6 BAB II TINAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Tanah merupakan suatu

advertisement
BAB II
TINAUAN PUSTAKA
2.1
Tanah
Tanah merupakan suatu sistem kehidupan yang kompleks yang
mengandung berbagai jenis organisme dengan beragam fungsi untuk menjalankan
berbagai proses vital bagi kehidupan terestial (Husen dkk, 2007). Tanah di lapisan
permukaan bumi ini berasal dari bebatuan yang telah mengalami serangkaian
pelapukan oleh gaya-gaya alam, sehingga membentuk lapisan partikel halus.
Fungsi tanah secara kimiawi adalah sebagai gudang dan penyuplai zat hara atau
nutrisi (senyawa-senyawa organik dan anorganik sederhana dan unsur-unsur
esensial seperti N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, Zn, Fe, B, Cl) (Mas’ud, 1992). Pengertian
tanah menurut Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 tentang pengendalian
kerusakan tanah untuk produksi biomassa, adalah tanah merupakan salah satu
komponen lahan berupa lapisan teratas kerak bumi yang terdiri dari bahan mineral
dan bahan organik serta mempunyai sifat fisik, kimia, biologi, dan mempunyai
kemampuan menunjang kehidupan manusia dan mahkluk hidup lainnya. Tanah
merupakan elemen yang penting dan sangat dibutuhkan bagi kehidupan dimana
tanah digunakan manusia sebagai media untuk mereka bercocok tanam.
2.1.1 Tanah Kering
Lahan kering atau tanah kering merupakan hamparan lahan/tanah yang
tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu
dalam setahun. Hasnudi dan Saleh (2004) menyatakan bahwa kualitas lahan
kering biasanya rendah, maka dapat dipastikan bahwa akan terjadi defisiensi
unsur-unsur jarang (unsur mikro). Biasanya tanah dengan kandungan unsur hara
6
7
N, P, K, dan Ca rendah, reaksi tanah sangat asam hingga asam (pH 3,5-5,0).
Pemanfaatan tanah kering atau lahan kering pada lahan pertanian umumnya
ditentukan atas dasar kemiringan dan ketinggian lahan di atas permukaan laut.
Lahan berkemiringan 0 sampai 15 % kiranya cocok untuk pertanian tanaman
pangan secara intensif, lahan berkemiringan 15 sampai 25 % ditempuh pertanian
tanaman pangan yang dikombinasikan secara baik dengan tanaman kehutanan dan
perkebunan, lahan berkemiringan lebih dari 25 % cocok untuk kehutanan dan
perkebunan (Sukartiko, 1988). Ilahude et al, (2007) menyatakan reaksi tanah
lahan kering tergolong netral (pH netral) dengan kadar bahan organik sedang,
sedangkan kadar N, P2O5, dan K2O sangat rendah, serta nilai KTK sangat tinggi.
Hal ini mengindikasikan bahwa kesuburan tanah tergolong rendah.
2.1.2 Tanah Basah
Tanah basah memiliki peran yang sangat penting bagi mahkluk hidup dan
lingkungan. Menurut Franzmeier et al (2001) istilah tanah basah dalam pengertian
umum adalah tanah yang memiliki kelebihan air di beberapa periode waktu dalam
setahun dan penting untuk produksi tanaman. Di Indonesia, tanah basah banyak
dimanfaatkan untuk bercocok tanam, salah satunya adalah untuk persawahan.
Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang dialiri kemudian disawahkan,
atau dari tanah rawa-rawa yang dikeringkan (Hardjowigeno et al, 2004). Tanah
sawah yang terbentuk dari tanah kering atau tanah basah atau tanah rawa akan
memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan bahan pembentuk tanahnya
(Prasetyo et all, 2004).
8
2.2
Pencemaran Tanah
Pencemaran tanah didefinisikan sebagai masuknya bahan kimia buatan
manusia dengan sengaja maupun tidak sengaja dan akan merubah lingkungan
tanah alami. Pencemaran tanah terjadi karena adanya sumber pencemar
diantaranya adalah kebocoran limbah cair atau bahan kimia atau fasilitas
komersial, penggunaan pestisida, masuknya air permukaan tanah tercemar ke
dalam lapisan sub-permukaan, kecelakaan kendaraan pengangkut minyak, air
limbah dari tempat penimbunan sampah yang langsung dibuang ke tanah secara
tidak memenuhi syarat (illegal dumpling) (Yovita, 2009).
