya monumental Eli Hecksher (1931) berkenaan merkantilismesebagai kumpulan ide-ide yang ditujukan untuk mencapai beberapa tujuan utama, seperti halnya kekuasaan Negara .Namun disisi lain Ekelund dan Tollison menolakinterpretasi standar darimerkantilisme dan menawarkan alternatif. Buku pertama, Merkantilisme sebagai “ Rent Seeking Society”:selanjutnya Peraturan Ekonomi dalam Perspektif Sejarah (Ekelund dan Tollison 1981) "melihat proses"regulasi ekonomi didorong olehkepentingan individu, koalisi politik, atau keduanya; dan yang kedua,Ekonomi dipolitisir: Monarki, Monopoli dan Merkantilisme , diperpanjang pandangan ini kepadakeprihatinan yang lebih luas perubahan institusional. Ekelund dan Tollison menemukan bukti baik diHeckscher dan dalam sumber-sumber lain yang bertentangan dengan pandangan bahwa merkantilisme “acollection of ideas or the apotheosis of “state power” (hanyalah kumpulan ide atau pendewaan"kekuasaan negara). Penggabungan analisis pilihan public ke dalam interpretasi sejarah dari merkatilisme telah menghasilkan reaksi yang beragam, Kritik-kritik yang menolak aksioma kepentingan diri. misalnya John J. McCusker (2000) merasa sulit untuk percaya bahwa salah satu kekuatan pendorong utama dan kekak dari perubahan sejarah adalah perilaku mementingkan diri sendiri oleh kelompok kepentingan yang menggunakan pemerintah untuk melakukan control terhadap ekonomi. Selanjutnya dalam pemahaman tentang individu dan “sekolah” melalui kajian “school” pemikiran ekonomi didasarkan pada pendekatan umum yang sama, untuk analisis ekonomi yang sebelumnya telah disebutkan :pilihanpublik, implikasi rasional analisis kepentingan, kepentingan kelompok dan interaksi politik dan peraturan. Coba kita simak peristiwa nyata yang sangat pelik yang terjadi di indonesia dan merupakan kebijakan “buah simalakama” perubahan kenaikan harga BBM semasa pemerintahan SBY yang di mulaitahun 2005, dan beberapa kenaikan di tahun berikutnya. Sungguh sebuah “pilihan publik” dari pemikiran ekonomi penguasa yang memperhitungkan anggaran negara dengan perbandingan kenaikan harga minyak dunia. Eksistensi upaya mempertahankan keterpurukan negara dari pengaruh naiknya harga minyak dunia, akan ditantang oleh realitas ekonomi para pengusaha kecil yang memakai BBM maupunmasyarakat Indonesia yang secara keseluruhan roda perekonomiannya digerakkan oleh BBM. Mampukah memberikan subsidi silang kepada publik “si miskin” lebih banyak. Hal ini juga memperpanjang diskursus tentang pencabutan subsidi bagi masyarakat “kepentingan publik” sampai saat ini. Sungguh sulit kiranya mengkampanyekan “pilihan publik” sampai beberapa tahun mendatang, karena di Negara maju pun di mana teori ini dikemukan tidak mampu terwujud yang dapat memuaskan dan meningkatkan kepuasaan kepentingan publik secara umum. Namun hal yang menggembirakan “pilihan publik” dapat menjadi sebuah konsep idiologi yang mampu mencerdas generasi bangsa tentang apa yang benar dansalah dalam praktik kebijakan publik, maupun alasan-alasan pembenar dari diambilnya sebuah kebijakan. Disamping itu penempatan porsi yang besar pada sektor “pilihan publik” menghasilkan“inefisiensi” penyelenggaraan negara. Sebagai kasus yang lain dapat ditampilkan di Indonesia adalah pemilihan umum secara langsung, yang memberi kesempatan pada setiap individu warga negara untuk memaksimalkan pilihannya dalam sebuah arena politik. Perhelatan politik menyedot perhatian dananggaran yang cukup besar pada setiap individu yang terlibat. Bila kita simak, ada beberapa potensipemborosan dalam penyelenggaraan pemilu. Pertama, anggaran pemerintah melalui APBN yangterdistribusi pada sektor birokrasi dari tingkat pusat sampai pada di tingkat Desa dan pada penyelenggarapemilu dari KPU pusat sampai pada PPS ditingkat desa, bahkan sampai ke TPS. Sungguh dari sisi waktu dan anggaran yang terlibat untuk memenuhi “pilihan publik” sangat luar biasa, dimana pemilihan tidak diselenggarakan secara serempak, terjadinya di berbagai lini dari pemilhan legislatip (DPD, DPR, DPRDProvinsi, DPRD Kabupaten/Kota), Presiden, Gubernur, Bupati/Wali Kota, Kepala Desa yang tidak sedikitmenghabiskan anggaran, seakan-akan negara ini hanya mengerjakan pemilihan umum. Kedua biaya kandidat atau “public interest” cukup bervariasi dan besar. Masing-masing kelompok atau individu memaksimalkan kepentingan untuk menjadi yang terbaik dan terpilih memerlukan cost yang