TEORI SOSIOLOGI AGAMA oleh : Dr. Fadlil Munawwar Manshur, M.S. Bahan Ajar untuk Matakuliah Teori Sosiologi Agama pada Program Studi Pendidian Islam PROGRAM PASCASARJANA S2 INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID) CIAMIS-JAWA BARAT 2012 A. PENGERTIAN SOSIOLOGI AGAMA 1. Teori Sosiologi : kumpulan paradigma mengenai masyarakat dan fenomena masyarakat dengan merujuk pada realitas masyarakat dan paradigmaparadigma yang digunakan untuk menerangkan struktu sosial masyarakat dan proses-proses sosialnya (Kinloch, 2005:276). 2.Sosiologi agama adalah proses interaktif antarkelompok sosial yang mempengaruhi keyakinan dan pemahaman keagamaan individu. Dalam hal ini, orang-orang berinteraksi dengan berbagai kelompok sosial yang berbeda, dengan orang per orang, organisasi, dan preferensi (pilihan) agama. 3. Individu mempunyai pengaruh terhadap pengalaman dan pemahaman keagamaan untuk meningkatkan iman dan religiositas (keberagamaan) masyarakat. Sebaliknya, individu juga memiliki hak untuk menolak preferensi agama. 4. Preferensi agama (pilihan orang atas suatu agama) dipandang penting, terutama dalam interaksi antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, serta interaksi antara individu dengan organisasi. B. OBJEK FORMAL SOSIOLOGI AGAMA 1. Fungsi agama dalam mengembangkan atau menghambat kelangsungan hidup, dan fungsi agama dalam memelihara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Bagaimana peranan agama dalam memahami dan menyikapi masyarakat yang berbeda-beda tipe. 2. Menganalisis fungsi-fungsi sosial dari tingkah laku keagamaan. Banyak akibat sosial yang timbul karena tingkah laku keagamaan para pemeluk agama. Sekurang-kurangnya ada dua fungsi sosial : Fungsi latent (tersembunyi), yaitu fungsi yang tidak disengaja, yang dilaksanakan oleh tingkah laku institusional. Fungsi manifest (nyata), yaitu fungsi yang disengaja, yang memiliki tujuan-tujuan formal dari lembaga tersebut (lihat Merton dalam Nottingham, 1993:33). 3. Unsur-unsur pokok apakah yang diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat, dan sumbangan apakah yang diberikan oleh agama kepada masyarakat tersebut. 4. Bagaimana peranan agama dalam masyarakat sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan melestarikan (Nottingham, 1993). C. OBJEK MATERIAL SOSIOLOGI AGAMA 1. Individu-individu dalam masyarakat 2. Kelompok-kelompok masyarakat a. Masyarakat terbelakang; b. Masyarakat pra-industrial yang sedang berkembang. c. Masyarakat industri-sekuler. 3. Lembaga-lembaga keagamaan. a. Ormas keagamaan (NU, Muhammadiyah, Persis, dll) b. Lembaga pendidikan keagamaan (pesantren, madrasah, dll) c. Lembaga kajian keagamaan (LKiS, pusat-pusat studi agama di perguruan tinggi, Islam Liberal, dll). D. AGAMA DAN DINAMIKA SOSIAL 1. John McCarthy dan Mayer Zald (1977) mengatakan bahwa gerakan sosial yang mudah diintegrasikan dalam mempelajari agama adalah dengan mengetahui struktur gerakan perubahan. 2. Sherkat Darren mengatakan bahwa dalam studi kontemporer sosiologi agama dipelajari struktur gerakan perubahan yang dapat memobilisasi organisasi-organisasi gerakan sosial. 3. 4. 5. Gerakan agama memiliki karakter khas, seperti tentang supranatural (salah satu ajaran agama) yang bermanfaat setidaknya untuk mereka yang percaya terhadap agama. Manusia menemukan penjelasan tentang arti kehidupan - dan bahkan lebih banyak hal kecil sangat berharga bagi kehidupan antarmanusia. Dalam hal ini, manusia bersedia untuk saling membantu dengan manusia lain, misalnya membantu dengan waktu, uang, atau sumber daya lain. Makna hidup bagi manusia sangat berharga jika antara manusia satu dengan manusia yang lain terbangun sikap saling percaya. 