Hubungan Vitamin D dengan Gagal Jantung

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
dalam darah. Konsentrasi calcidiol mencerminkan jumlah vitamin D yang bersirkulasi dalam
darah selama 15 hari setelah pembentukannya,
baik diproduksi dari kulit maupun diperoleh
dari makanan atau suplemen. Namun, kadar
calcidiol tersebut tidak mencerminkan kadar
vitamin D yang disimpan di dalam sel dan
jaringan tubuh. Dibandingkan dengan calcidion,
1,25-dihydroxyvitamin D3 (calcitriol) hanya ada
dalam sirkulasi darah selama 15 jam dan konsentrasinya sangat dipengaruhi oleh hormon
paratiroid, kalsium, dan fosfat. Oleh karena
itu, calcitriol tidak dapat dijadikan indikator
kadar vitamin D dalam darah.8
Hubungan Vitamin D dengan Gagal Jantung
Pramanta, Wisnu Pradana Mahardhika, Adrian Benediktus
Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jakarta, Indonesia
Pendahuluan
Vitamin D dapat mengurangi risiko seseorang
menderita penyakit kronis, seperti kanker,
penyakit autoimun, penyakit infeksi, dan penyakit kardiovaskular. Pada masa nifas dan
masa kanak-kanak, defisiensi vitamin D dapat
menyebabkan hambatan pertumbuhan dan
deformitas tulang serta meningkatkan risiko
patah tulang panggul di masa dewasa. Selain
itu, pada dewasa, defisiensi vitamin D dapat
mencetuskan osteopenia, osteoporosis, dan
meningkatkan risiko osteomalacia serta kelemahan otot.1 Akhir-akhir ini, vitamin D diduga memiliki kaitan dengan terjadinya gagal
jantung melalui beberapa mekanisme spesifik.2
Gagal jantung merupakan salah satu masalah
kesehatan utama di seluruh dunia. Prevalensinya di Amerika dan Eropa sekitar 1-2%. Pada
tahun 1989, diperkirakan 3 juta warga Amerika
menderita penyakit gagal jantung, dan akan
terus bertambah sebanyak 400 ribu orang
setiap tahunnya. Di Glasgow, menurut WHO
MONICA Project tahun 1992, prevalensi gagal
jantung pada pria usia 55-64 tahun 2,5%,
usia 65-74 tahun 3,2%, sedangkan untuk
wanita usia 55-64 tahun 2,0%, dan usia
65-74 tahun 3,6%.3
Metabolisme vitamin D
Vitamin D dibentuk melalui proses metabolisme yang kompleks. Vitamin tersebut berasal dari provitamin 7-dehydrocholesterol di
permukaan kulit manusia, yang oleh sinar matahari (UV-B) diubah menjadi vitamin D3 (cholecalcipherol), dan dari konsumsi makanan seharihari berupa vitamin D2 (ergocalcipherol).4,5,6
Kedua jenis vitamin D tersebut mengalami
proses hidroksilasi di hati dan ginjal, enzimenzim hati akan menambahkan gugus hidroksil
(OH) pada colecalcipherol maupun ergocalcipherol menghasilkan 25-dihydroxyvitamin D3
(calcidiol). Calcidiol akan disintesis di ginjal dan
menerima tambahan satu gugus hidroksil menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D3 (calcitriol), yang
C DK 1 8 6 / Vo l. 38 no. 5/Jul i -A g us tus 2011
Synthesis and effects of vitamin D
ultraviolet light
Skin exposed to ultraviolet light
7-dehydrocholesterol
(pre-vitamin D)
Dietary intake
Vitamin D3
(cholecalciferol)
Vitamin D2
(ergocalciferol)
Liver
25-hydroxyvitamin D3
(calcidiol)
Parathyroid
hormone
(PTH)
Kidneys
via 1-alpha
hydroxylase
Other organs
via 1-alpha
hydroxylase
TINJAUAN PUSTAKA
Cytokines
1, 25-dihydroxyvitamin D3
(calcitriol)
Increased bone resorption (mediated via PTH)
Increased intestinal absorption of calcium and phosphate
Decreased renal excretion of calcium
Regulates cellular growth, function, and differentiation
Gambar 1. Metabolisme vitamin D 4
Hidroksilasi oleh ginjal tersebut terjadi karena
aktifitas 1-alpha-hydroxylase yang dikontrol
secara langsung oleh hormon paratiroid dan
secara tidak langsung oleh kadar kalsium dalam
darah.4,5,6
Fungsi vitamin D adalah meningkatkan reabsorbsi kalsium dalam usus, menurunkan
ekskresi kalsium di ginjal, dan meregulasi perkembangan, fungsi, dan diferensiasi beberapa
sel tubuh.4
Bentuk aktif vitamin D akan berikatan dengan
protein sebelum diedarkan ke organ tubuh
lain. Dalam sel tubuh, reseptor nuklear yang
spesifik akan mengurai ikatan tersebut dan
melepaskan protein ke dalam darah, sedangkan vitamin D akan tetap berada di dalam sel.