tinggi. Ketiga, yang memperihatinkan adalah terjadi pengorbanan kepentingan umum, yaitu masyarakatIndonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya kita simak apa yang disampaikan dalam jurnal oleh Lars Magnusson (1994), memiliki kepentingan, sebagai intelektual "merkantilisme dengan pendekatan sejarah, yang mengarah pada penolakan langsung dari perspektif publik-pilihan. Teori merkantilisme didasarkan pada kepentingan kelompok, prinsip-prinsip“rent-seeking”(mencari keuntungan) harus ditinggalkan jika teorilain yang lebih baik hadir, sesuai dengan fakta-fakta penting dari perubahan institusional yang dapat dibuktikan. Kritik bisa mendapatkan tantangan serius untuk analisis merkantilisme sebagai“rent-seeking society” jika mereka bisa menunjukkan bahwa kebijakan perdagangan disahkan oleh politik perwakilan yang secara konsisten meningkatkan kesejahteraan umum dengan mengorbankan sedikit kepentingan khusus. Pernyataan diatas memiliki kekuatan menjelaskan peristiwa dunia nyata dalam hal motif kepentingan sendiri dan proses politik. Dengan demikian, public choice dalam aplikasinya sangat erat kaitannya dengan masyarakat pemilih, partai politik, politisi, birokrat, kelompok kepentingan dan aturan-aturan pemilihan umum.Semua ini biasanya dikaitkan dengan ilmu politik, tetapi pada saat ini para ahli ekonomi politik mengembangkan pendekatan baru dengan meminjam paradigm dasar pada ilmu ekonomi. Jadi, publicchoice bukan hanya suatu objek studi, tetapi juga sebuah cara untuk menelaah subjek yang secaradefinitive yang di artikan sebagai the economic study of nonmarket decision making. 3.2 Esensi Teory Public Choice Pilihan Publik di awali setelah karya monumental Eli Hecksher (1931) berkenaan merkantilisme sebagai kumpulan ide-ide yang ditujukan untuk mencapai beberapa tujuan utama, seperti halnya kekuasaan negara. Namun disisi lain Ekelund dan Tollison menolak interpretasi standar dari merkantilisme dan menawarkan alternatif. Buku pertama, Merkantilisme sebagai “Rent Seeking Society”: selanjutnya Peraturan Ekonomi dalam Perspektif Sejarah (Ekelund dan Tollison 1981) "melihat proses" regulasi ekonomi didorong oleh kepentingan individu, koalisi politik, atau keduanya; dan yang kedua, Ekonomi dipolitisir: Monarki, Monopoli dan Merkantilisme , diperpanjang pandangan ini kepada keprihatinan yang lebih luas perubahan institusional. Ekelund dan Tollison menemukan bukti baik di Heckscher dan dalam sumber-sumber lain yang bertentangan dengan pandangan bahwa merkantilisme “a collection of ideas or the apotheosis of “state power” (hanyalah kumpulan ide atau pendewaan "kekuasaan negara). Penggabungan analisis dari merkantilisme telah pilihan menghasilkan publik reaksi ke yang dalam interpretasi beragam, Kritik-kritik sejarah yang menolak aksioma kepentingan diri. misalnya John J. McCusker (2000) merasa sulit untuk percaya bahwa salah satu kekuatan pendorong utama dan kekal dari perubahan sejarah adalah perilaku mementingkan diri sendiri oleh kelompok kepentingan yang menggunakan pemerintah untuk pemahaman tentang melakukan kontrol individu terhadap dan "sekolah" melalui ekonomi. Selanjutnya kajian dalam “school” pemikiran ekonomi didasarkan pada pendekatan umum yang sama, untuk analisis ekonomi yang sebelumnya telah disebutkan : pilihan public, implikasi rasional analisis kepentingan , kepentingan kelompok dan interaksi politik dan peraturan. Namun sejauh penelusuran penulis terhadap hasil bacaan pada jurnal ini, tidak ada pemahaman yang secara implisit disebutkan tentang “teori pilihan publik”, yang bisa digambarkan dari berbagai kasus dalam bacaan ini bahwa “teori pilihan publik” adalah sebuah teori yang masih berada dalam tataran konsep atau idiologi yang apabila diinginkan untuk memenuhi kepuasan dari setiap kepentingan individu dalam sebuah orgnaisasi atau negara. Teori pilihan publik juga banyak diilhami dari tulisan-tulisan Adam Smith yang mana mengunggulkan kebebasan individu, untuk mencapai puncak kesejahteraannya dengan memberikan kebebasan, untuk melakukan pilihan-pilihannya secara rasional. Kendatipun tidak dapat dibuktikan secara empiris bahwa dalam satu negara ataupun organisasi setiap orang dapat memilih dan melaksanakan kebebasannya sendiri, tanpa batas-batas negara, pengaruh kekuasaan dan kelompok kepentingan. Demikian juga terungkap dalam beberapa kasus dalam jurnal yang dibahas. Dari beberapa