ILMU PENGETAHUAN : ANTARA PANDANGAN ISLAM DAN BARAT Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan wacana kontemporer umat Islam yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Wacana ini muncul sebagai reaksi dari umat Islam terhadap dominasi pemikiran barat yang kering dengan nilai-nilai ketuhanan dalam dalam ranah ilmu pengetahuan. Diantara cendekiawan Islam yang aktif mewacanakan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, baik yang mendukung atau menolak dengan berbagai variannya, adalah Seyyed Hossein Nasr, Naquib al Attas, Yusuf Qaradhawi, Ismail al Faruqi, dan Abdus Salam. Sampai saat ini masih banyak umat Islam yang belum menyadari betapa pentingnya wacana ini. Tidak heran banyak di antara mereka yang bukan saja berbeda pandangan tetapi juga malah menentang gagasan ini. Padahal dominasi ilmu pengetahuan Barat telah berhasil mencuci benak umat Islam saat ini dan menghasilkan kerusakan cara berpikir umat yang jauh dari nilai-nilai agamanya. Akibatnya, saat ini kita menyaksikan banyak orang Islam yang berilmu tinggi namun tidak menunjukkan karakter sebagai muslim yang baik yang dapat berkontribusi terhadap kemashlahatan umat. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan berangkat dari asumsi bahwa ilmu tidaklah netral tetapi di dalamnya mengandung nilai-nilai. Karena ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini didominasi dari Barat maka, baik secara langsung atau tidak, ilmu tersebut membawa nilai-nilai peradaban Barat seperti sekularisme, humanisme, relativisme, atheisme, dan kapitalisme. Di antara nilai-nilai tersebut ada yang bersesuaian dengan Islam tapi tak sedikit pula yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah upaya mengintegrasikan pengembangan ilmu pengetahuan di dalam kerangka berpikir yang Islami. Pada dasarnya konsep Islam tentang ilmu pengetahuan memiliki beberapa kerangka berpikir sendiri yang membedakannya dengan kerangka berpikir ilmu pengetahuan Barat. Kerangka berpikir ini merefleksikan perbedaan kedua pandangan dalam menetapkan realitas dan kebenaran. Pertama, bahwa di dalam islamisasi ilmu pengetahuan terdapat pengakuan akan adanya hirarki atau tingkatan-tingkatan ilmu pengetahuan. Dr. Yusuf Qaradhawi menyebutkan ada empat hirarki ilmu pengetahuan berdasarkan keutamaan dalam mempelajarinya. Hirarki tertinggi terletak pada ilmu wajib fardhu ‘ain, yang mana setiap umat Islam wajib mempelajarinya. Yang termasuk di sini adalah ilmu agama yang dapat membimbing pelakunya untuk hidup dan beribadah sesuai dengan perintah Allah SWT. Hirarki kedua adalah ilmu fardhu kifayah, yaitu ilmu yang diwajibkan bagi segolongan orang yang dapat memberi kemaslahatan bagi orang banyak. Ilmu Fisika, Matematika, Komputer, Sosiologi, Ekonomi, Psikologi, Kedokeran, dan ilmu-ilmu umum lainnya yang dibutuhkan umat manusia termasuk dalam bagian ini. Hirarki yang ketiga adalah ilmu mubah, yaitu ilmu yang sifatnya tidak terlarang dalam pandangan syariah, tapi tidak masuk dalam dua kategori yang pertama. Misalnya ilmu yang berkaitan dengan hobi seperti ilmu musik. Bahkan, ilmu mubah ini dapat menjadi ilmu fardhu kifayah jika dapat diperlukan untuk kemaslahatan umat. Misalnya, ilmu musik yang digunakan sebagai cara berdakwah sehingga dakwah dapat lebih mudah diterima masyarakat. Dan yang terakhir adalah ilmu haram, yaitu ilmu yang menyebabkan orang yang mempelajarinya jatuh pada kemaksiatan kepada Allah SWT. Misalnya, ilmu sihir dan ilmu astrologi (peramalan) Dengan demikian, proses menuntut ilmu dalam pandangan islam harus dimulai dari ilmu fardhu ‘ain kemudian baru diikuti dengan ilmu fardhu kifayah dan ilmu mubah. Sedangkan ilmu haram terlarang untuk dipelajari. Hirarki ini tidak dikenal dalam kerangka berpikir Barat. Di dalam masyarakat yang tidak memahami hirarki ilmu ini akan banyak kita temukan seorang profesor matematika yang tidak tahu bacaan shalat, atau