Organ yang memiliki reseptor nuklear spesifik
di antaranya adalah tulang, kulit, otat lurik,
kardiomiosit, sel endotelial vaskular, monosit,
dan limfosit T dan B yang aktif.
Kadar normal vitamin D dalam serum
Kadar calcidiol dalam darah dibagi menjadi
tiga golongan: kadar >30 ng/mL (75 nmol/L)
digolongkan normal; kadar 20-30 ng/mL (5075 nmol/L) digolongkan sebagai insufisiensi
vitamin D; sedangkan kadar <20 ng/mL (<50
nmol/L) digolongkan sebagai defisiensi vitamin
D.7 Tes laboratorium terbaik untuk menilai kadar
vitamin D dalam darah adalah dengan mengukur kadar 25-hydroxyvitamin D3 (calcidiol)
347
Vitamin D dan aterosklerosis karena
proses inflamasi
Inflamasi menjadi kunci utama mekanisme
aterosklerosis, yang melalui proses pembentukan sel busa akhirnya menyebabkan
terbentuknya lesi aterosklerosis pada dinding
pembuluh darah. Proses tersebut diperantarai
oleh makrofag dan set T, sebelum akhirnya
terjadi respon inflamasi yang melepaskan berbagai sitokin seperti interleukin (IL)-1, IL-4, IL-6,
interferon (INF)-c, dan tumor necrosis factor
(TNF)-α. Faktor-faktor tersebut berkontribusi
terhadap proliferasi otot polos dan pembentukan plak, serta meningkatkan sintesis serta
pelepasan acute phase protein, seperti albumin
dan transferin.9
Vitamin D berfungsi sebagai imunoregulator
yang dimediasi oleh reseptor vitamin D yang
terdapat pada sel-sel imun. Dalam peranannya
sebagai imunomodulator, vitamin D menghambat maturasi antigen-presenting cell,
angiogenesis, dan proliferasi sel-sel otot polos
penbuluh darah. Selain itu, vitamin D juga
menurunkan aktifitas NF-jB, produksi IL-6,
IL-12, INF-c, dan TNF-α, yang akhirnya menurunkan proses inflamasi. Sebagai proteksi
terhadap aterosklerosis, vitamin D berperan
menekan ekspresi matrix matalloproteinase
(MMPs). MMPs merupakan enzim jaringan
ikat yang disekresi oleh makrofag yang teraktivasi selama proses inflamasi, berperan
dalam remodeling dinding pembuluh darah
serta miokardium. Selain itu, MMPs juga akan
merusak jaringan kolagen dalam lesi aterosklerosis dan menyebabkan ruptur aterosklerosis yang kemudian akan menjadi trombosis.9
Ada korelasi antara pemberian vitamin D pada
orang dengan defisiensi vitamin D dengan
348
penurunan kadar MMP-9 dan faktor-faktor
inflamasi lainnya, sehingga disimpulkan bahwa
vitamin D dapat menghambat berbagai aspek
respon inflamasi yang dapat mengacu ke pembentukan plak aterosklerosis dan trombosis
akibat rupturnya plak aterosklerosis.10
Vitamin D dan hipertrofi jantung
Defisiensi vitamin D dapat menginduksi hipertrofi otot jantung, peningkatan rasio berat jantung: berat badan, dan produksi matrix ekstraseluler pada dinding miokardium. Pemberian
calcitriol dapat menghambat proliferasi sel miosit
pada ventrikel jantung melalui penurunan regulasi c-MYC dan proliferasi antigen sel nuklear
(PCNAs). Selain itu, calcitriol juga manghambat
hipertrofi miosit yang diinduksi endotelin dan
ekspresi aktin dan gen ANP.11,12,13
Penelitian korelasi kadar NT-proANP (prediktor
gagal jantung dan tingkat keparahan hipertrofi ventrikel kiri), vitamin D metabolit dengan
parameter metabolisme kalsium mendapatkan
kadar NT-proANP yang tinggi pada penurunan
calcidiol dan calcitriol. Selain itu, beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa vitamin D mereduksi hipertrofi pada penderita left ventricle
hypertrophy (LVH) secara signifikan. 14,15
Regulasi vitamin D terhadap sistem
Renin-Angiotensin
Li, dkk. mengeksplorasi mekanisme hubungan
vitamin D dengan RAAS pada binatang. Hipotesisnya adalah vitamin D memiliki fungsi
regulasi endokrin pada biosintesis renin. Mereka
menemukan peningkatan renin mRNA dan
protein pada ginjal ketika reseptor viitamin D
dan 25-hydroxyvitamin D3 1a-hydroxylase dihambat, yang mengindikasikan bahwa vitamin D diperlukan dalam mengatur produksi
renin; selain itu kadar angiotensin II juga meningkat pada penghambatan reseptor vitamin D, sementara kadar angiotensinogen di
hati tidak berbeda dengan tikus normal, menandakan bahwa peningkatan kadar angiotensin II disebabkan oleh peningkatan aktivitas renin. Disregulasi RAAS dapat mengakibatkan hipertensi serta hipertrofi jantung.9
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa
1,25-dihydroxyvitamin D3 secara langsung
menghambat aktivasi gen renin dan supresi ini
tidak tergantung pada metabolisme calcium.