bacaan penunjang akan saya tampilkan beberapa pemahaman tentang teori ini. Holcombe dan Dmitry Ryvkin, (2010), melalui sebuah ilustrasi sebagai berikut sebuah sastra substansial dalam pilihan public menganalisis bagaimana pengambilan keputusan kolektif memilih di antara berbagai pilihan. Jika keputusan kelompok akan dibuat di antara pilihan A, B, dan C, pilihan mana yang akan kelompok pilih? Ini mengasumsikan anggota kelompok mengetahui hasil dari pilihan antara yang mereka pilih. Makalah ini tidak menganalisis bagaimana kelompok memilih di antara berbagai pilihan, melainkan bagaimana menentukan, apa hasilnya jika beberapa pilihan tertentu dipilih. Sebagai contoh, apa yang akan terjadi jika kelompok setuju untuk mengambil Sebuah pilihan?). Selanjutnya Reksulak (2010) menyebutkan bahwa pendekatan teori pilihan publik terhadap kebutuhan anti trust harus disandingkan dengan penuh semangat “public interest theory” (Teori kepentingan umum) yang berlakupada sentimen di Eropa. Salah satu langkah menuju tujuan yang telah digariskan oleh Voigt (2006, hal 207) menggambarkan sebagai"kebijakan antitrust kuat" bahwa bersamaan menggabungkan tujuan penalaran ekonomi, kesadaran sumber daya dan pengakuaneksplisit "konsekuensi umum tentang kesejahteraan". Dalam karya yang lain Willian F Shugart II dan Fred S McChesney (2010) menyoroti tentang “kepentingan umum” sebagai berikut “pilihan publik ulama untuk menjelaskan perilaku individu dalam pengaturanalternatif non-pasar yang disediakan, positif diuji pada pemikiran ortodoks, sebagian besar normative “kepentingan umum” penjelasan pemerintah, bisa juga bermanfaat diterapkan ke dunia kebijakan anti trust. Dalam konteks pemikiran muncul “pilihan public” tentang lembaga administratif. Dari bacaan utama dan penunjang ini, penulis kembali menegaskan tentang teori “pilihan publik” bahwa setiap individu dapat melakukan pilihan-pilihannya secara rasional, sehingga dalam penerapannyapun diharapkan tidak memiliki benturan pada pilihan-pilihan rasional dari pihak lain, dengan demikian maka penerapan teori pilihan publik mengaju pada pada hasil positif yang mengarah pada “kepentingan umum” yang kiblatnya pada “kesejahteraan umum”. Namun perlu hati-hati dan penyelidikan yang serius, bahwa pilihan-pilihan publik individu sulit rasanya bebas dari pemikiran-pemikiran ekonomi “non-pasar”, sehingga dapat menghasilkan ukuran-ukuran non ekonomi seperti kesetaraan, keadilan dan kesejahteraan. Kalau boleh juga diperwakilkan bahwa kepentingan bermotif ekonomi “kebutuhan” tentu memerlukan keluasan dan kerarifan cara berpikir tentang motif tindakan manusia sebagai pribadi. Menurut Deliarnov (2006) “kebutuhan manusia relatif tidak terbatas, disisi lain alat pemuas berbagai kebutuhan tersebut terbatas. Ketidakseimbangan antara kebutuhan dan alat pemuas menyebabkan diperlukannya sebuah ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi pada intinya mengajarkan bagaimana manusia atau sekelompok manusia membuat pilihan-pilihan terbaik, sebagaimana dikemukakan oleh Paul Sauelso (2001) “ilmu ekonomi adalah studi mengenai bagaimana orang dan masyarakat memilih, dengan tanpa menggunakan kekerasan, untuk memanfaatkan sumber-sumber daya produktif yang langka demi memproduksi berbagai komuditi dari waktu ke waktu dan mendistribusikannya untuk dikonsumsi, saat ini maupun di masa depan oleh berbagai orang dan kelompok dalam masyarakat”. 3.3Perkembangan Public Choice Pada decade 1980-an literature politik dipenuhi tulisan-tulisan tentang rational choice atau public choice yang menjelaskan hubungan antara ekonomi dan politik melalui paradigma antara ekonomi klasik public choice (gambar) : Variabel Supplier Ekonomi Klasik Produsen, pengusaha, distributor Publik Choice Politis, parpol, birokrasi, pemerintah Demander Konsumen Pemilih (voters) Jenis Komoditas Komoditas individu (private Komoditi public (public goods) goods) Alat transaksi Uang Suara (voters) Jenis transaksi Voluntary transaction (sukarela) Politic as exchange Samuel Popskin menjelaskan bahwa public choice dapat dipakai juga sebagai study terhadap institusi-institusi ekonomi non-pasar dan pelunasan dari metodologi ekonomi mikro terhadap institusi-institusi non-pasar tersebut dalam tatanan non-pasar. Artinya public choice menjadi jembatan antara ekonomi (dalam menerapkan model-model rasional dari individu-individu yang terlibat didalam pasar) dengan ilmuan sosial lain yang mempunyai asumsi ekonomi tentang alokasi sumber daya yang terbatas tetapi tidak aplikatif terhadap studinya untuk institusi-institusi pedesaan. 