Jadi, struktur sosial adalah ’merupakan jaringan daripada unsur-unsur sosial yang pokok dalam kehidupan di masyarakat’. Unsur-unsur sosial yang pokok tersebut antara lain: (1) interaksi sosial; (2) kelompok sosial; (3) kebudayaan atau nilai-norma sosial; (4) lembagalembaga sosial; (5) stratifikasi sosial; dan (6) kekuasaan atau wewenang (Soekanto, S., 1984); dan (2) Konsep ‘struktur’ yang dipergunakan dalam analisis teori-teori sosiologi. Dalam hal ini ada dua konsep yang berbeda, yaitu: Pertama, konsep ‘struktur’ menurut pandangan teori fungsional struktural, adalah ‘sesuatu yang berada di luar (eksternal) aktor dan memaksa (determinis) pada aktor atau individu dalam melakukan aktifitas sosial di masyarakat. Jadi, struktur sosial berperan untuk membentuk, mengekang dan menentukan aktifitas sosial individu dalam masyarakat; dan Kedua, konsep ‘struktur’ menurut pandangan teori strukturasi Giddens, yaitu: Struktur dimaknai sebagai ‘properti-properti’ yang berstruktur, atau ‘seperangkat atau sekumpulan aturan dan sumber daya yang berulangkali terorganisasi’ (recursively organized sets of rules and resources). Dalam hal ini berarti: Struktur hanya ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia. Struktur bukan bersifat mengekang, mewarnai, membentuk dan memaksa tindakan sosial individu di masayarakat, sebab ada faktor agen (kemampuan jiwa, pikiran individu) juga ikut mewarnai, menentukan aktifitas sosial individu di masyarakat (Giddens, 1984; Faisal, S. 1998). Jadi, dalam pandangan teori strukturasi, makna struktur sosial bisa menggambarkan fenomena yang berskala makro dan juga menggambarkan fenomena yang berskala mikro, keduanya (makro-mikro) saling mengisi. Menurut Mc. Guire dalam Soekanto, S., (1984), bahwa mengkaji tentang struktur sosial harus dipamahami dimensi-dimensi struktur sosial masyarakat, sedangkan dimensidimensi struktur sosial adalah: 1. Dimensi yang mencakup status atau kedudukan sosial (social status), yang bisa didasarkan atas: status keluarga atau keturunan, status kekayaan, status keahlian atau kemampuan, status pengaruh/ kekuasaan, status adat atau tradisi dan sebagainya. Dari status tersebut tersebut memunculkan stratifikasi sosial dalam tiga lapisan, yaitu: upper class, middle class, dan lower class. 2. Dimensi yang mencakup lembaga-lembaga sosial (social institution), yaitu meliputi: political institution, domestic institution, economc institution, educational institution, scientific institution, religious institution, somatic institution, dan sebagainya. 3. Dimensi yang mencakup derajat konformitas terhadap perilaku yang tidak dikehendaki (pantang) atau yang dikehendaki oleh masyarakat. Konformitas tersebut mencakup titik yang paling patut dilakukan sampai pada penyimpangan (deviant). 4. Dimensi yang mencakup kelompok-kelompok sosial, misalnya: calor caste, ethnic group, varian orientation, varian by society, dan sebagainya. Keempat, konsep kehidupan sosial sebagai suatu sistem. Kehidupan sosial disebut sebagai ‘sistem sosial’ adalah karena dalam kehidupan sosial terdapat unsur-unsur (sebagai sub unsur), yang masing-masing unsur sosial tersebut bertindak sebagai sub sistem yang saling mempengaruhi atau kait mengkai dalam proses kehidupan. Menurut Berry, D., (1981), bahwa sistem sosial pada dasarnya adalah bagian dari pembahasan tentang masyarakat (society), dalam dialog sehari-hari sering pengertian ‘masyarakat’ dengan ‘sistem sosial’ hampir sinonim, terutama dalam mengungkap tentang ‘sistem masyarakat’ dengan ‘sistem sosial’, padahal tidak selalu demikian, karena meskipun konsep ‘sistem’ dapat dikenakan pada masyarakat yang memiliki kekuatan ‘impersonal’ terhadap individu, sistem juga dapat berhubungan dengan aspek-aspek atau karakter individu, misalnya: sistem di universitas bisa mendorong dosen bertindak otoriter; sistem dalam kepartaian, bisa mendorong DPR melakukan korupsi, sistem rumah sakit bisa menyebabkan orang menjadi sakit (hal ini sering disebut dimensi latensi). Sedangkan karakteristik suatu sistem sosial adalah: Pertama, ditinjau dari ruang lingkupnya, maka sistem sosial dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bersifat makro, dan mikro. Bersifat makro adalah menunjuk pada sistem sosial (sistem masyarakat) yang berskala besar atau luas, misalnya: Sistem pendidikan nasional; Sistem peradilan negara; Sistem perdagangan nasional; Sistem pertahanan nasional. Jadi unsur-unsur dalam sistem makro atau sub sistem sosial makro juga sangat luas atau kompleks. Sedangkan sistem sosial yang bersifat mikro adalah menunjuk pada bentuk sistem sosial yang kecil, misalnya sistem keluarga. Jadi sub sistem atau unsur-unsur dalam sistem keluarga juga sempit dan kecil, misalnya dalam keluarga inti, sub unsurnya adalah ayah, ibu dan anak; Kedua, perubahan atau perkembangan dari salah satu aspek atau unsur atau sub sistem akan mempengaruhi atau menghasilkan perubahan pada sub sistem lainnya, misalnya perubahan pada sub sistem ekonomi nasional akan membawa implikasi