MEMO SOSIOLOGI POLITIK V Agni Rahayu 0806463750 Ayu Agustin Nurshabani 0806347656 Jauharul Anwar 0806347763 Masyogi Adhiputra 0706284824 Szasza Hervanovriza 0806347883 Departemen Sosiologi FISIP UI Chapter I Memperluas partisipasi politik adalah visi dan misi utama dari politik modernisasi. Pada dasarnya masyarakat tradisional masih belum terlalu peduli dan acuh terhadap jalannya suatu pemerintahan. Padahal, kebijakan – kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan suatu masyarakat. untuk itu diperlukan kesadaran partisipasi politik agar proses pembuatan kebijakan dapat dipengaruhi oleh kepentingan masyarakat. Didalam tulisan Huntington dan Nelson definisi dari partisipasi politik adalah activity by private citizen design to influence govermental decision-making. Sedangkan didalam bahasa Indonesia bermakna aktifitas yang dilakukan oleh individu yang bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan pemerintah. Jika dimaknai lebih dalam maka akan mengandung beberapa makna yang pertama adalah partisipasi politik tidak hanya berupa sikap atau orientasi politik, tetapi lebih jauh lagi yaitu bagaimana dengan adanya sikap dan orientasi politik tertentu dapat dijalankan dalam suatu sistem politik, sehingga secara langsung maupun tidak ikut mempengaruhi jalannya sistem politik. Kedua, partisipasi dilakukan oleh tiap – tiap individu yang sama sekali tidak masuk kedalam sistem politik, tetapi aktivitasnya mempengaruhi jalannya sistem politik. Ketiga, hanya aktifitas yang ditujukan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakanlah yang dinamakan dengan partisipasi politik. Misalnya ketika suatu pemerintah sedang melakukan proses pembuatan kebijakan untuk permasalahan upah buruh, maka partisipasi dapat dilakukan dengan cara unjuk rasa, membuat petisi, menulis artikel di media, dll. Keempat, partisipasi politik tidak hanya dilihat melalui keberhasilannya mempengaruhi pembuatan kebijakan, tetapi juga kegagalan dalam mempengaruhi pembuatan kebijkan dipandang sebagai ikut berpartisipasi politik. Dengan demikian dapat dipahami bahwa partisipasi politik adalah aktivitas warga negara yang ditujukan dalam pengambilan keputusan pemerintah, yang berasal dari keinginan diri sendiri. Sehingga mobilisasi massa dianggap tidak termasuk kedalam partisipasi politik. Misalnya Huntington menjelaskan diwilayah Turki bagian timur yang notabene masih tradisional angka partisipasi politiknya lebih tinggi pada saat pemilihan umum, daripada wilayah Turki barat yang lebih modern. Namun, fenomena ini tidak dianggap sebagai partisipasi politik karena masyarakat di wilayah Turki timur digerakan oleh para tuan tanah untuk memilih partai maupun calon presiden tertentu. Sedangkan diwilayah Turki bagian barat walaupun angka partisipasinya lebih rendah dianggap sebagai partisipasi politik karena keinginan untuk memilih suatu partai dan calon presiden datang dari dirinya sendiri, bagi mereka yang tidak ikut memilih juga dianggap partisipasi politik. Chapter II Didalam bab 2 ini pembahasan lebih ditujukan kepada keterhubungan antara model pembangunan dengan partisipasi politik masyarakat. Salah satu model pembangunan yang populer adalah Liberal model of development yang digunakan oleh negara Amerika Serikat. Model pembangunan ini dipilih karena pada tahun 50an terjadi ketidakmerataan didalam kondisi sosio-ekonomi masyarakat Amerika, kejahatan politik, dan rendahnya partisipasi politik dalam sistem demokrasi. Untuk itu prioritas utama pembangunan adalah kondisi sosio-ekonomi masyarakat yang bertujuan meratakan distribusi ekonomi sehingga masyarakat menjadi sejahtera. Disamping itu sistem politik demokrasi juga terus dikembangkan. Sehingga ketika kondisi masyarakat sudah sejatera maka akan memacu stabilitas politik dan partisipasi politik pun ikut berkembang. Diagram Liberal Model of Development Stabilitas politik Pembangunan Kondisi sosio Sosio-ekonomi Ekonomi Bagus Partisipasi politik Demokratis Akan tetapi model pembangunan ini mendapatkan tiga buah kritik mendasar yaitu secara metodologinya lemah, secara empiris masih dipertanyakan, dan secara sejarah tidak relevan. Tiga kelemahan secara metodologis adalah; hubungan kausalitas antara pembangunan sosio-ekonomi dengan variabel lain yaitu stabilitas politik dan partisipasi politik validitasnya tidak terjamin. Kedua, model pembangunan ini terlalu pro-kemapanan yang berarti tidak melihat bagaimana dampak yang terjadi pada setiap tahap dalam pembangunan sosio-ekonomi masyarakat. Ketiga, hubungan kausal ini dibangun atas dasar pembangunan sosio-ekonomi, tetapi tidak melihat