III. METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi yang dipilih untuk melakukan pemodelan dilakukan di Sub DAS Gumbasa, DAS Palu, Propinsi Sulawesi Tengah dan Sub DAS Cisadane Hulu di Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Pemilihan ke dua Sub DAS ini dikarenakan pada ke dua wilayah tersebut mewakili kondisi iklim di Indonesia yang berbeda yaitu iklim basah dan iklim kering seperti yang disajikan pada Gambar 3. Sub DAS Gumbasa di Palu mewakili kondisi dengan pola hujan yang rendah di lembah Palu, di Pulau Sulawesi dan Sub DAS Cisadane hulu mewakili kondisi hujan tropis dan berada di pegunungan vulkanik dengan curah hujan yang tinggi di daerah pegunungan di Pulau Jawa bagian Barat. Sumber : Winarso dan Mcbridge (2004) Gambar 3. Pembagian wilayah Indonesia menurut pola curah hujan dan penyebaran awan 18 Faktor lain dalam pemilihan lokasi adalah terdapat data pengukuran yang lengkap sehingga dapat digunakan untuk validasi dan kalibrasi model SWAT. Pada Sub DAS Gumbasa terdapat data iklim dan cuaca yang lengkap karena merupakan bagian dari riset STORMA sejak Tahun 2002 - 2008 dan di Sub DAS Cisadane juga terdapat stasiun klimatologi dan data hidrologi pada Stasiun Pengamat Arus Sungai (SPAS) yang kontinyu yang diukur oleh Kantor Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Citarum Ciliwung, Kementerian Kehutanan dengan interval waktu 30 menit dengan peralatan yang otomatis yang sudah terpasang sejak Desember 2007 – Januari 2010. Ke dua lokasi penelitian juga berbatasan langsung dengan Taman Nasional, Sub DAS Gumbasa berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu dan Sub DAS Cisadane Hulu berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Dengan kondisi ini maka dapat diketahui dan disimulasikan peranan hutan alam dalam mengatur tata air di dalam suatu DAS. Keadaan umum masing masing lokasi adalah sebagai berikut : Sub DAS Gumbasa Lokasi studi di Sub DAS Gumbasa terletak di 1o 01’ 04” – 1o 30’ 01” LS dan 119o 55’ 44” – 120o 18’ 47” BT. Secara administrasi berada di wilayah Kecamatan Dolo, Biromaru, Parigi, Kulawi dan Lore Utara, Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah. Lokasi Daerah Irigasi Gumbasa berada di Kampung Pandere Kecamatan Dolo. Luas Sub DAS Gumbasa 120.292,3 ha dengan panjang sungai utama 98,75 km kondisi geografis ditunjukkan pada Gambar 4. 19 Gambar 4. Lokasi Studi di Sub DAS Gumbasa, Sulawesi Tengah Sub DAS Cisadane Sub DAS Cisadane Hulu secara geografis terletak pada koordinat 6o 45’ 29’ 5’’ LS dan 106o 55’ 40” BT dengan luas total areal 1.812 ha yang terletak di Desa Pasir Buncir, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Data selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Peta situasi Sub DAS Cisadane Hulu, Kabupaten Bogor. 20 3.2. Alat dan Bahan Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari seperangkat Automatic Water Level Record (AWLR) dan Automatic Weather Station (AWS). Software GIS yang digunakan adalah ArcView 3.X dengan extensi AVSWAT2000 (Di Luzio, et al. 2002; Di Luzio et al. 2004) dan untuk kalibrasi model menggunakan SWAT CUP dengan algoritma Sequential Uncertainty Fitting Version2 (SUFI2), (Abbaspour et al. 2004; Abbaspour et al. 2007). Bahan dan data yang digunakan terbagi menjadi data spasial dan data tabel. Data spasial yang digunakan di Sub DAS Gumbasa tersaji dalam Tabel 2. Data tabel berupa data debit sungai harian yang digunakan untuk kalibrasi dan verifikasi model merupakan hasil pengamatan data tinggi muka air sungai yang telah dikonversi menjadi data debit sungai dengan unit m3/s di tahun 2004. Data tersebut berasal dari AWLR terletak di .Pandere, Kecamatan. Dolo, Kabupaten. Donggala, Propinsi . Sulawesi Tengah. Data cuaca harian (curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, radiasi surya, kecepatan angin) berasal dari 7 AWS Tahun 2002 -2005. Tabel 2. Kualifikasi Data yang digunakan di Sub DAS Gumbasa DEM Skala / Sumber resolusi 90 m SRTM (http://srtm.csi.cgiar.org/SELECTI ON/inputCoord.asp) Kontur 1:50.000 RBI Bakosurtanal Jaringan Sungai 1:50.000 RBI Bakosurtanal Data Spasial Lokasi