7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Tanah merupakan material kompleks yang terbentuk dari batuan besar. Formasi tanah merupakan hasil dari siklus geologi yang secara terus menerus terjadi pada permukaan tanah. Siklus ini meliputi pelapukan, transportasi, deposisi atau pelapisan dan seterusnya yang dipengaruhi oleh pelapukan dan cuaca (Redana, 2011). Fungsi tanah secara kimiawi adalah sebagai gudang dan penyuplai zat hara atau nutrisi (senyawa-senyawa organik dan anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial seperti N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, Zn, Fe, B, Cl) (Mas’ud, 1992). Pengertian tanah menurut Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 tentang pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa, adalah tanah merupakan salah satu komponen lahan berupa lapisan teratas kerak bumi yang terdiri dari bahan mineral dan bahan organik serta mempunyai sifat fisik, kimia, biologi, dan mempunyai kemampuan menunjang kehidupan manusia dan mahkluk hidup lainnya. Tanah merupakan elemen yang penting dan sangat dibutuhkan bagi kehidupan dimana tanah digunakan manusia sebagai media untuk mereka bercocok tanam (Redana, 2011). 2.2 Pencemaran Tanah Pencemaran tanah dapat diartikan sebagai adanya bahan kimia buatan manusia masuk dan merusak keadaan lingkungan tanah alami. Tanah dapat tercemar jika ada bahan kimia baik organik maupun anorganik yang dibuang 7 8 langsung ke tanah dalam keadaan yang tidak memenuhi syarat (illegal dumping) seperti limbah industri, kebocoran limbah cair, penggunaan pestisida dan pupuk. Pencemar yang masuk ke dalam tanah kemudian mengendap sebagai zat beracun ditanah. Zat beracun di tanah tersebut dapat berdampak langsung kepada manusia ketika bersentuhan atau dapat mencemari tanah dan udara diatasnya (Yovita, 2009). Pencemaran tanah dalam bidang pertanian dapat bersumber dari sisa-sisa pupuk sintetik misalnya pupuk urea dan pestisida yang digunakan untuk membasmi hama tanaman. Penggunaan pupuk dan pestisida secara terus menerus dapat merusak kesuburan tanah, struktur tanah, menyebabkan kematian pada tanaman tertentu yang ditanam di tanah tersebut dan juga dapat mengakibatkan hama kebal terhadap pestisida tersebut (Amzani, 2012). Perubahan kimiawi tanah yang radikal dapat timbul dari adanya bahan kimia beracun dan berbahaya pada tingkat yang rendah sekalipun. Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan metabolisme dari mikroorganisme endemik dan antropoda yang hidup di lingkungan tanah tersebut yang mengakibatkan musnahnya beberapa spesies primer dari rantai makanan yang berdampak besar terhadap predator atau tingakatan lain dari rantai makanan tersebut. Efek kandungan zat kimia pada bagian rantai makanan utama makanan lama kelamaan akan terakumulasi pada rantai makanan selanjutnya. Banyak dari efek-efek ini terlihat pada saat ini seperti meningkatnya tingkat kematian anakan dan kemungkinan hilangnya spesies tersebut (Yovita, 2009). 9 2.3 Pencemaran Tanah oleh Logam Berat Unsur hara baik makro maupun mikro diperlukan tanah untuk menunjang pertumbuhannya. Akan tetapi jumlah unsur hara ini harus sesuai dengan kebutuhan tanaman karena unsur hara yang berlebih dapat mengganggu pertumbuhannya. Di daerah pertanian yang diusahakan dengan intensif dan perkebunan besar, unsur hara ditambahkan melalui pemupukan. Pelaksanaan pemupukan perlu dilaksanakan dengan hati-hati terutama unsur mikro, karena unsur mikro yang berlebih akan menjadi beracun untuk tanaman. Selain itu, pencemaran unsur mikro juga perlu ditekan sehingga pertumbuhan tanaman tidak terganggu. Jenis dan kandungan unsur hara (makro dan mikro) dapat diketahui melalui analisis contoh tanah di laboratorium (Rioardi, 2009). Logam berat adalah komponen ilmiah lingkungan yang mendapatkan perhatian berlebih karena bahaya yang ditimbulkan. Bagaimanapun logam tersebut berbahaya terutama apabila diserap oleh tanaman, hewan, atau manusia dalam jumlah yang besar. Namun demikian, beberapa