Limbah merupakan buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi
baik dari industri maupun domestik (rumah tangga) dimana kehadirannya pada
suatu saat akan menimbulkan efek negative terhadap lingkungan. Pada bidang
pertanian, limbah dapat berupa sisa-sisa pupuk sintetik misalnya pupuk urea dan
pestisida yang digunakan untuk membasmi hama tanaman. Penggunaan pupuk
dan pestisida yang dilakukan secara terus menerus dalam pertanian akan merusak
struktur tanah tersebut, salah satunya adalah berkurangnya kesuburan tanah
sehingga tidak dapat ditanami jenis tanaman tertentu hingga terjadinya kematian
pada tanaman. Selain itu, penggunaan pestisida yang terus menerus akan
mengakibatkan hama tanaman kebal terhadap pestisida tersebut (Amzani, 2012).
Keberadaan pencemar dalam tanah salah satunya adalah logam berat akan
berdampak terhadap pertumbuhan tanaman. Menurut Darmono (2001), pada
dasarnya kontaminasi logam pada tanah bergantung pada jumlah logam yang ada
pada batuan tempat tanah terbentuk, jumlah mineral yang ditambahkan pada tanah
sebagai pupuk, jumlah deposit logam dari atmosfer yang jatuh ke dalam tanah
9
serta jumlah yang terambil pada proses panen ataupun merembes ke dalam tanah
yang lebih dalam.
2.3
Logam Berat
Logam berat adalah salah satu komponen alamiah lingkungan yang saat ini
mendapatkan perhatian lebih akibat bahaya yang dapat ditimbulkannya. Logam
berat merupakan unsur kimia dengan berat jenis lebih besar dari 5 gr/cm3 dan
terletak di sudut kanan bawah sistem periodik. Miettinen (1977) menyatakan
logam berat memiliki afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya
bernomor atom 22 sampai 92 dari periodik 4 sampai 7. Logam berat Hg
merupakan logam berat yang memiliki densitas 13,55 gr/cm3 dan diantara semua
unsur logam berat, Hg menduduki urutan pertama dalam hal sifat toksiknya
dibandingkan logam berat lainnya, kemudian diikuti oleh logam berat lainnya
yaitu Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn dan Zn (Fardiaz, 1992). Namun demikian,
beberapa logam berat merupakan unsur esensial bagi mahkluk hidup (Nugroho,
2001).
Kandungan logam berat dalam tanah akan sangat mempengaruhi
kandungan logam dalam tanaman yang tumbuh di atasnya. Darmono (1995)
mengungkapkan, akumulasi logam dalam tanaman tidak hanya tergantung pada
kandungan logam dalam tanah, tetapi juga tergantung pada sifat kimia tanah
seperti unsur kimia pada tanah, jenis logam, pH tanah, dan spesies tanaman. Pada
tanah pertanian, sumber dari logam berat antara lain bahan agrokimia seperti
pupuk dan pestisida, gas buangan kendaraan bermotor, bahan bakar minyak,
pupuk organik serta buangan limbah seperti limbah domestik dan industri
(Alloway, 1995).
10
Logam berat menjadi berbahaya karena tidak dapat terdegradasi dan
memiliki sifat toksik pada mahkluk hidup walaupun pada konsentrasi yang rendah
dan memiliki sifat persisten dan terakumulasi dalam jangka waktu yang lama.
Logam berat akan berbahaya bila masuk ke dalam sistem metabolisme mahkluk
hidup dalam jumlah yang besar atau melebihi ambang batas. Notohadiprawiro
(2006) menyebutkan dengan adanya perantara tumbuhan yang menyerap logam
berat dari berbagai sumber, logam berat tersebut dapat masuk ke dalam tubuh
manusia dan hewan ketika mengkonsumsi tumbuhan tersebut.
2.3.1 Logam Timbal (Pb)
Timbal atau timah hitam merupakan logam yang termasuk ke dalam
logam-logam golongan IV A pada tabel periodik yang mempunyai nomor atom 82
dengan berat atom 207,2 g/mol. Timbal merupakan suatu logam berat dengan sifat
fisik berwarna kelabu kebiru-biruan dengan titik leleh 327 oC dan titik didih
1620oC. Kadar Pb secara alami dapat ditemukan dalam bebatuan sekitar 13
mg/kg. Pb yang terdapat dalam tanah berkadar sekitar 5-25 mg/kg dan air bawah
tanah (ground water) berkisar antara 1-80 µg/liter.
Palar (2008) menyebutkan penyebaran logam Pb di bumi sangat sedikit.
Di selurur lapisan bumi, jumlah timbal hanya 0,0002% dari jumlah seluruh kerak
bumi. Jumlah tersebut sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah kandungan
logam berat lainnya yang ada di bumi. Timbal sebagian besar terakumulasi oleh
organ tanaman yaitu daun, batang dan akar. Perpindahan Pb dari tanah ke tanaman
tergantung pada komposisi dan pH tanah serta kapasitas tukar kationnya (KTK).