Selain itu vitamin D juga berperan penting
pada hemostasis reno-kardiovaskular dengan
bekerja sebagai regulator negatif RAAS.9
Vitamin D dan kalsifikasi pembuluh
darah
Vascular smooth muscle cells (VSMCs) dan
osteoblas berasal dari sel prekusor mesenkimal yang sama. Core binding alpha-1 (CbfaI)
diketahui sebagai kunci utama yang mengubah sel prekursor mesenkimal menjadi osteoblas. Dalam suatu penelitian16 pada pasien
transplantasi ginjal, CbfaI ditemukan dalam
jumlah sangat kecil pada arteri yang tidak mengalami kalsifikasi. Selain itu, ekspresi marker
osteogenik, seperti bone morphogenetic
protein-2 (BMP-2) juga turut bertanggung
jawab atas terjadinya akselerasi transformasi
VSnCs menjadi osteoblast-like cell. Sel-sel tersebut kemudian akan memproduksi proteinprotein dari matriks tulang, seperti: kolagen
tipe 1, osteopontin, dan sialoprotein tulang,
yang dapat meregulasi mineralisasi pembuluh darah. Ketika mineralisasi dimulai, terjadi
peningkatan produksi calcium x phosporus
yang dapat memicu proses kalsifikasi dan
kemudian akan menyebabkan kalsifikasi pembuluh darah (Gambar 2).16
Gambar 2. Proses kalsifikasi pembuluh darah16
Akhir-akhir ini, matriks gla protein (MGP) diketahui dapat menginhibisi kalsifikasi pembuluh darah dengan cara menginhibisi BMP-2.
Kadar MGP yang rendah menyebabkan kalsifikasi spontan pada pembuluh darah utama
tikus. Selain itu, diduga protein dalam darah
seperti: fetuin-A, PTH-related-peptide, dan
C-natriuretic protein pada kadar tertentu
dapat menginhibisi proses kalsifikasi pembuluh darah.16
C D K 1 8 6 / V o l . 3 8 n o . 5 / J u l i- Ag u s t u s 2 0 1 1
TINJAUAN PUSTAKA
dalam darah. Konsentrasi calcidiol mencerminkan jumlah vitamin D yang bersirkulasi dalam
darah selama 15 hari setelah pembentukannya,
baik diproduksi dari kulit maupun diperoleh
dari makanan atau suplemen. Namun, kadar
calcidiol tersebut tidak mencerminkan kadar
vitamin D yang disimpan di dalam sel dan
jaringan tubuh. Dibandingkan dengan calcidion,
1,25-dihydroxyvitamin D3 (calcitriol) hanya ada
dalam sirkulasi darah selama 15 jam dan konsentrasinya sangat dipengaruhi oleh hormon
paratiroid, kalsium, dan fosfat. Oleh karena
itu, calcitriol tidak dapat dijadikan indikator
kadar vitamin D dalam darah.8
Hubungan Vitamin D dengan Gagal Jantung
Pramanta, Wisnu Pradana Mahardhika, Adrian Benediktus
Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jakarta, Indonesia
Pendahuluan
Vitamin D dapat mengurangi risiko seseorang
menderita penyakit kronis, seperti kanker,
penyakit autoimun, penyakit infeksi, dan penyakit kardiovaskular. Pada masa nifas dan
masa kanak-kanak, defisiensi vitamin D dapat
menyebabkan hambatan pertumbuhan dan
deformitas tulang serta meningkatkan risiko
patah tulang panggul di masa dewasa. Selain
itu, pada dewasa, defisiensi vitamin D dapat
mencetuskan osteopenia, osteoporosis, dan
meningkatkan risiko osteomalacia serta kelemahan otot.1 Akhir-akhir ini, vitamin D diduga memiliki kaitan dengan terjadinya gagal
jantung melalui beberapa mekanisme spesifik.2
Gagal jantung merupakan salah satu masalah
kesehatan utama di seluruh dunia. Prevalensinya di Amerika dan Eropa sekitar 1-2%. Pada
tahun 1989, diperkirakan 3 juta warga Amerika
menderita penyakit gagal jantung, dan akan
terus bertambah sebanyak 400 ribu orang
setiap tahunnya. Di Glasgow, menurut WHO
MONICA Project tahun 1992, prevalensi gagal
jantung pada pria usia 55-64 tahun 2,5%,
usia 65-74 tahun 3,2%, sedangkan untuk
wanita usia 55-64 tahun 2,0%, dan usia
65-74 tahun 3,6%.3
Metabolisme vitamin D
Vitamin D dibentuk melalui proses metabolisme yang kompleks. Vitamin tersebut berasal dari provitamin 7-dehydrocholesterol di
