DRAF BUKU AJAR Nama Mata Kuliah : Filsafat Ilmu Kode MK/SKS : Semester : III Jurusan : Pedalangan /2 SKS A. Deskripsi Singkat Mata kuliah ini membahas teori-teori dasar dan metode dasar filsafat ilmu yang meliputi: ontologi, epistimologi, aksiologi dan logika. B. Relevansi materi dengan mata kuliah Pengertian filsafat baik secara umum, sebagai padangan hidup dan keilmuan merupakan pengetahuan dasar yang harus difahami mahasiswa sebagai pondasi awal memahami filsafat ilmu. C. Kompetensi Dasar Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat menjelaskan pengertianpengertian filsafat D. Penyajian 1. Pengertian Filsafat Filsafat bagi sebagian orang dan bahkan institusi pendidikan sering dianggap tidak memiliki nilai praksis, dan bahkan dianggap mengawang-awang (utopia). Para pelakunya (filsuf) sering dianggap orang yang selalu mempermasalahkan sesuatu yang dalam anggapan umum bukanlah sebuah permasalahan. Permasalahan yang dilontarkan pun terkadang tidak sesuai dengan obyek yang dipersoalkan. Oleh karenanya seorang filsuf atau mereka yang belajar filsafat dan mencoba untuk menerapkannya dalam proses keseharian sering dianggap ”orang aneh” diantara orang yang menganggap dirinya ”waras”. Steriotip tersebut menjadi kendala tersendiri untuk membangun kerangka berfikir yang sistematis dan mengakar dalam dunia pendidikan. Karena filsafat yang merupakan ”mater of scientairum ” sumber utama dari kerangka berfikir sistematis dihadang di depan gerbang pendidikan. Filsafat hanya dijadikan cara untuk melihat fenomena tanpa harus terlibat dalam proses pembentukan realitas. Di sisi lain ada persoalan yang fundamental terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama terkait dengan ketergantungan manusia terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan munculnya krisis kemanusiaan, seperti kendurnya ikatan sosial antara individu ataupun masyarakat karena proses interaksi yang face to face digantikan dengan perangkat elektronik baik sebagai lawan interaksi ataupun sebagai media berinteraksi. Pada kondisi seperti inilah filsafat diperlukan dalam upaya mengembalikan hakekat ilmu pengetahuan yang menyejahterakan manusia dan menghargai hak-hak kemanusiaan. Dalam konteks ini filsafat ilmu berperan penting untuk mendudukan kembali ilmu pengetahuan dalam konteks kemanusiaan. Karena alam dan fenomena yang diciptakan oleh Yang Kuasa adalah untuk mensejahterakan manusia dan menjelaskan kehidupan manusia, sehingga suatu penyimpangan ketika ilmu pengetahuan yang bahan dasarnya alam dan fenomenanya terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan. 2. Pengertian Filsafat Secara Umum Dikalangan para filosof tidak ada perbedaan yang mendasar dalam mendefinisikan filsafat baik dalam arti kebahasaan (etimologis) ataupun batasanbatasan konsepsional (terminologis). Secara etimologis, filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia atau philosophos. Philos atau philein berarti teman atau cinta, dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Kata filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab), philosophie (Prancis, Belanda dan Jerman), serta philosophy (Inggris). Filsafat juga diartikan sebagai mater of scientiarum yang artinya induk dari segala ilmu pengetahuan yang dapat kita telusuri secara historis keterkaitan antara filsafat dan ilmu pengetahuan sebagaimana secara singkat telah disampaikan diatas. Kata philosopia pertama kali digunakan oleh pythagoras (572-497 SM) yang berarti pecinta kebijaksanaan bukan kebijaksanaan itu sendiri. Karena menurut pemahaman Pythagoras bahwa kearifan yang sesungguhnya semata-mata hanya milik Tuhan, sehingga ia tidak mau disebut sebagai orang arif karena akan menyaingi atau bahkan