perubahan pada aspek politik, aspek keamanan atau sub sistem lainnya; dan Ketiga, antara sub sistem satu dengan sub sistem lainnya dalam ’sistem sosial’ bersifat deterministik (saling mempengaruhi). Sifat determinasi sub sistem satu pada sub sistem lainnya dalam ‘sistem sosial’ tersebut akan memungkinkan menghasilkan dua bentuk, yaitu: (1) membawa perubahan yang mengarah kepada pulihnya kembali keseimbangan sistem (equilibrium) dan mempertahankan status quo; dan (2) membawa perubahan yang mengarah pada kegoncangan sistem karena munculnya beragam perilaku menyimpang para angggota sistem (Soekanto, S., 1984; Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003). Dalam kehidupan masyarakat modern, ‘sistem sosial’ akan berkembang semakin kompleks, terdiferensiasi, terintegrasi dan banyak ditandai oleh pertimbangan-pertimbangan instrumental, karena perkembangnya spesialisasi-spesialisasi bidang kehidupan (Habermas, J., 1986). Suatu kehidupan sosial dianggap sebagai suatu ‘sistem sosial’, mengandung arti bahwa ‘kehidupan sosial tersebut mempunyai unsur-unsur atau sub unsur sosial yang saling berinteraksi satu dengan lainnnya, dan unsur-unsur tersebut membentuk struktur sistem sosial itu sendiri dan mengatur sistem sosial’. Unsur-unsur sistem sosial tersebut antara lain: (a) pengetahuan atau keyakinan; (b) sentimen atau perasaan (tindakan afektif); (c) tujuan atau sasaran atau cita-cita; (d) nilai dan norma sosial; (e) kedudukan (status) dan peranan (role) sosial; (f) stratifikasi sosial (tingkatan sosial seseorang dalam kelompok); (g) kekuasaan atau pengaruh (power), atau wewenang; (h) sanksi atau pengendalian atau kontrol sosial; (i) sarana atau fasilitas dalam kehidupan kelompok; dan (j) tekanan dan ketegangan (Sulaeman, M., 1998). Contoh keterkaitan antar unsur-unsur sosial tersebut dalam kehidupan sosial yang menggambarkan ‘suatu sistem’ adalah: ‘misalnya dalam kehidupan keluarga, seseorang yang membangun kehidupan keluarga agar berlangsung secara integratif, maka: (a) harus mendasarkan pada sistem keyakinan atau pengetahuan yang baik tentang syarat-syarat membangun keluarga bahagia (integratif); (b) proses sosialisasi dan interaksi antar anggota keluarga (ayah, ibu dan anak) tersebut harus berdasarkan ikatan batin yang kuat, satu keyakinan, satu perasaan atau didasarkan pada tindakan afektif; (c) semuan anggota keluarga dalam menjalin interaksi dan sosialisasi harus berdasarkan pada tujuan atau sasaran atau cita-cita yang telah disepakati dalam keluarga, yaitu mencapai keluarga bahagia (keluarga yang integratif); (d) dalam membangun keyakinan, interaksi dan untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan keluarga, harus mendasarkan pada nilai dan norma yang telah disepakati dalam keluarga; (e) dalam upaya mewujudkan peran atau fungsi anggota keluarga di atas, maka harus diperhatikan keberagaman kedudukan (status) atau lapisan status dan peranan (role) masing-masing angggota dalam keluarga; (f) dalam upaya merealisasikan tujuan terwujudkan integrasi keluarga, maka diperlukan figus orang tua yang melaksanakan wewenang atau kekuasaan dalam keluarga secara demokrasi; dan (g) agar pelaksanaan pemberian layanan pendidikan pada anaka dan anggota keluarga secara baik maka diperlukan sarana dan prasarana dengan baik dan adanya sistem kontrol yang tegas tetapi mendidik’. Deskripsi contoh di atas dapat digambarkan sebagai berikut. Gambar 1.1 tentang Kehidupan sosial sebagai suatu sistem. Tujuan Nilai, Norma Power Kontrol Sarana Tekanan Afeksi Lapisan Penget./ Kepercayaan Status & Role C. Konsep Kebudayaan Sebagai Suatu Sistem Dalam sub bab ini, fokus kajiannya adalah menjelaskan tentang: (1) pengertian kebudayaan; (2) wujud kebudayaan; (3) unsur-unsur kebudayaan; (4) kenisbian atau relativitas kebudayaan; (5) kebudayaan sebagai suatu proses hasil belajar atau pembelajaran; dan (6) kebudayaan sebagai suatu sistem. Perlu dipahami bahwa kajian tentang kebudayaan sebagai suatu sistem adalah mempunyai jangkauan materi bahasan yang sangat luas, oleh karena itu wacana yang tersaji dalam bagian ini hanyalah untuk memberikan dasar-dasar dalam melakukan kajian lebih lanjut tentang kebudayaan sebagai suatu sistem. Pertama, pengertian kebudayaan. Dalam khasanah kajian ilmu pengetahuan sosialbudaya telah dijumpai beragam definisi tentang kebudayaan. Keberagaman definisi tentang kebudayaan tersebut disebabkan oleh: Keberagaman orientasi filosofis-teoritis para ahli dalam memahami hakikat kebudayaan; dan adanya keberagaman disiplin keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing peminat studi kebudayaan. Bahkan pada tahun 1952 sudah ada seorang antropolog A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn yang menulis buku dengan judul ’Culture, A Critical Review of Concepts and Definitions’, dalam buku tersebut dijelaskan paling sedikit ada 160 buah definisi tentang kebudayaan, kemudian mereka menganalisis dari segi latar belakang, prinsip, dan tipe atau intinya (Koentjaraningrat, 1989).