C. Esensi Ajaran Islam dalam Pandangan HMI Islam adalah ajaran rahmatan lil alamin, maka Islam bersifat universal. Keuniversalan Islam mengandung beragam nilai-nilai kebenaran yang sepantasnya menjadi prinsip-prinsp dasar bagi manusia dalam menjalin hubungannya baik secara vertikal maupun horisontal. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, nilai-nilai tersebut secara substansi terdiri dari tiga hal pokok, yang sekaligus merupakan inti dari ajaran Islam. ketiga hal pokok tersebut adalah tauhid, kemanusiaan, dan keadilan. Tauhid adalah representasi dari berbagai implikasi atas keberislaman seseorang. Tauhid juga akan berimplikasi terhadap lehirnya sikap-sikap keagamaan yang benar. Di dalam Islam, hal yang paling mendasar adalah tauhid, itulah makanya, dua kalimat syahadat menjadi pintu awal bagi seseorang untuk berislam. Dua kalimat syahadat atau persaksian manusia terhadap kepercayaannya kepada Tuhan, serta persaksiannya terhadap kenabian Muhammad, adalah tindakan seorang muslim dalam menegasikan segala bentuk kepercayaan lain, kemudian meletakkan hanya satu kepercayaan pada dirinya, yaitu Tuhan sebagai orientasi segala tujuan hidupnya. Di dalam Islam, kemanusiaan mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi. Kemanusiaan adalah syarat mutlak bagi makhluk ciptaan Tuhan sehingga ia disebut sebagai manusia. Karena adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sekaligus merupakan tujuan dari penciptaan itu sendiri, maka pada kehidupan duniawi, manusia adalah khalifah. Kekhalifahan manusia di muka bumi, tidak dapat dilepaskan dari fitrah yang dilekatkan kepadanya yang kemudian menjadikannya selalu berkecenderungan kepada kebenaran (hanief). Itulah makna penting kemausiaan manusia, yang merupakan salah satu inti dari ajaran Islam. Tuhan menciptakan setiap makhluknya dengan keadilannya. Setiap makhluk yang diciptakan Tuhan, memperoleh haknya masing-masing secara proporsional. Tanpa adanya keadilan Tuhan, maka tatanan dan harmonisasi kehidupan tidak akan dapat berjalan dengan baik dan benar. Termasuk manusia, ketika tidak ada keadilan Tuhan yang diberikan kepadanya, maka manusia tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk secara bebas memilih jalannya dengan segala konsekwensinya. Keadilan Tuhan juga terpancar melalui semua janji-Nya yang akan ditepati terhadap semua makhluk yang diciptakan-Nya. Bahwa setiap perbuatan baik akan mendapatkan balasan yang lebih besar, sementara setiap perbuatan yang jahat, Tuhan hanya akan membalasnya berimbang dengan bobot nilai kejahatan yang dilakukan. Bukti keadilan Tuhan yang melebihi keadilan itu sendiri, tidak ada yang bisa membantahnya. Itulah maka, keadilan menjadi esensi dari ajaran Islam. Segala sesuatu yang benar oleh manusia di dunia belum tentu adil, namun segala sesuatu yang adil oleh manusia, pasti benar. Sebagai manifestasi Tuhan, maka sudah seharusnya manusia menginternalisasikan sifat keadilan Tuhan ke dalam dirinya. Dengan begitu maka akan dapat memancar keadilan manusia kepada manusia yang lainnya. Sebagai bentuk dari penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiasn, maka keadilan harus diberikan kepada setiap manusia oleh setiap manusia yang lainnya. Dengan begitu ia telah mengaktalisasikan ketauhidannya. Keadilan adalah manifestasi tauhid, dan dengan adanya keadilan maka nilai-nilai kemanusiaan akan tetap terjaga dan selalu dijunjung tinggi. Sikap adil dan penghargaan terhadap kemanusiaan yang didasari tauhid, adalah keberislaman yang sejati bagi manusia, sebab itulah inti dari Islam. 