menyerupai Tuhan , tetapi dia lebih senang menyebut dirinya sebagai pencinta kearifan atau pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom), sedangkan filsafat adalah cinta kearifan (love of wisdom) (Liang Gie, 1996:5). Namun secara umum kata Sophia mengandung arti yang lebih luas daripada kebijaksanaan, antara lain: kerajinan, kebenaran pertama, pengetahuan yang luas, kebajikan intelektual, pertimbangan yang sehat dan kecerdikan dalam memutuskan hal-hal yang praktis (Mudhofir, 2007:18). Secara terminologis, ada beberapa definisi yang disampaikan oleh para filsuf yang pada dasarnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Berikut ini adalah beberapa definisi yang disampaikan oleh para filsuf sesuai dengan perkembangan zamannya. Plato (427-347 SM) mengartikan filsafat sebagai pencarian yang bersifat perekaan (spekulatif) sedang filsuf adalah pencinta pandangan tentang kebenaran (vision of thruth) lewat proses dialektika (Liang Gie, 1996 : 5). Perekaan merupakan awal mula dari pengetahuan, karena hal tersebut akan membawa pada pembuktian terhadap kebenaran dari perekaan. Proses untuk mencapai hal tersebut dilakukan dengan cara diskusi secara intens di dalam diri individu dalam satu rangkaian dialektis (Hendrik Rapar, 1996:102-103). Aristoteles (382 –322 SM) yang merupakan murid dari Plato menambahkan konsep lain dari pengertian filsafat. Menurutnya, philosophia merupakan padanan kata dari epistem yakni kumpulan teratur dari pengetahuan rasional mengenai suatu objek yang sesuai. Shopia (kearifan) menurutnya merupakan kebijakan intelektual yang tertinggi. Terkait dengan pengetahuan penalaran Aristoteles mengembangkan konsep analitika dan dialektika. Analitika berpangkal dari premis yang benar dan dialektika berpangkal pada hipotesis yang belum pasti kebenarannya (Liang Gie, 1996: 7, 33). Al-Farabi (870–950 ) mengartikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan hakekat alam yang sebenarnya. Arti yang sama juga disampaikan oleh Descartes (1590–1650) mendefinisikan filsafat sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang tuhan, alam dan manusia. Immanuel Kant (1724–1804) mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan. Menurut Kant ada empat hal yang dikaji dalam filsafat yaitu: apa yang dapat manusia ketahui? (metafisika), apa yang seharusnya diketahui manusia? (etika), sampai dimana harapan manusia? (agama) dan apakah manusia itu? (antropologi). Jujun S. Sumantri Filsafat mengartikan filsafat sebagai cara berfikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berfikir yang mengupas sesuatu yang sedalam-dalamnya (Sumantri, 2006 : 4). Definisi-definisi diatas pada dasarnya menegaskan bahwa filsafat merupakan kemampuan berfikir jernih untuk mencapai kebenaran dan atau kebijaksanaan. Dengan kata lain bahwa filsafat ingin meletakkan keistimewaan manusia sebagai makhluk berfikir diantara makhluk-makhluk lainnya. Penggunaan akal fikir secara jernih inilah yang kemudian menjadikan manusia sebagai makhluk yang sempurna. Namun jika keistimewaan berfikir ini tidak digunakan atau tidak secara jernih digunakan, maka akan menempatkan manusia lebih rendah dari hewan, ”manusia adalah hewan yang berfikir” atau ”manusia adalah hewan yang menggunakan simbol (animal symbolicum)”. Karena dengan fikiran yang jernih akan mengantarkan manusia untuk sampai pada kebijaksanaan baik dalam berfikir ataupun dalam bertindak. Kebijaksanaan atau kearifan sebagai capaian akhir dari filsafat di dunia barat merupakan hasil renungan melalui rasio atau cipta-akal-pikir-nalar, dan berarti pengetahuan dalam berbagai bidang hidup yang memberi petunjuk tindak-tanduk sehari-hari. Dalam kebudayaan Jawa, kebijaksanaan berarti tentang asal dan akhir kehidupan, yang dikenal dengan wikan sangkan paraning dumadi (Suyanto, 2009:). Pemahaman mengenai kebijaksanaan tersebut tentunya harus disesuaikan dengan konteks budaya yang berkembang pada suatu masyarakat, namun secara garis besar kebijaksanaan selalu terkait dengan aspek kemanusiaan dan ke-Tuhanan sebagai kebenaran tertinggi. 