teori sosiologi agama - pasca iaid B-12

advertisement
TEORI
SOSIOLOGI AGAMA
oleh :
Dr. Fadlil Munawwar Manshur, M.S.
Bahan Ajar untuk Matakuliah
Teori Sosiologi Agama
pada Program Studi Pendidian Islam
PROGRAM PASCASARJANA S2
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID)
CIAMIS-JAWA BARAT
2012
A. PENGERTIAN SOSIOLOGI AGAMA
1. Teori Sosiologi : kumpulan paradigma mengenai
masyarakat dan fenomena masyarakat dengan
merujuk pada realitas masyarakat dan paradigmaparadigma yang digunakan untuk menerangkan struktu
sosial masyarakat dan proses-proses sosialnya
(Kinloch, 2005:276).
2.Sosiologi agama adalah proses interaktif antarkelompok sosial yang mempengaruhi keyakinan dan
pemahaman keagamaan individu. Dalam hal ini,
orang-orang berinteraksi dengan berbagai kelompok
sosial yang berbeda, dengan orang per orang,
organisasi, dan preferensi (pilihan) agama.
3. Individu mempunyai pengaruh terhadap
pengalaman dan pemahaman keagamaan untuk
meningkatkan iman dan religiositas
(keberagamaan) masyarakat. Sebaliknya,
individu juga memiliki hak untuk menolak
preferensi agama.
4. Preferensi agama (pilihan orang atas suatu
agama) dipandang penting, terutama dalam
interaksi antara masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain, serta interaksi antara
individu dengan organisasi.
B. OBJEK FORMAL
SOSIOLOGI AGAMA
1. Fungsi agama dalam mengembangkan atau
menghambat kelangsungan hidup, dan fungsi
agama dalam memelihara kelompok-kelompok
dalam masyarakat.

Bagaimana peranan agama dalam memahami dan
menyikapi masyarakat yang berbeda-beda tipe.
2. Menganalisis fungsi-fungsi sosial dari tingkah laku
keagamaan. Banyak akibat sosial yang timbul
karena tingkah laku keagamaan para pemeluk
agama. Sekurang-kurangnya ada dua fungsi sosial :


Fungsi latent (tersembunyi), yaitu fungsi yang tidak
disengaja, yang dilaksanakan oleh tingkah laku
institusional.
Fungsi manifest (nyata), yaitu fungsi yang disengaja, yang
memiliki tujuan-tujuan formal dari lembaga tersebut (lihat
Merton dalam Nottingham, 1993:33).
3. Unsur-unsur pokok apakah yang diperlukan
untuk mempertahankan kelangsungan hidup
masyarakat, dan sumbangan apakah yang
diberikan oleh agama kepada masyarakat
tersebut.
4. Bagaimana peranan agama dalam
masyarakat sebagai kekuatan yang
mempersatukan, mengikat, dan melestarikan
(Nottingham, 1993).
C. OBJEK MATERIAL
SOSIOLOGI AGAMA
1. Individu-individu dalam masyarakat
2. Kelompok-kelompok masyarakat
a. Masyarakat terbelakang;
b. Masyarakat pra-industrial yang sedang berkembang.
c. Masyarakat industri-sekuler.
3. Lembaga-lembaga keagamaan.
a. Ormas keagamaan (NU, Muhammadiyah, Persis, dll)
b. Lembaga pendidikan keagamaan (pesantren,
madrasah, dll)
c. Lembaga kajian keagamaan (LKiS, pusat-pusat studi
agama di perguruan tinggi, Islam Liberal, dll).
D. AGAMA DAN DINAMIKA SOSIAL
1. John McCarthy dan Mayer Zald (1977)
mengatakan bahwa gerakan sosial yang
mudah diintegrasikan dalam mempelajari
agama adalah dengan mengetahui struktur
gerakan perubahan.
2. Sherkat Darren mengatakan bahwa dalam
studi kontemporer sosiologi agama dipelajari
struktur gerakan perubahan yang dapat
memobilisasi organisasi-organisasi gerakan
sosial.
3.
4.
5.
Gerakan agama memiliki karakter khas, seperti
tentang supranatural (salah satu ajaran agama) yang
bermanfaat setidaknya untuk mereka yang percaya
terhadap agama.