permukaan kulit manusia, yang oleh sinar matahari (UV-B) diubah menjadi vitamin D3 (cholecalcipherol), dan dari konsumsi makanan seharihari berupa vitamin D2 (ergocalcipherol).4,5,6
Kedua jenis vitamin D tersebut mengalami
proses hidroksilasi di hati dan ginjal, enzimenzim hati akan menambahkan gugus hidroksil
(OH) pada colecalcipherol maupun ergocalcipherol menghasilkan 25-dihydroxyvitamin D3
(calcidiol). Calcidiol akan disintesis di ginjal dan
menerima tambahan satu gugus hidroksil menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D3 (calcitriol), yang
C DK 1 8 6 / Vo l. 38 no. 5/Jul i -A g us tus 2011
Synthesis and effects of vitamin D
ultraviolet light
Skin exposed to ultraviolet light
7-dehydrocholesterol
(pre-vitamin D)
Dietary intake
Vitamin D3
(cholecalciferol)
Vitamin D2
(ergocalciferol)
Liver
25-hydroxyvitamin D3
(calcidiol)
Parathyroid
hormone
(PTH)
Kidneys
via 1-alpha
hydroxylase
Other organs
via 1-alpha
hydroxylase
TINJAUAN PUSTAKA
Cytokines
1, 25-dihydroxyvitamin D3
(calcitriol)
Increased bone resorption (mediated via PTH)
Increased intestinal absorption of calcium and phosphate
Decreased renal excretion of calcium
Regulates cellular growth, function, and differentiation
Gambar 1. Metabolisme vitamin D 4
Hidroksilasi oleh ginjal tersebut terjadi karena
aktifitas 1-alpha-hydroxylase yang dikontrol
secara langsung oleh hormon paratiroid dan
secara tidak langsung oleh kadar kalsium dalam
darah.4,5,6
Fungsi vitamin D adalah meningkatkan reabsorbsi kalsium dalam usus, menurunkan
ekskresi kalsium di ginjal, dan meregulasi perkembangan, fungsi, dan diferensiasi beberapa
sel tubuh.4
Bentuk aktif vitamin D akan berikatan dengan
protein sebelum diedarkan ke organ tubuh
lain. Dalam sel tubuh, reseptor nuklear yang
spesifik akan mengurai ikatan tersebut dan
melepaskan protein ke dalam darah, sedangkan vitamin D akan tetap berada di dalam sel.
Organ yang memiliki reseptor nuklear spesifik
di antaranya adalah tulang, kulit, otat lurik,
kardiomiosit, sel endotelial vaskular, monosit,
dan limfosit T dan B yang aktif.
Kadar normal vitamin D dalam serum
Kadar calcidiol dalam darah dibagi menjadi
tiga golongan: kadar >30 ng/mL (75 nmol/L)
digolongkan normal; kadar 20-30 ng/mL (5075 nmol/L) digolongkan sebagai insufisiensi
vitamin D; sedangkan kadar <20 ng/mL (<50
nmol/L) digolongkan sebagai defisiensi vitamin
D.7 Tes laboratorium terbaik untuk menilai kadar
vitamin D dalam darah adalah dengan mengukur kadar 25-hydroxyvitamin D3 (calcidiol)
347
Vitamin D dan aterosklerosis karena
proses inflamasi
Inflamasi menjadi kunci utama mekanisme
aterosklerosis, yang melalui proses pembentukan sel busa akhirnya menyebabkan
terbentuknya lesi aterosklerosis pada dinding
pembuluh darah. Proses tersebut diperantarai
oleh makrofag dan set T, sebelum akhirnya
terjadi respon inflamasi yang melepaskan berbagai sitokin seperti interleukin (IL)-1, IL-4, IL-6,
interferon (INF)-c, dan tumor necrosis factor
(TNF)-α. Faktor-faktor tersebut berkontribusi
terhadap proliferasi otot polos dan pembentukan plak, serta meningkatkan sintesis serta
pelepasan acute phase protein, seperti albumin
dan transferin.9
Vitamin D berfungsi sebagai imunoregulator
yang dimediasi oleh reseptor vitamin D yang
terdapat pada sel-sel imun. Dalam peranannya
sebagai imunomodulator, vitamin D menghambat maturasi antigen-presenting cell,
angiogenesis, dan proliferasi sel-sel otot polos
penbuluh darah. Selain itu, vitamin D juga
menurunkan aktifitas NF-jB, produksi IL-6,
IL-12, INF-c, dan TNF-α, yang akhirnya menurunkan proses inflamasi. Sebagai proteksi
terhadap aterosklerosis, vitamin D berperan
menekan ekspresi matrix matalloproteinase
(MMPs). MMPs merupakan enzim jaringan
ikat yang disekresi oleh makrofag yang teraktivasi selama proses inflamasi, berperan