3. Filsafat sebagai pandangan hidup Penjelasan filsafat sebagai pandangan hidup, perlu diawali dengan pemahaman mengenai pandangan hidup yang diposisikan berbeda dengan pedoman hidup dan dianggap sama dengan ideologi. Karena ketiga istilah ini sering digunakan untuk menyebut tradisi dan nilai yang diyakini oleh masyarakat atau individu, sehingga terkadang secara semena-mena kita menggunakannya secara bergantian pada obyek yang sama tanpa memahami makna yang melekat pada suatu kebudayaan. Sebagai contoh kalimat yang sering kita dengar bahwa wayang adalah pedoman hidup masyarakat Jawa, namun terkadang kita mendengar atau bahkan menyebutnya sebagai pandangan hidup masyarakat. Begitu juga dengan pancasila, apakah sebagai pedoman hidup atau pandangan hidup bangsa Indonesia. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, padangan hidup diartikan sebagai konsep yang dimiliki oleh seseorang atau golongan dimasyarakat yang bermaksud menanggapi dan menerangkan segala masalah di dunia ini. Adapun Pedoman adalah alat untuk menunjukkan arah/ ketentuan-ketentuan dasar yang memberi arah (Poerwadarminta, 2005:821,841). Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka Pancasila dan Wayang adalah sebagai pedoman, sebagai alat atau ketentuanketentuan dasar untuk menunjukkan arah yang kemudian dijabarkan dalam pandangan-pandangan untuk menanggapi dan menerangkan masalah-masalah yang bersifat teknis. Sebagaimana Pancasila yang dijabarkan dalam segala aspek kehidupan masyarakat, sehingga segala sesuatunya harus berasaskan pancasila, seperti dalam pembangunan, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Perbedaan kedua istilah tersebut juga dapat dilihat dari tingkat kebakuan suatu nilai atau budaya yang diyakini seseorang. Pandangan hidup karena merupakan konsep maka tingkat kebakuannya berada dibawah pedoman, sehingga terkadang bersifat elastic. Adapun pedoman tidak bisa berubah dari segi materialnya karena menjadi sumber dasar dan diyakini sebagai sumber kebenaran yang hakiki, seperti halnya kitab suci yang tidak bisa berubah dan diyakini kebenaran yang ada di dalamnya. Filsafat sebagai pandangan hidup (falsafah) cenderung diartikan sebagai azas atau suatu pendirian yang mengandung prinsip-prinsip yang kebenarannya telah di yakini (ideologi) dan diterima apa adanya. Azas atau pendirian yang telah diyakini tersebut akan mengarahkan sikap, fikiran dan tingkah laku sesuai dengan apa yang diyakini. Hal ini digunakan sebagai dasar dan arah kehidupan masyarakat untuk menjawab persoalan-persoalan fundamental yang tidak bisa dijawab secara tehnis (Kunto Wibisono dlm Suyanto, 2009 : 33). Oleh karenanya dalam kehidupan kita sering mendengar ungkapan dari seseorang atau suatu kelompok suku bangsa yang mengatakan bahwa “falsafah hidup saya adalah………, sehingga ……; falsafah hidup masyarakat Jawa itu adalah……….., sehingga……. Contoh tersebut menunjukkan bahwa pernyataan pertama menjadi pola bagi pernyataan kedua, dengan kata lain bahwa pernyataan pertama menjadi arah untuk melakukan sesuatu sehingga memunculkan makna yang sesuai dengan pernyataan pertama pada pernyataan kedua. Contoh lainnya dapat kita fahami dari upacara ruwat yang dilakukan oleh masyarakat Jawa sebagai usaha untuk menghindari berbagai persoalan hidup yang bersifat tehnis. Hal tersebut terkait dengan falsafah hidup masyarakat Jawa yang menginginkan adanya keselarasan