1. Tauhid Kata tauhid sudah tidak asing lagi bagi setiap pemeluk Islam. Kata tauhid selain berarti “mengesakan”, dalam makna generiknya juga berarti “mempersatukan”, yaitu mempersatukan hal-hal yang terserak-serak atau terpecahpecah. Sebagai istilah yang sering digunaka dalam ilmu kalam, tauhid diartikan sebagai faham “Ketuhanan Yang Maha Esa” atau monoteisme. Apa yang menjadi pandangan dari para ahli teologi mengenai tauhid, dapat dikatakan telah secara tepat mengungkapkan isi pokok ajaran semua nabi dan rasul Tuhan, yaitu ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Percaya kepada Tuhan tidaklah dengan sendirinya berarti tauhid. Sebab percaya kepada Tuhan masih mengandung kemungkinan percaya kepada yang lainlain yang secara disadari maupun tidak disadari, telah diposisikan sebagai Tuhan. Maka dalam hal ini dibutuhkan adanya negasi dan afirmasi sebagai usaha pemurnian keparcayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Negasi adalah usaha melepaskan diri dari kepercayaan kepada yang palsu. Bahkan secara ekstrim, negasi dapat diartikan sebagai pelepasan terhadap semua bentuk kepercayaan yang tardapat di dalam diri seseorang. Afirmasi adalah pemusatan kepercayaan hanya kepada yang benar, atau dapat dipahami juga sebagai penegasan, penempatan hanya kepada satu kepercayaan saja, yaitu kepercayaan yang benar, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Islam, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Percaya kepada Keesaan Allah SWT. Tauhid, dalam pandangan HMI, tidak hanya berkutat pada wilayah ketuhanan, namun juha harus membumi di wilayah kemanusiaan, yaitu realitas sosial yang nyata. Sebab seperti pengertian tauhid itu sendiri, yang dalam makna generiknya adalah “mempersatukan”, maka dalam hal ini tauhid juga harus dipahami selain sebagai paham monoteisme, juga sebagai pemersatuan seluruh orientasiorientasi, wilayah-wilayah aktualisasi manusia dalam kehidupannya, serta segala bentuk perwujudan diri manusia yang lainnya. Tauhid adalah awal dan akhir dari seruan Islam. ia adalah suatu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Suatu kepercayaan yang menegaskan bahwa hanya Tuhanlah yang menciptakan, memberi hukum-hukum, mengatur dan mendidik alam semesta (tauhid Rububiyah). Sebagai konsekwensinya, maka hanya Tuhan itulah yang satu-satunya wajib disembah, dimohon petunjuk, pertolongannya, serta ditakuti (tauhid Uluhiyah). Bahwa Tuhan adalah sumber segala kebaikan dan kebenaran. Pengetahuan tentang Tuhan hanya mungkin diperoleh melalui wahyu (revelation). Kemampuan dalam menerima pengetahuan sampai tingkat tertinggi tidak dimiliki oleh semua manusia, demikian juga dengan wahyu, hanya orang-orang tertentu saja yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri, yaitu para Nabi dan Rasul atau utusan Tuhan. Para Nabi dan Rasul tersebut telah lewat dalam sejarah, semenjak Adam sampai Muhammad. Muhammad adalah Rasul Allah yang terakhir, jadi tidak ada lagi Rasul setelah Muhammad. Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad Rasulullah terkumpul keseluruhannya dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an tersebut mengandung seluruh keterangan tentang segala sesuatu tentang alam, manusia, hingga hal-hal ghaib yang tidak mungkin diketahui oleh manusia dengan cara-cara yang lain. Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang teguh kepada Al-Qur’an dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammad. Maka kalimat persaksian setelah “Tidak ada Tuhan selain Allah”, adalah “Muhammad adalah Rasul Alah”. Hukum dasar alami dari segala yang ada adalah perubahan dan perkembangan. sebab segala sesuatu sebagai ciptaan Tuhan pasti akan mengalami perubahan. Hanya Sang Pencipta-lah yang tidak berubah, yaitu Tuhan. Perubaha adalah pengembangan menuju tujuan, yaitu Kebenaran atau Tuhan. Manusia harus sejalan dengan arah perkembangan tersebut, karena manusia tidak dapat