Esensi Ajaran Islam

advertisement
C. Esensi Ajaran Islam dalam Pandangan HMI
Islam adalah ajaran rahmatan lil alamin, maka Islam bersifat universal.
Keuniversalan Islam mengandung beragam nilai-nilai kebenaran yang
sepantasnya menjadi prinsip-prinsp dasar bagi manusia dalam menjalin
hubungannya baik secara vertikal maupun horisontal. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya, nilai-nilai tersebut secara substansi terdiri dari tiga hal pokok, yang
sekaligus merupakan inti dari ajaran Islam. ketiga hal pokok tersebut adalah
tauhid, kemanusiaan, dan keadilan. Tauhid adalah representasi dari berbagai
implikasi atas keberislaman seseorang. Tauhid juga akan berimplikasi terhadap
lehirnya sikap-sikap keagamaan yang benar. Di dalam Islam, hal yang paling
mendasar adalah tauhid, itulah makanya, dua kalimat syahadat menjadi pintu
awal bagi seseorang untuk berislam. Dua kalimat syahadat atau persaksian
manusia terhadap kepercayaannya kepada Tuhan, serta persaksiannya
terhadap kenabian Muhammad, adalah tindakan seorang muslim dalam
menegasikan segala bentuk kepercayaan lain, kemudian meletakkan hanya satu
kepercayaan pada dirinya, yaitu Tuhan sebagai orientasi segala tujuan
hidupnya.
Di dalam Islam, kemanusiaan mendapatkan kedudukan yang sangat
tinggi. Kemanusiaan adalah syarat mutlak bagi makhluk ciptaan Tuhan sehingga
ia disebut sebagai manusia. Karena adalah makhluk ciptaan Tuhan yang
sekaligus merupakan tujuan dari penciptaan itu sendiri, maka pada kehidupan
duniawi, manusia adalah khalifah. Kekhalifahan manusia di muka bumi, tidak
dapat dilepaskan dari fitrah yang dilekatkan kepadanya yang kemudian
menjadikannya selalu berkecenderungan kepada kebenaran (hanief). Itulah
makna penting kemausiaan manusia, yang merupakan salah satu inti dari ajaran
Islam.
Tuhan menciptakan setiap makhluknya dengan keadilannya. Setiap
makhluk yang diciptakan Tuhan, memperoleh haknya masing-masing secara
proporsional. Tanpa adanya keadilan Tuhan, maka tatanan dan harmonisasi
kehidupan tidak akan dapat berjalan dengan baik dan benar. Termasuk
manusia, ketika tidak ada keadilan Tuhan yang diberikan kepadanya, maka
manusia tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk secara bebas memilih
jalannya dengan segala konsekwensinya. Keadilan Tuhan juga terpancar
melalui semua janji-Nya yang akan ditepati terhadap semua makhluk yang
diciptakan-Nya. Bahwa setiap perbuatan baik akan mendapatkan balasan yang
lebih besar, sementara setiap perbuatan yang jahat, Tuhan hanya akan
membalasnya berimbang dengan bobot nilai kejahatan yang dilakukan. Bukti
keadilan Tuhan yang melebihi keadilan itu sendiri, tidak ada yang bisa
membantahnya. Itulah maka, keadilan menjadi esensi dari ajaran Islam. Segala
sesuatu yang benar oleh manusia di dunia belum tentu adil, namun segala
sesuatu yang adil oleh manusia, pasti benar.
Sebagai manifestasi Tuhan, maka sudah seharusnya manusia
menginternalisasikan sifat keadilan Tuhan ke dalam dirinya. Dengan begitu
maka akan dapat memancar keadilan manusia kepada manusia yang lainnya.
Sebagai bentuk dari penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiasn, maka
keadilan harus diberikan kepada setiap manusia oleh setiap manusia yang
lainnya. Dengan begitu ia telah mengaktalisasikan ketauhidannya. Keadilan
adalah manifestasi tauhid, dan dengan adanya keadilan maka nilai-nilai
kemanusiaan akan tetap terjaga dan selalu dijunjung tinggi. Sikap adil dan
penghargaan terhadap kemanusiaan yang didasari tauhid, adalah keberislaman
yang sejati bagi manusia, sebab itulah inti dari Islam.