6. 7. 8. Sosialisasi agama adalah proses individu-individu untuk memeluk agama yang dipilihnya. Untuk memahami perkembangan agama pada tingkat individu-individu, kita harus mengetahui bagaimana masyarakat memilih agama, dan bagaimana mereka berubah. Terutama, pandangan mereka tentang agama tidak sama dengan pilihan afiliasi keagamaan. Orang memilih agama adalah untuk mengetahui tujuan, arti, dan asal-usul kehidupan. Pilihan ini akan membantu memotivasi manusia untuk menaati agamanya, untuk berpartisipasi dalam ranah publik, dan berafiliasi dengan organisasi keagamaan. Perkembangan dan dinamika pilihan agama seseorang dipengaruhi oleh faktor sosial. Dalam membuat pilihan agama, agama tidak satu-satunya faktor yang diperhitungkan. 9. Pilihan agama berbicara tentang tanggapan terhadap pengalaman individu atau pengaruh sosial. Misalnya, mengetahui perjalanan hidup seseorang dalam menyebarluaskan keyakinan agama dan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan. 10. Orang tua, teman, pasangan, dan para sahabat dinilai sumber informasi tentang kehidupan kolektif. Jaringan ikatan sosial penting dibangun untuk menghasilkan perubahan dalam persahabatan sosial. 11. Masyarakat yang religius umumnya diperkuat melalui pengalaman religius yang sifatnya rutin. Pilihan agama sering mendorong seseorang untuk beradaptasi dalam menjalankan keberagamaannya. 12. Orang-orang merasa senang dan dekat dengan ajaran agama. Mereka menemukan nilai, penghargaan, dan perlindungan dari agama. Orang yang beragama mengalami perkembangan fluktuatif dalam merespons pengaruh sosial. 13. Dari perspektif sumber daya manusia, pengalaman religius membangun manusia menjadi religius. Modal manusia beragama adalah memproduksi nilai agama dalam sistem sosial. Oleh karena itu, manusia memiliki modal dan kemampuan untuk mengubah dan menghasilkan nilai-nilai agama. 14. Teori modal kepemimpinan manusia mampu membangun keyakinan agama dan perilaku sosial. Teori ini secara eksklusif mengembangkan dinamika keagamaan. 15. Orang beragama yang beradaptasi mampu mempromosikan perubahan, bukan memproduksi sentimen. Adapun orang beragama yang tidak bisa beradaptasi cenderung memisahkan dirinya dari masyarakat umum. Oleh karena itu, orang kadang-kadang condong ke ekspresi keagamaan yang bervariasi. 16. Orang mungkin akan dipaksa atau dibujuk untuk mencoba hal baru dalam beragama. Ajaran agama jelas terlihat dalam proses pendidikan di sekolah keagamaan, misalnya, para siswa lebih cenderung memilih ajaran ortodoks dengan setia, walaupun secara bersamaan mereka dipaksa untuk menganut ideologi sekuler. E. PENGARUH SOSIAL PADA PERILAKU BERAGAMA 1. Perilaku beragama tidak hanya memotivasi orang untuk mengonsumsi budaya, tetapi perilaku beragama juga memiliki konsekuensi sosial. Oleh karena itu, pengamalan ajaran agama mungkin didominasi oleh pengaruh sosial. 2. Amartya Sen (1973,1993) mengidentifikasi tiga jenis pengaruh sosial pada perilaku beragama seseorang: (a) simpati/antipati, (b) memberikan contoh, dan (c) sanksi. 3 Orang sering berpartisipasi dalam kelompokkelompok agama yang menimbulkan simpati terhadap perasaan orang lain, meskipun orang lain itu tidak mendapat keuntungan dari kegiatan kolektifnya. 