logam berat merupakan unsur essensial bagi tanaman atau hewan (Nugroho, 2001). Logam berat tersebut termasuk dalam kelompok zat pencemar karena adanya sifat-sifat yang tidak dapat terurai dan mudah diabsorbsi oleh organisme (Priyono, 2006). Pencemaran logam berat di dalam tanah perlu diupayakan pengendaliannya sehingga tidak terjadi akumulasi. Akumulasi dapat mengganggu pertumbuhan tanaman atau masuk ke dalam air tanah. Pengendalian dapat dilakukan dengan menciptakan kondisi tanah yang menyebabkan logam berat tidak mudah larut. Hal ini dapat dicapai dengan penambahan kapur dan bahan organik ke dalam tanah karena akan meningkatkan reaksi (pH) tanah dan koloid- 10 koloid tanah. Jika konsentrasi logam berat melebihi yang dapat ditolerir oleh tanaman maka logam berat akan menjadi racun bagi tanaman dan akan mengganggu proses metabolisme. Pengendalian pencemaran logam berat di daerah pertanian dapat dilakukan dengan cara : 1. Industri-industri yang menghasilkan limbah logam berat dibangun di kawasan tertentu yang relatif jauh dari daerah pertanian. 2. Industri-industri yang emisinya mengandung logam berat melakukan penyaringan atau perlakuan lainnya sehingga kandungan logam berat yang masuk ke dalam atmosfer tidak berbahaya bagi lingkungan. 3. Limbah logam berat dikumpulkan dan diolah secara khusus. 4. Lahan pertanian diberi kapur dan bahan organik yang cukup (Parsa, 2001). 2.4 Logam Berat Logam berat ialah unsur logam dengan berat molekul tinggi. Dalam kadar rendah logam berat pada umumnya sudah beracun bagi tumbuhan dan hewan, termasuk manusia. Logam berat yang sering mencemari habitat ialah Hg, Cr, Cd, As dan Pb (American Geological Institute, 1976). Diantara semua unsur logam berat, Hg menduduki urutan pertama dalam hal sifat toksiknya dibandingkan logam berat lainnya, kemudian diikuti oleh logam berat lainnya yaitu Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, Cu dan Zn (Fardiaz, 1992). Namun demikian, beberapa logam berat merupakan unsur esensial bagi mahkluk hidup (Nugroho, 2001). Logam berat dikelompokkan sebagai zat pencemar karena adanya sifatsifat logam berat yang tidak dapat terurai dan mudah diabsorbsi oleh organisme. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap logam berat yaitu keasaman tanah, bahan organik, suhu, tekstur, ketersediaan mineral unsur, dan kadar unsur 11 lain. Tanah yang bertekstur liat memiliki kemampuan untuk mengikat logam berat lebih tinggi daripada tanah berpasir. Hal ini disebabkan karena semakin halus tekstur tanah, maka semakin tinggi kekuatannya untuk mengikat logam berat (Darmono, 1995). Pada tanah pertanian, sumber dari logam berat antara lain bahan agrokimia seperti pupuk dan pestisida, gas buangan kendaraan bermotor, bahan bakar minyak, pupuk organik, serta buangan limbah seperti limbah domestik dan industri (Alloway, 1995). 2.4.1 Logam timbal (Pb) Timbal atau timah hitam merupakan logam yang termasuk ke dalam logam-logam golongan IV A pada Tabel Periodik yang mempunyai nomor atom 82 dengan berat atom 207,2 g/mol. Timbal merupakan suatu logam berat dengan sifat fisik berwarna kelabu kebiru-biruan dengan titik leleh 327 oC dan titik didih 1620oC. Kadar Pb secara alami dapat ditemukan dalam bebatuan sekitar 13 mg/kg. Pb yang terdapat dalam tanah berkadar sekitar 5-25 mg/kg dan air bawah tanah (ground water) berkisar antara 1-80 μg/liter (Palar, 2008). Timbal sebagian besar terakumulasi pada organ tanaman yaitu daun, batang dan akar. Perpindahan Pb dari tanah ke tanaman tergantung pada komposisi dan pH tanah serta kapasitas tukar kationnya (KTK). Tanaman akan dapat menyerap logam Pb pada saat kondisi kesuburan tanah dan kandungan bahan organik yang rendah serta KTK tanah tinggi. Pada keadaan tersebut, logam Pb akan terlepas dari ikatan tanah menjadi ion yang akan bergerak bebas pada larutan tanah. Jika logam lain tidak mampu menghambat keberadaannya, maka akan terjadi serapan Pb oleh akar tanaman (Darmono, 1995). 