Nama: Tiara Muflihah NIM: K011191122 Kelas: Kesehatan Masyarakat B Review Materi Pertemuan Pertama (Penguatan Jejaring dalam Peningkatan Status Gizi Masyarakat) Gizi Kesehatan Masyarakat adalah persoalan yang besar. Ada 4 + 1 masalah gizi Kesmas di Indonesia. Selain itu Indonesia merupakan negara yang memiliki 3 masalah gizi yaitu kekurangan gizi, kekurangan mikronutrien, dan kelebihan gizi yang biasa disebut dengan Triple Burden Disease. Adapun masalah gizi Kesmas di Indonesia yaitu 4 + 1 dimana 4 adalah masalah gizi besar dan 1-nya lagi adalah masalah yang baru ditambahkan: 1. Kurang energi protein (gizi kurang), seperti stunting, pendek, dan kurus. 2. Anemia gizi yang jumlahnya masih sangat besar, yaitu pada ibu hamil 50%, dan pada remaja 34%. 3. Gangguan akibat kekurangan yodium seperti kerdil dan gondok yang biasanya terjadi di daerah endemik yang kurang yodium. 4. Kurang vitamin A (rabun senja) 5. Kegemukan. Sekitar 17-20% anak remaja di Indonesia utamanya di perkotaan mengalami kegemukan. Permasalahan inilah yang memenuhi rumah sakit, dan mengakibatkan bangkrutnya BPJS. Gizi Masyarakat 1. Kondisi Obyektif Status gizi di Provinsi Sulawesi Selatan masih sangat memprihatinkan. Ciri status gizi di Provinsi Sulawesi Selatan dapat digambarkan dengan Nyata, Berat, dan Berlangsung lama. Nyata, terlihat dari data yang ada, kasus gizinya masih sangat buruk. Berat, ditandai dengan banyaknya gizi buruk, dan ibu hamil yang kurang gizi. Berlangsung lama, karena masalah ini tidak berubah semakin baik setiap tahunnya. Tidak adanya perubahan signifikan di setiap tahunnya. Perkembangan Prevalensi Gizi Kurang di tandai dengan tidak berubahnya zona merah di daerah Sulsel dari tahun 1992-1999 pada data Departemen Kesehatan pada tahun 1999. Data ini membuktikan bahwa pergerakan perbaikan gizi di Sulawesi Selatan perlu ditingkatkan. Selain itu, dibuktikan juga dari data Kanwil Depkes Sulsel pada tahun 2000 bahwa 43,59% balita di Sulsel mengalami kekurangan gizi. Status gizi kurang yaitu 29,69%, serta status gizi buruk yaitu 13,90%. Dapat di lihat juga pada statistik status gizi Riskesdas yang menggambarkan kecenderungan prevalensi gizi kurang, pendek, kurus, dan gemuk pada balita Indonesia pada tahun 2007, 2010, dan 2013, walaupun terdapat perubahan grafik, yaitu menurun dan meningkat, tetapi perubahannya belum terlihat signifikan. Grafik tersebut masih terlihat konstan setiap tahunnya. Data lainnya yaitu Trend Status Gizi Balita (Pemantauan Gizi 2014-2016) yang jelas memperlihatkan grafis yang cenderung mendatar di semua permasalahan gizi yang ada, seperti gizi kurang, pendek, kurus, serta gemuk. Stunting (pendek) terjadi pada hampir seluruh wilayah Indonesia. Permasalahan kekurangan gizi, terutama pendek (stunting), terjadi secara luas tetapi dengan disparitas yang tinggi. Wasting (kurus) sebanyak 12,1% balita tergolong kurus, prevalensi tertinggi bayi dengan berat badan lahir rendah terdapat di daerah Sulteng yaitu sebanyak 16,9%, sedangkan anemia pada ibu hamil sebanyak 37,1% ibu hamil di Indonesia mengalami anemia. Kategori Masalah Gizi Masyarakat Masalah gizi balita berdasarkan indeks BB/TB dan TB/U dibagi menjadi 4 kategori yaitu BAIK, AKUT, KRONIS DAN AKUT-KRONIS. Kategori 1 yaitu Baik Suatu wilayah dengan balita kurus dan sangat kurus (BB/TB) < 5% dan balita yang status gizinya Pendek + sangat pendek (TB/U) < 20%. Kategori 2 yaitu Akut Suatu wilayah dengan balita kurus dan sangat kurus (BB/TB) ≥ 5%, namun balita pendek + sangat pendek (TB/U) < 20%. Kategori 3 yaitu Kronis Suatu wilauah dengan balita kurus dan sangat kurus (BB/TB) < 5%, namun balita pendek + sangat pendek (TB/U) ≥ 20%. Kategori 4 yaitu Akut – Kronis Suatu wilayah dengan balita kurus dan sangat kurus (BB/TB) ≥ 5%, dan balita pendek + sangat pendek (TB/U) ≥ 20%. Sulawesi Selatan berada di kategori 4 yaitu Akut – Kronis yang membuktikan begitu besar masalah gizi masyarakatnya. 