dalam remodeling dinding pembuluh darah
serta miokardium. Selain itu, MMPs juga akan
merusak jaringan kolagen dalam lesi aterosklerosis dan menyebabkan ruptur aterosklerosis yang kemudian akan menjadi trombosis.9
Ada korelasi antara pemberian vitamin D pada
orang dengan defisiensi vitamin D dengan
348
penurunan kadar MMP-9 dan faktor-faktor
inflamasi lainnya, sehingga disimpulkan bahwa
vitamin D dapat menghambat berbagai aspek
respon inflamasi yang dapat mengacu ke pembentukan plak aterosklerosis dan trombosis
akibat rupturnya plak aterosklerosis.10
Vitamin D dan hipertrofi jantung
Defisiensi vitamin D dapat menginduksi hipertrofi otot jantung, peningkatan rasio berat jantung: berat badan, dan produksi matrix ekstraseluler pada dinding miokardium. Pemberian
calcitriol dapat menghambat proliferasi sel miosit
pada ventrikel jantung melalui penurunan regulasi c-MYC dan proliferasi antigen sel nuklear
(PCNAs). Selain itu, calcitriol juga manghambat
hipertrofi miosit yang diinduksi endotelin dan
ekspresi aktin dan gen ANP.11,12,13
Penelitian korelasi kadar NT-proANP (prediktor
gagal jantung dan tingkat keparahan hipertrofi ventrikel kiri), vitamin D metabolit dengan
parameter metabolisme kalsium mendapatkan
kadar NT-proANP yang tinggi pada penurunan
calcidiol dan calcitriol. Selain itu, beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa vitamin D mereduksi hipertrofi pada penderita left ventricle
hypertrophy (LVH) secara signifikan. 14,15
Regulasi vitamin D terhadap sistem
Renin-Angiotensin
Li, dkk. mengeksplorasi mekanisme hubungan
vitamin D dengan RAAS pada binatang. Hipotesisnya adalah vitamin D memiliki fungsi
regulasi endokrin pada biosintesis renin. Mereka
menemukan peningkatan renin mRNA dan
protein pada ginjal ketika reseptor viitamin D
dan 25-hydroxyvitamin D3 1a-hydroxylase dihambat, yang mengindikasikan bahwa vitamin D diperlukan dalam mengatur produksi
renin; selain itu kadar angiotensin II juga meningkat pada penghambatan reseptor vitamin D, sementara kadar angiotensinogen di
hati tidak berbeda dengan tikus normal, menandakan bahwa peningkatan kadar angiotensin II disebabkan oleh peningkatan aktivitas renin. Disregulasi RAAS dapat mengakibatkan hipertensi serta hipertrofi jantung.9
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa
1,25-dihydroxyvitamin D3 secara langsung
menghambat aktivasi gen renin dan supresi ini
tidak tergantung pada metabolisme calcium.
Selain itu vitamin D juga berperan penting
pada hemostasis reno-kardiovaskular dengan
bekerja sebagai regulator negatif RAAS.9
Vitamin D dan kalsifikasi pembuluh
darah
Vascular smooth muscle cells (VSMCs) dan
osteoblas berasal dari sel prekusor mesenkimal yang sama. Core binding alpha-1 (CbfaI)
diketahui sebagai kunci utama yang mengubah sel prekursor mesenkimal menjadi osteoblas. Dalam suatu penelitian16 pada pasien
transplantasi ginjal, CbfaI ditemukan dalam
jumlah sangat kecil pada arteri yang tidak mengalami kalsifikasi. Selain itu, ekspresi marker
osteogenik, seperti bone morphogenetic
protein-2 (BMP-2) juga turut bertanggung
jawab atas terjadinya akselerasi transformasi
VSnCs menjadi osteoblast-like cell. Sel-sel tersebut kemudian akan memproduksi proteinprotein dari matriks tulang, seperti: kolagen
tipe 1, osteopontin, dan sialoprotein tulang,
yang dapat meregulasi mineralisasi pembuluh darah. Ketika mineralisasi dimulai, terjadi
peningkatan produksi calcium x phosporus
yang dapat memicu proses kalsifikasi dan
kemudian akan menyebabkan kalsifikasi pembuluh darah (Gambar 2).16
Gambar 2. Proses kalsifikasi pembuluh darah16
Akhir-akhir ini, matriks gla protein (MGP) diketahui dapat menginhibisi kalsifikasi pembuluh darah dengan cara menginhibisi BMP-2.