4. Orang kadang-kadang berpartisipasi dalam kelompok-kelompok agama bukan karena keinginan kolektif, tetapi sebaliknya, untuk memusuhi orang lain sehingga menimbulkan antipati. 5. Mengamalkan ajaran agama dapat mencegah orang dari hukuman seperti isolasi sosial, kesulitan ekonomi, dan tindak kekerasan. Pentingnya penghargaan sosial dan sanksi menunjukkan bahwa perilaku beragama tidak menentukan tindakan religius. 6. Hubungan sosial yang baik akan mempengaruhi perkembangan dan dinamika kehidupan beragama. F. PENGARUH SOSIAL 1. Orang tua dan keluarga, dalam perspektif budaya dan sejarah, adalah sumber utama informasi tentang kekuatan “supranatural” (ghaib). 2. Orang tua dan kerabat mengajarkan pemahaman anak tentang hal-hal supranatural, dan ini merupakan sumber informasi yang memiliki keunggulan temporal dan afektif - yang keduanya penting untuk mempengaruhi perilaku beragama. Akan tetapi, banyak studi sosiologi agama menyimpulkan bahwa orang tua memiliki komitmen agama yang terbatas pada anak-anak. 3. Studi sosiologis ini telah tumbuh sebuah generasi yang menghargai perbedaan dalam nilai dan komitmen. Akan tetapi, di sisi lain telah terjadi kesenjangan generasi yang berubah secara radikal dalam pemahaman keagamaan mereka. G. ORANG TUA DAN ANAK 1. Penelitian tentang peran orang tua terhadap anak-anak telah menunjukkan bahwa pengaruh orang tua mendominasi keyakinan agama dan perjalanan hidup anak-anaknya. 2. Studi sistematis tentang pengaruh orang tua pada perilaku beragama dalam diri anakanak dimulai pada 1937 oleh Newcomb dan Svehla. Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa ibu memiliki andil 34 persen dalam menjelaskan agama terhadap anak lakilakinya, sedangkan pemahaman agama Ibu terhadap anak perempuannya mencapai 48 persen. 3. Banyak penelitian telah menyimpulkan bahwa orang tua memiliki pengaruh besar pada keyakinan agama dan perilaku anak-anak. Secara umum, penelitian ini mengasumsikan bahwa pengaruh orang tua cukup kuat dalam siklus hidup awal anak-anaknya. 4. Orang tua yang baik adalah yang mampu memberikan pengaruh terus-menerus terhadap anakanaknya selama hidup.Peran orang tua adalah membantu membentuk hubungan sosial anakanaknya. Tindakan ini dinamakan sosialisasi seumur hidup. 5. Peristiwa yang terjadi dalam kehidupan membuat orang tua lebih berpengaruh dalam mencari hikmah tentang bagaimana membesarkan anak-anak mereka, dan bagaimana menghadapi kehidupan yang keras. 6. Dalam tindakan sosialisasi itu, orang tua cenderung berfokus pada afiliasi keagamaan dan partisipasi anak-anak dalam kehidupan sosialnya. 7. Myers (1996) mengatakan bahwa keyakinan agama dan partisipasi sosial merupakan indikator untuk membangun religiositas suatu masyarakat. Keyakinan ini menghasilkan kesimpulan umum yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara pemahaman agama dengan partisipasi kehidupan beragama. 8. Dalam studi Sandomirsky ditunjukkan bahwa solidaritas antara orang tua dan anak-anaknya dapat memperkuat proses sosialisasi. 9. Ketika orang tua memiliki afiliasi agama yang berbeda, anak-anak tidak mengikuti afiliasi keagamaan orang tuanya, dan mereka lebih cenderung untuk beralih afiliasi keagamaannya yang berbeda dengan orang tuanya. 10. Menurut Nelsen (1981), perselisihan orang tua dalam keluarga dapat meruntuhkan kebanggaan anak-anak dalam beragama. 11. Ketika orang tua mengamalkan nilai-nilai agama yang berbeda, maka terjadilah persaingan antara orang tua dengan anak-anak dalam pengamalan ajaran agama. 