AWS Tutupan Lahan Tahun 2003 Tanah - STORMA 30 m Interpretasi Citra Landsat 7 ETM 1: 250.000 Puslit Tanah, Bogor 21 Sensor pengukur cuaca yang terpasang di AWS meliputi pengukur tinggi curah hujan, suhu, kelembaban udara, radiasi surya, arah angin dan kecepatan angin. Lokasi AWS selengkapnya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Lokasi AWS di Sub DAS Gumbasa Kode Lokasi Lintang* Bujur* Ketinggian(m dpl) pl01 Sigimpu -1,09228 119,97983 639,50 pl02 Rore Katimbu -1,28157 120,31240 2274,70 pl03 Nopu (Rahmat) -1,17947 120,08368 601,70 pl04 Rore Katimbu -1,30938 120,30905 2025,00 pl07 Pandere -1,19822 119,94232 93,25 pl10 Mutiara Palu (airport) -0,91582 119,90552 79,50 pl12 Toro -1,50390 120,03532 788,00 Ket: *) Format koordinat lokasi dalam decimal degree Data spasial yang digunakan di Sub DAS Cisadane Hulu tersaji dalam Tabel 4. Data tabel debit sungai berasal dari data yang tersimpan dalam AWLR yang terpasang di lokasi dari sejak Januari 2008 - Januari 2010. Tabel 4. Kualifikasi Data yang digunakan di Sub DAS Cisadane Hulu Data Spasial DEM Skala / Sumber resolusi 90 m SRTM (http://srtm.csi.cgiar.org/SELECT ION/inputCoord.asp) Kontur 1:25.000 RBI Bakosurtanal Jaringan Sungai 1:25.000 RBI Bakosurtanal Lokasi AWS Tutupan Lahan Tahun 2005 Tanah - BPDAS Citarum Ciliwung 15 m Interpretasi Citra SPOT 5 1: 250.000 Puslit Tanah, Bogor 22 3.3. Sistem Dinamika Tata Air DAS Dalam rangka mengkaji pengaruh penutupan lahan dan tipe penggunaan lahan terhadap tata air dan distribusi air termasuk di dalamnya skenario perubahan iklim dan penggunaan lahan, maka harus dilakukan pemodelan berbasis unit terkecil dari Sub DAS yang masih bisa dibatasi. Proses hidrologi yang disimulasi untuk menghitung debit sungai dan sedimen seperti ditunjukkan pada diagram alir seperti Gambar 6. Sumber : modifikasi dari Di Luzio et al. (2002) Gambar 6. Skema proses hidrologi dalam model SWAT 23 Pemodelan yang dilakukan merupakan model berbasis DAS. Resolusi temporal yang dapat disimulasi adalah data harian, bulanan atau tahunan. Model yang digunakan harus mampu mensimulasikan dampak perubahan tutupan lahan terhadap ketersediaan sumber daya air. Komponen utama model terdiri dari sub model iklim, hidrologi, pertumbuhan dan perkembangan vegetasi, kualitas air, dan aktivitas pengolahan lahan. Pemodelan menggunakan Hydrology Respon Unit (HRU) atau Unit Respon Hidrologi (URH) sebagai unit terkecil analisis yang mempunyai karaktersitik yang sama dalam tipe penutupan lahan, manajemen, dan sifat-sifat tanah yang homogen. Skenario perubahan tutupan lahan yang digunakan terdapat 10 skenario dan untuk perubahan hujan meliputi 3 skenario. Analisis juga dilakukan terhadap perubahan tutupan lahan dan perubahan curah hujan. Periode simulasi hujan untuk Sub DAS Gumbasa dilakukan dari Tahun 2002 – 2050 dengan resolusi bulanan. 3.4. Pemetaan Sifat Hidrologi Permukaan Fisiografi permukaan lahan sangat mempengaruhi sifat-sifat hidrologi suatu DAS. Karakteristik hidrologi permukaan yang penting adalah derajat dan arah kemiringan permukaan, arah aliran, akumulasi aliran, jaringan aliran (stream network) dan pembagian Sub-DAS. Analisis topografi dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik hidrologi permukaan (Mohamed et al., 2011; Wu dan Huang, 2007; Maidment dan Djokic, 2000). Dalam sistem informasi geografi (SIG) data topografi ini terlebih dahulu dikonversi sebagai data Digital Elevation Model (DEM). Secara ringkas Gambar 7 menyajikan tahapan penurunan parameter hidrologi permukaan dengan masukan data DEM. Pada umumnya algoritma paling banyak yang digunakan dalam analisis ini adalah algoritma D8 24 (O’Callaghan dan Mark, 1984; Mark, 1984). Algoritma ini memanfaatkan 8 cell di sekitarnya untuk menurunkan karakteristik hidrologi permukaan. Gambar 7. Tahapan pemetaan sifat hidrologi permukaan. Derajat dan arah kemiringan lahan (slope) Kemiringan suatu permukaan ditentukan oleh perbedaan tinggi pada dua tempat yang berbeda. Penggambaran perbedaan ketinggian antar lokasi dapat dinyatakan sebagai ketinggian setiap sel di mana setiap nilai ketinggian diberikan dua