Ekologi Gambut: Fungsi, Ancaman, dan Upaya Pengelolaan Berkelanjutan Gambut merupakan salah satu ekosistem lahan basah yang paling penting namun sekaligus paling rentan di dunia. Ekosistem ini terbentuk dari tumpukan bahan organik—seperti ranting, daun, dan batang kayu—yang tidak terurai sempurna akibat kondisi jenuh air dan minim oksigen. Proses pembentukan gambut sangat lambat, hanya sekitar satu milimeter per tahun, sehingga lapisan gambut setebal satu meter membutuhkan waktu ribuan tahun untuk terbentuk. Di Indonesia, gambut tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Papua, serta menjadi salah satu penyangga kehidupan bagi masyarakat sekitar maupun bagi keseimbangan lingkungan global. Secara ekologis, gambut berperan sebagai penyimpan karbon yang sangat besar. Satu hektare gambut dalam dapat menyimpan lebih dari seribu ton karbon. Ketika gambut dikeringkan, dibuka, atau terbakar, seluruh karbon tersebut akan terlepas ke atmosfer, sehingga memperparah perubahan iklim. Selain itu, gambut juga berfungsi mengatur tata air secara alami. Struktur gambut yang berpori mampu menahan air seperti spons sehingga mencegah banjir pada musim hujan dan mengurangi kekeringan pada musim kemarau. Tidak hanya itu, gambut menjadi habitat bagi beragam flora dan fauna unik, seperti jelutung rawa, ramin, meranti rawa, burung rangkong, hingga berbagai jenis ikan rawa yang menjadi sumber pangan masyarakat lokal. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, ekosistem gambut mengalami tekanan yang sangat berat. Aktivitas manusia—seperti pembukaan lahan untuk pertanian, pembangunan kanal, ekspansi perkebunan skala besar, dan penebangan hutan— mengubah kondisi hidrologi gambut secara drastis. Kanal-kanal yang dibuat untuk mengalirkan air justru menyebabkan gambut mengering dan menyusut. Gambut kering bersifat mudah terbakar, sehingga kebakaran besar sering terjadi terutama pada saat musim kemarau panjang. Tidak jarang kebakaran tersebut berlangsung secara “terbakar dalam” karena api merambat di bawah permukaan lahan. Kebakaran gambut bukan hanya berdampak pada hilangnya vegetasi dan biodiversitas, tetapi juga menimbulkan kabut asap yang mengganggu kesehatan dan aktivitas masyarakat, bahkan hingga lintas negara. Selain kebakaran, konversi lahan menjadi perkebunan monokultur juga membawa dampak ekologis jangka panjang. Keanekaragaman hayati menurun drastis karena habitat alami hilang. Tanah gambut yang terus menerus dikeringkan mengalami subsiden atau penurunan permukaan tanah, sehingga dalam beberapa tahun area tersebut menjadi lebih rentan terendam banjir. Ketika subsiden terjadi secara luas dan permanen, upaya pertanian maupun perkebunan menjadi semakin sulit dilakukan. Ini menunjukkan bahwa eksploitasi gambut tanpa mempertimbangkan kondisi ekologi berujung pada kerugian ekonomi bagi masyarakat maupun negara. Untuk mempertahankan fungsi ekologis gambut, berbagai upaya pengelolaan berkelanjutan telah dikembangkan dan diterapkan. Salah satu pendekatan utama adalah restorasi hidrologi, yaitu mengembalikan kondisi basah alami gambut. Restorasi hidrologi dilakukan melalui penutupan atau penyekatan kanal dengan membangun sekat kanal dari kayu, tanah, atau geotextile. Dengan sekat kanal, permukaan air tanah bisa dinaikkan kembali sehingga gambut tetap jenuh air dan tidak mudah terbakar. Meskipun prosesnya membutuhkan waktu, pendekatan ini terbukti efektif dalam menekan risiko kebakaran dan memulihkan kondisi ekosistem secara bertahap. Selain perbaikan hidrologi, restorasi vegetasi juga menjadi langkah penting. Penanaman kembali jenis-jenis pohon asli gambut, seperti jelutung, ramin, tumih, gelam, dan berbagai spesies meranti rawa, bertujuan mengembalikan struktur hutan dan memperkuat siklus ekologis. Beberapa metode digunakan, seperti penanaman langsung, persemaian, hingga pendekatan assisted natural regeneration, yaitu membantu pertumbuhan alami dengan mengurangi gangguan, membersihkan pesaing invasif, atau melindungi tunas muda dari hama. Dalam beberapa kasus, pendekatan ini lebih efektif dan ekonomis dibanding penanaman konvensional karena memanfaatkan kecenderungan alami ekosistem untuk pulih. Di sisi lain, pengelolaan gambut tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan teknis. Perlu keterlibatan masyarakat sebagai pelaku utama yang hidup di dalam dan sekitar kawasan gambut. Banyak komunitas lokal yang memiliki pengetahuan tradisional dalam memanfaatkan gambut secara berkelanjutan, seperti pengambilan getah jelutung atau pengelolaan sagu. Mereka memiliki hubungan kultural dengan lahan, sehingga pelibatan mereka tidak hanya memperkuat keberlanjutan tetapi juga mendorong penerimaan sosial terhadap program restorasi. Pendekatan berbasis masyarakat, seperti pembentukan kelompok peduli api, praktik pertanian ramah gambut, atau pemanfaatan ekonomi non-kayu, terbukti membantu mengurangi tekanan terhadap lahan sekaligus meningkatkan penghasilan rumah tangga. Di tingkat kebijakan, pemerintah Indonesia telah mengembangkan kerangka regulasi untuk melindungi dan merestorasi gambut. Pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) pada tahun 2016, yang kemudian menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), mempercepat upaya rehabilitasi jutaan hektare gambut yang rusak. Berbagai pedoman teknis diterbitkan, mulai dari tata kelola air, penanaman kembali, hingga pemantauan kebakaran. Selain itu, perusahaan perkebunan juga diwajibkan menerapkan tata kelola gambut yang lebih ketat, termasuk mempertahankan muka air tanah dan tidak membuka area dengan kubah gambut yang rapuh. Meski demikian, tantangan ke depan masih besar. Perubahan iklim menyebabkan musim kemarau semakin panjang dan tidak dapat diprediksi, sehingga risiko kebakaran meningkat. Di beberapa wilayah, pembangunan infrastruktur dan ekspansi permukiman terus mendorong penggunaan lahan baru. Tanpa pengelolaan yang hati-hati, tekanan terhadap gambut akan makin besar. Oleh karena itu, perlu sinergi antara pemerintah, masyarakat, akademisi, dan dunia usaha. Gambut tidak bisa dilihat hanya sebagai sumber lahan ekonomi, tetapi harus dipandang sebagai aset ekologis yang bernilai tinggi bagi keberlanjutan kehidupan. Pada akhirnya, menjaga ekosistem gambut bukan hanya soal melindungi lingkungan lokal, tetapi juga bagian dari upaya global menghadapi perubahan iklim. Setiap hektare gambut yang terjaga berarti menahan ratusan ton karbon dari atmosfer. Setiap kanal yang ditutup dan setiap pohon yang ditanam kembali adalah investasi jangka panjang untuk masa depan. Melalui pengelolaan yang bijak, kita dapat mengembalikan fungsi gambut sebagai penyimpan air, penyerap karbon, dan rumah bagi keanekaragaman hayati, sekaligus memastikan bahwa masyarakat yang tinggal di sekitarnya dapat hidup dengan lebih sejahtera.