2. Apa Penyebab Rendahnya Status Gizi? Menurut kerangka berpikir penyebab masalah gizi yang status gizi ibu dan anak yaitu outcome memperlihatkan bahwa penyebeb langsung dari status gizi ibu dan anak itu sendiri adalah komsumsi makanan (asupan makan kurang) dan status infeksi (sering sakit). Kebanyakan program program berjalan di Indonesia hanya melihat dari penyebab langsungnya saja, yang mengakibatkan lambatnya laju perubahan status gizi. Yang seharusnya dilihat juga dari penyebab tidak langsung seperti ketersediaan dan pola komsumsi rumah tangga, pola asuh pemberian ASI/MP-ASI, pola asuh psikososial, penyediaan MP/ASI, kebersihan sanitasi, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Hal tersebut dipengaruhi juga oleh daya beli, akses pangan, akses informasi, dan akses pelayanan, kemiskinan, ketahanan pangan dan gizi, dan pendidikan. Jadi akar masalahnya yaitu dari sektor Pembangunan, Ekonomi, Politik, Sosial, dan Budaya. Baiknya menyelesaikan masalah dari akar masalah agar program yang dirancang dapat berjalan semestintya. Penanggulangan masalah gizi merupakan upaya Multi pihak/sektor untuk mengatasi penyebab langsung, tidak langsung, dan akar masalah melalui upaya kolaboratif-sinergik pada intervensi sensitif. Penyebab langsung status gizi yaitu asupan pangan/gizi yang berhubungan dengan kesehatan yang intervensi jangka pendeknya (Intervensi Spesifik) antara lain penanganan balita gizi buruk, suplementasi mikronutrient dan fortifikasi, serta kebersihan diri. Penyebab tidak langsungnya yaitu aksebilitas pangan, pola asuh, dan air minum/sanitasi, yankes yang intervensi jangka pendeknya (Intervensi Spesifik) yaitu ketahanan pangan, sistem kesehatan, jaminan sosial, air bersih dan sanitasi, gender dan pembangunan, pendidikan remaja putri, dan perubahan iklim. Akar masalahnya yaitu kelembagaan, politik dan ideologi, kebijakan ekonomi, sumberdaya, lingkungan, teknologi, dan penduduk yang intervensi jangka panjang (Intervensi Sensitif) yaitu program pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi, kepemimpinan dan keteladanan, perdagangan dan peran dunia usaha, penanganan konflik, serta pelertarian lingkungan. Intervensi spesifik hanya dapat menyelesaikan 30%, tetapi hal ini merupakan hal krusial. Sedangkan intervensi sensitif dapat menyelesaikan 80%. Kedua hal ini dapat dikolabirasi sehingga dapat menyelesaikan masalah gizi. Lain dari itu, daur hidup intervensi juga sangat mempengaruhi. Dimana hal itu terus berkelanjutan jika tidak ditangani dengan baik. Hukum 100 years of nutritional flow juga sangat krusial. Masalah gizi masuk dalam siklus implikasi 100 tahun. Nenek menitipkan benih ke cucunya, bibit dari nenek (1 generasi/25 tahun). Hambatan Sistem? Dimana mata rantai terlemah? Bagaimana dengan ketahanan pangan? Ini semua sangat penting untuk di pertimbangkan. Pertanyaannya adalah mengapa keadaan rawan gizi dapat terjadi di daerah yang justru merupakan lumbung pangan? Sesuai dengan perkataan Amartya Sen (1981), Bencana rawan pangan lebih disebabkan oleh faktor-faktor sosial, dan ekonomi, semisal sistem administrasi dan pengelolaan distribusi pangan ketimbang karena langkanya persediaan pangan atau gagalnya panen. 