Manusia menemukan penjelasan tentang arti
kehidupan - dan bahkan lebih banyak hal kecil
sangat berharga bagi kehidupan antarmanusia.
Dalam hal ini, manusia bersedia untuk saling
membantu dengan manusia lain, misalnya
membantu dengan waktu, uang, atau sumber daya
lain.
Makna hidup bagi manusia sangat berharga jika
antara manusia satu dengan manusia yang lain
terbangun sikap saling percaya.
6.
7.
8.
Sosialisasi agama adalah proses individu-individu
untuk memeluk agama yang dipilihnya. Untuk
memahami perkembangan agama pada tingkat
individu-individu, kita harus mengetahui bagaimana
masyarakat memilih agama, dan bagaimana mereka
berubah. Terutama, pandangan mereka tentang
agama tidak sama dengan pilihan afiliasi
keagamaan.
Orang memilih agama adalah untuk mengetahui
tujuan, arti, dan asal-usul kehidupan. Pilihan ini akan
membantu memotivasi manusia untuk menaati
agamanya, untuk berpartisipasi dalam ranah publik,
dan berafiliasi dengan organisasi keagamaan.
Perkembangan dan dinamika pilihan agama
seseorang dipengaruhi oleh faktor sosial. Dalam
membuat pilihan agama, agama tidak satu-satunya
faktor yang diperhitungkan.
9.
Pilihan agama berbicara tentang tanggapan terhadap
pengalaman individu atau pengaruh sosial. Misalnya,
mengetahui perjalanan hidup seseorang dalam
menyebarluaskan keyakinan agama dan hal-hal
yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan.
10. Orang tua, teman, pasangan, dan para sahabat
dinilai sumber informasi tentang kehidupan kolektif.
Jaringan ikatan sosial penting dibangun untuk
menghasilkan perubahan dalam persahabatan
sosial.
11. Masyarakat yang religius umumnya diperkuat melalui
pengalaman religius yang sifatnya rutin. Pilihan
agama sering mendorong seseorang untuk
beradaptasi dalam menjalankan keberagamaannya.
12. Orang-orang merasa senang dan dekat dengan
ajaran agama. Mereka menemukan nilai,
penghargaan, dan perlindungan dari agama. Orang
yang beragama mengalami perkembangan fluktuatif
dalam merespons pengaruh sosial.
13. Dari perspektif sumber daya manusia, pengalaman
religius membangun manusia menjadi religius. Modal
manusia beragama adalah memproduksi nilai agama
dalam sistem sosial. Oleh karena itu, manusia
memiliki modal dan kemampuan untuk mengubah
dan menghasilkan nilai-nilai agama.
14. Teori modal kepemimpinan manusia mampu
membangun keyakinan agama dan perilaku sosial.
Teori ini secara eksklusif mengembangkan dinamika
keagamaan.
15. Orang beragama yang beradaptasi mampu
mempromosikan perubahan, bukan
memproduksi sentimen. Adapun orang
beragama yang tidak bisa beradaptasi
cenderung memisahkan dirinya dari
masyarakat umum. Oleh karena itu, orang
kadang-kadang condong ke ekspresi
keagamaan yang bervariasi.
16. Orang mungkin akan dipaksa atau dibujuk
untuk mencoba hal baru dalam beragama.
Ajaran agama jelas terlihat dalam proses
pendidikan di sekolah keagamaan, misalnya,
para siswa lebih cenderung memilih ajaran
ortodoks dengan setia, walaupun secara
bersamaan mereka dipaksa untuk menganut
ideologi sekuler.
E. PENGARUH SOSIAL PADA
PERILAKU BERAGAMA
1. Perilaku beragama tidak hanya
memotivasi orang untuk mengonsumsi
budaya, tetapi perilaku beragama juga
memiliki konsekuensi sosial. Oleh
karena itu, pengamalan ajaran agama
mungkin didominasi oleh pengaruh
sosial.
2. Amartya Sen (1973,1993) mengidentifikasi
tiga jenis pengaruh sosial pada perilaku
beragama seseorang: (a) simpati/antipati, (b)
memberikan contoh, dan (c) sanksi.
3
Orang sering berpartisipasi dalam kelompokkelompok agama yang menimbulkan simpati
terhadap perasaan orang lain, meskipun
orang lain itu tidak mendapat keuntungan
dari kegiatan kolektifnya.