1. Tauhid
Kata tauhid sudah tidak asing lagi bagi setiap pemeluk Islam. Kata tauhid
selain berarti “mengesakan”, dalam makna generiknya juga berarti
“mempersatukan”, yaitu mempersatukan hal-hal yang terserak-serak atau terpecahpecah. Sebagai istilah yang sering digunaka dalam ilmu kalam, tauhid diartikan
sebagai faham “Ketuhanan Yang Maha Esa” atau monoteisme. Apa yang menjadi
pandangan dari para ahli teologi mengenai tauhid, dapat dikatakan telah secara
tepat mengungkapkan isi pokok ajaran semua nabi dan rasul Tuhan, yaitu ajaran
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Percaya kepada Tuhan tidaklah dengan sendirinya berarti tauhid. Sebab
percaya kepada Tuhan masih mengandung kemungkinan percaya kepada yang lainlain yang secara disadari maupun tidak disadari, telah diposisikan sebagai Tuhan.
Maka dalam hal ini dibutuhkan adanya negasi dan afirmasi sebagai usaha
pemurnian keparcayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Negasi adalah usaha
melepaskan diri dari kepercayaan kepada yang palsu. Bahkan secara ekstrim,
negasi dapat diartikan sebagai pelepasan terhadap semua bentuk kepercayaan
yang tardapat di dalam diri seseorang. Afirmasi adalah pemusatan kepercayaan
hanya kepada yang benar, atau dapat dipahami juga sebagai penegasan,
penempatan hanya kepada satu kepercayaan saja, yaitu kepercayaan yang benar,
Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Islam, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
itu adalah Percaya kepada Keesaan Allah SWT.
Tauhid, dalam pandangan HMI, tidak hanya berkutat pada wilayah
ketuhanan, namun juha harus membumi di wilayah kemanusiaan, yaitu realitas
sosial yang nyata. Sebab seperti pengertian tauhid itu sendiri, yang dalam makna
generiknya adalah “mempersatukan”, maka dalam hal ini tauhid juga harus dipahami
selain sebagai paham monoteisme, juga sebagai pemersatuan seluruh orientasiorientasi, wilayah-wilayah aktualisasi manusia dalam kehidupannya, serta segala
bentuk perwujudan diri manusia yang lainnya.
Tauhid adalah awal dan akhir dari seruan Islam. ia adalah suatu kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Suatu kepercayaan yang menegaskan bahwa
hanya Tuhanlah yang menciptakan, memberi hukum-hukum, mengatur dan
mendidik alam semesta (tauhid Rububiyah). Sebagai konsekwensinya, maka hanya
Tuhan itulah yang satu-satunya wajib disembah, dimohon petunjuk, pertolongannya,
serta ditakuti (tauhid Uluhiyah). Bahwa Tuhan adalah sumber segala kebaikan dan
kebenaran.
Pengetahuan tentang Tuhan hanya mungkin diperoleh melalui wahyu
(revelation). Kemampuan dalam menerima pengetahuan sampai tingkat tertinggi
tidak dimiliki oleh semua manusia, demikian juga dengan wahyu, hanya orang-orang
tertentu saja yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri, yaitu para Nabi
dan Rasul atau utusan Tuhan. Para Nabi dan Rasul tersebut telah lewat dalam
sejarah, semenjak Adam sampai Muhammad. Muhammad adalah Rasul Allah yang
terakhir, jadi tidak ada lagi Rasul setelah Muhammad.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad Rasulullah terkumpul
keseluruhannya dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an tersebut mengandung seluruh
keterangan tentang segala sesuatu tentang alam, manusia, hingga hal-hal ghaib
yang tidak mungkin diketahui oleh manusia dengan cara-cara yang lain. Jadi untuk
memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus
berpegang teguh kepada Al-Qur’an dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan
Muhammad. Maka kalimat persaksian setelah “Tidak ada Tuhan selain Allah”,
adalah “Muhammad adalah Rasul Alah”.
Hukum dasar alami dari segala yang ada adalah perubahan dan
perkembangan. sebab segala sesuatu sebagai ciptaan Tuhan pasti akan mengalami
perubahan. Hanya Sang Pencipta-lah yang tidak berubah, yaitu Tuhan. Perubaha
adalah pengembangan menuju tujuan, yaitu Kebenaran atau Tuhan. Manusia harus
sejalan dengan arah perkembangan tersebut, karena manusia tidak dapat menolak
atau melawan hukum-hukum Tuhan tentang perubahan atau perkembangan pada
setiap makhluk ciptaannya, termasuk manusia itu sendiri. Karena arah
perkembangan tersebut adalah kebenaran, maka manusia harus berorientasi
kepada kebenaran. Agar manusia dapat sampai kepada kebenaran, maka manusia
harus mengetahui jalan menuju kebenaran.