antara manusia dengan lingkungannya termasuk dengan sang Pencipta. Ketika terjadi ketidakselarasan dalam hidup baik personal ataupun kelompok seperti anak yang nakal, sering ditimpa kesusahan ataupun karena posisi anak sebagai anak ontang anting1, maka perlu dilakukan ruwat sebagai upaya menetralisir untuk mengembalikan keseimbangan hidup. Disini kita memahami bahwa falsafah keselarasan hidup mengarahkan masyarakat Jawa pada aktifitas-aktifitas nontekhnis untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tekhnis. Filsafat sebagai pandangan hidup menekankan bahwa filsafat bersumber pada hakekat kodrati manusia sebagai makhluk individu, makhluk social dan makhluk Tuhan. 1 Keterangan lebih lanjut mengenai upacara ruwat dan anak ontang anting dapat dibaca di dalam buku Soetarno, Ruwantan di Daerah Surakarta, Sukoharjo: CV. Cendrawasih, 1995. Filsafat tidaklah mengawang-awang sebagaimana yang difahami banyak orang. Oleh karenanya filsafat tidak pernah lari dari realitas kehidupan manusia dalam ketiga ruang lingkup kehidupannya tersebut. Di sini filsafat merupakan penjelmaan manusia secara total dan sentral yang teraplikasi dalam berbagai ruang disiplin ilmu dalam filsafat. a. Manusia dengan unsur raganya dapat melahirkan filsafat biologi. b. Manusia dengan unsur rasanya dapat melahirkan filsafat keindahan (estetika). c. Manusia dengan unsur monodualismenya (kesatuan jiwa dan raga) melahirkan filsafat antropologi. d. Manusia dengan kedudukannya sebagai makhluk Tuhan dapat melahirkan filsafat ketuhanan. e. Manusia dengan kedudukannya sebagai makhluk social melahirkan filsafat social. f. Manusia sebagai makhluk berakal melahirkan filsafat berfikir (logika). g. Manusia dengan unsur kehendaknya untuk berbuat baik dan buruk melahirkan filsafat tingkah laku (etika). h. Manusia dengan unsur jiwanya dapat melahirkan filsafat psikologi. i. Manusia dengan segala aspek kehidupannya dapat melahirkan filsafat nilai (aksiologi). j. Manusia dengan dan sebagai warga Negara dapat melahirkan filsafat Negara. k. Menusia dengan unsur kepercayaannya terhadap supranatural dapat melahirkan filsafat agama (Achmadi, 2009:7-9). Filsafat sebagai pandangan hidup pada dasarnya adalah upaya membuat hidup bermakna dan mudah difahami sesuai dengan kondisi individu ataupun latar belakang budaya yang membentuknya. Kategorisasi ruang disiplin ilmu dalam filsafat diatas menegaskan bahwa aktifitas filsafat merupakan realitas nyata yang terkait secara langsung dengan realitas kemanusiaan. 4. Filsafat sebagai ilmu pengetahuan Pada saat awal kelahirannya ilmu pengetahuan identik dengan filsafat sebagaimana telah dijelaskan diatas, namun pada masa-masa awal tersebut corak mitologik masih mendominasi. Baru setelah dilakukan gerakan demitologisasi yang dipelopori oleh filsuf pra-Socrates, filsafat setapak demi setapak berkat kemampuan rasionalitasnya mencapai puncak perkembangan, seperti yang ditunjukkan oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles. Sejak itu filsafat yang semula bercorak mitologik berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang meliputi berbagai macam bidang. Filsafat sebagai ilmu pengetahuan karena filsafat mempunyai Gegenstand yakni obyek sasaran yang ingin diketahui, diselidiki atau sesuatu yang ingin dipelajari. Dengan kata lain filsafat mempunyai obyek material yang mencakup hal-hal yang konkrit ataupun hal yang abstrak. Koento Wibisono (2007:2-3) memberikan ramburambu dimensi structural ilmu yang tersusun dari beberapa komponen : 1. Objek sasaran (Gegenstand) yang ingin diketahui. 2. Gegenstand terus-menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti. 3. Ada alasan (motif) dan dengan sarana dan cara tertentu Gegendstand tadi terus menerus dipertanyakan. 