12 Timbal (Pb) sebagian besar diakumulasi pada organ tanaman, yaitu daun, batang, akar, dan umbi-umbian (bawang merah). Perpindahan timbal dari tanah ke tanaman tergantung komposisi dan pH tanah. Konsentrasi timbal yang tinggi (100-1000 mg/ kg) akan mengakibatkan pengaruh toksik pada proses fotosintesis dan pertumbuhan. Timbal hanya mempengaruhi tanaman bila konsentrasinya tinggi (Charlene, 2004). Tanaman dapat menyerap logam Pb pada saat kondisi kesuburan dan kandungan bahan organik tanah rendah. Pada keadaan ini logam berat Pb akan terlepas dari ikatan tanah dan berupa ion yang bergerak bebas pada larutan tanah. Jika logam lain tidak mampu menghambat keberadaannya, maka akan terjadi serapan Pb oleh akar tanaman. Timbal merupakan logam berat yang sangat beracun, dapat dideteksi secara praktis pada seluruh benda mati di lingkungan dan seluruh sistem biologis. Sumber utama timbal adalah makanan dan minuman. Komponen ini beracun terhadap seluruh aspek kehidupan. Timbal menunjukkan beracun pada sistem saraf, hemetologic, hemetotoxic, dan mempengaruhi kerja ginjal. Rekomendasi dari WHO, logam berat Pb dapat ditoleransi dalam seminggu dengan takaran 50mg/kg berat badan untuk dewasa dan 25 mg/kg berat badan untuk bayi dan anak-anak. Mobilitas timbal di tanah dan tumbuhan cenderung lambat dengan kadar normalnya pada tumbuhan berkisar 0,5- 3 ppm. Keracunan timbal dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan terhadap sistem saraf, rongga mulut, dan sistem rangka. Secara visual akan muncul gejala dampak keterpaparan timbal secara akut maupun kronis. Keterpaparan secara akut melalui udara yang terhirup dapat menimbulkan gejala rasa lemah, lelah, gangguan tidur, sakit kepala, nyeri otot dan tulang. Dampak kronis keracunan 13 logam diawali dengan kelelahan, kelesuan, dan gangguan gastrointestinal. Keterpaparan yang terus-menerus pada sistem syaraf pusat menunjukkan gejala insomnia (susah tidur), bingung, dan gangguan ingatan (Charlena, 2004). 2.4.2 Logam tembaga (Cu) Tembaga (Cu) yang di dalam bahasa ilmiahnya disebut cuprum, termasuk dalam kelompok golongan XI pada Tabel Periodik kimia. Cu mempunyai nomor atom (NA) 29 dengan massa relatif (Ar) 63.546 g/mol. Unsur logam ini berbentuk kristal berwarna kemerah-merahan karena adanya lapisan tipis tarnish yang teroksidasi saat terkena udara (Palar, 2008). Sebagai logam berat, Cu berbeda dengan logam-logam berat lainnya seperti Hg (merkuri), Cd (cadmium) dan Cr (kromium). Logam Cu digolongkan ke dalam logam berat esensial artinya meskipun Cu merupakan logam berat yang beracun, tetapi unsur ini sangat dibutuhkan tubuh meski dalam jumlah yang sedikit. Logam ini dibutuhkan tubuh manusia sebagai unsur yang berperan dalam pembentukan enzim oksidatif dan pembentukan kompleks Cu-protein (Darmono, 1995). Tembaga (Cu) bersifat racun terhadap semua tumbuhan pada konsentrasi larutan di atas 5 mg/kg. Konsentrasi yang aman bagi air minum tidak lebih dari 1 ppm. Konsentrasi normal logam tembaga di tanah berkisar 2 mg/kg dengan tingkat mobilitas yang sangat lambat karena ikatan yang sangat kuat dengan material organik dan mineral tanah liat. Kehadiran tembaga industri seperti pewarnaan, kertas, minyak, industri pelapisan melepaskan sejumlah tembaga yang tidak diharapkan (Widyastuti, 2006). 14 Cemaran logam tembaga pada bahan pangan pada awalnya terjadi karena penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan (Charlena, 2004). Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) RI telah menetapkan batas maksimum cemaran logam berat tembaga pada sayur dan buah segar yaitu 5,0 ppm. Namun demikian, tembaga merupakan komponen yang harus ada dalam makanan manusia dan dibutuhkan oleh tubuh. Akan tetapi asupan dalam kadar yang berlebih akan menyebabkan gejala-gejala yang akut (Widaningrum, 2007). Pada manusia, keracunan Cu secara kronis dapat dilihat dengan timbulnya penyakit Wilson dan Kinsky. Gejala dari penyakit Wilson ini adalah terjadi hepatic atrrhosis, keracunan pada otak serta terjadi penurunan kerja ginjal, dan pengendapan Cu dalam kornea mata. Penyakit Kinsky dapat diketahui dengan tumbuhnya rambut yang kaku berwarna kemerahan pada penderita (Sunu, 2001). 