Oleh sebab itu, kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh Iman dan
diterangi oleh Ilmu. Bidang Iman dan percabangannya adalah wewenang wahyu,
sedangkan bidang ilmu pengetahuan adalah wewenang manusia untuk
mengusahakan da mengumpulkannya dalam kehidupan dunia. Ilmu tersebut adalah
sejarah, yaitu ilmu tentang alam dan manusia.
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran yang sejauh
mungkin, manusia harus melihat alam dan kehidupan yang ada sebagaimana
adanya. Tidak boleh dilekatkan padanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan.
Alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana adanya, tidak
menyerupai Tuhan.
Doktrin tauhid bagi kehidupan manusia akan menjadi sumber kehidupan jiwa
dan kemanusiaan yang tinggi. Tauhid aka mendidik jiwa manusia untuk
mengikhlaskan seluruh hidup dan kehidupannya hanya kepada Allah semata.
Tujuan hidupnya ialah Allah, dan harapan yang dikejarnya adalah keridhaan Allah
(limardhatillah). Maka dengan demikian akan membawa konsekwensi pembinaan
karakter yang agung, menjadi manusia yang suci, jujur, dan teguh memegang
amanah.
Tauhid merupakan kekuatan yang besar, yang mampu mengatur secara tertib
manusia. Tauhid juga mampu membebaskan manusia dari berbagai belenggu
duniawi seperti penjajahan, perbudakan, dan perhambaan, baik oleh sesama
manusia ataupun oleh hawa nafsu dan harta benda.
Melalui jiwa tauhid yang tinggi, manusia akan bebas dari belenggu-belenggu
ketakutan dalam kemiskinan harta benda, sebab yakin bahwa setiap makhluk hidup
mendapatkan rezki dari Tuhan. Tauhid juga akan membebaskan manusia dari
ikatak-ikatan keduduka dan jabatan. Sebab tauhid akan menyadarkan manusia
tentang Tuhan-lah yang dapat menaikkan dan menurunkan manusia atas
kedudukan dan jabatannya.
Tauhid membebaskan manusia dari perasaan takut dengan kematian. Tauhid
menyadarkan manusia bahwa persoalan kematian berada di tangan Tuhan, bahwa
setiap yang berjiwa akan mati. Mati dimaknai sebagai pintu gerbang yang akan
dilewati oleh setiap makhluk. Konsekwensinya, tumbuhnya semangat jihad untuk
menegakkan yang hak dan menghancurkan yang bathil. Maka tauhid menjadi dasar
bagi keberanian untuk melakuka setiap bentuk perjuangan di jalan Allah SWT.
Tauhid juga akan membebaskan manusia dari sikap putus asa, bingung,
berkeluh kesah ketika menghadapi persoalan hidup. Denga tauhid, jiwa seorang
manusia akan senantiasa besar dan kuat. Tauhidlah yang akan memberikan
kebahagiaan hakiki kepada manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Semangat-semangat di atas, harus diaktualkan tidak hanya pada ranah
vertikal, namun juga horizontal. Pada ranah sosial, seluruh aktifitas manusia harus
merupakan manifestasi dari konsekwensi atas kepercayaannya hanya kepada Allah
SWT, tujuannya hanya kepada Allah SWT. Itulah tauhid yang sesungguhnya.
Berbuat baik kepada sesama manusia, bahkan yang berbeda agama, dikarenakan
mengaktualkan sifat-sifat Tuhan oleh manusia kepada manusia lainnya, adalah juga
tauhid.
Tauhid, selain dari persaksian atas Tuhan Yang Maha Esa, tidak menduakanNya, tidak mensejajarkan atau menyamakan-Nya dengan yang selain-Nya,
menjadikan-Nya sebagai awal sekaligus tujuan, tauhid juga adalah kesatuan antara
hati, fikiran, tutur kata, dan tindakan yang mengarah kepada kebenaran.
2. Kemanusiaan
Kemanusiaan adalah sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia.