Kadar MGP yang rendah menyebabkan kalsifikasi spontan pada pembuluh darah utama
tikus. Selain itu, diduga protein dalam darah
seperti: fetuin-A, PTH-related-peptide, dan
C-natriuretic protein pada kadar tertentu
dapat menginhibisi proses kalsifikasi pembuluh darah.16
C D K 1 8 6 / V o l . 3 8 n o . 5 / J u l i- Ag u s t u s 2 0 1 1
TINJAUAN PUSTAKA
Aktivasi reseptor vitamin D yang terdapat
pada VSMCs oleh pemberian vitamin D akan
menginhibisi sintesis kolagen tipe 1 yang berperan aktif dalam proses pembentukan osteoblast-like cells menjadi kalsifikasi dinding pembuluh darah; selain itu vitamin D juga dapat
mereduksi sintesis Cbfa-I, menstimulasi sintesis
MGP, dan menginhibisi produksi BMP-2. Hal
tersebut berdampak lebih besar pada mekanisme kalsifikasi dinding pembuluh darah
dibandingkan dengan efek vitamin D dalam
meningkatkan kadar calcium dan phosphor
darah yang berisiko kalsifikasi dinding pembuluh darah.16
Pencegahan gagal jantung dengan
asupan vitamin D
Kebutuhan vitamin D bervariasi tergantung
usia dan paparan sinar matahari (sinar ultraviolet B) (tabel 1). Angka tersebut diperhitungkan sebagai dosis optimal vitamin D
secara oral tanpa memperhitungkan sintesis
vitamin D kulit dengan bantuan sinar ultraviolet B (UV B). Pemberian vitamin D oral tidak
boleh lebih dari 2000 IU/hari pada semua
golongan umur untuk menghindari efek
samping.4,17,18
Tabel 1. Asupan vitamin D yang dianjurkan untuk
pria dan wanita 4
Umur
(tahun)
14-18
Asupan
yang
adekuat
(IU/hari)
200
Batas
maksimum
asupan
(IU/hari)
2000
19-50
200
2000
51-70
400
2000
>70
600
2000
Berger-Lux dkk. mengemukakan bahwa
asupan vitamin D oral 400 IU/hari hanya menaikkan kadar 25-hydroxyvitamin D3 darah
sebesar 7-12 nmol/L. Untuk dapat meningkatkan kadar 25-hydroxyvitamin D3 darah dari 50
nmol/L menjadi 80 nmol/L dibutuhkan asupan
vitamin D sebesar 1700 IU/hari. Suplementasi
vitamin D 1-400 IU/hari memberikan efek minimal, sedangkan dosis >400 IU/hari memberikan
efek lebih baik terhadap penurunan angka
kejadian penyakit kardiovaskular.18,20
C DK 1 8 6 / Vo l. 38 no. 5/Jul i -A g us tus 2011
Batas aman pemberian vitamin D oral harus
tetap diperhatikan agar tidak menimbulkan
efek samping; konsumsi makanan dengan
kadar vitamin D tinggi sangat dianjurkan
untuk mencegah defisiensi vitamin D yang
dapat menimbulkan gagal jantung.4,7,17,19
Simpulan
Vitamin D dalam makanan sehari-hari penting bagi berbagai organ tubuh selain tulang,
salah satunya adalah jantung. Asupan oral
vitamin D maupun pro-vitamin D yang ter-
dapat pada kulit manusia akan diubah di hati
dan ginjal serta beberapa organ tubuh lain
menjadi calcitriol, bentuk aktif vitamin D.
Calcitriol berfungsi mencegah gagal jantung
maupun memperingan tingkat keparahannya
melalui empat mekanisme, berupa regulasi
inflamasi, reduksi hipertrofi otot jantung,
regulasi sistem RAA, dan mencegah kalsifikasi dinding pembuluh darah. Asupan vitamin
D yang adekuat mengurangi risiko terjadinya
gagal jantung yang disebabkan oleh mekanisme tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Holick MF. Resurrection of vitamin D deficiency and rickets. J Clin Invest 2006; 116:2062-72.
2. Holick MF, Garabedian M. Vitamin D: photobiology, metabolism, mechanism of action, and clinical applications.
In: Favus MJ, ed. Primer on the metabolic bone diseases and disorders of mineral metabolism. 6th ed. Washington,
DC: American Society for Bone and Mineral Research, 2006:129-37.