3. Apa Akibat Rawan Gizi Terhadap Generasi Mendatang? Akibat yang telah diketahui yaitu: Kematian bayi dan anak Gangguan pertumbuhan Gangguan perkembangan mental Kecerdasan rendah (kebodohan) Daya tahan tubuh rendah Produktivitas rendah Dari tabel Fetal Growth and Development menunjukkan bahwa semua organ pada bayi itu tumbuh sebelum 26 bulan, dimana jika ibu kekurangan gizi akan berdampak pada bayinya di kemudian hari. Pertumbuhan bayi akan selalu berjalan walaupun ibunya kekurangan nutrisi, hingga akan mengakibatkan bayi terlahir tidak normal. Itulah mengapa ibu hamil sangat perlu memperhatikan asupan makanannya dan memenuhi zat gizinya agar bayi dalam kandungannyapun ikut tumbuh dan berkembang semestinya. Menurut Hipotesis Barker, anak yang kecil (BB rendah) saat lahir atau semasa bayi memiliki resiko yang tinggi menderita “Penyakit Jantung Pembuluh Darah (PJPD) dan NIDDM pada saat dewasa. Nasib anak yang kekurangan gizi: Kualitas SDM yang rendah Terancam meninggal pada usia produktif karena penyakit degeneratif (misal penyakit jantung, pembuluh darah dan kencing manis). Kesimpulan Gizi Kesehatan Masyarakat di Indonesia menampung Triple Burden Disease dimana sangat memprihatinkan. Begitupun dengan status gizi di Sulawesi Selatan yang digambarkan dengan Nyata, Berat, dan Berlangsung Lama. Sulawesi Selatan berada di kategori 4 yaitu Akut – Kronis yang membuktikan begitu besar masalah gizi masyarakatnya. Penyebeb langsung dari status gizi ibu dan anak itu sendiri adalah komsumsi makanan (asupan makan kurang) dan status infeksi (sering sakit). Kebanyakan program program berjalan di Indonesia hanya melihat dari penyebab langsungnya saja, yang mengakibatkan lambatnya laju perubahan status gizi. Yang seharusnya dilihat juga dari penyebab tidak langsung seperti ketersediaan dan pola komsumsi rumah tangga, pola asuh pemberian ASI/MP-ASI, pola asuh psikososial, penyediaan MP/ASI, kebersihan sanitasi, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Hal tersebut dipengaruhi juga oleh daya beli, akses pangan, akses informasi, dan akses pelayanan, kemiskinan, ketahanan pangan dan gizi, dan pendidikan. Jadi akar masalahnya yaitu dari sektor Pembangunan, Ekonomi, Politik, Sosial, dan Budaya. Intervensi spesifik hanya dapat menyelesaikan 30%, tetapi hal ini merupakan hal krusial. Sedangkan intervensi sensitif dapat menyelesaikan 80%. Kedua hal ini dapat dikolabirasi sehingga dapat mengoptimalkan penyelesaian masalah gizi. Dari tabel Fetal Growth and Development menunjukkan bahwa semua organ pada bayi itu tumbuh sebelum 26 bulan, dimana jika ibu kekurangan gizi akan berdampak pada bayinya di kemudian hari. Pertumbuhan bayi akan selalu berjalan walaupun ibunya kekurangan nutrisi, hingga akan mengakibatkan bayi terlahir tidak normal. Itulah mengapa ibu hamil sangat perlu memperhatikan asupan makanannya dan memenuhi zat gizinya agar bayi dalam kandungannyapun ikut tumbuh dan berkembang semestinya. Menurut Hipotesis Barker, anak yang kecil (BB rendah) saat lahir atau semasa bayi memiliki resiko yang tinggi menderita “Penyakit Jantung Pembuluh Darah (PJPD) dan NIDDM pada saat dewasa.