Manusia adalah puncak ciptaan, karena manusia merupakan makhluk yang tertinggi.
Oleh karena itu, manusia adalah wakil Tuhan di bumi.
Manusia hanya dapat dikatakan sebagai manusia selama di dalam diri
manusia tersebut melekat sifat-sifat yang secara keseluruhan hanya dimiliki oleh
manusia. Jika keseluruhan sifat-sifat tersebut tidak teraktualkan baik dalam
hubungannya dengan Tuhan maupun dalam hubungannya denga sesama manusia
yang lainnya, meskipun telah melekat keseluruhan sifat tersebut, maka ia tidak
dapat dikatakan sebagai manusia. Keseluruhan sifat-sifat itulah yang disebut
sebagai kemanusiaan. Tanpa adanya kemanusiaan di dalam diri manusia, maka
secara hakiki ia tidak dapat disebut sebagai manusia. Jadi kemanusiaan mencakup
keseluruhan sifat beserta pengaktualan dari keseluruhan sifat tersebut.
Keseluruhan sifat yang dimiliki hanya oleh manusia, termasuk juga
pengaktualannya disebut dengan fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci
dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (hanief). Manusia dilengkapi
dengn hati nurani sebagai pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan
kebenaran.
Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi
dan prinsipil membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Dengan memenuhi
hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi mausia sejati.
Pengaktualan akan dari kemanusiaan tersebut dinyatakan dalam bentuk kerja
atau amal perbuatannya. Hanya dalam kerja atau amal perbuatan yang sesuai
dengan hati nurani saja mausia akan dapat mencapai kebahagiaan. Ketika manusia
melaksanaka kerja atau amal perbuatan yang tidak sesuai dengan hati nuraninya,
maka ia akan menderita kepedihan.
Kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan, dan kemerdekaan hanya
akan ada karena keikhlasan. Sementara keikhlasan akan ada setelah manusia
menjadikan Tuhan sebagai orientasi satu-satunya. Dalam hal ini, kemanusiaan tidak
dapat dilepaskan dari tauhid. Maka jika terdapat manusia merasa lebih tinggi dari
manusia yang lain, maka ia telah mendudukkan dirinya sejajar dengan Tuhan. sebab
tidak ada yang lebih tinggi dari manusia selain Tuhan. Maka pada saat itulah ia telah
kehilangan kemanusiaannya, sekaligus menjadi musyrik.
Manusia yang kehilangan kemanusiaannya cenderung tidak menghormati
atau memandang kemanusiaan pada diri manusia yang lain. Seorang manusia yang
kehilangan kemanusiaannya, ia akan melakukan penindasan terhadap manusia
lainnya, merampas hak-hak manusia lain, dan selalu ingin menguasainya. Hak
kemanusiaan seseorang yang tidak boleh dirampas atau dihilangkan, itu juga adalah
kemanusiaan seorang manusia.
Manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur kemanusiaan dan unsur
ketuhanan. Seseorang tanpa salah satu unsur tersebut maka ia belumlah sempurna
sebagai manusia. Maka kemanusiaan bagi manusia adalah juga keberadaan kedua
unsur tersebut pada diri manusia.
3. Keadilan
Salah satu tema pokok di dalam Al-Qur’an adalah keadilan. Hal tersebut
terlihat dari banyaknya kata ‘adl dan kata yang semakna dengannya di dalam AlQur’an, misalnya seperti kata al-qist, al-wazn, dan al-wast. Melalui pndekatan tafsir
tematik, ditemukan bahwa konsep keadilan dalam Al-Qur’an mengandung makna
yang serba melingkupi. Pengertian keadilan tersebut berkisar pada makna
perimbangan atau keadaan yang seimbang, persamaan, dan penunaian hak kepada
yang berhak atau penempatan sesuatu pada tempatnya.
Keadilan sebagai salah satu esensi dasar atau inti dari ajaran Islam, pada
realitas manusia mencakup keadilan pada wilayah sosial dan keadilan pada wilayah
ekonomi. Keadilan pada wilayah sosial memberikan tuntunan moral kepada manusia
agar dapat hidup berdampingan secara damai dan bersahabat antar sesama
walaupun berbeda suku, agama, dan ras dalam sebuah komunitas di manapun
tanpa adanya penindasan dan diskriminasi oleh satu kepada yang lainnya. Prinsip
tersebut berpijak pada semangat universalitas Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Keadilan sosial mencakup pada aspek hukum, politik, pendidikan, dan lain
sebagainya.