3.4Lingkup Public Choice PC merupakan metode ekonomi terhadap bidang politik dengan 2 masalah pokok : a) masalah tindakan kolektif ( collective action) , dan b) masalah mengagregasikan preferensi.Ilmu ekonomi terlahir untuk mengatur atau memberikan arah yang tepat dalam pengalokasian sumber-sumber ekonomi yang langka dan politik dipakai untuk menyiasati bagaimana suatu sistem pemerintahan dilaksanakan sebagai suatu art/seni. Jika negara memiliki sumberdaya ekonomi yang tak terbatas , maka ilmu ekonomi dan ilmu politik tidak diperlukan lagi untuk mengatur pengalokasiannya dalam mewujudkan sistem pemerintahan dan kekuasaan. Namun, jika sumber daya terbatas maka ada beberapa cara untuk mengaturnya antara lain: alturisme Adalah pola alokasi sumberdaya ekonomi atas dasar sistem dan hubungan pemberian. Artinya ada keterlibatan moral atau emosional : karena rasa kemanusiaan , persahabatan dan sebagainya . Sebagai contoh , bantuan bencana kepada yang terkena musibah di daerah-daerah. Bantuan tersebut yang merupakan komoditas individu berubah atau bergeser menjadi komoditas publik dalam proses distribusinya. Anarkhi Adalah suatu sistem tanpa hukum atau aturan . Jadi , suatu komoditas publik yang terbatas dimanfaatkan oleh sekelompok orang tertentu tanpa batasan dan aturan yang jelas dan pemanfaatannya bersifat anarkhi. Pasar (Market) Adalah suatu konsep kontroversial sebagai medium pertukaran atau transaksi berbagai hal. Sumberdaya ekonomi dapat menjadi suatu market karena adanya voluntarisme. Pemerintah dan Birokrasi adalah lembaga yang mamabu membuat aturan, menerapkan dan mengenakan sanksi-sanksi tertentu dan mampu menyelesaikan masalah – masalah kompleks seperti kegagalan pasar dan dampak eksternalitas. Sumberdaya ekonomi yang terbatas akan mampu dikelola oleh pemerintah dengan birokrasinya sehingga masalah-masalah ekonomi yang terjadi di lapangan dapat dieliminir. 3.5Komoditas Individual dan Komoditas Publik Iain Mclean (public choice : An Introduction, New York, Basil and Blackwell. 1989. Hlm 1-5) menjelaskan bahwa ekonomi usianya hanya berhubungan dengan swasta dan individu. Oleh Karena itu pembentukan harga tergantung dari kekuatan permintaan dan penawaran yang dilakukan oleh konsumen dan penjual sewaktu melakukan transaksi bebas dipasar. 3.6Perspektif Public Choice James Buchanan (ekonomi hadiah nobel) menerangkan konsep public choice tidak sebagai teori yang sempit, melainkan sebagai perspektif. Public choice adalah perspektif untuk bidang politik yang muncul dari pengembangan dan penerapan perangkat dan metode ilmu ekonomi terhadap proses pengambilan keputusan kolektif dan berbagai fenomena non-pasar. Buchanan menganalisa aspek terpisahdari dua elemen perspektif public choice. Aspek pertama pendekatan “catallactics” umum pada ilmu ekonomi, sedangkan aspek kedua adalah postulasi apa yang dikenal sebagai “homo economicus” dalam kaitannya dengan sikap individual. Aspek pertama adalah catallaxy atau ekonomi sebagai ilmu pertukaran. Menurut Buchanan pengertian ilmu ekonomi bukan hanya dalam terminologi hambatan kelangkaan sumber daya saja, tatapi juga menagaplikasikan disiplin ilmu ekonomi sesuai asalnya dengan konsentrasi pada akar filsafat, “properties” dan lembaga pertukaran (institution of exchange). Sehubunagn dengan itu F.A Hayek mengartikan “catallaxy” sebagai pendekatan terhadap ekonomi sebagai subyek pencaarian dan gambaran perhatian langsung terhadap proses pertukaran, perdaganagan atau perjanjian terhadap kontrak. Interaksi politik adalah pertukaran yang kompleks, oleh karena itu cara memperbaiki pasar adalah dengan member fasilitas proses pertukaran dan melekukan reorganisasi aturan-aturan perdagangan, kontrak dan “agreement”. Sedangkan untuk memperbaiki politik diperlukan reformasi aturan dan kerangka dasar dimana permainan politik dilakukan atas dasar falsafah yang bersifat kesukarelaan. Aspek kedua adalah pemahaman tentang “homo economicus”, konsep yang semula diartikan sebagai manusia yang hanya mementingkan kepuasan pribadi, diberi konotasi sebagai maanusia yang cenderung memaksimalkan utilitas karena dihadppkan pada keterbatasan sumberdaya yang dimilikinya. Secara teknis konsep ini digambarkan dalam fungsi utilitas dimana individu terus berusaha untuk memenuhi kepentingan pribadinya. 