Tanaman akan dapat menyerap logam Pb pada saat kondisi kesuburan tanah dan
kandungan bahan organik yang rendah serta KTK tanah tinggi. Pada keadaan
11
tersebut, logam Pb akan terlepas dari ikatan tanah menjadi ion yang akan bergerak
bebas pada larutan tanah. Jika logam lain tidak mampu menghambat
keberadaannya, maka akan terjadi serapan Pb oleh akar tanaman (Charlena, 2004)
Secara alami logam Pb juga dapat ditemukan di udara yang kadarnya
berkisar antara 0,0001-0,001 µg/L (Sudarmaji dkk., 2008). Kadar Pb yang tersedia
dalam tanah sangatlah rendah. Kandungan Pb total pada tanah pertanian berkisar
antara 2-200 mg/kg. Hasil analisis jaringan tanaman (rerumputan) pada masa
pertumbuhan aktif menunjukkan bahwa kandungan logam Pb berkisar dari 0,3-1,5
mg/kg bahan kering (Alloway, 1995).
2.3.2 Logam Kadmium (Cd)
Kadmium (Cd) merupakan logam putih keperakan yang dapat ditempa,
lunak dan tahan korosi. Kadmium melebur pada suhu 321 oC dan melarut dengan
lambat dalam asam encer dengan melepaskan hidrogen yang disebabkan oleh
adanya potensial elektroda yang negatif (Vogel, 1994). Logam kadmium
merupakan salah satu jenis logam berat yang banyak digunakan dalam berbagai
kegiatan industri kimia di Indonesia. Darmono (2001) menyatakan kadmium
dimanfaatkan dalam berbagai bidang industri kimia karena sifatnya yang lunak
dan tahan korosi/karat. Kadmium merupakan logam yang berbahaya karena unsur
ini berisiko tinggi terhadap pembuluh darah. Pada tanaman yang menyerap
partikulat Cd, akan mengalami peristiwa terjadinya hambatan terhadap
penyerapan zat besi yang sangat dibutuhkan oleh klorofil (zat hijau daun)
tumbuhan. Sudarmaji dkk (2008) menyebutkan kadmium dapat diangkut oleh
aliran sungai sampai jarak 50 km dari sumbernya. Dalam tanah, kadmium
bersumber dari alam dan sumber antropogenik yaitu sumber alam berasal dari
12
batuan atau material lain sedangkan sumber antropogenik berasal dari endapan
penggunaan pupuk dan limbah. Di dalam tanah, kadmium sebagian besar
berpengaruh pada pH, larutan material organik, logam yang mengandung oksida,
tanah liat dan zat organik maupun anorganik.
2.4
Bioavailabilitas dan Spesiasi Logam
Sifat logam di lingkungan serta interaksinya dengan organisme akan selalu
berhubungan dengan sifat fisikokimianya. Logam dapat mengalami beberapa
kemungkinan antara lain, logam langsung available dan diakumulasi oleh
organisme, logam langsung available namun bioavailabilitasnya menurun dengan
waktu, logam tidak available lalu menjadi available, serta kemungkinan logam
tidak pernah available. Menurut Bernhard dan Neff (2011), bioavailabilitas
merupakan ketersediaan suatu zat atau senyawa yang dapat diserap oleh hayati
(organisme dan tumbuhan). Bioavailabilitas tidak sama dengan logam total namun
bioavailabilitas berhubungan dengan jumlah logam yang mampu diserap oleh
hayati baik organisme maupun tumbuhan. Spesiasi merupakan suatu proses
identifikasi dan kuantifikasi berbagai spesies, fase dan bentuk yang terdapat pada
suatu media (Davidson et al, 1998). Analisis spesiasi logam dalam sampel adalah
suatu teknik penentuan konsentrasi berbagai bentuk geokimia logam yang
bersama-sama membentuk konsentrasi total dalam sampel. Analisis spesiasi ini
merupakan landasan yang berguna untuk menduga bioavailabilitas logam
terhadap ekosistem pertanian (Florence et al, 1992).
Serapan tumbuhan terhadap suatu zat atau senyawa pada umumnya
merupakan langkah awal masuknya ke dalam rantai makanan pada pertanian.