12. Menurut Collins (1993), kedekatan anak terhadap orang tua akan membangun rasa simpati di antara kedua belah pihak. Ikatan emosional juga dapat melahirkan interaksi dan pemahaman yang mendalam antara orang tua dan anak-anak. (asi, dialog) 13. Glass (1986) merumuskan teori tentang bagaimana faktor dependensi (ketergantungan) antara orang tua dan anak yang menyebabkan anak-anak dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai orang tua, terutama dalam perjalanan kehidupan mereka. Sebaliknya, orang tua juga tergantung pada anakanaknya terutama tentang informasi-informasi penting dalam kehidupan sosial mereka. 14. Besarnya pengaruh timbal balik antara orang tua dan anakanak melebihi tingkat pengaruh faktor-faktor lain seperti tingkat pendidikan, dinamika keluarga prokreasi (misalnya, perkawinan, perceraian, dan pengasuhan), dan pengaruh kelompok keagamaan. (bagaimana pengaruh timbal balik orang tua anak yang berefek pada firqahperceraian) 15. Orang tua memiliki pengaruh yang lebih pada keyakinan anak-anak di awal perjalanan hidup (sebelum dewasa), sementara anak-anak kemudian mempengaruhi orang tua mereka sebagai orang dewasa. Namun, ketika anak-anak mencapai usia tiga puluhan, orang tua sekali lagi menjadi lebih berpengaruh. 16. Kemudian dalam perjalanan hidup, orang tua menarik anak-anak dewasa kembali ke arah keyakinan keagamaan yang lebih konservatif. Pola yang sama mungkin dapat dilihat pada Revolusi Iran, yaitu kehidupan keagamaan anak-anak muda dipimpin oleh orang tua mereka dan kerabat lain dalam memilih keyakinan Islam tertentu (aliran Syiah). 17. Revolusi Iran dalam perjalanan sejarahnya telah menemukan kenyataan sosial bahwa masyarakat cenderung lebih memilih moderatisme dalam kehidupan keagamaan dan sosial mereka sehingga hal ini berpengaruh terhadap pendidikan keagamaan anak-anak. H. PENGARUH PASANGAN 1. Menurut Lazerwitz (1998), ikatan perkawinan merupakan sumber penting terhadap pengaruh perilaku beragama. Pasangan yang religius memiliki pengaruh lebih besar terhadap perubahan wawasan keagamaan. 2. Perkawinan juga terkait dengan dasar preferensi agama, yaitu seseorang yang menganut aliran keagamaan tertentu tidak akan menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Hal ini memberi pengaruh terhadap pasangan dalam pilihan nilai-nilai keagamaan 3. Menurut McCutcheon (1988), ketika orang memiliki preferensi agama yang kuat, dia tidak mungkin memilih pasangan yang berbeda agama, tetapi bagi mereka yang memiliki preferensi agama yang lemah, lebih mungkin untuk menikahi pasangannya yang berbeda agama. 4. Menurut Darnell dan Sherkat (1997), ada orang yang memilih pasangan hidup sesuai dengan pilihan agamanya, sedangkan yang lain cenderung memilihnya sesuai dengan keinginannya. 5. Preferensi individu dalam beragama mendorong kelompok-kelompok sosial untuk mengembangkan hubungan keluarga, pekerjaan, lingkungan, atau gerakan sosial. 6. Menurut Lawler (1993), makrostrukturalisme mendominasi kerangka kerja dalam teori pertukaran sosial. Teori ini berbicara tentang konsepsi minimalis dalam memahami motivasi pelaku beragama dan membantu mengidentifikasi struktur sosial untuk mengetahui pengaruh jaringan pada individu, dan pengaruh individu pada jaringan. I. KELUARGA DAN SOSIALISASI 1. Pada akhir abad ke-20 terlihat sebuah kebingungan di bidang penelitian sosiologi, yaitu berupa kendala data yang berkaitan dengan hubungan pengaruh keluarga terhadap komitmen pada keyakinan agama dan sebaliknya. 