3.7 Kasus-kasus Pertentangan dan Dukungan terhadap Public Choice Kasus-kasus dalam jurnal ini menunjukkan bahwa bukti empiris tentang penerapan “teori pilihan publik” dapat terpenuhi manakala hasil penerapannya pada “kelompok kepentingan” terbukti. Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah Publik yang mana? Dari beberapa kasus ditunjukkan bahwa “publik” dari kelompok pemenang, mayoritas, penguasa dan pengusaha” tak satupun menunjukkan bahwa “publik” itu pada kepentingan umum, yaitu kepentingan dari sebagian besar masyarakat atau kaum buruh yang terwakilinya. Untuk lebih jelasnya akan dibeberkan kasus-kasus sebagai berikut. Dalam merkantilis Inggris, perdagangan dan bisnis diberikan status monopoli melalui satu dari tiga wilayah kerja: (1) undang-undang Parlemen, (2) paten proklamasi kerajaan dan surat, dan (3) keputusan dari Privy Council dari Perlindungan "Pengadilan Raja." Diberikan kepada tenaga kerja adalah produk dari koalisi pengrajin yang berhasil mengamankan undang-undang perlindungan, seperti Statuta artificers. Monopoli lokal dipercayakan pada Hakim JPS, dimana praktik “pilihan publik” orang-orang mengejar kepentingannya sendiri dan penerapannya umumnya berkorelasi dengan imbalan atas jasa yang diberikan, dan mereka menawarkan menguatkan bukti sejarah untuk kepentingan mereka. Akhirnya dua sistem pengadilan muncul, satu sejajar dengan raja dan lain selaras dengan DPR. Pada dasarnya masalah ini adalah: "yang memiliki hak untuk lembaga atau mengubah peraturan atas perdagangan, tenaga kerja dan perdagangan. Aplikasi pilihan publik dan kepentingan kelompok lebih menjelaskan mengapa prinsip-prinsip sejarah merkantilisme salah satu bentuk yang paling efektif redistribusi kekayaan bertahan di Prancis dan Spanyol. Perancis mendirikan monopoli produk jadi (tembakau, garam, barang-barang mewah, tekstil, dan manufaktur domestik. Spanyol sangat menekankan pada sistem agraria dan ekstraksi sistem sewa dari sektor penghasil wol. Spanyol efektif dalam monopoli mengumpulkan sewa di input (Merino wol) sejumlah titik produksi dan distribusi. Selain itu, Spanyol mengeksploitasi otoritas dan kekuasaan Gereja Katolik Roma dalam mengelola peraturan pada produksi dan pertukaran, termasuk perdagangan internasional. Para Inkuisisi Spanyol, misalnya, digunakan untuk menghilangkan "Yahudi" kompetitif di semua bidang perdagangan, uang dan keuangan. Selanjutnya Anderson dan Tollison (1983b) menunjukkan bahwa abad pertengahan kelompok kepentingan yang relatif efisien dalam menciptakan dan menegakkan perjanjian kartel saat tekanan kompetitif hadir. Sebagai contoh, perusahaan yang didirikan "sindikat penjualan" agen penjualan umum dalam rangka untuk meningkatkan penjualan di kota-kota Inggris. Gary Anderson, Tollison telah menekankan pada pilihan masyarakat dan analisis kepentingan kelompok di luar topik merkantilisme untuk ditempatkan sebagai subyek seperti Luddism (1986b), Perang Sipil Amerika (1991a) “Militer "membiarkan" sanksi terutama di daerah yang memiliki sejarah pemilihan Partai Republik, sehingga meningkatkan prospek pemilihan kembali Lincoln pada tahun 1864, dan mengubah jalannya perang” dan New Deal Roosevelt (1991b) “dicocokkan dengan "kebutuhan" dan kemiskinan., pola pengeluaran kongres yang disesuaikan dengan hasil pemilu”. Penanganan kematian di perang Vietnam (Goff dan Tollison 1987), Tollison difokuskan pada insentif politik. “medan kematian selama Perang Vietnam secara acak dialokasikan di seluruh negara. Mereka menunjukkan bahwa dukungan untuk perang atau, lebih tepatnya, kurangnya dukungan, berdampak pada tugas di medan perang”. Selanjutnya, tentang individu dan "sekolah" pemikiran ekonomi didasarkan pada pendekatan umum yang sama, untuk analisis ekonomi yang sebelumnya telah kita sebutkan: pilihan publik, implikasi rasional analisis kepentingan, kepentingan kelompok dan interaksi politik dan peraturan. Para sponsor Jerman pada sistem universitas sangat otoriter, dengan janji politik menyoroti praktek akademisi. Kasus selanjutnyasebagai upaya untuk pelajaran dari Adam Smith, yaitu bahwa aksioma kepentingan berlaku untuk koalisi kelompok kepentingan swasta dan politisi serta individu. Undang-undang Pabrik 1833 (juga dikenal sebagai Undang-Undang Althorp itu) dilarang pekerja di bawah sembilan tahun di pabrik