menolak atau melawan hukum-hukum Tuhan tentang perubahan atau perkembangan pada setiap makhluk ciptaannya, termasuk manusia itu sendiri. Karena arah perkembangan tersebut adalah kebenaran, maka manusia harus berorientasi kepada kebenaran. Agar manusia dapat sampai kepada kebenaran, maka manusia harus mengetahui jalan menuju kebenaran. Oleh sebab itu, kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh Iman dan diterangi oleh Ilmu. Bidang Iman dan percabangannya adalah wewenang wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan adalah wewenang manusia untuk mengusahakan da mengumpulkannya dalam kehidupan dunia. Ilmu tersebut adalah sejarah, yaitu ilmu tentang alam dan manusia. Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran yang sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan kehidupan yang ada sebagaimana adanya. Tidak boleh dilekatkan padanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana adanya, tidak menyerupai Tuhan. Doktrin tauhid bagi kehidupan manusia akan menjadi sumber kehidupan jiwa dan kemanusiaan yang tinggi. Tauhid aka mendidik jiwa manusia untuk mengikhlaskan seluruh hidup dan kehidupannya hanya kepada Allah semata. Tujuan hidupnya ialah Allah, dan harapan yang dikejarnya adalah keridhaan Allah (limardhatillah). Maka dengan demikian akan membawa konsekwensi pembinaan karakter yang agung, menjadi manusia yang suci, jujur, dan teguh memegang amanah. Tauhid merupakan kekuatan yang besar, yang mampu mengatur secara tertib manusia. Tauhid juga mampu membebaskan manusia dari berbagai belenggu duniawi seperti penjajahan, perbudakan, dan perhambaan, baik oleh sesama manusia ataupun oleh hawa nafsu dan harta benda. Melalui jiwa tauhid yang tinggi, manusia akan bebas dari belenggu-belenggu ketakutan dalam kemiskinan harta benda, sebab yakin bahwa setiap makhluk hidup mendapatkan rezki dari Tuhan. Tauhid juga akan membebaskan manusia dari ikatak-ikatan keduduka dan jabatan. Sebab tauhid akan menyadarkan manusia tentang Tuhan-lah yang dapat menaikkan dan menurunkan manusia atas kedudukan dan jabatannya. Tauhid membebaskan manusia dari perasaan takut dengan kematian. Tauhid menyadarkan manusia bahwa persoalan kematian berada di tangan Tuhan, bahwa setiap yang berjiwa akan mati. Mati dimaknai sebagai pintu gerbang yang akan dilewati oleh setiap makhluk. Konsekwensinya, tumbuhnya semangat jihad untuk menegakkan yang hak dan menghancurkan yang bathil. Maka tauhid menjadi dasar bagi keberanian untuk melakuka setiap bentuk perjuangan di jalan Allah SWT. Tauhid juga akan membebaskan manusia dari sikap putus asa, bingung, berkeluh kesah ketika menghadapi persoalan hidup. Denga tauhid, jiwa seorang manusia akan senantiasa besar dan kuat. Tauhidlah yang akan memberikan kebahagiaan hakiki kepada manusia baik di dunia maupun di akhirat. Semangat-semangat di atas, harus diaktualkan tidak hanya pada ranah vertikal, namun juga horizontal. Pada ranah sosial, seluruh aktifitas manusia harus merupakan manifestasi dari konsekwensi atas kepercayaannya hanya kepada Allah SWT, tujuannya hanya kepada Allah SWT. Itulah tauhid yang sesungguhnya. Berbuat baik kepada sesama manusia, bahkan yang berbeda agama, dikarenakan mengaktualkan sifat-sifat Tuhan oleh manusia kepada manusia lainnya, adalah juga tauhid. Tauhid, selain dari persaksian atas Tuhan Yang Maha Esa, tidak menduakanNya, tidak mensejajarkan atau menyamakan-Nya dengan yang selain-Nya, menjadikan-Nya sebagai awal sekaligus tujuan, tauhid juga adalah kesatuan antara hati, fikiran, tutur kata, dan tindakan yang mengarah kepada kebenaran. 