2. Secara teoretis, keluarga memberikan pengaruh yang berkelanjutan pada perilaku beragama. 3. Salah satu tugas penting ke depan bagi sosiolog agama adalah mulai menguji pengaruh keluarga besar, dan pengaruh timbal balik dalam keluarga selama hidup. 4. Keluarga tidak hanya menginformasikan keyakinan agama dan pemahaman individu, mereka juga menyediakan konteks sosial primer tentang pilihan agama yang dianutnya. 5. Dalam konteks hubungan struktural, sering terjadi tumpang tindih antara simpati dan sanksi; antara motivasi dan partisipasi agama, serta antara afiliasi agama dan keluarga. 6. Ikatan keluarga dan perilaku beragama mendorong keluarga untuk mengamalkan ajaran agama dengan sungguh-sungguh. J. DENOMINASI (NETRALITAS) 1. Di bagian akhir abad ke-20, menjadi modis bagi ulama untuk mengklaim bahwa perbedaanperbedaan keagamaan sedang menurun. Artinya, netralitas seseorang dalam kehidupan sosial-keagamaan menjadi penting. 2. Menurut Finke dan Stark (1992), di satu sisi, selalu ada variasi dari kepercayaan dan komitmen masyarakat untuk memilih netral dalam perilaku beragama. Akan tetapi, di sisi lain, terjadi pembentukan gerakan sektarian yang berusaha untuk membangun ketegangan dengan masyarakat yang lebih luas. 3. Meskipun bervarisi, netralitas tetap berjalan untuk mentransmisikan (mengalirkan) skema agama. Netralitas dipandang sebagai "nonkelompok keagamaan". Artinya, netralitas itu berkaitan dengan anggota masyarakat yang tidak memilih “aliran atau kelompok agama” tertentu. 4. Menurut Harrison dan Lazerwitz (1982), netralitas dapat mempengaruhi orang melalui orientasi tertentu terhadap kepercayaan orang lain dan tindakan keagamaannya. 5. Menurut Stark dan Bainbridge (1985), konflik dalam penentuan sikap netral sering didorong oleh literatur keagamaan yang bertentangan dengan pandangan masyarakat. Netralitas dapat mempengaruhi kaum awam yang hal ini tidak disukai oleh kaum elit dan kelompok-kelompok partisan. 6. Menurut Sherkat dan Ellison (1999), netralitas juga berperan dalam kegiatan kolektif, sehingga memudahkan untuk membangun kohesi sosial dalam kelompok-kelompok agama. 7. Dalam netralitas biasanya dipengaruhi oleh berbagai identitas (Dillon 1999a) dari kelompok-kelompok agama, tetapi masing-masing kelompok itu memiliki pemahaman tentang tema-tema keagamaan yang khas. 8. Data survai umum sosial menunjukkan bahwa 45 persen orang Amerika menikah dengan seseorang dari latar belakang iman yang sama. Artinya, sisanya menikah dengan pasangan yang berbeda iman (agama). 9. Menurut Hoffmann dan Miller (1998), dalam hal keyakinan yang berbeda, sejumlah studi menunjukkan bahwa kepercayaan dan praktik keagamaan pasangan itu berbeda secara substansial di seluruh kelompok keagamaan. Keyakinan keagamaan pasangan memiliki dampak konsekuensi yang besar pada pilihan agama masa depan tentang partisipasi dan afiliasi keagamaan. 10. Dalam studi keluarga, pengaruh kelompok keagamaan cenderung mengabaikan perbedaan antara efek keyakinan dan pemahaman agama dengan pengaruh sosial. 11. Kelompok agama menyediakan konteks sosial untuk anggotanya, misalnya memberi hadiah untuk yang berprestasi dan menjatuhkan hukuman bagi yang melanggar. Hal ini secara signifikan dapat memotivasi partisipasi agama di kalangan kelompoknya. 