indeks yang menyatakan koordinat lokasi (h(i,j)), Gambar 8. Gambar 8. Skema penggambaran ketinggian di dalam setiap sel. 25 Untuk menyatakan besarnya kemiringan suatu lahan dapat digunakan satuan derajat kemiringan yang didapatkan dari tangen sudut (Tan(α)) yang dibentuk oleh dua tempat dengan ketinggian yang berbeda, atau dinyatakan sebagai persen yang didapatkan dari rasio antara nilai ketinggian dengan jarak proyeksi horizontal antara dua tempat tersebut terhadap sumbu x dan y. Secara matematis kemiringan lahan (S) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: S dz dx 2 dy 2 .................................................... (1) Arah aliran Arah aliran dimodelkan sebagai satu bentuk hasil turunan yang didapatkan dari arah kemiringan lahan suatu sel. Seperti telah diketahui, bahwa setiap sel mempunyai data ketinggian yang unik, sehingga untuk menentukan arah suatu aliran akan ditentukan dari nilai arah kemiringan lahan yang paling curam yang didapatkan dari persamaan (1). Hal ini berarti bahwa untuk menentukan arah aliran satu sel, maka harus dilakukan perhitungan nilai rasio ketinggian dan jarak sel tersebut terhadap 8 sel di sekitarnya yang dibatasi oleh dua titik diagonal koordinat (i-1, j-1) dan (i+1, j+1). Berikut source code untuk algoritma arah aliran D8, di mana Smax merupakan arah aliran : Smax : 0 For m : i-1 To j+1 For n : j-1 TO j+1 S Z (i , j ) Z ( m, n ) X X ( m,n ) Y(i , j ) Y( m,n ) 2 (i , j ) IF S > Smax Then Smax : S Next n Next m ...............................................(2) 2 26 Setelah didapatkan nilai S yang paling curam (Smax), maka arah aliran suatu sel akan dinyatakan sebagai bilangan 2n. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah penggunaan informasi arah aliran tersebut bagi penurunan peubah dan parameter lain yang akan digunakan dalam penelitian ini. Arah aliran tersebut akan menunjuk pada 6 sel di sekitar sel yang ditentukan arah alirannya (sel target). Gambar 9 menunjukkan nilai arah-arah aliran dan contoh hasil perhitungan yang telah dilakukan untuk menentukan arah aliran (F dir). Gambar 9. Nilai arah aliran dan contoh hasil perhitungan arah aliran. Akumulasi Aliran Akumulasi aliran adalah jumlah sel yang terakumulasi di suatu sel tertentu yang disebabkan oleh arah aliran sel-sel dalam suatu data DEM mengarah pada sel tersebut. Pemodelan akumulasi aliran ini berguna untuk menentukan jumlah air limpasan permukaan yang diterima oleh suatu tempat atau titik dalam suatu DAS. Jika kemudian titik tersebut dianggap sebagai keluaran (outlet) bagi suatu jaring-jaring aliran, maka sel tersebut akan mendapatkan jumlah sel yang paling besar jika dibanding dengan sel lain dalam suatu DAS yang sama. Secara 27 matematis, akumulasi aliran (Facc) ini dimodelkan sebagai fungsi dari arah aliran (Fdir) dengan persamaan sebagai berikut : ( ) ∑(( ) ) ( ).............................(3) Berdasarkan pada persamaan (3), maka dengan menggunakan contoh pada Gambar 8 akan didapatkan jumlah sel yang terakumulasi pada suatu sel tertentu seperti yang disajikan pada Gambar 10. Dalam batasan suatu DAS, nilai akumulasi aliran sama dengan nol menunjukkan bahwa pada tempat-tempat tersebut merupakan batas DAS atau Sub DAS berupa punggung-punggung bukit. Gambar 10. Hasil perhitungan akumulasi aliran Jaringan aliran (stream network) Setelah parameter permukaan seperti kemiringan, arah aliran dan akumulasi ditentukan, maka model berikutnya adalah penentuan jaringan aliran. Jaringan aliran dapat disebut juga sebagai sungai atau badan air terbuka. Pada parameter ini penentuannya ditentukan oleh parameter akumulasi aliran dengan nilai atau jumlah tertentu. Pada kajian ini, jaringan aliran dimodelkan dengan sebuah asumsi bahwa jumlah sel akumulasi aliran dan jumlah tersebut berfungsi sebagai peubah aliran permukaan. Berikut ini adalah model matematis penentuan jaringan aliran: 28 Stream FAcc( norder ) nCelltreshold( norder ) ..........................