bagaimana jika yang dibangun terlebih dahulu adalah stabilitas politik. Dalam kasus negara – negara berkembang yang ikut menggunakan model pembangunan ini menunjukan hasil yang berlawanan dengan yang dicita – citakan. Modernisasi sosio-ekonomi menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan jaringan industri yang meluas justru menghasilkan jurang pemisah antara kelas atas dan kelas bawah. Sehingga menghasilkan relasi kekuasaan yang tidak seimbang sehingga pada akhirnya justru menciptakan ketidakstabilan politik dengan demikian juga menurunkan partisipasi politik. Development hypothesis mengatakan bahwa semakin tinggi level pembangunan sosial-ekonomi dari seseorang maka semakin tinggi pula tingkat partisipasi politik yang dimiliki dan secara implisit juga mempengaruhi mobilisasi dari seseorang itu sendiri. Dari equality hypothesis juga mengaitkan variabel tingkat sosial-ekonomi dengan tingkat partisipasi seseorang. Di sini disebutkan bahwa semakin tinggi tingkat equality sosioekonomi seseorang maka hal ini akan menunjukkan semakin tinggi pula tingkat partisipiasi politik mereka. Partisipasi politik yang dilakukan dapat berupa memilih calon pemimpin di daerah setempat seperti walikota ataupun gubernur maupun turun langsung menjadi perwakilan masyarakat di daerahnya. Salah satu alasan mengapa disebutkan semakin tinggi tingkat sosial-ekonomi maka semakin tinggi pula tingkat partisipasi politik karena hal ini berhubungan dengan tingkat pendidikan. Diasumsikan bahwa semakin tinggi pendidikan individu maka semakin tinggi pula tingkat sosial-ekonomi mereka. Sosialisasi yang diberikan dalam dunia pendidikan lebih cenderung menjadikan seseorang tidak apatis. Individu ingin menunjukkan hal terbaik yang mereka miliki dan mengubah negara ataupun daerahnya menjadi lebih baik. Negara berkembang biasanya lebih cenderung lebih tinggi partisipasi dalam pemilihan namun lemah pada tingkat partisipasi lain. Tingkat partisipasi seseorang dalam suatu negara tentunya akan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dari individu tersebut. Di negara berkembang sendiri pendidikan dari masyarakatnya bisa dikatakan lebih rendah dan masih banyak yang belum menerima pendidikan yang lebih tinggi. Hal inilah yang menyebabkan mengapa partisipasi dalam bentuk lain jarang ditemui di negara berkembang kecuali dalam bentuk pemilu. Muslim Indonesia’s Secular democracy – Saiful Munjani & R. William Liddle Pada era demokrasi ini, partai sekuler mendominasi mayoritas muslim Indonesia. Keadaan ini dapat dijelaskan secara susunan historikal dari pluralisme agama di Indonesia, kebijakan presiden Suharto pada orde baru, respon masyarakat muslim terhadap kebijakan tersebut, mayoritas pemilih yaitu muslim moderat, dan mobilitas pemilih yang tidak efektif oleh partai islam. Partai politik dan politikus sekuler kini mendominasi politik Indonesia dan nampaknya akan terrus mendominasi di masa yang akan datang. Pemilu parleman pada 2004 dan 2009 keduanya didominasi oleh partai sekuler, dimana pada saat itu terdapat 3 partai ssekular dengan kekuatan terbesar yaitu Golkar, PD, PDI-P yang memenangkan dengan suara dengan angka yang tidak jauh berbeda pada 2004 (44%) dan 2009 (49%). Dengan kemunculan partai baru seperti Hanura dan Gerindra yang juga merupakan partai sekular maka pada 2009 total suara untuk partai sekuler meningkat secara signifikan mencapai 57% . Sedangkan pada saat yang bersamaan, total pemilih dari partai Islam (PKS dan PPP) menurun dari 15% jadi 13% dari 2004 ke 2009, Partai dengan organisasi Islam seperti PKB dan PAN menurun tajam dari 17% menjadi 11%. Selain itu pada pemilihan presiden pada Juli 2009, 6 kandidat capres dan cawapres yang di nominasikan berasal dari partai sekuler atau nonpartisan. Dominasi dari partai sekuler pada perpolitikan Indonesia merupakan suatu wujud hubungan diantara kelompok agama pada Indonesia yang multi-agama, selain itu ini juga ini bagus untuk stabilitas demokrasi karena tidak ada tantangan kelompok yang signifikan dari kekuasaan yang populer. Namun dominasi partai sekular tidak berarti tidak adanya tantangan yang dihadapinya, pada 2004 PKS mengalami kesuksesan yang mengusuung harapan baru yang juga disertai oleh ketakutan karena tujuannya yang membentuk Negara Islam Indonesia namun menjanjikan membangun Indonesia dengan pemerintahan tanpa korupsi, yang memiliki kemampnamun sayangnya pada 2009 harapan dan ketakutan tersebut justru menghilang dan digantikan oleh permasalahn baru dari pemerintahan yang tidak kompeten dan tidak responsif yang menjadi tantangan nyata untuk kosolidasi demokrasi.