2. Kemanusiaan Kemanusiaan adalah sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia. Manusia adalah puncak ciptaan, karena manusia merupakan makhluk yang tertinggi. Oleh karena itu, manusia adalah wakil Tuhan di bumi. Manusia hanya dapat dikatakan sebagai manusia selama di dalam diri manusia tersebut melekat sifat-sifat yang secara keseluruhan hanya dimiliki oleh manusia. Jika keseluruhan sifat-sifat tersebut tidak teraktualkan baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dalam hubungannya denga sesama manusia yang lainnya, meskipun telah melekat keseluruhan sifat tersebut, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai manusia. Keseluruhan sifat-sifat itulah yang disebut sebagai kemanusiaan. Tanpa adanya kemanusiaan di dalam diri manusia, maka secara hakiki ia tidak dapat disebut sebagai manusia. Jadi kemanusiaan mencakup keseluruhan sifat beserta pengaktualan dari keseluruhan sifat tersebut. Keseluruhan sifat yang dimiliki hanya oleh manusia, termasuk juga pengaktualannya disebut dengan fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (hanief). Manusia dilengkapi dengn hati nurani sebagai pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi mausia sejati. Pengaktualan akan dari kemanusiaan tersebut dinyatakan dalam bentuk kerja atau amal perbuatannya. Hanya dalam kerja atau amal perbuatan yang sesuai dengan hati nurani saja mausia akan dapat mencapai kebahagiaan. Ketika manusia melaksanaka kerja atau amal perbuatan yang tidak sesuai dengan hati nuraninya, maka ia akan menderita kepedihan. Kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan, dan kemerdekaan hanya akan ada karena keikhlasan. Sementara keikhlasan akan ada setelah manusia menjadikan Tuhan sebagai orientasi satu-satunya. Dalam hal ini, kemanusiaan tidak dapat dilepaskan dari tauhid. Maka jika terdapat manusia merasa lebih tinggi dari manusia yang lain, maka ia telah mendudukkan dirinya sejajar dengan Tuhan. sebab tidak ada yang lebih tinggi dari manusia selain Tuhan. Maka pada saat itulah ia telah kehilangan kemanusiaannya, sekaligus menjadi musyrik. Manusia yang kehilangan kemanusiaannya cenderung tidak menghormati atau memandang kemanusiaan pada diri manusia yang lain. Seorang manusia yang kehilangan kemanusiaannya, ia akan melakukan penindasan terhadap manusia lainnya, merampas hak-hak manusia lain, dan selalu ingin menguasainya. Hak kemanusiaan seseorang yang tidak boleh dirampas atau dihilangkan, itu juga adalah kemanusiaan seorang manusia. Manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur kemanusiaan dan unsur ketuhanan. Seseorang tanpa salah satu unsur tersebut maka ia belumlah sempurna sebagai manusia. Maka kemanusiaan bagi manusia adalah juga keberadaan kedua unsur tersebut pada diri manusia. 3. Keadilan Salah satu tema pokok di dalam Al-Qur’an adalah keadilan. Hal tersebut terlihat dari banyaknya kata ‘adl dan kata yang semakna dengannya di dalam AlQur’an, misalnya seperti kata al-qist, al-wazn, dan al-wast. Melalui pndekatan tafsir tematik, ditemukan bahwa konsep keadilan dalam Al-Qur’an mengandung makna yang serba melingkupi. Pengertian keadilan tersebut berkisar pada makna perimbangan atau keadaan yang seimbang, persamaan, dan penunaian hak kepada yang berhak atau penempatan sesuatu pada tempatnya. Keadilan sebagai salah satu esensi dasar atau inti dari ajaran Islam, pada realitas manusia mencakup keadilan pada wilayah sosial dan keadilan pada wilayah ekonomi. Keadilan pada wilayah sosial memberikan tuntunan moral kepada manusia agar dapat hidup berdampingan secara damai dan bersahabat antar sesama walaupun berbeda suku, agama, dan ras dalam sebuah komunitas di manapun tanpa adanya penindasan dan diskriminasi oleh satu kepada yang lainnya. Prinsip tersebut berpijak pada semangat universalitas Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Keadilan sosial mencakup pada aspek