2.5 Ekstraksi Bertahap Ekstraksi merupakan suatu metode pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan atau cairan dengan bantuan pelarut. Ekstraksi juga merupakan proses pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu campuran homogen. Prinsipnya adalah pemisahan terjadi karena kemampuan larut yang berbeda dari masing-masing komponen dalam campuran terlarut tersebut. Tessier et al.(1979) mengembangkan metode selective extractions atau ekstraksi bertahap untuk mempartisi partikulat logam yang terdapat dalam lingkungan. Ekstraksi bertahap ini dapat digunakan untuk menentukan spesies logam-logam dalam fraksi-fraksi tertentu pada tanah. Tessier et al.(1979) membagi fraksi-fraksi yang dapat dipisahkan dari prosedur ekstraksi bertahap sebagai berikut : 15 1. Fraksi EFLE (Easly, Freely, Leachable, Exchangeble) Fraksi ini merupakan fraksi yang mudah larut dalam air dan mudah ditukar (adsorpsi nonspesifik) logam dan kompleks organologam. Fraksi ini biasanya diperoleh dengan menggunakan asam asetat sebagai pelarut. 3. Fraksi Fe/Mn Oksida Fraksi Fe/Mn Oksida ini sensitif terhadap prosedur pengeringan sebelum ekstraksi. Oksida Mn dan Fe terdapat sebagai nodule, semen antar partikel atau hanya sebagai pelapis pada partikel. Oksida ini merupakan pengikat yang sangat baik untuk logam yang memiliki ukuran yang sangat kecil dan termodinamika tidak stabil di bawah kondisi anoxic. Pada tahap ini digunakan hidroksilamin hidroklorida sebagai pelarutnya. 4. Fraksi Organik Sulfida Logam dapat terikat pada berbagai bentuk bahan organik, organisme, lapisan pada partikel mineral, dan lain-lain. Dalam kondisi pengoksidasi di perairan alami, bahan organik dapat terdegradasi dan menyebabkan pelepasan logam yang larut. Pada tahap ini digunakan campuran antara HNO 3 dan H2O2 sebagai pelarutnya. 5. Fraksi Residu (Resistant) Logam pada fraksi ini masih tertinggal di dalam residu setelah prosedur ekstraksi di atas yang biasanya relatif stabil dan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dalam berbagai kondisi. Untuk mengetahui konsentrasi logam di fase ini dapat digunakan campuran HNO3 dan HCl dengan perbandingan 1:3. 16 2.6 Spesiasi dan Bioavailabilitas Spesiasi didefinisikan sebagai bentuk kimia spesifik suatu unsur dalam suatu sampel yang seharusnya tidak dipandang secara individual dan tidak lagi hanya dalam jumlah total unsur tersebut. Pengetahuan tentang spesiasi sangat diperlukan untuk memahami proses transformasi kimia, biokimia, bioavailabilitas, esensial maupun sifat toksisitas unsur. Menurut Fitri (2008) spesiasi unsur memberikan informasi tentang perilaku dan karakter suatu unsur misalkan saja mobilitas, fungsi, ketersediaan, defiensi, dan toksisitasnya. Perilaku suatu unsur baik pada organisme maupun pada sistem ekologis tidak dapat diterangkan hanya dengan melalui jumlah kadar total unsur tersebut dalam sampel yang bersesuaian melainkan juga ditentukan oleh bentuk spesi unsur tersebut. Bioavailabilitas didefinisikan sebagai ketersediaan suatu zat yang dapat diserap oleh organisme hidup dan dapat menyebabkan respon fisiologis atau toksikologi merugikan. Konsentrasi logam total tidak selalu sama dengan bioavailabilitas logam tersebut. Fraksi bioavailabilitas logam adalah persentase logam total dalam media lingkungan misalkan saja air, sedimen, tanah, atau makanan yang tersedia untuk penyerapan oleh organisme hidup. Besarnya fraksi ini sangat tergantung pada kondisi lingkungan dan bervariasi untuk logam yang berbeda serta organisme spesifik (Brezoik et al., 1991). Penelitian menunjukkan, bahwa logam yang berasosiasi pada fraksi easily exchangeable umumnya yang berkolerasi kuat dengan logam (Wang et al., 2002). 