tekstil Inggris, dan membatasi jam kerja anak-anak antara usia sembilan dan tiga belas. Tidak terinspirasi oleh "kepentingan umum" begitu banyak hal yang oleh kepentingan pekerja dewasa, berusaha untuk menaikkan upah mereka dengan mengorbankan yang lebih muda, pengganti pekerja. Terancam oleh kemajuan teknologi di industri tekstil yang berdampak pada pengurangan upah secara bertahap dan pekerjaan, pemintal didukung pembatasan jam kerja. BAB IV PENUTUP Public Choice merupakan sebuah perspektif didalam bidang politik yang timbul dari perkembangan dan penerapan perangkat dan metode ilmu ekonomi terhadap proses pengambilan keputusan kolektif dan berbagai fenomena non pasar. Perkembangan Public Choice dalam mengubah bidang- bidang social maupun politik sesuai hokum ekonomi klasik yang analog dengan pemerintahan dan penawaran komoditas. Dengan analogi tersebut, maka pemerintah bisa diartikan sebagai supplier, yang bisa menyediakan komoditas public untuk masyarakat. Publik Choice bukan suatu objek studi tetapi sebuah cara menelaah subjek, jadi Public Choice bisa menjadi petunjuk bagi pengambilan keputusan untuk menentukan pilihan kebijakan yang efektif. Jadi pada intinya Pilihan publik adalah sebuah perspektif untuk bidang politik yang muncul dari pengembangan dan penerapan perangkat dan metode ilmu ekonomi terhadapa proses pengambilan keputusan kolektif dan berbagai fenomena non pasar (non market phenomena). Public choice memusatkan kajiannya pada aspek fungsi pilhan sosial atau explorasi terhadap pencapaian kesejahteraan sosial. Pilihan individu dalam pasar dikonversi jadi menjadi pilihan social dalam pasar politik. Analisis teori Public Choice menjelaskan lebih jauh tentang masalah agregasi preferensi individu untuk memaksimumkan fungsi kesejahteraan sosialatau memuaskan seperangkat criteria normative yang dimilikinya secara individu bersama individu lainnya.Dengan demikian, public choice dalam aplikasinya sangat erat kaitannya dengan masyarakat pemilih, partai politik, politisi, birokrat, kelompok kepentingan dan aturan-aturan pemilihan umum.Semua ini biasanya dikaitkan dengan ilmu politik, tetapi pada saat ini para ahli ekonomi politik mengembangkan pendekatan baru dengan meminjam paradigm dasar pada ilmu ekonomi. Jadi, public choice bukan hanya suatu objek studi, tetapi juga sebuah cara untuk menelaah subjek yang secara definitive yang di artikan sebagai the economic study of nonmarket decision making. Kritik dan Saran Coba kita menyimak peristiwa nyata yang sangat pelik dan merupakan kebijakan “buah simalakama” perubahan kenaikan harga BBM semasa pemerintahan SBY yang di mulai tahun 2005, dan beberapa kenaikan di tahun berikutnya. Sungguh sebuah “pilihan publik” dari pemikiran ekonomi penguasa yang memperhitungkan anggaran negara dengan perbandingan kenaikan harga minyak dunia. Eksistensi upaya mempertahankan keterpurukan negara dari pengaruh naiknya harga minyak dunia, akan ditantang oleh realitas ekonomi para pengusaha kecil yang memakai BBM maupun masyarakat Indonesia yang secara keseluruhan roda perekonomiannya digerakkan oleh BBM. Mampukah memberikan subsidi silang kepada publik “si miskin” lebih banyak. Hal ini juga memperpanjang diskursus tentang pencabutan subsidi bagi masyarakat “kepentingan publik” sampai saat ini. Sungguh sulit kiranya mengkampanyekan “pilihan publik” sampai beberapa tahun mendatang, karena di negara majupun di mana teori ini dikemukan tidak mampu terwujud yang dapat memuaskan dan meningkatkan kepuasaan kepentingan publik secara umum. Namun hal yang menggembirakan “pilihan publik” dapat menjadi sebuah konsep idiologi yang mampu mencerdas generasi bangsa tentang apa yang benar dan salah dalam praktik kebijakan publik, maupun alasan-alasan pembenar dari diambilnya sebuah kebijakan. Hal ini diakui oleh Down, Perlu adanya sebuah perangkat sistemik yang mampu mengeliminir kebijakan yang berpihak pada lembaga birokrasi ketimbang rakyat banyak , seperti yang disampaikan oleh Down (dalam Adi Sasono, 2008: 209) bahwa paradigma public choice, dianggap mampu memagari kecendrungan psikologis para birokrat yang lebih melayani dirinya sendiri ketimbang melayani kepentingan umum. Disamping itu penempatan porsi yang besar pada sektor “pilihan publik” menghasilkan “inefisiensi” penyelenggaraan negara. Sebagai kasus yang lain dapat ditampilkan di Indonesia adalah pemilihan umum secara