4. Orang kadang-kadang berpartisipasi dalam
kelompok-kelompok agama bukan karena
keinginan kolektif, tetapi sebaliknya, untuk
memusuhi orang lain sehingga menimbulkan
antipati.
5. Mengamalkan ajaran agama dapat
mencegah orang dari hukuman seperti
isolasi sosial, kesulitan ekonomi, dan tindak
kekerasan. Pentingnya penghargaan sosial
dan sanksi menunjukkan bahwa perilaku
beragama tidak menentukan tindakan
religius.
6. Hubungan sosial yang baik akan mempengaruhi perkembangan dan dinamika
kehidupan beragama.
F. PENGARUH SOSIAL
1.
Orang tua dan keluarga, dalam perspektif budaya
dan sejarah, adalah sumber utama informasi tentang
kekuatan “supranatural” (ghaib).
2.
Orang tua dan kerabat mengajarkan pemahaman
anak tentang hal-hal supranatural, dan ini
merupakan sumber informasi yang memiliki
keunggulan temporal dan afektif - yang keduanya
penting untuk mempengaruhi perilaku beragama.
Akan tetapi, banyak studi sosiologi agama
menyimpulkan bahwa orang tua memiliki komitmen
agama yang terbatas pada anak-anak.
3. Studi sosiologis ini telah tumbuh sebuah
generasi yang menghargai perbedaan
dalam nilai dan komitmen. Akan tetapi,
di sisi lain telah terjadi kesenjangan
generasi yang berubah secara radikal
dalam pemahaman keagamaan
mereka.
G. ORANG TUA DAN ANAK
1. Penelitian tentang peran orang tua terhadap
anak-anak telah menunjukkan bahwa
pengaruh orang tua mendominasi keyakinan
agama dan perjalanan hidup anak-anaknya.
2. Studi sistematis tentang pengaruh orang tua
pada perilaku beragama dalam diri anakanak dimulai pada 1937 oleh Newcomb dan
Svehla. Hasil penelitian mereka membuktikan
bahwa ibu memiliki andil 34 persen dalam
menjelaskan agama terhadap anak lakilakinya, sedangkan pemahaman agama Ibu
terhadap anak perempuannya mencapai 48
persen.
3.
Banyak penelitian telah menyimpulkan bahwa orang tua
memiliki pengaruh besar pada keyakinan agama dan perilaku
anak-anak. Secara umum, penelitian ini mengasumsikan
bahwa pengaruh orang tua cukup kuat dalam siklus hidup
awal anak-anaknya.
4. Orang tua yang baik adalah yang mampu memberikan pengaruh terus-menerus terhadap anakanaknya selama hidup.Peran orang tua adalah
membantu membentuk hubungan sosial anakanaknya. Tindakan ini dinamakan sosialisasi seumur
hidup.
5. Peristiwa yang terjadi dalam kehidupan membuat
orang tua lebih berpengaruh dalam mencari hikmah
tentang bagaimana membesarkan anak-anak
mereka, dan bagaimana menghadapi kehidupan
yang keras.
6. Dalam tindakan sosialisasi itu, orang tua
cenderung berfokus pada afiliasi
keagamaan dan partisipasi anak-anak
dalam kehidupan sosialnya.
7. Myers (1996) mengatakan bahwa keyakinan
agama dan partisipasi sosial merupakan
indikator untuk membangun religiositas
suatu masyarakat. Keyakinan ini
menghasilkan kesimpulan umum yang
menyebutkan bahwa ada hubungan antara
pemahaman agama dengan partisipasi
kehidupan beragama.
8. Dalam studi Sandomirsky ditunjukkan bahwa
solidaritas antara orang tua dan anak-anaknya dapat
memperkuat proses sosialisasi.
9. Ketika orang tua memiliki afiliasi agama yang
berbeda, anak-anak tidak mengikuti afiliasi
keagamaan orang tuanya, dan mereka lebih
cenderung untuk beralih afiliasi keagamaannya yang
berbeda dengan orang tuanya.
10. Menurut Nelsen (1981), perselisihan orang tua
dalam keluarga dapat meruntuhkan kebanggaan
anak-anak dalam beragama.