3. McDonagh TA, Morrison CE, Lawrence A, Ford I, Tunstall-Pedoe H, McMurray JJV. Symptomatic and asymptomatic
left ventricular systolic dysfunction in an urban population. Lancet 1997;350: 829-33.
4. Hajjar V, Depta JP, Mountis MM. Does vitamin D deficiency play a role in the pathogenesis of chronic heart failure?
Do supplements improve survival? Cleveland Clin. J. Med. 2010; 77(5):290-3.
5. Pilz S, et al. Vitamin D deficiency and myocardial diseases. Mol Nutr Food Res 2010; 54:1-11.
6. Holick MF. Vitamin D deficiency. N Engl J Med 2007; 357:266-81.
7. Kim DH, et al. Prevalence of hypovitaminosis D in cardiovascular diseases (from the National Health and Nutrition
Examination Survey 2001 to 2004). Am J Cardiol 2008;102:1540-4.
8. Van den Berg H. Bioavailability of vitamin D. Eur J Clin Nutr 1997; 51:S76-9.
9. Levin A, Li YC. Vitamin D and its analogues: Do they protect against cardiovascular disease in patients with kidney
disease? Kidney International 2005; 68:1973-81
10. Timms PM, Mannann N, Hitman GA, et al. Circulating MMP9, vitamin D and variation in the TIMP-1 response with
VDR genotype: mechanisms for inflammatory damage in chronic disorders? QJM 2002; 95:787-96.
11. Weishaar RE, Simpson RU. The involvement of the endocrine system in regulating cardiovascular function: emphasis
on vitamin D3. Endocr Rev 1989;10:351-65.
12. Weishaar RE, Kim SN, Saunders DE, et al. Involvement of vitamin D3 with cardiovascular function. III. Effects on
physical and morphological properties. Am J Physiol 1990;258:E134-42.
13. Wu J, Garamim, Cheng T, et al. 1,25(OH)2 vitaminD3, and retinoic acid antagonize endothelin-stimulated hypertrophy
of neonatal rat cardiac myocytes. J Clin Invest 1996;.97:1577-88.
14. Park CW, Oh YS, Shin YS, et al. Intravenous calcitriol regresses myocardial hypertrophy in hemodialysis patients
with secondary hyperparathyroidism. Am J Kidney Dis 1999; 33:73-81.
15. Mogonigle RJ, Fowler MB, Timmis AB, et al. Uremic cardiomyopathy: Potential role of vitamin D and parathyroid
hormone. Nephron 198;436:94-100
16. Verhave G, Siegert CEH. Role of vitamin D in cardiovascular disease. The Neth. J. Med. 2010; 68(3):113-8.
17. Vieth R, et al. The urgent need to recommend an intake of vitamin D that is effective. Am J Clin Nutr 2007; 85:649-50.
18. Wang L, et al. Systematic Review: Vitamin D and Calcium Supplementation in Prevention of Cardiovascular Events.
Ann Intern Med. 2010; 152:315-23.
19. Pilz S, et al. Association of vitamin D deficiency with heart failure and sudden cardiac death in a large cross-sectional
study of patients referred for coronary angiography. J Clin Endocrinol Metab 2008;93:3927-35.
20. Bostick RM, et al. Relation of calcium, vitamin D, and diary food intake to ischemic heart disease mortality among
postmenopausal women. Am J Epidemiol. 1999; 149:151-61.
349
TINJAUAN PUSTAKA
Pengaruh Asam Asetil Salisilat
terhadap Penurunan Prevalensi Kanker Kolorektal
Anita Kurniawati, Riki Tenggara
Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya, Jakarta, Indonesia
PENDAHULUAN
Dewasa ini, perhatian terhadap kanker kolorektal makin meningkat. Data statistik mencatat, angka kejadian kanker kolorektal di
seluruh dunia meningkat tajam sejak tahun
1975.1 Sekitar 783.000 kasus baru kanker
kolorektal didiagnosis pada tahun 1990. Data
statistik juga menunjukkan bahwa di antara
berbagai keganasan, kanker kolorektal menduduki peringkat keempat teratas di seluruh
dunia.1
Di Indonesia, kanker kolorektal merupakan
jenis keganasan saluran cerna kedua terbanyak setelah keganasan hepatoseluler.2
Indonesian Cancer mencatat, pada tahun
2002 ditemukan sebanyak 3.572 kasus baru
kanker kolorektal di Indonesia.3 Hal ini sesuai
dengan perubahan gaya hidup masyarakat
Indonesia saat ini. Pola makan sehari-hari yang
salah masih saja diterapkan. Sebagai contoh,
makanan siap saji makin digemari, padahal
jenis makanan tersebut umumnya mengandung kadar lemak dan karbohidrat tinggi.