langsung, yang memberi kesempatan pada setiap individu warga negara untuk memaksimalkan pilihannya dalam sebuah arena politik. Perhelatan politik menyedot perhatian dan anggaran yang cukup besar pada setiap individu yang terlibat. Menurut analisis penulis ada beberapa potensi pemborosan dalam penyelenggaraan pemilu. Pertama,anggaran pemerintah melalui APBN yang terdistribusi pada sektor birokrasi dari tingkat pusat sampai pada di tingkat Desa dan pada penyelenggara pemilu dari KPU pusat sampai pada PPS ditingkat desa, bahkan sampai ke TPS. Sungguh dari sisi waktu dan anggaran yang terlibat untuk memenuhi “pilihan publik” sangat luar biasa, dimana pemilihan tidak diselenggarakan secara serempak, terjadinya di berbagai lini dari pemilhan legislatip (DPD, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota), Presiden, Gubernur, Bupati/Wali Kota, Kepala Desa yang tidak sedikit menghabiskan anggaran, seakan-akan negara ini hanya mengerjakan pemilihan umum. Kedua biaya kandidat atau “public interest” cukup bervariasi dan besar. Masing-masing kelompok atau individu memaksimalkan kepentingan untuk menjadi yang terbaik dan terpilih memerlukan cost yang tinggi. Ketiga yang memperihatinkan adalah terjadi pengorbanan kepentingan umum, yaitu masyarakat Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung banyak terjadi komplik horinsontal diantara para konstituen, perusakan, intimidasi dan amuk masa seperti yang terjadi tahun 2009 di Bali, pertimbangan birokrasi pemerintah yang diletakkan pada wilayah pasar “publik” memiliki kekuatan yang sangat besar untuk menghakimi keberadaan sebuah institusi yang tidak dapat melayani tuntutan pasar.Secara tidak langsung seringnya pemilihan dari tingkat desa sampai ke tingkat pusat mengorbankan waktu kerja masyarakat miskin, dan kadang juga biaya tranport dan konsumsi menuju ke TPS. Lalu kemudian kita perhadapkan pada pertanyaan, Apakah hasil dari pemilihan langsung ini, dapat memuaskan semua kepentingan?.. perlu diingat “di atas kepentingan masih ada kepentingan lain yang lebih kuat” Selanjutnya kita simak apa yang disampaikan dalam jurnal oleh Lars Magnusson (1994), memiliki kepentingan, sebagai intelektual "merkantilisme dengan pendekatan sejarah, yang mengarah pada penolakan langsung dari perspektif publik-pilihan. Teori merkantilisme didasarkan pada kepentingan kelompok, prinsip-prinsip “rent-seeking” (mencari keuntungan) harus ditinggalkan jika teori lain yang lebih baik hadir, sesuai dengan fakta-fakta penting dari perubahan institusional yang dapat dibuktikan. Kritik bisa mendapatkan tantangan serius untuk analisis merkantilisme sebagai “rent-seeking society” jika mereka bisa menunjukkan bahwa kebijakan perdagangan disahkan oleh politikperwakilan yang secara konsisten meningkatkan kesejahteraan umum dengan mengorbankan sedikit kepentingan khusus. Untuk saat ini tidak ada upaya tersebut telah terwujud (Ekelund dan Tollison 1997a). Teori diusulkan oleh Ekelund dan Tollison memiliki kekuatan menjelaskan peristiwa dunia nyata dalam hal motif kepentingan sendiri dan proses politik. Berikut kritikan terhadap teori “Public Choice” oleh beberapa penulis diantaranya, bahwa “ketika menganalisis jenis masalah pilihan publik, hal mungkin menarik untuk membuat asumsi berbeda tentang motivasi dari pejabat terpilih dan tentang berapa banyak yang diketahui mengenai bias-bias penasihat kebijakan, tetapi ketika melihat proses benar-benar bekerja, itu adalah realistis untuk mengasumsikan bahwa (1)pejabat terpilih tahu bias dan pendapat dari para penasehat kebijakan mereka gunakan, dan (2) bahwa pejabat terpilih memilih penasehatkebijakan yang pendapatnya mengenai masalah kebijakan yang merupakan cerminan pendapat mereka sendiri” (Holcombe & Dmitry Ryvkin, 2010). Analisis pilihan publik telah menunjukkan bahwa kelompok kepentingan memberikan pengaruh besar pada proses ini, tetapi ideologianggota juga memainkan peran penting, dan anggota secara individu mencoba untuk mengarahkan kesaksian dalam dengar pendapat dan analisis staf pada suatu arah yang mendukung kebijakan yang mereka lewati. Ketika membandingkan model untuk sebuah realitas politik,tidak ada keraguan bahwa legislator membawa pendapat kebijakan mereka sendiri untuk mereka, dan bahwa mereka mencoba untuk memberlakukan undang-undang berdasarkan pendapat-pendapat mereka. Menurut Reksulak (2010) “pelajaran dari aktivitas teori