hukum, politik, pendidikan, dan lain sebagainya. Keadilan pada wilayah ekonomi, mengandung pengertian bahwa harus ada persamaan dengan menghindarkan segala bentuk ketimpangan sosial yang disebabkan oleh adanya kesenjangan ekonomi yang dikarenakan eksploitasi, keserakahan, capital accumulation, dan lain sebagainya. Maka dengan demikian, keadilan yang mencakup wilayah sosial dan ekonomi dalam perspektif Islam didasarkan pada ajaran persaudaraan yang melampaui batas-batas geografis. Sebab manusia di hadapan Allah memiliki derajat yang sama, tanpa ada yang boleh merasa berada lebih di atas dari yang lainnya. Dengan perspektif yang demikian, maka sangat jelas Islam berlawanan atau menolak kapitalisme. Sebab kapitalisme bertentangan dengan prinsip keadilan, dilihat dari sudut pandang manapun. Keadilan harus senantiasa ditegakkan, hal ini mengingat kecenderungan adanya pertarungan antara keinginan yang bermacam-macam. Dalam menegakkan keadilan di masyarakat, maka masyarakat sendirilah yang bertanggung jawab menegakkan keadilan. Oleh karena itu, harus ada kelompok di dalam masyarakat, yang dengan kualitas-kualitas tertentu selalu berupaya menegakka keadilan dengan jalan menganjurkan sesuatu yang bersifat kemausiaan, serta mencegah terjadinya segala sesuatu yang berlawanan dengan kemausiaan. Kualitas-kualitas tersebut diantaranya adalah rasa kemanusiaan yag tinggi, kecakapan atau kemampuan yang cukup, dan keamanahan dalam memimpin. Rasa kemanusiaan yang tinggi sangat dibutuhkan karena ia adalah pancaran dari kecintaan yang tanpa batas kepada Tuhan. kecakapan yang cukup dibutuhkan karena dalam menegakkan keadilan, dibutuhkan selain rasa kemanusiaan, juga ilmu dan cara bagaimana keadilan harus ditegakkan. Sedangkan keamanahan dalam kepemimpinan dibutuhkan karena di dalam masyarakat harus ada pemimpin, dan hanya pemimpin yang amanah dan memperjuangkan keadilanlah yang dapat mejaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya. Dan dalam waktu yang sama, menghormati kemerdekaan da martabat orang lain. Di dalam masyarakat, struktur yang tertinggi adalah negara. Negara juga merupakan bentuk masyarakat yang terpenting. Di dalam negara terdapat pemerintah, dan pemerintah adalah struktur kepemimpinan yang tertinggi di dalam masyarakat. Karena maksud didirikannya negara dan pemerintahan adalah untuk melindungi masyarakat, maka pemerintahlah yang memiliki kewajiban pertama kali untuk menegakkan keadilan di dalam masyarakat. Menegakkan keadilan mencakup penguasaan terhadap berbagai keinginan dan kepentingan pribadi di dalam masyarakat yang tidak mengenal batas. Menegakkan keadilan adalah amanat rakyat kepada pemerintah yang harus dilaksanakan. Dan ketaatan rakyat terhadap pemerintah, adalah ketaatan kepada diri sendiri yang harus ditaati. Sebab secara demokratis, pemerintah adalah perwakilan dari rakyat. pemerintahan yang harus ditaati adalah pemerintahan yang benar dan mengabdi kepada kemanusiaaan, kepada kebenaran, dan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di bidang ekonomi, keadilan menuntut untuk adanya pembagian kekayaan secara wajar. Adanya ketimpangan ekonomi di dalam pemerintahan yang tidak menegakkan keadilan, dengan ditandai oleh lebih banyaknya orang yang miskin dari pada yang kaya, adalah bentuk adanya kedzaliman. Jika konteksnya demikian maka orang miskin berada di pihak yang benar, karena mereka sedang didzalimi oleh orang kaya yang berbuat dzalim. Seperti telah disinggung sebelumnya, kejahatan di bidang ekonomi dalam penindasan dilakukan oleh kapitalisme. Maka menegakkan keadilan adalah memberantas kapitalisme berikut komponen-komponennya yang terdapat di dalam masyarakat. Alasan pemberantasan terhadap kapitalisme adalah bahwa kapitalismelah yang