11. Ketika orang tua mengamalkan nilai-nilai agama
yang berbeda, maka terjadilah persaingan antara
orang tua dengan anak-anak dalam pengamalan
ajaran agama.
12. Menurut Collins (1993), kedekatan anak terhadap orang
tua akan membangun rasa simpati di antara kedua belah
pihak. Ikatan emosional juga dapat melahirkan interaksi
dan pemahaman yang mendalam antara orang tua dan
anak-anak. (asi, dialog)
13. Glass (1986) merumuskan teori tentang bagaimana faktor
dependensi (ketergantungan) antara orang tua dan anak
yang menyebabkan anak-anak dapat dipengaruhi oleh
nilai-nilai orang tua, terutama dalam perjalanan kehidupan
mereka. Sebaliknya, orang tua juga tergantung pada anakanaknya terutama tentang informasi-informasi penting
dalam kehidupan sosial mereka.
14. Besarnya pengaruh timbal balik antara orang tua dan anakanak melebihi tingkat pengaruh faktor-faktor lain seperti
tingkat pendidikan, dinamika keluarga prokreasi (misalnya,
perkawinan, perceraian, dan pengasuhan), dan pengaruh
kelompok keagamaan. (bagaimana pengaruh timbal balik orang tua anak
yang berefek pada firqahperceraian)
15. Orang tua memiliki pengaruh yang lebih pada keyakinan
anak-anak di awal perjalanan hidup (sebelum dewasa),
sementara anak-anak kemudian mempengaruhi orang tua
mereka sebagai orang dewasa. Namun, ketika anak-anak
mencapai usia tiga puluhan, orang tua sekali lagi menjadi
lebih berpengaruh.
16. Kemudian dalam perjalanan hidup, orang tua menarik
anak-anak dewasa kembali ke arah keyakinan keagamaan
yang lebih konservatif. Pola yang sama mungkin dapat
dilihat pada Revolusi Iran, yaitu kehidupan keagamaan
anak-anak muda dipimpin oleh orang tua mereka dan
kerabat lain dalam memilih keyakinan Islam tertentu (aliran
Syiah).
17. Revolusi Iran dalam perjalanan sejarahnya telah
menemukan kenyataan sosial bahwa masyarakat
cenderung lebih memilih moderatisme dalam kehidupan
keagamaan dan sosial mereka sehingga hal ini
berpengaruh terhadap pendidikan keagamaan anak-anak.
H. PENGARUH PASANGAN
1. Menurut Lazerwitz (1998), ikatan perkawinan
merupakan sumber penting terhadap
pengaruh perilaku beragama. Pasangan
yang religius memiliki pengaruh lebih besar
terhadap perubahan wawasan keagamaan.
2. Perkawinan juga terkait dengan dasar
preferensi agama, yaitu seseorang yang
menganut aliran keagamaan tertentu tidak
akan menikah dengan orang yang tidak
dicintainya. Hal ini memberi pengaruh
terhadap pasangan dalam pilihan nilai-nilai
keagamaan
3. Menurut McCutcheon (1988), ketika orang
memiliki preferensi agama yang kuat, dia
tidak mungkin memilih pasangan yang
berbeda agama, tetapi bagi mereka yang
memiliki preferensi agama yang lemah, lebih
mungkin untuk menikahi pasangannya yang
berbeda agama.
4. Menurut Darnell dan Sherkat (1997), ada
orang yang memilih pasangan hidup sesuai
dengan pilihan agamanya, sedangkan yang
lain cenderung memilihnya sesuai dengan
keinginannya.
5. Preferensi individu dalam beragama
mendorong kelompok-kelompok sosial untuk
mengembangkan hubungan keluarga,
pekerjaan, lingkungan, atau gerakan sosial.
6. Menurut Lawler (1993), makrostrukturalisme
mendominasi kerangka kerja dalam teori
pertukaran sosial. Teori ini berbicara tentang
konsepsi minimalis dalam memahami
motivasi pelaku beragama dan membantu
mengidentifikasi struktur sosial untuk
mengetahui pengaruh jaringan pada individu,
dan pengaruh individu pada jaringan.
I. KELUARGA DAN SOSIALISASI
1. Pada akhir abad ke-20 terlihat sebuah
kebingungan di bidang penelitian sosiologi,
yaitu berupa kendala data yang berkaitan
dengan hubungan pengaruh keluarga
terhadap komitmen pada keyakinan agama
dan sebaliknya.