(4) di mana : Stream : badan aliran/sungai nCelltreshold(n-order) : Jumlah sel minimum yang disyaratkan pada order yang sama sehingga suatu sel dapat dikatakan sebagai sungai/ badan air. Pada kajian ini yang dianggap sebagai badan aliran air atau sungai jika suatu sel mengakumulasi jumlah sel tertentu yang ditentukan secara bebas atau dengan kata lain nilai nCelltreshold(n-order) menjadi peubah bebas tergantung dengan tingkat ketelitian hasil model yang diinginkan, sehingga semakin kecil luas daerah kajian maka dimasukkan nilai yang kecil, begitu pula sebaliknya. Batas-batas sub DAS Suatu DAS terdiri dari beberapa Sub DAS. Seperti halnya penentuan jaringan aliran, maka batas-batas Sub DAS dimodelkan dengan menggunakan nilai akumulasi sel sebagai parameter masukannya. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa nilai akumulasi aliran sama dengan nol menunjukkan bahwa suatu tempat adalah punggung bukit yang secara fisik merupakan suatu titik yang digunakan untuk membatasi satu Sub DAS dengan Sub DAS yang lain. Secara matematik, penentuan batas-batas Sub DAS dimodelkan sebagai berikut: SubDAS FAcc nCelltreshold ............ ....................................(5) nCelltreshold adalah nilai yang digunakan untuk menentukan jumlah minimum sel yang disyaratkan dalam menentukan Sub DAS. Nilai nSel ini berasosiasi dengan luas minimum suatu area yang dapat dianggap sebagai suatu sub DAS. 29 3.5. Pemodelan Hidrologi dan Erosi Persamaan neraca air umum DAS yang digunakan dalam model SWAT (Luzio et al., 2004), dirumuskan sebagai berikut: SWt SWt 1 Rdayt (Qsurft Eat Wseept Qgwt ) ….........……..(6) di mana SWt : kandungan kadar air tanah pada hari ke-t (mm H2O) SWt-1 : kandungan kadar air tanah awal pada hari ke t-1 Rday t : curah hujan harian pada hari ke-t (mm H2O Qsurft : run off pada hari ke –t (mm H2O) Eat : evapotranspirasi aktual pada hari ke –t (mm H2O) Wseept : total air yang keluar dari lapisan tanah pada hari ke –t (mm H2O) Qgwt : total air yang mengalir kembali ke sungai pada hari ke-t (mm H2O) t : waktu dalam hari di dalam Neitsch et al., 2002; Di Luzio et al., 2004 seluruh prosedur untuk menghitung setiap komponen neraca air tersebut diuraikan. Evapotranspirasi Dalam model SWAT, perhitungan evapotranspirasi potensial (ETP) dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu Penman-Monteith, Priestley-Taylor dan Hargreaves. Metode Penman-Monteith memerlukan input radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin. Metode Priestley-Taylor hanya memerlukan input radiasi surya, suhu udara dan kelembaban udara sedangkan metode Hargreaves hanya memerlukan input data suhu udara. Dalam kajian ini metode perhitungan ETP yang digunakan adalah Penman-Monteith (Penman, 1956; Monteith, 1981; Allen, 1986; Allen et al., 1986). Persamaan Metode Penman-Monteith untuk menghitung ETP adalah sebagai berikut: 30 .( H net E air .c p . ezo ez G) ra r .(1 c ) ra .......................................................(7) di mana : -2 -1 λ : fluks panas laten penguapan (MJ m d ) E : evaporasi (mm d ) Δ : slope dari kurva tekanan uap jenuh dan suhu udara (de/dT) (kPa °C ) -1 -1 -2 -1 H : radiasi netto (MJ m d ) G : fluks panas laten permukaan tanah (MJ m d ) ρ air : massa jenis udara (kg m ) c p : kalor spesifik pada tekanan tetap (MJ kg °C ) net -2 -1 -3 eo -1 z -1 : tekanan uap air jenuh pada ketinggian z (kPa) e : tekanan uap air pada ketinggian z (kPa) T : tetapan psikometri (kPa °C ) r c : resistensi pada kanopi (s m ) a : tahanan difusi pada lapisan udara (resistensi aerodinamis) (s m ) z r -1 -1 -1 Perhitungan evaporasi curah hujan yang terintersep kanopi, transpirasi oleh vegetasi, evaporasi dari permukaan tanah dan tubuh air (sungai, reservoir) sangat menentukan keseimbangan air dalam DAS. Jumlah air yang hilang melalui evaporasi dan transpirasi ini sebagai evapotranspirasi aktual. Oleh sebab itu sangat penting mengetahui perbandingan antara laju evapotranspirasi aktual dengan laju evapotranspirasi potensial. Perhitungan untuk menduga evapotranspirasi aktual terdiri dari perhitungan evaporasi curah hujan yang tertahan oleh kanopi tajuk, menghitung 31 laju transpirasi melalui vegetasi dan menghitung evaporasi dari permukaan tanah dan tubuh air. Jika resolusi temporal model harian, maka metode SCS yang digunakan untuk menghitung besarnya air yang tertahan di permukaan. Jumlahnya sebanding dengan besarnya nilai initial abstraction-nya (Ia). Lain halnya jika Jika resolusi temporal model lebih detil lagi (jam-jaman), maka metode yang digunakan adalah metode Green and Ampt, curah hujan yang terintersepi oleh kanopi dihitung terpisah. Jumlah air yang ditranspirasikan oleh vegetasi sebanding dengan jumlah air yang diambil oleh vegetasi (water uptake). Jumlah water uptake potensial oleh vegetasi dihitung dengan rumus (Di Luzio et al., 2004): wup , z Et z . 