4. Temuan-temuan yang diperoleh selangkah demi selangkah disusun kembali dalam satu kesatuan sistem. Keempat komponen tersebut telah terpenuhi di dalam filsafat, sehingga filsafat juga dapat dipandang sebagai ilmu pengetahuan selain juga telah mengalami proses yang panjang dan telah tersusun secara sistematis. Dalam konteks inilah filsafat mempunyai objek formal dan obyek material sebagai konsekwensi logis ketika filsafat menjadi ilmu pengetahuan. Obyek material adalah obyek kajian atau obyek yang diteliti dengan menggunakan sudut pandang tertentu. obyek material ini dapat mencakup apa saja baik hal yang kongkrit seperti manusia, tumbuhan dan batu, ataupun hal-hal yang abstrak seperti ide-ide, nilai-nilai, kerohanian. Adapun obyek formal adalah sudut pandang (point of view) untuk memahami dan menjelaskan fenomena, secara praktis obyek formal ini terkadang kita sebut dengan pendekatan, atau teori. Objek formal inilah yang membedakan antara satu bidang ilmu dengan bidang ilmu lainnya. Satu objek material dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, seperti manusia sebagai objek material dapat dilihat dari sudut pandang sosiologi, antropologi dan psikologi. Obyek material filsafat adalah segala sesuatu yang “ada” dan yang “dianggap ada”. Hal ini menunjukkan bahwa objek material filsafat bersifat umum karena terkait dengan seluruh kenyataan (Mudhofir, 2007:22-24; Asmoro, 2009:8-9). Segala sesuatu yang ada ada segala sesuatu yang kongkrit, terindra seperti manusia, benda-benda kongkrit dan yang secara hakekat harus ada seperti Tuhan. Adapun segala sesuatu yang mungkin ada biasanya terkati dengan sistem nilai, kepercayaan, seperti Nyi Loro kidul yang dianggap ada oleh masyarakat pesisir dan orang-orang yang meyakininya, namun bagi masyarakat lain keberadaan Nyi Loro Kidul dianggap tidak nyata. Objek formal filsafat terarah pada unsur-unsur keumuman yang secara pasti ada pada ilmu-ilmu khusus. Sebagai contoh objek material berupa wayang. Seorang ahli ekonomi akan memfokuskan pada aspek ekonomi dari wayang, berapa harga wayang, atau bagaimana wayang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dalam pengembangan ekonomi kreatif. Bagi seorang antropolog focus perhatianya bukan pada wayang, namun pada proses interaksi antara manusia dengan wayang, sehingga dapat dilihat aspek simboliknya, ataupun konsepsi-konsepsi masyarakat mengenai wayang. Hal ini akan berbeda jika dilihat dari perspektif filsafat yang lebih bersifat umum, hal-hal yang dipertanyakan terkait dengan hakekat dari nilai dalam wayang ataupun sistem pengetahuan masyarakat mengenai wayang. Oleh karenanya aktifitas yang semacam ini sangat mungkin bersifat multidisipliner yang berarti juga mencari hubungan-hubungan antara bidang ilmu yang bersangkutan. Filsafat sebagai ilmu pengetahuan mempunyai tiga bidang kajian yang merupakan prinsip-prinsip pokok yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga bidang ini dipandang sebagai pilar utama suatu bangunan filsafat untuk melihat arah pemikiran dan visi keilmuan terutama dalam filsafat. Dalam filsafat ilmu ketiga bidang kajian tersebut juga menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu. Ontologi atau dikenal dengan metafisika umum karena merupakan bagian dari kajian metafisika. Ontology meliputi hakekat dari sesuatu, apa hakekat dari kenyataan yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagimana (yang) “Ada” itu (being). Ontology juga membicarakan mengenai kenyataan, apakah kenyataan itu tunggal adanya, dan berbagai macam keanekaragaman, perbedaan serta perubahan bersifat semu belaka (Kattsoft, 2004:185-187). Paham idealism, materialism, dualism merupakan paham-paham ontologik