2. Secara teoretis, keluarga memberikan
pengaruh yang berkelanjutan pada perilaku
beragama.
3. Salah satu tugas penting ke depan bagi
sosiolog agama adalah mulai menguji
pengaruh keluarga besar, dan pengaruh
timbal balik dalam keluarga selama hidup.
4. Keluarga tidak hanya menginformasikan
keyakinan agama dan pemahaman individu,
mereka juga menyediakan konteks sosial
primer tentang pilihan agama yang
dianutnya.
5. Dalam konteks hubungan struktural, sering
terjadi tumpang tindih antara simpati dan
sanksi; antara motivasi dan partisipasi
agama, serta antara afiliasi agama dan
keluarga.
6. Ikatan keluarga dan perilaku beragama
mendorong keluarga untuk mengamalkan
ajaran agama dengan sungguh-sungguh.
J. DENOMINASI (NETRALITAS)
1. Di bagian akhir abad ke-20, menjadi modis bagi
ulama untuk mengklaim bahwa perbedaanperbedaan keagamaan sedang menurun.
Artinya, netralitas seseorang dalam kehidupan
sosial-keagamaan menjadi penting.
2. Menurut Finke dan Stark (1992), di satu sisi,
selalu ada variasi dari kepercayaan dan
komitmen masyarakat untuk memilih netral
dalam perilaku beragama. Akan tetapi, di sisi
lain, terjadi pembentukan gerakan sektarian
yang berusaha untuk membangun ketegangan
dengan masyarakat yang lebih luas.
3.
Meskipun bervarisi, netralitas tetap berjalan untuk
mentransmisikan (mengalirkan) skema agama.
Netralitas dipandang sebagai "nonkelompok
keagamaan". Artinya, netralitas itu berkaitan dengan
anggota masyarakat yang tidak memilih “aliran atau
kelompok agama” tertentu.
4.
Menurut Harrison dan Lazerwitz (1982), netralitas dapat
mempengaruhi orang melalui orientasi tertentu terhadap
kepercayaan orang lain dan tindakan keagamaannya.
5.
Menurut Stark dan Bainbridge (1985), konflik dalam
penentuan sikap netral sering didorong oleh literatur
keagamaan yang bertentangan dengan pandangan
masyarakat. Netralitas dapat mempengaruhi kaum
awam yang hal ini tidak disukai oleh kaum elit dan
kelompok-kelompok partisan.
6. Menurut Sherkat dan Ellison (1999),
netralitas juga berperan dalam kegiatan
kolektif, sehingga memudahkan untuk
membangun kohesi sosial dalam
kelompok-kelompok agama.
7. Dalam netralitas biasanya dipengaruhi
oleh berbagai identitas (Dillon 1999a) dari
kelompok-kelompok agama, tetapi
masing-masing kelompok itu memiliki
pemahaman tentang tema-tema
keagamaan yang khas.
8.
Data survai umum sosial menunjukkan bahwa 45 persen
orang Amerika menikah dengan seseorang dari latar
belakang iman yang sama. Artinya, sisanya menikah
dengan pasangan yang berbeda iman (agama).
9. Menurut Hoffmann dan Miller (1998), dalam hal
keyakinan yang berbeda, sejumlah studi menunjukkan
bahwa kepercayaan dan praktik keagamaan pasangan
itu berbeda secara substansial di seluruh kelompok
keagamaan. Keyakinan keagamaan pasangan memiliki
dampak konsekuensi yang besar pada pilihan agama
masa depan tentang partisipasi dan afiliasi keagamaan.
10. Dalam studi keluarga, pengaruh kelompok keagamaan
cenderung mengabaikan perbedaan antara efek
keyakinan dan pemahaman agama dengan pengaruh
sosial.
11. Kelompok agama menyediakan konteks sosial
untuk anggotanya, misalnya memberi hadiah
untuk yang berprestasi dan menjatuhkan
hukuman bagi yang melanggar. Hal ini secara
signifikan dapat memotivasi partisipasi agama
di kalangan kelompoknya.