1 exp( . ) zroot 1 exp( ) wup ,ly wup ,lz wup ,uz .........................................(8) Prosedur untuk menghitung faktor ketersedian air tanah terhadap water uptake (Di Luzio et al., 2004): ' wup ,ly wup ,ly wdemand .epco if SWly (0.25. AWCly ) then SWly " ' wup w .exp 5. 1 ,ly up ,ly 0.25. AWCly ..........................................(9) '' ' else : wup ,ly wup ,ly endif Jumlah air aktual yang ditranspirasikan dari vegetasi merupakan jumlah air yang diambil tanaman dari zona perakarannya. Prosedur untuk menghitung water uptake dan transpirasi aktual (Di Luzio et al., 2004). 32 " wactualup ,ly min wup ,ly , ( SWly WPly ) n wactualup wactualup ,ly ...............................................(10) ly 1 Et ,act wactualup di mana : Es ,act : jumlah evaporasi aktual dari tanah (mm) w up,z : water uptake potensial dari kedalaman tanah z (mm) w : parameter distribusi penggunaan air (default value : 10) root : kedalaman perakaran dalam tanah (mm) β z w w w up,ly : water uptake potensial dari lapisan tanah ly (mm) up,lz : water uptake potensial dari bagian bawah lapisan tanah ly (mm) up,uz : water uptake potensial dari bagian atas lapisan tanah ly (mm) ' wup ,ly : water uptake potensial yang terkoreksi (mm) " wup ,ly : water uptake potensial yang terkoreksi ketersediaan air tanah (mm) AWCly : ketersediaan air tanah (mm) wactualup ,ly : water uptake aktual di setiap lapisan tanah ly (mm) wactualup : total water uptake aktual (mm) Et ,act : transpirasi aktual dari vegetasi (mm) E : jumlah evaporasi maksimum dari vegetasi (mm) s Evaporasi dari permukaan tanah merupakan jumlah air yang dapat dievaporasikan dari tanah sangat tergantung evaporatif water demand di atmosfer dan ketersediaan air dalam tanah. (Di Luzio et al., 2004) Prosedur untuk menghitung evaporasi aktual 33 Es E0' .cov sol : cov sol exp( 5.0 x10 5.CV ) E .E ' ............................................(11) Es' min Es , s 0 Es Et Untuk menghitung evaporasi tanah maksimum untuk setiap lapisan tanah, adalah sebagai berikut (Di Luzio et al., 2004) z z exp(2.374 0.00713.z ) .....................................................(12) Esoil ,lz Esoil ,uz .epco Esoil , z Es' . Esoil ,ly Untuk menghitung pengaruh ketersedian air terhadap evaporasi tanah, adalah sebagai berikut (Di Luzio et al., 2004) if SWly FCly then 2.5.( SWly FCly ) ' Esoil E .exp ,ly soil ,ly FC WP ly ly ...........................................(13) ' else : Esoil ,ly Esoil ,ly endif Prosedur untuk menghitung evaporasi tanah aktual, adalah sebagai berikut (Di Luzio et al., 2004) : " ' Esoil ,ly min Esoil ,ly , 0.8*( SWly WPly ) n " Es ,act Esoil ,ly ...........................................................(14) ly 1 Dimana : E0′ : evapotranspirasi potensial yang terkoreksi oleh evaporasi dari kanopi (mm) E′s : evaporasi maksimum dari tanah yang terkoreksi (mm) cov : indeks penutupan tanah CV : jumlah residu dan biomassa di permukaan tanah (Kg/Ha) E : evaporative water demand di kedalaman z (mm) sol soil,z 34 Z : kedalaman tanah (mm) E : evaporasi di lapisan tanah ly (mm) E : evaporasi di bagian bawah lapisan tanah ly (mm) E : evaporasi di bagian atas lapisan tanah ly (mm) Esco : evaporasi soil compensation coefecient E’ : evaporasi di lapisan tanah ly yang terkoreksi oleh ketersedian air soil,ly soil,zl soil,zu soil,ly tanah(mm) SW ly : kandungan air tanah di lapisan tanah ly (mm) FC ly : kapasitas lapang di lapisan tanah ly (mm) WP : titik layu permanen di lapisan tanah ly (mm) E” : jumlah evaporasi aktual dari lapisan tanah ly (mm) ly soil,ly Run off (Qsurf) Untuk menghitung run off atau limpasan permukaan, model SWAT menggunakan metode SCS (SCS, 1972; Rallison dan Miller, 1981). Metode ini dikembangkan untuk menghitung jumlah run off pada tutupan lahan dan jenis tanah yang bervariasi. Persamaan run off dengan metode SCS seperti di bawah ini, dimana abstraksi awal (Ia) sebesar 0.2S. Limpasan permukaan akan terjadi jika curah hujan (Rday) lebih besar dari Ia. Qsurf ( Rday 0.2S )2 ( Rday 0.8S ) .....................................................................................