yang mempunyai pandangan masing-masing mengenai dan bagaimana (yang) ada tersebut. Jadi disini landasan ontologis ilmu pengetahuan sangat tergantung pada cara pandang ilmuan terhadap realitas. Epistemologi atau teori pengetahuan membahas tentang sumber, asal mula, dan sifat dasar pengetahuan. Perbedaan dalam memahami sumber-sumber pengetahuan menyebabkan adanya perbedaan aliran-aliran epistemologik: seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, positivism, fenomenologi dan beragam variasinya. Disini ditunjukkan juga bagaimana kelemahan dan kelebihan suatu model epistemology dnegan bertolak ukur pada pengetahuan ilmiah, seperti teori korespondensi, koherensi, pragmatism dan teori intersubjektive. Aksiologi, meliputi nilai-nilai yang bersifat normative, hal ini juga terkait dengan sikap etis seorang ilmuan, terutama terkait dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Aksiologi dalam filsafat banyak dikembangkan pada aspek etika dan estetika Secara garis besar ketiga bidang kajian tersebut dapat digambarkan dalam bagan dibawah ini. Kajian Filsafat Ontologi Epistemologi Aksiologi Apa? Bagaimana Mengapa/ untuk apa? realitas Metodologi Tujuan/Nilai 5. Keterkaitan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Secara historis dan substansial filsafat dan ilmu pengetahuan mempunyai keterkaitan yang kuat bahkan tidak dapat dipisahkan. Kondisi ini dapat ditelusuri dari sejarah perkembangan filsafat barat zaman Yunani kuno dimana semua hasil pemikiran manusia waktu itu disebut dengan filsafat (Mustansyir dan Munir, 2008 : 55). Hal esensial keterkaitan yang erat antara filsafat dan ilmu adalah pada pengetahuan rasional (epistem) yang diperoleh dari pemikiran manusia baik dalam filsafat ataupun ilmu (Liang Gie, 1996 : 1). Berfikir reflektif adalah suatu upaya memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan. Terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berfikiran terbuka serta sangat konsern pada kebenaran, disamping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisisr dan sistematis. Pada saat kelahirannya ilmu pengetahuan identik dengan filsafat yang pada saat itu bercorak mitologik, gejala-gejala alam dijelaskan dengan cara-cara theogoni dimana dewa menjadi unsur penentu terhadap segala sesuatu. Hal ini menjadi titik tolak perkembangan ilmu pengetahuan yang berani menerobos dunia pergejalaan untuk mengetahui yang abadi, yang eka dan sesuatu dibalik yang bhineka, materi dan sementar. Gerakan demitologisasi yang dipelopori oleh para filsuf pra-Socrates terus berkembang dan mengarah pada ilmu pengetahuan karena rasionalitas mengalami puncak perkembangan terutama pada masa Socrates, Plato dan Aristoteles. Hal ini dapat difahami dari kategorisasi yang dibuat oleh Aristoteles, pertama adalah ilmu pengetahuan poietis (terapan), ilmu pengetahuan praktis (dalam arti normative seperti etika, politik) dan ilmu pengetahuan teoritik. Pengetahuan rasional yang dikembangkan oleh para filsuf tersebut membuka akses berfikir yang terhadap gejala-gejala alam yang dihadapi. Pudarnya kekuasaan Romawi menjadi isyarat datangnya tahapan baru, yakni dimana filsafat menghadapi agama. Filsafat menjadi bercorak teologik, dimana biara tidak saja menjadi pusat kegiatan agama, akan tetapi juga menjadi pusat kegiatan intelektual (Wibisono, 2007:3). Ilmu pengetahuan memang dianggap sebagai the supreme art (pengetahuan yang tertinggi), namun kedudukan dan peranannya adalah sebagai pelayan teologi. Kebenaran yang diterima oleh kepercayaan melalui wahyu tidak dapat ditentang oleh keberadaan filsafati yang dicapai dengan akal manusia (liang Gie, 1996:9). Agama dan gereja mendominasi sistem pengetahuan pada saat itu, sehingga ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan ketetapan gereja harus dihilangkan, seperti yang dialami oleh Copernicus. Dia berpendapat bahwa “bumi yang mengitari matahari yang dikenal dengan teori heliocentris. Pendapat tersebut bertentangan dengan keyakinan gereja yang beranggapan bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi yang disebut dengan teori geocentris. Karena perbedaan pendapat inilah Copernicus akhirnya dihukum mati oleh pihak gereja. Gerakan renaissance2 pada abad ke 15 dan dimatangkan oleh gerakan Aufklaerung 3abad ke 18 merupakan pondasi revolusi filsafat memasuki tahap modern. Pada tahap ini kebebasan dan otonomi pada manusia sangat dihargai, kondisi mengarahkan manusia pada kehidupan dunia sekuler, yakni suatu kehidupan pembebasan dari kedudukannya yang semula terkooptasi oleh dominasi agama dan gereja. Hal ini ditandai dengan ditinggalkannya agama oleh filsafat, kemudian berlanjut dengan ditinggalkannya filsafat oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang semula merupakan anak dari filsafat mengembangkan spesialisasinya sendiri-sendiri dan meninggalkan filsafat jauh dibelakang. Lepasnya ilmu-ilmu pengetahuan ini diawali oleh ilmu alam atau fisika, melalui tokoh-tokohnya seperti berikut ini. 1. Copernicus (1473-1543) yang dengan astronominya menyelidiki bendabenda angkasa. Karyanya de Revolusionibus Orbium Caelistium dikembangkan dan disebarluaskan oleh Galileo Galilei (1564-1642) dan Johannes Kepler (1571-1630). 2. Versalius (1514-1564) melalui karyanya De Humani Corporis Fabrica telah melahirkan pembaharuan dalam bidang anatomi dan biologi. 2 Renaissance berasal dari bahasa prancis yang berarti kelahiran kembali.yakni kembalinya kesadarankesadaran baru terhadap humanism dan pengakuan terhadap hak-hak individu, seperti dalam berkeyakinan, pendapat dan ilmu pengetahuan. 3 Zaman Aufklarung atau zaman pencerahan ini berkembang di Jerman yang di Inggris dikenal dengan Enlightenment,yaitu suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Era ini mengusung ide pengakuan terhadap rasionalitas, kebebasan, kreativitas, keanekaragaman dan tanggung jawab pribadi. 3. Issaac Newton (1642-1727), karyanya Philosopie Natural Principia Mathematica telah menyumbangkan bentuk definitive bagi mekanika klasik (Wibisono, 2007:4-5). Ilmu-ilmu social dan humaniora yang berkembang kemudian, banyak mengambil model-model dalam ilmu alam tersebut. Hal ini dikarenakan ilmu alam dianggap lebih akurat dan dapat dibuktikan sebagaimana yang dilakukan oleh Auguste Comte (17981857) seorang filsuf dan juga sosiolog berkebangsaan Prancis. Melalui karyanya Cours de Philosophie Positive melihat bahwa cara berfikir manusia akan mencapai puncaknya pada tahap positif setelah melalui tahap theologik4 dan metaphisik5. Pandangan Comte yang meletakkan positif sebagai tahap tertinggi dari keberadaban manusia yang ditandai dengan peran akal yang mendominasi pemahaman terhadap gejala alam selanjutnya dikenal dengan aliran positivism. Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang logis, ada bukti kongkritnya yang terukur (measurable). Kata “terukur” ini merupakan masukan yang penting dalam positivism seperti yang dilakukan oleh ilmu alam. Air mendidih jika mencapai 100 drajat celcius, besi akan memuai jika dipanaskan mencapai 1000 derajat celcius. Dalam ilmu social keterukuran juga menjadi indikasi kebenaran suatu teori, seperti masalah kemiskinan yang dapat diukur dengan jumlah asupan gizi perhari ataupun diukur dengan pendapatan perkapita perhari, seperti World Bank menyebutkan bahwa masyarakat miskin adalah mereka yang berpendapatan dibawah $2 perhari. Disini kita melihat bahwa aturan untuk mengatur alam dan manusia bersifat pasti dan 4 Tahap ini merupakan tahap paling awal dari perkembangan berfikir manusia. Ia membaginya kedalam tiga periode, Fetisisme merupakan bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politeisme merupakan kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun berbeda-beda dari benda benda-alam, namun terus mengontrol semua gejala alam. Monoteisme merupakan kepercayaan dengan satu sang pencipta alam semesta, begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan terahdap banyak dewa itu digantikan dengan kepercayaan terhadap satu Tuhan. 