seorang cendekiawan Islam yang menghalalkan riba, atau tokoh masyarakat yang membela pornografi, atau para pelajar yang merasa gelisah karena tidak bisa berbahasa Inggris namun tetap santai meski tidak bisa membaca Quran. Dalam kerangka berpikir Islam, seorang profesor matematika yang tidak tahu bacaan shalat berarti sang profesor telah salah menempatkan prioritas ilmu yang harus dipelajarinya. Mengetahui bacaan shalat lebih penting baginya (karena shalat diwajibkan bagi setiap orang Islam) daripada belajar matematika. Demikian seharusnya cara berpikirnya. Kedua, Islamisasi ilmu pengetahuan berarti meletakkan wahyu bukan saja sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan tetapi juga standar tertinggi dalam menemukan kebenaran sebagaimana yang tersurat dalam Q.S. Al ‘Alaq (96) : 1-5. Hal ini berlawanan dalam pandangan ilmu pengetahuan Barat sekuler. Sumber kebenaran tertinggi dalam kerangka berpikir Barat terletak pada akal. Sementara di sisi lain, jangankan menerima wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan, Tuhan yang menurunkan wahyu pun telah mereka campakkan. Tuhan sudah mati, demikian kata Nietsche. Ungkapan senada niscaya kita temukan dalam berbagai karya filosof terkemuka Barat lainnya seperti Immanuel Kant, Hegel, Ludwig Feurbach, Karl Marx, Charles Darwin, Auguste Comte, Laplace, Sigmund Freud, dan masih banyak lagi. Ketiga, Islamisasi ilmu pengetahuan berarti tujuan tertinggi dalam menuntut ilmu adalah sebagai bagian ibadah kepada Allah SWT di atas tujuan lainnya (Q.S. Adz Dzaariyat [51] : 56). Perkembangan saat ini menunjukkan kecenderungan orang menuntut ilmu saat ini semakin jauh dari tujuan seharusnya. Menuntut ilmu bagi kebanyakan orang telah tereduksi menjadi sematamata untuk mencapai tujuan ekonomi. Itu sebabnya para pemuda berlomba-lomba memasuki jurusan-jurusan favorit (baca : mempunyai peluang kerja besar) di berbagai perguruan tinggi, sementara pada saat yang sama jurusan-jurusan ilmu-ilmu yang tidak favorit (termasuk di dalamnya ilmu-ilmu keislaman) semakin berkurang peminatnya. Keempat, karena tujuannya adalah dalam rangka ibadah, maka pengembangan ilmu harus terikat dengan ketentuan syariah. Dengan demikian, dalam kerangka berpikir ini maka tidak sepatutnya terjadi pengembangan ilmu farmasi dengan menggunakan bahan-bahan yang diharamkan Islam, atau pengembangan ilmu ekonomi dan keuangan berbasis riba. Sebaliknya, di dalam pandangan Barat sekuler ilmu pengetahuan berkembang secara liar nyaris tanpa kendali. Kalaupun ada, satu-satunya kendali itu adalah ketika produk ilmu pengetahuan tersebut telah mengancam kehidupan mereka, barulah mereka memutar haluan. Contoh paling anyar dalam hal ini adalah perdebatan panjang mengenai pemanasan global yang terjadi akhirakhir ini. Kelima, Islamisasi ilmu pengetahuan berarti keluaran (output) dari penyelenggaraan pendidikan (menuntut ilmu) adalah melahirkan manusia-manusia yang baik dalam pandangan Allah. Di dalam pandangan Barat sekuler, keluaran dari proses pendidikan adalah warga negara yang baik (good citizen). Warga negara yang baik adalah warga negara yang memiliki kontribusi posif terhadap pembangunan negara. Itu sebabnya kita sering mendengar tujuan pendidikan seperti ini : “meningkatkan sumber daya manusia” atau sejenisnya, yang berarti mereduksi hakikat manusia menjadi semata-mata mahluk ekonomi yang menghabiskan waktunya untuk tujuan-tujuan ekonomi. Dalam pandangan sekuler, seseorang yang produktif, taat membayar pajak, tidak korupsi, tidak membuat onar, atau segala bentuk ketaatan terhadap hukum lainnya akan dianggap sebagai warga negara yang baik meskipun ia berzina, tidak shalat, tidak membayar zakat,suka berjudi, atau pecandu minuman keras. Namun di dalam Islam seseorang yang baik tidaklah cukup dengan penghormatan terhadap hukum-hukum yang berlaku tetapi juga ketaatan terhadap perintah Tuhannya. Allahua’lam bis shawab