2.7 Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS) Atomic Absorbtion Spectrophotometer atau Spektrofotometri Serapan Atom merupakan suatu metode analisis unsur secara kuantitatif yang 17 pengukurannya berdasarkan pada penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (Skoog et al., 2000). Dalam kimia analitik, AAS dapat diartikan sebagai suatu teknik untuk menentukan konsentrasi suatu unsur logam dalam suatu cuplikan. Prinsip dari AAS adalah didasarkan pada penyerapan energi radiasi dengan panjang tertentu oleh atom-atom dalam keadaan dasar (ground state) yang menyebabkan tereksitasinya atom-atom tersebut dalam berbagai tingkat energi. Tereksitasinya atom-atom tersebut menyebabkan keadaan tidak stabil dan untuk mengubahnya kembali menjadi keadaan dasar diperlukan pelepasan sebagian ataupun seluruh energi eksitasinya dalam bentuk radiasi. Pada AAS, sumber radiasi yang digunakan adalah berasal dari lampu katoda berongga (hollow cathode lamp) (Christina, 2006). Skema kerja AAS dijabarkan seperti pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Skema Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS) (Skoog et al., 1998). Proses atomisasi yang terjadi dalam AAS adalah sebagai berikut : larutan sampel disemprotkan dalam bentuk aerosol (kabut) ke dalam nyala api. Mulamula terjadi penguapan pelarut yang menghasilkan sisa partikel yang padat dan halus di dalam nyala. Partikel-partikel padat ini kemudian berubah menjadi bentuk uap atau gas, selanjutnya sebagian atau seluruhnya mengalami disosiasi 18 menjadi atom netral. Proses ini disebabkan oleh pengaruh langsung dari panas atau peristiwa reduksi oleh zat-zat dalam nyala. Di dalam nyala atom-atom netral mampu menyerap atau mengabsorpsi energi cahaya yang dikenakan padanya dengan panjang gelombang yang sesuai dengan besarnya energi transisi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi (Zainudin, 1986). Analisis kuantitatif dengan teknik AAS dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu metode kurva kalibrasi dan metode penambahan standar. 2.7.1 Metode kurva kalibrasi Kurva kalibrasi yang dapat disebut juga dengan kurva standar diperoleh dengan mengukur absorbansi dari sederetan larutan standar dengan berbagai konsentrasi. Kurva kalibrasi merupakan plot antara konsentrasi sebagai sumbu x dan absorbansi sebagai sumbu y seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.2. Berdasarkan Hukum Lambert-Beer dapat diketahui hubungan antara absorbans, transmittans, tebal cuplikan, dan konsentrasi yang dinyatakan sebagai berikut: Dimana A = absorbans Io = intensitas cahaya datang It = intensitas cahaya yang diteruskan a = intersep b = slope c = konsentrasi analit dalam sampel (Harjadi, 1990). 19 Gambar 2.2 Grafik hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi (Ewig,1985). 2.7.2 Metode penambahan standar Metode penambahan standar perlu dilakukan apabila matriks dari suatu sampel dapat mempengaruhi sensitivitas pengukuran sampel tersebut. Metode ini dapat mengurangi kesalahan hasil pengukuran karena adanya perbedaan komposisi antara larutan standar dan sampel. Pada metode ini dibuat sederetan larutan sampel yang mengandung larutan standar dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Absorbansi larutan kemudian diukur dan dibuat kurvanya seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.3. (Sadiq, 1992). Hubungan linier antara absorbansi dan konsentrasi ditunjukkan oleh, Ax = K Cx ......................................................................................... (1) At = K (Cs + Cx) .............................................................................. (2) Dimana Cx = konsentrasi unsur dalam larutan sampel Cs = konsentrasi unsur dalam larutan standar yang ditambahkan Ax = absorbansi oleh analit dalam larutan sampel At = absorbansi larutan sampel dan standar K = b atau slope 20 Dari persamaan (1) dan (2) akan diperoleh : Atau, ............................................................................................. (3) Konsentrasi unsur dalam larutan sampel dapat dihitung dengan cara ekstrapolasi sampai At = 0. Dari persamaan (3) terlihat jika At = 0 maka, Gambar 2.3 Kurva penambahan standar