5 Pada tahap ini masyarakat menganggap adanya hukum alam yang akan dapat membatasi perbuatanperbuatan yang dianggap dapat merusak keseimbangan dari alam itu sendiri serta ekosistem lainnya, misalnya adanya penebangan hutan berlebihan yang menyebabkan hutan menjadi gundul sehingga akan menimbulkankan sebuah bencana besar, yang dianggap oleh masyarakat alam akan menjadi marah yaitu dengan adanya banjir, tanah longsor dan lain sebagainya. Dengan adanya hal semacam ini akan membuat masyarakat untuk mematuhi segala sesuatu yang dapat dinggap menimbulkan bencana bagi masyarakat itu sendiri. rinci. Selain kongkrit dan terukur, mengajukan kriteria lain dari ukuran kebenaran yakni kemanfaatan. Sesuatu dianggap benar jika memberi manfaat positif bagi manusia, oleh karena itulah pengembangan ilmu pengetahuan pada tahap selanjutnya lebih di dominasi oleh ilmu-ilmu terapan. E. Rangkuman Filsafat berasal dari kata philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan Filsafat juga mempunyai definisi-definisi khusus yang disesuaikan dengan fungsi dari filsafat tersebut yakni : Sebagai pandangan hidup filsafat merupakan azas atau suatu pendirian yang mengandung prinsip-prinsip yang kebenarannya telah di yakini (ideologi) dan diterima apa adanya. Sebagai ilmu pengetahuan filsafat mempunyai Gegenstand yakni obyek sasaran yang ingin diketahui, diselidiki atau sesuatu yang ingin dipelajari. Dengan kata lain filsafat mempunyai obyek material yang mencakup hal-hal yang konkrit ataupun hal yang abstrak. Filsafat sebagai ilmu pengetahuan, maka filsafat mempunyai tiga bidang kajian utama yakni ontologi, epistemology dan aksiologi. F. Soal-soal 1. Filsafat secara etimologis diartikan cinta akan kebijaksanaan, jelaskan apa maksud ”cinta akan kebijaksanaan” tersebut. 2. Jelaskan maksud dari filsafat sebagai pandangan hidup dan berikan contohnya. 3. Jelaskan bagaimana keterkaitan antara filsafat dan ilmu pengetahuan? G. Penugasan Membuat ringkasan mengenai definisi dasar filsafat H. Daftar Pustaka Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2009 Bagus, Lorens, Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005. Gie, The Liang,Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1996. Suyanto, Nilai Kepemimpinan Lakon Wahyu Makutharama dalam Prespektif Metafisika. Surakarta: ISI Press 2009 Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat. Soejono Soemargono (Terj).Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. Mustansyir, Rizal, dkk, Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008 Mudhofir, Ali, Pengenalan Filsafat, dalam Filsafat Ilmu (Tim Dosen Filsafat Imu UGM), Yogyakarta: Liberty, 2007. Hlm. 17-43. Poerwadarminta, Kamus Besar bahasa Indonesia, Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996 Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu : mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009. Wibisono S., Koento, Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum mengenai Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengentar Untuk memahami Filsafat Ilmu dalam Filsafat Ilmu (Tim Dosen Filsafat Imu UGM Tim Dosen Filsafat Imu UGM), Yogyakarta: Liberty, 2007. Hlm. 1-16.