(15) Parameter retensi (S) bervariasi tergantung jenis tanah, penutupan lahan, kelerengan, teknik pengelolaan lahan dan kandungan air tanah. Parameter retensi didefinisikan sebagai berikut: 1000 S 25.4. 10 ......................................................................................(16) CN 35 di mana, Qsurf Rday Ia : limpasan permukaan (mm) : curah hujan pada satu hari (mm) : abstraksi awal termasuk simpanan permukaan, intersepsi tajuk dan infiltrasi sebelum terjadi aliran permukaan S CN : parameter retensi (mm) : SCS Curve Number Limpasan permukaan maksimum (peak run off) dihitung dengan memodifikasi metode rasional (rational method) dengan persamaan sebagai berikut: q peak tc .Qsurf . Area 3.6.tconc .................................................................................(17) di mana : qpeak α : laju limpasan permukaan maksimum (m3 s-1) : fraksi curah hujan yang terjadi selama waktu konsentrasi Qsurf Area tconc : : : tc limpasan permukaan (mm) luas wilayah sub DAS (km2) waktu konsentrasi pada sub DAS (jam) Fraksi curah hujan yang terjadi selama waktu konsentrasi (α ) dihitung dengan tc persamaan sebagai berikut: tc 1 exp 2.tconc .ln(1 0.5 .................................................................(18) di mana : 0.5 : fraksi hujan harian yang jatuh selama setengah jam-an intensitas curah hujan tertinggi Prosedur untuk menghitung fraksi hujan harian yang jatuh selama setengah jaman intensitas curah hujan tertinggi (0.5) disajikan dalam pembakitan data hujan. Waktu konsentrasi (tconc) adalah jumlah waktu aliran di lahan (overland flow time / tov) dan waktu aliran di sungai (channel flow time / tch): 36 tov 0.6 L0.6 slp .n 18.slp 0.3 0.62.L.n0.75 dan tch Area 0.125 .slpch0.375 ...........................................(19) di mana : tov : waktu konsentrasi untuk aliran di lahan (jam) tch : waktu konsentrasi untuk aliran di sungai (jam) Lslp : panjang lereng sub DAS (m) L : rata-rata panjang aliran sungai pada sub DAS (km) Slp : rata-rata lereng di lahan (m m ). slpch : rata-rata lereng di sungai (m m ). : koefesien kekasaran manning N -1 -1 Pada saat waktu konsentrasi lebih dari 1 hari hal ini menyebabkan tidak semua limpasan permukaan pada hari tersebut akan masuk sungai utama, ada yang tertahan di lahan (mengalami lag). SWAT menghitung hal tersebut dengan persamaan sebagai berikut: surlag ' Qsurf (Qsurf Qstor ,i 1 ). 1 exp ............................................(20) t conc di mana : Qsurf : jumlah aliran permukaan yang mencapai sungai utama pada satu hari (mm) Q’surf : jumlah aliran permukaan yang dibangkitkan pada sub DAS dalam satu hari (mm) Qstor,i-1 : jumlah aliran permukaan yang tersimpan dari hari sebelumnya (mm) Surlag : koefisien jeda aliran permukaan tconc : waktu konsentrasi pada sub DAS (jam) Pengaruh jeda aliran permukaan dan waktu konsentrasi terhadap fraksi aliran permukaan yang mencapai sungai dideskripsikan oleh Gambar 11. 37 Gambar 11. Pengaruh jeda aliran permukaan dan waktu konsentrasi terhadap fraksi aliran permukaan yang mencapai sungai (Neitsch et al., 2002; Di Luzio et al, 2004) Perkolasi (Wseep) Dalam model SWAT, perkolasi dihitung setiap lapisan tanah. Perkolasi terjadi jika KAT ( SWly ) pada lapisan tersebut melebihi kapasitas lapangnya ( FCly ). Secara matematika, prosedur tersebut dinyatakan sebagai berikut : SWly FCly SWly ,excess SWly FCly SWly FCly SWly ,excess 0 .............................................................