12. Menurut Harrison dan Lazerwitz (1982), jaringan persahabatan, hubungan kerja, jaringan lingkungan, dan hubungan kekerabatan dapat mengonsolidasikan kongregasi religius. Dalam konteks ini, afiliasi kelompok keagamaan adalah sebuah pilihan. K. PENGARUH PENDIDIKAN 1. Para sarjana telah lama percaya bahwa pendidikan akan mengusir mitos dan takhayul yang berkembang dalam masyarakat, tetapi yang lebih berbahaya adalah pendidikan akan menghilangkan peran agama dalam kehidupan sosial. Para sarjana sekuler berpendapat bahwa penelitian ilmiah akan mengalahkan ajaran agama karena ajaran agama sering dituduh tidak masuk akal. 2. Teori sekularisasi agama secara dominan menjelaskan tentang perubahan agama. Menurut perspektif ini, pencapaian pendidikan dan kualitas penalaran pendidikan sangat penting untuk mengusir mitos dan takhayul, dan mengganti agama dengan penjelasan ilmiah. 3. Teori sekularisasi agama menurut Stark dan Finke (2000) menyebutkan bahwa agama tetap penting walaupun perannya cenderung menurun. Salah satu alasan utama teori ini adalah bahwa dalam ilmu dan pendidikan tidak ada penjelasan tentang supranatural (hal-hal yang ghaib), sedangkan dalam agama ada kepercayaan tentang supranatural. 4. Menurut Darnell dan Sherkat (1997), organisasi keagamaan bisa mengcounter sekularisasi agama yang melanda tokoh-tokoh individu dan dapat pula mengcounter pendidikan anti-agama yang dikembangkan oleh sejumlah lembaga pendidikan. Transposisi dari nilai-nilai agama ke dalam bidang pendidikan dapat mencegah pendidikan sekuler. 5. Pendidikan sekuler di lembaga pendidikan dasar dan lembaga pendidikan menengah pada umumnya tidak bermusuhan terhadap agama, tetapi dalam pendidikan tinggi, sentimen antiagama sudah bersifat umum, dan ortodoksi agama dilihat secara negatif. 6. Di Amerika Serikat menurut Stark dan Finke (2000), dalam preferensi agama dan pilihan pendidik terbukti bahwa selama beberapa dekade, para dosen universitas, para ilmuwan (fisikawan, matematikawan, ahli biologi, insinyur, dan seterusnya) cenderung mengekspresikan keyakinan agama ortodoks dan mempertahankan afiliasi keagamaan tertentu. 7. Para profesor di perguruan tinggi dari bidang ilmu humaniora dan ilmu sosial jauh lebih rentan terhadap ateisme, dan mereka kurang memiliki komitmen terhadap organisasi keagamaan. Menurut mereka, penelitian dan penemuan ilmiah tidak mungkin disandingkan dengan iman (agama) apalagi menggantikannya. 8. Menurut Hunsberger (1985) dan Johnson (1997), tidak mengherankan jika penelitian sistematis telah menemukan bahwa pencapaian pendidikan mengurangi preferensi bagi agama ortodoks, dan sekaligus mempromosikan ateisme. Menariknya, Johnson (1997) menemukan bahwa pengaruh pendidikan pada keyakinan agama cukup positif dan pendidikan juga memiliki dampak positif pada kepercayaan dalam kehidupan setelah kematian. 9. Cornwall (1989) menunjukkan bahwa pendidikan memiliki dampak positif pada komitmen agama. Dalam setiap kasus, hal ini menunjukkan bagaimana agama mengcounter pengaruh pendidikan negatif dan pengaruh pendidikan sekuler. Secara umum, Stolzenberg (1995) menunjukkan bahwa pendidikan memiliki dampak positif terhadap ketaatan seseorang terhadap ajaran agamanya. 10. Menurut Wilson dan Musick (1997), temuan ini mencerminkan kenyataan bahwa lebih banyak responden berpendidikan lebih mampu mempertahankan afiliasi dengan berbagai organisasi keagamaan. Memang hubungan antara pencapaian pendidikan dan pemahaman agama tidak searah. 