Daging merah juga makin digemari, padahal
makanan yang diolah dari daging merah dan
makanan tinggi lemak diketahui dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal.1,4,5,6 Kondisi
ini diperburuk dengan kurangnya aktivitas fisik
sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
asupan energi dan penggunaan energi oleh
tubuh.1,7 Aktivitas fisik yang kurang akan
mengakibatkan menurunnya motilitas usus,
sehingga akan memperpanjang waktu singgah
zat-zat mutagen berbahaya di usus besar dan
dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal.8
Hasil penelitian dalam upaya pencegahan
kanker kolorektal menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi asam asetil salisilat dosis
rendah secara teratur dalam jangka lama dengan
rendahnya kejadian kanker kolorektal.9,10 Asam
asetil salisilat yang merupakan golongan obat
anti-inflamasi non-steroid (OAINS) dapat menghambat aktivitas enzim cyclooxygenase (COX),
yang diketahui memegang peranan penting
untuk menginduksi pertumbuhan dan perkembangan sel-sel kanker.9,10
350
KARAKTERISTIK KLINIS KANKER KOLOREKTAL DI INDONESIA
Prevalensi kanker kolorektal diperkirakan akan
makin meningkat. Observasi Bagian Patologi
Anatomi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta menunjukkan bahwa pada tahun
1986-1990, pengidap kanker kolorektal berjumlah 275 orang, meningkat menjadi 368
orang pada tahun 1991-1995, dan antara
tahun 1999-2003, mencapai 584 orang.13
Data tahun 1991-2000 juga menunjukkan
bahwa di antara 1.500 kasus keganasan saluran
cerna, kanker kolon dan kanker rektum, atau
biasa disebut kanker kolorektal, menduduki
peringkat pertama, dengan histopatologi yang
paling sering adalah tipe adenokarsinoma
(Tabel 1).13
EPIDEMIOLOGI
Di negara berkembang, kanker kolorektal merupakan penyakit penyebab kematian kedua
tertinggi di antara semua jenis keganasan.12
Insidens tertinggi kanker kolorektal dijumpai
di Eropa dan Amerika, sedangkan insidens
yang lebih rendah ditemukan di Asia.12
Prevalensi tinggi kanker kolorektal juga ditemukan pada populasi tingkat ekonomi
menengah ke atas. Perbedaan ini boleh jadi
disebabkan oleh pola diet dan gaya hidup
sehari-hari.1, 4-7 Kebanyakan kasus kanker
kolorektal ditemukan pada usia di atas 40
tahun dan puncaknya pada usia 70 tahun.12
Prevalensi kanker kolorektal yang makin
meningkat di seluruh dunia menjadikannya
sebagai salah satu masalah kesehatan global
yang serius. Setiap tahun, diperkirakan sebanyak
550.000 penduduk dunia meninggal akibat
kanker kolorektal.18 Penelitian terus dilakukan
untuk menemukan agen non-toksik potensial
yang dapat digunakan untuk mencegah kanker
kolorektal.
Kanker kolorektal di Indonesia banyak dijumpai pada usia produktif. Data tahun 19962000 menunjukkan bahwa puncak insidens
kanker kolorektal di Jakarta didapatkan pada
usia 40-49 tahun dan 50-69 tahun (Tabel 2).13
Tabel 1. Jumlah kasus keganasan saluran cerna di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta,1991-2000.
Lokasi
Limfoma
Adenokarsinoma
Lain-lain
Jumlah
Esofagus
-
25
35
60
Lambung
3
78
17
98
Duodenum
27
30
11
68
Ileum
29
26
20
85
Kolon
17
258
33
308
Rektum
10
721
136
867
Jumlah
86
1138
252
1486
Sumber:
AW,
EU, ett al.l The
cancer managementt off
S b Sudoyo
S d
AW Gondhowiardjo
G dh i dj S,
S Hutagalung
H t l
EU
Th multidisciplinary
ltidi i li
solid tumor: today & tomorrow. breast cancer, sarcomas, colorectal cancer. Jakarta: FKUI. 2004.
Tabel 2. Profil kanker kolorektal berdasarkan umur dan jenis kelamin di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta, tahun 1996-2000.
Umur
(tahun)
0-9 10-19 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 80-89
Jumlah
Jenis
Kelamin
Wanita
-
1
21
30
30
23
32
10
1
148
Pria
-
1
12
28
38
28
38
10
-
155
Jumlah
-
2
33
58
68
51
70
20
1
303
Sumber: Sudoyo AW, Gondhowiardjo S, Hutagalung EU, et al. The multidisciplinary cancer management of
solid tumor: today & tomorrow. breast cancer, sarcomas, colorectal cancer. Jakarta: FKUI. 2004.
C D K 1 8 6 / V o l . 3 8 n o . 5 / J u l i- Ag u s t u s 2 0 1 1
Download