(21) Jumlah air yang diperkolasikan ke lapisan yang di bawahnya dihitung dengan metode storage routing. Persamaan yang digunakan untuk menghitung jumlah air yang diperkolasikan ke lapisan di bawahnya ( wperc ,ly ) adalah sebagai berikut : t wperc ,ly SWly ,excess 1 exp ..................................................................(22) TT perc di mana : TTperc SATly FCly Kly .........................................................................(23) SATly : Jumlah air dalam kondisi jenuh (mm) pada lapisan tanah ly 38 K ly : Konduktifitas hidrolik jenuh pada lapisan tanah ly TTperc : Travel time untuk perkolasi Base flow (Qgw) Air perkolasi ( wseep ) dari lapisan tanah selanjutnya memasuki akuifer (groundwater storage). Air yang keluar dari profil tanah ini mengalami delay ( gw ) ketika memasuki akuifer. Lamanya delay ini tergantung kepada tinggi water table dan karakteristik hidrolik formasi geologi di sekitar groundwater zona sehingga jumlah air yang keluar dari profil tanah dengan jumlah air yang memasuki groundwater storage berbeda. Venetis (1969) and Sangrey et al. (1984) telah merumuskan jumlah air yang masuk ke groundwater storage dari profil tanah ( wrchrg ,i )sebagai berikut wrchrg ,i wrchrg ,i 1.exp 1 gw wseep .(1 exp 1 gw ) .........................(24) di mana δgw merupakan delay time (hari) karena faktor karakteristik hidrolik formasi geologi di sekitar groundwater zone. Air yang tertampung dalam groundwater storage akan memberikan kontribusi terhadap aliran sungai sebagai baseflow jika jumlah airnya ( aqsh ) melebihi nilai ambang spesifik groundwater storage untuk mengalirkan base flow( aqshthr ,q ). Besarnya baseflow ini sangat tergantung kepada faktor baseflow recession constant (αgw ). Prosedur untuk menghitung baseflow sebagai berikut: g w aqsh aqshthr ,q Qgwi Qgwi 1.exp aqsh aqshthr ,q Qgwi 0 g w Wrchrg ,sh .(1 exp ) .............(25) 39 Jika tidak ada masukan dari komponen yang lain, besarnya baseflow sebagai berikut: g w aqsh aqshthr ,q Qgwi Qgwi 1.exp aqsh aqshthr ,q Qgwi 0 ......................................................(26) Erosi dan Sedimen Perhitungannya erosi dalam model MUSLE SWAT menggunakan formula (Modified Universal Soil Loss Equation; Williams, 1995). MUSLE merupakan formula yang telah di modifikasi dari USLE (Wischmeier dan Smith, 1978). Perbedaan yang mendasar antara MUSLE dan USLE adalah 1. MUSLE tidak menggunakan faktor energi hujan sebagai trigger penyebab terjadinya erosi melainkan menggunakan faktor limpasan permukaan sehingga MUSLE tidak memerlukan faktor sediment delivery ratio (SDR). Faktor limpasan permukaan mewakili energi yang digunakan untuk detaching dan transporting sedimen (Williams, 1975). 2. Output USLE menduga erosi tahunan sedangkan MUSLE dapat menduga erosi setiap kejadian hujan. 3. Faktor sediment delivery ratio (SDR) tidak diperlukan lagi dalam MUSLE untuk menghitung hasil sediment dari hasil erosi Persamaan untuk menghitung jumlah sedimen yang berasal dari HRU adalah sebagai berikut : sed ' 11.8.(Qsurf .q peak .areahru ).KUSLE .CUSLE .PUSLE .LSUSLE .CFRG di mana, (27) ... 40 Sed’ : sedimen yield dari HRU (tons) Sed : jumlah sedimen yang masuk sungai (tons) sed′ : jumlah sedimen yang masuk sungai hari kemarin (tons) q : puncak laju run off (m /s) stor,i-1 3 peak : run off (mm) ha-1 Q surf area : luas HRU (ha) K USLE : faktor erodibilitas tanah (0.013 ton.m hr/(m -metric ton cm)) USLE : faktor penutupan lahan USLE : faktor konservasi tanah dan air hru C 2 P LS USLE : faktor topografi CFRG : faktor kekasaran 3 Untuk jumlah sedimen yang masuk sungai dihitung dengan persamaan sebagai berikut : surlag sed ( sed ' sed stor ,i 1 ).(1 exp ) ...............................................(28) t conc di mana : Surlag : surface run off lag coefficient t conc : waktu konsentrasi (jam) sed stor ,i 1 : jumlah sedimen yang tertahan dilahan pada hari sebelumnya (ton) Aliran lateral dan base flow juga membawa sedimen masuk ke dalam sungai. Jumlah sedimentasi yang berasal dari aliran lateral flow dan base flow dihitung dengan persamaan berikut : sedlat di mana, (Qlat Qgw ).areahru .concsed 1000 ..........................................................