12. Menurut Harrison dan Lazerwitz (1982),
jaringan persahabatan, hubungan kerja,
jaringan lingkungan, dan hubungan
kekerabatan dapat mengonsolidasikan
kongregasi religius. Dalam konteks ini, afiliasi
kelompok keagamaan adalah sebuah pilihan.
K. PENGARUH PENDIDIKAN
1.
Para sarjana telah lama percaya bahwa pendidikan
akan mengusir mitos dan takhayul yang berkembang
dalam masyarakat, tetapi yang lebih berbahaya
adalah pendidikan akan menghilangkan peran
agama dalam kehidupan sosial. Para sarjana sekuler
berpendapat bahwa penelitian ilmiah akan
mengalahkan ajaran agama karena ajaran agama
sering dituduh tidak masuk akal.
2.
Teori sekularisasi agama secara dominan
menjelaskan tentang perubahan agama. Menurut
perspektif ini, pencapaian pendidikan dan kualitas
penalaran pendidikan sangat penting untuk mengusir
mitos dan takhayul, dan mengganti agama dengan
penjelasan ilmiah.
3. Teori sekularisasi agama menurut Stark
dan Finke (2000) menyebutkan bahwa
agama tetap penting walaupun perannya
cenderung menurun. Salah satu alasan
utama teori ini adalah bahwa dalam ilmu
dan pendidikan tidak ada penjelasan
tentang supranatural (hal-hal yang ghaib),
sedangkan dalam agama ada
kepercayaan tentang supranatural.
4. Menurut Darnell dan Sherkat (1997), organisasi
keagamaan bisa mengcounter sekularisasi agama
yang melanda tokoh-tokoh individu dan dapat pula
mengcounter pendidikan anti-agama yang
dikembangkan oleh sejumlah lembaga pendidikan.
Transposisi dari nilai-nilai agama ke dalam bidang
pendidikan dapat mencegah pendidikan sekuler.
5. Pendidikan sekuler di lembaga pendidikan dasar
dan lembaga pendidikan menengah pada
umumnya tidak bermusuhan terhadap agama,
tetapi dalam pendidikan tinggi, sentimen
antiagama sudah bersifat umum, dan ortodoksi
agama dilihat secara negatif.
6. Di Amerika Serikat menurut Stark dan Finke
(2000), dalam preferensi agama dan pilihan
pendidik terbukti bahwa selama beberapa dekade,
para dosen universitas, para ilmuwan (fisikawan,
matematikawan, ahli biologi, insinyur, dan
seterusnya) cenderung mengekspresikan
keyakinan agama ortodoks dan mempertahankan
afiliasi keagamaan tertentu.
7. Para profesor di perguruan tinggi dari bidang ilmu
humaniora dan ilmu sosial jauh lebih rentan
terhadap ateisme, dan mereka kurang memiliki
komitmen terhadap organisasi keagamaan.
Menurut mereka, penelitian dan penemuan ilmiah
tidak mungkin disandingkan dengan iman (agama)
apalagi menggantikannya.
8.
Menurut Hunsberger (1985) dan Johnson (1997), tidak
mengherankan jika penelitian sistematis telah menemukan
bahwa pencapaian pendidikan mengurangi preferensi bagi
agama ortodoks, dan sekaligus mempromosikan ateisme.
Menariknya, Johnson (1997) menemukan bahwa pengaruh
pendidikan pada keyakinan agama cukup positif dan
pendidikan juga memiliki dampak positif pada kepercayaan
dalam kehidupan setelah kematian.
9.
Cornwall (1989) menunjukkan bahwa pendidikan memiliki
dampak positif pada komitmen agama. Dalam setiap
kasus, hal ini menunjukkan bagaimana agama
mengcounter pengaruh pendidikan negatif dan pengaruh
pendidikan sekuler. Secara umum, Stolzenberg (1995)
menunjukkan bahwa pendidikan memiliki dampak positif
terhadap ketaatan seseorang terhadap ajaran agamanya.
10. Menurut Wilson dan Musick (1997), temuan ini
mencerminkan kenyataan bahwa lebih banyak responden
berpendidikan lebih mampu mempertahankan afiliasi
dengan berbagai organisasi keagamaan. Memang
hubungan antara pencapaian pendidikan dan pemahaman
agama tidak searah.