Keadilan pada wilayah ekonomi, mengandung pengertian bahwa harus ada
persamaan dengan menghindarkan segala bentuk ketimpangan sosial yang
disebabkan oleh adanya kesenjangan ekonomi yang dikarenakan eksploitasi,
keserakahan, capital accumulation, dan lain sebagainya.
Maka dengan demikian, keadilan yang mencakup wilayah sosial dan ekonomi
dalam perspektif Islam didasarkan pada ajaran persaudaraan yang melampaui
batas-batas geografis. Sebab manusia di hadapan Allah memiliki derajat yang sama,
tanpa ada yang boleh merasa berada lebih di atas dari yang lainnya. Dengan
perspektif yang demikian, maka sangat jelas Islam berlawanan atau menolak
kapitalisme. Sebab kapitalisme bertentangan dengan prinsip keadilan, dilihat dari
sudut pandang manapun.
Keadilan harus senantiasa ditegakkan, hal ini mengingat kecenderungan
adanya pertarungan antara keinginan yang bermacam-macam. Dalam menegakkan
keadilan di masyarakat, maka masyarakat sendirilah yang bertanggung jawab
menegakkan keadilan. Oleh karena itu, harus ada kelompok di dalam masyarakat,
yang dengan kualitas-kualitas tertentu selalu berupaya menegakka keadilan dengan
jalan menganjurkan sesuatu yang bersifat kemausiaan, serta mencegah terjadinya
segala sesuatu yang berlawanan dengan kemausiaan.
Kualitas-kualitas tersebut diantaranya adalah rasa kemanusiaan yag tinggi,
kecakapan atau kemampuan yang cukup, dan keamanahan dalam memimpin. Rasa
kemanusiaan yang tinggi sangat dibutuhkan karena ia adalah pancaran dari
kecintaan yang tanpa batas kepada Tuhan. kecakapan yang cukup dibutuhkan
karena dalam menegakkan keadilan, dibutuhkan selain rasa kemanusiaan, juga ilmu
dan cara bagaimana keadilan harus ditegakkan. Sedangkan keamanahan dalam
kepemimpinan dibutuhkan karena di dalam masyarakat harus ada pemimpin, dan
hanya pemimpin yang amanah dan memperjuangkan keadilanlah yang dapat
mejaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya. Dan dalam waktu yang sama,
menghormati kemerdekaan da martabat orang lain.
Di dalam masyarakat, struktur yang tertinggi adalah negara. Negara juga
merupakan bentuk masyarakat yang terpenting. Di dalam negara terdapat
pemerintah, dan pemerintah adalah struktur kepemimpinan yang tertinggi di dalam
masyarakat. Karena maksud didirikannya negara dan pemerintahan adalah untuk
melindungi masyarakat, maka pemerintahlah yang memiliki kewajiban pertama kali
untuk menegakkan keadilan di dalam masyarakat.
Menegakkan keadilan mencakup penguasaan terhadap berbagai keinginan
dan kepentingan pribadi di dalam masyarakat yang tidak mengenal batas.
Menegakkan keadilan adalah amanat rakyat kepada pemerintah yang harus
dilaksanakan. Dan ketaatan rakyat terhadap pemerintah, adalah ketaatan kepada
diri sendiri yang harus ditaati. Sebab secara demokratis, pemerintah adalah
perwakilan dari rakyat. pemerintahan yang harus ditaati adalah pemerintahan yang
benar dan mengabdi kepada kemanusiaaan, kepada kebenaran, dan kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Di bidang ekonomi, keadilan menuntut untuk adanya pembagian kekayaan
secara wajar. Adanya ketimpangan ekonomi di dalam pemerintahan yang tidak
menegakkan keadilan, dengan ditandai oleh lebih banyaknya orang yang miskin dari
pada yang kaya, adalah bentuk adanya kedzaliman. Jika konteksnya demikian maka
orang miskin berada di pihak yang benar, karena mereka sedang didzalimi oleh
orang kaya yang berbuat dzalim.