(29) 41 Qlat : lateral flow (mm) Qgw : base flow (mm) areahru : luas HRU (Km2) concsed : konsentrasi sedimen yang berasal dari lateral dan base flow Sedlat :(mg/l) sedimen yang berasal dari lateral dan base flow (ton) 3.6. Pembangkitan Data Hujan Suatu hari dikategorikan sebagai hari hujan jika curah hujan pada hari tersebut lebih dari atau sama dengan 0,1 mm. Metode rantai markov orde 1 digunakan untuk menentukan hari hujan (Nicks, 1974; Richardson, 1981; Richardson dan Wright, 1984). Metode ini memerlukan informasi peluang hari hujan di mana hari sebelumnya hujan (Pi(W/W)) dan hari sebelumnya kering (Pi(W/D)) rataan bulanan. Pembangkitan data hujan ini diperlukan untuk menghitung puncak limpasan permukaan dan mensimulasi pola ketersedian air sebagai dampak perubahan tutupan lahan dan jumlah CH di Sub DAS Gumbasa. Untuk mendefinisikan hari hujan atau bukan selama proses pembangkitan data, menggunakan data acak antara 0,0 dan 1,0 sebagai pembanding. Jika data acak kurang dari atau sama dengan nilai peluang hari hujan maka didefinisikan sebagai hari hujan, sebaliknya tidak terjadi hujan. Ada dua model pola sebaran data hujan yang dibangkitkan, yaitu skew dan eksponensial. Pola sebaran skew memerlukan data standar deviasi ( mon ) dan skew coeffecient ( g mon ) curah hujan rataan bulanan. Persamaan dalam Nicks, 1974 dan Fiering, 1967 yang digunakan untuk menghitung jumlah curah hujan ( Rday ) dengan pola sebaran skew, sebagai berikut: 42 Rday 3 g mon g mon SNDday . 1 1 6 6 mon 2. mon .......................(30) g mon Untuk SNDday dihitung dengan persamaan berikut ini: SNDday cos(6.283.rnd2 ). (2.ln(rnd1 ) ................................………...(31) Sebaran eksponensial memerlukan input yang lebih sedikit dan biasanya digunakan pada wilayah yang data curah hujannya terbatas. Parameter yang perlu ditetapkan terlebih dahulu adalah koefesien eksponensial (rexp). Nilai koefesien ini berkisar antara 1,0 dan 2,0 (default value 1,3). Jika nilai meningkat, jumlah curah hujan ekstrim selama satu tahun akan meningkat juga. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: Rday mon .( ln(rnd1))r exp ......................................................................(32) di mana : Rday : jumlah curah hujan harian (mm H2O), μmon : rata-rata curah hujan bulanan (mm) σmon : standar deviasi curah hujan bulanan (mm) SNDday : standar normal deviasi harian gmon : skew coeffecient untuk curah hujan harian dalam satu bulan Rday : jumlah curah hujan harian (mm) rnd1 : nilai acak antara 0,0 dan 0,1 rnd2 : nilai acak antara 0,0 dan 0,1 Rexp : Koefesien eksponensial Untuk menghitung puncak limpasan permukaan harian, model SWAT membangkitan data curah hujan maksimum setengah jam-an. Prosedur untuk 43 menghitung fraksi hujan harian yang jatuh selama setengah jam-an intensitas curah hujan tertinggi (0.5) adalah sebagai berikut: 1. Menghitung : R0.5 sm( mon ) 2. Menghitung : 0.5( mon ) R0.5 x ( mon1) R0.5 x ( mon ) R0.5 x ( mon 1) 3 .......(33) R0.5 sm ( mon ) ...............(34) adj0.5 . 1 exp 0.5 mon .ln yrs.dayswet 3. Menentukan batas atas dan batas bawah fraksi hujan harian yang jatuh selama setengah jam-an dari intensitas curah hujan tertinggi 125 dan 0.5 L 0.02083 .........................................(35) Rday 5 0.5U 1 exp 4. Membangkitkan data acak dengan menggunakan triangular distribution 0.5 L if rand1 0.5 mon Then 0.5U 0.5 L 0.5 rnd1.( 0.5U 0.5 L ).( 0.5 mon 0.5 L ) 0.5 0.5 mon . 0.5 L 0.5U ( 0.5U else : 0.5 0.5 mon . endif 0.5 mean 0.5 (1 rnd1 ) 0.5 L (1 rnd1 ) 0.5 mon ). 0.5U 0.5U 0.5 mon 0.5 mean .(36) R0.5 sm( mon ) : Rataan bulanan curah hujan 30 menit-an (mm) R0.5 x ( mon ) : Curah hujan 30 menit-an maksimum pada bulan ke-mon (mm) 0.5( mon ) : Fraksi rataan bulanan curah hujan 30 menit-an adj0.5 : Faktor koreksi fraksi rataan bulanan curah hujan 30 menit-an dayswet yrs : Jumlah hari hujan dalam sebulan (hari) 0.5U : Batas atas fraksi rataan bulanan curah hujann 30 menit-an 0.5L : Batas bawah fraksi rataan bulanan curah hujan 30 menit-an rnd1 : Bilangan acak 1 0.5mean : Rataan fraksi curah hujan 30 menit-an : Jumlah tahun data yang digunakan