Serapan tumbuhan tersebut tergantung pada pergerakan unsur dari tanah ke akar
13
tanaman, unsur melintasi membran sel epidermis akar, transport unsur dari sel
epidermis akar menuju pembuluh xilem, dimana unsur diangkut dari akar ke
tunas, dan kemungkinan mobilisasi dari daun ke jaringan penyimpanan yang
digunakan sebagai makanan (biji, umbi-umbian, dan buah) melalui sistem
transport floem. Langkah-langkah tersebut biasanya tergantung pada konsentrasi
unsur pada tanah yang dikontrol oleh kondisi fisik dan kimia tanah di tempat
tersebut seperti kadar air, pH dan faktor lainnya (John and Leventhal, 1995).
2.5
Ekstraksi Bertahap
Ekstraksi merupakan suatu metode pemisahan satu atau beberapa bahan
dari suatu padatan atau cairan dengan bantuan pelarut. Ekstraksi juga merupakan
proses pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu campuran homogen.
Prinsipnya adalah pemisahan terjadi karena kemampuan larut yang berbeda dari
masing-masing komponen dalam campuran terlarut tersebut. Tessier et al (1979)
mengembangkan metode selective extractions atau ekstraksi bertahap untuk
mempartisi partikulat logam yang terdapat dalam lingkungan. Ekstraksi bertahap
ini dapat digunakan untuk menentukan spesies logam-logam dalam fraksi-fraksi
tertentu pada tanah. Tessier et al (1979) membagi fraksi-fraksi yang dapat
dipisahkan dari prosedur ekstraksi bertahap sebagai berikut :
1. Fraksi Mobile/Tertukarkan
Fraksi ini merupakan fraksi yang mudah larut dalam air dan mudah ditukar
(adsorpsi nonspesifik) logam dan kompleks organologam. Fraksi ini biasanya
diperoleh dengan menggunakan satu pelarut, diantaranya air atau larutan garam
sangat encer, larutan garam netral tanpa kapasitas pH buffer, larutan garam
14
dengan kapasitas pH buffer atau dengan menggunakan senyawa agen kompleks
organik
2. Fraksi Terikat Karbonat
Pada umumya untuk memperoleh fraksi ini digunakan larutan buffer,
misalnya asam asetat/Na-asetat pada pH 4,75. Pelarut ini akan melepaskan unsur
yang terikat pada karbonat.
3. Fraksi Terikat Oksida Mn dan Fe
Fraksi terikat oksida Mn ini sensitif terhadap prosedur pengeringan
sebelum ekstraksi. Oksida Mn dan Fe terdapat sebagai nodule, semen antar
partikel atau hanya sebagai pelapis pada partikel. Oksida ini merupakan scavenger
(pemulung) yang sangat baik untuk logam yang memiliki ukuran yang sangat
kecil dan termodinamika tidak stabil di bawah kondisi anoxic. Pada tahap ini
digunakan NH2OH.HCl sebagai pelarutnya.
4. Fraksi Terikat Bahan Organik
Logam dapat terikat pada berbagai bentuk bahan organik, organisme,
lapisan pada partikel mineral, dan lain-lain. Dalam kondisi pengoksidasi di
perairan alami, bahan organik dapat terdegradasi dan menyebabkan pelepasan
logam yang larut. Pada tahap ini digunakan campuran antara HNO3 dan H2O2
sebagai pelarutnya.
5. Fraksi Residu
Logam pada fraksi ini masih tertinggal di dalam residu setelah prosedur
ekstraksi diatas yang biasanya relatif stabil dan tidak menunjukkan perubahan
yang signifikan dalam berbagai kondisi (fraksi resistant). Untuk mengetahui
15
konsentrasi logam di fase ini dapat digunakan campuran HNO 3 dan HCl dengan
perbandingan 1:3.
2.6
Spektroskopi Serapan Atom (AAS)
Spektrometri merupakan suatu metode analisis kuantitatif dimana
pengukurannya didasarkan pada banyaknya radiasi yang dihasilkan atau yang
diserap
oleh
spesi
atom
atau
molekul
analit.
Atomic
Absorption
Spektrophotometer (AAS) merupakan salah satu bagian dari spektrometri. Teknik
analisis ini diperkenalkan pertama kali oleh Welsh pada tahun 1955. Spektrometri
serapan atom (AAS) merupakan metode analisis secara kuantitatif yang
pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang
tertentu oleh atom dalam keadaan bebas. Dalam kimia analitik, AAS dapat
diartikan sebagai suatu teknik untuk menentukan konsentrasi suatu unsur logam
dalam suatu cuplikan. Prinsip dari AAS adalah didasarkan pada penyerapan
energi radiasi dengan panjang tertentu oleh atom-atom dalam keadaan dasar
(ground state) yang menyebabkan tereksitasinya atom-atom tersebut dalam
berbagai tingkat energi. Tereksitasinya atom-atom tersebut menyebabkan keadaan
tidak stabil dan untuk mengubahnya kembali menjadi keadaan dasar diperlukan
pelepasan sebagian ataupun seluruh energi eksitasinya dalam bentuk radiasi. Pada
AAS, sumber radiasi yang digunakan adalah berasal dari lampu katoda berongga
(hollow cathode lamp) (Christine, 2006).