melakukan penumpukan kekayaan yang digunakan ke jalan tidak benar, yaitu memiskinkan rakyat. Sedangkan penumpukan kekayaan yang digunakan ke jalan yang tidak benar adalah dosa besar kedua setelah syirik. Menagakkan keadilan bukan saja dengan ‘amar ma’ruf nahi munkar, tetapi juga harus melalui pendidikan yang intensif terhadap pribadi-pribadi agar tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan adanya Tuhan. Usaha-usaha ke arah perbaikan dalam pembagian rezki yang lebih merata harus dijalakan oleh masyarakat, dan jalan terakhirnya adalah melalui zakat. Zakat hanya diambil dari orang kaya, yang didapatkan dari jalan yang halal (berupa harta halal), dan dalam jumlah tertentu. Bagi harta kekayaan yang tidak halal (haram) tidak dikenakan zakat, namun harus dijadikan milik umum untuk digunakan demi kepentingan rakyat. Di dalam hal penggunaan harta kekayaan, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Penggunaan harta kekayaan hanya dibenarkan ketika tidak melebihi batas-batas tertentu, yaitu tidak kurang dan tidak melebihi penggunaan rata-rata dalam masyarakat. Penggunaan harta yang belebihan betentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Begitu juga sebaliknya, penggunaan harta yang di bawah rata-rata akan berakibat kepada menumpuk dan membekunya harta kekayaan umum yang seharusnya berputar, yaitu perputaran ekonomi yang sehat da sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana diperlukan oleh pribadi-pribadi agar dia dan keluarganya dapat mengatur hidupnya secara hormat sesuai dengan keinginannya untuk dapat menerima tangung jawab atas kegiatan-kegiatannya. Dalam masa sekarang, keadilan akan sangat jelas sebagai salah satu inti ajaran Islam selain tauhid dan kemanusiaan. Terutama ketika dilihat pada konteks politik, hukum, sosial, dan yang lainnya. Manusia selain cenderung kepada kebenaran, jika ia tidak mengikuti hati nuraninya, maka ia aka dapat terjerumus kepada hal-hal yang tidak benar. Maka manusia seringkali mengangap kebenaran itu banak sesuai dengan kepentingannya. Kebenaran yang menurut manusia seperti itu belum tentu adil. Tetapi keadilan sudah pasti benar. 4. Beriman, Berilmu, dan Beramal Hidup yang benar dimulai dengan beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan taqwa. Iman harus senantiasa dipelihara dan diperkuat dengan jalan beribadah atau mengamalkannya sebagai bentuk pengabdian formal kepada Tuhan. Ibadah tersebut akan mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan selalu berpegang teguh kepada kebenaran sesuai dengan kehendak hati nurani. Ibadah atau pengamalan yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan kedudukannya di tengah alam dan masyarakat sesamanya. Manusia yang beribadah secara terus menerus kepada Tuhan tidak akan melebihkan diri menganggap sebagai Tuhan, atau sebaliknya, yaitu merendahkan diri akibat memperbudakkan diri kepada alam atau orang lain. Semua manusia sejajar, hanya Tuhan yang berada di atas manusia. Ibadah atau pengamalam manusia sebagai wujud keberimanannya merupakan proses perkembangan yang permanen, sebagaimana masyarakat yang juga selalu berubah dan berkembanga. Perjuangan mausia adalah untuk mengarahkan perubahan atau perkembangan tersebut agar mengarah kepada kondis yang lebih baik dan lebih benar. Untuk itu, maka dibutuhkan pengetahuan yang harus selalu didalami dan digunakan sesuai dengan nilai-nilai kebenaran untuk kemanusiaan. Kerja tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, dan ilmu tanpa kemanusiaan hanya akan menghancurkan peradaban. Maka antara iman, ilmu, dan amal harus terdapat pada diri manusia. Ketiganya secara integral akan menuntun manusia kepada tujuannya yang sebenarnya yaitu keridhaan Allah SWT. SEKIAN DAN TERIMAKASIH