pilihan publik, bagaimanapun, disarankan hati-hati sehubungan dengan solusi yang mungkin, yang dapat mengalami gangguan politik, rentan terhadap benturan terorganisir dengan baik kelompok-kelompok kepentingan, dipengaruhi oleh interpretasi aktivis hukum oleh pengadilan dan salah arah oleh keinginan lembaga birokrasi. Selanjutnya, dalam ekonomi global, aktivitas penegakan antitrust semakin saling berhubungan di seluruh benua”. Selanjutnya Buchanan (2003) menyebutkan dalam kenyataan yang masuk akal, pilihan publik menjadi satu kumpulan teori-teori kegagalan pemerintah, sebagai sebuah offset untuk teori-teori dari kegagalan pasar, yang sebelumnya muncul dari teori ekonomi kesejahteraan. Atau, seperti judul ceramah di Wina pada tahun 1978, pilihan publik dapat diringkas oleh tiga kata deskripsi, 'politics without romance'. 'politik tanpa cinta'. Program pilihan publik penelitian ini lebih baik dilihat sebagai koreksi dari catatan ilmiah sebagai pengenalan sebuah ideologi anti-pemerintah. Terlepas dari setiap eksposur, bias ideologis analisis pilihan publik selalu membawa sikap yang lebih kritis terhadap nostrums terpolitisir untuk dugaan masalah sosial ekonomi. Pilihan publik hampir secara harfiah menjadi pasukan kritikus yang akan pragmatis dalam membandingkan pengaturan konstitusional alternatif, pelarangan apapun anggapan bahwa birokrasi koreksi atas kegagalan pasar akan mencapai tujuan yang diinginkan. Kritik lebih provokatif dari pusat pilihan masyarakat pada klaim bahwa itu adalah amoral. Sumber tuduhan ini terletak pada aplikasi untuk politik asumsi bahwa individu-individu di pasar berperilaku dengan cara yang mementingkan diri sendiri. Lebih khusus, model ekonomi perilaku termasuk bersih kekayaan, variabel eksternal terukur, sebagai kepentingan 'good' bahwa individu berusaha untuk memaksimalkan. Kecaman moral pilihan publik terpusat pada dugaan pemindahan unsur teori ekonomi untuk analisis politik. Pendapat ini juga didukung oleh Quiggin (1987) yang menyebutkan teori pilihan publik: yaitu, penerapan asumsi maksimisasi utilitas egoistis dengan perilaku politik “Egoistic Rationality”. Dalam kasus teori public choice. sikap ini akan membutuhkan perubahan mendasar, secara khusus, dalil egoisme individuharus ditinggalkan, atau setidaknya secara signifikan dimodifikasi. Beberapa pendekatan alternatif telah diuraikan di atas. Apapun pendekatan yang diadopsi, perhatian lebih dekat dengan fakta-fakta sangat penting. V. Kesimpulan Penempatan pada pemuasan kepentingan individu melalui “pilihan publik” memiliki dampak positif dan negatif, secara kenyataan lebih bernuansa normatif idiologis sebagai ukuran alat untuk mengakaji apa yang benar dan apa yang salah dari dilaksanakannya pilihan publik, baik dalam tataran kebijakan negara maupun yang melandasi sebuah pilihan yang dilakukan oleh individu. Karena secara terapan “pilihan publik” tidak bisa menjamin secara benar-benar dapat memberikan pencerahan yang berpihak pada “kepentingan publik” atau keinginan dari sebagian besar “the voter” pada praktik kenegaraan. Dari beberapa kasus ditemukan percaturan politik melalui “kebijakan publik” lebih mengedepankan kepentingan kelompok tertentu (penguasa) atau ideologi “jargon” politik yang diperjuangkan oleh kelompok tertentu yang berkepentingan untuk memperoleh simpati dan kemenangannya di masa mendatang, ketimbang pada “pilihan publik” yang sebenarnya yaitu mengejar kesejahteraan dan kepentingan umum. Namun demikian kita tidak perlu kecewa, karena karena kehadiran “teori pilihan publik” dapat menjadikan kerangka landasan dan batasan dari kerakusan sebuah kekuasaan yang mementingkan diri sendiri “greed of a selfishpower”, yang nantinya akan diperhadapkan pada kekuasaan yang lebih besar “pilihan publik rakyat (public choice of the people)” yang telah menjadi cerdas oleh jasa teori “public choice”. Daftar Pustaka http://www.scribd.com/doc/98168401/makalah-ekopol http://rakilmu.blogspot.com/2010/05/public-choice.html http://wwwbutonutara.blogspot.com/2011/08/publik-choice-theory.html file:///E:/tmp/Eigen%20Arul%20%20PUBLIC%20CHOICE.htm file:///E:/tmp/Fisip%20Unipas%20Singaraja%20%20KRITIKAL%20REVIEW%20TEORI%20PILIHAN %20PUBLIK%20%E2%80%9CPUBLIC%20CHOICE%20THEORY%E2%80%9D.htm file:///E:/tmp/SOSIOLOGI%20POLITIK%20DALAM%20MASYARAKAT%20%20PUBLIC%20CHOICE.h tm http://wwwbutonutara.blogspot.com/2011/08/publik-choice-theory.html