11. Kelompok agama dengan sistem kepercayaan yang kuat mengakui kekuatan korosif pendidikan sekuler dan berusaha untuk melindungi anggotanya dari kekuatankekuatan sosial. Di Barat, umat Katolik telah berhasil memenuhi tantangan hegemoni Protestan dengan membentuk lembaga pendidikan mereka sendiri. Memang, di Amerika Serikat, pendidikan Katolik dikembangkan dalam upaya terbuka untuk melawan pengaruh masyarakat yang didominasi oleh Protestan. 12. Menurut Sherkat dan Darnell (1999), pendidikan publik menjadi lebih sekuler dan lebih terbuka untuk menunjukkan anti-agama. Aktivis agama telah memperingatkan orang tua terhadap perangkap pendidikan di perguruan tinggi. Orang muda yang memiliki keyakinan agama konservatif menghindari pendidikan di perguruan tinggi karena cenderung mengajarkan teori-teori anti-agama. 13. Hubungan antara pendidikan dan preferensi agama adalah penting untuk para sosiolog agama. Pertumbuhan dramatis sekolah swasta Protestan dan meningkatnya popularitas home schooling di Amerika Serikat dapat berdampak besar pada preferensi agama konservatif dan organisasi keagamaan yang sektarian. 14 Lembaga-lembaga agama dapat menangkal dampak dari pendidikan sekuler pada generasi umat masa depan. L. RETROSPEKSI DAN PROSPEK 1. Karya yang paling berpengaruh dalam sosiologi agama adalah fokus pada tema besar transformasi makrokultural, yaitu mekanisme untuk mengelola dinamika agama secara inheren pada tingkat individu. Perubahan agama hanya akan terjadi jika proporsi besar individu mengubah preferensi mereka untuk ajaran-ajaran agama dan mengubah pilihan agama mereka. 2. Tindakan ideologis terstruktur harus dipertahankan melalui proses sosialisasi dan pengaruh (Zald, 2000). Untuk memahami hal ini, kita harus fokus pada keluarga, ikatan keagamaan, jaringan persahabatan, kekerabatan, dan pengaruh lembaga lainnya seperti pendidikan. Ini adalah ranah bahasan sosialisasi agama. 3. Sementara pendidikan sekuler melemahkan iman agama tradisional. Individu agama dan lembaga pendidikan agama memberi pengaruh terhadap iklim akademis dan pendidikan sekuler yang bermusuhan terhadap agama. 4. Kita mengetahui sedikit-banyak tentang bagaimana dampak perceraian dan pilihan agama bagi seseorang, tetapi kita sangat sedikit mengetahui tentang bagaimana peristiwa perceraian dapat mengubah selera agama. Mungkin yang lebih penting, tidak ada studi serius tentang bagaimana memahami kematian dan penyakit serius berdampak terhadap keinginan memilih agama. Studi menangani isu-isu ini hubungan antara penuaan, transisi kehidupan, pemahaman, dan komitmen terhadap agama. 5. Ada proposisi menarik yang menyebutkan bahwa model sosialisasi agama dapat menjelaskan perbedaan individu dalam religiositas (keberagamaan). Perspektif semacam ini mungkin menjadi alat yang berharga untuk menjelaskan masalah seksualitas dan perbedaan gender dalam komitmen keagamaan. DAFTAR PUSTAKA Fenn, Richard K. 2003. The Blackwell Companion to Sociology of Religion. Blackwell Publishing, Malden and Oxford. Hamilton, Malcolm. 2001. The Socilogy of Religion, Theoretical and Comparative Perspective. Routledge, London and New York. Kinloch, Graham C. 2005. Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi. Pustaka Setia, Bandung. Nottingham, Elizabeth K. 1993. Agama dan Masyarakat, Suatu Pengantar Sosiologi Agama. P.T. RajaGrafindo Persada. Qardhawy, Yusuf. 1999. Fi Fiqhi al-Aulawiyyât, Dirâsatun Jadîdah fi Dha`il-Qur`ân was-Sunnah. Maktabah Wahbah, Kairo. Weber, Max. The Sociology of Religion SELESAI