Gambar 2.1 Skema Spektroskopi Serapan Atom (AAS) (Skoog et al, 1994)
16
Proses yang terjadi pada AAS adalah larutan sampel disemprotkan ke
suatu nyala dan unsur-unsur di dalam sampel diubah menjadi uap atom sehingga
nyala mengandung logam unsur-unsur yang dianalisis. Proses ini disebut dengan
proses atomisasi. Proses atomisasi dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Proses Atomisasi yang Terjadi pada AAS (Skoog et al, 1994)
Dalam proses ini, kebanyakan atom tetap tinggal sebagai atom netral dalam
keadaan dasar dan beberapa diantaranya tereksitasi secara termal oleh nyala.
Atom-atom dalam keadaan dasar tersebut akan menyerap radiasi yang diberikan
oleh sumber radiasi dalam hal ini adalah lampu katoda berongga pada panjang
gelombang yang sesuai. Panjang gelombang yang diabsorpsi oleh atom dalam
nyala adalah sama dengan panjang gelombang yang dihasilkan oleh sumber
radiasi. Penyerapan sinar tersebut pada panjang gelombang yang sesuai akan
sebanding dengan konsentrasi atom-atom dalam nyala. Christine (2006)
menyebutkan hubungan ini dinyatakan oleh hukum Lambert-Beer, yaitu
absorbansi berbanding lurus dengan panjang nyala dan konsentrasi larutan.
Hubungan antara serapan cahaya dengan konsentrasi zat dalam larutan dinyatakan
dengan persamaan Lambert-Beer :
17
A = - log T = ɛ.b.c
Dimana :
A = absorbansi
T = transmisis
ɛ = absortivitas molar (L/mol cm)
b = panjang sel (cm)
c = konsentrasi zat yang menyerap sinar (mol/L)
Melakukan analisis menggunakan alat spektrometer serapan atom (AAS)
sering mengalami gangguan-gangguan (interference). Gangguan tersebut terjadi
akibat adanya unsur atau zat-zat lain yang terkandung di dalam sampel bersamasama dengan analit. Gangguan ini menyebabkan terjadinya kesalahan dalam
pengukuran analit yaitu kesalahan positif dan kesalahan negatif. Secara umum,
gangguan yang terjadi dibedakan menjadi gangguan kimia dan gangguan fisika.
Gangguan kimia dapat berupa pembentukan senyawa stabil karena terjadinya
reaksi antara analit dengan karbon atau nitrogen dalam sel atomisasi pada AAS.
Gangguan kimia juga dapat terjadi karena adanya kesetimbangan disosiasi dan
ionisasi dalam nyala. Sedangkan gangguan fisika adalah gangguan yang
mempengaruhi efisiensi atomisasi dan kecepatan aspirasi sampel ke dalam
pembakar. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan sifat sampel dan larutan
standar yaitu perbedaan viskositas, densitas, dan lain-lain. Kedua gangguan
tersebut dapat diatasi baik secara teknik maupun kimia (Skoog et al, 1994;
Harvey, 2000).
2.7
Kurva Kalibrasi
Metode kurva kalibrasi atau disebut juga kurva standar merupakan teknik
yang digunakan dan sesuai untuk spektrofotometri serapan atom. Analisis dengan
kurva kalibrasi atau kurva standar diperoleh dengan mengukur absorbansi dari
18
sederet konsentrasi larutan standar. Untuk senyawa atau zat yang mengikuti
hukum Lambert-Beer, grafik konsentrasi dengan absorbansi akan membentuk
suatu garis lurus seperti gambar berikut :
Absorbansi
y = bx + a
A4
A3
A2
A1
Konsentrasi
C1
C2
C3
C4
Gambar 2.3 Grafik Hubungan antara Absorbansi dengan Konsentrasi (Ewig, 1985)
Pembuatan kurva kalibrasi tersebut diawali dengan membuat beberapa konsentrasi
larutan standar yang selanjutnya diukur absorbansi tiap konsentrasi dengan
spektrofotometer serapan atom. Kurva kalibrasi memudahkan dalam mengetahui
konsentrasi suatu analit dalam larutan sampel atau dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan regresi linier y = bx + a, dimana Y adalah absorbansi, a
adalah intersep, x adalah konsentrasi dan b adalah slope (Nur, 1989).
Download