11. Kelompok agama dengan sistem kepercayaan yang kuat
mengakui kekuatan korosif pendidikan sekuler dan
berusaha untuk melindungi anggotanya dari kekuatankekuatan sosial. Di Barat, umat Katolik telah berhasil
memenuhi tantangan hegemoni Protestan dengan
membentuk lembaga pendidikan mereka sendiri. Memang,
di Amerika Serikat, pendidikan Katolik dikembangkan
dalam upaya terbuka untuk melawan pengaruh masyarakat
yang didominasi oleh Protestan.
12. Menurut Sherkat dan Darnell (1999), pendidikan publik
menjadi lebih sekuler dan lebih terbuka untuk menunjukkan
anti-agama. Aktivis agama telah memperingatkan orang
tua terhadap perangkap pendidikan di perguruan tinggi.
Orang muda yang memiliki keyakinan agama konservatif
menghindari pendidikan di perguruan tinggi karena
cenderung mengajarkan teori-teori anti-agama.
13. Hubungan antara pendidikan dan preferensi agama adalah
penting untuk para sosiolog agama. Pertumbuhan dramatis
sekolah swasta Protestan dan meningkatnya popularitas
home schooling di Amerika Serikat dapat berdampak besar
pada preferensi agama konservatif dan organisasi
keagamaan yang sektarian.
14 Lembaga-lembaga agama dapat menangkal dampak dari
pendidikan sekuler pada generasi umat masa depan.
L. RETROSPEKSI
DAN PROSPEK
1.
Karya yang paling berpengaruh dalam sosiologi
agama adalah fokus pada tema besar transformasi
makrokultural, yaitu mekanisme untuk mengelola
dinamika agama secara inheren pada tingkat
individu. Perubahan agama hanya akan terjadi jika
proporsi besar individu mengubah preferensi mereka
untuk ajaran-ajaran agama dan mengubah pilihan
agama mereka.
2.
Tindakan ideologis terstruktur harus dipertahankan
melalui proses sosialisasi dan pengaruh (Zald,
2000). Untuk memahami hal ini, kita harus fokus
pada keluarga, ikatan keagamaan, jaringan
persahabatan, kekerabatan, dan pengaruh lembaga
lainnya seperti pendidikan. Ini adalah ranah bahasan
sosialisasi agama.
3.
Sementara pendidikan sekuler melemahkan iman
agama tradisional. Individu agama dan lembaga
pendidikan agama memberi pengaruh terhadap iklim
akademis dan pendidikan sekuler yang bermusuhan
terhadap agama.
4.
Kita mengetahui sedikit-banyak tentang bagaimana
dampak perceraian dan pilihan agama bagi
seseorang, tetapi kita sangat sedikit mengetahui
tentang bagaimana peristiwa perceraian dapat
mengubah selera agama. Mungkin yang lebih
penting, tidak ada studi serius tentang bagaimana
memahami kematian dan penyakit serius berdampak
terhadap keinginan memilih agama. Studi menangani
isu-isu ini hubungan antara penuaan, transisi
kehidupan, pemahaman, dan komitmen terhadap
agama.
5.
Ada proposisi menarik yang menyebutkan
bahwa model sosialisasi agama dapat
menjelaskan perbedaan individu dalam
religiositas (keberagamaan). Perspektif
semacam ini mungkin menjadi alat yang
berharga untuk menjelaskan masalah
seksualitas dan perbedaan gender dalam
komitmen keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
 Fenn, Richard K. 2003. The Blackwell Companion to
Sociology of Religion. Blackwell Publishing, Malden and
Oxford.
 Hamilton, Malcolm. 2001. The Socilogy of Religion,
Theoretical and Comparative Perspective. Routledge,
London and New York.
 Kinloch, Graham C. 2005. Perkembangan dan Paradigma
Utama Teori Sosiologi. Pustaka Setia, Bandung.
 Nottingham, Elizabeth K. 1993. Agama dan Masyarakat,
Suatu Pengantar Sosiologi Agama. P.T. RajaGrafindo
Persada.
 Qardhawy, Yusuf. 1999. Fi Fiqhi al-Aulawiyyât, Dirâsatun
Jadîdah fi Dha`il-Qur`ân was-Sunnah. Maktabah
Wahbah, Kairo.
 Weber, Max. The Sociology of Religion
SELESAI
Download