Seperti telah disinggung sebelumnya, kejahatan di bidang ekonomi dalam
penindasan dilakukan oleh kapitalisme. Maka menegakkan keadilan adalah
memberantas kapitalisme berikut komponen-komponennya yang terdapat di dalam
masyarakat. Alasan pemberantasan terhadap kapitalisme adalah bahwa
kapitalismelah yang melakukan penumpukan kekayaan yang digunakan ke jalan
tidak benar, yaitu memiskinkan rakyat. Sedangkan penumpukan kekayaan yang
digunakan ke jalan yang tidak benar adalah dosa besar kedua setelah syirik.
Menagakkan keadilan bukan saja dengan ‘amar ma’ruf nahi munkar, tetapi
juga harus melalui pendidikan yang intensif terhadap pribadi-pribadi agar tetap
mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan adanya Tuhan.
Usaha-usaha ke arah perbaikan dalam pembagian rezki yang lebih merata
harus dijalakan oleh masyarakat, dan jalan terakhirnya adalah melalui zakat. Zakat
hanya diambil dari orang kaya, yang didapatkan dari jalan yang halal (berupa harta
halal), dan dalam jumlah tertentu. Bagi harta kekayaan yang tidak halal (haram)
tidak dikenakan zakat, namun harus dijadikan milik umum untuk digunakan demi
kepentingan rakyat.
Di dalam hal penggunaan harta kekayaan, tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan masyarakat. Penggunaan harta kekayaan hanya dibenarkan ketika
tidak melebihi batas-batas tertentu, yaitu tidak kurang dan tidak melebihi
penggunaan rata-rata dalam masyarakat. Penggunaan harta yang belebihan
betentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Begitu juga sebaliknya, penggunaan
harta yang di bawah rata-rata akan berakibat kepada menumpuk dan membekunya
harta kekayaan umum yang seharusnya berputar, yaitu perputaran ekonomi yang
sehat da sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana
diperlukan oleh pribadi-pribadi agar dia dan keluarganya dapat mengatur hidupnya
secara hormat sesuai dengan keinginannya untuk dapat menerima tangung jawab
atas kegiatan-kegiatannya.
Dalam masa sekarang, keadilan akan sangat jelas sebagai salah satu inti
ajaran Islam selain tauhid dan kemanusiaan. Terutama ketika dilihat pada konteks
politik, hukum, sosial, dan yang lainnya. Manusia selain cenderung kepada
kebenaran, jika ia tidak mengikuti hati nuraninya, maka ia aka dapat terjerumus
kepada hal-hal yang tidak benar. Maka manusia seringkali mengangap kebenaran
itu banak sesuai dengan kepentingannya. Kebenaran yang menurut manusia seperti
itu belum tentu adil. Tetapi keadilan sudah pasti benar.
4. Beriman, Berilmu, dan Beramal
Hidup yang benar dimulai dengan beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha
Esa, dan taqwa. Iman harus senantiasa dipelihara dan diperkuat dengan jalan
beribadah atau mengamalkannya sebagai bentuk pengabdian formal kepada Tuhan.
Ibadah tersebut akan mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan
selalu berpegang teguh kepada kebenaran sesuai dengan kehendak hati nurani.
Ibadah atau pengamalan yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan
manusia akan kedudukannya di tengah alam dan masyarakat sesamanya. Manusia
yang beribadah secara terus menerus kepada Tuhan tidak akan melebihkan diri
menganggap sebagai Tuhan, atau sebaliknya, yaitu merendahkan diri akibat
memperbudakkan diri kepada alam atau orang lain. Semua manusia sejajar, hanya
Tuhan yang berada di atas manusia.
Ibadah atau pengamalam manusia sebagai wujud keberimanannya
merupakan proses perkembangan yang permanen, sebagaimana masyarakat yang
juga selalu berubah dan berkembanga. Perjuangan mausia adalah untuk
mengarahkan perubahan atau perkembangan tersebut agar mengarah kepada
kondis yang lebih baik dan lebih benar. Untuk itu, maka dibutuhkan pengetahuan
yang harus selalu didalami dan digunakan sesuai dengan nilai-nilai kebenaran untuk
kemanusiaan. Kerja tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, dan ilmu tanpa
kemanusiaan hanya akan menghancurkan peradaban. Maka antara iman, ilmu, dan
amal harus terdapat pada diri manusia. Ketiganya secara integral akan menuntun
manusia kepada tujuannya yang sebenarnya yaitu keridhaan Allah SWT.
SEKIAN DAN TERIMAKASIH
Download