Sadra International Institute bekerjasama dengan - IC

advertisement
Sadra International Institute bekerjasama dengan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
(UGM) Yogyakarta mengadakan kerjasama seminar pra-konferensi yang ketiga dengan tema Islam,
Politik dan Civil Society pada 30 Juni 2014. Acara tersebut merupakan bagian dari rangkaian
seminar pra-konferensi guna menyambut konferensi internasional yang akan diselenggarakan
pada 19 - 20 November. Hadir sebagai pembicara para pakar politik dan agama seperti Prof. Dr. Greg
Barton (Monash University, Melbourne), Prof. Dr. Seyyed Mofid Hoseini (STFI Sadra Jakarta), Prof. Dr.
Shaharuddin Badaruddin (Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur) dan Dr. Ibu Supartiningsih
(UGM Yogyakarta).
Prof Barton yang juga banyak menulis tentang Gus Dur ini memulai uraiannya dengan
pandangan positif mengenai dinamika politik yang sedang terjadi di Indonesia. Perbincangan
politik di Indonesia sangat riuh. Ini adalah indikator yang baik. Ini adalah benar - benar demokrasi. Ada
debat yang terbuka, belum sempurna tapi adalah permulaan yang baik. Untuk membicarakan filsafat
politik, maka yang harus dibahas awalnya adalah fakta - fakta yang mengemuka pada saat ini. Pemilih
di Indonesia tidak meningkat, justru menurun. Tapi masyarakat Indonesia masih percaya pada
hasil demokrasi. Bagaimana dengan Partai Politik Islam? Sudah ada kestabilan sejak tahun 2009. Pada
1996, PKB memiliki keuntungan besar, yakni Gus Dur. Namun setelah itu kolaps lagi. Sekarang PKB
mulai lebih stabil. Sementara jika PKS, orang - orangnya sedikit tapi sangat penuh dedikasi. Di
Indonesia, hanya PKS yang paling canggih secara politik. Hanya saja, “barang” yang dijual memang
tidak laku. Kenapa tidak laku? Bukan karena agama Islam tidak laku, tapi karena Islam juga “dimiliki”
oleh partai - partai politik lain.
Prof.
Dr.
Seyyed Mofid Hoseini
menggarisbawahi
bahwa ada masalah
antara
keterkaitan
ilmu humaniora dan
politik. Dalam AlQur’an, ada 50 / 500
ayat yang membahas
mengenai Ilmu Politik.
Hanya saja, ayat tersebut belum dibahas dan ditafsir secara komprehensif oleh ilmuwan Islam.
Salah satu alasan kenapa politik dan Islam kurang harmonis, karena jika dilihat dalam negara negara Islam itu sendiri. Jika satu negara Islam menerapkan satu sistem politik tertentu, maka akan
berbeda dengan negara - negara lain, yang menyebabkan ada paradox dan benturan tertentu.
Hal ini tidak ditemukan dalam kajian lain, kecuali Politik dan Islam. Jika ingin mengkaji politik Islam,
maka harus mendekatkan diri pada konteks politik yang terjadi pasa masa Nabi dan para sahabat.
Tidak bisa hanya dipakai untuk melihat keadaan politik hari ini. Selanjutnya, permasalah
metodologis yang terjadi saat mempelajari ayat - ayat dalam Al - Qur’an. Kesalahan dalam
metodologi menyebabkan yang fatal dalam pemikiran tertentu. Kita harus memahami peran akal
dalam mempelajari ayat Al - Qur’an.
Prof. Dr. Shaharuddin Badaruddin membahas mengenai politik dan Islam dalam konteks
Malaysia.. Perkembangan politik Islam di Malaysia tidak dapat dilepaskan dari kebangkitan
nasionalisme Islam. Di Malaysia, Islam adalah Melayu dan Melayu adalah Islam. Sementara di
Indonesia, wacana yang berkembang tidak demikian. Mayoritas Melayu memegang kekuasaan
politik, sementara mayoritas Chinese memegang kuasa ekonomi. Hal ini tidak bisa berbaur.
Dr. Ibu Supartiningsih menjelaskan bahwa pada ranah ekonomi, sistem yang dikembangkan
dalam ekonomi Islam lebih mudah diterima. Hal ini berbeda dengan sistem Islam yang berusaha
diterapkan dalam politik. Ada semacam hegemoni sistem nilai tertentu terhadap sistem nilai yang
lain. Ia pun menekankan bahwa Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara agama.
Indonesia punya kesepakatan bersama, yakni Pancasila. Dalam hal beragama, ada unsur yang
terasa sekuler. Ada ketidak adilan, bahwa orang - orang sekuler yang bisa bersuara lebih nyaman
dibanding orang - orang yang berbicara dengan tradisi religious. Agama lantas didomestifikasi
hanya pada ranah privat. Ini kemudian membuat agama menjadi lebih kuat. Dalam civil society, hal
ini tidak adil bagi para pemeluk agama. Dalam ruang privat, orang - orang penganut tradisi
religious boleh menjadi sesuai keyakinannya. Sementara dalam ruang publik, mereka harus
menjadi sosok yang lain.
Acara yang berlangsung meriah tersebut berjalan dengan lancar yang diakhiri dengan sesi
tanya jawab dengan para audiens. Para peserta seminar pun tetap bertahan sampai acara sesi tanya
jawab usai.
Download